Anda di halaman 1dari 35

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan Water Coning............................................................................................. 2


2. Penentuan Laju Kritis ..................................................................................................... 8
2.1. Metode Meyer dan Garder ....................................................................................... 9
2.2. Metode Chaney et al. ............................................................................................. 10
2.3 Metode Bournazel dan Jeanson ............................................................................... 16
2.4 Metode Schols ........................................................................................................ 16
3. Penentuan Waktu Breakthrough .................................................................................... 18
3.1. Metode Sobocinski dan Cornelius .......................................................................... 18
3.2 Metode Bournazel dan Jeanson ............................................................................... 20
3.3 Metode Kuo dan DesBrisay..................................................................................... 21
4. Peramalan Kinerja Reservoir Dengan Kerucut Air ........................................................ 22
4.1 Peramalan Kinerja Reservoir Dengan Water Coning ............................................... 26
5. Stabilitas Batas Minyak-Air........................................................................................... 28
6. Water coning control dengan menggunakan metode downhole water sink ....................... 30
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 35

WATER CONING

1
1. Pendahuluan Water Coning

Produksi air dari sumur minyak dan gas selalu menjadi masalah dalam operasi produksi
hidrokarbon. Biasanya reservoir ini memiliki aquifer di pada bagian bawah lapisan produktif.
Jika aquifer besar maka, maka aquifer akan memberikan efek constant pressure pada reservoir
yang ada di atasnya. Keadaan ini sebenarnya menguntungkan, karena aquifer dapat
memberikan pressure support pada reservoir sehingga reservoir dapat memiliki kurva
penurunan tekanan yang stabil dan menghasilkan recovery factor yang besar. Namun jika
kekuatan support dari aquifer terlalu besar dan near wellbore region dipenuhi dengan air (air
membentuk kerucut pada zona produksi/perforasi), produksi minyak akan terganggu dan
menyebabkan sumur menjadi tidak ekonomis. Oleh karenanya dalam hal ini perlu diperhatikan
perencanaan produksi sumur, sehingga tidak mengganggu produksi dan nilai keekonomisan
suatu sumur dalam berproduksi.

Secara umum produksi air pada waktu early life sumur dapat disebabkan karena adanya
water coning atau water fingering. Water coning adalah kondisi dimana air bergerak dari
bagian bawah reservoir secara vertikal menuju bagian bawah perforasi dan membentuk kerucut
air sampai terjadi water breakthrough (air sampai di perforasi). Water fingering (atau tonguing)
adalah kondisi dimana early life water production terjadi pada reservoir miring yaitu jika air
bergerak dan menyalip minyak yang berada di atasnya menuju bagian bawah perforasi karena
water-oil contact (WOC) yang tidak stabil.

perforasi
perforasi

WOC

Water coning Water


fingering

Gambar 1. Water coning dan fingering

Water coning dapat terjadi karena beberapa factor seperti sifat reservoir, insitu fluids,
production protocol, dan completion interval namun mobilitas dari air yang merupakan factor

2
utama sehingga water coning dapat terjadi. Persamaan darcy dapat menunjukan pengaruh
aliran minyak dan air terhadap water coning phenomena.

𝐾'() 𝐾*" 𝜕𝑃"


𝑉"#$ =
𝜇" 𝜕𝑅

𝐾'() 𝐾*/ 𝜕𝑃"


𝑉"#$ =
𝜇/ 𝜕𝑅

Darcy menyatakan bahwa kecepatan dari suatu fluida berbanding terbalik dengan
viskositas fluida tersebut dan sebanding dengan permeabilitas absolut dan permeabilitas
relatif, pressure gradient dari fasa fluida tersebut. Saat pressure gradient naik, fasa yang lebih
mobile mulai mendominasi produksi. Dalam hal ini karena air bersifat lebih mobile dari pada
minyak, maka air yang terproduksi akan meningkat sebanding dengan laju produksi minyak.

Kondisi lain yang menyebabkan produksi air meningkat secara cepat dibandingkan
dengan produksi minyak adalah aspect ratio. Gambar 2 menunjukan geometri dari sumur
produksi. Aspect ratio adalah perbandingan antara radius reservoir dengan ketebalan reservoir
(H). Semakin tipis reservoir maka aspect ratio akan semakin besar. Karena terdapat kondisi
batas pada lubang sumur (seperti constant pwf), pressure gradient di arah axial akan lebih besar
dibandingkan pressure gradient di arah radial karena ketebalan reservoir lebih tipis
dibandingkan dengan arah radial. Ketebalan reservoir yang semakin besar dan radius yang
semakin kecil dapat menyebabkan kecenderungan untuk water coning semakin besar. Sehingga
diperlukan perencanaan interval perforasi yang tepat untuk mencegah early life water coning.
Selain dari keadaan diatas, water coning dapat terjadi pada kondisi sebagai berikut (1) Tekanan
sumur (pwf) rendah sehingga menyebabkan pressure drawdown tinggi (2) Sumur atau perforasi
yang terlalu dekat dengan WOC (3) Tidak ada permeability barrier terhadap aliran vertikal.

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, bahwa water coning dapat terjadi pada reservoir
dengan drawdown yang tinggi di sekitar sumur. Jika pressure drawdown lebih besar daripada
diferensial tekanan hidrostatik antara air dan minyak maka coning dapat tebentuk. Jika
diekspresikan dalam persamaan menjadi:

Pressure drawdown, psi > 0.433 (γw – γo) hc

γw : specific gravity air pada aquifer


γo : pecific gravity minyak

3
hc : jarak antara bottom perforation dengan oil/water contact

Gambar 2. Model water coning berdasarkan % pressure distribution (Muskat dan Wyckoff,
1934)

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa (Muskat & Wyckoff, 1934)semakin kecil
persentase pressure distribution akan menyebabkan cone terbentuk. Water coning pasti terjadi
pada suatu sumur. Namun terdapat stable cone dan juga unstable cone. Stable cone terjadi pada
sumur dengan kondisi constant production rate, constant pressure gradient, dynamic forces
kurang daripada gravity forces. Sedangkan permasalahan produksi air akan terjadi saat water
coning membentuk unstable cone. Kondisi ini terjadi saat tekanan ada pada regim unsteady
state, dan jika dynamic forces di sumur dapat melebihi gravity forces yang bekerja antara fasa
air dan minyak. Dikarenakan pada pressure drawdown, terdapat pwf yang dapat diatur
berdasarkan laju produksi yang diinginkan, maka water coning sebenarnya dapat diatur dengan
mengatur laju produksi. Water coning atau fingering sampai terjadi water breakthrough di
perforasi akan merugikan secara operasional karena (1) Produktivitas minyak menurun – efek
permeabilitas relatif (2) Lifting cost menjadi lebih tinggi karena fluida di sumur yang lebih
berat dan pembuangan air di permukaan yang lebih banyak (3) Recovery efficiency menurun
karena water cut mencapai economic limit.

4
Gambar 3. Production well aspect ratio (Thomas, et al, 2002)

Penanganan masalah produksi air dapat dibagi dalam 3 periode sebagai berikut:

1. Periode produksi air dicegah atau dieliminasi. Dilakukan pada masa awal diketahui
bahwa produksi minyak dapat terganggu dengan terproduksinya air. Pada periode ini tahapan
yang dapat dilakukan untuk mencegah early life water production adalah sebagai berikut:

(a) menempatkan horizontal barrier di bawah perforasi: polymer cushion atau pancake
of cement

(b) mengurangi pressure drawdown dengan cara mengurangi laju produksi air.

Horizontal barrier dilakukan dengan cara membuka merekahkan pada bagian bottom
perforation dengan menggunakan fracture fluid, kemudian dilakukan penyemenan dengan
menggunakan proppant. Berikut merupakan skema horizontal barrier pada sumur

Gambar 4. Horizontal barrier (Karp, et al, 1962)

5
Parameter yang harus diperhatikan dalam penggunaan jenis barrier yang tepatadalah
radius, ketebalan, vertical position, dan pemeabilitas dari barrier yang dibuat. Barrier harus
berada pada jarak dimana tidak mengganggu produksi minyak dari interval perforasi sehingga
barrier harus tepat di pasang di bawah bottom perforation interval. Ketebalan dari barrier
tergantung daripada lebar dari suatu fracture yang dibuat setelah dipasang proppant yang telah
mengalami penyusutan akibat adanya sehar modulus. Pada karp et al, propping agents dengan
diameter ¼ in atau lebih besar dapat digunakan pada fracture yang dibuat. Optimum radius dari
barrier juga perlu diperhatikan dalam beberapa aspek. Dengan barrier yang memiliki
pemeabilitas seminimal mungkin diharapkan produksi air dari zona aquifer dapat dikurangi.
Dalam Karp et al, dilakukan percobaan horizontal barrier dengan menggunakan beberapa jenis
semen yaitu resin cement A, resin cement B, Latex cement, resin A and portland cement. Dapat
dilihat pada Tabel 1. penggunaan resin cement A menghasilkan permeabilitas barrier yang
paling rendah sebesar 0.0008 md dengan water flow capacity sebesar 0.00009 b/d/ft2/psi namun
jika dibandingkan dengan keekonomisan dari penggunaan bahan maka portland cement
menunjukan material cost terendah sebesar $0.19 /gal slurry (Tabel 2). Dalam hal ini karp et al
merekomendasikan untuk mengkombinasikan antara resin cement A dengan portland cement
dengan harapan didapatkan barrier dengan permeabilitas yang rendah dengan harga yang tidak
terlalu mahal. Didapatkan hasil penggabungan dua jenis cement tersebut permeabilitas 0.002
md dengan water flow capacity sebesar 0.00022 b/d/ft2/psi dengan biaya lebih murah
dibandingkan hanya menggunakan resin cement A.

Tabel 1. Permabilitas dan water flow capacity dari barrier (Karp, et al, 1962)

Water Flow Capacity


Cement Permeability (md)
(B/D/f3/psi)
Resin A 0.0008 0.00009
Resin A
0.0020 0.00022
Spearhead + Portland
Resin A
0.0023 0.00025
Penetration only
Latex 0.0160 0.000173
Resin B 0.0180 0.00194
Portland 0.3700 0.0400

6
Tabel 2. Cost material dari barrier (Karp, et al, 1962)

Material Cost
Resin B Cement $6.90/gal slurry
Resin A Cement
(Low Temperature, 80o to 120oF)
First 200 gal $3.75/gal slurry
Next 300 gal $3.50/gal slurry
All above 500 gal $3.25/gal slurry
Latex cement
Slurry volume – 1.40 ft3/sack $1.10/gal slurry
Neat cement, API class A $1.65/sack
Slurry volume – 1.18 ft3/sack $0.19/gal slurry

Hal yang kedua dilakukan dengan menentukan laju produksi kritis. Metode untuk
menghitung critical rate: metode Meyer & Garder dan metode Chaney et al. Produksi di sumur
kemudian di sesuaikan agar tidak melebihi laju produksi kritis dari reservoir.

2. Periode dimana produksi air diperlambat.

Periode ini terjadi setelah diketahui bahwa terdapat water production terjadi setelah
natural sebagai hasil dari produksi minyak yang tidak dapat dihindari lagi. Salah satu cara
menangani masalah produksi air dalam periode ini adalah me-manage produksi dengan
memperlambat produksi air. Produksi air diperlambat sampai peralatan water treatment telah
selesai diinstal atau sumur telah mencapai batas keekonomian. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengetahui breakthrough time. Untuk menghitung waktu breakthrough digunakan metode
Sobocinski & Cornelius atau metode Bournazel & Jeanson.

3. Periode dimana produksi air dibiarkan.

Pada periode ini produksi air tidak diperhitungkan, yang hanya dilihat adalah
memproduksi minyak sebesar-besarnya untuk memenuhi kondisi keekonomisan dari suatu
sumur. Oleh karenanya dalam hal ini perlu diketahui after breakthrough performance dari
reservoir untuk melihat perilaku reservoir jika diproduksikan dengan laju sebesar-besarnya.
Untuk menghitung after breakthrough performance dapat digunakan metode peramalan
produksi air metode Kuo & DesBrisay.

7
Persoalan water coning menyangkut persoalan penentuan parameter-parameter yang
terkait dengan proses kejadiannya. Parameter-parameter tersebut akan menentukan terjadi-
tidaknya water coning dan kinerja reservoir. Dua parameter yang penting adalah: laju alir kritis
dan waktu tembus air (water breakthrough time). Namun, saat ini praktek produksi minyak
sebenarnya tidak terlalu memikirkan jumlah air terproduksi yang penting minyak tetap
terproduksikan dan tersedia fasilitas yang memadai untuk mengolah air (water treating
facilities). Critical flow rate dan waktu water breakthrough dipengaruhi oleh beberapa
parameter berikut:
• daerah penyerapan sumur (drainage area),
• sifat fisik fluida,
• completion interval,
• permeabilitas vertikal dan/atau horizontal.

2. Penentuan Laju Kritis

Penentuan laju kritis sangat penting dalam mendesign production protocol suatu sumur.
Laju kritis akan berpengaruh pada timbulnya masalah produksi air dalam hal ini fenomena
water coning. Pada dasarnya, semua metode menggunakan persamaan yang sama, yaitu:

0.003073 h2 k o Dr
qc = qDC
µ oBo
dimana:
qc : laju alir kritis minyak, STB/hari
ko : permeabilitas efektif terhadap minyak, md
h : tebal zone minyak, ft
D : ketebalan interval perforasi, ft
μo : viskositas minyak, cp
Bo : factor volume formasi, bbl/STB
qDC : dimensionless critical rate

Dr : rw - ro untuk system air-minyak dan Dr = ro - rg untuk system minyak-gas.

8
Adapun yang membedakan kesemua metode tersebut pada umumnya adalah dalam hal
penentuan qDC dalam

0.003073 h2 k o Dr
qc = qDC
µ oBo

Berikut dijelaskan beberapa dari metode untuk menghitung laju alir kritis tersebut.

2.1. Metode Meyer dan Garder


Pada metode ini digunakan asumsi:

1. Aliran minyak dan gas ke lubang sumur adalah radial

2. Aliran air dari water/oil contact ke lubang sumur adalah vertical flow

3. Pressure drawdown yang mengontrol aliran minyak atau gas terbatas pada grvitional
pressure difference antara air dengan minyak atau gas dengan minyak.

4. Sistem reservoir homogen dengan permeabilitas yang isotropik di reservoir.

Kekurangan dari metode ini adalah bahwa asumsi permeabilitas isotropik pada reservoir
tidak memungkinkan, karena pada perhitungan water coning permeabilitas vertikal dan
permeabilitas horizontal merupakan parameter yang kritis dan mempengaruhi terjadi atau
tidaknya coning.

Dengan cara analitik untuk sistem isotropik, Meyer dan Garder mendefinisikan:
1 æ 2ö
qDC = ç1 - (D) ÷
2 ln(r e / r w) çè h ÷ø

Sehingga laju alir kritik minyak untuk sistem air-minyak adalah:

0.001535(r w - r o ) k o (h2 - D 2)
qc =
µ o B o ln(r e / r w )

dimana:
ρw, ρo : masing-masing density air dan minyak, gm/cc
qc : laju alir minyak kritis, stb/d
ko : permeabilitas efektif minyak, md
h : tebal lapisan minyak. ft

9
D : ketebalan perforasi, ft
μo : viskositas minyak, cp
Bo : Oil formation volume factor, bbl/stb
re : drainage radius. ft
rw : wellbore radius, ft

2.2. Metode Chaney et al.

Asumsi yang digunakan oleh Meyer dan Garder sangat restriktif sehingga Chaney et
al. menawarkan metode alternative yang didasarkan pada solusi analitik dan eksperimental.
Metode Chaney et al. Dapat digunakan baik untuk persoalan water coning maupun gas coning.
Karena korelasi chaney ini didasarkan berdasarkan empirik, maka korelasi terbatas pada
parameter – parameter tertemtu. Dalam hal ini parameter pembatasnya adalah ketebalan lapisan
produktif yang dalam korelasi chanye berkisar antara 12.5 ft sampai 100 ft. masing – masing
dari ketebalan lapisan tersebut memiliki kurva yang digunakna untuk menghitung qcurve.
Besaran yang digunakan untuk preparation curve adalah k = 1000 md, viskositas oil = 1 cp, ρ
= 0.3 gr/cc. untuk mengkonversi hasil pembacaan qcurve, besarnya laju alir kritis dapat dicari
dengan persamaan berikut:

0.00333 q curve k (r w - r o )
qc =
µ o Bo

GOC

Gas coning

perforasi

WOC

Water coning

Gambar 5. Skema Coning pada Chaney method (Permadi, 2016)

10
Gambar 6. Critical production-rate curves for sand thickness of 12.5 ft,well radius of 3 in,and
drainage radius of 1,000 ft. Water coning curves:a, 1.25 ft perforated interval, b, 2.5 ft ;c,3.75
ft;d, 5.00 ft; and e, 6.25 ft. Gas coning curves: a, 1.25 ft perforated interval; b. 2.5 ft; c. 3.75
ft; d. 5.00 ft, and e, 6.25 ft (Smith, Tracy, Farrar, 1992)

11
Gambar 7. Critical production rate curves for sand thickness of 25 ft, well radius of 3 in, and
drainage radius of 1,000 ft. Water coning curves:a, 2.5 ft perforated interval, b, 5 ft ;c, 7.5
ft;d, 10 ft; and e, 12.5 ft. Gas coning curves: a, 2.5 ft perforated interval; b. 5 ft;c. 7.5 ft; d. 10
ft, and e, 12.5 ft (Smith Tracy, Farrar, 1992)

12
Gambar 8. Critical production-rate curves for sand thickness of 50 ft,well radius of 3 in,and
drainage radius of 1,000 ft. water coning curves:a, 5 ft perforated interval, b, 10 ft ;c, 15 ft;d,
20 ft; and e, 25 ft.gas coning curves: a, 5 ft perforated interval; b. 10 ft;c. 15 ft; d. 20 ft, and e.
25 ft (Smith Tracy, Farrar, 1992)

13
Gambar 9. Critical production-rate curves for sand thickness of 75 ft,well radius of 3 in,and
drainage radius of 1,000 ft. Water coning curves:a, 7.5 ft perforated interval, b, 15 ft ;c, 22.5
ft;d, 30 ft; and e, 37.5 ft. Gas coning curves: a, 7.5 ft perforated interval; b. 15 ft;c. 22.5 ft; d.
30 ft, and e, 37.5 ft (Smith Tracy, Farrar, 1992)

14
Gambar 10. Critical production-rate curves for sand thickness of 100 ft,well radius of 3
in,and drainage radius of 1,000 ft. Water coning curves:a, 10 ft perforated interval, b, 20 ft ;c,
30 ft;d, 40 ft; and e, 50 ft. Gas coning curves: a, 10 ft perforated interval; B. 20 ft;c. 30 ft; d.
40 ft, and e, 50 ft (Smith Tracy, Farrar, 1992)

15
2.3 Metode Bournazel dan Jeanson

Persamaan bournazel dan jeanson digunakan berdasarkan data percobaan dan empiric.
0.000717k h (r w - r o )h.h c
qc =
µ o Bo
dimana:
kh = permeabilitas horizontal efektif terhadap minyak, md
hc = jarak antara perforasi terbawah dengan WOC awal

2.4 Metode Schols

Schols mengembangkan persamaan empirik yang telah diverifikasi oleh simulator. Persamaan
Schols diperoleh setelah ia mendapatkan:
-0.14
1 æ p öæ D 2öæ ö
q DC = çç 0.432 + ÷÷ç1 - ( ) ÷ ç r e ÷
2p è ln(r e / r w ) øçè h ÷ø è h ø

sehingga laju alir kritis menurut Schols adalah:


-0.14
0.003073 h 2 k o Dr 1 æ p öæ D 2 ö÷ æ r e ö
qc = ç 0.432 + ç
÷ 1- ( ) ç ÷
µ o Bo 2p çè ln(r e / r w ) ÷øçè h ÷ø è h ø

Atau, untuk sistem air-minyak, biasanya ditulis sebagai berikut:


qc = A B C

dimana
(r w - r o) k o (h 2 - D 2)
A=
(2049)µ o Bo
p
B = 0.432 +
ln(r e / r w )
-0.14
ær ö
C = ç e÷
èhø

Contoh 1: Menghitung Laju Alir Kritis


Untuk harga-harga variabel suatu reservoir bottom water berikut, hitung laju alir kritis
menggunakan metode Meyer dan Garder, Chaney et al., Sobocinski dan Cornelius (untuk

16
metode ini lihat penjelasan di bawah), dan Bournazel dan Jeanson. Data: ko = 100 md, h = 50
ft, D = 10 ft, rw = 1.05 gr/cc, ro = 0.8 gr/cc, μo = 1.0 cp, Bo = 1.2 bbl/STB, re = 745 ft, rw =
0.25 ft.

Penyelesaian:
Metode Meyer dan Garder:
0.001535(r w - r o ) k o (h 2 - D 2)
qc =
µ o B o ln(r e / r w )

0.001535(1.05 - 0.8)(100)(50 2 - 10 2)
qc = = 9.6 STB/hari
(1.0)(1.2) ln(745 / 0.25)
Metode Chaney et al.:
0.00333 q curve k (r w - r o )
qc =
µ o Bo
0.00333 (280)(100)(1.05 - 0.8)
qc = = 19.4 STB/hari
(1.0)(1.2)
Catatan: qcurve = 280 diperoleh dari kurva untuk h = 50 ft, rw = 3 in., radius pengurasan
sumur = 1000 ft, dengan interval perforasi = 10 ft (asumsi perforasi di top dari zona
minyak yaitu sejauh mungkin dari WOC sehingga dipilih intercept pada garis absis
sama dengan 0). Kurva ini tersedia dalam Ref. Smith, Tracy, dan Farrar halaman 13-8
(Figure 13-3).

Metode Sobocinski dan Cornelius:


Dengan Z = 3.5 berdasarkan formulasi (td)BT dari Kuo dan Des Brisay maka:

0.000877(r w - ro )(k h )(h h c )


qc =
µ o Bo

0.000877(1.05 - 0.8)(100)(50)(50 - 10)


qc = = 36.5 STB/hari
(1.0)(1.2)

Metode Bournazel dan Jeanson:


0.000717k h (r w - r o )h.h c
qc =
µ o Bo

17
0.000717(100)(1.05 - 0.8)(50)(50 - 10)
qc = = 29.9 STB/hari
(1.0)(1.2)

Catatan:
Terlihat bahwa perbedaan antara harga-harga qc hasil perhitungan berbagai metode di atas
cukup signifikan. Menurut Tracy, harga qc yang dihasilkan oleh metode Bournazel dan Jeanson
merupakan yang paling dekat dengan kenyataan di lapangan dibandingkan dengan harga hasil
metode lainnya. Namun demikian, terlepas dari perbedaan harga qc masing-masing metode
tersebut, keempat metode kenyataannya memprediksi qc yang relatif terlalu rendah secara
ekonomis.

3. Penentuan Waktu Breakthrough

Walaupun diketahui laju kritis dapat menjadi acuan dalam menentuan laju produksi
operasi yang aman, namun nilai laju kritis terlalu rendah dan tidak menarik bagi investor untuk
menerapkannya karena sangat tidak ekonomis. Sehingga dalam operasinya, water coning akan
dibiarkan terjadi namun dengan melihat kapan waktu terjadi breakthrough. Beberapa metode
dapat digunakan untuk menentukan breakthrough time sebagai berikut.

3.1. Metode Sobocinski dan Cornelius

Metode ini menentukan waktu tembus air (time to breakthrough) dari air ketika laju
produksi lebih besar dari laju produksi kritis. Metode ini didasarkan pada studi eksperimental
yang memodelkan aliran di dekat sumur seperti ditunjukkan secara skematik berikut ini:

Formasi Produktif

water breakthrough
Minyak
water
cone
Air

Gambar 11. Model laboratorium percobaan Sobocinski (Smith, Tracy, & Farrar, 1992)

18
Berdasarkan eksperimen tersebut, Sobocinski dan Cornelius mendapatkan dimensionless cone
height (Z) dan dimensionless time (td) masing-masing sebagai berikut:
Dimensionless cone height:
0.00307(r w - r o )(k h )(h h c )
Z=
µ o Bo q o
Dimensionlees time:

0.00137 (r w - r o )(k h )(1 + M a ) t


td =
µ o f h Fk

dimana:
rw, ro : masing-masing densitas air dan minyak, gr/cc
kh : permeabilitas horizontal, md
h : ketebalan zona minyak, ft
hc : ketinggian kerucut air pada saat breakthrough yaitu sama dengan jarak dari WOC awal
ke bagian bawah perforasi, ft
µo : viskositas minyak, cp
f : porositas, fraksi
a : konstanta, dimana untuk M < 1 maka a = 0.5, dan untuk M ³ 1, a = 0.6. M adalah
mobility ratio.
k
Fk = h
kv
l
M= w
lo
t
td =
t BT
Hubungan antara Z dan td ditunjukkan oleh kurva yang secara skematik terlihat seperti berikut
ini:

19
Breakthrough curve
Z Departure
curves

Basic buildup curve

td

Gambar 12. Breakthrough curve (Smith, Tracy, & Farrar, 1992)

Untuk menghitung time to breakthrough, tBT, maka digunakan kurva “breakthrough.”


Kurva-kurva “buildup” dan “departure” hanya digunakan untuk mempelajari pengembangan
coning. Sobocinski dan Cornelius menemukan bahwa kerucut air umumnya terbentuk secara
perlahan sampai ujung kerucut mendekati perforasi (titik dimana terjadi percepatan “cone
buildup”) sehingga selanjutnya water coning tumbuh lebih cepat. Untuk menentukan time to
breakthrough dilakukan prosedur berikut:

1. Hitung Z dengan persamaan di atas.


2. Dengan harga Z tersebut, gunakan “breakthrough curve” (lihat Ref. Smith, Tracy, dan
Farrar) untuk menentukan td.
3. Hitung tBT dengan persamaan di atas, dimana:

µ o f h Fk t d
t BT =
0.00137(r w - r o )(k h )(1 + M a )

3.2 Metode Bournazel dan Jeanson

Bournazel dan Jeanson menemukan bahwa time to breakthrough yang mereka hitung
selalu lebih kecil dari yang dihitung oleh Sobocinski dan Cornelius. Oleh karena itu, mereka
melakukan modifikasi terhadap persamaan Sobocinski dan Cornelius. Perubahan yang mereka
lakukan adalah:

20
1. Membuat persamaan td sebagai fungsi dari Z untuk menggantikan kurva ”breaktrough”
(td)BT vs. Z dari Sobocinski dan Cornelius.
2. Menetapkan a = 0.7 untuk semua harga M dalam interval 0.14 £ M £ 7.3.

Jadi, menurut Bournazel dan Jeanson, time to breakthrough adalah:

µ o fhFk ( t d ) BT
t BT =
0.00137(r w - r o )(k h )(1 + M 0.7 )
dimana:
Z
(t d )BT =
3.0 - (0.7) Z
Z = dimensionless cone height (Sobocinski dan Cornelius), yaitu:
0.00307(r w - r o )(k h )(h h c )
Z=
µ o Bo q o

Satuan yang digunakan sama seperti satuan yang digunakan dalam metode Sobocinski dan
Cornelius.

3.3 Metode Kuo dan DesBrisay

Kuo dan DesBrisay melakukan review terhadap hampir seluruh metode yang telah
dipublikasikan sebelumnya. Selanjutnya, dengan menggunakan model coning numerik,
mereka menambahkan, memodifikasi, mengembangkan sebuah korelasi untuk prediksi kinerja
water coning, yaitu menghitung water-cut untuk reservoir bottom water. Menurut Kuo dan
DesBrisay, kurva breakthrough dari Sobocinski dan Cornelius yang berbentuk hiperbolik dapat
digantikan oleh persamaan:

Z (16 + 7 Z - 3 Z 2)
(t d )BT =
4 (7 - 2 Z)

Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa untuk harga Z = 3.5 maka harga (td)BT
akan berharga infinite. Menurut Tracy, hal ini berarti bahwa pada harga Z = 3.5 (atau infinite
(td)BT), laju alir yang terjadi adalah laju alir kritis. Oleh karena itu, dengan memasukkan harga
Z = 3.5 ke dalam persamaan Sobocinski dan Cornelius diperoleh:

21
0.00307(r w - r o )(k h )(h h c )
3.5 =
µ o Bo q o
Atau
0.000877(r w - r o )(k h )(h h c )
qo = qc =
µ o Bo

Namun, seperti dijelaskan pada bagian berikut ini, Kuo dan DesBrisay menggunakan formulasi
Schols untuk menghitung laju alir kritis.

4. Peramalan Kinerja Reservoir Dengan Kerucut Air

Di atas telah dijelaskan bahwa berdasarkan metode yang telah dipublikasikan


sebelumnya, Kuo dan DesBrisay telah mengembangkan metode untuk memperkirakan kinerja
water-cut untuk reservoir bertenaga dorong bottom water. Dalam hal ini, mereka menggunakan
metode Bournazel dan Jeanson untuk menghitung time to breakthrough. Berdasarkan model
coning numerik yang mereka gunakan, Kuo dan DesBrisay memulai produksi air pada harga
tBT sama dengan setengah harga tBT dari Bournazel dan Jeanson, yaitu:

1
t *BT = t BT, ( Bournazel & Jeanson )
2

Kinerja yang dihitung adalah setelah tembus air karena produksi kumulatif total sampai
waktu tembus air adalah sama dengan qo x tBT tanpa ada air yang terproduksi. Untuk penentuan
kinerja water cut tersebut, Kuo dan DesBrisay mendefinisikan dua parameter dimensionless, td
dan (WC)d sebagai berikut:
t
td =
t BT
WC
(WC)d =
(WC)limit
Mh w l
(WC)limit = , dengan M = w
Mh w + h o lo
dimana:
td = dimensionless time

22
t = waktu nyata, hari
tBT = time to breakthrough menurut Bournazel dan Jeanson, hari
(WC)d = dimensionless water cut
WC = water cut nyata, fraksi.

Untuk menghitung (WC)limit, diperlukan asumsi tambahan. Asumsi tersebut adalah


bahwa hanya terjadi aliran air pada arah vertikal dengan tekanan konstan dan luas permukaan
konstan. Dengan asumsi ini, maka dengan menggunakan material balance diperoleh:

é æ Np ö 1 - S wc ù
h o = H o ê1 - çç ÷
÷1- S - S ú
êë è N ø wc or úû

éæ N p ö 1 - S wc ù
h w = H w + H o êçç ÷
÷1- S - S ú
ëêè N ø wc or ûú

dimana:
Ho : original oil zone thickness (antara WOC dengan top dari zone minyak), ft
Hw : original water zone thickness, ft
ho, hw : masing-masing ketebalan zone minyak dan air pada saat ini, ft
Swc : Saturasi air konat, fraksi
Sor : Saturasi minyak residual, fraksi
Np : Produksi minyak kumulatif, STB
N : Isi awal minyak di tempat, STB

Selanjutnya, hubungan antara dimensionless water cut (WC)d dengan waktu sebagai
berikut:
(WC)d = 0 untuk td < 0.5
(WC)d = 0.94 log td + 0.29 untuk 0.5 £ td £ 5.7
(WC)d = 1.0 untuk td > 5.7

Metode peramalan water cut dengan metode Kuo dan DesBrisay ini dilakukan dengan
cara coba-coba dengan prosedur sebagai berikut:
1. Tentukan laju produksi kritis menggunakan persamaan Bournazel dan Jeanson:

23
0.000717(k h )(r w - r o )(h)(h c )
qc = STB/hari
µ o Bo
hc adalah jarak antara WOC dengan lubang perforasi terbawah, ft
Catatan: peramalan dilakukan ketika qT > qc, sehingga terjadi coning. Sebelum tembus air
maka yang terjadi adalah qo = qT
2. Tentukan tBT dengan prosedur sebagai berikut:
Hitung Z dengan metode Sobocinski dan Cornelius:
0.00307(r w - r o )(k h )(h.h c )
Z=
µ o Bo q o
Berdasarkan harga Z tersebut, hitung waktu breakthrough dengan metode Bournazel dan
Jeanson:
Z
(t d )BT =
3.0 - (0.7) Z
Hitung waktu breakthrough dengan metode Bournazel dan Jeanson, yaitu menggunakan
persamaan Sobocinski dan Cornelius dengan a = 0.7, yaitu:
µ o fhFk ( t d ) BT
t BT =
0.00137(r w - r o )(k h )(1 + M 0.7 )

k
dimana: Fk = h
kv
3. Gunakan waktu tembus air tBT sama dengan setengah harga tBT dari Bournazel dan Jeanson
di atas, yaitu:
1
t *BT = t BT
2
4. Hitung produksi kumulatif minyak sampai waktu tembus air berdasarkan batasan t *BT di
atas, sehingga:

Np = ( t *BT ) qT, STB


BT
5. Lakukan peramalan mulai dari waktu tembus air dengan anggapan pertambahan produksi
minyak sebesar ΔNp selama Δtang.

N p j+1 = N p + D Np
BT
atau
Npj
nj+1 = nj + Δn, dimana n j =
N

24
6. Tentukan hw dan ho dengan menggunakan metode Kuo dan DesBrisay:
é æ 1 - S wc öù
h w = H w + H o ên j+1 çç ÷÷ú
ëê è 1 - S wc - Sor øûú
é æ 1 - S wc öù
h o = H o ê1 - n j+1 çç ÷÷ú
êë è 1 - S wc - Sor øúû
7. Hitung (WC)lim, dimana:
Mh w
(WC)limit =
Mh w + h o
8. Tentukan (WC)d. Untuk ini diperlukan td dimana:

t * + Dt
t d = BT
t *BT
Berdasarkan harga td ini pilih persamaan (WC)d berikut:
(WC)d = 0 jika td < 0.5
(WC)d = 0.94 log td + 0.29 jika 0.5 £ td £ 5.7
(WC)d = 1.0 jika td > 5.7
9. Tentukan water cut nyata dimana:
(WC) = (WC)d(WC)lim
dan gunakan definisi water cut, yaitu:
(WC) = fw
10. Hitung laju alir minyak dengan water cut di atas:
q oj+1 = (1 - f wj+1 )q T

Ingat bahwa sampai waktu breakthrough, yang terproduksi hanya minyak, sehingga laju
alir minyak sampai waktu breakthrough adalah
q oj = q o BT = q T

Gunakan laju alir minyak rata-rata sebagai berikut:


q oj+1 + q oj
qo =
2
11. Hitung waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan tambahan kumulatif minyak jika laju
alir minyak adalah laju alir rata-rata:
DNp
Dt hit =
qo
12. Bandingkan Δthit dengan Δtang

25
Dt ang - Dt hit
< e . Bila memenuhi lanjutkan dengan selang produksi selanjutnya. Jika
Dt ang

tidak memenuhi kembali ke Langkah 8.

4.1 Peramalan Kinerja Reservoir Dengan Water Coning

Suatu reservoir minyak dengan bottom water drive dan berpotensi terjadi water coning
memiliki data sebagai berikut:
Ho = 42 ft, Hw = 60 ft, hc = 21 ft, qt = 100 STB/hari (konstan dari sebelum sampai sesudah
breakthrough), kh = 90 md, Fk = kh/kv = 10, M = lw/lo = 3.27, Swc = 0.288, Sor = 0.337, f =
0.25, D = 21 ft, re = 1053 ft, rw = 0.29 ft, µo = 1.44, rw = 1.095 gr/cc, ro = 0.861 gr/cc, Bo =
1.102 bbl/STB, e = 0.05.
Lakukan peramalan kinerja reservoir menggunakan prosedur Kuo dan DesBrisay.

Penyelesaian:
Prosedur peramalan memerlukan data N yang terhitung sebagai:

p(r e2 - r 2w )hf(1 - S wc)


N= STB
5.615 B o

p(10532 - 0.29 2)(42)(0.25)(1 - 0.288)


N= = 4.21x 10 6 STB
5.615(1.102)
Dengan mengikuti prosedur peramalan dari Kuo and DesBrisay, maka diperoleh hasil
perhitungan sebagai berikut:
0.000717(90)(1.095 - 0.861)(42)(21)
1. q c = = 8.4 STB/hari
(1.44)(1.102)
0.00307(1.095 - 0.861)(90)(42)(21)
2. Z = = 0.359
(1.44)(1.102)(100)
0.359
(t d )BT = = 0.131
3.0 - (0.7)(0.359)
(1.44)(0.25)(42)(10)(0.131)
t BT = = 208.5 hari
0.00137(1.095 - 0.861)(90)(1 + 3.27 0.7 )
1
3. t *BT = (208.5) = 104.5 hari
2
4. N p = (104.5) (100) = 10,450 STB
BT

26
5. Anggapan ΔNp = 5000 STB selama Δtang = 40 hari:
Untuk timestep pertama setelah breakthrough

Npj = Np = 10,450 STB, sehingga


BT

N p j+1 = N p + D N p = 10,450 + 5000 = 15,450 STB, atau


j

15,450
n j +1 = = 0.00367
4.21x 10 6

é æ 1 - 0.288 öù
6. h w = 60 + 42 ê0.00367ç ÷ú = 60.29 ft
ë è 1 - 0.288 - 0.337 øû
é æ 1 - 0.288 öù
h o = 42 ê1 - 0.00367ç ÷ú = 41.71 ft
ë è 1 - 0.288 - 0.337 øû
(3.27)(60.29)
7. (WC)lim it = = 0.825
(3.27)(60.29) + 41.71
104.5 + 40
8. t d = = 1.383, yaitu berada pada selang 0.5 £ td £ 5.7, sehingga
104.5
(WC)d = 0.94 log (1.383) + 0.29 = 0.421
9. (WC) = fw = (0.421)(0.825) = 0.348
10. q oj+1 = (1 - 0.348)(100) = 62.2 STB/hari

Untuk timestep pertama setelah breakthrough:


q oj = q o BT = 100 STB/hari, sehingga

100 + 62.2
qo = = 81.1 STB/hari
2
5000
11. Dt hit = = 61.7 hari
81.1
40 - 61.7
12. = 0.54 , yaitu lebih besar dari kriteria ketelitian e = 0.05.
40
13. Gunakan anggapan baru dimana Δtang = Δthit = 61.7 hari. Kembali ke Langkah 8.
104.5 + 61.7
8. t d = = 1.590 , yaitu berada pada selang 0.5 £ td £ 5.7, sehingga
104.5
(WC)d = 0.94 log (1.590) + 0.29 = 0.479
9. (WC) = fw = (0.479)(0.825) = 0.395
10. q oj+1 = (1 - 0.395)(100) = 60.5 STB/hari

Untuk timestep pertama setelah breakthrough:

27
q oj = q o BT = 100 STB/hari, sehingga

100 + 60.5
qo = = 80.25 STB/hari
2
5000
11. Dt hit = = 62.3 hari
80.25
61.7 - 62.3
12. = 0.0097 , yaitu memenuhi kriteria ketelitian e = 0.05.
61.7
13. Lanjutkan peramalan, yaitu kembali ke Langkah 5. Begitu seterusnya. Tabel berikut adalah
contoh hasil peramalan tersebut. Bagaimanakah perhitungan tersebut jika ΔNp = 1000
STB?

Tabel: Hasil Perhitungan Metode Kuo dan DesBrisay Untuk Contoh 3

j t (hari) Npj hwj hoj ( WC) j qj e

BT 104.1 10,407 60.00 42.00 0.000 100.00 -


1 165.8 15,407 60.29 41.71 0.396 80.189 0.01058
2 260.5 20,407 60.39 41.61 0.549 52.746 0.00099
3 391.0 25,407 60.48 41.52 0.686 38.245 0.00182
4 597.1 30,407 60.58 41.42 0.830 24.204 0.00232
5 888.8 35,407 60.67 41.33 0.828 17.137 0.00023

6 1179.3 40,407 60.77 41.23 0.828 17.213 0.00007


7 1470.7 45,407 60.86 41.14 0.829 17.158 0.00003
8 1763.0 50,407 60.96 41.04 0.829 17.103 0.00015

5. Stabilitas Batas Minyak-Air

Pada awal bab ini telah disinggung tentang fenomena tembus air yang diakibatkan oleh
kejadian fingering (atau tonguing). Fingering terjadi akibat ketidakstabilan water-oil contact
pada reservoir bottom water yang mempunyai kemiringan. Karena sumur produksi berada di
atas water-oil contact (berada di bagian atas struktur) dari reservoir yang miring, dan mungkin
pula ditambah oleh akibat gejala geologi dan/atau efek kapileritas, maka water-oil contact juga
dapat berada dalam keadaan tidak horizontal. Untuk melakukan analisis batas air minyak yang
tidak horizontal tersebut, tinjau skema berikut:

28
Perforasi
sumur

WOC •
B’
b
a
• • WOCi
A B

Gambar 13. Water breakthrough pada dip formation (Smith, Tracy, & Farrar, 1992)

Jika produksi dilakukan pada laju yang terlalu tinggi, maka water-oil contact dapat
menjadi tidak stabil karena air bergerak menuju sumur produksi pada bagian bawah struktur
mendahului minyak yang berada pada bagian atas struktur. Akibatnya water-oil contact yang
semula pada posisi A-B menjadi A-B’ seperti terlihat pada gambar skematik di atas. Untuk
reservoir yang mempunyai lapisan tunggal, hal ini hanya akan terjadi jika terdapat keadaan
unfavorable, yaitu mobility ratio, M, lebih besar dari 1.0. Dalam hal ini, air lebih mudah
bergerak dibandingkan dengan minyak. Karena pada umumnya densitas air lebih besar
daripada densitas minyak maka gravity force akan menyebabkan air cenderung tetap bergerak
di bawah minyak. Akan tetapi jika laju alir sangat tinggi, maka akan terjadi ketidakseimbangan
dinamis antara viscous force dan gravity force sehingga dengan keadaan unfavorable (M > 1)
water-oil contact menjadi tidak stabil. Sebaliknya, pada laju alir yang rendah maka water-oil
contact akan stabil dan bidang kontak bergerak secara horizontal. Jadi, yang dimaksud dengan
water-oil contact stabil adalah sudut antara bidang kontak dengan bidang struktur (yaitu sudut
a) adalah konstan. Jika karena sesuatu hal seperti disebutkan di atas bidang kontak tidak
horizontal, maka water-oil contact yang stabil artinya sudut β (yaitu sudut antara bidang kontak
dengan bidang struktur) konstan. Dengan kata lain, water-oil contact yang tidak stabil artinya
sudut β berkurang terhadap waktu yang dalam hal ini disertai keadaan dimana air mendahului
minyak.

29
Hubungan antara sudut β, sudut α, gravity forces, dan mobility ratio adalah:

tan b =
[G - (M - 1)]tan a
G
dimana
0.488( g w - g o )k A k rw sin a
G=
qtµw

k w / µ w k rw / µ w
M= =
k o / µo k ro / µ o
Observasi:
• Jika M = 1.0, maka water-oil contact akan tetap stabil, berapapun laju produksi
• Jika M < 1.0, maka water-oil contact pasti stabil, tidak mungkin tidak stabil. Kenyataannya,
sudut β akan cenderung lebih besar dibandingkan dengan sudut α.
• Jika G > (M-1), maka water-oil contact akan stabil.
• Jika G < (M-1), maka water-oil contact akan tidak stabil

Jadi, ketidakstabilan hanya akan terjadi jika M > 1. Dengan asumsi M > 1, maka ketidakstabilan
tersebut akan terjadi ketika G = (M-1). Oleh karena itu,” laju alir kritis,” yaitu laju maksimum
supaya water-oil contact tetap dalam keadaan stabil diperoleh dengan substitusi G = M – 1 pada
persamaan di atas untuk mendapatkan (qt)critical, yaitu:
k rw / µ w 0.488( g w - g o )k A k rw sin a
-1 =
k ro / µ o q tµw

atau
0.488( g w - g o )kASina
(q t )critical =
µo µ
- w
k ro k rw

6. Water coning control dengan menggunakan metode downhole water sink

Permasalahan produksi air khususnya akibat water coning sangat merugikan produksi
suatu sumur dan dapat menyebabkan menurunnya RF dari suatu reservoir. Penentuan critical
rate sebagai laju alir yang dianggap aman agar tidak terjadi water coning masih belum
memenuhi nilai keekonomisan dari suatu produksi sehingga operator lebih banyak memilih
untuk melakukan produksi sebanyak-banyaknya dengan memperhitungkan performance after
breakthrough daripada harus mengacu pada laju alir kritis produksi. Wojtanowicz et al, 1991

30
melakukan percobaan dengan memasang komplesi downhole water sink. Metode komplesi ini
digunakan untuk mengatasi permasalahan sumur dengan water cut tinggi dan strong aquifer.
Downhole water sink adalah metode komplesi yang digunakan dengan cara membuka dua
lapisan yang diproduksi, lapisan atas sebagai perforasi zona minyak dan bagian bawah
perforasi zona air. Kemudian tubing diset hingga bagian top perforation dari zona perforasi
aquifer dengan pemasangan packer digunakan untuk memisahkan zona perforasi minyak dan
zona perforasi air. Saat produksi minyak akan mengalir melalui annulus antara casing dengan
tubing sedangkan produksi air akan mengalir melalui tubing yang di pasang hingga zona
aquifer (dibawah water/oil contact). Air yang terproduksi melalui tubing dapat diproduksikan
ke permukaan atau dapat diinjeksikan kembali ke aquifer yang sama atau pun tidak. Dua cara
penanganan air dari aquifer ini terbagi menjadi 2 jenis yaitu Drainage – production dan
Drainage – Injection. Pathak dan Saxena membedakan downhole water sink berdasarkan media
alir air dan minyak menjadi 3 jenis sebagai berikut.

Pada tipe pertama digunakan satu tubing untuk dual completioan dengan minyak
mengalir melalui annulus antara tubing/casing dan air diproduksi melalui tubing. Pada tipe
kedua terdapat dua tubing untuk dual completion dengan minyak dialirkan melalui tubing dari
zona perforasi yang disekat dengan packer dan air diproduksi melalui tubing kemudian melalui
annulus antara tubing dengan casing. Sedangkan tipe 3 menggunakan dua tubing untuk dual
completion dengan masing – masing minyak dan tubing mengalir melalui tubing masing-
masing.

31
Gambar 14. Downhole water sink technology (Okon & Olagunju, 2017)

DWS technology dapat meningkatkan produksi minyak pada sumur vertical atau
moderate deviated dengan cara membuat differential pressure untuk membuat air pada aquifer
bergerak menjauh dari zona perforasi minyak saat terproduksi. Prinsip kerja dari penggunaan
teknologi DWS adalah membuat equivalent drawdown pressure atau pressure sink tepat pada
atau dibawah water/oil contact yang nilainya sama atau kurang dari ΔP disepanjang zona
perforasi minyak. Drawdown pressure pada zona aquifer ini mengurangi pembentukan water
cone ke zona. Air kemudian dapat diinjeksikan kembali ke aquifer sebagai pressure
maintenance atau diolah dipermukaan untuk persiapan reinjection pada disposal well.

Dalam menangani permasalah ketidakmampuan mengolah hasil produksi air di


permukaan, teknologi downhole water loop digunakan. Pada metode ini digunakan dual
completion pada zona aquifer dengan perforasi bagian atas zona aquifer sebagai media
produksi dari air dan pada bagian bawah perforasi sebagai media injeksi air hasil produksi dari

32
zona aquifer. pada annulus anatar zona perforasi di aquifer dipasang packer dan tubing
dipasang sliding sleeve door sebagai tempat masuknya air dari aquifer untuk dinjeksikan
kembali. Pada tubing di bagian atas OWC dipasang valve/cock sebagai penghalang agar tidak
ada air yang terproduksikan. Metode ini dapat mengurangi water coning sekaligus menjaga
agar pressure support dari air tetap terjaga. Dengan metode ini juga dapat meningkatkan critical
rate sampai 2 -4 kali lebih besar dari pada critical rate dengan komplesi biasa (Okon, 2018).

Gambar 15. Downhole water loop technology (Anthony & Al-Mosaileekh, 2016)

Aplikasi downhole water sink telah dilakukan oleh schlumberger pada lapangan di Kuwait.
Peralatan yang digunakan dengan fungsinya tercantum sebagai berikut:
a. Sliding sleeve
Digunakan sebagai alat untuk membuka tubing sehingga ada media bagia minyak
(diatas OWC) dapat masuk ke tubing dan terproduksi
b. Landing nipple with plug
Untuk memisahkan antara aliran dari zona perforasi minyak dengan water sink dari
zona aquifer
c. Y tool with bypass tubing
Alat ini digunakan untuk memungkinkan adanya aliran balik dari water sink perforation
ke zona injeksi yang ada di bawahnya.
d. Seal bore packer

33
Untuk mengisolasi antara zona water sink dengan zona injeksi dibawahnya
e. ESP packer
Dipasang dekat dengan OWC untuk memisahkan antara aliran natural flow dari zona
perforasi minyak dengan zona di bawah OWC (water sink zone)
f. Pump out plug with wireline entry guide
Digunakan untuk menset packer baik ESP packer maupun seal bore packer.

Berdasarkan hasil studi yang didapatkan dengan menggunakan DWS oil production meningkat
15% dengan water cut secara konsisten menurun dan stabil pada to nilai 70% water cut.

Besarnya keberhasilan aplikasi DWL juga dipengaruhi oleh jarak antara downhole sink
perforation dengan injection perforation. Berdasarkan jin dan wojtanowicz semakin besar jarak
tersebut maka akan meningkatkan performance sumur dengan mengurangi water cut yang
terproduksi dan meningkatkan produksi sumur. Dengan meningkatkan jarak antara drainage
dengan injection perforation akan membuat air yang diinjeksikan akan lebih memberikan efek
energy drive (pendorong) yang lebih kuat dan membuat pressure drawdown pada zona drainage
lebih kecil sehingga water cut akan tetap terjaga. selain itu semakin besar jarak spasi antara
drainage dan injection perforation memungkinkan terjadinya gravity separation jika terdapat
minyak yang ikut terproduksi melalui drainage perforation sehingga dapat mengurangi efek
kontaminasi minyak terhadap aquifer. Namun pada kondisi tertentu penambahan spasi antara
drainage dengan injection memiliki batas sehingga penambahan spasi tidak akan
mempengaruhi performance dari sumur. Pada penggunaan metode DWL, harus dipastikan
bahwa looping dari air yang terproduksi harus oil free, karena jika tidak maka akan
menyebabkan kontaminasi dan kerusakan pada aquifer yang digunakan sebagai tempat injeksi.
Pada kondisi tertentu drainage to injection space memiliki nilai optimum dan pada kondisi ini
laju produksi minyak yang didapatkan merupakan laju produksi maksimum.

34
DAFTAR PUSTAKA

Anthony, E., & Al-Mosaileekh, S. (2016, November 14-16). Downhole Water Sink
Technology Improves Recovery and Rates from Strong Water Drive Reservoir in North
Kuwait-A Pilot Case Study. International Petroleum Technology Conference.
Jin, L., & Wojtanowicz, A. K. (2010). Performance Analysis of Wells With Downhole Water
Loop Instalation for Water Coning Control. Journal of Canadian Petroleum
Technology, 38-45.
Karp, J. C., & al, e. (1961, July 8 - 11). Horizontal Barriers for Controlling Water Coning.
Annual Fall Meeting of SPE, pp. 783 - 790.
Muskat, M., & Wyckoff, R. D. (1934). An Approximate Theory of Water-coning in Oil
Production. Tulsa.
Nashawi, I. S., & Hashem, Y. S. (2009). A Depletion strategy for an Active Bottom - Water
Drive Reservoir Using Analytical and Numerical Models-Field Case Study. Journal of
Heat Transfer.
Okon, A., & Olagunju, D. (2017). Water Coning Control: A Comparison of Downhole Water
Sink and Downhole Water Loop Technologies. Journal of Scientific and Engineering
Research, 137 - 148.
Permadi, A. K. (2016). Introduction to Petroleum Reservoir Engineering. Bandung: Penerbit
ITB.
Smith, c. r., Tracy, G. W., & Farrar, R. L. (1992). APPLIED RESERVOIR ENGINEERING
VOL. 2. Tulsa, Oklahoma: OIL & GAS CONSULTANTS INTERNATIONAL, INC.
Thomas, F. B. (2002). Production Well Water Coning—Is There Anything We Can Do ?
Canada International Petroleum Conference. Canada: Petroleum Society Journals.

35

Anda mungkin juga menyukai