Anda di halaman 1dari 25

A.

Definisi TBC
Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Mycrobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberculosis menyerang
paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya. (Depkes, 2008)
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang pada berbagai organ tubuh mulai dari paru dan
organ di luar paruseperti kulit, tulang, persendian, selaput otak, usus serta ginjal yang
sering disebut dengan ekstrapulmonal TBC. (Chandra,2012)
Tuberkulosis adalah penyakit radang pareknim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosa. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu
pneumonia yang disebabkan oleh M. Tuberculosa. (Darmanto, 2014)
Menurut Sulianti (2004) Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Sebagian besar kuman ini menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang yang
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu
disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa
tahun.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru atau berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi.
Penyakit tuberkulosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir
seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal
biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami
penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. (PDPI, 2011)
Terdapat beberapa spesies Mycobacterium tuberculosis compleks, antara lain :
M. tuberculosis, Varian Asian, Varian African I, Varian African II, M. bovis, M. leprase
dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan
pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis)
seperti M. kansasi, M. avium, M. intra cellularre, M. scrofulaceum, M.malmacerse, M.
xenopi yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB.
Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap
Mycobacterium tuberkulosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB.

B. Tanda dan Gejala TBC


Gejala utama TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan (Sudoyo, 2009; Wijaya, 2013, Zumla,
2013). Gejala ini semakin lama semakin berat dan hilang timbul secara tidak teratur
(Sudoyo, 2009; Zumla et al, 2013). Penelitian yang dilakukan Sanmuganathan (2015) di
Malaysia menunjukkan bahwa gejala klinis yang paling sering ditemui adalah batuk
lama dan penurunan berat badan (27,5%) diikuti dengan batuk lama dengan sputum,
penurunan berat badan demam dan berkeringat pada malam hari dengan 15%. Penelitian
yang dilakukan oleh Feng et al (2012) di Taiwan menunjukkan bahwa batuk lebih dari 3
minggu berhubungan dengan rendahnya mortalitas.
Menurut Wong (2008) tanda dan gejala tuberkulosis adalah: Demam, Malaise,
Anoreksia, Penurunan berat badan, Batuk ada atau tidak (berkembang secara perlahan
selama berminggu minggu sampai berbulan – bulan), Peningkatan frekuensi pernapasan,
Ekspansi buruk pada tempat yang sakit, Bunyi napas hilang dan ronkhi kasar, pekak
pada saat perkusi, Demam persisten, Manifestasi gejala yang umum: pucat, anemia,
kelemahan, dan penurunan badan.
Secara umum, tanda dan gejala Tuberculosis adalah :
1. Gejala awal penyakit Tuberkulosis (TB) tidak spesifik, umumnya adalah
batuk produktif yang berkepanjangan (>3 minggu), sesak nafas, nyeri dada,
anemia/kurang darah, batuk darah, rasa lelah, berkeringat di malam hari.
2. TB mudah menular melalui udara yang tercemar oleh bakteri micro
bacterium tuberculosa yang dilepaskan pada saat penderita TB paru batuk,
dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB paru
dewasa.
3. Penyakit TB dapat disembuhkan secara tuntas dengan minum obat secara
rutin dan teratur, minimal selama 6 bulan dibantu oleh Pengawasan Minum
Obat (PMO).
4. Imunisasi BCG adalah salah satu alterbnatif pencegahan TB.
5. Segera lakukan pencegahan penularan penyakit TB bila telah terdiagnosa.

C. Pemeriksaan TBC
Berikut pemeriksaan untuk mendiagnosis TB menurut Depkes 2014:
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan ini berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai pengobatan
yang telah dilakukan, dan menentukan potensi penularan TB. Dilakukan
dengan mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
a. S (Sewaktu): Dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali dan pada saat pulang diberi sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi di pagi kedua
b. P (Pagi): Dikumpulkan di rumah pada hari kedua di pagi hari. Pada saat
bangun tidur segera dikumpulkan dan diserahkan sendiri ke petugas di
Fasyankes.
c. S (Sewaktu): Dikumpulkan di hari kedua pada saat mengumpulkan
dahak pagi.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux): Dilakukan dengan cara
penyuntikan pada intakutan. Bila positif, menunjukkan adanya infeksi
TB. Namun, uji tuberkulin dapat negatif pada anak TB berat dengan
anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif, dan
lain-lain). (Raharjoe dan Setyanto, 2008)
b. Reaksi cepat BCG (Bacille Calmette-Guerin): Disuntikkan ke kulit. Bila
dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa
kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka orang tersebut telah terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis. (Depkes RI, 2005)
c. Pemeriksaan Radiologi: Pada pemeriksaan ini sering menunjukkan
adanya TB, tetapi hampir tidak dapat mendiagnosis karena hampir semua
manifestasi klinis TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya.
(Price danStandridge, 2005)
d. Pemeriksaan Bakteriologik: Pada pemeriksaan ini yang paling penting
adalah pemeriksaan sputum. (Price dan Standridge, 2005)

D. Klasifikasi TBC
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis paru dalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif
2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis
3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif
4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien
buruk.
b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
1) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Catatan:
Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka
untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai
pasien TB paru.
Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ,
maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya
paling berat.

4. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur).
c. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) adalah pasien TB yang
telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh,
gagal,

E. Faktor Penyebab TBC


Penyebab utama meningkat kejadian TB paru ialah :
1. Kemiskinan diberbagai masyarakat dan kalangan kota dan di kalangan
rumah-rumah industri dan menyerang di negara berkembang
2. Kegagalan TB ialah karena tidak komitmennya politik pendanaan, tidak
memadainya organisasi pelayanan TB (kurang taunya masyarakat, penemuan
kasus/diagnosis yang tidak standar, obat yang tidak terjamin ketersediaannya,
tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelporan) dan infrastuktur yang
buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan
masyarakat
3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan
4. Dampak pandemik HIV yang berkembang cepat
5. Waktu pengobatan TB yang relatif lama (6-8 bulan) menjadi penyebab
penderita TB sulit sembuh karena pasien TB berhenti berobat (drop) setelah
merasa sehat meski proses pengobatan belum selesai
6. Adanya penderita TB laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya
tahan tubuh menurun, penyakit TB akan muncul.
7. Munculnya permasalahan TB-MDR (Multi Drugs Resistant=kebal terhadap
bermacam obat) (Depkes, 2007)

F. Cara Penularan TBC


Penyakit TBC menular ketika pengidap mengeluarkan dahak atau cairan liur dari
mulutnya yang berisi kuman tuberculosis ke udara — misalnya saat batuk,
bersin, berbicara, bernyanyi, atau bahkan tertawa — dan kemudian dihirup oleh
orang lain. Kuman yang keluar pengidap TBC dapat bertahan di udara lembab
yang tidak terpapar sinar matahari selama berjam-jam. Akibatnya, setiap orang
yang berdekatan dan berinteraksi dengan penderita TBC secara langsung
berpotensi menghirupnya sehingga akhirnya tertular.
Menurut data milik Kemenkes RI dalam Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, untuk satu kali batuk seseorang biasanya bisa menghasilkan
sekitar 3.000 percikan air liur.
Kuman penyebab TB umumnya dapat bertahan hidup di udara bebas selama satu
sampai dua jam, tergantung dari ada tidaknya paparan sinar matahari,
kelembapan, dan ventilasi. Kuman yang terpapar sinar ultraviolet langsung akan
mati dalam beberapa menit. Namun, kuman dapat terus hidup hingga satu
minggu jika tinggal di dahak yang berada pada suhu di antara 30-37 derajat
celcius. Pada kondisi gelap, lembap, dan dingin, kuman TB dapat bertahan
berhari-hari — bahkan sampai berbulan-bulan. Daya penularan TB dari
pengidap ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru, yang
dapat dideteksi dengan pemeriksaan dahak. Makin tinggi derajat kepositifan
hasil pemeriksaan dahak, maka makin menular pasien tersebut.
Faktanya, kebanyakan orang telah terpapar kuman TB selama hidupnya, namun
hanya 10% orang yang terinfeksi TB akan menderita penyakit ini. Salah satu
faktor penentu seseorang bisa terkena TB atau tidak adalah sistem imun
tubuhnya. Semakin kuat daya tahan tubuh Anda, semakin kecil kemungkinannya
untuk tertular TB. Orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah
biasanya cenderung lebih mudah terinfeksi. Lansia, orang dengan HIV atau
AIDS, penderita kanker, diabetes, ginjal, dan penyakit autoimun lainnya berisiko
lebih tinggi untuk terinfeksi TBC karena sistem imunnya tidak mampu melawan
pertumbuhan bakteri.
TBC lebih banyak terjadi pada laki-laki (60%) daripada perempuan (40%).
Proporsi kasus tuberkulosis terbanyak tahun 2016 ditemukan pada kelompok
usia produktif (25-34 tahun) yaitu sebesar 18,07%, diikuti kelompok umur 45-54
tahun sebesar 17,25 persen. Kasus TBC juga paling banyak ditemukan pada
golongan penduduk yang tidak bekerja dan yang tidak sekolah.

G. Komplikasi TBC
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan menjadi
dua, yaitu 17:
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema,laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut:
Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut
adalah:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya

H. Asuhan Keperawatan Pasien TBC


Dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan metode proses keperawatan
yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 4 tahap yaitu : Pengkajian,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. (H. Lismidar, 1990, IX)
1. Pengkajian
Pengkajian adalah komponen kunci dan pondasi proses keperawatan,
pengkajian terbagi dalam tiga tahap yaitu, pengumpulan data, analisa data
dan diagnosa keperawatan. (H. Lismidar, 1990. Hal 1)
a. Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan – urutan kegiatan yang dilakukan
yaitu :
1) Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin,
tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi
menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang
dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan
penderita TB patu yang lain. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996. Hal 1)
2) Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit
yang di rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri
dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan suhu badan
meningkat mendorong penderita untuk mencari pengonbatan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah diderita oleh
penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara
lain ISPA efusi pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.
4) Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang
menderita penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan
penularannya.
5) Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan
sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk
dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru
yang lain (dr. Hendrawan Nodesul, 1996).
6) Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang
berdesak – desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi
udara dan tinggal dirumah yang sumpek. (dr. Hendrawan Nodesul,
1996)
b) Pola nutrisi dan metabolik
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu
makan menurun. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
c) Pola eliminasi
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam
miksi maupun defekasi
d) Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan
menganggu aktivitas. (Marilyn. E. Doegoes, 1999)
e) Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB
paru mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan
istirahat. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
f) Pola hubungan dan peran
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena
penyakit menular. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
g) Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan
pendengaran) tidak ada gangguan.
h) Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan
emosi dan rasa kawatir klien tentang penyakitnya. (Marilyn. E.
Doenges, 1999)
i) Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan
berubah karena kelemahan dan nyeri dada.
j) Pola penanggulangan stress
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan
mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan
penolakan terhadap pengobatan. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996.
Hal 23)
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan
terganggunya aktifitas ibadah klien.
7) Pemeriksaan fisik
Berdasarkan sistem – sistem tubuh
a) Sistem integumen
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit
menurun
b) Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah.
(Purnawan Junadi DKK, th 1982, hal 213)
Palpasi : Fremitus suara meningkat. (Hood Alsogaff, 1995. Hal
80)
Perkusi : Suara ketok redup. (Soeparman, DR. Dr. 1998. Hal
718)
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah,
kasar dan yang nyaring. (Purnawan. J. dkk, 1982, DR. Dr.
Soeparman, 1998. Hal 718)
c) Sistem pengindraan
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan
d) Sistem kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 syang mengeras.
(DR.Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)
e) Sistem gastrointestinal
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.
(DR.Dr. Soeparman, 1998. Hal 718)
f) Sistem muskuloskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur
dan keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan. (Hood Al
Sagaff, 1995. Hal 87)
g) Sistem neurologis
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 456
h) Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia
8) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan Radiologi
Tuberkulosis paru mempunyai gambaran patologis, manifestasi
dini berupa suatu koplek kelenjar getah bening parenkim dan
lesi resi TB biasanya terdapat di apeks dan segmen posterior
lobus atas paru – paru atau pada segmen superior lobus bawah.
(Dr. dr. Soeparman. 1998). Hal 719)
b) Pemeriksaan laboratorium
(1) Darah
Adanya kurang darah, ada sel – sel darah putting yang
meningkatkan serta laju endap darah meningkat terjadi pada
proses aktif. (Head Al Sagaff. 1995. Hal 91)
(2) Sputum
Ditemukan adanya Basil tahan Asam (BTA) pada sputum
yang terdapat pada penderita tuberkulosis paru yang
biasanya diambil pada pagi hari. (DR. Dr. Soeparman dkk,
1998. Hal 719, Barbara. T. long. Long. Hal 447, th 1996)
(3) Test Tuberkulosis
Test tuberkulosis memberikan bukti apakah orang yang
dites telah mengalami infeksi atau belum. Tes
menggunakan dua jenis bahan yang diberikan yaitu : Old
tuberkulosis (OT) dan Purifled Protein Derivative (PPD)
yang diberikan dengan sebuah jarum pendek (1/2 inci) no
24 – 26, dengan cara mecubit daerah lengan atas dalam 0,1
yang mempunyai kekuatan dosis 0,0001 mg/dosis atau 5
tuberkulosis unit (5 TU). Reaksi dianggap bermakna jika
diameter 10 mm atau lebih reaksi antara 5 – 9 mm dianggap
meragukan dan harus di ulang lagi. Hasil akan diketahui
selama 48 – 72 jam tuberkulosis disuntikkan. (DR. Dr.
Soeparman, 1998, hal 721, Sylvia. A. price, 1995, hal 755,
Barbara. C. long, 1996, hal 446)
b. Analisa data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan
masalah klien. Masalah klien yang timbul yaitu, sesak napas, batuk,
nyeri dada, nafsu makan menurun, aktivitas, lemas, potensial, penularan,
gangguan tidur, gangguan harga diri.
c. Diagnosa keperawatan
Tahap akhir dari perkajian adalah merumuskan Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang
masalah kesehatan klien yang dapat diatas dengan tindakan keperawatan
(H. Lismidar, 1990, 12)
Dari analisa data diatas yang ada dapat dirumuskan diagnosa
keperawatan pada klien dengan tuberkulosis paru komplikasi haemaptoe
sebagai berikut :
1) Ketidakefektifan pola pernapasan sehubungan dengan sekresi
mukopurulen dano kurangnya upaya batuk (Marilyn E. Doenges,
1999)
2) Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang sehubungan
dengan keletihan, anorerksia atau dispnea. (Marilyn. E. Doenges,
1999)
3) Potensial terhadap transmisi infeksi yang sehubungan dengan
kurangnya pengetahuan tentang resiko potongan. (Marilyn. E.
Doenges, 1999)
4) Kurang pengetahuan yang sehubungan dengan kurangnya informasi
tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan dirumah.
5) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubugan dengan
sekret kental, kelemahan dan upaya untuk batuk. (Marilyn. E.
Doenges, 1999)
6) Potensial terjadinya kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan
penurunan permukaan efektif proses dan kerusakan membran
alveolar – kapiler. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
7) Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak
napas dan nyeri dada. (lynda, J. Carpenito, 1998)
2. Perencaaan
Setelah mengumpulkan data, mengelompokan dan menentukan Diagnosa
keperawatan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun perencaan. Dalam
tahap perencanaan ini meliputi 3 menentukan prioritas diagnosa
keperawatan, menentukan tujuan merencanakan tindakan keperawatan.

Dan diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana keperawatan


sebagai berikut: ketidakefektifan pola pernapasan yang sehubungan dengan
sekresi mukopurulen dan kurangnya upaya batuk.
a. Tujuan : pola nafas efektif
b. Kriteria hasil :
1) klien mempertahankan pola pernafasan yang efektif
2) frekwensi irama dan kedalaman pernafasan normal (RR 16 – 20
kali/menit)
3) dipsnea berkurang
c. Rencana tindakan
1) Kaji kualitas dan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori
pernapasan : catat setiap perubahan
2) Kaji kualitas sputum : warna, bau, konsistensi
3) Auskultasi bunyi napas setiap 4 jam
4) Baringan klien untuk mengoptimalkan pernapasan : posisi semi
fowler tinggi
5) Bantu dan ajakan klien berbalik posisi, batuk dan napas dalam setiap
2 jam sampai 4 jam
6) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat – obatan
d. Rasional
1) Mengetahui penurunan bunyi napas karena adanya sekret
2) Mengetahui perubahan yang terjadi untuk memudahkan pengobatan
selanjutnya
3) Mengetahui sendiri mungkin perubahan pada bunyi napas
4) Membantu mengembangkan secara maksimal
5) Batuk dan napas dalam yang tetap dapat mendorong sekret laluar
6) Mencegah kekeringan mukosa membran, mengurangi kekentalan
sekret dan memperbesar ukuran lumen trakeobroncial
3. Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini, fase pelaksanaan terdiri dari berbagai kegiatan
yaitu :
a. Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
konsulidasi
b. Keterampilan interpersonal, intelektual, tehnical, dilakukan dengan
cermat dan efisien pada situasi yang tepat
c. Keamanan fisik dan psikologia dilindungi
d. Dokumentasi intervensi dan respon klien ( Budi Anna keliat, SKP, th
1994, hal 13)
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap
proses keperawatan (Diagnosa, tujuan untervensi) harus di evaluasi, dengan
melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan lainnya dan
bertujuan untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan
tercapai atau tidak untuk melakukan perkajian ulang jika tindakan belum
hasil.
Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan
berhasil atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapu
alternatif tersebut adalah :
a. Tujuan tercapai
b. Tujuan tercapai sebagian
c. Tujuan tidak tercapai (Budi Anna Keliat, SKP, th 1994, hal 69)

I. Jenis-jenis dan Tingkatan Obat OAT


1. Obat Anti Tuberkulosis primer
a. Isoniazid
Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa
hipotesis yang diajukan belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis
yang diajukan, diantara efek pada lemak, biosintesis asam nukleat, dan
glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah penghambat
biosintesis asam nikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting
dinding sel mikobakterium. Isoniazid kadar rendah mencegah
perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan
bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat tahan
asam dan menurunkan jumal lemak yang terekstraksi oleh methanol oleh
obat kedalam selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif.
Isoniazid adalah obat TB yang paling murah tapi efektif untuk
membunuh bakteri penyebab TBC dibanding obat lainnya seperti,
rifampicin dan streptomicin. Obat ini bisa membunuh 90% kuman TB
dalam beberapa hari pertama setelah mulai dosis. Dosis isoniazid untuk
pengobatan TBC biasanya sekitar 300 mg untuk diminum satu kali sehari,
atau sesuai anjuran dokter. Risiko efek sampingnya meliputi sensasi baal,
kesemutan, hingga mual dan muntah.
b. Rifampisin
Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya
menghambat DNA – dependent RNA polymerase dari mikrobakteria
mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan
pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA initi RNA polymerase dari
berbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya
tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA ini
mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar
untuk menghambat pada bakteri.
Rifampicin bisa membunuh kuman yang tidak dapat dibunuh oleh obat
isoniazid. Rifampicin harus diminum bersama dengan obat anti-TBC
lainnya. Untuk dewasa, dosis rifampicin adalah 600 mg satu kali sehari,
atau 600 mg 2-3 kali seminggu.Efek samping obat ini meliputi rasa
panas pada perut, mual, muntah, kembung, dan kencing yang berwarna
merah. Namun jangan khawatir karena ini bersifat sementara. Rifampicin
juga bisa membuat penggunanya menunjukkan gejala-gejala anoreksia.
c. Etambutol
Etambutol memiliki mekanisme kerja dengan cara menghambat sintesis
metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena
itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat
tuberkulostatik.
Untuk tahap awal terapi TBC, etambutol diberikan dengan dosis 15 mg
per kilogram berat badan. Selanjutnya, dosis bisa ditingkatkan lebih dari
15 mg hingga 25 mg/kg berat badan. Etambutol mengurangi
pertumbuhan kuman TB yang resisten (kebal) terhadap obat isoniazid
dan streptomicin.
2. Obat Anti Tuberkulosis Sekunder
a. Asam Para-amino Salisilat (PAS)
Ditemukan tahun 1940, dahulu merupakan OAT garis pertama yang
disunakan bersama dengan isoniazid dan streptomycin; kemudian
kedudukannya digantikan oleh ethambutol. PAS memperlihatkan efek
bakteriostatik terhadap M. tuberculosis dengan menghambat secara
kompetitif pembentukan asam folat dari asam para-amino benzoat1.
Penggunaan PAS sering disertai efek samping yang mencakup keluhan
saluran cerna, reaksi hipersensitifitas (10% penderita), hipotiroid,
trombositopenia, dan malabsorpsi.
b. Ethionamide
Setelah penemuan isoniazid beberapa turunan pyridine lainnya telah diuji
dan ditemukan ethionamide dan prthionamide memperlihatkan aktifitas
antimikobakteri2. Mekanisme kerjanya sama seperti isoniazid, yaitu
menghambat sintesis asam mikolat. In-viro kedua turunan pyridine ini
bersifat bakterisid, tetapi resistensi mudah terjadi. Dosis harian adalah
500-1000 mg, terbagi dua dosis. Efek samping utama adalah gangguan
saluran cerna, hepatotoksisitas (4.3% penderita); ethionamide
memperlihatkan kekerapan efek samping yang sedikit lebih rendah dari
efek samping prothioamide. Efek samping yang lain adalah neuritis,
kejang, pusing, dan ginekomastia. Untungnya, basil yang sudah resisten
terhadap isoniazid masih rentan dengan ethioamide, walaupun keduanya
berasal dari senyawaan induk yang sama yaitu asam nikotinat. Antara
ethionamide dan prothionamide terjadi resistensi silang.
c. Aminoglikosida dan Capreomycin
Kelompok obat suntik ini mempunyai mekanisme kerja mengikat
ribosom di subunit 30S, yang selanjutnya berakibat pengambatan
sistesiprotein6. Obat ini harus dapat melintasi dinding sel supaya tempat
kerjanya di ribosom. Pada pH rendah yaitu di dalam kavitas dan abses,
penetrasi obat meliwati dinding sel mikobakteri terhalang, dan ini dapat
menerangkan kekurangmanjuran aminoglikosida sebagai antitiberkulosis.
Lebih lanjut aminoglikosida tak dapat melintasi dinding sel, sebab itu tak
berkhasiat terhadap mikobakteri intrasel.
Aminoglikosida berkhasiat bakterisid hanya terhadap mikobakteri yang
sedang membelah dan sedikit sekali efeknya terhadap basil yang tak
sedang membelah. Oleh karena itu aminoglikodsida hanya bermanfaat
pada pengobatan fase induksi, ketika mikobakteri dalam jumlah besar
sedang membelah diri, sedangkan pada pengobatan fase lanjut yang
diperlukan adalah OAT yang aktif terhadap mikobakteri intrasel yang
sedang membelah diri secara lambat.

Resistensi terhadap streptomycin biasanya sering dijumpai pada wilayah


dimana obat itu luas digunakan. Tempat kerja masing-masing
aminoglikosida di ribosom 30S adalah tak sama. Amikacin umumnya
aktif terhadap mikobakteri yang sudah resistant terhadap streptomycin,
tetapi antara amikacin dengan kanamycin selalu ada resistensi silang. Di
lain fihak mikobakteri yang sudah resisten dengan amikasin selalu
resisten pula dengan streptomycin. Capreomycin adalah obat mahal,
tetapi aktif terhadap strain mikobakteri yang sudah resisten terhadap
streptomycin. Strain yang sudah resisten dengan capreomycin masih
dapat diatasi dengan amikacin, tetapi sebaliknya tidak.
Berbeda dengan keempat obat sebelumnya yang diminum lewat mulut,
obat TBC ini diberikan lewat suntikan ke jaringan otot. Streptomicin
bekerja membunuh kuman TB yang sedang membelah diri. Dosis yang
direkomendasikan untuk dewasa adalah 15 mg/kg berat badan per hari,
atau 25-30 mg/kg berat badan dalam 2-3 kali seminggu. Biasanya obat
TB jenis suntik ini diberikan jika Anda sudah mengalami penyakit TB
untuk kedua kali atau tidak sembuh dengan obat minum.
d. Beta-laktam
Co-amoxiclav dan ampicillin/sulbactam in-vitro mempunyai aktifitas
terhadap M tuberculosis. Penghambat beta-laktamase adalah esensial
untuk menghambat hidrolisis oleh beta-laktamase yang dihasilkan oleh
mikobakteri, sehingga memungkinkan penetrasi aminopenicillin
meliwati dinding sel. Aktifitas bakterisidal dini coamoxiclav yang
dilaporkan sebanding dengan oxofloxacin menyokong penggunaan obat
ini di klinik.
Akan tetapi aktifitas bakterisid hanya terhadap mikobakteri pada fase
eksponensial dan tidak pada fase stasioner, sehingga diperkirakan obat
ini hanye bermanfaat untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lainnya yang diberikan bersama..Kemanjuran coamoxiclav
dalam regimen pengobatan pada kasus tuberkulosis yang resisten sudah
dilaporkan, tetapi belum ada uji klinik yang menilai efeknya secara
definitif.

e. Rifabutin
Rifabutin dan rifampicin adalah turunan rifamycin,resitensi silang dapat
terjadi antara keduanya, akan tetapi masih ada sekitar 15%
strain Mtuberculosis yang sudah resisten dengan rifampicin ditemui
masih sensitif dengan rifabutin. Rifabutin lebih disukai dari rifampicin
pada pengobatan penderita tuberkulosis dengan HIV yang sedang diobati
dengan proteaseinhibitor, karena rifabutin
merupakan metabolic inducer yang lebih lemah daripada rifampicin.

J. Efek samping obat OAT dan Penatalaksanaannya


Ada sebagian pasien TB mengalami efek samping ringan setelah minum obat
anti TB yaitu: hilang nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan
sampai rasa terbakar di kaki, warna kemerahan pada air seni (urine), jika ini
terjadi tidak apa-apa.
Jika timbul gejala tersebut, jangan berhenti minum obat anti TB tetapi mintalah
pertolongan kepada petugas kesehatan atau dokter setempat. Efek samping berat
yaitu: gatal-gatal dan warna kemerahan pada kulit, gangguan keseimbangan
tubuh, gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran, kulit kuning tanpa
penyebab lainnya.

K. Panduan Pemberian Obat TBC


Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan pertama)
dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal
3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan
2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada
anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan.
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam
bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan.
Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid
(H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan
Isoniasid (H).
Dosis:
i. INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
ii. Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
iii. Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
iv. Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
v. Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif


lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk
Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT
untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:
1. Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif
2. Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan

Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut.Tabel berikut ini adalah contoh dari
dosis KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150
mg dan komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50 mg,

Tabel Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak

BERAT BADAN 2 BULAN TIAP 4 BULAN TIAP


(KG) HARI HARI
RHZ (75/50/150) RH (75/50)

5-9 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:

1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah


sakit
2. Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh
atau digerus sesaat sebelum diminum

Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak.
Dosisnya seperti pada tabel berikut ini.
Tabel Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak

JENIS BB<10 BB 10-20 KG BB 20-32


OBAT KG (KOMBIPAK) KG

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel Dosis OAT Kombipak-fase-lanjutan pada anak

JENIS BB<10 BB 10-20 KG BB 20-32


OBAT KG (KOMBIPAK) KG

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg


Rifampisin 75 mg 150 mg 1.

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB


milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:
1. Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin)
2. Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan
3. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1–2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2–4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu 2–6 minggu. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan

Perhatian: Hindarkan pemakaian streptomisin pada anak bila


memungkinkan, karena penyuntikan terasa sakit, dapat terjadi kerusakan
permanen syaraf pendengaran, dan terdapat risiko penularan HIV akibat
perlakuan yang tidak benar terhadap alat suntikan.

L. Evaluasi Pemberian Obat TB


1. Hasil Pengobatan
a. Sembuh: penderita dinyatakan sembuh bila telah menyelesaikan
pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan dahak 3 kali berturut-turut
hasilnya negatif
b. Pengobatan lengkap: penderita yang telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang
dahak paling sedikit 2 kali berturut-turut hasilnya negatif
c. Meninggal: penderita yang dalam masa pengobatan dikarenakan
meninggal karena sebab apapun
d. Pindah: penderita yang pindah berobat ke kabupaten lain
e. Defaulter (lalai/DO): penderita yang tidak mengambil obat 2 kali
berturut-turut atau sebelum masa pengobatan selesai
f. Gagal
1) Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
/ kembali positif pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan
2) Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir
bulan ke 2 menjadi positif

Anda mungkin juga menyukai