11171120000058
fifo.andjani17@mhs.uinjkt.ac.id
Abstrak: Larut dalam euforia politik menjadi rutinitas bagi sebagian masyarakat kita, acapkali
mereka kurang peduli dengan esensi kepemimpinan. Seolah-olah hanya mudah banyak omong
tapi minim ilmu. Buku yang memaparkan konsep kepemimpinan dalam Islam, sebagai sebuah
wacana politik yang bersih dari kepentingan politik mana pun. Jadi kepemimpinan dalam Islam
merupakan bentuk aktivitas politik, yang bertujuan untuk menegakkan aturan Allah di muka
bumi. Oleh karena itu, pemimpin yang dipilih semata-mata hanya bertugas untuk menegakkan
syariat dan menerapkan hukum Allah, sehingga negara dan rakyat meraih kedamaian, penguasa
dan rakyat memperoleh hak-hak secara adil, serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kondisi yang tenteram dan makmur. Seorang muslim harus melakukan hubungan baik dengan
para Ulil Amri, baik dari kalangan pemimpin, para hakim penanggung jawab peradilan,
ataupun tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting, dan kepala-kepala penanggung jawab
pemerintah. Tidak boleh merasa kaku serta menganggap, bila dekat dengan penguasa akan
menodai kehormatan diri dalam beragama. Bukan pula berarti menjadi penjilat dan kacung
bagi para penguasa , bahkan syariat memerintah kita untuk menjalin hubungan erat dengan
para Ulil Amri atau penguasa. Sesungguhnya, salah satu yang menjadi penyebab keberhasilan
shahwah kebangkitan Islam) dan dakwah kepada Allah, yaitu apabila dakwah memiliki
dukungan dari penguasa dalam suatu negara. Karena dakwah dan kekuasaan merupakan dua
pilar perbaikan terhadap umat.
Pendahuluan
Buku ini merupakan karya seorang ulama besar asal Mekkah, Prof Dr. Abdullah bin
Umar Ad-Dumaiji. Buku ini ditulis oleh penulis sebagai tesis untuk meraih gelar magister di
Universitas Umal Qura dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude (mumtaz).
Latar belakang ditulisnya kitab ini adalah keprihatinan penulis akan adanya upaya-
upaya jahat berupa pencitra buruk dan pencemaran terhadap konsep imamah dan khilafah yang
telah ada sejak masa awal Islam. Ad-Dumaiji menyatakan bahwa bukunya bertujuan untuk
membersihkan konsep imamah dari segala macam debu dan kotoran yang menempel sehingga
konsep imamah menjadi jelas dan tetap aktual bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran.
Buku ini juga mempunyai keunggulan, di antaranya:
1. Kelengkapan dalil dan argumentasi menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah
2. Kesadaran akan situasi kontemporer dan aktualisasi konsep imamah
3. Metode penulisannya yang adil dan teruji secara ilmiah
Kitab ini juga dilengkapi dengan catatan kaki agar memudahkan pembacanya merujuk
referensi aslinya tanpa harus mengorbankan kenyamanan pembaca yang ingin mengambil inti
sarinya.
Di samping memberikan wawasan ilmiah yang luas tentang konsep imamah, buku ini juga
menambah keyakinan dan kemantapan dalam memperjuangkan tegaknya tatanan (sistem)
Islam dalam kehidupan. Salah satu butir kesimpulannya, Syekh Ad-Dumaiji mengatakan,
“Tidak ada kemuliaan dan ketinggian derajat bagi umat Islam, kecuali dengan kembali
berhukum pada Kitabullah dan SUnnah Rasul-Nya, serta berjuang menegakkan Khilafah
Islamiyah yang akan menjaga agama Islam dan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan
umat Islam.” (halaman 516-517).
Isi
Bab I
Pasal 1: Konsep Imamah
Imamah menurut etimologi adalah bentuk masdar dari kata kerja (amma). Ibnu Manzur
menjelaskan “Al-Imam adalah tiap orang yang diikuti oleh suatu kaum, baik mereka
berada di jalan yang lurus maupun yang sesat.”
Terkait terminologi, ulama mendefiniskan (al-imamah) dengan sejumlah definisi.
Meskipun berbeda dari segi kata-kara, namun secara makna hampir sama. Berikut
Kewajiban turunan:
1. Memenuhi hak-hak finansial baitul mall dan mengalokasikannya untuk
golongan-golongan yang berhak secara syar’i
2. Memilih orang-orang yang berkompeten untuk memegang jabatan-jabatan
pemimpin
3. Mengawasi langsung penataan segala urusan dan mengecek kondisi rakyat
4. Bersikap lembut dan tulus terhadap rakyat, dan tidak mencari-cari kesalahan
mereka
5. Menjadi teladan baik bagi rakyat
B. Hak-hak imam
1. Hak ditaati
2. Dibela dan dihargai
3. Diberi nasihat
4. Hak harta
5. Berkuasa selama ia masih layak memegang imamah
C. Musyawarah
a. Menurut terminologi musyawarah adalah meminta pendapat orang-orang yang
berpengalaman pada suatu perkara untuk mencapai pendapat yang lebih
mendekati kebenaran.
b. Ruang lingkup musyawarah
Seperti diketahui secara pasti dan disepakati para ulama musyawarah hanya
diberlakukan pada persoalan-persoalan yang tidak disebut dalam wahyu.
Mereka juga sepakat mengkhususkan firman Allah, “Dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu.” Dan ayat “Sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” Pada persoalan yang tidak
ada wahyunya. Hanya saja, mereka berbeda pendapat terkait sejauh mana
kekhususan ini.
c. Hukum musyawarah
1. Kalangan yang mewajibkan musyawarah
Seperti yang telah disampaikan di atas, sebagian besar fuqaha kontemporer
berpendapat bahwa musyawarah wajib hukumnya bagi imam
2. Kalangan yang menyunahkan musyawarah
Sebagian besar salaf dan sebagian besar kalangan khalaf mengatakan bahwa
musyawarah hukumnya sunnah
3. Pendapat yang rajih
4. Sebab-sebab perhatian kalangan kontemporer terhadap pendapat
musyawarah
Satu hal menarik dalam persoalan ini adalah sikap keras mayoritas penulis
kontemporer terkait persoalan satu ini yaitu kewajiban bermusyawarah
5. Apakah musyawarah bersifat mengharuskan, atau sebatas pemberitahuan
saja?
Sama halnya dengan permasalahan ini; sebagian berpendapat bahwa
musyawarah bersifat mengharuskan bagi imam. Imam harus tunduk pada
mayoritas musyawarah