Anda di halaman 1dari 7

Nama : Muhamad Alfaridhi

Kelas : Politik 5B

NIM : 11171120000082

Mata Kuliah : Pemikiran Politik Indonesia

Lahir dan berakhirnya Orde Baru

Lahirnya Orde Baru

Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mampu berkuasa selama
32 tahun di Republik Indonesia. Melalui proses yang cukup panjang, pemerintah
Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional pasca
peristiwa 1965. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Ali Moertopo, bahwa stabilitas
politik dan keamanan nasional merupakan syarat utama bagi kelangsungan
pembangunan.1

Orde Baru lahir dari tekad untuk melakukan koreksi total atas kekurangan
sistem politik yang telah dijalankan sebelumnya. Dengan kebulatan tekad atau
komitmen dari segala kekurangan pada masa sebelumnya, Orde Baru merumuskan
tujuannya secara jelas yakni melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Sebagaimana diungkapkan oleh Soeharto dalam salah satu
pidatonya “Koreksi secara mendasar terhadap kekeliruan masa lampau itulah yang
melahirkan Orde Baru. Ialah, tatanan kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang
kita letakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945.
Sejarah lahirnya Orde Baru ini harus kita camkan sedalam-dalamnya dalam lubuk
hati dan kesadaran kita semua tanpa kecuali” (Departemen Pertanian, 1994:6) Sejak
permulaan Pemerintahan Orde Baru tahun 1966, yang sejalan dengan pergeseran
pusat perhatian dari masalah pembinaan bangsa ke masalah pembangunan
ekonomi, muncul perhatian yang serius untuk menata kembali suatu sistem politik
yang diharapkan akan dapat menunjang kegiatan pembangunan ekonomi tersebut.2

1
Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: CSIS, 1981), h.26-28
2
Kaisiepo Manuel, Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara: Birokrasi dan Politik
Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 1987), h.14
Pemberian kekuasaan kepada Soeharto dalam Supersemar menyebabkan
munculnya “dualisme” kepemimpinan dalam tubuh NKRI. Setelah menerima
Supersemar Soeharto melakukan langkah pertamanya yaitu memerintahkan untuk
membubarkan PKI, karena Soeharto menganggap bahwa PKI adalah sumber dari
Gerakan 30 S yang harus ditumpas guna menciptakan stabilitas sosial dan politik
di Indonesia. Pada tangal 12 maret 1966, lahirlah Keputusan Presiden No. 1/3/1966
yang ditandatangai oleh Soeharto yang berisi tentang perintah untuk membubarkan
PKI, dan menggunakan Supersemar sebagai landasan yuridisnya. Namun mendegar
hal tersebut munculah surat keputusan kedua tanggal 13 Maret 1966 surat
peringatan kepada Soeharto dari Soekarno. Namun tidak mendapatkan respon dari
Soeharto akhirnya pada tanggal 16 Maret 1966 Presiden membentuk kabinet
Ampera namun segera mentri-mentri tersebut di tangkap oleh Soeharto dengan
alasan mereka ikut terlibat dalam gerakan 30 S. Setelah munculnya surat Putusan
yang berisi tentang pencabutan keputusan tentang Soekarno sebagai presiden
seumur Hidup sekaligus melengserkan Soekarno dari kursi kepresidenan, dan
Soeharto menjadi presiden menggantikan Soekarno, dan mulailah pemerintahan
Orde Baru di Indonesia. Konsolidasi Orde Baru, sudah tentu tidak lepas dari kondisi
yang ditinggalkan oleh Orde Lama. Dalam pemerintahan Orde Baru tidak
semuanya peninggalan Orde Lama di buang dan di tinggalkan. Tekad Orde Baru
adalah melaksanakan Pancasila/UUD 1945 secara murni dan konsekuen tetap
dilaksanakan.3

Rezim Orde Baru dibangun dengan dukungan penuh dari kelompok-


kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu, baik kekacauan politik,
ekonomi, maupun budaya pada masa Orde Lama dengan Soekarno sebagai
presiden. “Pembangunan pemerintah pada awal Orde Baru berorientasi pada usaha
penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat
inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun
1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650% setahun. Hal itu menjadi

3
Sulastomo, Hari-hari yang panajang Transisi Orde Lama ke Orde Baru. (Jakarta: Kompas, 2008),
h.191
penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan
pemerintah.”4

Pemerintahan Orde Baru adalah suatu penataan kembali seluruh kehidupan


bangsa dan negara serta menjadi titik awal koreksi terhadap penyelewengan pada
masa yang lalu. Orde Baru bisa diartikan sebagai orde yang mempunyai sikap dan
tekad mendalam untuk mengabdi kepada rakyat serta mengabdi kepada
kepentingan nasional yang didasari oleh falsafah Pancasila dan menjunjung tinggi
asas serta sendi Undang-undang Dasar 1945. “Orde Baru juga bisa diartikan sebagai
masyarakat yang tertib dan negara yang berdasarkan hukum, dimana terdapat
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat serta warga negara
mempunyai pemimpin atau penguasa yang tunduk kepada ketentuan yang
berlaku.”5

Pengertian, ciri-ciri, dan hakekat Orde Baru sebagai yang dirumuskan oleh
seminar II Angkatan Darat pada bulan Agustus 1966 adalah: “Orde Baru
menghendaki suatu tata fikir yang lebih realistis dan pragmatis, walaupun tidak
meninggalkan idealisme perjuangan. Orde Baru menghendaki diutamakannya
kepentingan nasional, walaupun tidak meninggalkan idiologi perjuangan anti
kolonialisme dan anti imprealisme. Orde Baru menginginkan suatu tata susunan
yang lebih stabil, berdasarkan kelembagaan dan bukan tata susunan yang
dipengaruhi oleh oknum-oknum yang menegembangkan kultur individu. Akan
tetapi, Orde Baru tidak menolak kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat,
malahan menghendaki ciri-ciri demikian dalam masa peralihan dan pembangunan.
Orde Baru menghendaki pengutamaan konsolidasi ekonomi dan sosial dalam
negeri. Orde Baru menghendaki pelaksanaan yang sungguh-sungguh dan cita-cita
demokrasi ekonomi. Orde Baru adalah suatu tata kehidupan baru disegala bidang
yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.”6

4
Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: CSIS, 1981), h.48
5
Jenderal Soeharto, Orde Baru (Kutipan dari Pidato Pejabat Presiden Soeharto pada Sidang
Paripurna Kabinet Ampera tanggal 19 April 1967), (Surabaya : Grip, 1967), h.7
6
Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta: Departemen
Pendidikan, 1985), h.31
Berakhirnya Orde Baru

Pada tanggal 20 Januari 1998, presiden Soeharto secara resmi menerima


pencalonannya oleh Golkar untuk jabatan kepresidenan.Setelah terpilih dan
menjabat sebagai presiden, Soeharto membentuk kabinet barunya dengan
menyertakan putrinya Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri Kesejahteraan
Sosial, dan orang dekatnya Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan dan
Perindustrian.7

Pada dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut


dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata secara de facto
(dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga
sebagian besar anggota MPR tersebut diangkat berdasarkan pada ikatan
kekeluargaan (nepotisme). Pada awal Mei 1998 mahasiswa mempelopori unjuk
rasa menuntut dihapuskannya KKN, penurunan harga-harga kebutuhan pokok, dan
Soeharto turun dari jabatan Presiden. Ketika para mahasiswa melakukan
demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 terjadilah bentrokan dengan aparat
kemananan. Dalam peristiwa ini beberapa mahasiswa Trisakti cidera dan bahkan
tewas.

Pemerintah Soeharto semakin disorot setelah tragedi TRISAKTI kemudian


memicu kerusuhan 13 Mei 1998 sehari selepasnya.8 Gerakan mahasiswa pun
meluas hampir di seluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam
maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari
jabatannya. Dengan latar belakang hal tersebut, saya mencoba menjelaskan tentang
bagaimana faktor penyebab jatuhnya sistem pemerintahaan Orde Baru dibawah
pimpinan Soeharto, sehingga pimpinan ini mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai pemimpin sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu.

Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang disertai


dengan tuntutan demokratisasi di segala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas
para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi perubahan di

7
Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.664
8
Arintonang Diro, Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), h.23
Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat dan dinamis. Situasi ini
menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha mengatasi kemelut sejarahnya dalam
arus utama perubahan besar yang terus bergulir melalui agenda reformasi
(Poesponegoro dan Djoened, 1984: 664).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru


dibawah kepemimpinan Soeharto antara lain krisis ekonomi dan moneter. Pemicu
dari kejatuhan pemerintahan Orde Baru ini yaitu karena tingginya tingkat KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di dalam pemerintahan, dan membengkaknya
angka utang luar negeri. Transisi pemerintahan Indonesia di masa ini dilingkup oleh
berbagai gejolak.

Dalam sebuah rapat di Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto bersama


Radius Prawiro menyatakan bahwa utang luar negeri di Indonesia mencapai 63.262
miliar dollar Amerika Serikat. Angka ini baru yang dibebankan bagi negara, jumlah
utang luar negeri sektor swasta Indonesia pun mencapai miliaran dollar Amerika
Serikat. Efek domino dari kondisi kejatuhan ekonomi langsung berdampak pada
kehidupan masyarakat. Tingginya harga barang dan inflasi pun tak terelakan.
Rakyat menjadi cukup sulit memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bahkan, rakyat
harus mengantri untuk mendapatkan sembako dengan harga murah, karena harga
standar yang dijual di pasar sudah tak terjangkau lagi oleh daya beli masyarakat.
Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru telah dimulai semenjak
penandatanganan Soeharto mengenai perjanjian pemberian dana bantuan IMF pada
Medio 1997 (Poesponegoro dan Djoened, 1984: 664). Pemberian dana bantuan ini
sebenarnya mengandung kelemahan utama bagi Indonesia, dan hal ini disadari
betul oleh rakyat pada saat itu.

Masyarakat beserta mahasiswa melihat bahwa hal ini akan berdampak pada
makin menumpuknya utang Indonesia kepada luar negeri. IMF tidak hanya
memberi bantuan dana semata, akan tetapi IMF memberikan bantuan dengan
persyaratan tajam kepada Indonesia yang menyangkut dalam 4 bidang utama, yaitu
pengetatan kebijakan fisikal, penghapusan subsidi, menutup 16 bank di Indonesia,
dan memerintahkan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga. Hal ini
harusnya dipikirkan mendalam oleh pemerintah sebelum menyepakati perjanjian
bantuan dana tersebut. Alhasil, dampaknya tidak terwujud dalam perbaikan
ekonomi nasional yang signifikan, melainkan makin berdampak buruk bagi
masyarakat Indonesia yakni melambungnya jumlah penduduk Indonesia yang
hidup di bawah garis kemiskinan meningkat yang dari 20 juta orang sampai ke
angka 80 juta orang. Jutaan orang juga kehilangan pekerjaan akibat penutupan
bankbank nasional dan sektor usaha karena tidak mendapatkan suntikan dana dari
pemerintah. Krisis ekonomi pun makin bertambah parah.
Daftar Pustaka

Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional


Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Diro, Arintonang 1999. Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto. Jakarta: Pustaka
Hidayah.

Ali Moertopo. 1981. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: CSIS

Kaisiepo Manuel. 1987. Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara:


Birokrasi dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Sulastomo. 2008. Hari-hari yang panajang Transisi Orde Lama ke Orde Baru.
Jakarta: Kompas.

Jenderal Soeharto. 1967. Orde Baru (Kutipan dari Pidato Pejabat Presiden
Soeharto pada Sidang Paripurna Kabinet Ampera tanggal 19 April 1967).
Surabaya : Grip.

Notosusanto, Nugroho. 1985. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969.


Jakarta: Departemen Pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai