Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN

Allah swt. berfirman,


‫خل و ن أ‬
‫حقق ووب مهم ي وعند مألوُ و‬
‫ن‬ ‫ن مباَل ن و‬
‫دو و‬
‫ة ي وهن أ‬
‫م ة‬
‫قوناَ أ م‬ ‫ن و‬
‫م ن‬
‫م م‬
‫وو م‬
( 181 ،‫)العأراف‬
Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan, ada umat yang
memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula)
mereka menjalankan keadilan. (QS. al-A'rāf/7: 181)

Nabi saw bersabda,


Hadis Sahīh dalam Muwathta’ Mālik,
Sunan Abū Dāwud, Ibn Mājah, al-Dārimiy, dan Musnad
Ahmad bin Hanbal :
‫عأ و و‬
‫ن‬‫ إ م م‬e ‫ل الل مهم‬ ‫سوُ أ‬ ‫ل ور أ‬ ‫ل وقاَ و‬ ‫ك وقاَ و‬ ‫ماَل م ك‬
‫ن و‬ ‫س بن م‬ ‫ن أن و م‬ ‫ن‬
‫ن‬
‫سب نمعيِ و‬‫دىَ وو و‬ ‫ح و‬ ‫ت عأ وولىَ إ م ن‬ ‫ل افنت وورقو ن‬ ‫سورامئيِ و‬ ‫ب ومنيِ إ م ن‬
‫و‬ ‫ة وإ أ‬
‫ن‬
‫سب نمعيِ و‬
‫ن وو و‬ ‫فت ورمقأ عأ ولىَ ث من نت ويِ ن م‬ ‫ست و ن‬‫م متيِ و‬ ‫نأ م‬ ‫فمنرقو ة و م م‬
‫سن مةم‬‫ل ال أ‬ ‫يِ أ وهن أ‬
‫حد وة ة ووه م و‬ ‫ة ك أل لوهاَ مفيِ المناَرم إ ممل ووا م‬ ‫فمنرقو ة‬
‫ة‬
‫ماَعأ و أ‬
‫ج و‬ ‫ووال ن و‬
Dari Anas bin Mālik berkata : Rasulullah saw bersabda: Sungguh
Bani Israil telah terpecah menjadi 71 golongan, dan ummatku akan
terpecah menjadi 72 golongan, semuanya calon penghuni neraka
kecuali satu golongan (akan menghuni surga), yakni golongan
Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah (Aswajah).

1
Aswajah adalah,
pengikut sunnah, dan golongan mayoritas ulama,
umat Islam dari generasi ke generasi yang ber-
pegang teguh pada Alquran hadis dalam
bidang aqidah, syariah, dan akhlak.
II. SENSE SEJARAH TEOLOGI ISLAM
DAN ASWAJAH

Teologi adalah ajaran dasar suatu agama. Mem-


pelajari teologi, akan memberi keyakinan kuat terhadap
kebenaran doktrin agama. Konsepsi teologi Islam, dipelajari
dalam ilmu ushūl al-dīn yang intinya pada masalah akidah.
Pembahasan soal akidah dalam Islam, muncul setelah
timbulnya pembicaraan tentang pelaku dosa besar, di akhir
masa kekhalifahan. Ketika itu terjadi tahkīm, perundingan
perdamaian antara Ali dan Mu'awiyah. Pihak Ali diwakili
Abū Mūsa al-Asy'ary seorang moralis, berhadapan dengan
'Amr bin al-'Ash seorang politis yang mewakili Mu'awiyah,
dan dengan kelicikannya, setelah Abū Musa al-Asy'ary
menyetujui pencopotan Ali sebagai khalifah, tampillah 'Amr
bin al-Ash mengumumkan pengangkatan Mu'awiyah meng-
gantikan Ali sebagai khalifah.
Dari kasus di atas, timbullah konsep dosa besar yang
dipelopori oleh Khawarij yang keluar dari barisan Ali.
Mereka memandang yang terlibat dalam tahkīm telah
melakukan dosa besar, dan dinyatakan kafir, murtad, tidak
beriman lagi kepada Allah. Dari sini dipahami bahwa iman
bagi Khawarij sangat tergantung pada amal. Di samping
Khawarij muncul juga Mur'jiah yang lebih mengutamakan
akidah, dan mereka yakni bahwa pelaku dosa besar tidak
merusak iman.

2
Akhir kekhalifahan Umayyah (abad ke-7 M), muncul
faham Muktazilah dipelopori Washil ibn Atha' yang
menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin, dan
tidak pula kafir. Ajaran Muktazilah, (1) al-manzilah bayn al-
manzilatayn, (2) al-tauhid, (3) al-adl, (4) al-wa'd wa al-wa'id, (5)
al-amr bi al-ma'rūf wa al-nahy 'an al-munkar. Pemikiran
Muktazilah, logis dan filosofis, lebih mengutamakan rasio
ketimbang nash Alquran. Sebab menurutnya, Alquran adalah
makhluk, bukan perkataan Tuhan. Pemikiran seperti ini,
mengakibatkan muncul aliran teologi baru yang dipelopori
Abū Hasan al-Asy'ariy selanjutnya disebut Asy'ariyah.
Pemikiran Asy'ariyah bertumpuh secara tekstual pada
sunnah (tradisi) yang bersumber dari nabi dan para sahabat-
nya, dan kemudian aliran ini dikenal dengan sebutan Ahl al-
Sunnah. Paham Asy'ariyah ini, dikembangkan lagi oleh imam
Abū Hamid al-Ghazali, yang dikenal sebagai pemikir dan
sufi. Pengembangan lebih lanjut, muncul aliran teologi baru
yang dipelopori Abū Manshur al-Maturidy yang selanjutnya
disebut Maturidiyah. Pemikiran Maturidiyah sejalan dengan
Asy'ariah menentang Muktazilah. Namun aliran teologi ini
tidak bersifat setradisional Asy'ariyah, juga tidak seliberal
dengan Muktazilah.
Pemikiran Asy'ariyah dan Maturidiyah, terus meng-
alami perkembangan, dan menjadi mainstrem (arus utama)
pemahaman keagamaan dengan merujuk pada pemikiran
imam-imam mazhab, dan pada gilirannya dinisbatkan pada
sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā'ah, selanjutnya disingkat
Aswajah. Paham Aswajah seperti ini, dikembangkan lebih
lanjut di Indonesia, dipelopori Hasyim Asy'ary.
Paham Aswajah Hasyim Asy'ary yang kemudian
menjadi simbol NU di Indonesia, merupakan kontsruksi
pemikiran dan sekaligus praktek keagamaan yang didasar-

3
kan pada tradisi (sunnah) Nabi, para sahabatnya, dan para
ulama mazhab, sekalipun mazhab yang paling mendominasi-
nya adalah paham Syafi'iyah.
Penyetaraan aspek doktrin teologi Asy'ariyah dengan
paham Syafi'iyah sangat memungkinkan karena, dalam
merekonstruksi sebuah paham, keduanya sama-sama ber-
landaskan pada pendekatan salafi, yaitu menggunakan
sunnah dan mengintrodusir dalil-dalil syar'i dari sumber-
sumber selain Alquran.

III. ASWAJAH DALAM DOKTRIN


TEOLOGI PEMBEBASAN DAN PRODUK HUKUM (FIKIH)

Hassan Hanafi (l.1935) seorang pemikir reformis Mesir


yang dalam berbagai karyanya antara lain; Qadhāyah al-
Mu'ashshirah; Dirāsyah Islāmiyah; Dirāsah Falsafiyah; al-Turāts
wa al-Tajdīd Mawqifūna min al-Turāts al-Qadīm, menekankan
pentingnya bersikap terhadap warisan lama sebagai produk
sejarah secara bebas dapat dielemir ke dalam tradisi Islam.
Dari sini kemudian muncul konsep teologi pembebasan
dalam arti , semua orang bebas memasukkan tradisi adat dan
budaya ke dalam doktrin keagamaan. Sama halnya Asghar
Ali Enginer dengan merujuk pada doktrin teologi Barat, ia
memandang kaum perempuan secara bebas dan leluasa
beraktivitas sebagamana halnya kaum laki-laki.
Dengan memahami teologi pembebasan, praktis
bahwa doktrin-doktrin (ajaran inti) Aswajah yang bersumber
dari Alquran, sunnah, amalan sahabat, ijma', qiyas, paham
imam mazhab dan selainnya, dapat diperkaya lagi dengan
merujuk pada tradisi adat dan budaya yang dianut oleh
masyarakat. Karena itu, teologi Aswajah memandang bahwa
"al-Ādāt al-Muhakkamah".

4
Penganut teologi Aswajah secara bebas mengikuti
empat mazhab, dan hal ini menunjukkan elastisitas dan
fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi penganut Aswajah
untuk beralih mazhab secara total, atau dalam beberapa hal
yang dipandang sebagai hājah (kebutuhan mendesak),
meskipun telah ditegaskan tadi bahwa dalam konteks doktrin
teologi Aswajah "ala Indonesia", menunjukkan ketetapan
mażhab Syafī'i, dominan diikuti. Di sini perlu dipahami
bahwa, dominasi Syafī'i ini bukanlah berarti menolak mazhab
lain. Hanya saja, kultur Indonesia sejalan dengan doktrin al-
syafī'iyyah. Di samping itu, pembawa Islam di Indonesia (wali
songo [baca; bintang sembilan]) kesemuanya ulama
bermazhab Syafī'i. Demikian pula, dijadikannya mazhab
Syafii sebagai rujukan utama dalam berAswajah, dan tanpa
mengabaikan mazhab lain sebab mazhab ini menjunjung
tinggi amalan sunnah yang relevan dengan situasi dan
kondisi (sālih li kulli zamān wa makān).
Sejalan dengan sumber doktrin Aswajah yang telah di-
kemukakan, penganut Aswajah harus mendasarkan basis
perolehan hukum secara bebas pada empat sumber ajaran
dalam menetapkan hukum dengan menggunakan pen-
dekatan mazhab. Lebih jelasnya baca bagan berikut :

‫القرآن‬
‫الدحيث‬
‫الكتب العماصرة الخمتارة‬ ‫الكتب القدحيةم الخمتارة‬
‫القياس‬
‫الجإاع‬
‫الجإراءات النإتقائبةم الطبيعميةم‬

‫الكتب الشافعميةم والذمهب الربعمةم‬


5
‫الكتب العمامةم والراجإع الت ل تيل إل مذمهب معمي‬

‫احكام الفقهاء‬
Bagan skema di atas, terlihat begitu banyak kitab
(buku-buku) yang harus dirujuk dalam menetapkan masalah
dengan pendekatan mazhab, dan tetap merujuk pada tradisi
fiqhiyah dan berbagai hukum yang ditimbulkannya. Se-
hingga, doktrin teologi Aswajah menjadi dinamis. Itulah
sebabnya kaidah yang sering digunakan oleh ulama Aswajah
adalah, ‫( الافظ ظ ظظةم عل ظ ظظى الق ظ ظظدحي الص ظ ظظال والخأ ظ ظظذم بالدحي ظ ظظدح الص ظ ظظلح‬me-
melihara amalan klasik yang baik dan mengambil amalan modern
yang lebih baik). Kaidah pokok lainnya adalah : ‫در الفاسدح مقدحم‬
‫( علظ ظظى جإلظ ظظب الصظ ظظال‬menolak kerusakan harus didahulu-kan atas
mencari kemaslahatan).
Ketetapan hukum sebagai produk ijtihad, sudah se-
wajarnya fikih terus berkembang sejalan perkembangan
pemikiran umat manusia. Para peletak dasar fikih, yakni
imam mażhab (ulama mujtahidīn) dalam melakukan formasi
doktrin keagamaan, meskipun digali langsung dari teks asal
(Alquran dan hadis) namun selalu tidak lepas dari per-
timbangan "konteks lingkungan" keduanya baik asbāb al-
nuzūl maupun asbāb al-wurūd. Apalagi, dewasa ini semakin
banyak problematika yang terkadang dasar hukumnya tidak
ditemukan dalam sumber teks asal tadi. Kalaupun ada
ditemukan, terkadang masih terjadi perdebatan sengit dalam
tataran kontekstualnya.
Dalam kasus seperti di atas, Aswajah menggunakan
manhaj al-fiqhiyyah dalam dua bentuk pendekatan. Yakni,
tarīqah istidlāliyah dan tarīqah istiqrāiyah.

6
Cara pertama, tarīqah istidlāliyah atau deduction
method, yaitu cara dan proses penentuan hukum dengan
langkah-langkah sebagai berikut : (a) memahami ayat
Alquran dan hadis-hadis ahkam yang relevan atau terkait
dengan perbuatan manusia yang ingin diketahui ketentuan
hukum-nya; (b) menggunakan teori pemahaman ayat atau
hadis, mulai dari qiyas, ijma', istishab, istihsan dalam lain-
lain; (c) untuk memahami ayat atau hadis perlu sarana yang
memadai di antara menguasai bahasa Arab, mampu meng-
kumpulkan ayat dan mentakhrij hadis yang terkait, juga
memahami asbāb al-nuzūl dan asbāb al-wurūd, matang dalam
menggunakan kawaid usūliyah dan fiqhiyah; (d) mampu
menilai hadis yang maqbūl dan mardūd, atau mendalami
mustalah hadīś secara praktis, membuat klasifikasi
kategori antara ketentuan hukum, dan maqāsid syarī'ah; (e)
mengambil kesimpulan sekaligus menentukan kepastian
hukumnya.
Cara kedua, tarīqah istiqrāiyah atau induction method,
yaitu cara penetapan hukum dengan mengarahkan pemikiran
pada suatu perbuatan (peristiwa), agar dapat diketahui
spesifikasinya. Langkah-langkahnya sebagai berikut : (a) me-
neliti lebih awal spesifikasi perbuatan, kebiasan personal atau
kelompok bahkan kebiasaan masyarakat yang sudah menjadi
kultur; (b) mendialogkan perbuatan personal atau kebiasaan
masyarakat itu dengan pemahaman terhadap ayat-ayat dan
hadis-hadis ahkam; (c) memanfatkan teori memahami ayat
ahkam mulai dari qiyas, ijma', istihsan, istishab, dan lain-lain;
(d) harus memahami dan mengetahui asbāb al-nuzūl dan asbāb
al-wurūd terkait; (e) memanfaatkan kawaid usūliyah dan
fiqhiyah yang relevan; (f) klasifikasi antara teknis ketentuan
hukum dengan tujuan hukumnya.

7
Ketentuan hukum dengan tujuan hukum (maqāsid al-
syarī'ah) sebagaimana yang terakhir di atas, ada yang bersifat
dhanni (praduga) dan ada yang bersifat qat'iy (pasti). Sedang
maqāsid syarī'ah, atau biasa disebut lima prinsip (mabādi' al-
kahmsah) adalah proteksi terhadap keyakinan agama (hifz
al-dīn); jiwa (hifz al-nafs); harta (hifz al-māl); akal
pikiran; (hifz al-aql) keturunan (hifz al-nasl).
Masih berkaitan dengan pemaparan di atas, perlu
ditegaskan bahwa pemikiran Aswajah secara bebas harus
mendasarkan pada perwujudan kemaslahatan manusia
(masālih al-nās). Karena itu, mabādi' al-khams yang telah
disebutkan dapat dimasukkan dalam al-huqūq al-insāniyah,
ditambah dengan al-adālah, al-musāwah wa tawāzun, hifz al-
bi'ah, al-syūra dan al-tasāmuh. Bahkan, dalam keadaan
tertentu maslahah dalam pemahaman Aswajah dapat
ditempatkan pada posisi di atas teks-teks hukum fikih dalam
mencari solusi problematika hukum pada semua aspek
kehidupan yang dihadapi oleh komunitas muslim, kapanpun
dan dimanapun mereka berada.
Berbicara tentang "kapan dan dimanapun", praktis
bahwa patut pula menjadi pijakan pemikiran dalam upaya
mengambil ketetapan hukum adalah, faktor waktu dan
tempat. Dalam masalah "waktu (al-azminah)," tidak selamanya
hukum Islam dipaksakan untuk berlaku secara cepat, kecuali
bila telah melalui berbagai proses yang cukup panjang.
Contoh kasus, waktu pelarangan khamar dalam Alquran
melalui proses dan tahapan, hingga pada akhirnya khamar
itu dihukumkan "haram". Kemudian masalah "tempat (al-
amkinah)," seperti dalam sebuah kasus Nabi saw melarang
memotong tangan musuh dalam medan perang. Pelarangan
ini diberlakukan karena peperangan tersebut terjadi di
wilayah musuh, di mana wilayah tersebut tidak diterapkan

8
syariat Islam tentang hukum potongtangan. Umar (khalifah
kedua) juga tidak memberlakukan hukum potongtangan bagi
pencuri sebab negara Islam ketika itu dalam keadaan musim
paceklik. Sama halnya di Indonesia, ulama Aswajah (baca;
ulama NU) tidak sepakat dengan pemberlakuan "syariat
Islam" –-tandapetik—"potongtangan"—sebab negara ini
negara berasas pada pancasila, juga para pencuri tidak bisa
dipotongtangannya karena kondisi perekomian negara ini
mengalami krisis moneter, sama halnya dengan musim
paceklik pada zaman 'Umar. Para pelaku pencurian, koruptor
dan semacamnya, cukup di-"penjarakan" atau "ditahan dalam
sel" agar tangannya terbelenggu, bahkan seluruh badannya
"terpotong" dalam arti terhahan untuk melakukan pencurian
dan tindakan korupsi.

III. PENUTUP
Islam belum tentu Aswajah, tetapi Aswajah sudah
pasti Islam. Doktrin Aswajah terbebas dari kesalahan, dan
karena itu teologi pembebasan Aswajah harus diyakini
kebenarannya oleh siapapun. Tugas kita dan tugas siapapun
yang menyatakan dirinya muslim, harus melestarikan ajaran
Islam yang berhaluan Aswajah. Mereka yang mengabaikan
doktrin Aswajah pada hakikatnya telah “menjungkir-
balikkan” semua ajaran Islam. Akibat atas pengabaian itu,
sebagaimana dalam hadis yang lebih awal dikutip, pasti
neraka balasannya, --- dan al-Hamdulillah, kita yang
penganut Aswajah (baca; warga PMII) yang hadir di sini
dipastikan terhindar dari neraka, baik neraka dunia lebih lagi
neraka akhirat kelak.
Wa Allāh al-Muwaffiq Ilā Aqwam al-Tarīq

9
Penulis, Machmud Suyuti, lahir di Bone, 13 April 1973.
Pendidikan formal di Pesantren tujuh tahun.
Pendidikan nonformal di PMII, PKD tahun 1993, dan PKM 1995.
Perguruan Tinggi, S1 dan S2 jurusan Tafsir Hadis. Saat ini masih
kuliah S3 di UINA dengan konsentrasi Tafsir Hadis.
Aktivitas, dosen Hadis Fakultas Syari'ah UINA dan
Tenaga Edukasi di STAIN Samarinda.

10

Anda mungkin juga menyukai