Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH TUTORIAL KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1

TUBERKULOSIS (TBC)

Dosen Pengampu:
Ns. Wasisto Utomo, M.Kep.,Sp.KMB
Kelompok 4:
Anisatul Muntamah (1811112198) Muthiara Ihsan (1811112406)
Annisa Ramadhani (1811112392) Natasya Raisha Alfi (1811110882)
Delvi Sa’idah (1811112543) Nur Annisa (1811113551)
Dinar Rafif K (1811112898) Nur Grianing Putri (1811110471)
Fajri Disfa Madhani (1811110273) Safira Nur Hasikin (1811125347)
Herliana Safitri (1811112729) Seri (1811110592)
Keness PurnaniGrat (1811112659) Ulandari (1811110841)
Khoiriah Nasution (1811110593) Tania Sepriani (1811113334)
Mirna Nuralita Sari (1811113725) Yanni Rizkia Amlina (1811112407)

UNIVERSITAS RIAU
FAKULTAS KEPERAWATAN
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah emmebrikan kami rahmat
dan hidyah sehingga kami dapat menyelesaikan MAKALAH TUTORIAL
TUBERCULOSIS (TBC), dengan baik.
Kami ucapkan terimakasih kepada bapak Ns. Wasisto Utomo, M.Kep.,Sp.KMB,
yang telah memberikan kami kesempatan untuk melaksanakan dan membuat materi
tutorial ini.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna banyak kesalahan baik disengaja maupun
tak disengaja. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun,
kami berharap semoga makalah ini dapat membantu bagi yang membutuhkannya.

Pekanbaru, 01 November 2019

Kelompok 4.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 2
A. Definisi TBC ............................................................................................................... 2
B. Tanda dan Gejala TBC ................................................................................................ 3
C. Pemeriksaan TBC........................................................................................................ 4
D. Klasifikasi TBC ........................................................................................................... 5
E. Faktor Penyebab TBC ................................................................................................. 7
F. Cara Penularan TBC ................................................................................................... 7
G. Komplikasi TBC ......................................................................................................... 9
H. Asuhan Keperawatan Pasien TBC .............................................................................. 9
I. Jenis-jenis dan Tingkatan Obat OAT ........................................................................ 16
J. Efek samping obat OAT dan Penatalaksanaannya .................................................... 20
K. Panduan Pemberian Obat TBC ................................................................................. 20
L. Evaluasi Pemberian Obat TB .................................................................................... 24
BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 25
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 25
B. Saran.......................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi TBC
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Mycrobacterium Tuberkulosis. Sebagian besar kuman tuberkulosis
menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya. (Depkes, 2008)
merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosis yang
dapat menyerang pada berbagai organ tubuh mulai dari paru dan organ di luar
paruseperti kulit, tulang, persendian, selaput otak, usus serta ginjal yang sering
disebut dengan ekstrapulmonal TBC. (Chandra,2012)
adalah penyakit radang pareknim paru karena infeksi kuman Mycobacterium
Tuberculosa. paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan
oleh M. Tuberculosa. (Darmanto, 2014)
Menurut Sulianti (2004) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosa. Sebagian besar kuman ini menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang yang mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberkulosis
complex yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi. Mycobacterium tuberkulosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru atau berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi.
Penyakit ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh
bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya
terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami
penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. (PDPI, 2011)
Terdapat beberapa spesies Mycobacterium tuberkulosis compleks, antara lain : M.
tuberkulosis, Varian Asian, Varian African I, Varian African II, M. bovis, M. leprase

2
3

dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberkulosis yang bisa menimbulkan
gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberkulosis) seperti M. kansasi, M. avium, M. intra cellularre, M. scrofulaceum,
M.malmacerse, M. xenopi yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis
dan pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan
identifikasi terhadap Mycobacterium menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB.

B. Tanda dan Gejala TBC


Gejala utama TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan (Sudoyo, 2009; Wijaya, 2013,
Zumla, 2013). Gejala ini semakin lama semakin berat dan hilang timbul secara tidak
teratur (Sudoyo, 2009; Zumla et al, 2013). Penelitian yang dilakukan Sanmuganathan
(2015) di Malaysia menunjukkan bahwa gejala klinis yang paling sering ditemui
adalah batuk lama dan penurunan berat badan (27,5%) diikuti dengan batuk lama
dengan sputum, penurunan berat badan demam dan berkeringat pada malam hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Feng et al (2012) di Taiwan menunjukkan bahwa
batuk lebih dari 3 minggu berhubungan dengan rendahnya mortalitas.
Menurut Wong (2008) tanda dan gejala adalah: Demam, Malaise, Anoreksia,
Penurunan berat badan, Batuk ada atau tidak (berkembang secara perlahan selama
berminggu minggu sampai berbulan – bulan), Peningkatan frekuensi pernapasan,
Ekspansi buruk pada tempat yang sakit, Bunyi napas hilang dan ronkhi kasar, pekak
pada saat perkusi, Demam persisten, Manifestasi gejala yang umum: pucat, anemia,
kelemahan, dan penurunan badan.
Secara umum, tanda dan gejala Tuberkulosis adalah :
1. Gejala awal penyakit (TB) tidak spesifik, umumnya adalah batuk produktif yang
berkepanjangan (>3 minggu), sesak nafas, nyeri dada, anemia/kurang darah, batuk
darah, rasa lelah, berkeringat di malam hari.
4

2. TB mudah menular melalui udara yang tercemar oleh bakteri micro bacterium
tuberculosa yang dilepaskan pada saat penderita TB paru batuk, dan pada anak-
anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB paru dewasa.
3. Penyakit TB dapat disembuhkan secara tuntas dengan minum obat secara rutin
dan teratur, minimal selama 6 bulan dibantu oleh Pengawasan Minum Obat
(PMO).
4. Imunisasi BCG adalah salah satu alternatif pencegahan TB.
5. Segera lakukan pencegahan penularan penyakit TB bila telah terdiagnosa.

C. Pemeriksaan TBC
Berikut pemeriksaan untuk mendiagnosis TB menurut Depkes 2014:
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan ini berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai pengobatan
yang telah dilakukan, dan menentukan potensi penularan TB. Dilakukan dengan
mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari berupa
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
a. S (Sewaktu): Dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali dan pada saat pulang diberi sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak
pagi di pagi kedua
b. P (Pagi): Dikumpulkan di rumah pada hari kedua di pagi hari. Pada saat
bangun tidur segera dikumpulkan dan diserahkan sendiri ke petugas di
Fasyankes.
c. S (Sewaktu): Dikumpulkan di hari kedua pada saat mengumpulkan dahak pagi.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux): Dilakukan dengan cara penyuntikan
pada intrakutan. Bila positif, menunjukkan adanya infeksi TB. Namun, uji
tuberkulin dapat negatif pada anak TB berat dengan energi (malnutrisi,
penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif, dan lain-lain). (Raharjoe dan
Setyanto, 2008)
b. Reaksi cepat BCG (Bacille Calmette-Guerin): Disuntikkan ke kulit. Bila dalam
penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan
5

indurasi > 5 mm, maka orang tersebut telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberkulosis. (Depkes RI, 2005)
c. Pemeriksaan Radiologi: Pada pemeriksaan ini sering menunjukkan adanya TB,
tetapi hampir tidak dapat mendiagnosis karena hampir semua manifestasi klinis
TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya. (Price danStandridge, 2005)
d. Pemeriksaan Bakteriologik: Pada pemeriksaan ini yang paling penting adalah
pemeriksaan sputum. (Price dan Standridge, 2005)

D. Klasifikasi TBC
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a. Paru dalah yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Ekstra paru adalah yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada:
a. Paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran
3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif
4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
6

4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.


3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses
“far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
1) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan alat kelamin.
Catatan: Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru,
maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai
pasien TB paru.Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa
organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya
paling berat.
4. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) adalah pasien TB yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
7

e. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami
kambuh, gagal.

E. Faktor Penyebab TBC


Penyebab utama meningkat kejadian TB paru ialah :
1. Kemiskinan diberbagai masyarakat dan kalangan kota dan di kalangan rumah-
rumah industri dan menyerang di negara berkembang
2. Kegagalan TB ialah karena tidak komitmennya politik pendanaan, tidak
memadainya organisasi pelayanan TB (kurang taunya masyarakat, penemuan
kasus/diagnosis yang tidak standar, obat yang tidak terjamin ketersediaannya,
tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan) dan infrastuktur yang
buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan
masyarakat
3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan
4. Dampak pandemik HIV yang berkembang cepat
5. Waktu pengobatan TB yang relatif lama (6-8 bulan) menjadi penyebab penderita
TB sulit sembuh karena pasien TB berhenti berobat (drop) setelah merasa sehat
meski proses pengobatan belum selesai
6. Adanya penderita TB laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya tahan
tubuh menurun, penyakit TB akan muncul.
7. Munculnya permasalahan TB-MDR (Multi Drugs Resistant=kebal terhadap
bermacam obat) (Depkes, 2007)

F. Cara Penularan TBC


Penyakit TBC menular ketika pengidap mengeluarkan dahak atau cairan liur dari
mulutnya yang berisi kuman tuberkulosis ke udara — misalnya saat batuk, bersin,
8

berbicara, bernyanyi, atau bahkan tertawa — dan kemudian dihirup oleh orang lain.
Kuman yang keluar pengidap TBC dapat bertahan di udara lembab yang tidak
terpapar sinar matahari selama berjam-jam. Akibatnya, setiap orang yang berdekatan
dan berinteraksi dengan penderita TBC secara langsung berpotensi menghirupnya
sehingga akhirnya tertular.
Menurut data milik Kemenkes RI dalam Pedoman Nasional Pengendalian , untuk
satu kali batuk seseorang biasanya bisa menghasilkan sekitar 3.000 percikan air liur.
Kuman penyebab TB umumnya dapat bertahan hidup di udara bebas selama satu
sampai dua jam, tergantung dari ada tidaknya paparan sinar matahari, kelembapan,
dan ventilasi. Kuman yang terpapar sinar ultraviolet langsung akan mati dalam
beberapa menit. Namun, kuman dapat terus hidup hingga satu minggu jika tinggal di
dahak yang berada pada suhu di antara 30-37 derajat celcius. Pada kondisi gelap,
lembap, dan dingin, kuman TB dapat bertahan berhari-hari — bahkan sampai
berbulan-bulan. Daya penularan TB dari pengidap ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari paru, yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan dahak. Makin
tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, maka makin menular pasien
tersebut.
Faktanya, kebanyakan orang telah terpapar kuman TB selama hidupnya, namun
hanya 10% orang yang terinfeksi TB akan menderita penyakit ini. Salah satu faktor
penentu seseorang bisa terkena TB atau tidak adalah sistem imun tubuhnya. Semakin
kuat daya tahan tubuh Anda, semakin kecil kemungkinannya untuk tertular TB.
Orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah biasanya cenderung lebih
mudah terinfeksi. Lansia, orang dengan HIV atau AIDS, penderita kanker, diabetes,
ginjal, dan penyakit autoimun lainnya berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi TBC
karena sistem imunnya tidak mampu melawan pertumbuhan bakteri.
TBC lebih banyak terjadi pada laki-laki (60%) daripada perempuan (40%).
Proporsi kasus terbanyak tahun 2016 ditemukan pada kelompok usia produktif (25-
34 tahun) yaitu sebesar 18,07%, diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar ,25
persen. Kasus TBC juga paling banyak ditemukan pada golongan penduduk yang
tidak bekerja dan yang tidak sekolah.
9

G. Komplikasi TBC
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan menjadi dua,
yaitu :
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema,laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut:
Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut adalah:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya

H. Asuhan Keperawatan Pasien TBC


Dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan metode proses keperawatan
yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 4 tahap yaitu : Pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi. (H. Lismidar, 1990, IX)
1. Pengkajian
Pengkajian adalah komponen kunci dan pondasi proses keperawatan,
pengkajian terbagi dalam tiga tahap yaitu, pengumpulan data, analisa data dan
diagnosa keperawatan. (H. Lismidar, 1990. Hal 1)
a. Pengumpulan data.
Dalam pengumpulan data ada urutan – urutan kegiatan yang dilakukan yaitu :
1) Identitas klien.
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat
tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah
kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya
10

penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu yang
lain. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996. Hal 1)
2) Riwayat penyakit sekarang.
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di
rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat
malam, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat mendorong
penderita untuk mencari pengonbatan.
3) Riwayat penyakit dahulu.
Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang
mungkin sehubungan dengan paru antara lain ISPA efusi pleura serta paru
yang kembali aktif.
4) Riwayat penyakit keluarga.
Mencari diantara anggota keluarga pada paru yang menderita penyakit
tersebut sehingga sehingga diteruskan penularannya.
5) Riwayat psikososial.
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi
kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah
punya riwayat kontak dengan penderita paru yang lain (dr. Hendrawan
Nodesul, 1996).
6) Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak –
desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal
dirumah yang sumpek. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996)
b) Pola nutrisi dan metabolik.
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan
menurun. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
c) Pola eliminasi.
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi
maupun defekasi.
11

d) Pola aktivitas dan latihan.


Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu
aktivitas. (Marilyn. E. Doegoes, 1999)
e) Pola tidur dan istirahat.
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru
mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat. (Marilyn.
E. Doenges, 1999)
f) Pola hubungan dan peran.
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena penyakit
menular. (Marilyn. E. Doenges, 1999).
g) Pola sensori dan kognitif.
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan
pendengaran) tidak ada gangguan.
h) Pola persepsi dan konsep diri.
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan
rasa kawatir klien tentang penyakitnya. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
i) Pola reproduksi dan seksual.
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah
karena kelemahan dan nyeri dada.
j) Pola penanggulangan stress.
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan mengakibatkan
stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap
pengobatan. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996. Hal 23)
k) Pola tata nilai dan kepercayaan.
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya
aktifitas ibadah klien.
7) Pemeriksaan fisik.
Berdasarkan sistem – sistem tubuh:
a) Sistem integumen.
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun
b) Sistem pernapasan.
12

Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai


inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan
napas yang tertinggal, suara napas melemah. (Purnawan Junadi DKK, th
1982, hal 213).
Palpasi : Fremitus suara meningkat. (Hood Alsogaff, 1995. Hal 80)
Perkusi : Suara ketok redup. (Soeparman, DR. Dr. 1998. Hal 718)
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar
dan yang nyaring. (Purnawan. J. dkk, 1982, DR. Dr. Soeparman, 1998.
Hal 718)
c) Sistem pengindraan.
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan
d) Sistem kordiovaskuler.
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 syang mengeras. (DR.Dr.
Soeparman, 1998. Hal 718)
e) Sistem gastrointestinal.
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun. (DR.Dr.
Soeparman, 1998. Hal 718)
f) Sistem muskuloskeletal.
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan
keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan. (Hood Al Sagaff, 1995.
Hal 87)
g) Sistem neurologis.
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 456
h) Sistem genetalia.
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia
8) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan Radiologi.
paru mempunyai gambaran patologis, manifestasi dini berupa suatu
koplek kelenjar getah bening parenkim dan lesi resi TB biasanya terdapat
di apeks dan segmen posterior lobus atas paru – paru atau pada segmen
superior lobus bawah. (Dr. dr. Soeparman. 1998). Hal 719)
13

b) Pemeriksaan laboratorium
(1)Darah
Adanya kurang darah, ada sel – sel darah putting yang meningkatkan
serta laju endap darah meningkat terjadi pada proses aktif. (Head Al
Sagaff. 1995. Hal 91)
(2)Sputum
Ditemukan adanya Basil tahan Asam (BTA) pada sputum yang
terdapat pada penderita paru yang biasanya diambil pada pagi hari.
(DR. Dr. Soeparman dkk, 1998. Hal 719, Barbara. T. long. Long. Hal
447, th 1996)
(3)Test
Test memberikan bukti apakah orang yang dites telah mengalami
infeksi atau belum. Tes menggunakan dua jenis bahan yang diberikan
yaitu : Old (OT) dan Purifled Protein Derivative (PPD) yang
diberikan dengan sebuah jarum pendek (1/2 inci) no 24 – 26, dengan
cara mecubit daerah lengan atas dalam 0,1 yang mempunyai kekuatan
dosis 0,0001 mg/dosis atau 5 unit (5 TU). Reaksi dianggap bermakna
jika diameter 10 mm atau lebih reaksi antara 5 – 9 mm dianggap
meragukan dan harus di ulang lagi. Hasil akan diketahui selama 48 –
72 jam disuntikkan. (DR. Dr. Soeparman, 1998, hal 721, Sylvia. A.
price, 1995, hal 755, Barbara. C. long, 1996, hal 446)
b. Analisa data.
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan
masalah klien. Masalah klien yang timbul yaitu, sesak napas, batuk, nyeri dada,
nafsu makan menurun, aktivitas, lemas, potensial, penularan, gangguan tidur,
gangguan harga diri.
c. Diagnosa keperawatan.
Tahap akhir dari perkajian adalah merumuskan Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang masalah
kesehatan klien yang dapat diatas dengan tindakan keperawatan (H. Lismidar,
14

1990, 12). Dari analisa data diatas yang ada dapat dirumuskan diagnosa
keperawatan pada klien dengan paru komplikasi haemaptoe sebagai berikut :
1) Ketidakefektifan pola pernapasan sehubungan dengan sekresi mukopurulen
dano kurangnya upaya batuk (Marilyn E. Doenges, 1999)
2) Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang sehubungan dengan
keletihan, anorerksia atau dispnea. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
3) Potensial terhadap transmisi infeksi yang sehubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang resiko potongan. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
4) Kurang pengetahuan yang sehubungan dengan kurangnya informasi tentang
proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan dirumah.
5) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubugan dengan sekret
kental, kelemahan dan upaya untuk batuk. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
6) Potensial terjadinya kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan
penurunan permukaan efektif proses dan kerusakan membran alveolar –
kapiler. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
7) Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak napas dan
nyeri dada. (lynda, J. Carpenito, 1998)
2. Perencaaan
Setelah mengumpulkan data, mengelompokan dan menentukan Diagnosa
keperawatan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun perencaan. Dalam tahap
perencanaan ini meliputi 3 menentukan prioritas diagnosa keperawatan,
menentukan tujuan merencanakan tindakan keperawatan.
Dan diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana keperawatan sebagai
berikut: ketidakefektifan pola pernapasan yang sehubungan dengan sekresi
mukopurulen dan kurangnya upaya batuk.
a. Tujuan : pola nafas efektif
b. Kriteria hasil :
1) klien mempertahankan pola pernafasan yang efektif
2) frekwensi irama dan kedalaman pernafasan normal (RR 16 – 20 kali/menit)
3) dipsnea berkurang
c. Rencana tindakan
15

1) Kaji kualitas dan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori


pernapasan : catat setiap perubahan
2) Kaji kualitas sputum : warna, bau, konsistensi
3) Auskultasi bunyi napas setiap 4 jam
4) Baringan klien untuk mengoptimalkan pernapasan : posisi semi fowler
tinggi
5) Bantu dan ajakan klien berbalik posisi, batuk dan napas dalam setiap 2 jam
sampai 4 jam
6) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat – obatan
d. Rasional
1) Mengetahui penurunan bunyi napas karena adanya sekret
2) Mengetahui perubahan yang terjadi untuk memudahkan pengobatan
selanjutnya
3) Mengetahui sendiri mungkin perubahan pada bunyi napas
4) Membantu mengembangkan secara maksimal
5) Batuk dan napas dalam yang tetap dapat mendorong sekret laluar
6) Mencegah kekeringan mukosa membran, mengurangi kekentalan sekret dan
memperbesar ukuran lumen trakeobroncial
3. Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini, fase pelaksanaan terdiri dari berbagai kegiatan yaitu :
a. Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan konsulidasi
b. Keterampilan interpersonal, intelektual, tehnical, dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat
c. Keamanan fisik dan psikologia dilindungi
d. Dokumentasi intervensi dan respon klien ( Budi Anna keliat, SKP, th 1994, hal
13)
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap
proses keperawatan (Diagnosa, tujuan untervensi) harus di evaluasi, dengan
melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan lainnya dan bertujuan
untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan tercapai atau tidak
16

untuk melakukan perkajian ulang jika tindakan belum hasil.


Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan berhasil
atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapu alternatif tersebut
adalah :
a. Tujuan tercapai
b. Tujuan tercapai sebagian
c. Tujuan tidak tercapai (Budi Anna Keliat, SKP, th 1994, hal 69)

I. Jenis-jenis dan Tingkatan Obat OAT


1. Obat Anti primer
a. Isoniazid
Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis
yang diajukan belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang diajukan,
diantara efek pada lemak, biosintesis asam nukleat, dan glikolisis. Ada
pendapat bahwa efek utamanya ialah penghambat biosintesis asam nikolat
(mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium.
Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat
panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid
menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumal lemak yang
terekstraksi oleh methanol oleh obat kedalam selnya, dan ambilan ini
merupakan proses aktif.
Isoniazid adalah obat TB yang paling murah tapi efektif untuk membunuh
bakteri penyebab TBC dibanding obat lainnya seperti, rifampisin dan
streptomicin. Obat ini bisa membunuh 90% kuman TB dalam beberapa hari
pertama setelah mulai dosis. Dosis isoniazid untuk pengobatan TBC biasanya
sekitar 300 mg untuk diminum satu kali sehari, atau sesuai anjuran dokter.
Risiko efek sampingnya meliputi sensasi baal, kesemutan, hingga mual dan
muntah.
b. Rifampisin
17

Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya


menghambat DNA – dependent RNA polymerase dari mikrobakteria
mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan)
rantai dalam sintesis RNA initi RNA polymerase dari berbagai sel eukariotik
tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak dipengaruhi. Rifampisin
dapat menghambat sintesis RNA ini mitokondria mamalia tetapi diperlukan
kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk menghambat pada bakteri.
Rifampisin bisa membunuh kuman yang tidak dapat dibunuh oleh obat
isoniazid. Rifampisin harus diminum bersama dengan obat anti-TBC lainnya.
Untuk dewasa, dosis rifampisin adalah 600 mg satu kali sehari, atau 600 mg 2-
3 kali seminggu.Efek samping obat ini meliputi rasa panas pada perut, mual,
muntah, kembung, dan kencing yang berwarna merah. Namun jangan khawatir
karena ini bersifat sementara. Rifampisin juga bisa membuat penggunanya
menunjukkan gejala-gejala anoreksia.
c. Etambutol
Etambutol memiliki mekanisme kerja dengan cara menghambat sintesis
metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena itu obat
ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.
Untuk tahap awal terapi TBC, etambutol diberikan dengan dosis 15 mg per
kilogram berat badan. Selanjutnya, dosis bisa ditingkatkan lebih dari 15 mg
hingga 25 mg/kg berat badan. Etambutol mengurangi pertumbuhan kuman TB
yang resisten (kebal) terhadap obat isoniazid dan streptomicin.
2. Obat Anti Sekunder
a. Asam Para-amino Salisilat (PAS)
Ditemukan tahun 1940, dahulu merupakan OAT garis pertama yang
disunakan bersama dengan isoniazid dan streptomycin; kemudian
kedudukannya digantikan oleh ethambutol. PAS memperlihatkan efek
bakteriostatik terhadap M. tuberkulosis dengan menghambat secara kompetitif
pembentukan asam folat dari asam para-amino benzoat1. Penggunaan PAS
sering disertai efek samping yang mencakup keluhan saluran cerna, reaksi
hipersensitifitas (10% penderita), hipotiroid, trombositopenia, dan malabsorpsi.
18

b. Ethionamide
Setelah penemuan isoniazid beberapa turunan pyridine lainnya telah diuji
dan ditemukan ethionamide dan prthionamide memperlihatkan aktifitas
antimikobakteri2. Mekanisme kerjanya sama seperti isoniazid, yaitu
menghambat sintesis asam mikolat. In-viro kedua turunan pyridine ini bersifat
bakterisid, tetapi resistensi mudah terjadi. Dosis harian adalah 500-1000 mg,
terbagi dua dosis. Efek samping utama adalah gangguan saluran cerna,
hepatotoksisitas (4.3% penderita); ethionamide memperlihatkan kekerapan
efek samping yang sedikit lebih rendah dari efek samping prothioamide. Efek
samping yang lain adalah neuritis, kejang, pusing, dan ginekomastia.
Untungnya, basil yang sudah resisten terhadap isoniazid masih rentan dengan
ethioamide, walaupun keduanya berasal dari senyawaan induk yang sama yaitu
asam nikotinat. Antara ethionamide dan prothionamide terjadi resistensi
silang.
c. Aminoglikosida dan Capreomycin
Kelompok obat suntik ini mempunyai mekanisme kerja mengikat ribosom
di subunit 30S, yang selanjutnya berakibat pengambatan sistesiprotein6. Obat
ini harus dapat melintasi dinding sel supaya tempat kerjanya di ribosom. Pada
pH rendah yaitu di dalam kavitas dan abses, penetrasi obat meliwati dinding sel
mikobakteri terhalang, dan ini dapat menerangkan kekurangmanjuran
aminoglikosida sebagai antitiberkulosis. Lebih lanjut aminoglikosida tak dapat
melintasi dinding sel, sebab itu tak berkhasiat terhadap mikobakteri intrasel.
Aminoglikosida berkhasiat bakterisid hanya terhadap mikobakteri yang
sedang membelah dan sedikit sekali efeknya terhadap basil yang tak sedang
membelah. Oleh karena itu aminoglikodsida hanya bermanfaat pada
pengobatan fase induksi, ketika mikobakteri dalam jumlah besar sedang
membelah diri, sedangkan pada pengobatan fase lanjut yang diperlukan adalah
OAT yang aktif terhadap mikobakteri intrasel yang sedang membelah diri
secara lambat.

Resistensi terhadap streptomycin biasanya sering dijumpai pada wilayah


dimana obat itu luas digunakan. Tempat kerja masing-masing aminoglikosida
19

di ribosom 30S adalah tak sama. Amikacin umumnya aktif terhadap


mikobakteri yang sudah resistant terhadap streptomycin, tetapi antara amikacin
dengan kanamycin selalu ada resistensi silang. Di lain fihak mikobakteri yang
sudah resisten dengan amikasin selalu resisten pula dengan streptomycin.
Capreomycin adalah obat mahal, tetapi aktif terhadap strain mikobakteri yang
sudah resisten terhadap streptomycin. Strain yang sudah resisten dengan
capreomycin masih dapat diatasi dengan amikacin, tetapi sebaliknya tidak.
Berbeda dengan keempat obat sebelumnya yang diminum lewat mulut, obat
TBC ini diberikan lewat suntikan ke jaringan otot. Streptomicin bekerja
membunuh kuman TB yang sedang membelah diri. Dosis yang
direkomendasikan untuk dewasa adalah 15 mg/kg berat badan per hari, atau
25-30 mg/kg berat badan dalam 2-3 kali seminggu. Biasanya obat TB jenis
suntik ini diberikan jika Anda sudah mengalami penyakit TB untuk kedua kali
atau tidak sembuh dengan obat minum.
d. Beta-laktam
Co-amoxiclav dan ampicillin/sulbactam in-vitro mempunyai aktifitas
terhadap M tuberkulosis. Penghambat beta-laktamase adalah esensial untuk
menghambat hidrolisis oleh beta-laktamase yang dihasilkan oleh mikobakteri,
sehingga memungkinkan penetrasi aminopenicillin meliwati dinding sel.
Aktifitas bakterisidal dini coamoxiclav yang dilaporkan sebanding dengan
oxofloxacin menyokong penggunaan obat ini di klinik.
Akan tetapi aktifitas bakterisid hanya terhadap mikobakteri pada fase
eksponensial dan tidak pada fase stasioner, sehingga diperkirakan obat ini
hanye bermanfaat untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat
lainnya yang diberikan bersama..Kemanjuran coamoxiclav dalam regimen
pengobatan pada kasus yang resisten sudah dilaporkan, tetapi belum ada uji
klinik yang menilai efeknya secara definitif.

e. Rifabutin
Rifabutin dan rifampisin adalah turunan rifamycin,resitensi silang dapat
terjadi antara keduanya, akan tetapi masih ada sekitar 15%
strain Mtuberkulosis yang sudah resisten dengan rifampisin ditemui masih
20

sensitif dengan rifabutin. Rifabutin lebih disukai dari rifampisin pada


pengobatan penderita dengan HIV yang sedang diobati
dengan proteaseinhibitor, karena rifabutin merupakan metabolic inducer yang
lebih lemah daripada rifampisin.

J. Efek samping obat OAT dan Penatalaksanaannya


Ada sebagian pasien TB mengalami efek samping ringan setelah minum obat anti
TB yaitu: hilang nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa
terbakar di kaki, warna kemerahan pada air seni (urine), jika ini terjadi tidak apa-apa.
Jika timbul gejala tersebut, jangan berhenti minum obat anti TB tetapi mintalah
pertolongan kepada petugas kesehatan atau dokter setempat. Efek samping berat
yaitu: gatal-gatal dan warna kemerahan pada kulit, gangguan keseimbangan tubuh,
gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran, kulit kuning tanpa penyebab
lainnya.

K. Panduan Pemberian Obat TBC


Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan pertama)
dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3
macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2
macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak
diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan.
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam
bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket
OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid
(H). Dosis:
1. INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
2. Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
3. Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
4. Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
5. Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari
21

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif


lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk
Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT
untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:
1. Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H (Isoniazid)
dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif
2. Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid)
yang digunakan pada tahap lanjutan.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut.Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis
KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan
komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50 mg,

Tabel Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak


BERAT BADAN (KG) 2 BULAN 4
TIAP BULAN
HARI TIAP
RHZ HARI
(75/50/150) RH
(75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
22

Keterangan:

1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke


rumah sakit
2. Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis
dewasa
3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara
utuh atau digerus sesaat sebelum diminum

Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak.
Dosisnya seperti pada tabel berikut ini.

Tabel Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak

JENIS BB<10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG


OBAT (KOMBIPAK)

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg


23

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel Dosis OAT Kombipak-fase-lanjutan pada anak

JENIS BB<10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG


OBAT (KOMBIPAK)

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 1.

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier,


meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:
1. Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin)
2. Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan
3. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1–2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2–4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
24

tappering off dalam jangka waktu 2–6 minggu. Tujuan pemberian steroid ini
untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

Perhatian: Hindarkan pemakaian streptomisin pada anak bila memungkinkan,


karena penyuntikan terasa sakit, dapat terjadi kerusakan permanen syaraf
pendengaran, dan terdapat risiko penularan HIV akibat perlakuan yang tidak benar
terhadap alat suntikan.

L. Evaluasi Pemberian Obat TB


1. Hasil Pengobatan
a. Sembuh: penderita dinyatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan
secara lengkap dan pemeriksaan dahak 3 kali berturut-turut hasilnya negatif
b. Pengobatan lengkap: penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak paling sedikit 2
kali berturut-turut hasilnya negatif
c. Meninggal: penderita yang dalam masa pengobatan dikarenakan meninggal
karena sebab apapun
d. Pindah: penderita yang pindah berobat ke kabupaten lain
e. Defaulter (lalai/DO): penderita yang tidak mengambil obat 2 kali berturut-
turut atau sebelum masa pengobatan selesai
f. Gagal
1) Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif /
kembali positif pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan
2) Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan
ke 2 menjadi positif.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai