Anda di halaman 1dari 10

Nama : Muhammad Luky Firdaus

NIM : 1183070124
Kelas : MKS / 3 / C
Mata Kuliah : Kapita Selekta Pemikiran Ekonomi Syari’ah
Dosen : Dr. Iwan Setiawan, S.Ag., M.Pd., M.E.Sy

PEMIKIRAN TOKOH EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

1. M. Dawam Rahardjo
M. Dawam Rahardjo dilahirkan di desa Tempur Sari, Solo jawa Tengah
pada tanggal 20 April 1942. Ayahnya adalah seorang ahli tafsir al- Qur'an dan
merupakan orang pertama yang menanamkan kecintaannya akan al-Qur'an kepada
Dawam Rahardjo. Sebagai orang yang berangkat dari keluarga muslim, sejak
kecil ia sudah kental dengan pendidikan agama. Dorongan dari keluarga muslim
ini pula yang mengantarkan dia tekun dan semangat di dalam mengkaji masalah-
masalah agama.
Bersama keluarganya Dawam Rahardjo tidak saja akrab dengan pranata-
pranata sosial kemasyarakatan Islam seperti pondok pesantren Jamsaren,
pesantren Krapyak atau organisasi perkotaan Muhammadiyah, tapi juga dekat
dengan ulama’ berpengaruh seperti KH. Imam Ghazali, KH. Ali Darokah, Ustadz
Abdurrahman. Walau dalam karir akademinya orang lebih mengenalnya sebagai
“jebolan sekolahan” yang pernah mengenyam pendidikan melalui program
American Field Service (AFS) atau pendidikan SMA di Boisie, Indaho Amerika
Serikat dan berhasil mendapat gelar sarjana ekonomi dari UGM ( Universitas
Gajah Mada) Yogyakarta.
Dawam Rahardjo adalah seorang ekonom muslim yang mempunyai
segudang aktifitas dan pernah menduduki jabatan penting dalam organisasi,
diantaranya pernah menjabat ketua II dewan pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim indonesia), Direktur Utama Pusat Pengembangan Agribisnis, Ketua
Dewan Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Ketua Redaksi Jurnal Ilmu
dan Kebudayaan Ulumul Qur'an dan Dosen di Lembaga Pendidikan
Pengembangan Manajemen (LPPM) Jakarta.
Gagasan Pemikiran Ekonomi Islam
Sebagai seorang muslim sekaligus ekonom, Dawam Rahardjo dalam
mengkaji persoalan etika ekonomi Islam tidak terlepas dari al-Qur'an dan Hadits.
Menurut pengamatan Dawam, ada tiga penafsiran tentang istilah 'ekonomi Islam',
yaitu:
 Pertama, ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai
atau ajaran Islam. Maka akan timbul pengertian ajaran Islam itu mempunyai
pengertian yang tersendiri mengenai apa itu ekonomi.
 Kedua, yang dimaksud ekonomi Islam adalah sistem ekonomi Islam.
Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam
suatu masyarakat atau Negara berdasar cara atau metode tertentu.
 Ketiga, Maksud dari penafsiran ini adalah sebagai perekonomian dunia
Islam,penafsiran ini muncul dari sifat pragmatis sebagaimana dilakukan oleh
Negara Islam.
Dengan demikian gagasan Dawam mengenai etika ekonomi Islam secara
lebih jelasnya merupakan suatu usaha penyelidikan atau pengkajian secara
sistematis tentang perilaku, tindakan dan sikap apa yang dianggap benar atau baik
oleh kaum muslimin dalam hal ekonomi, sesuai tuntunan baik al-Qur'an maupun
Hadist. Nilai-nilai tentang yang benar dan yang salah serta yang baik dan yang
buruk di dalam kehidupan ekonomi didasarkan kepada konsep pemuliaan terhadap
anak adam. Manusia adalah mahkota ciptaan Allah. Manusia diciptakan dalam
bentuk yang paling indah. Tetapi kesempurnaan manusia sebagai mahluk, bukan
hanya dari segi fisiknya. Kehidupan manusia mengandung dua dimensi, jasmani
dan rohani. Karena aspek rohani ini bersifat unik pada manusia, dengan rohani itu
manusia memperoleh makna dalam hidupnya.
Dawam Rahardjo menggambarkan perekonomian pada masa Namrud dan
Fir'aun, sistem ekonomi masyarakat pada waktu itu disusun secara komando,
sehubungan perkembangan kebutuhan yang meningkat dengan menimbulkan
gagasan untuk menghimpun manusia dalam jumlah yang banyak untuk
mewujudkannya, sehingga timbullah cara perbudakan yang didukung sistem
kekuasaan. Sementara etika Islam antara lain didasarkan atas prinsip kemerdekaan
yang merupakan dasar dari hak asasi manusia.
Dalam ajaran Islam, sumber rezeki itu adalah Allah. Dalam system
perbudakan dan feodal terdapat suatu kontradiksi. Dasar pemikiran kedua sistem
tersebut adalah, bahwa raja atau penguasa adalah sumber rezeki, karena jiwa
manusia dan tanah dikuasai oleh dan karena itu dianggap menjadi hak sekelompok
orang atau kelas tertentu.
2. Muhammad Syafi’I Antonio
Muhammad Syafii Antonio lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 12 Mei
1965.Nama aslinya adalah Nio Cwan Chung. Dia adalah WNI keturunan
Tionghoa. Sejak kecil mengenal dan menganut ajaran Konghucu, karena ayahnya
seorang pendeta Konghucu. Selain mengenal ajaran Konghucu, Syafii Antonio
juga mengenal ajaran Islam melalui pergaulan di lingkungan rumah dan sekolah.
Syafii Antonio sering memerhatikan cara-cara ibadah orang-orang Islam. Syafii
Antonio juga sempat memeluk Kristen Protestan dan berganti nama dari Nio
Cwan Chung menjadi Pilot Sagaran Antonio. Meskipun demikian, Syafii Antonio
tetap ingin memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Untuk mengetahui
kelebihan Islam daripada agama-agama lainnya, termasuk agama yang dia anut
saat itu, Syafii Antonio melakukan studi komparatif dengan pendekatan sejarah,
alamiah, dan nalar atau rasional.
Berdasarkan tiga pendekatan itu, hanya Islam yang menurutnya benar-
benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama lain. Islam mengajarkan
ketauhidan dan memiliki kitab suci Al Quran yang penuh mukjizat, baik ditinjau
dari bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan
berbagai aspek lainnya. Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati,
maka di saat berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, Syafii Antonia
putuskan memeluk agama Islam atas bimbingan KH Abdullah bin Nuh al-Ghazali
pada 1984. Keputusan tersebut tentu saja mendapat tantangan keras dari keluarga.
Bahkan dia sempat dikucilkan dan diusir dari rumah. Dengan kesabaran dan tetap
berprilaku santun terhadap keluarga, akhirnya membuahkan hasil dan tidak lama
kemudian ibundanya menyusul menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Kesungguhan Syafii Antonio untuk menjadi muslim kaffah dia tunjukkan
dengan mengikuti berbagai diskusi agama Islam dan mempelajari bahasa Arab di
Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, di bawah pimpinan KH Abdullah Muchtar.
Meskipun dia kuliah di ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif
Hidayatullah. Itu pun tidak lama karena dia melanjutkan sekolah ke University of
Yourdan (Yordania). Selesai studi S1 di Yordania, Ia melanjutkan program S2 di
International Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi
Islam. Dan kemudian menyelesaikan gelar doktor di bidang perbankan dan
keuangan mikro di University of Melbourne tahun 2004 lalu.
Ia sempat bergabung dengan Bank Muamalat, bank dengan sistem syariah
pertama di Indonesia. Dua tahun setelah itu, ia mendirikan Asuransi Takaful, lalu
berturut-turut reksa dana syariah. Kemudian ia mendirikan Tazkia Group yang
memiliki beberapa unit usaha dengan mengembangkan bisnis dan ekonomi
syariah yang salah satunya adalah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia.
Dedikasinya terhadap perkembangan ekonomi dan perekonomian umat Islam
inilah yang membuatnya kini dikenal sebagai salah satu dari sedikit ekonom Islam
Indonesia
Gagasan Pemikiran Ekonomi Islam
Sistem ekonomi syariah dalam kehidupan masyarakat Islam di dunia
termasuk di Indonesia memiliki masalah di bidang itu. Jadi persoalan terbesarnya
adalah terkait dengan ekonomi alias kemiskinan. Penyebab kemiskinan ini juga
disebabkan oleh beberapa faktor. Ada kemiskinan yang berakar pada pola pikir
atau istilahnya konseptual problem. Tentang mana yang lebih baik antara miskin,
sabar, kaya syukur, apa yang dimaksud dengan qonaah, takdir miskin, atau malas
tidak mau berjuang, dan lainnya. Kemudian yang kedua miskin karena masalah
teknis, antara lain lack of competence, lack of marketing, dan lack of financial
management. Dan yang ketiga, miskin karena struktural, tidak terlalu mendukung
pada small and micro. Menurutnya, Islam itu agama yang siap untuk dites secara
hukum, sejarah, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Bahkan secara business and
entrepreneurship, secara family system, dan financial system pun Islam siap
menjawabnya.
Sistem perekonomian islam yang diterapkan di lembaga keuangan dan
perbankani belum lengkap misalnya bagaimana menarik dana-dana dari Timur
Tengah dengan satu obligasi negara yang berbasis syariah. Negara Singapura,
begitu tahu, langsung melakukan modifikasi pada penerapannya ke dalam sistem
yang ada, sehingga bisa memastikan dana-dana Timur Tengah itu masuk. Bahkan
Jepang juga melakukan itu, serta salah satu negara bagian di Jerman sudah mulai
melirik hal itu, begitu juga dengan China. Saya khawatir Indonesia akan
ketinggalan dalam hal melakukan deregulasi kebijakan sektor finansial. Walaupun
pembinaan perbankan syariah dan pembinaan asuransi syariah sudah ada, tetapi
masih belum ditingkatkan.
Antonia berpendapat bahwa manajemen syari’ah itu universal, karena
manajemen itu lebih kepada soft skill, lebih kepada kebiasaan, norma, strategi.
Karena melihat hal ini, maka peluangnya terbuka luas. Terutama dari sisi SDM,
sisi operasi, dari sisi pemasaran, dan keuangan. Ini yang standar-standar saja, dan
ini semua bisa dimasukan oleh norma manajemen. Hal itu juga seperti dikatakan
dalam Al-Quran, Sunnah, rukun Islam, rukun iman dan sepanjang sejarah mereka
memiliki kebijakan itu. Bahkan dalam ritual-ritual seperti doa, sholat, puasa bisa
sangat berpengaruh ke dalam efektivitas manajemen terutama untuk
pengembangan SDM, serta untuk manajemen keuangan dapat lebih transparan.
Bila kita mengenang kejayaan islam dan mempelajari keunggulan dan
peradaban sekaligus kepedihan. Unggul karena islam memiliki semua dimensi
yang diperlukan untuk maju. Pedih karena ketika semua keunggulan mulai
digenggam, para penguasa mulai melupakan kewajiban untuk menyejahterakan
masyarakat sehingga otoritas kekuasaannya tidak lagi ditopang oleh masyarakat
dan kapasitasnya. Hal ini juga pernah diungkapkan ekonom islam Ibnu Khaldun.
Dalam pandangannya, kejayaan adalah tali temali dari kekuasaan yang disegani.
Kekuasaan yang kokoh tidak tercipta tanpa ditopang oleh ekonomi yang tangguh.
Ekonomi yang kuat tidak lahir kecuali penguasa melangsungkan pembangunan.
Dan pembangunan hanya sia-sia bila tidak disertai pemerataan dan keadilan dalam
kerangka syariah.
3. Adiwarman Karim
Nama lengkap dan gelarnya adalah Ir.H. Adiwarman Azwar Karim, S.E.,
M.B.A., M.A.E.P., lahir di Jakarta pada 29 Juni 1963. Adiwarman atau Adi (nama
panggilan) merupakan cerminan sosok pemuda yang mempunyai "hobi" belajar.
Pendidikan tingkat S1 ia tempuh di dua perguruan tinggi yang berbeda, IPB dan
UI. Gelar Insinyur dia peroleh pada tahun 1986 dari Institut Pertanian Bogor
(IPB). Pada tahun tahun 1988 Adiwarman berhasil menyelesaikan studinya di
European University, Belgia dan memperoleh gelar M.B.A. setelah itu ia
menyelesaikan studinya di UI yang sempat terbengkalai dan mendapatkan gelar
Sarjana Ekonomi pada tahun 1989. Tiga tahun berikutnya, 1992, Adiwarman juga
meraih gelar S2-nya yang kedua di Boston University, Amerika Serikat dengan
gelar M.A.E.P. Selain itu ia juga pernah terlibat sebagai Visiting Research
Associate pada Oxford Centre for Islamic Studies.
Modal akademis dan konsistensinya pada bidang ekonomi
menghantarkannya untuk meniti berbagai karir prestisius. Pada tahun 1992
Adiwarman masuk menjadi salah satu pegawai di Bank Mu’amalat Indonesia,
setelah sebelumnya sempat bekerja di Bappenas. Karir Adi di BMI terbilang
cemerlang, karir awalnya sebagai staf Litbang. Enam tahun kemudian ia dipercaya
untuk memimpin BMI cabang Jawa Barat. Jabatan terakhirnya di pionir bank
syariah tersebut adalah Wakil Presiden Direktur. Jabatan tersebut dipegang sampai
dengan tahun 2000, ketika ia memutuskan untuk keluar dari BMI.
Menurutnya, memutuskan keluar dari BMI bukan perkara gampang.
Sebab, bekerja di bank syari’ah sudah menjadi keinginannya sejak masih menjadi
mahasiswa. Karena itu ia baru berani memutuskan untuk keluar dari BMI setelah
melakukan shalat istikharah selama 6 bulan. Keluarnya Adiwarman dari BMI
disebabkan ia memiliki agenda yang lebih besar yang ingin dicapai, yaitu
memperjuangkan dibukanya divisi syari’ah di bank-bank konvensional. Hasil dari
upaya Adiwarman tersebut dapat dilihat sekarang ini, dengan dibukanya divisi-
divisi, unit dan gerai syari’ah di beberapa bank konvensional, meskipun itu bukan
satu-satunya faktor penyebabnya.
Setelah melepas jabatannya di BMI, pada tahun 2001 dengan modal Rp.
40 juta Adiwarman kemudian mendirikan perusahaan konsultan yang diberi nama
Karim Business Consulting. Semula, banyak pihak termasuk yang bergabung di
perusahaannya awalnya memandang pesimis prospek perusahaan yang
dipimpinnya. Hal ini bisa dimaklumi, sebab ketika itu bank syari’ah di Indonesia
hanyalah BMI. Tetapi, seiring perkembangan ekonomi Islam dan perbankan
syari’ah di Indonesia, saat ini perusahaan yang dipimpinnya telah menjadi rujukan
pertama dari berbagai masalah ekonomi dalam perbankan Islam atau Syari’ah.
Kontribusi Adiwarman dalam pengembangan perbankan dan ekonomi
syari’ah di Indonesia bukan saja sebagai praktisi, tetapi juga sebagai intelektual
dan akademisi. Ia menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi ternama
seperti UI, IPB, Unair, IAIN Syarif Hidayatullah dan sejumlah perguruan tinggi
swasta untuk mengajar perbankan dan ekonomi syariah. Di beberapa perguruan
tinggi tersebut ia juga mendirikan Shari’ah Economics Forum (SEF), suatu model
jaringan ekonomi Islam yang bergerak di bidang keilmuan. Lembaga tersebut
menyelenggarakan pendidikan non kulikuler yang diselenggarakan selama dua
semester dan dipersiapkan sebagai sarana "islamisasi" ekonomi melalui jalur
kampus.
Pada 1999, Adiwarman bersama kurang lebih empat puluh lima tokoh dan
cendikiawan Muslim Indonesia bersepakat mendirikan lembaga IIIT-I (The
International Institute of Islamic Thought-Indonesia). IIIT, sebagai induk
organisasinya yang berkedudukan di Amerika Serikat adalah lembaga kajian
pemikiran Islam yang berupaya mengeksplorasi Islamisasi ilmu pengetahuan
sebagai respon Islam atas perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Upaya itu
semula digagas oleh beberapa cendikiawan Muslim di Amerika Serikat pada tahun
1981. Di Indonesia, upaya serupa telah dilakukan lewat pengembangan dan
eksplorasi ilmu ekonomi Islam. Meruahnya respon atas upaya ini terbukti salah
satunya dengan semakin banyaknya institusi-institusi perbankan yang mengadopsi
sistem syari’ah.
Sama seperti induk organisasinya, IIIT-Indonesia berkembang sebagai
sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di wilayah pemikiran dan kebudayaan.
IIIT-Indonesia bersifat independen, tidak berafiliasi dengan gerakan lokal mana
pun. Misi yang diembannya adalah mengembangkan pemikiran Islam berikut
metodologinya dalam kerangka meningkatkan kontribusi umat Islam dalam
membangun peradaban bersama yang lebih baik. Bersama dengan IIIT-I inilah
Adiwarman menebarkan gagasanya tentang ekonomi Islam.
Kepakaran Adiwarman di bidang ekonomi Islam semakin diakui dengan
ditunjuknya ia sebagai anggota Dewan Syari’ah Nasional dan terlibat dalam
mempersiapkan lahirnya Undang-Undang Perbankan Syari’ah. Saat ini
Adiwarman sudah dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama Abdul Barri Karim
(12 tahun), Azizah Mutia Karim (11 tahun), dan Abdul Hafidz Karim (6 tahun)
dari pernikahannya dengan Rustika Thamrin (35 tahun), seorang Sarjana
Psikologi UI, pada usia 25 tahun.
Gagasan Pemikiran Ekonomi Islam
Misi penegakkan syari’at yang diusung oleh Islam fundamentalis
mendapat reaksi dari kelompok liberal yang mengkampanyekan sekularisme.
Menurut kelompok ini, gerakan islam tidak perlu membawa isu keagamaan ke
dalam wacana public. Selain itu, dalam memanggapi persoalan public, pendekatan
agama tidak perlu dipakai dan cukup diganti dengan ilmu pengetahuan. Demikian
pula formulasi syari’at islam menjadi hukum positif tidak diperlukan, karena
dalam formalisasi itu negara harus memilih suatu mazhab tertentu yang berarti
akan menyingkirkan mazhab-mazhab yang lain. Karena itulah, pilihan yang tepat
adalah mengembalikan Islam kepada masyarakat untuk menjalankan syari’at
mereka secara otonom tanpa intervensi Negara.
Menurutnya, perbedaan pendapat dalam menyikapi isu-isu actual seputar
ekonomi dan perbankan syari’h atau Islam di Indonesia. Di bidang ini, kelompok
fundamentalis berusaha memperjuagngkan berlakunya syari’at Islam dalam sistem
ekonomi Islam, khususnya perbankan Islam. Sama halnya dengan memperjuagkan
syari’at Islam di bidang politik dan hukum. Bedanya, jika perjuangan melalui
jalur politik dilakukan dengan cara-cara radikal, sementara perjuangan
menegakkan ekonomi Islam cenderung memilih cara-cara gradual dan demokratis.
Di Indonesia, fundamentalis yang memperjuangkan tegaknya ekonomi
Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok lagi, yaitu kelompok professional
dan kelompok intelektual. Kelompok fundamentalis professional berorientasi pada
praktek. Mereka merasa tidak perlu menunggu perkembangan teori Islam menjadi
mapan, serta mencukupkan diri dengan “piranti” teori yang sudah ada, yaitu fiqh
mu’amalah setelah dikonseptulaisasi. Golongan professional inilah yang berada di
balik pendirian BMI dan bank-bank Islam lainnya.
Berbeda dengan fundamentalis intelektual yang berorientasi pada teori.
Mereka berupaya menyediakan bangunan teori-teori ekonomi yang kokoh terlebih
dahulu sebagai dasar pijakan bagi terlaksananya ekonomi islam secara baik dan
benar serta dapat diterima secara luas oleh masyarakat (ilmiah). Sekalipun
demikian, dalam upaya membangun teori tersebut kelompok fundamentalis
intelektual ini juga tidak sepaham. Kelompok ini memandang adanya perbedaan
antara ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Akibatnya adalah keduanya tidak
akan bisa bertemu. Istilah ekonomi Islam adalah istilah yang kurang tepat sebab
ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam tersebut.
Karena itu mazhab ini mengganti istilah ilmu ekonomi Islam dengan iqtisad yang
mengandung arti selaras, setara dan seimbang (in between). Kemudian menyusun
dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari al-Quran dan
Sunnah.
Adiwarman tidak lepas dari metode sejarah dan fiqh dalam membangun
keilmuan ekonomi Islam yang berupaya menjelaskan fenomena ekonomi
kontemporer dengan merujuk pada sejarah Islam klasik, terutama pada masa
Rasulullah. Khususnya sejarah pemikiran ekonomi, dapat dibedakan menjadi dua
macam; yaitu sejarah yang memaparkan evolusi pemikiran di mana suatu
pemikiran dapat bersumber dari satu atau beberapa tokoh, dan sejarah yang
menceritakan riwayat hidup tokoh-tokoh besar di bidang ekonomi. Berdasarkan
pembedaan ini, Adiwarman cenderung untuk menggunakan pendekatan sejarah
pemikiran ekonomi maupun sejarah perekonomian. Suatu ketika dengan
gamblang ia menceritakan praktek perekonomian yang berlaku pada masa
Rasulullah dan sahabat ataupun era tertentu di kalangan umat Islam, tetapi pada
saat yang lain ia mengkaji beberapa tokoh ekonomi dan pemikir Islam. Dengan
basis sejarah ini, nampaknya Adiwarman berupaya menemukan landasan akar
sejarah yang kuat bagi bangunan teori ekonomi.
Selain pendekatan sejarah, Adiwarman juga menggunakan pendekatan
fiqh. Dalam pandangannya, fiqh tidak hanya berbicara pada aspek ‘ubudiyah
semata. Fiqh berbicara aspek sosial masyarakat yang lebih luas, terutama ketika
dibingkai dalam wadah fiqhul waqi’iy (fiqh realitas). Dalam format yang
demikian, fiqh lebih merupaka suatu respon atas problematika kontemporer
sebagai suatu upaya menemukan jawaban dan solusi yang tepat bagi suatu
masyarakat tertentu dalam konteks tertentu pula. Karena itu Adiwarman selalu
berpegang pada adagium “li kulli maqam, maqal. Wa likulli maqal, maqam”.
(Setiap kondisi butuh ungkapan yang tepat. Dan setiap ungkapan, butuh waktu
yang tepat pula).
Pendekatan fiqh yang digunakan Adiwarman tidak berdiri sendiri. Untuk
dapat merespon fenomena ekonomik, prinsip-prinsip fiqh yang diformulasikan
ulama masa lalu ditarik pada perspektif ekonomi. Sederhananya Adiwarman
menggunakan istilah-istilah dan prinsip-prinsip fiqh dalam membahas masalah-
masalah ekonomi. Sebagai contoh ia menjelaskan fenomena distorsi permintaan
dan penawaran (false demand dan false supply) berdasarkan prinsip al-bai’ an-
najsy, ia juga menganalisis monopolic behaviour berdasarkan teori tadlis dalam
fiqh dan masih banyak lagi.
Meskipun begitu, Adiwarman menghindari melakukan islamisasi ekonomi
dengan cara mengambil ekonomi Barat lalu dicari ayat al-Quran dan haditsnya.
Menurutnya hal itu tidak dapat dibenarkan, karena itu memaksakan al-Qur’an dan
hadits cocok dengan pikiran manusia. Ekonomi Islam bukan ekonomi
konvensional lalu ditempeli al-Quran dan hadits. Itulah sebabnya metode yang
ditempuh oleh Adiwaman adalah dengan melakukan “interpretasi bebas” terhadap
teks-teks al-Qur’an, as-sunnah dan fiqh dalam perspektif ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai