Anda di halaman 1dari 6

Muhamad Alfaridhi

11171120000082

Review Buku Orde Baru

Judul : Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru

Pengarang : Daniel Dhakidae

Penerbit : PT Ikrar Mandiri, Jakarta

Tahun : 2003

Jumlah halaman : 828 halaman

Buku ini merupakan kajian komprehensif atas fenomena yang terjadi antara
cendikiawan Indonesia dengan pemerintahan Orde Baru. Buku ini melalui riset
kritis menggunakan metode discourse analysis atau analisis wacana. Dengan
menggunakan pendekatan tersebut Daniel tidak mengkaji cendikiawan layaknya
buku-buku dengan tema yang sama. Jika buku lain lebih menekankan pada
pembahasan biografi dan pemikiran cendikiawan, maka buku ini lebih menekankan
pada hubungan kaum cendikiawan dengan pemerintah, yang tidak bisa lepas dari
modal, kekuasaan dan kebudayaan. Seperti yang tampak dalam wacana politik yang
direproduksikan. Kekuasaan dilihat sebagai kemampuan mengubah sesuatu secara
transformatif ketika kekuasaan mengubah medan kecendekiaan dan cendikiawan
mengubah kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan muncul dalam dua wajah sekaligus,
yaitu wajah destruktif dan produktif. Kekuasaan membunuh jutaan orang, namun
kekuasaan juga memproduksikan modal, buruh, dan bahasa. Hal-hal ini yang
menjadikan buku ini menarik, serius, tajam, dan debatable.

Jika sisi menarik sudah dipaparkan sedemikian rupa. Maka sekarang


gilirannya membahas kesulitan dalam memahami buku menurut pemakalah.
Karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki pemakalah khususnya dalam
bidang ilmu politik, maka untuk menelaah pembahasan yang kental dengan politik
seperti ini pemakalah mengalami kesulitan, mulai dari pendekatan hingga istilah-
istilah yang dipergunakan penulis. Buku ini berbeda dengan buku-buku sejarah
konvensional pada umumnya, sehingga dalam memahami buku ini pemakalah tidak
hanya sekali dalam membaca, namun berkali-kali agar dapat memahami esensi
yang terkandung dalam buku ini.

Dari buku ini pemakalah memperoleh pengetahuan baru mengenai


penelitian menggunakan metode discourse analysis atau analisis wacana. Sesuatu
yang baru bagi pengetahuan penulis tentang metode penelitian. Metode ini berbeda
dengan metode-metode yang dikenal penulis dalam melakukan penelitian. Jika
biasanya sejarah pemikiran hanya berkaitan dengan biografi dan pemikiran suatu
tokoh, maka dengan menggunakan metode ini, penelitian dapat mengungkap bahwa
politik Indonesia adalah hasil dari wacana yang dikonstruksikan oleh modal,
kekuasaan, dan kebudayaan, dimana cendikiawan ikut terlibat di dalamnya.

Adapun isi dari buku dijabarkan dalam beberapa bab, Bab I memeriksa
komplikasi teoritis pembahasan masalah cendekiawan. Cendekiawan,
kecendikiawaan, kaum cendekiawan adalah relasi, dan bukan definisi, yang keluar
sebagai akibat dari hubungan modal, kekuasaan, dan kebudayaan, dan karena itu
hampir tidak ada definisi yang mungkin berdaulat atas definisi lain. Bab II
memeriksa wacana politik dalam bentuk “politik etis” sebagai resultante
pertarungan modal, kekuasaan negara kolonial, dan pertarungan kebudayaan
antara Inlander versus Nederlands. Bab III memeriksa perubahan besar dalam
masyarakat Indonesia yang terjadi pada tahun 1965. Bab IV memeriksa lembaga-
lembaga cendekiawan Orde Baru yang memegang peran penting di dalam Orde
Baru. Bab V mengarahkan perhatian kepada suatu lembaga lain yaitu media Orde
Baru dan alat utamanya adalah bahasa. Bab VI memeriksa pergulatan dan
pertarungan agama dan kekuasaan.

Bab I

Memeriksa komplikasi teoritis pembahasan masalah cendekiawan. Tidak


banyak dipersoalkan definisi kaum cendekiawan, namun lebih kepada relasi antara
cendekiawan, kecendekiaan dan kaum cendekiawan yang keluar sebagai akibat
hubungan modal, kekuasaan dan kebudayaan, sehingga hampir tidak ada definisi
yang berdaulat atas definisi lain. Pertarungan definisi menjadi tidak penting karena
perhatian utama diberikan kepada relasi yang dihasilkan, karakter yang tampak dan
peran yang dimainkan serta kekuasaan yang ditunggangi dan kekuasaan yang
dihasilkan untuk membentuk suatu political discourse oleh kaum cendekiawan.

Bab II

Memeriksa wacana politik dalam bentuk “politik etis”


sebagai resultante pertarungan modal, kekuasaan negara kolonial dan pertarungan
kebudayaan antara Inlander versus Nederlander, antara boemipoetra dan orang-
orang Belanda. Zaman kolonial menjadi penting bukan hanya digunakan sebagai
latar belakang, tetapi pertarungan wacana saat itu menjadi begitu menentukan yang
dalam arti tertentu bukan saja menjadi pertarungan masa lalu tetapi masa kini.

Bab II

Pada awal pembahasan ini disajikan teori tentang siapa yang mendalangi
peristiwa kudeta 1 Oktober 1965. Terdapat lima teori yang dipaparkan dalam
pembahasan ini. Pertama teori “resmi” militer yang memaparkan bukti-bukti bahwa
dalang dari peristiwa 1 Oktober 1965 adalah PKI, tidak. Teori yang kedua adalah
teori yang dikembangkan Benedict Anderson, yang menyatakan bahwa kudeta
dijalankan oleh kelompok perwira muda dalam angkatan darat khususnya sayap
militer dengan basis divisi Diponegoro di Semarang. Teori ketiga adalah yang
mengatakan bahwa peristiwa tesebut didalangi oleh CIA (Central Intelligence of
America), yang sudah lama membina hubungan dengan angkatan darat. Teori yang
keempat dibahas penulis adalah versi Professor Wertheim yang mengatakan bukan
PKI dan bukan perwira muda menengah angkatan darat, akan tetapi Soeharto
sendirilah yang menjadi otak kudeta tersebut. Teori yang terakhir adalah versi
Wieringa yang mengajukan “tesis dua kudeta”, yaitu kudeta pertama dilakukan oleh
perwira menengah Angkatan Darat, dan kudeta kedua yang dikerjakan oleh
Soeharto sendiri ketika dia menumpas para pelaku kudeta yang membunuh enam
jenderal dan seorang perwira. Kudeta tesebut mencapai puncaknya pada kudeta
kedua ketika Soekarno menyerahkan “kekuasaan” dengan surat perintah sebelas
Maret 1966.

Bab IV

Penulis memberikan gambaran suatu bentuk menjalankan kerahasiaan yang


khas adalah menutup fakta yang berhubungan dengan kudeta, melarang pertukaran
pikiran tentang itu dan dibungkus dari luar oleh cerita-cerita kemasan bahwa PKI-
lah satu-satunya yang mengatur segala kudeta. Perlawanan terhadap hal tersebut
dilakukan dengan membongkar rahasia tersebut, antara lain perlawanan dari Soe
Hok Gie dan H.C Princen. Protes yang paling keras dilakukan oleh H.C Princen,
dengan terbuka ia melaporlan bahwa 860 orang mati dibunuh secara masal pada
tahun 1968. Pembunuhan tersebut dikerjakan oleh pihak militer hanya karena
adanya tuduhan tunggal bahwa orang-orang ini adalah bagian dari anggota PKI
yang berusaha comeback. Namun Princen akhirnya diinterogasi militer atas
keterangan yang dia berikan, penulis menjadikan ini sebagai salah satu contoh
pemerintahan Orde Baru dan militer tidak tahan kritik dan juga memang tidak
terlatih menerima kritik.

Krisis Ilmu didefinisikan penulis sebagai kegiatan yang tidak lagi


memenuhi tujuannya, akan tetapi tidak mampu lagi merumuskan apa yang akan
dipenuhi dengan kegiatan yang dikerjakan. Dapat dilihat cengkeraman kekuasaan
Orde Baru dalam keilmuwan, di dalam masyarakat hal tersebut bisa dilihat dari
jumlah penjara dan penghuni penjara yang tidak pernah sebesar di bawah rezim
Orde Baru. Normalisasi kampus harus dilihat dalam hubungan dengan pen-
disiplinan perguruan tinggi. Semua aksi protes mahasiswa sejak awal tahun 1970-
an dianggap sesuatu yang tidak normal karena itu semua dikembalikan ke dalam
kampus dengan penjagaan ketat terhadap campur tangan dari luar. Kampus tidak
boleh berhubungan dengan orang luar kecuali melalui rektor. Setiap orang yang
akan memberikan ceramah di kampus harus mendapatkan persetujuan rektor.
Dengan begitu kampus menjadi suatu wilayah tertutup hampir seperti wilayah
penjara.

Hal yang sama berlaku untuk pers dengan pengawasan ketat sehingga surat
kabar tidak bisa melepaskan dirinya. Surat kabar sudah ditentukan untuk diterbitkan
dengan jumlah halaman tertentu.

BAB V

Media, Bahasa, dan neo-Fasisme Orde Baru

Surat kabar menempati suatu posisi di antara modal kekuasaan, sembari


mengolah informasi, mengolah teks, dalam prosesnya mengolah dirinya sendiri
menjadi teks dan dalam suatu putaran lain menjadikan dirinya modal dan karena itu
juga menjadi kekuasaan. Karena itu surat kabar dan kekuasaan Orde Baru menjadi
kawan dan sekaligus lawan, menjadi mitra dan sekaligus pesaing ketika kekuasaan
dengan penuh kecemburuan mengawasi sambil mengelusnya.

Pemerintah memegang kekuasaan atas surat kabar karena mereka


mengendalikan hal penting surat kabar: mekanisme surat izin/lisensi,
SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) adalah unsur paling penting dalam
penerbitan.

BAB VI

Orde Baru menjadi produsen rumah ibadah terbesar sejarah di Indonesia.


Masjid Istiqlal diberi nama Istiqlal oleh Bung Karno yang memiliki arti “merdeka”,
menempati wilayah yang begitu padat dengan sejarah. Disitu sebenarnya berada
benteng Belanda yang disebut sebagai benteng Frederik Hendrik yang dibangun
untuk menjadi suatu garis pertahanan yang ampuh pada masa Belanda menurut
rencana Van den Bosch pada tahun 1834. Kubah masjid berdiameter 45 m, tinggi
menaranya hampir 70 m. Simbol bulan bintang yang berada dipuncak terbuat dari
besi anti karat berdiameter 3 m, dan beratnya 2,5 ton. Luas halaman 7 H, menjadi
ruang parkir juga untuk 800 mobil. Bedug terbuat dari kayu meranti merah
Kalimantan Timur dari batang kayu yang kono berusia 3 abad. Bedug bergaris
tengah 2 m, dan 1,71 m di bagian belakangnya, memiliki berat 2,3 ton. Sedikit di
Timur Laut berdiri gereja Katedral resmi Keuskupan Agung dan Kardinal Jakarta.
Di titik paling selatan berdiri gereja Imanuel yang didirikan atas inisiatif
Hervormde Kerk dan gereja Lutheran. Bila ditarik garis lurus, hampir sempurna
dari kedutaan Vatikan kearah Barat Laut akan menembus jantung Monumen
Nasional. Monumen ini berdiri diatas tanah sarat dengan beban sejarah. Monumen
ini merupakan lambing kekuatan Indonesia, dalam bentuk lingga yang tertanam
didalam yoni. Keperkasaan lingga dimahkotai oleh sinar dari nyala obor
kemerdekaan setinggi 14 m dengan garis tengah 6 m, terbuat dari 77 lempengan
perunggu seberat 14,5 ton dan dilapisi emas murni seberat 32 kg.

Pertemuan para cendekiawan muslim pertama tahun 1984 yang


diselenggarakan oleh MUI, dua universitas Islam dan 4 lembaga swadaya
masyarakat, yang dimotori oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).
ICMI mengambil keuntungan dari politics of inclusion dengan memperoleh posisi
sekutu dalam diskursus agama Orde Baru dimana agama adalah kekuasaan dan
menghapuskan apa saja kesan adanya dikotomi antara agama dan bukan agama dari
satu proses kepada proses lain. Ikatan cendekiawan ini gabungan dari bermacam-
macam unsur, yang hampir-hampir merupakan suatu impossible mix dari
bermacam-macam kelompok yaitu kabinet, gubernur, jenderal aktif, para
wartawan, penulis, akademisi, dan politisi professional.

Kesimpulan

Karya Daniel Dhakadie ini menyajikan pemaparan yang komprehensif atas


fenomena yang terjadi antara cendikiawan Indonesia dengan pemerintahan Orde
Baru. Buku ini melalui riset kritis menggunakan metode discourse
analysis atau analisis wacana. Melalui pendekatan tersebut penulis tidak mengkaji
cendikiawan layaknya buku-buku dengan tema yang sama yang menekankan pada
pembahasan biografi dan pemikiran cendikiawan, namun buku ini lebih
menekankan pada hubungan kaum cendikiawan dengan pemerintah, yang tidak bisa
lepas dari modal, kekuasaan dan kebudayaan. Kekuasaan dilihat sebagai
kemampuan mengubah sesuatu secara transformatif ketika kekuasaan mengubah
medan kecendekiaan dan cendikiawan mengubah kekuasaan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai