Anda di halaman 1dari 80

121

PL IV
PENUANGAN LOGAM DAN INSPEKSI

4.1 Tujuan
1. Praktikan mengetahui dan memahami pengecoran logam.
2. Praktikan mengetahui dan memahami macam-macam cacat coran dan inspeksi.
3. Praktikan mampu melakukan inspeksi dan menganalisis hasil coran.

4.2 Dasar Teori


4.2.1 Pengecoran Logam
Pengecoran logam adalah salah satu teknik pembuatan produk dimana logam dicairkan
dalam tungku peleburan kemudian dituangkan ke dalam rongga cetakan yang serupa dengan
bentuk asli dari produk cor yang akan dibuat. Sebagai suatu proses manufaktur yang
menggunakan logam cair dan cetakan, pengecoran digunakan untuk menghasilkan bentuk
asli produk jadi. (Heine, 1976, p.1).
Kelebihan pengecoran logam antara lain :
1. Dapat menghasilkan bentuk yang rumit, baik bentuk bagian luar maupun bentuk bagian
dalam, sehingga proses permesinan, pembentukkan atau pengelasan dapat dikurangi
atau kehilangan.
2. Karena sifat alami metalurginya, beberapa jenis logam hanya bisa dibentuk dengan
proses pengecoran karena sulit dibentuk dengan proses manufaktur yang lain.
3. Konstruksi dapat disederhanakan. Objek dapat dicor sekaligus sedangkan jika
menggunakan aka nada pengerjaan perbagian. Sehingga pada pengecoran tidak perlu
adanya penyambung perbagian.
4. Proses pengecoran logam memungkinkan untuk membuat benda dengan jumlah banyak
atau produksi masal karena prosesnya sangat cepat.
5. Benda yang besar dan berat bias diproduksi dengan proses pengecoran disaat tidak bias
diproduksi dengan proses lain atau dari segi ekonomi. Contohnya rumah, pompa air,
katup, unit pembangkit hidroelektrik yang beratnya bias mencapai 200 ton.
6. Beberapa sifat mekanik bisa diperoleh dari proses pengecoran logam. Contohnya : a-d
7. Keuntungan segi ekonomi dapat diraih dengan cara melakukan kombinasi poin 1 - 6
Sumber: Heine (1976, p.1)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
122

Berikut ini adalah diagram alir proses pengecoran :

Gambar 4.1 Diagram alir proses Sand Mold Casting


Sumber: Kalpakjian (1989, p.300)

Dari gambar 4.1 di atas dapat dilihat proses pengecoran logam adalah suatu urutan atau
tahapan pembuatan benda dengan menuangkan logam cair dimulai dari perancangan benda
coran sampai dengan proses pengerjaan akhir. Dalam pengecoran logam, dibagi menjadi dua
berdasarkan pada cetakan pengecoran, yaitu :
1. Expandable Mold Casting
Expandable mold casting adalah teknik pengecoran logam yang cetakannya hanya
dapat digunakan satu kali saja. Macam – macamnya yaitu:
a. Sand Casting
Proses pembentukan benda kerja dengan metode penuangan logam cair
kedalam cetakan pasir, secara sederhana cetakan pasir ini dapat diartikan sebagai
rongga hasil pembentukan dengan cara mengikis berbagai bentuk benda pada
bongkahan dari pasir yang kemudian rongga tersebut diisi dengan logam yang telah
dicairkan melalui pemanasan (Hardi Sudjana, 2008, p.145).
Kelebihan :
• Dapat dipakai untuk logam dengan titik lebur tinggi
• Dapat digunakan mencetak benda dari ukuran kecil hingga besar
• Dapat membuat komponen yang berbentuk rumit.
Kekurangan :
• Tidak dapat membuat komponen yang tipis

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
123

• Hasil dari cetakan cenderung kasar


• Harus dilakukan proses permesinan lagi

Gambar 4.2 Tahapan Membuat Cetakan Pasir


Sumber: Kalpakjian (1989, p.309)

b. Investment Casting
Proses ini ialah dipilih dari bahan-bahan yang memiliki titik cair sangat rendah
misalnya lilin (wax), ini digunakan dalam berbagai pembuatan model dengan
bentuk yang sangat rumit, dalam proses ini model dibentuk dengan bahan lilin,
selanjutnya dilapisi dengan bahan pelapis seperti ethil atau sodium silikat untuk
menghaluskan permukaan model. Model ini ditempatkan didalam resin, kemudian
dilakukan pemanasan sehingga model akan terbakar dan membentuk rongga (Hardi
Sudjana, 2008, p.195).
Tahapan investment casting:
1. Menginjeksikan lilin ke cetakan sehingga menjadi pola
2. Pengambilan pola lilin dari cetakan
3. Pola lilin dan sistem saluran disusun

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
124

4. Susunan tersebut dilapisi


5. Susunan pola yang dilapisi ditutup dengan campuran investment
6. Menghilangkan lilin dengan pemanasan dengan suhu 100 – 110oC
7. Cetakan dibakar dengan temperatur 800 – 1100oC
8. Logam cair dituangkan pada cetakan bertemperatur tinggi
9. Pekerjaan penyelesaian dilakukan
Kelebihan :
• Hasil permukaan cetakan cenderung halus
• Dapat membuat bentuk yang rumit
• Ketelitian dimensi sangat baik
• Lilin dapat didaur ulang
Kekurangan :
• Ukuran hasil coran terbatas
• Cetakan hanya digunakan sekali
• Proses pengecorannya lama

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
125

Gambar 4.3 Tahapan proses Investment casting


Sumber: Kalpakjian (1989, p.317)

c. Evaporative Pattern Casting


Termasuk sistem saluran masuk riser dan inti dibuat dari bahan busa polistiren.
Cetakan ini tidak harus dibuka dalam cope dan drag karena pola tidak harus
dikeluarkan. Proses ini relatif sederhana karena tidak ada garis pemisah atau inti.
Polistiren ini murah, dapat dengan mudah diolah menjadi bermacam bentuk,
sehingga dapat digunakan untuk membuat coran yang kompleks dari berbagai
ukuran yang ekonomis. Tahapan Evaporative casting ialah:
1. Pembuatan cetakan untuk pengecoran.
2. Pembuatan pola dan sistem saluran dari busa.
3. Pola busa langsung disusun pada cetakan dan diberi pasir.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
126

4. Logam cair dituang pada suhu tinggi sehingga mengakibatkan pola busa
menguap.
5. Pekerjaan penyelesaian dilakukan.
Kelebihan :
• Hasil permukaan cetakan cenderung halus
• Pola tidak perlu dibongkar dari cetakan
• Tidak perlu adanya core
Kekurangan :
• Tidak dapat membuat komponen yang tipis
• Kemungkinan adanya cacat pada hasil coran sangat besar

Gambar 4.4 Evaporate Casting


Sumber: Kalpakjian (1989, p.313)

2. Permanent Mold Casting


Permanent mold casting dapat digunakan berulang kali dan didesain sedemikian
hingga hasil coran dapat dilepas dengan mudah dan cetakan digunakan untuk
pengecoran selanjutnya. Cetakan ini terbuat dari logam yang dapat mempertahankan
kekuatannya dari suhu tinggi sehingga dapat digunakan berulang kali. Karena cetakan
logam adalah konduktor panas yang lebih baik dari expendable mold, proses solidifikasi
hasil coran memiliki pendinginan yang lebih tinggi, sehingga mempengaruhi struktur
mikro dan ukuran butir pada hasil coran. Macam-macam permanent mold casting
adalah :
a. Centrifugal Casting
Proses pengecoran dengan metode sentrifugal dilakukan pada pengecoran
dengan menggunakan cetakan logam, tidak semua bentuk benda tuangan dapat
dilakukan dengan metode ini, benda-benda bulat silinder dan simetris sesuai

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
127

dengan konstruksinya dapat di cor dengan metode sentrifugal ini (Hardi Sudjana,
2008, p.195). Jenis - jenis pengecoran sentrifugal antara lain:
1. True Centrifugal Casting
Dalam pengecoran sentrifugal sejati logam cair dituangkan ke dalam
cetakan horizontal yang sedang berputar melalui cawan tuang yang terletak
pada salah satu ujung cetakan pada beberapa mesin. Metode ini menghasilkan
produk cor berbentuk tubular. Cetakannya terbuat dari besi, baja atau grafit
dan bisa dilapisi dengan lapisan tahan panas untuk memperpanjang umur
cetakan.
Kelebihan :
• Cocok untuk benda berbentuk pipa
• Bisa diroduksi massal
• Tidak memerlukan core (inti)
• Prosesnya cepat
Kekurangan :
• Harus menentukan kecepatan sudut yang sesuai dengan material yang
digunakan
• Tidak bisa benda pejal

Gambar 4.5 Proses Pengecoran Sentrifugal Sejati


Sumber: Groover (2007, p.243)

2. Semi Centrifugal Casting


Pada metode ini gaya sentrifugal digunakan untuk menghasilkan coran
yang pejal (bukan bentuk tubular). Cetakan dirancang dengan riser pada pusat
untuk pengisian logam cair. Kecepatan rotasi biasanya lebih pelan dari true
centrifugal casting, densitas logam pada hasil akhir lebih besar pada bagian

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
128

luar daripada bagian tengah rotasi. Contoh hasil coran semicentrifugal casting
adalah pulley dan gear.
Kelebihan :
• Prosesnya cepat
• Bisa diproduksi massal
• Tidak terjadi penyusutan pada luar benda kerja coran karena adanya gaya
centrifugal yang bekerja secara kontinyu selama pembekuan
Kekurangan :
• Hanya bisa untuk benda pejal
• Harus menentukan kecepatan sudut yang sesuai dengan material yang
digunakan

Gambar 4.6 Proses Pengecoran Semi Sentrifugal


Sumber: Kalpakjian (2014, p.83)

3. Pengecoran Centrifuging
Dalam pengecoran centrifuging, cetakan dirancang dengan beberapa
cetakan rongga cetak yang diletakan disebelah luar dari pusat rotasi
sedemikian rupa, sehingga logam cair yang dituangkan ke dalam cetakan akan
didistribusikan ke setiap rongga cetak dengan gaya sentrifugal. Seperti pada
gambar dibawah.
Kelebihan :
• Sekali cetak bisa untuk jumlah yang banyak
• Tidak terjadi penyusutan pada luar benda kerja coran karena adanya gaya
centrifugal yang bekerja secara kontinyu selama pembekuan
Kekurangan :

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
129

• Harus menentukan keceatan sudut yang sesuai dengan material yang


digunakan

Gambar 4.7 Proses Pengecoran Centrifuging


Sumber: Kalpakjian (2014, p.283)

b. Die Casting (Cetak Tekan)


Merupakan proses pengecoran cetakan permanen dengan cara menginjeksikan
logam cair kedalam rongga cetakan dengan tekanan tinggi (1 sampai 30 MPa).
Tekanan tetap dipertahankan selama proses pembekuan. Terdapat dua jenis cetak
tekan, yaitu:
1. Mesin Cetak Tekan Ruang Panas (Hot Chamber)
Pada mesin cetak ruang panas, tungku peleburan terdapat pada mesin dan
silinder injeksi terendam dalam logam cair. Tekanan injeksi rata-rata 15 MPa.
Mesin ini digunakan untuk logam cor dengan titik lebur rendah seperti Sn, Pb,
dan Zn. Dalam mesin pengecoran cetak panas logam dilebur di dalam dapur
tungku yang menjadi 1 dengan mesin cetaknya, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 4.8 untuk proses hot chamber. Biasanya digunakan untuk pengecoran
logam ferrous.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
130

Gambar 4.8 Mesin Cor Cetak Ruang Panas


Sumber: Groover (2007, p.240)

2. Mesin Cetak Ruang Dingin (Cold Chamber)


Pada mesin cetak ruang dingin, tungku peleburannya terpisah dan silinder
injeksi diisi logam cair secara manual atau mekanis. Tekanan injeksinya
berkisar antara 20 - 70 MPa digunakan untuk logam cor dengan titik lebur lebih
tinggi, dan biasanya digunakan untuk pengecoran logam non-ferrous. Dapat
dilihat cold chamber pada gambar 4.9.

Gambar 4.9 Mesin Cetak Tekan Ruang Dingin


Sumber: Groover (2007, p.241)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
131

Untuk perbedaan dari mesin cetak tekan ruang panas dan mesin cetak tekanan ruang
dingin, dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1
Perbedaan antara mesin cetak tekan ruang panas dan ruang dingin
Mesin cetak tekan ruang panas Mesin cetak tekan ruang dingin
• Tungku peleburan terdapat di • Tungku peleburan terpisah,
mesin dan silinder injeksi silinder injeksi di isi logam cair
terendam dalam logam cair. secara manual atau mekanis.
• Tekanan injeksi berkisar • Tekanan injeksi berkisar antara
antara 15 Mpa. 20-70 Mpa.
• Digunakan untuk logam cair • Digunakan untuk logam cair
dengan titik lebur rendah dengan titik lebur lebih tinggi
seperti Sn, Pb, Zn. daripada Hot Chamber seperti
Al.
• Laju produksi cepat, bisa • Laju produksi lebih lambat
mencapai 900 produk/jam. dibanding Hot Chamber.

c. Squeeze Casting
Squeeze casting sering disebut dengan liquid metal forging, merupakan
suatu istilah yang dipakai untuk menggambarkan suatu proses dimana logam
cair didinginkan didalam cetakan tertutup sambil diberi tekanan luar yang
biasanya berasal dari tenaga hidrolik. Terjadinya kontak antara logam cair
dengan punch dan die pada saat penekanan kemungkinan terjadinya
perpindahan panas yang cukup cepat. Ini akan menghasilkan struktur mikro
yang lebih homogen serta perbaikan sifat mekanik.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
132

Gambar 4.10 Squeeze Casting


Sumber: Kalpakjian (2009, p.283)

4.2.2 Peleburan
Peleburan atau pencairan (biasanya disebut fusi) adalah proses yang menghasilkan
perubahan fase zat dari padat ke cair. Energi internal zat padat meningkat (biasanya karena
panas) mencapai temperatur tertentu (disebut titik leleh) saat zat ini berubah cair. Tungku
peleburan yang biasanya digunakan dalam industri pengecoran logam antara lain, dapur
induksi dan dapur listrik.
A. Macam-Macam Dapur Beserta Energi yang Dibutuhkannya :
Proses peleburan sendiri tidak luput dari proses pemanasan yang dilakukan pada
dapur peleburan. Macam-macam dapur peleburan antara lain :
1. Dapur Induksi
Dapur induksi menggunakan arus bolak-balik yang melewati coil untuk
menciptakan medan magnet pada logam, sehingga arus yang diinduksi
menyebabkan panas yang cepat dan melebur logam.
Karakteristik dapur induksi :
• Digunakan untuk pengecoran kecil karena kapasitas peleburan terbatas
• Memiliki kemampuan mengatur komposisi peleburan secara kecil
• Biasa digunakan untuk pengecoran non-ferrous
Jenis dapur ini biasanya digunakan untuk peleburan aluminium atau jenis
logam-logam non-ferrous lainnya, menggunakan frekuensi tinggi hal ini karena
dapur ini menggunakan komponen medan magnet. Energi listrik yang dibutuhkan
untuk menyuplai kumparan berkisar antara 5 sampai 1.000 kW untuk frekuensi
10.000 Hz sedangkan untuk tipe induction furnace dengan frekuensi rendah energi
listrik yang dibutuhkan berkisar antara 50-500 kWh dengan frekuensi 1.000 Hz

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
133

dengan kapasitas 200 sampai 5.000 lb aluminium atau paduan aluminium dengan
kapasitas rata-rata 5 sampai 7 lb per jam per kWh. Dapur induksi juga dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
a. Tanur Induksi Frekuensi Rendah
Untuk mencairkan besi cor dipergunakan dua tipe tanur listrik, yaitu
pertama adalah tanur induksi dan kedua adalah tanur busur listrik. Dari jenis
yang pertama, tanur yang terutama banyak digunakan adalah tanur induksi
frekuensi rendah disebabkan tanur ini murah dan mudah. (Surdia dan Chijiwa,
1980, p.145).

Gambar 4.11 Tanur Frekuensi Rendah


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1980, p.145)

b. Tanur Induksi Jenis Krus


Juk yang terdiri dari plat berlapis banyak, berfungsi untuk memusatkan
fluks magnet dan menahan lilitan. Keuntungan dari jenis flux adalah
konstruksinya sederhana, bata tahan api bersifat asam yang murah, tetapi
efisiensi tanur ini lebih rendah dari tanur jenis saluran.
Kalau pencairan dimulai, tanur ini memerlukan ingot yang besar (blok
mula) atau cairan besi. Bagian atas dari tanur ini terbuka lebar sehingga
pengisian mudah di lakukan. Tanur ini cocok untuk mencairkan logam dari
mulai temperatur kamar. (Surdia dan Chijiwa, 1980, p. 146).

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
134

Gambar 4.12 Tanur Krus


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1980, p.146)

c. Tanur Induksi Jenis Saluran


Ruangan tanur dibagi menjadi dua daerah, daerah pernanasan dan daerah
krus. Pada pokoknya, lilitan sekitar inti adalah lilitan pertama dan logam di
dalam saluran merupakan lilitan kedua.
Tanur jenis saluran mengambil tenaga listrik sedikit, tetapi memerlukan
bahan tahan api yang netral berkualitas tinggi. Tanur cocok untuk peleburan
yang kontinu dan logam cair dapat dikeluarkan dengan sudut kemiringan yang
kecil.

Gambar 4.13 Tanur induksi jenis saluran


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1986, p.147)

2. Dapur Busur Listrik


Dapur listrik merupakan jenis dapur dimana bahan baku dilebur dengan panas
yang dihasilkan dari suatu busur listrik. Biasanya dapur listrik menggunakan 2 atau
3 elektroda dan biasanya digunakan untuk pengecoran baja. Material logam dapat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
135

mencair karena adanya elektroda yang dihubungkan dengan rangkaian listrik


(electrical circuit) yang akan membentuk suatu busur api yang akan mencairkan
logam. Electrical-arc furnace (dapur listrik) menggunakan 3 elektroda sesuai
jumlah fase yang digunakan, arus bolak–balik 3 fase. Dapur listrik memiliki lapisan
baja berbentuk silinder dengan landasan berbentuk lengkung atau datar yang
ditopang rol penahan yang memungkinkan tanur untuk dimiringkan.
Karakteristik dari dapur listrik :
a. Laju peleburan tinggi sehingga laju produksinya tinggi
b. Polusi yang ditimbulkan lebih rendah dibandingkan tungku lainnya
c. Memiliki kemampuan menahan logam cair pada temperatur tertentu untuk
jangka waktu yang lama.

Gambar 4.14 Tanur Listrik Heroult


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1980, p.164)

3. Crucible Furnace
Tungku ini cocok untuk pengecoran kecil. Logam yang akan dilelehkan
dimasukkan ke dalam wadah yang dipanaskan, yang berfungsi sebagai wadah
peleburan. Cawannya terbuat dari tanah liat dan grafit. Bahan bakar yang digunakan
untuk memanaskan berupa batu bara, minyak, atau gas.
Macam-macam Crucible Furnace yaitu :
a. Coke-fired Furnace
Tungku ini menggunakan bahan bakar pemanas berupa batu bara.
Berbentuk silinder yang diselimuti oleh baja dan pada bagian dalamnya

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
136

terdapat refractory brick linning. Tungku ini biasa digunakan untuk logam non-
ferrous seperti perunggu dan aluminium.

Gambar 4.15 Coke-fired Furnace


Sumber: Jain (1999, p.147)

b. Oil and Gas-fired Furnace


Tungku ini menggunakan bahan bakar pemanas berupa minyak atau gas
yang terbakar dengan udara. Gas atau bahan bakar minyak masuk melalui
manifold.

Gambar 4.16 Oil and Gas-fired Furnace


Sumber: Jain (1999, p.148)

4. Open-Hearth Furnace
Pada tungku jenis ini, prosesnya didasarkan pada prinsip pemanasan regeneratif
dan memperoleh suhu sangat tinggi yang diperlukan untuk pemanasan dari bahan
bakar gas dan udara yang dibawa melalui saluran yang berada di bawah menuju
tempat logam yang ingin dilebur.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
137

Gambar 4.17 Open-Hearth Furnace


Sumber: Jain (1999, p.149)

5. Air Furnace
Tungku ini bekerja pada prinsip reverberatory. Tungku ini terbentuk dari
refractory bricks di mana pasir cetak menyatu untuk membentuk permukaan yang
keras. Bahan bakar yang umumnya digunakan adalah batu bara bubuk.
Perbedaannya dengan open hearted furnace adalah tungku ini tidak menggunakan
prinsip regeneratif.

Gambar 4.18 Air Furnace


Sumber: Jain (1999, p.150)

6. Cupola Furnace
Tungku ini terbuat dari lapisan baja vertikal setebal 6-12 mm yang dilapisi
bahan refraktori disepanjangnya. Linning biasanya semakin kebawah semakin tebal.
Tungku ini menggunakan conveyor untuk memasukkan logam kedalamnya. Bahan
bakar yang digunakan adalah batu bara.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
138

Gambar 4.19 Cupola Furnace


Sumber: Jain (1999, p.151)

B. Hidrogen Solubility
Unsur-unsur gas juga dapat diserap oleh pemisahan ikatan gas-gas yang
bersentuhan dengan lelehan paduan. Contoh yang paling umum adalah uap air, hadir
dalam atmosfer normal dan ditempa oleh pembakaran bahan bakar dan oleh evaporasi
dari penambahan dan cetakan furnance. Penyerapan hidrogen lebih mudah terjadi
melalui jenis reaksi ini daripada dari molekul hidrogen dari atmosfer. Tergantung pada
komposisi lelehan, oksigen melarutkan dalam paduan atau bergabung dengan komponen
reaktifnya untuk membentuk fasa oksida stabil.
Faktor yang paling signifikan dalam kaitannya dengan cacat curah hujan adalah
kelarutan relatif gas dalam campuran cair dan padat. kelarutan padat yang sangat rendah
dapat menyebabkan porositas bahkan dengan kandungan gas awal yang rendah. Ini
diilustrasikan oleh kasus hidrogen dalam alumunium dan menjelaskan suseptibitilitas
khusus dari logam ini dan paduannya terhadap porositas gas. Kelarutan 0,6 cm 3 per 100
tepat di atas titik leleh jatuh dengan faktor 20 hingga sekitar 0,03 cm 3 per 100 gram
selama pembekuan : evolusi gas dari cairan jenuh akan mewakili 1,54% volume logam.
Alumunium dan hidrogen mampu berikatan dengan sangat banyak ketika pada suhu
peleburan alumunium, dikarenakan massa hidrogen yang kecil. Ketika melewati suhu
peleburannya, pertambahan ikatan antara alumunium dan hidrogen tidak sebanyak saat
ditemperatur peleburannya. Karena kosentrasi ikatan alumunium dan hidrogen sudah
berada pada posisi jenuh.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
139

Ketika berada pada suhu 660 derajat celcius yang merupakan suhu laten dari
alumunium, dimana pada suhu tersebut alumuium melebur dan akan mengalami
perubahan fase dari padat menjadi cair. Pada saat itulah akan terjadi pelarutan hidrogen
ke dalam alumunium

Gambar 4.20 Grafik Pengaruh Suhu Terhadap Kelarutan Hidrogen dalam Alumunium
Sumber: Beeley (2001, p.256)

4.2.3 Solidifikasi
Solidifikasi adalah proses transformasi logam/paduan cair kembali ke bentuk padatnya.
Solidifikasi diawali dengan pembentukan inti yang stabil karena temperatur pada setiap
bagian logam tidak sama. Setelah terbentuk inti dengan logam yang masih dalam fase cair,
terbentuklah butir. Logam cair sedikit demi sedikit berubah menjadi fase solid mulai dari
terbentuk kristal hingga akhirnya menjadi benar-benar padat.

Gambar 4.21 Proses Solidifikasi


Sumber: Smith (2001, p.122)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
140

Undercooling adalah proses menurunkan suhu cairan atau gas di bbawah titik
beku tanpa menjadi padat. Sebagai contoh, ketika air secara bertahap didinginkan,
pemadatan tidak terjadi bahkan jika itu menjadi 0 ° C atau kurang, tetapi dalam keadaan
tidak stabil, dan dengan cepat membeku ketika meletakkan potongan es atau memberikan
getaran

Tabel 4.2
Nilai dari suatu pembekuan (suhu cair, panas fusi, energi permukaan maksimum
undercooling untuk logam)
Freezing Maximum
undercooling
Temp. Heat of Surface observed
energy,
Metal °C K fusion, J/cm3 J/cm2 ∆T(°C)
Pb 327 600 280 33,3 x 107 80
Al 660 933 1066 93 x 107 130
Ag 962 1253 1097 126 x 107 227
Cu 1083 1356 1826 177 x 107 236
Ni 1453 1726 2660 255 x 107 319
Fe 1535 1808 2098 204 x 107 295
Pt 1772 2045 2160 240 x 107 332
Sumber: Chaimer (1964, p.107)

Proses Solidifikasi
1. Tahapan dalam Pembekuan Logam (Solidifikasi)
Terdapat 2 mekanisme pengintian dari partikel padat dalam logam cair:
a. Pengintian homogen
Pada saat logam murni cair didinginkan dibawah suhu pembekuannya beberapa
derajat, inti homogen banyak terbentuk karena atom lambat membuat inti bersama.
Pengintian homogen membutuhkan suhu undercooling, yaitu suhu beberapa derajat
dibawah suhu cair.
b. Pengintian Heterogen (Heterogeneous Nucleation)
Pengintian heterogen sama dengan pengintian homogen hanya saja logam
cairnya tidak murni. Pada pengintian heterogen, suhu undercooling tidak terlalu
besar.
2. Pembentukan Kristal dalam Logam Cair dan Pembentukan Struktur Butir
Setelah inti yang stabil terbentuk pada logam yang sedang memadat, kemudian
inti tumbuh menjadi kristal.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
141

3. Grafik Solidifikasi

Gambar 4.22 Solidifikasi Logam Murni


Sumber: Jain (2003, p. 180)

Gambar 4.22 diatas menjelaskan grafik perubahan fase dari suatu logam dari
fase cair menjadi fase padat. Penjelasan tiap titik akan dijelaskan sebagai berikut:
- Titik 1 ke 2
Terjadi penurunan suhu akibat perbedaan temperatur logam cair disebut
kalor sensibel karena hanya terjadi penurunan suhu saja sampai titik 2 tanpa
terjadi perubahan fase dalam hal ini fasenya tetap logam cair.
- Titik 2 ke 3
Pada titik 2 dimulainya proses perubahan fase dari liquid ke solid sampai
mencapai titik 3 tetapi tanpa penurunan temperatur (kalor laten). Pada titik 3
keseluruhan logam cair telah menjadi solid dan ini adalah titik akhir
pembekuan.
- Titik 3 ke 4
Terjadi penurunan suhu dari titik 3 hingga titik 4. Logam sudah berbentuk
padat (solid) dari titik 3. Pada titik 4 suhu logam padat sudah sama dengan
suhu lingkungan luarnya. Kalor yang terjadi adalah kalor sensibel.

4. Daerah Pembekuan

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
142

Ada zona dimana proses pembekuan terjadi. Ada 3 daerah yang diperhatikan. Untuk
ilustrasi zonanya dapat dilihat pada gambar 4.23 dibawah ini.

Gambar 4.23 Chill, Columnar, dan Equiaxed Zone


Sumber: Kalpakjian (1989, p.279)

A. Chill Zone
Selama proses penuangan logam cair ke dalam cetakan, logam cair yang
berkontak langsung dengan dinding cetakan akan mengalami pendinginan yang
cepat dibawah temperatur liquid-nya. Akibatnya, pada dinding cetakan tersebut
timbul banyak inti padat dan selanjutnya tumbuh kearah logam cair.
B. Columnar Zone
Sesaat setelah penuangan, gradien temperatur pada dinding cetakan menurun
dan kristal pada daerah chill tumbuh memanjang dalam arah perpindahan panas
yang disebut dengan dendrite. Setiap kristal dendrite mengandung banyak logam
lengan- lengan dendrite sekunder dan tersier akan timbul dari lengan dendrite
primer. Daerah yang terbentuk antara ujung dendrite dan titik dimana sisa cairan
terakhir akan membeku disebut sebagai mushy zone atau party zone.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
143

C. Equiaxed Zone
Daerah ini terjadi dari butir-butir equiaxed yang tumbuh secara acak ditengah-
tengah ingot (coran).
5. Macam-macam Solidifikasi
A. Solidifikasi Logam Murni
Solidifikasi murni dapat dilihat pada gambar 4.22.
B. Solidifikasi Logam Paduan
Logam paduan umumnya membeku pada daerah temperatur tertentu, seperti
yang ditunjukkan pada gambar 4.24 dibawah ini.

Gambar 4.24 Solidifikasi Logam Paduan


Sumber: Jain (2003, p.181)

Garis awal terjadinya pembekuan disebut garis liquidus dan garis akhir
pembekuan disebut garis solidus. Suatu paduan dengan komposisi tertentu bila
didinginkan dalam waktu yang sangat lama, maka pembekuannya akan terjadi saat
mencapai garis liquidus dan pembekuan berakhir pada saat mencapai garis solidus,
setelah itu pendinginan akan berlangsung terus hingga mencapai temperatur
ruangan.

4.2.4 Fluiditas
a. Definisi Fluiditas
Fluiditas adalah kualitas logam cair yang mampu membuat logam cair mengalir
melalui jalur cetakan dan mengisi semua celah-celah cetakan. Fluiditas yang rendah
akan menyebabkan cacat pada produk. Untuk menghasilkan coran yang lebih baik,
hendaknya kecepatan penuangan harus konstan. Prinsip-prinsip ini mungkin dapat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
144

digunakan untuk memperkirakan kecepatan aliran. Faktor-faktor yang mempengaruhi


fluiditas antara lain :
1. Viskositas
Viskositas adalah sebuah ukuran kapasitas cairan untuk mentransmisikan
tegangan geser dinamis (viskositas dinamis). Viskositas juga dapat didefinisikan
sebagai gaya yang diperlukan untuk memindahkan sebuah permukaan paralel pada
unit jarak. Jadi, semakin tinggi viskositasnya maka fluiditas akan menurun dan
sebaliknya bila viskositas rendah maka fluiditas akan meningkat.
2. Temperatur
Temperatur secara teoritis sama atau diatas garis liquidus. Jika lebih rendah,
kemungkinan besar terjadi solidifikasi dalam sistem rongga.
3. Komposisi Logam
Yang memiliki fluiditas paling tinggi adalah logam murni, dan yang memiliki
fluiditas rendah adalah logan paduan, dikarenakan adanya kristal bebas dalam
logam cair pada ujung dari aliran logam cair yang dapat mengakibatkan terhentinya
aliran.
4. Mode Pembekuan
• Mode Pembekuan Plane Interface Mode, dapat dilihat pada gambar 4.25
dibawah ini.

Gambar 4.25 Mode Pembekuan Plane Interface Mode


Sumber: Beeley (2001, p.21)

a) Cairan memasuki saluran dan pembentukan formasi butiran-butiran kolom


cair-padat yang halus dimulai.
b) Butir kolom terus tumbuh kearah hulu.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
145

c) Penyumbatan mulai terjadi.


d) Sisa pengecoran mengeras dengan pertumbuhan butir cepat dan
pembentukan penyusutan.
• Mode Pembekuan Jagged Interface Mode, dapat dilihat pada gambar 4.26
dibawah ini.

Gambar 4.26 Mode Pembekuan Jagged Interface Mode


Sumber: Beeley (2001, p.21)

a) Cairan memasuki saluran dan pembentukan butiran-butiran kolom


bergerigi cair-padat dimulai.
b) Butir-butir kolom terus tumbuh dan pembentukan inti mulai terjadi di
ujung aliran.
c) Penyumbatan terjadi dipintu masuk aliran, meskipun penampang tidak
sepenuhnya padat.
d) Sisa pengecoran membeku menjadi butiran-butiran equiaxed dan
pembentukan rongga penyusutan terjadi di ujung.
• Mode Pembekuan Independent Crystallization Mode, dapat dilihat pada
gambar 4.27 dibawah ini.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
146

Gambar 4.27 Mode Pembekuan Independent Crystallitation Mode


Sumber: Beeley (2001, p.21)

a) Cairan memasuki saluran, pembentukan butiran-butiran kolom dimulai,


dan butiran-butiran halus membentuk inti.
b) Butiran halus tumbuh pesat seiring dengan aliran yang terjadi.
c) Aliran terhenti saat konsentrasi kritis dari butiran halus di ujung tercapai.
d) Sisa pengecoran membeku dengan butiran-butiran equiaed dan penyusutan
kecil terdistribusi.
5. Thermal Properties
Salah satu faktor yang disebabkan oleh cetakan dan karakteristik heat transfer
dari logam cair. Kecepatan pendinginan hingga suhu akhir aliran logam terhenti
ditentukan oleh heat diffusifity sesuai persamaan berikut:

D = (k.Cp.ρ)1/2 ..........................................................................................(4-1)
Dimana:
- Diffusifity thermal (D) adalah kemampuan suatu material mentransfer (kalor) secara difusi
yang disebabkan terdapat perbedaan temperature.
- Konduktifitas thermal (k) adalah karakteristik suatu bahan untuk memindahkan suatu
aliran kalor dari temperatur tinggi ke temperatur rendah
- Panas spesifik (Cp) adalah karakteristik panas yang tergantung pada material yang
menyatakan seberapa besar energi yang terkandung pada suatu material berupa energi
panas
- Density (ρ) adalah kerapatan massa jenis dari suatu zat yang pasti berbeda-beda
tergantung pada massa dan volume dimana:

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
147

𝑚
ρ= ........................................................................................................(4-2)
𝑣

Semakin kecil difusifitas termal suatu zat maka waktu yang dibutuhkan untuk
logam cair berubah fase ke solid lebih lama. Untuk sifat-sifat mekanik pada
alumunium dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini.
6. Superheating
Superheating adalah pemanasan lanjut atau penambahan temperatur diatas
temperatur cair suatu logam tanpa merubah fase dari suatu logam cair tersebut.
Semakin tinggi penambahan temperatur maka Fluidity semakin meningkat, karena
waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke fase padat semakin lambat. Perpindahan
fase dapat dilihat pada gambar 4.28 dibawah ini.

Gambar 4.28 Superheating


Sumber: Beeley (2001, p.18)

Tabel 4.3
Sifat-sifat Mekanik Alumunium
Sifat-sifat Kemurnian Al (%)
99,996 >99,0
Massa jenis (200° C) 26,989 2,71
Titik cair 660,2 653-657
Panas jenis (cal/g. 0° C) 0,2226 0,2297
Hantaran listrik (%) 64,94 59 (dianil)
Tahanan listrik koefisien temperatur (
10° C) 0,00429 0,0115
Koefisien pemuaian (200° C-1000° C) 23,86 x 10-6 23,5 x 10-6
fcc, fcc, a=4,04
Jenis kristal, konstanta kisi a=4,013kX kX
Sumber: Sundari (2011, p.4)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
148

7. Permukaan Cetakan
Semakin kasar permukaan dari cetakan maka fluiditasnya juga akan menurun.
Begitu juga sebaliknya, semakin halus permukaan dari cetakan maka fluiditasnya
juga akan meningkat.
b. Cara Pengujian Fluiditas
Fluiditas tidak dapat diukur dari sifat fisik individual, sehingga pengujian empiris
dilakukan untuk mengukur semua karakteristik dari fluiditas logam cair. Pengujian ini
berdasarkan pada kondisi analog pada pengecoran logam. Dalam pengecoran dan
pengukuran fluiditas dilakukan sebagai jarak yang telah dilalui oleh logam cair dalam
sistem saluran tertutup sebelum aliran tersebut berhenti. Ada beberapa macam cara
pengujian fluiditas, diantaranya :

1. Spiral Mold Test

Gambar 4.29 Spiral Mold Test


Sumber: Beeley (2001, p.17)

Gambar 4.29 diatas adalah sketsa Spiral Mold Test. Pengujian fluiditas cetakan
berbentuk spiral bertujuan untuk menguji mampu alir cairan logam dengan
menggunakan cetakan sekecil mungkin dan dapat memperkecil kesalahan
sensitivitas aliran terhadap beda ketinggian.
Pengujian ini dilakukan dengan cara mengalirkan logam cair ke cetakan spiral,
semakin banyak bagian cetakan yang terisi, maka semakin besar nilai fluiditasnya.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
149

2. Vacuum Fluidity Test

Gambar 4.30 Vacuum Fluidity Test


Sumber: Beeley (2001, p.18)

Gambar 4.30 di atas adalah Vacuum Fluidity Test. Pengujian vakum bertujuan
untuk mengamati panjang aliran logam yang mengalir melalui saluran sempit saat
dihisap oleh pompa vakum dari dapur krusikel.
Pengujian ini dilakukan dengan cara mengalirkan logam cair melalui tabung
gelas halus dibawah pengaruh hisapan dari kondisi vakum sebagian. Pressure head
diketahui dengan akurat dan faktor manusia dalam penuangan dapat dihilangkan
3. Multiple Channel Fluidity Test Casting

Gambar 4.31 Multiple Channel Fluidity Test Casting


Sumber: Beeley (2001, p.23)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
150

Gambar 4.31 diatas adalah Multiple Channel Fluidity Test Casting. Pengujian
ini digunakan untuk mengetahui fluiditas aliran logam cair saat melalui saluran lebih
dari satu dan dengan luas penampang sama sempitnya yang mana banyak terdapat
pada saluran cetakan pengecoran yang sebenarnya.

4.2.5 Cacat Coran


1. Porositas
Porositas merupakan cacat yang terjadi akibat terperangkapnya gas dalam logam cair
pada waktu proses pengecoran. Pada benda cor terdapat lubang-lubang pada permukaan
maupun pada bagian dalam benda cor tersebut. Cacat porositas ada dua macam, yaitu :
a. Interdendritic Shrinkage
Merupakan cacat yang terjadi jika ada rongga udara terperangkap diantara
cabang dendrit yang merupakan substruktur dari pembekuan logam coran yang
ditunjukkan pada gambar 4.32.
Penyebab :
• Dendrit menyusut
• Permeabilitas rendah
Solusi :
• Permeabilitasnya harus tepat

Gambar 4.32 Interdendrite Shrinkage


Sumber: Wright (2010, p.349)

b. Gas Porosity
Gas Porosity merupakan cacat ini biasa terjadi karena kelebihan hidrogen yang
tidak dapat dimasukkan dalam struktur logam atau paduan kristal padat sehingga

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
151

membentuk gelembung yang mungkin terperangkap dalam logam padat dan


akhirnya menghasilkan porositas gas. Ilustrasi Gas Porosity dapat dilihat pada
gambar 4.33
Penyebab :
• Permeabilitas rendah sehingga gas terperangkap dalam rongga
• Kekuatan tekan pasir cetak terlalu tinggi sehingga menimbulkan vortex
• Gas yang ditimbulkan dari cetakan tinggi
• Temperatur superheating tidak sesuai sifat mekanik logam
Solusi :
• Permeabilitas harus tepat
• Kekuatan tekan jangan terlalu besar
• Komposisi cetakan harus sesuai agar gas yang ditimbulkan sedikit
• Superheating harus tepat

Gambar 4.33 Gas Porosity


Sumber: Surdia dan Chijiwa (2013, p.214)

2. Shift (Pergeseran)
Shift merupakan cacat yang terjadi akibat dari ketidak cocokan masing-masing
bagian dari coran. Biasanya terjadi di bagian pola belahan. Ilustrasi Shift dapat dilihat
pada gambar 4.34 di bawah ini.
Penyebab :
• Pergeseran pola
• Tidak ada pin atau pengunci
Solusi :
• Menggunakan mal
• Memberikan pin atau pengunci agar tidak terjadi pergeseran

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
152

Gambar 4.34 Shift


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1980, p.214)

3. Dirt and Sand Inclusion (Kotoran dan Inklusi Pasir)


Kotoran dan inklusi pasir merupakan cacat yang terjadi karena adanya partikel asing
atau kotoran yang tertanam pada permukaan coran dan bisa juga karena adanya rontokan
pasir yang melekat pada permukaan hasil coran. Ilustrasi Dirt dan inklusi pada gambar
4.35 dibawah ini.
Penyebab :
• Adanya pasir yang terkikis selama penuangan logam cair dan pencabutan pola
• Adanya kotoran pada cetakan karena tidak dibersihkan
• Komposisi pasir cetak tidak tepat
• Kurangnya kekuatan geser
Solusi :
• Melakukan penuangan dan pencabutan pola secara perlahan-lahan
• Penambahan dam dan trap
• Komposisi pasir cetak harus tepat
• Melakukan pembersihan pada rongga cetakan

Gambar 4.35 Dirt and Sand Inclusion


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1980, p.215)

4. Fin (Sirip)
Merupakan cacat yang terjadi akibat penetrasi logam cair pada bagian cetakan cope
dan drag. Apabila cetakan tidak tepat maka logam yang dicairkan akan mengisi celah-

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
153

celah cetakan dan menimbulkan cacat seperti sirip. Ilustrasi cacat sirip pada gambar 4.36
di halaman setelah ini.
Penyebab :
• Tebal pelapis tidak tepat
• Pemadatan tidak rata
Solusi :
• Tebal pelapis harus tepat
• Pemadatan harus merata

Gambar 4.36 Fin


Sumber: Beeley (2001, p.314)

5. Shrinkage (Penyusutan)
Merupakan cacat yang terjadi saat pembekuan. Pembekuan yang tidak seragam pada
bagian coran menghasilkan perbedaan ketebalan dan luas permukaan yang cukup besar.
Ilustrasi cacat penyusutan dapat dilihat pada gambar 4.37 di bawah ini.
Penyebab :
• Pembekuan yang tidak merata
• Letak riser yang kurang tepat
• Superheating tidak sesuai
• Permeabilitas terlalu rendah sehingga udara panas terperangkap dan tidak bias
keluar
Solusi :
• Komposisi pasir cetak harus sesuai
• Meletakkan riser pada posisi yang tepat
• Superheating harus sesuai

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
154

Gambar 4.37 Shrinkage


Sumber: Jain (2003, p.195)

6. Hot Tears
Cacat yang dapat terjadi karena tegangan terlalu besar pada coran yang ditimbulkan
oleh temperatur terlalu tinggi. Ilustrasi Hot Tears dapat dilihat pada gambar 4.38.

Gambar 4.38 Hot Tears


Sumber: Rappaz (2008)

Penyebab :
• Kontraksi akibat penyusutan dan kekuatan Tarik yang tinggi
• Pembekuan tidak seragam
Solusi :
• Komposisi pasir cetak harus sesuai
• Peletakan riser harus tepat
• Superheating harus tepat

7. Gas Defect
Gas defect atau cacat gas dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
155

a. Pin Holes
Pin Holes merupakan lubang banyak yang memiliki diameter kecil, biasanya
kurang dari 2 mm, terlihat pada permukaan casting. Mereka disebabkan oleh
penyerapan hidrogen atau karbon monoksida ketika kadar air pasir tinggi atau ketika
baja dituangkan dari penuang basah atau tidak cukup penguapannya. Cacat dapat
diminimalkan dengan menggunakan pelelehan yang baik dan praktek fluxing yang
baik, dengan mengurangi kadar air pasir molding dan meningkatkan permeabilitas,
dan dengan meningkatkan solidifikasi yang cepat. (Jain : 1976, p.197)

Gambar 4.39 Pin Holes


Sumber: Jain (2009, p.315)

b. Blow Holes
Blow Holes adalah lubang halus melingkar yang jelas kelihatan pada
permukaan casting. Mereka mungkin akan dalam duster jumlah banyak seperti
lubang kecil yang memiliki diameter sekitar 3 mm atau kurang dan dalam bentuk
satu depresi besar dan halus. Blow Holes disebabkan dalam casting oleh generasi
dan/atau akumulasi gas atau udara yang terperangkap di dalam rongga cetakan. Gas
dapat menumpuk ketika permeabilitas pasir rendah, seperti ketika pasir
mengandung kelembaban tinggi, butiran pasir terlalu halus, pasir dipukul rammer
terlalu keras, atau ketika ventilasi tidak cukup. Untuk mencegah lubang Blow Holes,
kadar air dipasir harus menyesuaikan diri dengan baik, pasir ukuran butir yang tepat
harus digunakan, pemukulan ramming tidak harus keras dan ventilasi harus
memadai. (Jain : 1976, p.197)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
156

Gambar 4.40 Blow Holes


Sumber: Jain (2009, p.315)

Penyebab :
• Riser tidak tepat
• Superheating tidak sesuai
• Permeabilitas yang terlalu rendah
• Gas dari cetakan terlalu banyak
Solusi :
• Komposisi cetakan harus tepat
• Superheating harus tepat
• Penempatan riser harus tepat
8. Metal Penetration
Cacat ini terlihat pada permukaan yang kasar dan tidak rata dari benda coran. Yang
diakibatkan oleh pasir yang memiliki permeabilitas yang tinggi, butiran yang besar, dan
kekuatan yang rendah.

Gambar 4.41 Metal Penetration


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1998, p.214)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
157

Penyebab :
• Permeabilitas yang terlalu tinggi
• Pelapis yang kurang tebal
Solusi :
• Komposisi pasir cetak harus tepat
9. Swell
Swell merupakan pembesaran rongga cetakan yang di akibatkan oleh tekanan dari
logam cair, yang menghasilkan pembengkakan.

Gambar 4.42 Swell


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1998, p.214)

Penyebab :
• Kekuatan tekan pasir cetak yang kurang
Solusi :
• Komposisi pasir cetak harus tepat
• Pemadatan pasir harus merata dan tepat

10. Cold Shut and Missrun


Cacat dimana diskontinuitas terjadi karena penggabungan yang tidak sempurna dari
dua aliran logam di rongga cetakan. Cacat ini tampak retak atau jahitan pada permukaan
yang halus. Missrun merupakan cacat yang diakibatkan oleh kegagalan logam untuk
mengisi rongga cetakan secara menyeluruh.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
158

Gambar 3.43 Cold Shut and Miss Run


Sumber: Jain (2003, p.200)

Penyebab :
• Pemilihan sistem saluran tidak tepat
• Temperatur penuangan yang rendah
• Kecepatan penuangan tidak tepat
Solusi :
• Perencanaan sistem saluran yang tepat
• Temperatur penuangan logam harus tepat

4.2.6 Inspeksi
Inspeksi atau pemeriksaan cacat adalah pemeriksaan terhadap produk coran untuk
mengetahui ada tidaknya cacat pada produk coran tersebut. Macam-macam metode
pengujian yang sering dilakukan yaitu:
1. Liquid Penetrant Test
Metode Liquid Penetrant Test merupakan metode NDT (Non Destructive Test).
Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan terbuka dari komponen
solid baik logam maupun non logam.
Melalui metode ini cacat pada permukaan material akan terlihat jelas. Caranya adalah
dengan memberikan cairan berwarna terang pada permukaan yang diinspeksi. Cairan ini
harus memiliki daya penetrant yang baik dan viskositas yang rendah agar dapat masuk
pada cacat dipermukaan material yang diberikan. Cacat akan nampak jelas jika perbedaan

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
159

warna penetrant yang tertinggal dibersihkan dengan penetrant developer. Macam-macam


hasil tesnya dapat dilihat di gambar 4.44 di bawah ini.
Keuntungan :
• Mudah diaplikasikan
• Tidak dipengaruhi oleh sifat kemagnetan material dan komposisi kimia
• Jangkauan permukaan cukup luas
Kekurangan :
• Tidak dapat dilakukan pada benda dengan permukaan kasar dan berpori
• Hanya bisa dilihat untuk cacat pada permukaan saj

Gambar 4.44 Liquid Penetrant Test


Sumber: De Garmo (2008, p.247)

2. Magnetic Particle Inspection


Dengan menggunakan metode ini, cacat pada permukaan atau sedikit dibawah
permukaan (subsurface) pada benda yang bersifat ferromagnetic dapat diketahui.
Prinsipnya adalah dengan memanfaatkan bahan yang akan diuji.. Dengan menabur
partikel magnetik dipermukaan. Partikel-pertikel tersebut akan mengumpul pada daerah
kebocoran medan magnet.
Keuntungan :
• Tidak memerlukan keahlian khusus untuk mengoperasikan
Kekurangan :
• Penggunaan terbatas pada material ferromagnetic
• Adanya kemungkinan cacat tidak terdeteksi akibat cacat searah medan magnet
• Tidak bisa untuk benda yang kasar

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
160

Gambar 4.45 Magnetic Particle Inspection


Sumber: De Garmo (2008, p.248)

3. Ultrasonic Test
Prinsip yang digunakan adalah prinsip gelombang suara. Gelombang suara yang
dirambatkan pada spesimen uji dan sinyal yang ditransmisikan akan dipantulkan kembali.
Gelombang ultrasonik yang digunakan memiliki frekuensi 0,5-20 MHz. Gelombang
suara akan berpengaruh jika ada retakan atau cacat pada material. Gelombang ultrasonik
dibangkitkan oleh transduser dari bahan piezoelektrik yang dapat merubah energi listrik
menjadi getaran mekanis kemudian menjadi energi listrik lagi.
Keuntungan :
• Hanya diperlukan satu sisi untuk dapat mendeteksi keseluruhan
• Indikasi dapat langsung diamati
Kekurangan :
• Benda dengan permukaan kasar, tidak beraturan, dan sangat kecil sangat sulit diuji.

Gambar 4.46 Ultrasonic Test


Sumber: De Garmo (2008, p.251)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
161

4. Eddy Current Test


Inspeksi ini memanfaatkan prinsip elektromagnetik. Prinsipnya arus listrik dialirkan
pada kumparan untuk membangkitkan medan magnet didalamnya. Jika medan magnet
dikenakan pada benda logam yang akan diinspeksi, akan terbangkit arus Eddy, kemudian
diinspeksi.
Keuntungan :
• Hasil pengujian dapat langsung diketahui
• Bisa mendeteksi cacat yang berada di permukaan dan di dalam
Kekurangan :
• Terbatas dimensi

Gambar 4.47 Eddy Current Test


Sumber: De Garmo (1997, p.309)

5. Radiographic Inspection
Metode ini untuk menetapkan cacat pada material dengan menggunakan sinar X dan
sinar Gamma. Prinsipnya sinar dipancarkan menembus material yang diperiksa. Saat
menembus objek, sebagian sinar akan diserap sehingga intensitas berkurang. Intensitas
akhir kemudian direkam dalam film yang sensitif. Jika ada cacat pada material maka
intensitas yang terekam pada film ini akan memperlihatkan bagian material yang
mengalami cacat.
Keuntungan :
• Faktor ketebalan benda tidak mempengaruhi. Hal ini mengingat daya tembus sinar
gamma yang besar
• Mampu menggambarkan bentuk cacat dengan benar
• Bisa untuk benda yang permukaan kasar
Kekurangan :

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
162

• Memerlukan operator yang berpengalaman


• Efek radiasi sinar gamma berbahaya

Gambar 4.48 Radiographic Inspection


Sumber: De Garmo (1997, p.310)

6. Uji Piknometri
Dalam pengujian ini, ketidakteraturan bahan diteliti dan juga komponen, struktur
mikro dan sifat-sifat mekanik. Dengan demikian pemeriksaan porositas dapat dilakukan
dengan baik dengan perlakuan tekanan yang berasal dari foto mikrostruktur dari coran.
Untuk mencari persentase porositas yang terdapat dalam suatu coran digunakan
perbandingan 2 buah densitas, yaitu:
a. True Density
Kepadatan dari suatu benda padat tanpa porositas yang terdapat didalam
didefinisikan sebagai perbandingan massa terhadap volume tekanan. Untuk
memperoleh nilai true density dapat dicari dengan menggunakan persamaan yang
ada pada standar ASTME 252-84, yaitu:

100
𝜌𝑡ℎ = % 𝐴𝑙 % 𝐶𝑢 % 𝐹𝑒 ........................................................................ (4-3)
[( )+ ( )+( )+𝑒𝑡𝑐]
𝜌𝐴𝑙 𝜌𝐶𝑢 𝜌𝐹𝑒

Dengan :

𝜌𝑡ℎ : True density (gr/cm2)

𝜌𝐴𝑙 𝜌𝐶𝑢 𝜌𝐹𝑒 etc: Densitas unsur (gr/cm3)

% 𝑙 %𝐶𝑢 %𝐹𝑒 etc: Presentase berat unsur

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
163

b. Apparent Density
Berat disetiap unit volume material termasuk cacat yang terdapat dalam uji

material (gr/cm3). Sedangkan untuk perhitungan apparent density, menggunakan


persamaan sesuai karakter struktur ASTMB3H-93 sebagai berikut:

𝜌𝑠 = 𝜌𝑤 𝑤𝑠 .................................................................................(4-4)
(𝑤𝑠−(𝑤𝑠𝑏 − 𝑤𝑏 ))

Dengan :

ρs : Apparent density (gr/cm3)

ρw : Density air (gr/cm3)


ws : Berat sample udara (gr)
wsb : Berat sample dan keranjang didalam air (gr)
wb : Berat keranjang (gr)

Pengukuran densitas menggunakan metode piknometri, yaitu sebuah proses


pembandingkan densitas relatif dari sebuah padatan dan sebuah cairan. Pengujian
piknometri didasarkan pada perhitungan persentase porositas hasil coran untuk
dapat menghitung persentase porositas dapat dihitung dengan rumus :
𝜌𝑠
% P = (1 − ) × 100% ..........................................................................(4-5)
𝜌𝑡ℎ

Dimana :
% P : Persentase porositas

(%) ρs : Apparent density (gr/cm3)

ρth : True density (gr/cm3)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
164

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
165

4.3 Pembahasan
4.3.1 Pembahasan Pengecoran
A. Pembahasan Pengecoran Sebelum Finishing

Gambar 4.49 Benda kerja tampak atas sebelum finishing

Gambar 4.50 Benda kerja tampak samping sebelum finishing

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
166

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
167

a) Analisis Bentuk dan Dimensi Hasil Coran Sebelum Finishing

Gambar 4.51 Dimensi benda kerja dengan toleransi

Tabel 4.1
Ketepatan Ukuran Hasil Coran
Bagian Ukuran Pola (mm) Ukuran Hasil Coran (mm) Keterangan
A 75,8333 75 Lebih kecil
B 10,8333 9,5 Lebih kecil
C 86,8183 89 Lebih besar
D 38,3067 40 Lebih besar
E 43,3333 42 Lebih kecil
F 108,333 108 Lebih kecil
G 27,0833 30 Lebih besar
H 54,3183 56 Lebih besar
I 26 24 Lebih kecil
J 52 45 Lebih kecil

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
168

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa terdapat perbedaan dimensi dari pola dan hasil
coran. Pada bagian A, B, E, F, I, dan J memiliki nilai yang lebih kecil dari desain dikarenakan
penyusutan dari logam cair yang melebihi dari perhitungan toleransi serta adanya pola yang
rusak sehingga dimensi pola tidak sesuai. Pada bagian C, D, G dan H memiliki nilai yang
lebih besar dari desain karena ketika pencabutan pola yang kurang hati-hati dan pemadatan
yang kurang sehingga pasir cetak yang bersinggungan dengan pola terkikis dan mengalami
pergeseran sehingga dimensi coran berubah.
b) Analisis Cacat Hasil Coran Sebelum Finishing
Adapun cacat yang terdapat pada hasil coran antara lain :
1. Shifting

Gambar 4.52 Shifting

Ciri-ciri :
• Terdapat pergeseran pada hasil coran
Penyebab :
• Pergeseran titik tengah pola saat pembuatan cetakan
• Desain belahan pola yang kurang sesuai
• Pemadatan dan penekanan pasir cetak yang kurang
Solusi :
• Menambah pin atau pengunci

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
169

• Memperbaiki desain pola


2. Gas Defect

Gambar 4.53 Gas defect

Ciri Ciri:
• Adanya lubang-lubang kecil pada permukaan hasil coran
Penyebab :
• Adanya gas yang terjebak karena permeabilitas pasir yang rendah
• Adanya udara yang ikut larut pada saat proses peleburan dan penuangan
• Riser kurang memadai.
Solusi :
• Memilih permeabilitas pasir cetak dengan kadar air yang optimal
• Mengatur suhu peleburan yang tepat sehingga meminimalisir udara yang
ikut terlarut pada logam cair
• Perancangan riser yang tepat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
170

3. Metal Penetration

Gambar 4.54 Metal penetration

Ciri – ciri :
• Permukaan produk coran yang kasar akibat adanya penetrasi logam cair
pada pasir cetak.
Penyebab :
• Celah antar pasir cetak yang terlalu besar
• Permeabilitas pasir cetak yang terlalu besar
• Kurangnya penambahan pelapis pada pasir cetak
Solusi :
• Mengoptimalkan pemadatan pasir cetak
• Memilih permeabilitas pasir cetak yang sesuai
• Penambahan dan perataan pelapis yang cocok

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
171

4. Fin

Gambar 4.55 Fin

Ciri-ciri :
• Terjadi penambahan bentuk dan dimensi pada hasil coran
• Terdapat logam berlebih pada bagian tepi dari hasil coran yang
menyerupai sirip.
Penyebab :
• Cope dan drag tidak menempel
• Ukuran core dan dudukan core tidak sesuai.
• Adanya penetrasi logam cair yang berlebihan.
Solusi :
• Pembuatan core harus benar dan sesuai
• Pemasangan dan pemadatan pasir pada cope dan drag harus tepat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
172

5. Sand Inclusion

Gambar 4.56 Sand inclusion

Ciri-ciri :
• Adanya lubang kecil yang disebabkan oleh pasir cetak yang melekat pada
benda coran, sehingga saat dibersihkan akan meninggalkan lubang.
Penyebab :
• Adanya pasir yang terkikis selama penuangan logam cair akibat ikatan
antar butir pasir yang kurang kuat.
• Pemadatan pasir cetak yang kurang baik
• Pembersihan pasir yang rontok kurang teliti
• Pencabutan pola yang kurang hati-hati
Solusi :
• Pemadatan pasir cetak harus optimal.
• Menggunakan komposisi pasir cetak yang sesuai
• Lebih teliti dalam pembersihan pasir yang rontok
• Mencabut pola dengan hati-hati

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
173

6. Shrinkage

Gambar 4.57 Shrinkage

Ciri Ciri:
• Adanya pembekuan yang tidak seragam pada bagian coran menghasilkan
perbedaan ketebalan dan luas permmukaan yang cukup besar.
Penyebab :
• Pembekuan yang tidak merata
• Jarak riser yang kurang tepat
• Superheating kurang sesuai
• Permeabilitas terlalu rendah sehingga udara panas terperangkap dan tidak
bias keluar
Solusi :
• Komposisi pasir cetak harus sesuai
• Meletakkan riser pada jarak yang tepat
• Superheating harus sesuai

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
174

7. Swell

Gambar 4.58 Swell

Ciri Ciri:
• Adanya pembesaran rongga cetakan yang diakibatkan oleh tekanan dari
logam cair
Penyebab :
• Kekuatan tekan pasir cetak yang kurang
Solusi :
• Komposisi pasir cetk harus sesuai
• Pemadatan pasir harus sesuai dan merata

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
175

8. Porositas

Gambar 4.59 Porositas

Ciri Ciri:
• Adanya kelebihan hydrogen yang tidak dapat dimasukkan dalam struktur
logam atau paduan kristal padat sehingga membentuk gelembung yang
mungkin terperangkap dalam logam padat dan akhirnya menghasilkan
porositas
Penyebab :
• Permeabilitas rendah sehingga gas terperangkap dalam rongga
• Kekuatan tekan pasir cetak terlalu tinggi sehingga menimbulkan vortex
• Gas yang ditimbulkan dari cetakan tinggi
• Temperatur superheating tidak sesuai sifat mekanik logam
Solusi :
• Permeabilitas harus cepat
• Kekuatan tekan jangan terlalu besar
• Komposisi cetakan harus sesuai agar gas yang ditimbulkan sedikit
• Superheating harus tepat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
176

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
177

B. Pembahasan Pengecoran Setelah Finishing

Gambar 4.60 Benda kerja tampak atas setelah finishing

Gambar 4.61 Benda kerja tampak samping setelah finishing

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
178

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
179

a) Analisis Bentuk dan Dimensi Hasil Coran Setelah Finishing

Gambar 4.62 Dimensi benda kerja dengan toleransi

Tabel 4.2
Ketepatan Ukuran Hasil Finishing
Ukuran Desain Ukuran Hasil Finishing
Bagian Keterangan
(mm) (mm)
A 70 69 Lebih kecil
B 10 9,5 Lebih kecil
C 80,14 82 Lebih besar
D 35,36 37 Lebih besar
E 40 41 Lebih besar
F 100 100 Sama besar
G 25 24 Lebih kecil
H 50,14 55 Lebih besar
I 24 25 Lebih besar
J 48 46 Lebih kecil

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
180

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa terdapat perbedaan dimensi dari pola dan hasil
coran. Pada bagian A, B, G, dan J memiliki nilai yang lebih kecil dari desain dikarenakan
penyusutan dari logam cair yang melebihi dari perhitungan toleransi atau adanya kesalahan
pada saat proses finishing sehingga dimensi desain tidak sesuai. Pada bagian C, D, E, H dan
I memiliki nilai yang lebih besar dari desain karena terdapat kesalahan pada saat proses
finishing. Sedangkan pada bagian F ukuran sudah sesuai dengan dimensi yang didesain.
b) Analisis Cacat Hasil Coran Setelah Finishing
1. Sand Inclusion

Gambar 4.63 Sand inclusion

Ciri-ciri :
• Adanya lubang kecil yang disebabkan oleh pasir cetak yang melekat pada
benda coran, sehingga saat dibersihkan akan meninggalkan lubang.
Penyebab :
• Adanya pasir yang terkikis selama penuangan logam cair akibat ikatan
antar butir pasir yang kurang kuat.
• Pemadatan pasir cetak yang kurang baik
• Pembersihan pasir yang rontok kurang teliti
• Pencabutan pola yang kurang hati-hati
Solusi :
• Pemadatan pasir cetak harus optimal.
• Menggunakan komposisi pasir cetak yang sesuai
• Lebih teliti dalam pembersihan pasir yang rontok
• Mencabut pola dengan hati-hati

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
181

2. Gas Defect

Gambar 4.64 Gas defect

Ciri Ciri:
• Adanya lubang-lubang kecil pada permukaan hasil coran
Penyebab :
• Adanya gas yang terjebak karena permeabilitas pasir yang rendah
• Adanya udara yang ikut larut pada saat proses peleburan dan penuangan
• Riser kurang memadai.
Solusi :
• Memilih permeabilitas pasir cetak yang tepat dengan kadar air yang rendah
• Mengatur suhu peleburan yang tepat sehingga meminimalisir udara yang
ikut terlarut pada logam cair
• Perancangan riser yang tepat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
182

3. Porositas

Gambar 4.65 Porositas

Ciri – ciri
• Terdapat rongga pada benda hasil coran setelah dilakukan permesinan
Penyebab
• Permeabilitas yang rendah
• Riser yang kurang memadai
• Adanya gas hidrogen yang terjebak
Solusi
• Memperbaiki permeabilitas dari pasir cetak
• Menempatkan riser pada posisi yang bertemperatur tinggi
• Membuat sistem saluran yang lebih baik agar gas yang tedapat pada logam
cair dapat keluar

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
183

4. Shrinkage

Gambar 4.66 Shrinkage

Ciri Ciri:
• Adanya pembekuan yang tidak seragam pada bagian coran menghasilkan
perbedaan ketebalan dan luas permmukaan yang cukup besar.
Penyebab :
• Pembekuan yang tidak merata
• Jarak riser yang kurang tepat
• Superheating kurang sesuai
• Permeabilitas terlalu rendah sehingga udara panas terperangkap dan tidak
bisa keluar
Solusi :
• Komposisi pasir cetak harus sesuai
• Meletakkan riser pada jarak yang tepat
• Superheating harus sesuai

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
184

5. Cacat Permesinan

Gambar 4.67 Cacat Permesinan

Ciri – ciri
• Terdapat kerusakan atau hasil kasar pada benda kerja akibat finishing
• Hasil tebal benda yang tidak sama
Penyebab
• Finishing yang kurang berhati-hati, dan kurang cermat
Solusi
• Lebih berhati-hati saat finishing benda kerja
6. Cacat Dirt

Gambar 4.68 Cacat permesinan

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
185

Ciri – ciri
• Terdapat noda kotor pada permukaan benda kerja
Penyebab
• Kurang bersih dalam proses finishing
Solusi
• Lebih memperhatikan kebersihan saat finishing benda kerja
• Pembersihan dirt dengan menggunakan autosol
c) Perhitungan
1. Perhitungan True Density (𝜌𝑡ℎ )

Tabel 4.3
Kandungan Unsur Benda Coran
Massa Jenis
No Compound Conc (%) Metode
(gr/cm3)
1 Al 62,0 2,7
2 Si 15,5 2,329
3 P 0,49 1,823
4 Ca 0,983 1,55
5 Ti 0,058 4,506
6 Cr 0,28 7,19
XRF
7 Mn 0,29 7,21
8 Fe 4,86 7,874
9 Ni 0,525 8,908
10 Cu 2,28 8,94
11 Zn 12,3 7,14
12 Yb 0,1 6,9
13 Eu 0,0 5,264
14 Pb 0,27 11,34
Sumber: Laboratorium Pengecoran Logam Jurusan Mesin FT-UB (2019)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
186

100
𝜌𝑡ℎ = % 𝐴𝑙 % 𝑆𝑖 %𝑃 % 𝐶𝑎 % 𝑇𝑖 % 𝐶𝑟 % 𝑀𝑛 % 𝐹𝑒
( )+ ( )+( )+( )+( )+( )+( )+( )
𝜌𝐴𝑙 𝜌𝑆𝑖 𝜌𝑃 𝜌𝐶𝑎 𝜌𝑇𝑖 𝜌𝐶𝑟 𝜌𝑀𝑛 𝜌𝐹𝑒
[ ]
% 𝑁𝑖 % 𝐶𝑢 % 𝑍𝑛 % 𝑌𝑏 % 𝐸𝑢 % 𝑃𝑏
+( )+( )+( )+( )+( )+( )
𝜌𝑁𝑖 𝜌𝐶𝑢 𝜌𝑍𝑛 𝜌𝑌𝑏 𝜌𝐸𝑢 𝜌𝑃𝑏

100
𝜌𝑡ℎ = 62 15,5 0,49 0,983 0,058 0,28 0,29 4,86
( )+ ( )+( )+( )+( )+( )+( )+( )
2,7 2,329 1,823 1,55 4,506 7,19 7,21 7,874
[ 0,525 2,28 12,3 0,1 0,0 0.27
]
+( )+( )+( )+( )+( )+( )
8,908 8,94 7,14 6,9 5,264 11,34

𝜌𝑡ℎ = 3,002518 gr/cm3


2. Perhitungan Apparent Density ( 𝜌𝑠 )
Diketahui:
• Massa benda di udara (𝑤𝑠 ) = 3761 gram
• Massa benda dan keranjang di dalam air (𝑤𝑠𝑏 )= 2335,7 gram
• Massa keranjang di dalam air (𝑤𝑏 )= 0 gram
𝜌𝑠 = 𝜌𝑤 𝑤𝑠
(𝑤𝑠−(𝑤𝑠𝑏 − 𝑤𝑏))

3761
𝜌𝑠 = 1 (3761 −(2335,7−0))

𝜌𝑠 = 2,6387 gr/cm3
3. Perhitungan Porositas
𝜌𝑠
% P = (1 − ) × 100%
𝜌𝑡ℎ
2,6387
% P = (1 − ) × 100%
3,002518

% P = 12,117096 %
Dari perhitungan apparent density diperoleh nilai 𝜌𝑠 = 2,6387 gr/cm3
sedangkan dari perhitungan true density 𝜌𝑡ℎ = 3,002518 gr/cm3 dan
didapatkan besar porositas 12,117096 %. Porositas terjadi karena adanya gas
porosity yang terperangkap didalam coran.
Penyebab :
• Permeabilitas yang rendah
• Penempatan riser yang tidak sesuai
Solusi
• Memperbaiki permeabilitas dari pasir cetak
• Menempatkan riser pada posisi yang bertemperatur tinggi

C. Pembahasan Pengecoran Antar Kelompok

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
187

a) Analisis Cacat Coran Sebelum Finishing

Tabel 4.3
Perbandingan Cacat Pengecoran Antar Kelompok Sebelum Finishing
No Cacat Kelompok 03 Kelompok 05 Kelompok 02
1 Fin Ada Ada Ada
2 Sand Inclusion Ada Ada Ada
3 Shrinkage Ada Ada Ada
4 Gas Defect Ada Ada Ada
5 Shift Ada - Ada
6 Metal Penetration Ada Ada Ada
7 Swell Ada - -
8 Porositas Ada Ada Ada

1. Fin (Sirip)
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat sirip dialami oleh kedua kelompok
yang ditandai dengan adanya penambahan bentuk dan dimensi pada hasil coran
serta terdapat logam berlebih pada bagian tepi dari hasil coran yang menyerupai
sirip. Hal itu disebabkan oleh penempatan cetakan cope dan drag yang tidak
tepat, ukuran cope dan dudukan core tidak sesuai dan adanya penetrasi logam
yang berlebihan. Solusinya adalah dengan memasang cope dan drag yang
sesuai serta pemasangan dan pemadatan pasir pada cope dan drag harus tepat.

A B C

Gambar 4.69 Cacat sirip (fin) A. Kelompok 03, B. Kelompok 05, dan C. Kelompok 02

2. Sand Inclusion
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat sand inclusion dialami oleh kedua
kelompok yang ditandai dengan adanya lubang yang disebabkan oleh pasir

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
188

cetakyang melekat pada benda coran, sehingga saat dibersihkan akan


meninggalkan lubang. Hal itu disebabkan oleh pasir yang terkikis pada saat
penuangan logam, pemadatan pasir cetak yang kurang baik, pembersihan pasir
yang rontok kurang teliti dan pencabutan pola yang kurang hati-hati. Solusi
dari cacat ini adalah melakukan pemadatan pasir cetak harus optimal,
penggunaan komposisi pasir cetak yang sesuai, lebih teliti dalam pembersihan
pasir yang rontok dan pencabutan pola dengan hati-hati.

A C

Gambar 4.70 Cacat Inklusi Pasir A. Kelompok 03, B. Kelompok 05, dan C. Kelompok 02

3. Shrinkage (Penyusutan)
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat penyusutan dialami oleh kedua
kelompok yang ditandai dengan adanya cekungan atau kawah pada permukaan.
Hal itu disebabkan oleh pembekuan yang tidak seragam, kelompok 03
menggunakan saluran bertingkat. Pada saat penuangan logam cair yang terlebih
dahulu masuk melalui saluran telah membeku, sedangkan pada saluran tingkat
paling atas baru mengalami pembekuan, selain itu disebabkan oleh letak riser

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
189

yang kurang tepat serta adanya temperatur penuangan yang salah. Solusi dari
cacat ini adalah penyeragaman pada saat proses pembekuan, meletakkan riser
pada posisi yang tepat dan penggunaan suhu yang tinggi agar saat penurunan
temperatur tidak terjadi penyusutan.

A B C

Gambar 4.71 Cacat shrinkage A. kelompok 03, B. Kelompok 05, dan C. Kelompok 02

4. Gas Defect
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat gas defect dialami oleh kedua
kelompok yang ditandai dengan adanya lubang pada permukaan hasil coran.
Hal itu disebabkan oleh permeabilitas dari pasir cetak yang terlalu rendah,
adanya udara yang ikut larut pada saat proses peleburan dan penuangan, serta
riser yang kurang memadai. Solusi dari cacat ini adalah dengan memilih
permeabilitas dari pasir cetak yang tepat, mengatur suhu peleburan yang tepat
sehingga dapat meminimalisir udara yang ikut terlarut pada logam cair, dan
perancangan riser yang tepat.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
190

A B

Gambar 4.72 Cacat gas defect A. Kelompok 03, B. Kelompok 05, dan C. Kelompok 02

5. Shift (Pergeseran)
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat pergeseran dialami oleh kelompok 03
yang ditandai dengan adanya pergeseran bentuk hasil coran. Hal itu disebabkan
oleh pergeseran titik tengah pada saat pembuatan cetakan, desain belahan pola
yang kurang sesuai, pemadatan dan penekanan pasir cetak yang kurang. Solusi
dari cacat ini adalah dengan pemerataan penekanan saat pemadatan pasir,
menambah pin pada pola dan memperbaiki desain pola.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
191

A B

Gambar 4.73 Cacat shift A. Kelompok 03 dan B. Kelompok 02

6. Metal Penetration
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat metal penetration dialami oleh kedua
kelompok yang ditandai dengan permukaanproduk coran yang kasar akibat
penetrasi logam cair pasir cetak. Hal itu disebabkan oleh permeabilitas tinggi
yang menyebabkan celah antar butir pasir cetak terlalu besar dan tebal pelapis
tidak sesuai. Solusi dari cacat ini adalah menyesuaikan permeabilitas pasir
cetak, mengoptimalkan pemadatan, serta penambahan dan perataan pelapis
yang cocok.

A B C

Gambar 4.74 Cacat metal penetration A. Kelompok 03, B. Kelompok 05, dan
C. Kelompok 02

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
192

7. Swell
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat swell dialami oleh kelompok 03 yang
ditandai dengan adanya pertambahan dimensi benda kerja. Hal itu disebabkan
oleh kekuatan tekan pasir yang kurang, dan pemadatan pasir yang tidak
seragam. Solusi dari cacat ini adalah dengan meningkatkan kekuatan pasir
cetak, dan melakukan pemadatan pasir yang seragam.

Gambar 4.75 Cacat swell Kelompok 03

8. Porositas
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat poroitas dialami oleh kedua kelompok
yang ditandai dengan adanya kelebihan hydrogen yang tidak dapat dimasukkan
dalam struktur logam atau paduan kristal padat sehingga membentuk gelembung
yang mungkin terperangkap dalam logam padat. Hal ini disebabkan karena
permeabilitas yang rendah, kekuatan pasir cetak terlalu tinggi, gas yang
ditimbulkan dari cetakan terlalu tinggi, dan temperatur superheating tidak sesuai.
Solusinya adalah dengan mempercepat permeabilitas, kekuatan tekan jangan
terlalu besar, komposisi cetakan harus sesuai, dan superheating harus sesuai

A B C

Gambar 4.76 Cacat porositas A. Kelompok 03, B. Kelompok 05, dan C. Kelompok 02

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
193

b) Analisis Cacat Coran Setelah Finishing

Tabel 4.4
Perbandingan Cacat Pengecoran Antar Kelompok Setelah Finishing
No Cacat Kelompok 03 Kelompok 05 Kelompok 02
1 Sand Inclusion Ada Ada Ada
2 Gas Defect Ada Ada -
3 Porositas Ada Ada Ada
4 Shrinkage Ada Ada Ada
5 Metal Penetration - Ada -
6 Dirt Ada - -
7 Permesinan Ada Ada Ada

1. Sand Inclusion
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat sand inclusion dialami oleh ketiga
kelompok yang ditandai dengan adanya lubang yang disebabkan oleh pasir
cetak yang melekat pada benda coran, sehingga saat dibersihkan akan
meninggalkan lubang. Hal itu disebabkan oleh pasir yang terkikis pada saat
penuangan logam, pemadatan pasir cetak yang kurang baik, pembersihan pasir
yang rontok kurang teliti dan pencabutan pola yang kurang hati-hati. Solusi
dari cacat ini adalah melakukan pemadatan pasir cetak harus optimal,
penggunaan komposisi pasir cetak yang sesuai, lebih teliti dalam pembersihan
pasir yang rontok dan pencabutan pola dengan hati-hati.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
194

B C

Gambar 4.77 Cacat Sand inclusion A. Kelompok 03, B. kelompok 05 dan C. Kelompok 02

2. Cacat Gas Defect


Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat gas defect dialami oleh ketiga
kelompok yang ditandai dengan adanya lubang pada permukaan hasil coran.
Hal itu disebabkan oleh permeabilitas dari pasir cetak yang terlalu rendah,
adanya udara yang ikut larut pada saat proses peleburan dan penuangan, serta
riser yang kurang memadai. Solusi dari cacat ini adalah dengan memilih
permeabilitas dari pasir cetak yang tepat, mengatur suhu peleburan yang tepat
sehingga dapat meminimalisir udara yang ikut terlarut pada logam cair, dan
perancangan riser yang tepat.

A B C

Gambar 4.78 Cacat gas defect A. Kelompok 03,B Kelompok 05, dan C. Kelompok 02

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
195

3. Porositas
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat porositas dialami oleh ketiga
kelompok yang ditandai dengan adanya rongga pada benda hasil coran setelah
dilakukan permesinan. Hal itu disebabkan oleh permeabilitas yang rendah,
penempatan riser yang tidak sesuai, dan adanya gas hidrogen yang terjebak.
Solusi dari cacat ini adalah memperbaiki permeabilitas dari pasir cetak,
menempatkan riser pada posisi yang tepat, dan membuat sistem saluran yang
baik agar gas yang terdapat pada logam cair dapat keluar.

A C

Gambar 4.79 Cacat Porositas A. Kelompok 04, B. Kelompok 05, dan C. Kelompok 02

4. Shrinkage (Penyusutan)
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat penyusutan dialami oleh ketiga
kelompok yang ditandai dengan adanya cekungan atau kawah pada permukaan.
Hal itu disebabkan oleh pembekuan yang tidak seragam, kelompok 03
menggunakan saluran bertingkat. Pada saat penuangan logam cair yang terlebih
dahulu masuk melalui saluran telah membeku, sedangkan pada saluran tingkat
paling atas baru mengalami pembekuan. Hal ini disebabkan letak riser yang

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
196

kurang tepat serta adanya temperatur penuangan yang salah. Solusi dari cacat
ini adalah penyeragaman pada saat proses pembekuan, meletakkan riser pada
posisi yang tepat dan penggunaan suhu yang tinggi agar saat penurunan
temperatur tidak terjadi penyusutan.

A B C

Gambar 4.80 Cacat shrinkage A. Kelompok 03, B. kelompok 05 dan C. kelompok 02

5. Metal Penetration
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat metal penetration dialami oleh
kelompok 05 yang ditandai dengan permukaan produk coran yang kasar akibat
penetrasi logam cair ke pasir cetak. Hal itu disebabkan oleh permeabilitas
tinggi yang menyebabkan celah antar butir pasir cetak terlalu besar dan tebal
pelapis tidak sesuai. Solusi dari cacat ini adalah menyesuaikan permeabilitas
pasir cetak, mengoptimalkan pemadatan, serta penambahan dan perataan
pelapis yang cocok.

Gambar 4.81 Metal penetration kelompok 05

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
197

6. Pemesinan
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat permesinan dialami oleh kedtiga
kelompok yang ditandai dengan adanya kerusakan atau hasil kasar pada benda
kerja setelah dilakukan permesinan dan hasil tebal benda tidak sama. Hal ini
disebabkan oleh permesinan yang kurang hati-hati dan kurang cermat. Solusi
dari cacat ini adalah lebih berhati-hati dalam melakukan permesinan.

B C

Gambar 4.82 Cacat Pemesinan A. Kelompok 03, B. Kelompok 05, dan C. Kelompok 02

7. Dirt
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat dirt dialami oleh kelompok 03 yang
ditandai dengan adanya permukaan yang kotor pada benda kerja setelah
dilakukan permesinan. Hal ini disebebkan oleh permesinan yang kurang bersih
dalam pengerjaannya dan tidak dilakukan pembersihan setelah permesinan.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
198

Solusi dari cacat ini adalah lebih memperhatikan kebersihan saat proses
finishing dan jika masih terjadi dirt dapat dibersihkan dengan autosol.

Gambar 4.83 Cacat dirt kelompok 03

c) Analisis Uji Piknometri Antar Kelompok


1. Saluran Bawah
• True Density = 3,002518 gr/cm3
• Perhitungan Apparent Density
Diketahui:
- Massa benda di udara (ws)= 3953 gram
- Massa benda dan keranjang dalam air (wsb)= 2450,72 gram
- Massa keranjang dalam air (wb)= 0 gram
𝑤𝑠
𝜌𝑠 = 𝜌𝑤
𝑤𝑠 − (𝑤𝑠𝑏 − 𝑤𝑏 )
3953
𝜌𝑠 = 1 [ ]
3953 − (2450,72 − 0)
𝜌𝑠 = 2,63133706 gr/cm3
• Porositas
𝜌
%P = (1 − 𝜌 𝑠 ) × 100%
𝑡ℎ

2,63133706
= (1 − ) × 100%
3,002518

= 12,3623219 %
2. Saluran Samping
• True Density = 3,002518 gr/cm3

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
199

• Perhitungan Apparent Density


Diketahui:
- Massa benda di udara (ws)= 306,37 gram
- Massa benda dan keranjang dalam air (wsb)= 192,26 gram
- Massa keranjang dalam air (wb)= 0 gram
𝑤𝑠
𝜌𝑠 = 𝜌𝑤
𝑤𝑠 − (𝑤𝑠𝑏 − 𝑤𝑏 )
306,37
𝜌𝑠 = 1 [ ]
306,37 − (192,26 − 0)
𝜌𝑠 = 2,6848 gr/cm3
• Porositas
𝜌
%P = (1 − 𝜌 𝑠 ) × 100%
𝑡ℎ

2,6848
=(1 − 3,002518 ) × 100%

= 10,5817184 %
Dari hasil diatas didapat nilai porositas saluran bawah yaitu 12,3623219%
lebih besar dibandingkan dengan saluran bertingkat yang porositasnya sebesar
12,117096% dan saluran samping yang porositasnya sebesar 10,5817184%. Hal
ini dikarenakan sistem saluran yang berbeda, pada saluran bawah gas belum
sempat untuk keluar kemudian dari saluran masuk lain logam cair mengalir
sehingga gas terjebak dan larut dalam logam cair, selain itu peletakan riser yang
berbeda dan tingginya saluran yang menyebabkan kecepatan logam cair
meningkat sehingga alirannya turbulen maka lebih banyak gas yang ada pada
logam cair bisa menyebabkan porositas

4.4 Kesimpulan dan Saran


4.4.1 Kesimpulan
1. Dimensi sebelum finishing hasil pengecoran memiliki perbedaan dengan ukuran desain,
terdapat nilai ukuran yang lebih kecil dan lebih besar. Nilai yang lebih kecil dari desain
dikarenakan penyusutan dari logam cair yang melebihi dari perhitungan toleransi serta
adanya pola yang rusak sehingga dimensi pola tidak sesuai. Nilai yang lebih besar dari
desain karena ketika pencabutan pola yang kurang hati-hati dan pemadatan yang kurang
sehingga pasir cetak yang bersinggungan dengan pola terkikis dan mengalami
pergeseran sehingga dimensi coran berubah.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
200

2. Cacat yang dimiliki oleh kelompok 03 sebelum dilakukannya proses finishing adalah
fin, sand inclusion, shrinkage, gas defect, shift, metal penetration, swell, dan porositas.
3. Dimensi setelah finishing hasil pengecoran memiliki perbedaan dengan ukuran desain,
terdapat nilai ukuran yang lebih kecil dan lebih besar. Nilai yang lebih kecil dari desain
dikarenakan penyusutan dari logam cair yang melebihi dari perhitungan toleransi atau
adanya kesalahan pada saat proses finishing sehingga dimensi desain tidak sesuai. Nilai
yang lebih besar dari desain karena terdapat kesalahan pada saat proses finishing.
4. Cacat yang dimiliki oleh kelompok 03 setelah dilakukannya proses finishing adalah
sand inclusion, shrinkage, gas defect, porositas, permesinan dan dirt
5. Terdapat perbedaan cacat coran antara kelompok 03, Kelompok 05, dan kelompok 02
sebelum dilakukan finishing. Pada kelompok 02 memiliki cacat swell dan kelompok 03
dan 02 memiliki cacat shift
6. Terdapat perbedaan cacat antara kelompok 03, kelompok 05 dan kelompok 02 setelah
dilakukan finishing. Pada kelompok 03 terdapat cacat dirt dan kelompok 04 memiliki
cacat metal penetration. Sedangkan untuk cacat sand inclusion shrinkage dimiliki oleh
kelompok 03 dan 05.
7. Porositas yang dihasilkan dari saluran bawah (kelompok 05) lebih tinggi dari pada
porositas yang dihasilkan pada saluran samping dan bertingkat. Dengan hasil porositas
saluran bawah adalah 12,3623219%, porositas saluran samping adalah 10,5817184%
dan porositas saluran bertingkat adalah 12,117096% Hal ini disebabkan oleh saluran
yang berbeda.

4.4.2 Saran
1. Untuk Laboratorium Pengecoran Logam FT-UB sebaiknya dapat memperbarui alat-
alat di laboratorium dengan yang lebih teliti dan baru sehingga hasil pengujian dapat
lebih akurat.
2. Untuk praktikum sebaiknya diberi waktu lebih lama.
3. Untuk asisten diharapkan dapat lebih baik lagi dalam penyampaian materi.
4. Untuk praktikan seharusnya lebih memperhatikan lagi terkait timeline

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya

Anda mungkin juga menyukai