Anda di halaman 1dari 15

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PADA PASIEN ‘X’ DENGAN CEREBROVASCULAR DISEASE (CVD)


DI RSUD PASAR MINGGU

LAPORAN PENDAHULUAN

RIZKI AMALIA FATIMAH


1510711027

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

CEREBROVASCULAR DISEASE (CVD)

A. Pengertian

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Aho et al (1980) dalam


penelitiannya, cerebrovascular disease (CVD) atau stroke adalah rangkaian tanda dan
gejala gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang berkembang dengan
sangat cepat dan berlangsung selama lebih dari 24 jam.1 Definisi ini didukung oleh
AHA/ASA (2015) yang menyebutkan bahwa stroke merupakan suatu penyakit yang
diakibatkan oleh gangguan pada suplai darah ke otak. Gangguan suplai ini bisa
diakibatkan oleh dua hal, yaitu pecahnya pembuluh darah di otak atau adanya sumbatan
pada aliran darah. Kedua hal tersebut mengakibatkan suplai darah yang kaya oksigen
dan nutrisi ke otak berkurang sehingga menimbulkan kerusakan jaringan otak.2

Istilah stroke juga mencakup pengertian stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Stroke iskemik merupakan disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark serebral.
Stroke hemoragik intra serebral adalah berkembangnya tanda dan gejala disfungsi
serebral secara cepat akibat dari akumulasi darah pada parenkim atau ventrikel otak
yang tidak disebabkan oleh trauma. Sedangkan stroke hemoragik subarachnoid adalah
tanda dan gejala disfungsi serebral atau sakit kepala yang berkembang dengan sangat
cepat karena adanya perdarahan di ruang subarachnoid (ruang antara membran
arachnoid dan pia mater otak atau sumsum tulang belakang) yang tidak disebabkan oleh
trauma.2

B. Etiologi dan Faktor Risiko

Secara garis besar, stroke diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak
atau adanya sumbatan pada aliran darah yang menyebabkan suplai oksigen dan nutrisi
dalam darah ke otak menurun dan berakhir pada kerusakan jaringan otak.2 Menurut
Qureshi et al (2009), intra cerebral haemorrhage (ICH) disebabkan oleh rupturnya
pembuluh darah yang diakibatkan oleh hipertensi atau kelainan vaskular lainnya.3
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hemphill et al (2001), prognosis ICH
dapat bervariasi.3 Hal ini bergantung pada besar atau luasnya hematoma, lokasi
hematoma, ekstensi ke ventrikel, dan faktor-faktor lain. Namun, penelitian Keep et al
(2012) menyebutkan bahwa ICH memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dan
kecacatan yang lebih berat dibandingkan dengan stroke iskemik.3

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk menurunkan angka kejadian stroke
seperti dalam penelitian Ariesen et al (2003) yang didukung oleh Sturgeon et al (2007)
di antaranya adalah mengontrol tekanan darah, mengurangi rokok dan konsumsi
alkohol, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida, termasuk menurunkan konsumsi
obat-obatan antikoagulan, agen trombolitik, dan
simpatomimetik. Sedangkan untuk faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk
usia (terutama usia lanjut), jenis kelamin (di mana angka kejadian stroke lebih tinggi
pada laki-laki), cerebral amyloid angiopathy (CAA), dan etnis (Asia).3

C. Patofisiologi

Kejadian stroke meliputi adanya perubahan pada struktur pembuluh darah,


adanya CAA, dan patofisiologi molekular. Kejadian ICH sering diakibatkan oleh ruptur
pembuluh darah yang sudah mengalami degenerasi akibat hipertensi dalam jangka
panjang. Dalam penelitian Fisher et al (1982), tanda yang dapat dilihat pada pasien di
antaranya adalah adanya nekrosis fibrinoid pada sub-endotelium dengan mikro-
aneurisma dan dilatasi fokal.3

Rosand et al (2000) menyebutkan CAA ditandai dengan deposisi peptida


amiloid-β pada kapiler, arteriol, dan arteri kecil atau sedang di korteks serebral,
leptomeninges, dan serebelum.3 CAA dalam pembuluh darah serebral dapat
menyebabkan ICH sporadis pada orang dewasa atau lanjut usia, biasanya ini
disangkutpautkan dengan variasi pada gen pengkodean apolipoprotein E epsilon 2 dan
4 pada kromosom 19.4

Menurut Qureshi (2003) awal mekanisme cedera pada ICH adalah penekanan
pada parenkim otak oleh hematoma, sehingga merubah struktur parenkim tersebut.3
Hasil penelitian Graham et al (2000) yang didukung oleh Qureshi et al (2003) dan
Lusardi et al (2004) menyebutkan bahwa perluasan hematoma juga dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang mempengaruhi aliran darah,
deformasi mekanik, pelepasan neurotransmiter, disfungsi mitokondria dan depolarisasi
membran. Akibatnya, terjadi edema dari peradangan oleh faktor-faktor inflamasi yang
dilepaskan dari rangkaian mekanisme di atas.3

D. Manifestasi, Pemeriksaan dan Penatalaksanaan

ICH merupakan masalah darurat medis. Penegakan diagnosis secara cepat dan
pemberian terapi yang tepat pada pasien ICH sangat penting karena deteriorasi terjadi
pada beberapa jam pertama setelah onset ICH berlangsung.5 Penelitian Manno (2005)
menyebutkan bahwa tanda dan gejala yang umum pada penderita ICH di antaranya sakit
kepala, mual dan perasaan ingin muntah.3 Sakit kepala sering dikaitkan dengan adanya
hematoma berukuran besar, adanya traksi pada serat meningeal, dan peningkatan
tekanan intrakranial atau darah di dalam cairan serebrospinal. Kejadian muntah juga
berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Sebagaimana yang dilaporkan
Steiner (2006) bahwa pasien dengan ICH sering kali mengalami penurunan kesadaran
seiring dengan peningkatan tekanan intrakranial dan kompresi pada thalamus serta saraf
pusat.3

Penelitian Moon et al (2008) mengungkapkan bahwa lebih dari 20% pasien


mengalami penurunan 2 poin atau lebih tingkat kesadaran dengan indikator penilaian
Glasgow Coma Scale (GCS) antara prehospital dan di instalasi gawat darurat.5
Penelitian Brott et al (1997) dan Fan et al (2012) juga menunjukkan bahwa 15-20%
pasien mengalami deteriorasi pada jam pertama setelah tiba di rumah sakit.5 Oleh
karena risiko kerusakan neurologis yang cepat serta prognosis yang buruk pada ICH,
maka diperlukan pemberian terapi awal seagresif mungkin.

Penanganan prehospital pada pasien dengan ICH sama seperti pada pasien
dengan stroke iskemik.6 Acker (2007) menegaskan bahwa tujuan utama dalam
menangani pasien ICH, yaitu memastikan jalan napas bersih tanpa obstruksi oleh benda
cair atau padat, memberikan dukungan kardiovaskular, dan membawa pasien segera ke
fasilitas kesehatan terdekat yang siap merawat penderita stroke akut.5 Prioritas
selanjutnya adalah memperoleh riwayat pasien terkait onset atau waktu pasien terakhir
normal, riwayat medis, pengobatan dan penggunaan obat-obatan seperti narkoba, serta
kontak keluarga pasien yang dapat dihubungi.

Petugas kesehatan di gawat darurat atau emergency department (ED) yang harus
ada dalam merawat pasien dengan ICH di antaranya petugas atau dokter ahli pada
bidang neurology, neurocardiology, neurosurgery, dan perawat. The National Institutes
of Health Stroke Scale (NIHSS) sangat berguna untuk menilai tingkat keparahan pada
pasien stroke iskemik, maupun ICH.6,7 Namun, sering kali ditemukan penurunan
kesadaran pada pasien ICH sehingga mengurangi utilitas dari NIHSS. Ada banyak skala
penilaian khusus untuk ICH. Meskipun skala keparahan yang optimal belum jelas, tapi
yang paling banyak digunakan dan divalidasi secara eksternal adalah skor ICH.8,9

Adanya muntah, tekanan sistolik (SBP) >220 mmHg, sakit kepala hebat, dan
mengalami penurunan kesadaran merupakan tanda dan gejala adanya masalah pada
pembuluh darah di otak. Namun, untuk membuktikan hal tersebut, Goldstein et al
(2005) merekomendasikan perlu dilakukannya neuroimaging seperti CT Scan atau
magnetic resonance imaging (MRI).5 Penelitian Fiebach et al (2004) yang didukung
oleh Chalela et al (2007) menyebutkan bahwa CT dianggap sebagai “gold standard”
dan sangat sensitif untuk mengidentifikasi hemoragi akut.5 Echo dan MRI juga sama
sensitifnya seperti CT. Namun, echo dan MRI juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi perdarahan sebelumnya.

Penegakan diagnosis dan pengkajian gawat darurat yang direkomendasikan


oleh AHA (2015) adalah:

1. Penilaian derajat keparahan sebagai bagian dari evaluasi awal pasien


dengan ICH.
2. Segera melakukan neuroimaging dengan CT atau MRI.
3. CTA (CT Angiography), CT venography, magnetic resonance
angiography dan magnetic resonance venography, kateter angiografi
dapat bermanfaat untuk mengevaluasi yang mendasari terjadinya lesi
termasuk malformasi vaskular dan tumor.
Schulman et al (2007) menyarankan apabila ICH spontan terjadi pada pasien
yang menjalani infus heparin intravena, maka pemberian protamin sulfat dapat
dilakukan melalui intra ven (IV) dengan dosis 1 mg/100 U heparin (dosis maksimal 50
mg).5 Rekomendasi terapi dari AHA (2015) dalam menangani ICH di antaranya:

1. Penggantian faktor koagulasi atau platelet pada pasien dengan


penurunan kadar faktor koagulasi atau trombositopenia parah.
2. Pasien ICH dengan peningkatan international normalize ratio (INR)
tidak diberikan vitamin K antagonist (VKA) seperti warfarin.
3. Pasien ICH yang menggunakan debigatran, rivaroxaban, atau apixaban,
perawatan FEIBA, PCCs, atau rFVIIa dapat dipertimbangkan. Aktivasi
charcoal dapat digunakan dua jam setelah pemberian debigatran,
rivaroxaban, atau apixaban. Hemodialisis mungkin dipertimbangkan
untuk dabigatran.
4. Protamin sulfat dapat dipertimbangkan untuk membalikkan heparin
pada pasien dnegan ICH akut.
5. Pengendalian tekanan sistolik menjadi 140 mmHg.
6. Monitor kadar gula untuk menghindari terjadinya hipoglikemia atau
pun hiperglikemia.
7. Apabila tanda dan gejala kejang muncul, direkomendasikan untuk
memberikan anti kejang.
8. Pelaksanaan prosedur kraniotomi.

E. Asuhan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak.

Dengan kondisi terkait meliputi:

1) Masa tromboplastin parsial (PTT) abnormal.


2) Masa protombin (PT) abnormal.
3) Segmen dinding ventrikel kiri akinetik.
4) Hiperkolesterolemia.
5) Hipertensi.
6) Endokarditis infektif.
7) Katup prostetik mekanis.
8) Stenosis mitral.
9) Agens farmaseutika.
10) Sindrom sick sinus.
11) Program pengobatan.
12) Aterosklerosis aortik.
13) Diseksi arteri.
14) Fibrilasi atrium.
15) Cedera otak.
16) Neoplasma otak.
17) Stenosis karotid.
18) Aneurisma serebral.
19) Koagulopati.
20) Kardiomiopati dilatasi.
21) Embolisme.
22) Koagulasi intravaskular diseminata.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

Batasan karakteristik:

1) Suara nafas tambahan.


2) Perubahan pola nafas.
3) Preubahan frekuensi nafas.
4) Sianosis.
5) Kesulitan verbalisasi.
6) Penurunan bunyi nafas.
7) Dispnea.
8) Sputum berlebih.
9) Batuk tidak efektif.

Faktor yang berhubungan:

1) Sekresi yang tertahan.

Kondisi terkait meliputi:

1) Spasme jalan nafas.


2) Eksudat dalam alveoli.
3) Infeksi.
4) Disfungsi neuromuskular.
5) Adanya jalan nafas buatan.

3. Ketidakefektifan pola nafas.

Batasan karakteristik:

1) Pola nafas abnormal.


2) Perubahan ekskursi dada.
3) Bradipnea.
4) Penurunan tekanan ekspirasi.
5) Penurunan tekanan inspirasi.
6) Penurunan ventilasi semenit.
7) Penurunan kapasitas vital.
8) Dispnea.
9) Pernafasan cuping hidung.
10) Pernafasan bibir.
11) Penggunaan otot bantu nafas.

Faktor yang berhubungan meliputi:

1) Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru.


2) Hiperventilasi.
3) Keletihan otot pernafasan.

4. Hambatan mobilitas fisik.

Batasan karakteristik:

1) Gangguan sikap berjalan.


2) Penurunan keterampilan motorik halus.
3) Penurunan keterampilan motorik kasar.
4) Penurunan rentang gerak.
5) Waktu reaksi memanjang.
6) Kesulitan membolak-balik posisi.
7) Ketidaknyamanan.
8) Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan.
9) Dispnea setelah beraktivitas.
10) Tremor akibat bergerak.
11) Instabilitas postur.
12) Gerakan lambat.
13) Gerakan spatik.
14) Gerakan tidak terkoordinasi.

Faktor yang berhubungan:

1) Kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat.


2) Penurunan kekuatan otot.
3) Penurunan kendali otot.
4) Penurunan massa otot.
5) Kaku sendi.

5. Risiko aspirasi.

Faktor risiko:

1) Hambatan untuk mengangkat bagian atas tubuh.


2) Penurunan motilitas gastrointestinal.
3) Batuk tidak efektif.

Kondisi terkait meliputi:

1) Penurunan tingkat kesadaran.


2) Pengosongan lambung yang lambat.
3) Penurunan refleks muntah.
4) Pemberian makan enteral.
5) Gangguan kemampuan menelan.
6) Sfingter esofagus bahwa inkompeten.
7) Peningkatan residu lambung.
8) Adanya slang oral/nasal.
9) Pemberian medikasi.
10) Rahang kaku.

6. Risiko dekubitus.

Faktor risiko:

1) Penurunan mobilitas.
2) Dehidrasi.
3) Kulit kering.
4) Periode imobilitas pada permukaan keras yang lama.
5) Hipertermia.
6) Nutrisi tidak adekuat.
7) Inkontinensia.
8) Tekanan pada tonjolan tulang.
9) Kurang perawatan diri.
10) Kelembapan kulit.
11) Penggunaan linen dengan bahan kurang menyerap lembap.
12) Berat badan berlebih.
13) Kulit kasar.
14) Kekuatan gesekan.

Kondisi terkait meliputi:

1) Gangguan sensasi.
2) Peningkatan suhu kulit 1-2°C.
3) Gangguan sirkulasi.
4) Imobilisasi fisik.
5) Edema.
6) Penurunan oksigenasi jaringan.
7) Penurunan kadar albumin serum.
8) Penurunan perfusi jaringan.
9) Penyakit kardiovaskular.

b. Kriteria Evaluasi Hasil


a) Ketidakefektifan perfusi jaringan otak.

Perfusi jaringan: serebral:

1) Tekanan intrakranial 5-15 mmHg.


2) Tekanan darah sistolik 140-150 mmHg.
3) Tekanan darah diastolik 90-110 mmHg.
4) MAP 100-110 mmHg.
5) Tidak ada sakit kepala.
6) Tidak ada muntah.
7) Tidak ada demam.
8) Adanya peningkatan kesadaran.

Status sirkulasi:

1) Tekanan intrakranial 5-15 mmHg.


2) Tekanan darah sistolik 140-150 mmHg.
3) Tekanan darah diastolik 90-110 mmHg.
4) MAP 100-110 mmHg.
5) Nadi 60-100 BPM.
6) PaO2 75-100 mmHg.
7) PaCO2 35-45 mmHg.
8) Saturasi oksigen 95-100%.
9) Urin output minimal 0,5-1,00 cc/jam (30-50 cc/jam pada pasien
resusitasi cairan).
10) Capillary refill time < 2 detik.

Status neurologi:

1) Adanya peningkatan kesadaran.


2) Berfungsinya sensorik dan motorik pasien.
3) Tekanan intrakranial 5-15 mmHg.
4) Ukuran pupil 2-3 mm.
5) Pupil reaktif terhadap cahaya.
6) Pola pernafasan teratur.
7) Suhu tubuh 36,5-37,5°C.
8) Tidak terdapat kejang.

b) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

Status pernafasan: kepatenan jalan nafas:

1) Frekuensi pernafasan 18-24 BPM.


2) Irama pernafasan teratur.
3) Inspirasi dalam dengan perbandingan antara inspirasi dan
ekspirasi, yaitu 1:3.
4) Tidak ada penggunaan otot bantu nafas.
5) Tidak ada penggunaan nafas cuping hidung.
6) Tidak ada suara tambahan pada paru.
c) Ketidakefektifan pola nafas:

Status pernafasan:

1) Frekuensi pernafasan 18-24 BPM.


2) Irama pernafasan teratur.
3) Pernafasan dalam dengan perbandingan inspirasi dan ekspirasi,
yaitu 1:3.
4) Tidak ada suara nafas tambahan, terdengar vesikuler.
5) Saturasi oksigen 95-100%.
6) Tidak ada penggunaan otot bantu nafas, tidak ada pernafasan
cuping hidung.
7) Tidak ada sianosis.
8) Akral teraba hangat.
9) Tidak ada penurunan kesadaran.
10) Tidak ada demam.

d) Hambatan mobilitas fisik.

Status nutrisi:

1) Peningkatan asupan gizi seimbang sesuai aturan diet oleh ahli


gizi.
2) Asupan makanan dan minuman adekuat.

Koordinasi pergerakan:

1) Adanya peningkatan kontraksi otot.


2) Bentuk otot tidak hipertrofi atau atrofi.
3) Adanya keseimbangan dalam melakukan gerakan.
4) Adanya peningkatan kecapatan gerakan.
5) Catat adanya luka yang dapat menghambat gerakan.

c. Intervensi Keperawatan
a) Ketidakefektifan perfusi jaringan otak.

Manajemen edema serebral:

1) Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan


pusing, pingsan.
2) Monitor status neurologi dengan ketat dan bandingkan dengan
nilai normal.
3) Monitor tanda-tanda vital.
4) Monitor TIK dan CPP.
5) Analisa pola TIK.
6) Monitor status pernafasan: frekuensi, irama, kedalaman
pernafasan, PaO2, PCO2, pH, dan bikarbonat.
7) Kurangi stimulus dalam lingkungan pasien.
8) Berikan sedasi sesuai kebutuhan.
9) Catat perubahan pasien dalam berespon terhadao stimulus.
10) Berikan anti kejang sesuai kebutuhan.
11) Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30° atau lebih.
12) Hidari fleksi leher dan fleksi ekstremitas.
13) Hindari valsava manuver.
14) Berikan pelunak feses.
15) Hindari cairan IV hipotonik.
16) Batasa suction kurang dari 15 detik.
17) Monitor nilai-nilai laboratorium: osmolalitas serum dan urin,
natrium, kalium.
18) Lakukan latihan ROM pasif.
19) Monitor intake dan output.
20) Pertahankan suhu normal.
21) Berikan diuretik osmotik atau active loop.

Monitor neurologi:

1) Pantau ukuran pupil, bentuk, kesimetrisan, dan reaktivitas.


2) Monitor tingkat kesadaran.
3) Monitor tingkat orientasi.
4) Monitor kecenderungan skala koma glasgow.
5) Monitor tanda-tanda vital: suhu, tekanan darah, denyut nadi,
dan respirasi.
6) Monitor status pernafasan: nilai ABG, tingkat oksimetri,
kedalaman, pola, laju/tingkat, dan usaha.
7) Monitor parameter hemodinamik invasif.
8) Monitor ICP dan CPP.
9) Monitor refleks kornea.
10) Monitor bentuk otot, gerakan motorik, gaya berjalan, dan
proprioception.
11) Monitor refleks batuk dan muntah.
12) Monitor kekuatan pegangan.
13) Monitor terhadap adanya tremor.
14) Monitor gangguan visual: diplopia, nistagmus, penyempitan
lapang pandang, penglihatan kabur, dan ketajaman visual.
15) Catat keluhan sakit kepala.
16) Monitor karakteristik berbicara: kelancaran, adanya aphasia,
atau kesulitan menemukan kata.
17) Monitor respon terhadap stimuli: verbal, taktil, dan respon
bahaya.
18) Monitor terhadap perbedaan tajam/tumpul atau panas/dingin.
Monitor tanda-tanda vital:

1) Monitor tekanan darah.


2) Monitor nadi.
3) Monitor suhu.
4) Monitor status pernafasan.

b) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

Manajemen jalan nafas:

1) Buka jalan nafas dengan teknik yang sesuai.


2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
3) Masukkan NPA atau OPA bila dibutuhkan.
4) Monitor suara nafas dengan cara auskultasi.
5) Lakukan penyedotan melalui endotrakea atau nasotrakea
sebagaimana mestinya.
6) Konsultasi dengan dokter terkait pemberian brobkodilator.

Monitor pernafasan:

1) Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan bernafas.


2) Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan
otot bantu nafas, dan retraksi otot supraclavicula dan interkosta.
3) Monitor suara nafas tambahan.
4) Monitor pola nafas.
5) Monitor saturasi oksigen.

Manajemen ventilasi mekanik: invasif:

1) Monitor kondisi diperlukannya tindakan pemberian ventilator


mekanik invasif.
2) Monitor tanda-tanda gagal nafas.
3) Monitor setingan ventilator.
4) Konsultasikan dengan dokter terkait pemasangan ETT.

Terapi oksigen:

1) Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakea dengan tepat.


2) Pertahankan kepatenan jalan nafas.
3) Siapkan set terapi oksigen.
4) Berikan oksigen sesuai dengan indikasi.
5) Monitor tanda-tanda keracunan O2.
c) Ketidakefektifan pola nafas.

Manajemen jalan nafas:

1) Buka jalan nafas dengan teknik yang sesuai.


2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
3) Masukkan NPA atau OPA bila dibutuhkan.
4) Monitor suara nafas dengan cara auskultasi.
5) Lakukan penyedotan melalui endotrakea atau nasotrakea
sebagaimana mestinya.
6) Konsultasi dengan dokter terkait pemberian brobkodilator.

Monitor pernafasan:

1) Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan bernafas.


2) Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan
otot bantu nafas, dan retraksi otot supraclavicula dan interkosta.
3) Monitor suara nafas tambahan.
4) Monitor pola nafas.
5) Monitor saturasi oksigen.

Manajemen ventilasi mekanik: invasif:

1) Monitor kondisi diperlukannya tindakan pemberian ventilator


mekanik invasif.
2) Monitor tanda-tanda gagal nafas.
3) Monitor setingan ventilator.
4) Konsultasikan dengan dokter terkait pemasangan ETT.

Terapi oksigen:

1) Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakea dengan tepat.


2) Pertahankan kepatenan jalan nafas.
3) Siapkan set terapi oksigen.
4) Berikan oksigen sesuai dengan indikasi.
5) Monitor tanda-tanda keracunan O2.

d) Hambatan mobilitas fisik.

Perawatan tirah baring:

1) Tempatkan matras atau kasur terapeutik dengan cara yang


tepat.
2) Posisikan sesuai dnegan body alignment yang tepat.
3) Hindari linen kasar dan jaga linen kasur tetao bersih.
4) Tinggikan teralis tempat tidur dengan tepat.
5) Tempelkan trapeze resiko jatuh di tempat tidur.
6) Balikkan pasien setiap 2 jam sekali.
7) Monitor kondisi kulit.

F. Tinjauan Pustaka
1. Abbot AL, Silvestrini M, Topakian R, Golledge J, Brunser AM, Harbaugh RE, et
al. Optimizing the Definitions of Stroke, Transient Ischemic Attack, and Infarction
for Research and Application in Clinical Practice. Frontiers in Neurology.
2017;8:1-14. doi: 10.3389?fneur.2017.00537.
2. Sacco AC, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Culebras A, Elkind MSV, et al.
An Updated Definition of Stroke for 21st Century: A Statement for Healthcare
Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association.
Stroke. 2013;44:2064-2089. doi: 10.1161/STR.0b013e318296aeca.
3. An SJ, Kim TJ, Yoon BW. Epidemiology, Risk Factors, and Clinical Features of
Intracerebral Haemorrhage: An Update. Journal of Stroke. 2017;19(1):3-10. doi:
10.5853/jos.2016.00864.
4. Phillips MC. Apolipoprotein E Isoforms and Lipoprotein Metabolism. IUBMB Life.
2014;66:616-623. doi: 10.1002/iub.1314.
5. Hemphill JC, Greenberg SM, Anderson CS, Becker K, Bendok BR, Cushman M,
et al. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A
Guideline for Healthcare Professionals from the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke. 2015;46:2032-2010. doi:
10.1161/STR.0000000000000069.
6. Jauch EC, Saver JL, Adams HP Jr, Bruno A, Connors JJ, Demaerschalk BM, et al.
Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke: A
Guideline for Healthcare Professionals from the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke. 2013;44:870-947. doi:
10.1161/STR.0b013e318284056a.
7. Fonarow GC, Pan W, Saver JL, Smith EE, Reeves MJ, Broderick JP, et al.
Comparison of 30-Day Mortality Models for Profiling Hospital Performance in
Acute Ischemic Stroke With VS Without Adjustment for Stroke Severity. JAMA.
2012;308:257-264. doi: 10.1001/jama.2012.7870.
8. Garret JS, Zarghouni M, Layton KF, Graybeal D, Daoud YA. Validation of Clinical
Prediction Scores in Patients With Primary Intracerebral Hemorrhage. Neurocrit
Care. 2013;19:329-335. doi: 10.1007/s12028-013-9926-y.
9. van Asch CJ, Velthuis BK, Greving JP, van Laar PJ, Rinkel GJ, Algra A, Klijn CJ.
External Validation of the Secondary Intracerebral Hemorrhage Score in The
Netherlands. Stroke. 2013;44:2904-2906. doi:
10.1161/STROKEAHA.113.002386.
10. Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. Nursing Outcomes Classification
(NOC). Edisi Kelima Bahasa Indonesia. Indonesia: CV. Mocomedia;2016.
11. Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM, Wagner CM. Nursing Intervention
Classification (NIC). Edisi Keenam Bahasa Indonesia 2016. Indonesia: CV.
Mocomedia;2016.

Anda mungkin juga menyukai