Anda di halaman 1dari 3

ILHAM IRMANSYAH

11171120000063
POLITIK 5B

ASYURA

Pengertian dan Makna

Istilah syura atau musyawarah memiliki penafsiran yang mengalami perkembangan


dari waktu ke waktu dan memiliki persepsi yang mengalami evolusi. Seperti yang dijelaskan
oleh Hamka dalam Tafsir al-Azhar-nya, evolusi tersebut terjadi sesuai dengan perkembangan
ruang dan waktu.1 Sebelum membahas perkembangan penafsiran dan persepsi mengenai
syura, pengertian syura menjadi suatu hal yang penting untuk dibahas terlebih dahulu.

Kata syura, sebagaimana yang disebutkan dalam otoritas bahasa, berasal dari kata
syara yang berarti mengambil. Dalam kamus-kamus bahasa arab dijelaskan arti kata ini
adalah perkataan orang Arab: ‫ شرت العسل‬artinya “aku mengambil madu dari tempatnya”,
juga ‫ شاؤرت فلل نا‬ungkapan artinya “aku mengemukakan pendapatku dan pendapatnya”. Jadi
dengan demikian syura artinya mengambil sesuatu dari tempatnya, yakni dari seseorang yang
memang pantas diambil pendapatnya.2

Apabila merujuk pada asal bahasa, syura berasal dari kata dasar syawara yang memiliki arti
menawarkan diri, menyambut, menjadi sasaran. Pengertian tersebut diambil dari hadits Abu
Thalhah ra:3

“Bahwasanya ia (Abu Thalhah) menawarkan dirinya menjadi sasaran di hadapan Rasulullah


saw.”

Yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah bahwasanya Abu Thalhah menjual nyawanya
untuk dijadikan sasaran yang mati di jalan Allah. Pengertian tersebut berbeda dengan asal
kata lainnya, di antaranya adalah syur yang berarti madu, syara al-asal yang berarti
mengeluarkan madu dari tempatnya, al-musyar berarti kebaikan lembaga, dan syawarahu
musyawaratan wa istisyarah yang berarti meminta musyawarah. Dari pengertian-pengertian
tersebut dapat diketahui definisi dari syura. Syura yaitu menyarikan pendapat yang berbeda-

1
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 440.
2
Muhammad Abed Al-Jabiri, Syura: Tradisi, Partikularitas, Universalitas, (Yogyakarta :LKIS,2003) hlm,26
3
Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam (Jakarta: Robbani Press, 1986), h. 53.
beda dari berbagai sudut pandang mengenai satu masalah tertentu, kemudian mengujinya dari
berbagai pemikir dan pakar hingga sampai pada kebenaran yang paling baik untuk
dipraktikkan.4

Kalangan Turki Utsmani muda dan orang-orang Turki banyak menggunakan istilah
musyawarah untuk mendukung sistem pemerintahan konstitusional dan perwakilan.
Kemudian, istilah ini banyak muncul dalam tulisan-tulisan Namik Kamal yang secara keliru
dianggap sebagai seseorang yang memperkenalkan istilah musyawarah dengan memadankan
bahasa Turki untuk pemerintahan perwakilan. Namun sebenarnya, istilah musyawarah ini
bukanlah barang baru, baik dalam sejarah Turki Utsmani maupun sejarah Islam secara umum.
Ide tentang musyawarah ini merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan seorang
penguasa dan sudah ada sejak masa awal Islam. Pada praktiknya, musyawarah dan tukar
pendapat telah dikenal pada masa Arab pra-Islam dan dapat ditemukan dalam rujukan-
rujukan bahasa Arab kepada pertemuan-peretmuan yang disebut dengan majlis.5

Di negara asing (Eropa) juga sudah menerapkan sistem semacam syura yang dinamakan
demokrasi. Namun demikian berbeda dengan syura, demokrasi tidak terikat dengan syariat-
syariat Islam, tidak berada dibawah naungannya dan tidak terikat dengan batas batasnya. 6

Sedangkan pada dewasa ini, pengertian musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik
modern, yaitu sistem republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, formatur, dan
konsep lainnya yang memiliki kaitan dengan pemerintahan. Pengertian musyawarah memiliki
kaitan dengan hubungan antara yang memerintah (pemerintah) dan yang diperintah (rakyat),
antara elite dan masa, atau antara ahli dan orang awam. Merujuk pada Al-Qur’an maka
pengertian syura berkaitan dengan hubungan horisontal di antara orang-orang yang memiliki
derajat yang sama.7

Diambil dari kata kerja syawara-yusyawir-u atau syura, kata musyawarah berasal dari kata
syawara yasyuru yang terdapat dalam al-Qur’an dengan merujuk pada ayat 150 surat Al-
Imran. Surat ini berisi tentang anjuran untuk bermusyawarah (membicarakan sesuatu) pada
urusan yang penting bersama orang lain. Anjuran tersebut juga dapat ditemukan pada surat
al-Syura ayat ke 38 dengan istilah syura. Apabila melihat pada konteks istilah, maka kata

4
Ibid., h. 53-54.
5
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 194.
6
Taufiq Muhammad Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 21.
7
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 440.
musyawarah mengandung konotasi “berasal dari suatu pihak tertentu” dengan rangkaian
kalimatnya yang mengisyaratkan makna “bermusyawarah di antara mereka” atau “di antara
mereka perlu ada (lembaga) syura”. Dari istilah syura di sini di alih bahasakan kedalam
bahasa Indonesia yaitu “musyawarah”8. Musyawarah dalam istilah politik adalah hak
partisipasi rakyat dalam masalah – masalah hukum dan pembuatan keputusan politik, jika hak
partisipasi rakyat ini tidak ada dalam masalah – masalah hukum, maka sistem hukum itu
diharamkan dalam agama Islam sebab bertentengan dengan akidah dan syariat9. Dalam ajaran
agama Islam tindakan sewenang- wenang seorang pemimpin terhadap rakyatnya termasuk
tindakan kejahatan yang amat berat. Oleh sebab itu rakyat adalah satu – atunya sumber
perundang – undangan dan mengikuti keinginan mereka adalah suatu hal yang wajib dan
musyawarah adalah jalan atau cara yang bisa digunakan oleh seorang pemimpin dalam
rangka membuat aturan bersama rakyat. Ibnu Taimiyah berkata “Pemimpin tidak boleh
meninggalkan musyawarah sebab Allah SWT memerintahkan Nabi - Nya dengan hal itu”. 10

Konsep syura sering kali disalahpahami oleh literatur Barat. Arti syura
dipahami sebagai “konsultasi”. Syura merupakan proses legislatif dimana badan eksekutif
harus menerima keputusan badan legislatif. Ini adalah ketentuan Ilahi, sebab Allah
memrintahkan Rasulullah Saw untuk tidak membuat keputusan kecuali melalui syura. Al-
Qur‟an menggambarkan kaum muslim sebagai mereka yang mengambil keputusan melalui
proses syura. Oleh sebab itu, syura merupakan proses integral dalam berfungsinya negara
Islam, karena ia satu-satunya cara kolektif yang benar yang dengannya umat atau para
wakilnya bisa membuat dan mengesahkan undang-undang atau keputusan yang sesuai dengan
kepentingan nasional. Dengan demikian, syuramerupakan tulang punggung sistem politik
Islam. Syura didefinisikan sebagai proses yang melaluinya keputusan mengenai urusan
publik negara dibuat. Keputusan seperti itu mengikut pada badan eksekutif, karena syura
adalah ketentuan Ilahi11.

8
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta:
Paramadina, 1996), h.443
9
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: AMZAH, 2005), h. 38.
10
Ibid, h. 38
11
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: Gramedia, 1994) hlm 183-184

Anda mungkin juga menyukai