Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
 Nama : Ny. WK
 Umur : 08/07/1997 (22th)
 Jenis kelamin : Perempuan
 Pekerjaan : Mahasiswa
 Agama : Islam
 No rekam medis : C772906
 Alamat : Pati
 Masuk rumah sakit : 20/09/2019
 Diagnosis masuk : G1P0A0 hamil 33 minggu, dengan kelainan jantung
ASD
 Rencana tindakan : Sectio Caesaria
 Berat badan : 55 kg

II. ANAMNESA

SUBJEKTIF

 Alergi : disangkal
 Medikasi :
 Revatio 20mg/8jam
 Digoxin 0,25mg/24 jam
 Dorner20 mcg/8jam
 Furosemid 40 mg/8jam
 Aspilet (sudah di stop 3 hari sebelum operasi)
 Past illnes : Riwayat Sakit Jantung +
 Last Meals : 6 jam pre op
 Exposure : sesak (dirasakan makin sesak apabila terlentang), lebih nyaman
disangga 2 bantal
OBJEKTIF

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, sadar


Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit (reguler, isi dan tegangan cukup)
Respiratory Rate : 20 x/menit (reguler, cepat)
Saturasi Oksigen : 92% dengan NRM 10 Lpm
Suhu : 37 C

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Kulit : Turgor cukup
Kepala : Mesosefali
Mata : Pupil bulat isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+,
Hidung : Nafas cuping (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Deviasi trachea (-), kaku kuduk (-)
Thorax : Simetris Statis / Dinamis
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, bising (+), gallop S3 (-)

Pulmo
Inspeksi : Sesak (-), gerak statis dinamis kanan = kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : SD vesikuler +/+, ST : Ronkhi-/-, Wheezing -/-

Abdomen
Inspeksi : cembung (+) sesuai umur kehamilan
Palpasi : Supel, Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) menurun, DJJ +

Motorik superior inferior


Gerak +/+ +/+
Kekuatan 555 / 555 555 / 555
Tonus N/N N/N
Refleks Fisiologis N/N N/N
Refleks Patologis -/- -/-
Pemeriksaan Penunjang

HEMATOLOGI (20/9/19)
Hematologi Paket
Hemoglobin : 16,2 g/dl
Hematokrit : 51,6 %
Leukosit : 9,6 10^3/ul
Trombosit : 204 10^3/ul
Kimia Klinik (20/9/19 )
GDS : 97 g/dl
Ureum : 30 mg/dl
Kreatinin : 1,2 mg/dl
Elektrolit
Natrium : 137 mmol/L
Kalium : 3.9 mmol/L
Chlorida : 108 mmol/L
Studi Koagulasi (20/9/19)
PPT : 8,9 detik
PPTK : 10, 7 detik
PTTK : 27,9 detik
APPT : 32,1 detik
EKG
RAD, Sinus Rythm
Echocardiografi
- Dilatasi RA RV
- ASD II L to R shunt, diameter 12-22mm
- Severe PH
- Fungsi sistolik baik LVEF >80%
- Disfugsi diastolik LV grade 1
- TAPSE 21mm
- Moderate TR, Mild PR, Mild MR

Diagnosis

 G1P0A0 hamil 33 minggu


 ASD Left To Right Shunt + TR
Tanggal 20/9/2019, pk 23.30
Pasien masuk bangsal obstetri
 Dengan diagnosa awal :
G1P0A0 22 tahun hamil 33 minggu 5 hari janin 1 hidup intrauterin presekep
punggung kiri dengan ASD

Tanggal 22/9/2019
Pasien dikonsulkan ke bagian Cardiologi untuk therapy ASD dan HCU,
dilakukan Echocardiografi
Hasil Echocardiografi :
- Dilatasi RA RV
- ASD II L to R shunt, diameter 12-22mm
- Severe PH
- Fungsi sistolik baik LVEF >80%
- Disfugsi diastolik LV grade 1
- TAPSE 21mm
- Moderate TR, Mild PR, Mild MR

Mendapatkan Therapi dr Cardio :


- Revatio 20mg/8jam
- Digoxin 0,25mg/24 jam
- Dorner20 mcg/8jam
- Furosemid 40 mg/8jam

Tgl 23/9/2019, pk 07.45


Dikonsulkan ke Anestesi dan Perinatologi untuk SCTP CITO

Tanggal 23/09/2019, pk 08.15


Anestesi menjawab konsulan CITO dari TS Obgyn:
• Prinsip setuju tatalaksana Regional Anestesi Epidural ASA III
• Konsul ICU
• Cek BGA

Tanggal 23 September 2019


Pukul 09.45

- Pasien tiba di loket IBS

Pukul 09.50
- Pasien diterima oleh Tim Anestesi
- Pasien diantar ke ruang operasi OK cito

Pukul 09.55
- Pasien disiapkan dengan memasang saturasi oksigen dan EKG oleh tim anestesi
- TD 116/78 HR: 84x RR: 20 T: 36,2 SpO2: 89%

Pukul 10.00
- Pasien diposisikan duduk
- Pasien diberikan dobutamin 5 mcg/kgBB/menit via SP
- Pasien diberikan 02 3 lpm via nasal kanul
- Dilakukan Regional Anesthesia dengan Jarum epidural dengan Injeksi Bupivakain
epidural 50 mg dan adjuvant lidocaine 40mg
- Injeksi dilakukan dengan titrasi 4cc/ menit sambil memantau hemodinamik pasien
- Pasien dibaringkan kembali dan kepala diganjal bantal

Pukul 10.30
- Operasi dimulai

Jam 10.30 10.45 11.00 11.15 11.30 11.40


TD 135/84 111/72 120/80 110/67 109/78 110/70
HR 108 112 109 111 119 107
RR 24 20 21 21 20 21
SpO2 90% 90% 90% 90% 90% 90%
Obat Ranitidin 50 mg Ketorolac
masuk Metoclopramid 30 mg
10 mg Oksitosin
Fentanyl 50 20 unit
mcg
Cairan RL 500 RL500mL
masuk mL
Pukul 10.40
- Bayi Lahir

Pukul 11.40

- Operasi selesai
- TD 110/64 HR: 118, RR: 20, SpO2: 92%
- Perdarahan : 250 cc
- Urine : 150 ml
- Cairan masuk : RL 1000ml
- Pasien diantarkan ke HCU

Pukul 11.50
- Pasien tiba di HCU diterima oleh tim anestesi dan perawat HCU

Follow Up Post Operasi

Pukul 11.50
S : sesak (-)
O: GCS E4V5M6
TD 110/80 mmhg
HR 101 x/mnt
RR 21 x/mnt
Sp02 96% Nasal kanul 3 lpm
Pemeriksaan Fisik
Mata : konjungtiva anemis -/- sklrea ikterik -/-
Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran KGB (-)
Paru : SD vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : BJ I, II reguler, gallop (-)
Abdomen : Soepel Bu(+) tampak luka tertutup perban
Ekstremitas : edema (-) sianosis (+)
A : post op SCTP ai ASD, TR mild to moderate dan pulmonal hipertensi severe
P : 02 Nasal kanul 3 lpm
IVFD RL 20 cc/jam
inj ampicilin sulbactam 1,5 gr/8jam
inj asam tranexamat 500mg/8jam
inj Vit K 10 mg/12 jam
inj Dobutamin 5mvg/kgbb/menit SP
inj Omeprazole 40mg/12 jam
inj metoklorpramid 10 mg/8jam
Cek lab lengkap12 jam

23/9/2019 Normal

Hb 14,1 12.00 – 15.00

Hematokrit 43,3 35 - 47

Leukosit 17,5 3,6 – 11

Trombosit 202 150 - 400

GDS 77 80- 160

Albumin 3,1 3,4 – 5,0

Ureum 32 15 - 39

Kreatinin 1,1 0,60 – 1,30

Na 137 136 - 145

K 4,7 3,5 – 5,1

Cl 107 98 - 107

Ca 2,1 2,12 – 2,52

Mg 1,11 0,74 – 0,99


Asam laktat 2,75 0,4 – 2,0

Fibrinogen 383 154,3 – 397,9

PPT 15,5/11,1 9,4 – 11,3

PTTK 46,8/32,1 27,7/40,2

D-dimer 7230 0-500

23/9/2019

temp 36,0

Fi02 32,0

Ph 7,445

PC02 23,8

P02 82,2

HCO3- 16,5

BeEcf -7,7

BE (B) - 4,7

S02c 97,1

A-aD02 125,4

PFR 256
Pukul 21.00

S : Os tiba-tiba mengeluh sesak

O : Tampak sakit berat GCS E4V5M6

TD 92/48 hr 128 rr30 S02 84%

Cor bj I II murni reg

Pulmo Rh -/- wh -/-

A : impending gagal napas

P: o2 Nasal kanul di ganti NRM

Konsul kardio

Vascon 0,05mcg/kgbb/mnt titrasi

Persiapan intubasi

Pukul 21.30

Sesak (+)

GCS E4V5M6

TD 119/62 hr 124 rr 36 Sp02 82

Furosemid extra 1 amp

Residen cardio datang mengevaluasi tanda vital , melakukan pemeriksaan echo.

Meminta informed consent untuk tindakan intubasi dan pindah rawat ke ICU ke suami dan
keluarga pasien  suami dan keluarga meminta waktu untuk berdiskusi.

Dobutamin 0,05mcg/kgbb/mnt  titrasi

Sildenafil 20 mg/8 jam

Heparin 500 iu / 8jam


Urine (+) 100 cc

Pukul 22.15

Ekg bradikardi  SA 2 amp  apneu

Keluarga setuju dilakukan tindakan intubasi dan RJP

Pukul 22.30

Telah dilakukan intubasi dan RJP 3 siklus

Pemberian adrenalin 1 amp/siklus

Os ROSC

Dilakukan persiapan membawa pasien ke ICU

Pukul 22.45

S : Os dipindah ke ICU

O : GCS E1VettM1

O2 on ventilator CSIMV Fi02 100%

TD 92/53 hr 130 rr 32

A : post op ROSC

P : melakukan pengawasan dan monitoring intensif

Edukasi ke keluarga pasien tentang KU pasien

Pemeriksaan BGA, darah lengkap

Pukul 00.05
S : os henti napas dan henti jantung

O : TD 70/50 HR 50 rr 0

A : Cardiac arrest

P : Dilakukan intubasi dan RJP 7 siklus

Pemberian adrenalin 1 amp/siklus

Pukul 00.50

Pupil midriasis rc -/- rk -/-

Ekg flat

Os dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan paramedis

PUSTAKA

TROMBOEMBOLI PADA KEHAMILAN

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip – RS Dr.Kariadi Semarang


TROMBOEMBOLI

Pendahuluan
Tromboemboli adalah salah satu keadaan yang mengancam jiwa pada kehamilan. Resiko
meningkat pada ibu hamil dengan penyakit jantung dan sepuluh kali lebih tinggi pada
persalinan seksio sesaria dibandingkan persalinan normal. Insiden tromboemboli vena saat
kehamilan 5-12 kasus per 10.000 kehamilan dimana resikonya 3 kali dibandingkan dengan
populasi non kehamilan. Sedangkan insiden tromboemboli vena postpartum (dari persalinan
sampai 6 minggu setelah persalinan) 3-7 kasus per 10.000 kehamilan (Bourjelly, 2010;
Hamersley, 2005).
Emboli paru merupakan salah satu manifestasi klinis dari tromboemboli. Emboli paru sendiri
merupakan penyebab utama mortalitas non obstetrik pada ibu hamil di negara berkembang
(Marik, 2008).
Keterlambatan diagnosis dan terapi serta tromboprofilaksis yang tidak adekuat menyebabkan
kematian akibat tromboemboli vena semakin meningkat. Guidelines mengenai tata laksana
tromboemboli vena pada kehamilan masih belum disepakati karena beberapa penelitian
observasional masih bercampur dengan penelitian yang melibatkan wanita tidak hamil. Tujuan
dari tinjauan pustaka ini adalah membahas mengenai diagnosis, dan tata laksana tromboemboli
vena pada wanita hamil.

Faktor Risiko
Trias Virchow tidak hanya dijumpai pada kehamilan namun dapat dijumpai pada keadaan lain
yang juga merupakan faktor resiko tromboemboli antara lain trauma, tindakan pembedahan,
keganasan, infeksi kronis, imobilisasi lama, obesitas dan trombofilia (Dresang dkk, 2008).
Persalinan seksio sesaria sendiri meningkatkan terjadinya tromboemboli dibandingkan dengan
persalinan spontan. Mekanisme yang sama juga terjadi pada trauma dimana terjadi kerusakan
jaringan. Semakin berat trauma maka semakin besar kemungkinan tromboemboli. Keadaan
semakin diperberat dengan imobilisasi lama yang menyebabkan stasis vena (Segall & Liem,
2007).
Obesitas merupakan salah satu faktor resiko tromboemboli pada populasi kehamilan maupun
populasi non kehamilan namun mekanisme patofosiologi belum jelas. Kemungkinan terjadi
peningkatan kadar fibrinogen dan PAI-1. Selain itu, gangguan metabolisme glukosa dan lemak
mempengaruhi sistem koagulasi (Segall & Liem, 2007).
Setengah dari kasus tromboemboli pada wanita menyusui dimulai saat kehamilan atau masa

nifas. Pada kenyataannya, kehamilan menghasilkan lima kali lipat sampai enam kali lipat

dalam risiko relatif tromboemboli.16 Peningkatan frekuensi penyakit tromboemboli selama

kehamilan adalah hasil dari tiga faktor: peningkatan statis vena, kondisi hiperkoagulasi

selama kehamilan dan cedera vaskular yang terkait dengan persalinan pervaginam atau sesar

Emboli Udara Vena

Emboli udara vena merupakan komplikasi yang diakui dari banyak prosedur bedah.

Sejumlah laporan kasus emboli udara vena pada pasien obstetri telah muncul dalam literatur

medis sejak awal abad kesembilan belas. Bahkan laporan terbaru yang diterbitkan, telah

mendokumentasikan terjadinya morbiditas maternal sebagai akibat dari emboli udara vena

selama operasi caesar. Pada tahun 1987, diterbitkan studi pertama kami tentang emboli udara

vena selama operasi caesar. Selanjutnya orang lain telah mengkonfirmasi pengamatan kami

bahwa emboli udara vena adalah sering terjadi selama operasi caesar dan persalinan

pervaginam. Emboli udara vena mungkin dapat berhubungan dengan gejala (misalnya,

dyspnea, nyeri dada) dan tanda-tanda (misalnya, penurunan mendadak saturasi O2,

hipotensi, aritmia) biasa ditemui saat melahirkan sesar Satu studi ditentukan bahwa subklinis

emboli udara vena (sebagaimana ditentukan oleh analisis end-tidal nitrogen) terjadi pada

97% pasien yang mendapat anestesi umum pada operasi Caesar. Penelitian lain telah

mencatat bahwa emboli udara vena terjadi pada sebanyak 67% dari pasien yang mendapat

anastesi regional pada operasi caesar.1-5 Pemantauan menggunakan Prekordial Doppler

dapat mendeteksi volume udara intracardiac sekecil 0,1 mL. Dalam sebuah penelitian,

menggunakan echocardiography transthoracic mengkonfirmasi semua episode Doppler

mendeteksi emboli udara vena selama operasi caesar.2 Pada penelitian yang sama,

menunjukkan bahwa sepertiga dari episode emboli udara vena selama operasi caesar tidak

terdeteksi dengan mendengarkan sinyal Doppler, atau anestesi umum dikaitkan dengan
peningkatan risiko emboli udara vena selama operasi Caesar.2,6 Pada kasus lain, emboli

udara vena adalah sering terjadi dan bias terjadi kapan saja selama persalinan.

Sebuah gradien sekecil -5 cmH2O antara operasi besar dan jantung memungkinkan sejumlah

besar udara yang akan masuk ke dalam sirkulasi vena. Biasa uterus yang posisi kirinya salah

dan pada posisi Trendelenburg (biasanya diminta dilakukan selama persalinan sesar)

meningkatkan gradient ini. Secara teori, setiap penyebab penurunan CVP (misalnya

perdarahan) juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya emboli udara vena.

Tiga studi telah memberikan data yang bertentangan mengenai pengaruh posisi ibu pada

terjadinya emboli udara vena selama operasi caesar.3,6,115 Posisi trendelenburg mungkin

sebaiknya dihindari. Penempatan pasien dalam posisi trendelenburg terbalik kemungkinan

besar tidak secara signifikan mengurangi kejadian emboli udara vena. Namun, setidaknya

dua studi telah mengamati bahwa posisi rahim keluar berhubungan dengan peningkatan

insiden Doppler emboli udara vena selama operasi caesar. Morbiditas dan mortalitas dari

emboli udara vena terkait dengan volume dan laju infus udara ke dalam sirkulasi central

maupun pada bagian yang terjadi emboli. Volume yang besar (lebih dari 3 mL/kg) udara

yang berakibat fatal, kemungkinan besar karena obstruksi saluran keluar pada ventrikel

kanan (disebut air lock). Udara dalam jumlah yang lebih kecil dapat menyebabkan kedap

udara ventilasi, perfusi mismatch, hipoksemia, gagal jantung kanan, aritmia, dan hipotensi.

Sebuah embolus udara masuk ke dalam sirkulasi arteri (melalui foramen ovale)

menyebabkan sekuele kardiovaskular dan neurologis dan morbiditas.

Emboli udara vena yang banyak bisa ada secara tiba-tiba, dramatis, dan menyebabkan

hipotensi, hipoksemia dan bahkan serangan jantung.110.111.112 Namun, emboli udara vena

menyebabkan respon hemodinamik yang signifikan (yaitu penurunan lebih dari 20% tekanan

darah) hanya 0,7% sampai 2% dari kelahiran.2,4 Biasanya, gambaran klinis jauh lebih

dramatis. Emboli udara vena telah dihubungkan dengan nyeri dada (kurang dari 50%
kasus),1,3-5,114 penurunan SaO2 (25% kasus,4,5 dan dyspnea (20% sampai 50% dari

kasus).1,4

Perubahan gambaran EKG, termasuk depresi segmen ST, terlihat pada 25% sampai 50% dari

semua pasien yang telah menjalani persalinan sesar.114,118-119 Tidak jelas apakah emboli

udara vena bertanggung jawab untuk perubahan EKG tersebut. Perubahan EKG ini juga

secara klinis tidak jelas. Satu studi yang digunakan prekordial Doppler, echocardiography

transthoracic, dan analisis segmen ST untuk melengkapi pemantauan EKG selama operasi

sesar elektif. Meskipun penurunan fraksi ejeksi yang diukur dengan ekokardiografi kadang-

kadang dikaitkan dengan episode depresi segmen ST, dinding daerah kelainan gerak tidak

terdeteksi.114 Doppler membuktikan emboli udara vena tidak dikaitkan dengan depresi

segmen ST di studi ini, tetapi kedua modalitas yang digunakan secara bersamaan dalam satu

per empat dari subyek

Kaunitz dkk.8 melaporkan bahwa emboli udara vena bertanggungjawab untuk 1% dari

kematian ibu di Amerika Serikat. Namun, ada kemungkinan bahwa beberapa kematian ini

dihasilkan dari episode emboli udara vena saat berhubungan seks orogenital.120,121 Ada

bukti bahwa emboli udara vena biasa terjadi selama operasi caesar, morbiditas dan mortalitas

ibu jarang terjadi. Saya tidak merekomendasikan penggunaan rutin Doppler prekordial

selama operasi caesar. Namun, pasien dengan resiko tinggi (mereka yang hipovolemik atau

mereka dengan shunts intrakardiak) dapat mengambil manfaat dari penggunaan. Doppler

prekordial. Sebuah indeks kecurigaan yang tinggi terhadap keluhan nyeri dada atau dyspnea,

penurunan SaO2, hipotensi, atau aritmia. Pengenalan dini tanda-tanda dan gejala emboli

udara vena harus direspon dengan tepat.


HIPERTENSI PULMONAL

Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan hipertensi pulmonal sekunder.
Hipertensi Pulmonal Primer(HPP) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah pada pembuluh arteri paru-paru jauh di atas normal yaitu lebih dari 25 mmHg saat istirahat atau
lebih dari 30 mmHg saat melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan sesak, pusing dan bahkan
sampai pingsan. Nilai tekanan arteri pulmonalis pada orang normal adalah sekitar 14 mmHg pada saat
beristirahat. Diagnosis HPP dibuat bila suatu hipertensi pulmonal tidak ditemukan faktor-faktor resiko
dan tidak didapatkan adanya penyakit katup jantung kiri, penyakit miokard, penyakit jantung kongenital
dan beberapa penyakit paru lainnya seperti penyakit jaringan ikat atau tromboemboli kronik.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi pulmonal dapat menjadi suatu penyakit berat yang ditandai
dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan bahkan dapat menyebabkan gagal jantung
kanan. Istilah HPP menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan kesalahan dalam
penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini diganti menjadi Hipertensi Arteri
Pulmonal Idiopatik(IPAH).

Hipertensi pulmonal sekunder merupakan kondisi yang lebih umum yang banyak disebabkan
oleh penyakit dari jantung atau dari paru yang memang sudah ada. Penyebab yang paling umum adalah
karena adanya penyakit PPOK pada paru dan juga bisa karena adanya kelainan katup pada jantung.

Hipertensi pulmonal berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 kategori yaitu hipertensi


pulmonal primer dan hipertensi pulmonal sekunder. Klasifikasi menurut simposium hipertensi
pulmonal “Dana Point Meeting California” hipertensi pulmonal dibagi lagi menjadi beberapa kelompok
sebagai berikut:

Tipe Keterangan Etiologi

Tipe 1.a Hipertensi arteri pulmonalis Idiopatik, genetik, induksi obat dan
(Hipertensi Arteri Pulmonal racun, penyakit jaringan ikat, infeksi
Idiopatik) HIV, hipertensi portal, penyakit
jantung kongenital, scistosomiasis,
anemia hemolitik kronis, autoimun
Tipe 1.b Penyakit hipertensi veno- Obstruksi vena besar paru oleh
pulmonal karena penyakit fibrosis (fibrosis
mediastinum, tumor, sarkoidosis,
histiositosis)
Tipe 2 Hipertensi pulmonal dengan Disfungsi sistolik, disfungsi
kelainan jantung kiri diastolik, penyakit valvular

Tipe 3 Hipertensi pulmonal dengan COPD, panyakit paru interstisial,


kelainan paru-paru/hipoksia penyakit paru dengan gabungan dari
kelainan restriktif dan obstruktif,
sleep upnea desease, gangguan
hipoventilasi alveolar
Tipe 4 Hipertensi pulmonal dengan Oklusi trombotik proksimal, oklusi
tromboemboli kronis trombotik distal oleh karena benda
asing
Tipe 5 Hipertensi den gan Gangguan mieloproliferatif dan
multifaktorial splenektomi, vaskulitis, gangguan
tiroid, tumor,gagal ginjal kronis

Klasifikasi hipertensi pulmonal berdasarkan kelas fungsional menurut WHO adalah

• Kelas I: Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa keterbatasan dalam melakukan aktifitas
sehari-hari
• Kelas II : Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan sedikit keterbatasan dalam melakukan
aktifitas sehari – hari.
• Kelas III: Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila melakukan aktifitas ringan akan
merasakan sesak dan rasa lelah yang hilang bila istirahat.
• Kelas IV: Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak mampu melakukan aktifitas apapun
(aktifitas ringan akan merasakan sesak), dengan tanda dan gejala gagal jantung kanan.

2.6 FaktorResiko

Dari klasifikasi yang telah digambarkan pada etiologi jelas bahwa berbagai faktor resiko dapat
berkembang menjadi hipertensi pulmonal berat dan oleh karenanya dapat dianjurkan skrining dari
bagian populasi terpilih untuk terjadinya hipertensi pulmonal atau penyakit vaskular pulmonal. Pada
simposium WHO, level resiko disertai dengan masing-masing kondisi yang dinilai pada beberapa
pembagian, antara lain:
1. Obat-obatan
 Anoreksigen
Hubungan antara anoreksigen dan hipertensi pulmonal awalnya
diobservasi pada tahun 1960an saat epidemik HPP di Eropa karena
pemakaian aminorex fumarate. Studi hipertensi (IPPHS)
mendemonstrasikan hubungan kuat antara HAP dan obat anoreksik. Derifat
Fenfluramine adalah suatu inhibitor poten uptake serotonin (5-HT).
Aminorex fumarate (2-amino-5-phenyl-2-Oxazoline, derivat katekolamin),
aksinya meliputi pelepasan norepinephrine pada ujung saraf bebas dan
meningkatkan kadar serotonin serum. Sehingga terjadi proliferasi atau
pertumbuhan sel-sel otot polos arteri paru. Penggunaan obat ini
meningkatkan kasus HPP, tergantung dosis dan lama pemakaian
 Methamphetamine dan Cocaine
Methamphetamine dan cocain dilaporkan meningkatkan insiden hipertensi
pulmonal. Pada studi autopsi 20 perokok cocain berat, 4 (20%) paru menunjukkan
hipertropi medial arteri paru. Mekanisme terjadinya hipertrofi arteri ini masih
belum jelas.

2. Hubungan Dengan Lingkungan


 Hipoksia
Hipoksia menginduksi vasodilatasi vena-vena sistemik tetapi menginduksi
vasokonstriksi pada vaskuler paru. Respon vaskuler paru terhadap hipoksia
berbeda dengan sirkulasi sistemik untuk mengoptimalkan hubungan antara
ventilasi dan perfusi. Hipoksia akut diregulasi oleh produk-produk endotel
(seperti endotelin-1 dan serotonin) dan memediasi perubahan aktivitas kanal ion
pada selsel otot polos arteri paru. Hipoksia akut menyebabkan perubahan yang
reversible pada tonus vaskuler paru, sedangkan hipoksia kronik menyebabkan
remodeling struktur, proliferasi sel-sel otot polos vaskuler, migrasi dan
peningkatan deposisi matrik vaskuler.

3. Riwayat Keluarga
2 gen dalam kelompok reseptor famili TGF-b mempunyai hubungan yang kuat dengan
familial hipertensi pulmonal. Gen bone morphogenetic receptor type 2 (BMPR2),
memodulasi pertumbuhan sel-sel vaskuler dengan mengaktivasi jalur intraseluler.
Dalam keadaan normal BMP menekan pertumbuhan sel otot polos vaskuler. Lebih dari
45 mutasi yang berbeda BMPR2 telah diidentifikasi pada familial hipertensi arterial
pulmonal. BMPR2 adalah suatu komponen reseptor pada sel otot polos vaskuler
heteromerik, bagian dari transforming growth factor. Mutasi eksonik pengkodean gen
BMPR2, yang berpengaruh pada suatu aberasi transduksi sinyal pada sel otot polos
vaskuler paru sehingga menimbulkan proliferasi sel. Mutasi BMPR2 telah
diidentifikasi 50%-90% pasien dengan diagnosis HAPF, 25% pada pasien HPP dan 15
% pada pasien HAP sehubungan penggunaan fenfluramine. Jenifer R et al menemukan
bahwa 27 % pasien HPP dengan mutasi BMPR2. R. Souza et al, 2008, pasien dengan
mutasi BMPR2 signifikan lebih cepat timbul gejala dibandingkan dengan tanpa mutasi
BMPR2.
4. Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis dapat menyebabkan hipertensi pulmonal karena substansi seperti prostasiklin,
tromboksan A2, endotelin 1, nitreus oxid tidak termetabolisme di hati, sehingga masuk ke
dalam paru dan menyebabkan perubahan anatomis pada vaskular paru. Perubahan terjadi pada
tunika intima, dimana nantinya vaskular paru tidak dapat berdilatasi yang menyebabkan
meningkatnya tahanan dari arteri paru.

5. Infeksi HIV
Hubungan antara HIV dan hipertensi pulmonal pertama kali di jabarkan oleh Kim dkk pada
1987. Faktor resiko pada penderita dihubungkan dengan penggunaan obat-obat intravena,
infeksi paru berulang, tromboemboli vena dan disfungsi ventrikel kiri. Patofisiologi secara pasti
masih belum diketahui, dan masih belum di peroleh bukti virus HIV secara langsung dapat
menginfeksi endothel arteri pulmonalis. Kemungkinan lain yang paling mungkin adalah adanya
infeksi yang menyebabkan proses inflamasi yang merangsang pelepasan leukosit dan trombosit
dan juga merangsang fibrinogen yang akan memicu pembekuan darah dan memicu adanya
trombosis pada pembuluh darah.

2.7 Patogenesis

Arteri pulmonalis normal merupakan suatu struktur “complaint” dengan sedikit serat otot, yang
memungkinkan fungsi “pulmonary vaskuler bed” sebagai sirkuit yang low pressure dan high flow.
Kelainan vaskuler hipertensi pulmonal mengenai arteri pulmonalis kecil dengan diameter 4-10 mm dan
arteriol, berupa hiperplasia otot polos vaskuler, hiperplasia intima, dan trombosis in situ. Progresif dan
penipisan arteri pulmonalis, yang secara gradual meningkatkan tahanan pulmonal yang pada akhirnya
menyebabkan strain dan gagal ventrikel kanan

PATHWAY OF PULMONAL ARTERIAL HYPERTENSION


Kerusakan/sumbatan jaringan Vaskuler paru

Peningkatan aliran darah

Peningkatan tekanan arteri pulmonal

Tahanan Vaskular pulmonal meningkat

Kontriksi arteri pulmonal Penurunan jaringan vaskular pulmo

Peningkatan tahanan dan tekanan pulmonal

Nyeri dada midsternum Overload ventrikel kanan

Hipertrofi ventrikel kanan

Gangguan pola tidur Kegagalan ventrikel kanan

Gangguan sirkulasi CO2

Gangguan Transport darah non O2 dari partikel

Kanan jantung ke paru Gagal jantung kanan


Gangguan difusi O2 Gangguan pertukaran gas

Sesak nafas (dyspneu) Ansietas

Intoleransi aktifitas

Pada stadium awal hipertensi pulmonal, peningkatan tekanan arteri pulmonalis menyebabkan
peningkatan kerja ventrikel kanan dan terjadinya trombotik arteriopati pulmonal. Karakteristik dari
trombotik arteriopati pulmonal ini adalah trombosis insitu pada muskularis arteri pulmonalis. Pada
stadium lanjut, dimana tekanan pulmonal meningkat secara terus menerus dan progresif, lesi
berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media,
fibrosis laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur endotel pulmonal normal. Secara
patologi hipertensi pulmonal dapat dikelompokan dalam 3 subtipe:

1. Fleksogenik arteriopati primer (30-60 % dari HPP)


Secara patologi fleksogenik adalah disorganisasi kapiler pulmonal. Lesi fleksiform
merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat, kelainan ini ditemui pada pasien
yang mempunyai komponen genetik, dimana 7 % adalah familial.

2. Tromboemboli arteriopati (45-50% dari HPP)


Secara patologi subtipe ini ditandai dengan fibrosis eksentrik tunika intima dan gambaran
rekanalisasi thrombosis insitu (jaringan dan septum dalam lumen arterial). Subtipe
tromboemboli hipertensi pulmonal terdapat 2 bentuk : bentuk makro tromboemboli, yang
biasanya ditemukan pada hipertensi pulmonal sekunder dan berisi gumpalan besar ditengah
lumen, dan kedua bentuk mikrotromboemboli dengan thrombus di distal yang menyumbat
pembuluh-pembuluh darah kecil.

3. Oklusi vena pulmonalis


Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan tunika intima vena

pulmonalis.
Penyebab kelainan Ketidakseimbangan Mediator-mediator Vasoaktif

a. Prostasiklin dan Tromboksan A2

Prostasiklin dan tromboksan A2 merupakan metabolit asam arakidonat utama sel-sel endotel
dan sel-sel otot polos. Prostasiklin merupakan vasodilator poten, menghambat agregasi trombosit dan
antiproliferatif, sedangkan tromboksan A2 merupakan vasokonstriktor poten. Pada hipertensi pulmonal
keseimbangan kedua molekul ini lebih banyak pada tromboksan A2. Prostasiklin sintase adalah enzim
yang merangsang produksi prostasiklin, jumlahnya menurun pada arteri pulmonal pada pasien
hipertensi pulmonal terutama HPP.

b. Endotelin-1

Endothelin-1 (ET-1) adalah suatu vasokonstriktor poten dan memiliki aktifitas mitogenik pada
sel-sel otot polos arteri. Peningkatan kadar ET-1 plasma dan dinding vaskuler pada pasien
IPAH(idiopatik pulmonary arteri hypertension). Endothelin-1 (ET-1) adalah suatu asam amino peptide
yang dihasilkan oleh enzim konverting endothelium pada sel-sel endotel. Kadar endotelin meningkat
pada pasien IPAH dan klirennya berkurang pada vaskuler paru. Endotelin beraksi pada 2 reseptor yang
berbeda. Reseptor ETA pada sel otot polos vaskuler dan Reseptor ETB pada sel otot polos vaskuler dan
sel endotel vaskuler paru. Kedua reseptor menyebabkan proliferasi sel otot polos vaskuler.

c. Nitrik Oksida

Nitric oxide (NO) adalah vasodilator poten, penghambat aktivasi platelet dan penghambat
proliferasi sel otot vaskuler. NO dihasilkan sel endotel dari arginin oleh NO sintase, menimbulkan efek
vasodilatasi melalui mekanisme yang komplek dengan cGMP. cGMP mengaktifkan cGMP kinase,
menyebabkan terbukanya kanal K+ membran sel, sehingga ion K+ keluar, membran depolarisasi dan
menghambat kanal Ca2+. Menurunnya Ca2+ masuk dan menurunnya pelepasan Ca2+ sarkoplasma
menyebabkan vasodilatasi. Phosphodiesterase-5 (PDE-5), salah satu enzim PDE yang memecah cGMP.
Pasien dengan HPP terbukti menurunnya NO sintase, sehingga timbul vasokonstriksi dan proliferasi
sel. NO berkontribusi dalam menjaga fungsi dan struktur vaskuler dalam keadaan normal.

d. Serotonin

Serotonin (5-hydroxytryptamine=5-HT) adalah vasokonstriktor yang meningkatkan hiperplasia


dan hipertrofi otot polos. Peningkatan serotonin plasma telah dilaporkan pada pasien IPAH, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Mekanisme seretonergik yang berimplikasi pada IPAH. Konsumsi
dekfenfluramin, terjadi peningkatan release serotonin dan terhambat reuptake oleh platelet.
e. Adrenomedulin

Adrenomedulin mendilatasi vena-vena pulmonalis, meningkatkan aliran darah paru dan


disintesa sel-sel paru normal. Kadar dalam plasma meningkat pada pasien IPAH, kadar adrenomedulin
plasma berkorelasi dengan tekanan rata-rata atrium kanan, tahanan vaskuler paru, dan tekanan arteri
paru rata-rata.

f. Vasoactive Intestinal Peptide

Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) merupakan vasodilator sistemik poten, menurunkan


tekanan arteri pulmonal dan tahanan vaskuler pulmonal, juga menghambat aktifasi platelet, dan
proliferasi sel otot polos. Studi baru baru ini melaporkan penurunan kadar VIP pada pasien IPAH

g. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

Hipoksia akut dan kronik, produksi VEGF meningkat

Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh darah di dalam paru. Hal ini
memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru. Lama-kelamaan pembuluh darah yang
terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini akan menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah
meningkat dan aliran darah juga terganggu. Ventrikel kanan jantung membesar sehingga menyebabkan
suplai darah dari jantung ke paru berkurang, keadaan yang disebut dengan gagal jantung kanan. Sejalan
dengan hal tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga menurun sehingga darah membawa
kandungan oksigen yang kurang dari normal untuk mencukupi kebutuhan tubuh terutama pada saat
melakukan aktivitas. Biasanya pasien mengeluh jantung sering berdebar dan sering berkeringan
meskipun tidak beraktifitas.

2.8 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksan fisik pada HPP sering tidak spesifik untuk menegakan diagnosis, namun dapat
membantu meniadakan berbagai penyebab lain dari hipertensi pulmonal (sekunder). Pemeriksaan fisik
paru biasanya normal. Gejala lebih awal dan atau temuan tunggal hanyalah aksentuasi komponen
pulmonal pada bunyi jantung 2 (P2) hampir 90 %. Peninggian suara P2 dihasilkan dari peningkatan
kekuatan penutupan katup pulmonal karena respon peningkatan tekanan arteri pulmonal pada saat
diastolik. Temuan fisik tambahan sehubungan dengan HP merefleksikan pengaruh HP pada jantung dan
organ lainnya. Paling banyak pada pasien berkembang menjadi trikuspid regurgitasi dalam beberapa
derajat karena tekanan overload pada ventrikel kanan. Pembesaran ventrikel kanan, pulsasi vena
jugularis meningkat bila terjadi overload cairan dan/atau gagal jantung kanan. Hepatomegali mungkin
timbul, asites dan retensi cairan di perifer.
2.9 Manifestasi Klinik
Hipertensi pulmonal sering timbul dengan gejala-gejala yang tidak spesifik. Gejala-gejala itu
sulit untuk dipisahkan sehubungan dengan penyebab apakah, dari paru atau dari jantung (primer atau
sekunder), kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang secara gradual. Gejala yang paling
sering adalah dispnea saat aktifitas 60%, fatique 19% dan sinkop 13%, yang merefleksikan
ketidakmampuan menaikan curah jantung selama aktifitas. Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun
arteri koroner normal tetapi disebabkan oleh karena stretching arteri pulmonalis atau iskemia ventrikel
kanan. Gejala dan tanda dari hipertensi pulmonal di kelompokan pada tabel berikut

Symptoms Signs

Dyspnea saat aktivitas Distensi vena Jugular


Kelelahan impuls ventrikel kanan yang cepat
Sinkop Menekankan komponen katup pulmonal (P 2)
Nyeri dada Anginal Terdengar suara jantung ketiga (S 3)
Hemoptisis Murmur insufisiensi tricuspid
Fenomena Raynaud Hepatomegali
Edema perifer

Selain itu hemoptisis akibat pecahnya pembuluh darah paru juga bisa terjadi, yang akan
berpotensi menyebabkan batuk darah. Kelainan terdeteksi pada pemeriksaan fisik cenderung lokal pada
sistem kardiovaskular. Pemeriksaan yang seksama sering mendeteksi tanda-tanda hipertensi pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan. Temuan pada pemeriksaan paru-paru yang tidak spesifik tetapi dapat
menunjukkan penyebab yang mendasari hipertensi pulmonal. Sebagai contoh, mengi dapat didiagnosis
PPOK, dan basilar crackles mungkin menunjukkan adanya penyakit paru-paru interstisial.

2.10 Diagnosa

Untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal, dokter dapat melakukan satu atau lebih tes untuk
mengevaluasi kerja jantung dan paru-paru pasien. Hal ini termasuk X-ray di daerah dada untuk
menunjukkan pembesaran dan ketidaknormalan pembuluh darah paru-paru, ekokardiogram yang
menunjukkan visualisasi jantung, mengukur besar ukuran jantung, aliran darah, dan mengadakan
pengukuran tidak langsung terhadap tekanan di pembuluh paru-paru.
1. Ekokardiografi

Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal, untuk diagnosis sebaiknya
dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi adalah modalitas diagnostik untuk evaluasi atau eklusi
penyebab Hipertensi pulmonal sekunder (seperti gagal ventrikel kiri, penyakit jantung katup, penyakit
jantung kongenital dengan shunt sistemik pulmonal dan disfungsi diastolik ventrikel kiri). Disamping
itu untuk menentukan beratnya hipertensi pulmonal serta prognosisnya.. Namun demikian
ekokardiografi saja tidak cukup adekuat untuk konfirmasi definitif ada atau tidaknya hipertensi
pulmonal. Untuk itu direkomendasikan untuk kateterisasi jantung. Penilaian yang dapat dilakukan pada
pasien dengan hipertensi pulmonal antara lain:

- Right ventricular size (chamber diameter and volume, and wall thickness)
- Right ventricular/left ventricular diastolic volume
- Right ventricular contractility
- Pericardial effusion (presence, size)
- Inferior vena cava (IVC) size, respiratory variation
- Tricuspid regurgitation (severity and velocity)
- Left ventricular (LV) early diastolic filling velocity.

2. Eletrokardiografi

Gambaran tipikal EKG pada pasien hipertensi pulmonal sering menunjukan pembesaran atrium
dan ventrikel kanan, strain ventrikel kanan, dan pergeseran aksis ke kanan, yang juga memiliki nilai
prognostik. Kelainan EKG saja bukanlah indikator yang sensitif untuk penyakit vaskuler paru.
Penggunaan perubahan EKG sebagai marker progresi penyakit dan atau respon terapi belum ada
dilaporkan.
Elektrokardiogram menunjukkan perubahan pada hipertrofi ventrikel kanan (panah panjang)
dengan regangan pada pasien dengan hipertensi paru primer. Deviasi sumbu kanan (panah pendek),
peningkatan amplitudo gelombang P pada lead II (panah hitam), dan tidak lengkap blok cabang berkas
kanan (panah putih) yang sangat spesifik tetapi tidak memiliki kepekaan untuk mendeteksi hipertrofi
ventrikel kanan.

3. Radiologi

Karena radiografi thorak adalah noninvasif dan tidak mahal, pasien dengan sesak yang tidak
jelas biasanya di skrining dengan radiografi thorak. Ro thorak sama pentingnya sebagai first-line tes
skrining pada pasien IPAH untuk melihat penyebab sekunder, seperti penyakit interstisial paru dan
kongesti vena-vena paru

. Hampir 85 % terdapat kelainan Radiografi thorak pada hipertensi pulmonal, seperti


pembesaran ventrikel kanan dan/atau atrium kanan, dilatasi arteri pulmonal.
.

4. Tes Fungsi Paru

Pengukuran kapasitas vital paksa (FVC) saat istrahat, volume ekspirasi paksa 1 detik (FEV1),
ventilasi volunter maksimum (MVV), kapasitas difusi karbon monoksida, volume alveolar efektif, dan
kapasitas paru total adalah komponen penting dalam pemeriksaan Hipertensi Pulmonal, yang dapat
mengidentifikasi secara signifikan obstruksi saluran atau defek mekanik sebagai faktor kontribusi
hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru juga secara kuantitatif menilai gangguan mekanik sehubungan
dengan penurunan volume paru pada Hipertensi Pulmonal.

5. CT Scan

CT scan dilakukan hanyalah untuk membedakan apakah primer atau sekunder. Tanpa zat
kontras, untuk menilai parenkim paru seperti bronkiektasi, emfisema, atau penyakit interstisial. Dengan
zat kontras untuk deteksi dan atau melihat penyakit tromboemboli paru

6. Kateterisasi Jantung

Kateterisasi jantung kanan dengan mengukur hemodinamik pulmonal adalah gold standard
untuk konfirmasi PAH. Dengan definisi hipertensi pulmonal adalah tekanan PAP lebih 25 mHg pada
saat istrahat, atau lebih 30 mmHg pada saat aktifitas. Kateterisasi membantu diagnosis dengan
menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit jantung kiri dan memberikan informasi penting untuk
prognostik hipertensi pulmonal. Yang dapat diukur pada pemeriksaan dengan kateterisasi antara lain:

- Systemic arterial pressure (BP) and heart rate (HR)


- Right atrial pressure (RAP)
- Right ventricular pressure (RVP)
- Pulmonary artery pressure (PAP)
- Pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
- Cardiac output and index
- Pulmonary vasoreactivity
- Systemic and pulmonary arterial oxygen saturation
Hemodinamik adalah prognostik untuk IPAH, nilai prognostik pengukuran hemodinamik bila
RAP < 10 mmHg, angka harapan hidup 50 bulan bila tidak mendapat terapi vasodilator, sedangkan bila
RAP lebih dari 20 mmHg harapan hidupnya kurang dari 3 bulan.

7. Tes Vasodilator

Vasoreaktifitas adalah suatu bagian penting untuk evaluasi pasien IPAH, pasien yang respon
dengan vasodilator terbukti memperbaiki survival dengan menggunakan blok kanal kalsium (CCB)
jangka panjang. Definisi respon (European Society of Cardiology consensus) adalah penurunan rata-
rata tekanan arteri pulmonal paling < 10 mm Hg dengan peningkatan kardiak output. Tujuan primer tes
vasodilator adalah untuk menentukan apakah pasien bisa diterapi dengan CCB oral.

8. Tes Berjalan 6 Menit

Pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk keterbatasan fungsional pasien hipertensi
pulmonal adalah dengan tes ketahanan berjalan 6 menit (6WT). Ini digunakan sebagai pengukur
kapasitas fungsional pasien dengan sakit jantung, memiliki prognostik yang signifikan dan telah
digunakan secara luas dalam penelitian untuk evaluasi pasien hipertensi pulmonal yang diterapi. 6WT
tidak memerlukan ahli dalam penilaian.

9. Biopsi paru

Jarang dilakukan karena sangat riskan pada pasien hipertensi pulmonal, biopsi paru di
indikasikan bila pasien yang diduga IPAH, dengan pemeriksaan standar tidak kuat untuk diagnosis
definitif.

10. Laboratorium

Pasien-pasien yang diduga hipertensi pulmonal harus dilakukan pemeriksaan laboratorium


standar untuk dispnea, yang meliputi pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan kimia dan darah
lengkap. Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada pasien dengan faktor resiko. Dilaporkan bahwa
hipertensi pulmonal sehubungan dengan infeksi HIV 100 kali lebih sering dibandingkan dengan IPAH.
Tes fungsi hati juga harus dilakukan untuk eklusi suatu hipertensi portopulmonal disamping untuk
pemberian terapi.
2.11 Penatalaksanaan

Tahanan vaskuler paru secara dramatis meningkat pada saat latihan atau aktifitas pada pasien
hipertensi pulmonal, dan pasien sebaiknya harus memperhatikan dan membatasi aktifitas yang
berlebihan. Pemberian oksigen untuk mengatasi sesak nafas dan hipoksia, saturasi oksigen
dipertahankan diatas 90 %. Penggunaan digoksin saat ini masih kontroversial, karena belum ada data
terhadap keuntungan dan kerugian penggunaan digoksin pada hipertensi pulmonal primer. Penggunaan
diuretik untuk mengurangi sesak dan edema perifer, dapat bermanfat untuk mengurangi kelebihan
cairan terutama bila ada regurgitasi trikuspid. Timbulnya trombosis in situ, gagal jantung kanan dan
stasis vena meningkatkan resiko terjadinya tromboemboli paru. Perbaikan survival telah dilaporkan
dengan antikoagulan oral, warfarin 1,5-2,5 mg dengan target INR 1,8. Telah banyak penelitian untuk
pengobatan hipertensi pulmonal yang dilakukan : golongan vasodilator, prostanoid, NO, penghambat
phosfodiestrase, antagonis reseptor endotelin dan anti koagulan.

1. Calcium-Channel Blocker (CCB)

Penggunaan CCB telah banyak diteliti dan digunakan sebagai terapi hipertensi pulmonal,
perbaikan terjadi kira-kira 25-30 % kasus terutama pada pasien yang tes vasodilator akut positif.
Nifedipine (120-240 mg/hari) atau diltiazem (540-900 mg/hari) merupakan agen yang paling sering
digunakan, sementara verepamil menimbulkan efek inotropik negative. Efek samping yang bermakna
seperti hipotensi yang mengancam hidup pasien dengan fungsi ventrikel kanan yang berat.

2. Prostanoid

Telah terbukti bahwa defisiensi prostasiklin berkontribusi dalam patogenesis IPAH. Studi klinis
membuktikan bahwa terapi jangka lama dengan analog prostasiklin eksogen menguntungkan pada
pasien dengan hiperetensi pulmonal sedang sampai berat.

a. Epoprostenol

Epoprostenol iv pertama kali disetujui oleh FDA untuk terapi hipertensi pulmonal pada tahun
1995. Pemakaian epoprostenol jangka panjang memperbaiki hemodinamik, toleransi latihan,
klas fungsional NYHA, dan survival rate penderita hipertensi pulmonal. Epoprostenol tidak
stabil pada suhu kamar, harus dilindungi selama pemberian infus, half- life pendek dalam aliran
darah (< 6 min), tidak stabil pada pH asam, dan tidak bisa secara oral. Dimulai dengan dosis
(1-2 ng/kg/min), dan secara perlahan dititrasi 1-2 ng/kg/min, sampai (20 ng/kg/min atau 40
ng/kg/min). Komplikasi lain sehubungan dengan terapi iv jangka lama adalah infeksi, selulitis
sampai sepsis, bila pemberian melalui katerterisasi vena sentral harus dilakukan pada senter
dengan peralatan lengkap, perawat / dokter yang berpengalaman.

b. Treprostinil

Adalah suatu analog prostasiklin dengan half-life 3 jam. Obat stabil pada suhu kamar dan dapat
diberikan secara subkutan. Efek samping seperti sakit kepala, diare, flushing sama seperti
epoprostenol, disamping nyeri dan eritem pada tempat penyuntikan. Pemberian secara subkutan
ini lebih aman dan efektif pada pasien terutama rawat jalan.

c. Iloprost Inhalasi

Iloprost adalah prostasiklin analog dengan bentuk kimia stabil, yang tersedia dalam bentuk
intravena, oral dan aerosol. Half-live dalam serum 20-25 min. Bentuk inhalasi dalam
pengobatan hipertensi pulmonal adalah konsep yang baik dan praktis dalam penggunaan klinik.
Iloprost inhalasi mempunyai efek vasodilator yang lebih poten dibandingkan dengan NO
inhalasi. Illoprost inhalasi mempunyai aksi yang lebih pendek sehingga pemberiannya bisa 6
sampai 9 kali sehari.

d. Beraprost

Beraprost adalah analog prostasiklin secara kimia stabil dan aktif untuk oral. Diabsorbsi secara
cepat dalam keadaan puasa, konsentrasi puncak tercapai setelah 30 menit dan half life 35-40
menit setelah pemberian.

3. Antagonis Reseptor Endotelin

Pada penelitian terakhir Antagonis reseptor Endotelin efektif dalam mengobati hipertensi
pulmonal, karena banyaknya bukti peranan patogenik endotelin-1 pada hipertensi pulmonal.
Endothelin-1 adalah suatu vasokonstriktor yang poten, dan mitogen pada otot polos yang menyebabkan
meningkatnya tonus vaskuler dan hipertrofi vaskuler paru. Dalam studi kontrol kecil pasien IPAH,
konsentrasi endothelin plasma berkorelasi dengan PAP and PVR, berkorelasi juga dengan kapasitas
latihan.

a. Bosentan

Efek samping dari bosentan adalah peningkatan kadar alanine aminotransferase dan/atau
aspartate amino transferase. Gangguan fungsi hati ini berkorelasi dengan dosis, dimana lebih
sering terjadi dengan bosentan 250 mg bid. Dan efeknya transien, sehingga USFDA
merekomendasikan pemeriksaan fungsi hati paling tidak 1 bulan sebelum terapi.

b. Sitaxsentan

Perbaikan yang sama fungsional klas, dan hemodinamik pada kedua kelompok dosis. Efek
samping terapi dengan sitaxsentan berupa abnormalitas fungsi hati, sakit kepala, edem perifer,
nausea, nasal kongestan dan pusing.

c. Ambrisentan

Tidak terdapat peningkatan transaminase hati.

4. Phosphodiesterase Inhibitor

Mekanisme yang memodulasi cyclic guanosine 3-5 monophosphate (cGMP) di dalam otot
polos vaskuler memainkan peranan dalam regulasi tonus, pertumbuhan dan struktur vaskuler paru. Efek
vasodilator NO tergantung pada kemampuannya untuk meningkatkan dan mempertahankan cGMP
yang ada pada vaskuler. Sekali diproduksi, NO secara langsung mengaktifasi guanylate cyclase, yang
meningkatkan produksi cGMP. cGMP kemudian mengaktifasi cGMP kinase, membuka kanal
potassium, dan menyebabkan vasorelaksasi. Efek intraseluler cGMP sangat singkat, sehingga
didegradasi cepat oleh phosphodiesterase. Phosphodiesterase merupakan famili enzim yang
menghidrolisa cyclic nucleotides, cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan cGMP, dan membatasi
signal intraseluler dengan menghasilkan produk inaktif 5-adenosine monophosphate dan 5-guanosine
monophosphate. Bagaimanapun juga obat-obat yang menginhibisi spesifik cGMP phosphodiesterase
(phosphodiesterase type 5 inhibitors) meningkatkan respon vaskuler paru pada NO inhalasi dan
endogen pada hipertensi pulmonal.

a. Dipyridamole

Studi terdahulu mendemonstrasikan bahwa dipyridamole dapat menurunkan PVR, menurunkan


hipertensi pulmonal dan meningkatkan atau memperpanjang efek inhalasi NO pada anak
dengan hipertensi pulmonal. Pasien yang gagal dengan inhalasi NO maka dikombinasi dengan
dipyridamole. Hasil ini menyokong bahwa inhibisi phosphodiesterase type 5 bisa menjadi suatu
strategi klinik yang efektif untuk terapi HPP.

b. Sildenafil

Sildenafil adalah suatu inhibitor phosphodiesterase type 5 yang poten dan lebih spesifik, telah
terbukti efektif dan aman untuk terapi disfungsi ereksi. Berdasarkan perkembangnya
pemahaman aktifitas phosphodiesterase type 5 dalam sirkulasi paru, suatu studi klinik tanpa
kontrol menguji efek hemodinamik akut sildenafil dan potensinya dalam terapi jangka panjang
pasien IPAH. Dilaporkan bahwa sildenafil memblok vasokonstriksi paru hipoksik pada dewasa
sehat dan menurunkan mPAP pasien IPAH. Perbandingan dengan inhalasi NO, sildenafil juga
mempunyai efek hemodinamik sistemik dan bila dikombinasi dengan inhalasi NO
meningkatkan dan memperpanjang efek NO sehingga dapat mencegah rebound vasokonstriksi
setelah memberian inhalasi NO. Dalam suatu studi dengan mengkombinasikan inhalasi
sildenafil dengan iloprost dilaporkan terjadi penurunan yang besar mPAP dan PVR dibanding
bila diberikan tunggal.

4. NO dan Arginine

Pentingnya NO terutama dalam adaptasi normal sirkulasi paru saat lahir. Gangguan NO akan
berkembang menjadi neonatal hipertensi pulmonal. NO terus menerus memodulasi tonus dan struktur
vaskuler paru sepanjang hidup. NO juga memiliki aktifitas antiplatelet, anti inflamasi dan antioksidan,
juga memodulasi efek angiogenesis. NO dihasilkan dalam 3 bentuk NO synthase (NOS), yang muncul
dalam sel multiple dan terus menerus aktif (type I dan III) dalam endotelium atau “inducible” (type II)
pada sel lainnya seperti makrofag, epitel bronkus dan otot polos vaskuler. Regulasi NOS komplek dan
termasuk growth factors hormon (seperti vascular endothelial growth factor), tekanan oksigen,
hemodinamik, dan faktor lainnya. Sudah jelas bahwa amino acid, L-arginine, adalah substansi NOS,
maka itu penting untuk produksi NO. Arginine eksogen diperlukan untuk memproduksi NO. Arginine
masuk dalam sel dangan transport aktif dan defek pada mekanisme transpor berkontribusi pada
ketergantungan arginine dengan meningkatnya kadar ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan. Dalam
endotel, transpor arginin secara kuat berikatan dengan NOS, bila ikatan ini rusak oleh karena injuri
endotel maka kadar normal ekstraseluler mungkin berkurang untuk memproduksi NO. Defisiensi
Arginine telah memperlihatkan terjadinya hipertensi pulmonal dan infuse L-arginine (500 mg/kg
selama 30 menit pada bayi hipertensi pulmonal terjadi peningkatan PaO2 selama lebih 5 jam.

a. NO inhalasi

Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan secara inhalasi dengan waktu paruh
singkat, hal ini bermanfaat sebagai tes vasodilator pada pengobatan hipertensi pulmonal. Efek
inhalasi NO pada pasien hipertensi pulmonal primer memperlihatkan perbaikan dalam
parameter hemodinamik, efek jangka panjang belum diteliti namun beberapa pasien tampak
menunjukan manfaat dengan terapi tersebut untuk jangka lama.

b. Suplemen Arginine
Pemberian L-arginine (500 mg/kg infuse selama 30 menit) pada 10 pasien IPAH menghasilkan
penurunan mPAP sampai 15.8 ± 3.6% (p < 0.005) dan PVR sampai 27 ± 5.8% (p < 0.005),
dibandingkan dengan titrasi prostasiklin saja sampai dosis maksimal penurunan mPAP 13.0 ±
5.5% (p < 0.005) dan PVR 46.6 ± 6.2% (p < 0.005). Infus L-arginine mengurangi mPAP dengan
memediasi vasodilatasi oleh NOS.

5. Terapi Bedah

a. Atrial Septostomi

Atrial septostomi adalah membuat suatu right-to-left interatrial shunt untuk mengurangi
tekanan dan volume overload di jantung kanan. Dengan berkembangnya strategi terapi obat, maka atrial
septostomi hanyalah suatu prosedur paliatif atau sebagai permulaan untuk tranplantasi paru. Pemilihan
pasien, waktu dan perkiraan ukuran septostomi adalah hal yang masih krusial. Tranplantasi jantung-
paru terutama untuk IPAH yang gagal dengan semua strategi terapi. Survival pasien IPAH yang
mengalami tranplantasi paru kira-kira 66%-75% pada 1 tahun pertama. Dan yang paling sering adalah
bilateral transplantasi.

b. Transplantasi paru-paru

Hipertensi pulmonal primer biasanya progresif dan akhirnya berakibat fatal. Paru-paru
transplantasi adalah suatu pilihan pada beberapa pasien lebih muda dari 65 tahun yang memiliki
hipertensi pulmonal yang tidak merespon manajemen medis. Menurut AS tahun 1997 transplantasi
laporan registri, 24 penerima transplantasi paru-paru dengan hipertensi pulmonal primer memiliki
tingkat ketahanan hidup dari 73 persen pada satu tahun, 55 persen di tiga tahun dan 45 persen pada lima
tahun. Pengurangan langsung tekanan arteri paru-paru dikaitkan dengan perbaikan dalam fungsi
ventrikel kanan.

2.12 Prognosis

Kemungkinan kelangsungan hidup setelah diagnosis hipertensi pulmonal primer adalah lebih
kurang 3tahun, tapi angka ini sangat bervariasi. Sebagai hasil dari pengobatan baru, pasien tanpa bukti
hemodinamik disfungsi ventrikel kanan dapat bertahan hidup selama lebih dari 10 tahun.

Prognosis untuk pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder tergantung pada penyakit yang
mendasari, serta fungsi ventrikel kanan. Sebagai contoh, pasien dengan PPOK dan obstruksi aliran
udara moderat memiliki tiga tahun angka kematian 50 persen setelah onset kegagalan ventrikuler kanan.
Survival adalah juga dipengaruhi pada pasien dengan penyakit paru-paru interstisial dan hipertensi
pulmonal.
SYNDROMA EISESN MENGER

Sindroma Eisenmenger terdapat pada pasien dengan dengan hubungan vascular


sistemik ke pulmonal yang besar, yang mengakibatkan aliran darah balik dari kiri ke kanan.
Hal ini menjelaskan penyakit vascular obstruktif pulmonal yang berkembang sebagai akibat
shunt dari kiri ke kanan, level sistemik tekanan arteri pulmonal dengan arah aliran yang
menjadi bi-direk, dan kemudian dari kiri ke kanan, yang kemudian menetap dan i-reversibel.

Pasien dengan sindroma Eisenmenger biasanya meninggal premature akibat komplikasi


dari hipertensi pulmonal dan sianosis, atau akibat kejadian yang berlangsung pada saat yang
sama namun kurang dapat ditoleransi akibat dari gangguan kardiovaskuler yang tidak
memadai.

Sindroma ini pertama kali digambarkan oleh, Victor Eisenmenger, 1897 berdasarkan
kasus dari pria usia 32 tahun dengan defek septum ventricular, sianosis, dispneu sejak masa
kanak. Pasien sempat menjalani kehidupan aktif hingga tiga tahun sejak kematiannya ketika
dia terkena gagal jantung kongestif progresif dan meninggal seusai hemoptisis fatal. Kondisi
patologi tersebut menyertakan defek septum ventricular perimembran ventricular, hipertrofi
ventrikel kiri dan kanan, dilatasi ventrikel kanan, atherosclerosis pulmonal dan emboli
pulmonal dengan infark pulmonal yang menyertainya.

Aliran darah pulmonal yang meningkat terjadi pada hubungan sistemik-pulmonal yang
mengakibatkan reaksi rantai patologis dengan akibat perubahan structural progresif pada
struktur mikrovaskuler yang mulus. Perubahan pertama berupa memanjangnya sel otot polos
hingga arteriola pulmonal non-muskular. Berikutnya, terdapat pertumbuhan hipertrofi medial
dari arteri pulmonal yang lebih proksimal. Selanjutnya, terdapat perkembangan hipertrofi
medialdari arteri pulmonal non-muskular proksimal, Kemudian, proliferasi tunika intimaae dan
fibrosis konsentrik mengakibatkan hilangnya arteri pulmonal distal dan kenaikan resistensi
vaskuler pulmonal. Ketika resistensi vaskuler pulmonal meningkat dan melebihi resistensi
vaskuler sistemik, shunt dari kiri ke kanan berbalik menjadi dari kanan ke kiri. Hal ini
mengakibatkan pasien dengan sindroma Eisenmenger cenderung klinis menjadi sianosis dan
clubbing (jari tabuh).

Sindroma tersebut dapat berkembang menjadi penyakit jantung kongenital termasuk


defek simple, seperti atrial septal defect (ASD), ventricular septal defect dan patent ductus
arteriosus sama halnya dengan defek komplek seperti atrioventricular septal defect (AVSD),
truncus arteriosus, jendela aorta-pulmonal dan ventrikel tunggal. Resistensi vaskuler pulmonal
tinggi biasanya ditegakkan dalam awal pertama kehidupan

Pasien dengan defek berupa komunikasi pulmonal dan sirkuit sistem pada level aorta
maupun pulmonal biasanya melewati masa kanak-kanak yang sehat jika mereka tidak
berkembang menjadi gagal jantung kongestif dini, tetapi seiring waktu menjadi lebih sianosis.
Intoleransi fisik, mengakibatkan dispneu dan kelelahan pada saat pemberian beban fisik, yang
proporsional terhadap derajat hipoksemia atau sianosis. Penting untuk memahami kekhususan
hemodinamika pada pasien ini. Walaupun tidak ada pembatasan beban fisik untuk ini, dokter
harus menyadari bahwa latihan fisik meningkatkan perfusi otot dengan reduksi resistensi
vaskuler sistemik yang bermakna. Hal ini berkompensasi terhadap kenaikan output jantung
yang memberikan kenaikan signifikan pada tekanan ventrikel kanan. Meningkatnya tekanan
ventrikel kanan pada pasien dengan hipertensi pulmonal mengakibatkan gagal jantung
ventrikel kanan dan memberikan output jantung yang rendah. Perhatian harus diberikan untuk
terapi medis mengingat pasien ini yang muncul dengan nyeri dada, preparat nitrat maupun
lainnya di-kontraindikasikan.

Pada kondisi tanpa komplikasi, pasien dengan sindroma Eisenmenger biasanya


memiliki kapasitas fungsional yang baik hingga kurang lebih berusia 30 tahun dan biasanya
mereka memiliki penurunan progresif dalam kemampuan fisik mereka.

Pada pasien dengan ASD medium maupun besar, pasien dengan Eisenmenger fisiologis
biasanya secara fungsional memiliki kapasitas yang baik hingga berusia 30 tahun dan
kemudian dihubungkan dengan kehamilan, tromboemboli berulang atau perkembangan primer
ataupun penyebab sekunder dari hipertensi pulmonal.

Prevalensi menyeluruh sindroma Eisenmenger sekitar 4% dari dewasa yang dikaitkan


dengan keberadaan penyakit jantung koroner yang didasarkan pada gambaran dari 2 senter,
walaupun gambaran yang lebih tinggi sebesar 19% tercatat pada senter khusus pada dewasa
dengan defek jantung kongenital. Sindroma Down sering kali (hingga 40%) dihubungkan
dengan defek jantung kongenital. Pada satu seri penelitian penelitian sebanyak 2.609 dewasa
yang dirujuk untuk pemeriksaan jantung pada pusat kesehatan di Kanada, 3% dengan sindroma
Down. Insidensi sindroma Eisenmenger kurang lebih 40% dari penelitian ini, dengan AVSD
sebagai defek structural yang paling sering dihubungkan (58%) diikuti VSD (33%). Pada
pasien dengan sindroma Eisenmenger pada seri penelitian Toronto, pasien sindromik terhitung
sebesar 29%.

Resistensi pulmonal yang meningkat pada sindroma Eisenmenger membawa prognosis


serius selama kehamilan. Selama periode ante-partum, penurunan resistensi vaskuler sistemik
dikaitkan dengan kehamilan yang meningkakan kecenderungan dan derajat shunting dari kanan
ke kiri serta sianosis ada ibu dan janin dapat terjadi. Tingkat kematian maternal dengan
keberadaan sindroma Eisenmenger dilaporkan meningkat hingga 50-65% dengan seksio
cesarea. Kesuluruhan dengan terminasi janin dilaporkan hingga 75%. Terminasi kehamilan
medis merupakan managemen terpilih pada pasien dengan sindroma Eisenmenger yang datang
pada awal kehamilan

Defek congenital ini berhubungan dengan kelainan jantung yang lain, terutama ventrikel
septal defek dan ventrikel ductus arteriosus yang menyebabkan hipertensi pulmonal (tekanan
tinggi pada paru yang menghalangi darah untuk reoksigenasi). Hal ini merupakan kondisi
serius karena terjadi peredaran darah kanan ke kiri, keadaan ini menyebabkan darah miskin
oksigen dipompa ke seluruh tubuh. Tanpa oksigen, jaringan akan mati termasuk organ -
organ penting seperti otak, jantung, ginjal, paru-paru dan uterus.

Dengan darah yang hipooksigenasi digunakan untuk mensuplai uterus, dapat menyebabkan
terjadinya gangguan pertumbuhan pada janin yang berakhir pada kematian.

Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan volume darah yang besar, yang dapat
menambah beban kerja jantung dimana tubuh mencoba merespon dengan memproduksi sel
darah merah pembawa oksigen, sehingga sel darah merah yang diproduksi mempunyai tebal
yang lebih daripada normal. Perubahan yang ireversibel ini bisa terjadi pada keadaan seperti
cardiomegali, hipertensi pulmunal dengan derajad yang lebih parah, sianosis kronik. Keadaan
seperti ini dapat membawa ke keadaan seperti serangan jantung, gagal jantung, stroke, dan
kematian. Angka kematian dapat terjadi sekitar 30 – 65 %.

Keadaan ini menyebabkan kebutuhan bayi tidak tercukupi, semakin banyak gejala dan
keluhan yang ditemukan, semakin tinggi resiko yang didapatkan oleh si bayi. Wanita dengan
penyakit jantung ini biasanya dianjurkan untuk tidak hamil. Bila terjadi kehamilan dianjurkan
untuk terminasi kehamilan untuk menghindari resiko kematian. Jika tetap ingin melanjutkan
kehamilan sampai aterm, ibu dan bayi akan diawasi ketat terhadap tanda – tanda tersebut
diatas
Defek kongenital dihubungkan dengan sindroma Eisenmenger termasuk defek septum
ventrikel (VSD) dan defek septrum atrial, defek atrioventrikular, PDA, transposisi D dari
pembuluh darah utama dan secara operatif membuat koneksi aortapulmonal. Sejak pertama
kali dideksripsikan oleh Victor Eisenemnger pada tahun 1897, tercatat bahwa 8% dari semua
pasien dengan penyakit jantung kongenital dan sekitar 11% dengan shunting dari kiri ke kanan
yang menjadi sindroma Eisenmenger. Kurang lebih 50% bayi dengan VSD besar, non-restriktif
atau PDA dengan peningkatan resistensi pulmonal pada awal masa kanak dan 40% pasien
dengan VSD atau PDA dan transposisi arteria besar yang terkena hipertensi pulmonal pada
awal pertama masa kehidupan. Dengan ASD sekundi besar, hanya 10% yang berkembang
menjadi hipertensi pulmonal dan mereka berkembang lebih pelan dan biasanya tidak berjalan
hingga dekade 3 kehidupan. Pada hampir semua pasien dengan trunkus arteriosus pulmonal
persisten dan aliran darah pulmonal yang tidak dibatasi, pasien dengan kanal trioventrikular
umum, resistensi pulmonal berat terjadi pada dekade kedua kehidupan. Dengan shunt yang
tercipta secara operatif dari sistemik-pulmonal, frekuensi hipertensi pulmonal beragam pada
ukuran dan anatomi shunt.

Pasien dengan sindroma Eisenmenger biasanya datang dengan keluhan gangguan dalam
toleransi fisik akibat ketidakmampuan dalam meningkatkan aliran darah pulmonal.
Ketidakmampuan dalam meningkatkan aliran darah pulmonal, membatasi intake oksigen.
Gejala lainnya termasuk abnormalitas neurologis ringan seperti nyeri kepala, pusing maupun
gangguan visus akibat eritrositosis dan hiperviskositas. Sebagai tambahan, aritmia merupakan
hal yang umum dan dapat mengakibatkan kematian mendadak. Hemoptisis juga dapat terjadi,
akibat kerusakan vaskularisasi pulmonal. Kerusakan serebrovaskuler dapat terjadi akibat
embolisasi paradoksika, trombosis vena pemuluh darah serebralis atau perdarahan intra kranial.
Tambahan, pasien juga dapat terkena abses otak.

Patofisiologi sindroma Eisenmenger tersusun atas gangguan morfologis inisial (hipertrofi


medial arteriola pulmonalis, proliferasi tunika intima, fibrosis dan sumbatan pembuluh darah
kecil ), yang potensial reversible. Ketika penyakit bertambah parah, muncul perubahan
morfologis lebih lanjut (lesi pleksiformis dan arteritis nekrotikans) yang ireversibel. Hasilnya
berupa obliterasi bed vaskuler pulmonal yang mengakibatkan resistensi vaskuler pulmonal dan
aliran balik shunt.

Apapun etiologi sindroma Eisenmenger, peningkatan resistensi vaskuler pulmonal


memberikan prognosis yang lebih berat selama kehamilan. Pada periode antepartum,
penurunan resistensi vaskuler sistemik yang dihubungkan dengan kehamilan meningkatkan
kecenderungan dan derajat shunting dari kanan ke kiri. Kenaikan shunting dari kanan ke kiri
menurunkan perfusi pulmonal. Hal ini mengurangi akibat dari hipoksemia baik untuk ibu
maupun janin. Pada pasien semacam ini, hipotensi sistemik mengakibatkan peningkatan
tekanan pengisian ventrikel kanan dan dengan keberadaan resistensi pulmonal terfiksasi,
penurunan tekanan jantung kanan tidak memadai perfusi bed arterial pulmonal. Insufisiensi
semacam ini, mengakibatkan hipoksemia berat yang mendadak dan kematian. Hipotensi
maternal selama kehamilan dapat berasal dari perdarahan atau komplikasi dari anestesia.
Akibat dari kejadian ini, kepentingan klinis akibat dari managemen peripartum pada pasien
dengan resistensi pulmonal yang meningkat.

Tingkat survival pada pasien dengan sindroma Eisenmenger 80% 10 tahun setelah diagnosis,
77% setelah 15 tahun, dan 42% setelah 25 tahun. Kematian biasanya terjadi mendadak, diduga
terutama akibat aritmia, tetapi beberapa pasien meninggal akibat gagal jantung, hemoptisis,
abses otak atau stroke. Riwayat sinkope, disfungsi sistolik ventrikel kanan, output jantung yang
rendah dan hipoksemia berat mengindikasikan prognosis yang kurang baik.

Terapi pasien dengan sindroma Eisenmenger yang sulit. Deplesi volume intravaskuler, latihan
fisik, tempat dengan ketinggian, dan penggunaan vasodilator sebaiknya dihindari. Karena
tingginya morbiditas dan mortalitas pada kkehamilan baik untuk maternal dan janin, maka
kehamilan sebaikny dihindari. Walaupun tidak ada terapi yang terbukti mengurangi resistensi
vaskuler pulmonal, intravena epoprostenol IV dapat menguntungkan. Flebotomi dengan
penggantian isovolume sebaiknya dilakukan pada pasien dengan gejala hiperviskositas. Untuk
pasien marker prognosis kurang seperti sinkope, kegagalan jantung kanan, dan/atau
hipoksemia berat, tranplantasi jantung dengan perbaikan defek kardial atau dikombinasikan
berupa tranplantasi jantung-paru merupakan pilihan. Karena kecenderungan survival yang
tampaknya baik pada pasien yang mendapatkan terapi medis dan keterbatasan dalam
kesuksesan untuk tranplantasi, sehingga kemudian hanya digunakan sebagai usaha terakhir dan
pun pada pasien terpilih.

Sindroma Eisenmenger merupakan kontraindikasi absolut pada kehamilan dan jika pasien
dengan sindroma ini kemudian hamil, maka terminasi kehamilan (setinggi 50%). Yentis dkk
memeriksa tingkat mortalitas pada kelompok pasien dari tahun 1990-1995 dan menemukan
bahwa, serupa dengan laporan inisial dari tahun 1950, mortalitas maternal tetap tinggi sekitar
40% dan kehilangan janin sebesar 8%. Hanya 15% dari janin diamati lahir sesuai waktu.
Mortalitas maternal dihubungkan dengan sindroma Eisenmenger yang tetap tinggi selama 50
tahun ke belakang.

Peneliti telah mencari metode untuk menurunkan tingkat mortalitas pada kehamilan dengan
sindroma Eisenmenger. Avila dkk memeriksa kelompok yang terdiri atas 12 pasien dan dengan
riwayat 13 kehamilan. Mereka menemukan 3 abortus spontan, satu persalinan prematur pada
23 minggu kehamilan dan dua kematian maternal pada minggu kehamilan ke-23 dan -27. Tujuh
dari 12 pasien mencapai akhir trimester kedua. Kelompok ini kemudian dimondokkan hingga
persalinan dan memperoleh heparin (20.000-40.000 U/hari) serta terapi oksigen. Seksio
cesarea dilakukan pada seluruh pasien dikarenakan memburuknya kondisi kehamilan atau
kondisi klinis janin selama trimester ketiga dari kehamilan. Seluruh ibu kemudian dipulangkan
dari rumah sakit, tetapi salah satu di anatara meninnggal 30 hari post partum. Peneliti kemudian
menyimpulkan bahwa walaupun kehamilan tidak disarankan pada wanita dengan sindroma
Eisenmenger, yang dengan sukses bed rest panjang dan dengan penggunaan heparin dan terapi
oksigen untuk memperbaiki outcome maternal dan bayi. Penelitian lain, bagaimanapun,
menunjukkan efek negatif profilaksis heparin pada pasien-pasien ini. Oleh karena itu, peran
antikoagulasi pada penatalaksanaan pasien dengan sindroma Eisenmenger tetap merupakan
kontrovesi.

Nitrogen oksida inhalasi yang merupakan vasodilator poten dan selektif digunakan pada pasien
dengan hipertensi pulmonal. Dipikirkan bahwa inhalasi nitrogen oksida dapat mengurangi
resistensi pulmonal dan memperbaiki oksigenasi karena optimalisasi perfusi-ventilasi.
Terdapat laporan penggunaan nitrogen oksida selama kehamilan pada pasien dengan sindroma
Eisenmenger. Goodwin dkk melaporkan kasus wanita berusia 27 tahun yang diberi nitrogen
oksida untuk memperbaiki hipoksemia refrakter sindroma Eisenmenger selama melahirkan
bayi 36 minggu. Walaupun terapi vasodilator kontinu, namun, pasien meninggal pada hari post-
partum ke-6. Laporan lainnya oleh Lust dkk, menyatakan penggunaan nitrogen oksida pada
periode peripartum dari wanita 29 tahun primigravida pada minggu kehamilan ke-34. Setelah
melahirkan, dia meninggal akibat hipertensi pulmonal yang memburuk dan gagal jantung pada
hari post-partum ke-21.

Anda mungkin juga menyukai