Anda di halaman 1dari 18

Tahap dalam Proses Peradilan Pidana

Sebagai negara hukum, Peradilan adalah mutlak diperlukan sebab dengan peradilan akan
dapat mewadahi dan mengimplementasikan berbagai persoalan hukum ke dalam bentuk yang
konkrit. Dengan peradilan itu akan dapat terjadi proses-proses hukum sebagai salah satu wujud
legitimasi atau pengabsahan atas berbagai perilaku baik dalam hubungan individual mauun dalam
hubungan kelompok sosial kemasyarakatan.

Ketika proses-proses hukum khususnya pidana itu terjadi melalui Lembaga Peradilan,
berarti telah terjadi proses peradilan pidana yang tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan
sebagaimana yang dicita-citakan oleh semua pihak. Keadilan adalah menjadi tujuan dalam upaya
menyelenggarakan peradilan, namum tidak pula menutup tujuan lainnya yakni tujuan yang juga
menjadi tujuan negara kita sekaligus menjadi tujuan pembangunan negara yakni mewujudkan
suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spritual berdasarkan pancasila.

Proses Peradilan Pidana dapat dimaknai sebagaimana keseluruhan tahapan pemeriksaan


terhadap perkara pidana untuk mengungkap perbuatan pidana yang terjadi dan mengambil
tindakan hukum kepada pelakunya. Proses peradilan Pidana melalui beberapa tahapan yang
masing-masing tahapan diwadahi oleh institusi dengan struktur dan kewenangan masing-masing.
Dalam pandangan sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut
serta mengambil peran dalam melakukan proses peradilan pidana diantaranya adalah Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan. Masing-masing institusi bertanggung jawab dan
bekerja sesuai derngan tugas dan kewajibannya.

Dari keseluruhan rangkaian proses peradilan pidana dan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dapat disimpulkan bahwa proses peradilan pidana Indonesia dapat dibagi
kedalam 4 (empat) tahapam yakni:

1. Penyelidikan dan Penyidikan, tahapan ini menjadi tanggungjawab kepolisian;


2. Penuntutan, tahap ini menjadi tanggungjawab Kejaksaan;
3. Pemeriksaan disidang dan Putusan, Tahap ini menjadi tanggungjawab Pengadilan;
4. Pelaksanaan Putusan/Eksekusi, tahap ini menjadi tanggungjawab Pemasyarakatan.
Penyelidikan dan Penyidikan

Tahapan ini adalah awal dari proses pemeriksaan perkara pidana, keberhasilan tahap ini
menentukan tahapan selanjutnya. Tahapan ini menjadi urusan dan tanggungjawab institusi
kepolisian. Sekalipun kedua tahapan ini berada dikepolisian namun keduanya memiliki tujuan dan
wilayah kerja yang berbeda. Untukitu pada uraian ini akan dijelaskan secara terpisah sebagai
berikut:

1. Tahapan Penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untukmencari dan menemukan suatu


peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur. Dalam hal ini yang melakukan tindakan penyelidikan sesuai
dengan ketentuan Pasal 3 KUHAP adalah seorang penyelidik, sementara itu Pasal 1 angka 4
KUHAP menyebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat Polisi NRI yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari


keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan
penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk
menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penagkapan tersebut harus didasarkan pada bukti
permulaan yang cukup.

Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas
praduga tak bersalah (presumption of Innocence) sebagai mana disebutkan dalam penjelasan
umum butir 3c KUHAP. Penerapan hak asasi ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan
hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum.
Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada Penyidik.

2. Tahap Penyidikan

Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sesuai dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini untu mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Penyidik yang dimaksud di dalam
ketentuan KUHAP adalah Pejabat Polisi NRI dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu
yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.

Jika memperhatikan keseluruhan ketentuan di dalam KUHAP dapat kita tarik kesimpulan
proses penyidikan yang dilakukan adalah dapat digambarkan sbb:

a. Diawali dengan adanya bahan masukan tindak pidana


b. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian
c. Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi. Melakukan upaya paksa yang
diperlukan
d. Pembuatan berita acara

Penyidikan yang dilakukan didahului dengan pembertahuan kepada penuntut umum bahwa
penyidikan atas suatu peristiwa pidana telah dimulai atau yang biasa disebut Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP). Apabila dalam penyidikan tidak ditemukan cukup bukti yang
dapat menguatkan atau peristiwa tersebut bukan suatu tindak pidana penyidikan dapat dihentikan
demi hukum. Apabila korban atau keluarganya tidak menerima penghentian penyidikan tersebut
maka korban atau keluarganya dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Jika berkas perkara kurang lengkap maka penyidik
harus segera mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuk dan apabila dalam wakti 14 hari
berkas tidak kembali maka penyidikan dianggap selesai.
Penuntutan

Tahan Penuntutan adalah tahap pada wilayah institusi kejaksaan, dengan memberi
kewenangan penuh kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan. Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan.

Sebelum jaksa penuntut umum melakukan penuntutan umumnya didahului dengan


“prapenuntutan” yakni mempelajari dan meneliti kembali Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang
diajukan oleh Penyidik termasuk mempersiapkan surat dakwaan sebelum dilakukan penuntutan.
Tujuannya adalah dalam rangka mengetahui BAP sudah lengkap atau belum, atau untuk
mengetahui berkas perkara itu telah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan atau
belum. Jika dalam penuntutan ditemukan kekurangan atau tidak lengkapnya persyaratan yang
diperlukan. JPU dapat mengembalikan BAP tersebut ke penyidik untuk dilengkapi dengan
memberi petunjuk hal-hal yang perlu dilengkapi.

Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut
umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka
dalam tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera
dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnya, suret ketetapan yang dimaksud tersebut diberitahukan
kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga
atau penasehat hukum, pejabat rumah tahana negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini
maka dapat dimohonkan prapradilan, sebagaimana yang diatur dalam BAB X, bagian kesatu
KUHAP dan kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka.

Jika jaksa penuntut umum Berpendapat bahwa BAP yang disampaikan oleh penyidik telah
lengkap maka dapat dilakukan penuntutan, yakni secepatnya harus segera dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri setempat, dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai
dengan surat dakwaan. Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum diberi tanggal dan
ditandatangani olehnya. Surat dakwaan tersebut berisikan identitas tersangka dan uraian secara
cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu
dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan.

Penuntutan suatu perkara dapat dilakukan dengan bernbagai cara. Cara ini tergantung berat
ringannya suatu perkara yang terjadi. Jika perkara tersebut termasuk perkara biasa yang
ancamannya datas satu tahun, maka penuntutannya dilakukan dengan cara biasa. Penuntutan
perkara dengan cara biasa ditandai dengan adanya acara yang telah disusun oleh penyidik. Ciri
utama dari penuntutan ini, yakni selain disertai dengan surat dakwaan yang disusun secara cermat
dan lengkap oleh jaksa penuntut umum dan penuntut umum yang menyerahkan sendiri berkas
perkara tersebut dan harus hadir pula di persidangan.

Selain penuntutan secara biasa tersebut, penuntutan dapat pula dilakukan secara singkat.
Penuntutan ini dilakukan jika perkaranya ancaman pidananya lebih ringan yakni tidak lebih dari
satu tahun penjara. Berkas perkara yang dikeluarkan biasanya tidak rumit sekalipun demikian
jaksa penuntut umum tetap membuat dan mengajukan surat dakwaan yang disusun secara
sederhana. Penuntutan jenis ini, penuntut umum langsung mengantarkan berkas perkara ke
pengadilan yang kemudian didaftarkan dalam buku registrasi oleh panitera pengadilan.

Jenis penuntutan lainnya adalah penuntutan dengan cara cepat. Penuntutan jenis ini terjadi
pada perkara yang ringan atau perkara lalulintas, yang ancaman pidananya tidak lebih dari tiga
bulan. Penuntutan perkara tidak dilakukan oleh jaksa penuntut umum melainkan diwakili oleh
penyidik Polri. Pada penuntutan ini tidak dibuat surat dakwaan, melainkan hanya berupa catatan
tentang kejahatan atau pelanggaran yang dlakukan. Catatan tentang kejahatan atau pelanggaran
inilah yang diserahkan ke pengadilan sebagai pengganti surat dakwaan.

Swlanjutnya Pasal 141 KUHAP menentukan bahwa penuntut umum dapat melakukan
penuntutan dengan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila
waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas. Penggabungan perkara ini
dapat dilakukan asal memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 141 PUHAP itu sendiri
yaitu:
1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain;
3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang
satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut
perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 141 huruf b KUHAP diatas,
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana yang dianggap mempunyai sangkut paut
satu dengan yang lain itu adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan:

1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan
pelaksanaan dari pemufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
3. Oleh seseorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak
pidana lain.

Berbeda dengan Pasal 141 KUHAP yang memungkinkan penggabungan perkara, Pasal 142
KUHAP justru memungkinkan penuntut umum melakukan pemisahan perkara. Pemisahan perkara
ini dapat dilakukan dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam
ketentuan Pasal 141 KUHAP. Penuntut umum dalam hal ini melakukan penuntutan terhadap
masing-masing tersangka secara terpisah.

Berkas perkara seperti ini misalnya dalam perkara korupsi yang melibatkan banyak seperti
Bupati, Walikota, Kepala Jawatan Bendaharawan, pengawas-pengawas dan lainnya. Dalam
perkara korupsi ini dapat saja terjadi beberapa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana
yangberbeda-beda dan dilakukan oleh orang yang berbeda pula. Jika berkas perkara korupsi ini
jadi satu, maka penuntut umum dapat memecah (splitsing) untuk kemudian melakukan penuntutan
terhadap terdakwa secara terpisah.
Tahap Pemeriksaan Pengadilan

Tahap Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan dapat dilakukan dengan


menggunakan tiga acara pemeriksaan yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat. Pembagian
dalam tiga acara ini sebenarnya merupakan perwujudan untuk menjabarkan asas peradilan cepat,
sederhana dan biaya ringan. Di samping itu, didasarkan pula atas berat ringannya kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan. Dibawah ini akan dilukiskan pemeriksaan tersebut namun lebih fokus
pada proses pemeriksaan dengan acara pemeriksaan biasa.

Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut
diajukan ke pengadilan. Tindak pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus
oleh majelis hakim Pengadilan Negeri ysng berjumlah tiga orang.

Tahap pemeriksaan disidang pengadilan diawali dengan menetapkan majelis hakim,


selanjutnyya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum
kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir
apabila tempat tinggalnya tidak diketahui. Dalam hal terdakwa telah dipanggil tetapi tidak hadir
pada sidang tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan tersebut dapat dilangsungkan dan hakim
ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.

Dalam hal terdakwa lebih dari seorang dan tidak semua hadir pada hari sidang,
pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Hakim ketua sidang dapat
memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara paksa, dalam hal telah dua kali dipanggil secara
sah akan tetapi tidak hadir.

Setelah tiba hari persidangan, hakim menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum,
kecuali dalam perkara tertentu dimana sidang harus dinyatakan tertutup untuk umum. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan identitas terdakwa, kemudian diteruskan dengan pembacaan surat dakwaan
oleh Jaksa Penuntut Umum.

Terdakwa atau penasehat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan, kemudian setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan
pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil
keputusan. Dalam hal keberatan diterima maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Namun apabila
keberatan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut dapat diputus setelah selesai
pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.

Proses pemeriksaan diteruskan dengan pembuktian. Bagian ini yang paling penting dari
tiap tahap atau proses perkara pidana, khususnya bagi terdakwa karena dari hasil pemeriksaan
inilah tergantung apakah terdakwa akan dinyatakan terbukti atau tidak, bersalah atau tidak
sehingga akan mewarnai putusan hakim.

Pada proses pembuktiam ini harus didasarkan pada ajaran-ajaran atau teori sehingga
pembuktian itu dapat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum pembuktian. Dalam literatur
dikenal berbagai macam teori pembuktian yakni:

1. Conviction Intime

Conviction Intime dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan atas keyakinan hakim
belaka. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu
putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim,
artinya jika ada pertimbangan putusan hakim telah menganggapo terbutki suatu perbuatan sesuai
dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, maka terdakwa yang diajukan kepadanya dapat
dijatuhkan putusan. Teori ini adalah yang menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika
sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.

Konsekuensi dari sistem pembuktian yang dimiliki tidak membuka kesempatan atau paling
tidak menyulitkan bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan dengan menyodorkan buktu-bukti
lain sebagai pendukung pembelaannya itu. Tidak mengakui dan menerimanya bukti-bukti lain
dapat berakibat putusan hakim menjadi tidak populer dan bahkan menjadi aneh di mata
masyarakat.

2. Conviction Rasionnee

Sistem Pembuktian Coviction Rasionnee adalah sistem pembuktian yang masih tetap
menggunakan keyakinan hakim, numun keyakinan hakim menggunakan alasan-alasan (reasoning)
yang rasional. Berbeda denga sistem Conviction Intime, maka dalam sistem ini hakim tidak lagi
memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, karena keyakinan harus diikuti dengan
alasan-alasan yang mendasari keyakinannya. Dan alsan-alasan itupun harus “reasionable” yakni
berdasar alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran.

Sistem Coviction Rasionnee masih menggunakan dan mengutamakan keyakinan hakim di


dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, sistem ini tidak menyebutkan adanya alat-
alat bukti yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari pada keyakinan
hakim semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem ini hampir sama dengan
sistem pembuktian Conviction Intime, yakni semata-mata menggunakan keyakinan hakim,
bedanya adalah terletak pada ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim.
Jikan dalam sistem Conviction Intime keyakina hakim bebas tidak dibatasi oleh alasan-alasan
apapun, sementara dalam pembuktian Conviction Rasionnee kebebasan itu tidak ada melainkan
terkait oleh alasan-alasan yang dapoat diterima oleh akal sehat.

3. Positief Wettelijk Bewijstheorie

Teori ini adalah teori pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara
positif. Pembuktian menurut teori ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang
sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan
seseorang, hakim harus mendasarkan kepada alat-alat bukti yang tersebut di dalam undang-
undang, jika telah terpenuhinya alat-alat tersebut, maka hakim sudah cukup alasan untuk
menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat
bukti yang ada.

Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah sistem pembuktian yang
bertolak belakangdengan teori pembuktian manurut keyakinan atau Conviction Intime. Keyakinan
hakim dalam ini tidak diberi kesempatan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan terdakwa,
keyakinan hakim harus dihindari dan tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam
menentukan kesalahan seseorang. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa semata-mata
digantungkan kepada alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan
pembuktian menurut undang-undang sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim.
Ajaran pembuktian yang didasari undang-undang berusaha menghindarkan dari dari segala
pertimbangan hakim yang bersifat subjektif, hakim dalam ajaran ini hanya sebagai corong undang-
undang, sebagai robot pelaksana undang-undang yang dianggap tidak memiliki hati nurani, jika
hati nurani itu ada harus disingkirkan tidak berhak untuk hadir dan dibatalkan dalam pengambilan
putusan.

4. Nagatief Wettelijk Bewijstheorie

Nagatief Wettelijk Bewijstheorie atau pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif


adalah pembuktian yang selain meggunakan alat bukti yang dicantumkan dalam undang-undang,
juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim namun keyakinan
hakim terbatas pada alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan menggunakan alat
bukti yang tercantum adlam undang-undang dan keyakinan hakim makan teori pembuktian ini
sering juga disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag).

Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah sistem yang


menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem
pembuktian menurut keyakinan atau Conviction Intime. Dari hasil penggabungan kedua sistem
yang saling bertolak belakang tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif.

Dengan memperhatikan keseliruhan pembahasan terhadap teori-teori terebut diatas, maka


manakah diantara keempat teori tersebut yang dianut dalam Peradilan Indonesia? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, kita perlu membaca Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya”

Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa dalam pembuktian diperlukannya sekurang-kurangnya


dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Kedua syarat tersebut, memungkinkan hakim
menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa, sebaliknya jika kedua hal itu tidak dipenuhi berarti
hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.
Dari penjelasan tersebut, nyatalah bahwa sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia
sekarrang adalah sispem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Nagatief Wettelijk
Bewijstheorie), karena kedua syarat yang harus dipenuhi dalam sistem pembuktian ini, telah
tercermin dalam Pasal 183 dan dilengkapi dengan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat
bukti yang sah. Lebih jelasnya lagi bahwa kuhap menganut sistem pembuktian negatief wettelijk
adalah terlihat didalam undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang
paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum.

Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan pada alat
bukti yang disebutkan dalam undang-undang disertai dengan keyakinan hakim atas alat bukti yang
diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari:

1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; dan
5. Keterangan Terdakwa

Disamping itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga menganut minimum
pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimum
pembuktian berarti dalam pembuktian suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan
sejumlah alat bukti. KUHAP memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yang
minimalnya dua alat bukti disertai dengan keyakinan hakim.

Setelah pemeriksaan telah dilaksanakan, tuntutan pidana, pembelaan, replik dan duplik telah
dijatuhkan dalam persidangan, maka tiba saatnya majelis hakim memberikan putusan. Putusan
majelis hakim diambil dalam suatu musyawarah majelis hakim yang merupakan pemufakatan yang
berhasil dicapai. Apabila kebulatan tidak dapat diperoleh maka didasarkan dengan suara
terbanyak, apabila mekanisme itu masih belum tercapai suara bulat, maka putusan yang dipilih
adalah pendapat hakim yang menguntungkan terdakwa.
Sumber:

1. Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta, UII Perss, 2011
2. Undang-Undang No. 18 Tahun 1981 Tentang Kutab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun
1986 Tentang Peradilan Umum
Banding
Kasasi
Peninjauan Kembali
Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pada Pasal 270 KUHAP menentukan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan
salinan surat putusan padanya. Sejalan dengan ketentuan KUHAP tersebut dijelaskan pula bahwa
dalam Pasal 36 Undang-Undang NO. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa
pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

Proses pelaksanaan putusan pengadilan yang telaah mempunyai kekuatan hukum tetapi
adalah berbeda berdasarkan jenis pidana yanya ada. Pada bagian ini akan dijelaskan prosedur
pelaksanaan putusan pengadilan berdasarkan jenis pidana yang dijatuhkan.

A. Pidana Mati

Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-006/J.A/4/1995 Tentang Pelaksanaan Buku


Panduan Penanganan Perkara Pidana Umum, menentukan tentang pelaksanaan putusan pidana
pengadilan/eksekusi dalam hal pidana mati sebagai berikut:

1. Melakukan koordinasi dengan polri untuk menentukan waktu dn tempat pelaksanaan pidana
mati serta tenaga dan alat-alat yang dperlukan;
2. Menyiapkan laporan persiapan pelaksanaan pidana mati kepada Jaksa Agung oleh
Kejati/Kejari;
3. Menyiapkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadikan;
4. Memberitahukan kepada terpidana dan keluarganya tentang penolakan grasi dan pelaksanaan
pidana mati 3 (tiga) hari sebelum saat pelaksanaan dengan membuat Berita Acara (BA);
5. Memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati, yakni dilaksanakan
dengan ditembak sampai mati dengan cara sederhana mungkin dan tidak di muka umum
dengan jalan di pegang regu tembak Brimob terdiri dari 12 Tamtama dipimpin seorang
perwira dengan menggunakan senjata non-organik;
6. Saat akan ditembak ditutup dengan kain hitam mata terpidana;
a. Jarak tembak tidak lebih dari 10 meter dan tidak kurang dari 5 meter;
b. Isyarat pelaksanaan dilakukan oleh komandan regu penembak dengan menggunakan
pedang;;
c. Saat diangkat keatas berarti perintah siap untuk menembak dengan membidik arah
jantung;
d. Menyentakkan pedang kearah bawah secara cepat berarti perintah untuk menembak;
e. Bika ternyata belum mati Komandan regu penembak memerintahkan bintara regu
tembak untuk melepaskan tembakan pada kepala bagian atas telinga terpidana;
f. Dikter yang ikut serta memastikan terpidana sudah mati memberikan surat keterangan
kematian;
g. Penguburan diselenggarakan kepada keluarga atau sahabatnya dengan membuat berita
acara, kecuali jaksa tinggi menentukan lain;
h. Membuat BA Pelaksanaan hukuma mati yang tembusannya disampaikan ke MA,
MENKEH, Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda yang bersangkutan, Karo Hukum,
Sekertaris Negara, Kejati dan Kapolda.

B. Pidana Penjara Atau Kurungan

Prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara atau kurungan antara lain:

1. Menerima salinan pitusan pengadilan dan panitera pengadilan negeri yang bersangkutan
dalam waktu 1 minggu untuk perkara biasa dan 14 hari untuk perkara dengan acara singkat;
2. Kepala Kejaksaan menggunakan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan;
3. Menyerahkan terpidana kepada Lembaga Pemasyarakatan;
4. Membuat Laporan Pelaksanaan.

Berdasarkan prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara atau kurungan
pada poin 2 disebutkan bahwa kepala kejaksaan negeri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan
putusan pengadilan, dengan dikeluarkannya surat perintah tersebut maka jaksan segera
menjalankan tugasnya untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan.

Kemudian apabila seorang terpidana dipidana penjara atau kurungan lebih dari satu putusan,
maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu
(Pasal 273 KUHAP).
C. Pidana Denda dan Ganti Kerugian

Pelaksanaan putusan pidana denda, dilaksanakan dalam waktu 1 bulan, kecuali apabila ada
alasan yang mendesak maka Jaksa dapat memberi kesempatan menunda pembayaran dengan 1
bulan lagi. Akan tetapi hal tersebut tentang pemberian waktu pembayaran denda tidak
dimungkinkan pada putusan pidana dalam acara pemeriksaan ceat karena dalam putusan acara
cepat pembayarannya harus segera dilunasi.

Apabila dalam putusan pidana tersebut juga menetapkan bahwa ada barang bukti dirampas
untuk negara dan tidak terikat guna bukti perkara lain, maka jaksa menguasakan denda kersebut
kepada kantor lelang negara dan dalam waktu 3 bulan untuk dilelang, yang hasilnya dimasukkan
ke kas negara untuk dan atas nama jaksa (Pasal 273 ayat (3) KUHAP).

Adapun pelaksanaan putusan ganti kerugian telah tegas ditentukan dalam Pasal 274 KUHAP
bahwa pelaksanaan atas suatu ganti kerugian dilakukan menurut tatacara putusan perdata. Dengan
demikian acaranya bagi pelaksanaan atas ganti kerugian ini diperlakukan H.I.R, bagian perkara
perdata, karena hingga kini belum ada hukum acara perdata lain, selain yang diatur dalam HIR
apabila pengadilan menjatuhkan biaya perkara dan ganti kerugian kepada lebih dari satu orang
terpidana, maka biaya perkara dan ganti kerugian tersebut dibebankan kepada mereka bersama-
sama secara berimbang (Pasal 275 KUHAP).

Anda mungkin juga menyukai