Anda di halaman 1dari 19

KEPERAWATAN GERONTIK

Masalah kulit dan fungsi thermoregulasi


pada lansia

DI SUSUN OLEH :

MUKHLISHAH

HIRWAN JANUARDI

IDA BAGUS PUTRA W


HARYENI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MATARAM


TAHUN AJARAN 2018/2019
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Esa, Kami panjatkan puja dan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah keperawatan gerontik mengenai


perubahan sistem integumen dan fungsi thermoregulasi pada lansia ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Mataram, 28 Agustus 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Negara indonesia merupakan negara dengan persentase penduduk lansia


terbanyak yaitu sebesar 55.52 % (world population prospect, 2010). Usia
harapan hidup (UHH) merupakan salah satu indikator keberhasilan
pembangunan nasional termasuk dibidang kesehatan. Keberhasilan
pembangunan dibidang kesehaatan ini juga terlihat di Indonesia dimana
terdapat peningkatan UHH dari 70.7 tahun pada periode 2010-2015 menjadi
71,7 pada periode 2015-2020 (Kemenkes, 2014) pertambahan jumlah
penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 15.814.511 jiwa atau
7,2 % dan diperkirakan akan terus bertambah menjadi 28.822.879 jiwa atau
11.34 % pada tahun 2020. Dari data diatas menunjukkan akan terjadi
peningkatan jumlah lansia dalam 15 tahun kedepan. Berdasarkan hasil survey
dari Susenas (2013) menyatakan bahwa lansia yang ditinggal didaerah
perkotaan sebanyak 9,26 juta orang atau 7.49 %. Lansia yang tidak tinggal
dirumah sendiri dapat tinggal dengan saudara, anak dan bahkan tidak biasanya
tinggal di pinggir jalan dan terlantar. Berdasarkan situasi tersebut, maka di
daerah perkotaan muncul suatu tempat penampungan bagi lansia yang tidak
memiliki tempat tinggal, yang disebut dengan sasana werdha. (dikutip dari
Karya Ilmiah Akhir Ners Universitas Indonesia Zuriati Rahmi, S.Kep asuhan
keperawatan pada lansia yang mengalami gangguan integritas kulit pada kaki
melalui perawatan kaki (foot care) 2016).
Meningkatnya jumlah lansia di Indonesia tentu saja akan meningkatkan
permasalahan kesehatan terkait lansia. Penyakit pada lanjut usia (lansia)
bebeda dengan deewasa muda, hal ini disebabkan karena penyakit pada lansia
merupakan gabungan antara penyakit dengan proses menua yaitu
menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringanuntuk memperbaiki diri
serta mempertahankan fungsi dan struktur normalnya. Sehingga tidak dapat
bertahan terhadap penyakit (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakn
yang didierita (Stanley, 2006). (dikutip dari Karya Ilmiah Akhir Ners
Universitas Indonesia Zuriati Rahmi, S.Kep asuhan keperawatan pada lansia
yang mengalami gangguan integritas kulit pada kaki melalui perawatan kaki
(foot care) 2016).

Berdasarkan data kemenkes pada tahun 2011, masalah yang umum terjadi
pada lansia adalah hipertensi (4.02 %), Diabetes Melitus (2.1 %), asam urat,
dyspepsia (2.52 % ), penyakit jantung iskemik (2.84 %) dan penyakit kulit
(2.33 %). Individu yang telah lanjut usia juga dapat terlihat dari kulit yang
mulai keriput, rambut yang mulai memutih, berkurangnya fungsi pendengaran
dan pengelihatan, melambatnya proses berpikir, dan aktivitas untuk bergerak
yang mulai melambat, yang berarti akan membutuhkan bantuan orang lain
untuk melakukan barbagai aktivitas (Wallace, 2008). Diantara perubahan yang
terjadi pada lansia, perubahan kulit merupakan salah satu perubahan nyata
yang dapat dilihat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja masalah kulit pada lansia ?
2. Bagaimaana fungsi thermoregulasi pada lansia ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep dasar perubahan sistem integumen pada lansia

Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas
tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis
tangan dan kaki. Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih
menonjol. Poliferasi abnormal pada terjadinya sisa melanosit, lentigo, senil,
bintik pigmentasi pada area tubuh yangterpajan sinar mata hari, biasanya
permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah.

Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan
jaringan elastik, mengakibatkan penampiln yang lebih keriput. Tekstur kulit
lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas
kelenjar eksokri dan kelenar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan
penyambung, disertai penurunan cairan tubuh total, menimbulkan penurunan
turgor kulit.Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan
penambahan massa lemak 2% per dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5%
per dekade.

 Perubahan antara lain, pada :


1. Stratum Koneum

Stratum korneun merupakan lapisan terluar dari epidermis yang terdiri dari
timbunan korneosit. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada
stratum koneum akibat proses menua:
a. Kohesi sel dan waktu regenerasi sel menjadi lebih lama. Implikasi dari
hal ini adalah apabila terjadi luka maka waktu yang diperlukan untuk
sembuh lebih lama.
b. Pelembab pada stratum korneum berkurang. Implikasi dari hal ini
adalah penampilan kulit lebih kasar dan kering.

2. Epidermis

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada epidermis akibat


proses menua:

a. Jumlah sel basal menjadi lebih sedikit , perlambatan dalam proses


perbaikan sel, dan penurunan jumlah kedalaman rete ridge. Implikasi
dari hal ini adalah pengurangan kontak antara epidermis dan dermis
sehingga mudah terjadi pemisahan antarlapisan kulit, menyebabkan
kerusakan dan merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi.
b. Terjadi penurunan jumlah melanosit. Implikasi dari hal ini adalah
perlindungan terhadap sinar ultraviolet berkurang dan terjadinya
pigmentasi yang tidal merata pada kulit.
c. Penurunan jumlah sel langerhans sehingga menyebabkan penurunan
konpetensi imun. Implikasi dari hal ini adalah respon terhadap
pemeriksaan kulit terhadap alergen berkurang.
d. Kerusakan struktur nukleus keratinosit. Implikasi dari hal ini adalah
perubahan kecepatan poliferasi sel yang menyebabkan pertumbuhan
yang abnormal seperti keratosis seboroik dan lesi kulit papilomatosa.
3. Dermis

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada dermis akibat


proses menua:

a. Volume dermal mengalami penurunan yang menyebabkan penipisan


dermal dan jumlah sel berkurang. Implikasi dari hal ini adalah lansia
rentan terhadap penurunan termoregulasi, penutupan dan
penyembuhan luka lambat, penurunan respon inflamasi, dan
penurunan absorbsi kulit terhadap zat-zat topikal.
b. Penghancuran serabut elastis dan jaringan kolagen oleh enzim-enzim.
Implikasi dari hal ini adalah perubahan dalam penglihatan karena
adanya kantung dan pengeriputan disekitar mata, turgor kulit
menghilang.
c. Vaskularisasi menurun dengan sedikit pembuluh darah kecil. Implikasi
dari hal ini adalah kulit tampak lebih pucat dan kurang mampu
malakukan termoregulasi.

4. Subkutis

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada subkutis akibat


proses menua:

a. Lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan. Implikasi dari hal ini


adalah penampilan kulit yang kendur/ menggantung di atas tulang
rangka.
b. Distribusi kembali dan penurunan lemak tubuh. Implikasi dari hal ini
adalah gangguan fungsi perlindungan dari kulit.
5. Bagian tambahan pada kulit

Bagian tambaha pada kulit meliputi rambut, kuku, korpus pacini,


korpus meissner, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea. Berikut ini
merupakan perubahan yang terjadi pada rambut, kuku, korpus pacini,
korpus meissner, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea akibat proses
menua:

a. Berkurangnya folikel rambut. Implikasi dari hal ini adalah Rambut


bertambah uban dengan penipisan rambut pada kepala. Pada wanita,
mengalami peningkatan rambut pada wajah. Pada pria, rambut dalam
hidung dan telinga semakin jelas, lebih banyak dan kaku.
b. Pertumbuhan kuku melambat. Implikasi dari hal ini adalah kuku
menjadi lunak, rapuh, kurang berkilsu, dan cepet mengalami
kerusakan.
c. Korpus pacini (sensasi tekan) dan korpus meissner (sensasi sentuhan)
menurun. Implikasi dari hal ini adalah beresiko untuk terbakar, mudah
mengalami nekrosis karenan rasa terhadap tekanan berkurang.
d. Kelenjar keringat sedikit. Implikasi dari hal ini adalah penurunan
respon dalam keringat, perubahan termoregulasi, kulit kering.
e. Penurunan kelenjar apokrin. Implikasi dari hal ini adalah bau badan
lansia berkurang.

B. Faktor yang mempengaruhi perubahan kulit pada lansia

Perubahan kulit yang terjadi pada lansia dapat disebabkan dari faktor
instrinsik dan faktor ekstrinsik.

a. Faktor instrinsik yang menyebabkan terjadinya perubahan kulit pada


lansia karena adanya proses penuaan dan perubahan biologis yang
terprogram, sedangkan faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi
perubahan kulit pada lansia adalah lingkungan seperti terpapar
matahari dan polusi, gaya hidup dan kebersihan diri (Farage et al,
2010 dalam Voegeli, 2012).
b. Faktor instrinsik pada lansia dapat disebabkan karena adanya
perubahan pada fungsi dan struktur sistem integumen. Hal ini terjadi
karena adanya penurunan melanin pada lapisan epidermis, sehingga
terjadi penurunan respons perlindungan kulit terhadap sinar matahari.
Oleh karena itu, lansia berisiko tinggi untuk mengalami kerusakan
kulit akibat terpajan sinar matahari yang berlebihan.
Sementara faktor ekstrinsik dapat bersumber dari lingkungan dan
kebersihan diri. Ketika kulit menjadi kering seiring dengan
penuaan,kelembaban yang rendah merupakan faktor predisposisi bagi
lansia mengalami pruritus yang diakibatkan oleh kulit yang kering.

C. Masalah kulit pada lansia


Perubahan pada sistem integumen lansia meningkatkan kerentanan
lansia mengalami masalah kulit. Masalah kulit pada kaki yang umum terjadi
pada lansia diantaranya xerosis, pruritus, infeksi jamur (Voegeli, 2012). Tinea
pedis merupakan infeksi jamur yang disebabkan oleh T.rubrum. penyakit ini
biansanya terjadi antara jari-jari kaki, dan biasanya pasien akan mengeluh
ruam gatal dan kulit menjadi bersisik. Penyakit ini bisa dicegah dengan
menjaga kebersihan kaki mempertahankan agar kaus kaki tetap kering dan
menggunakan alas kaki pada saat di kamar mandi (Thomas, 2014).
a. Xerosis atau yang dikenal dengan kulit kering adalah kondisi kulit
yang mengering dari biasanya. Xerosis ditandai dengan rasa gatal,
kering pecah-pecah, dan terdapat beberapa kulit yang retak atau
terkelupas (Norman, 2008). Xerosis pada lansia merupakan hasil
penurunan lemak permukaan kulit selama periode waktu. Seiring
pertambahan usia, lapisan luar kulit menjadi rapuh dan kering akibat
berkurangnya jumlah pelembab alami kulit. Sumber utama hidrasi
bagi kulit adalah pelembab yang dihasilkan dari difusi vaskular
dibawah jaringan . xerosis pada lansia lebih sering terjadi dibagian
bawah kaki (Smith & Hsieh, 2000).
b. Pruritas adalah masalah umum yang sering terjadi pada lansia. Pruritus
dapat diartikan sebagai sensasi rasa yang tidak nyaman pada area kulit
yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk (Norman, 2008).
Pruritaus ditandai peradangan pada area kulit yang gatal yang dapat
diakibatkan oleh garukan. Kejadian pruritus meningkat seiring dengan
penambahan usia dan dapat menjadi masalah kulit yang tidak normal.
Pruritus dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan pada kasus berat
dapat mengganggu tidur, menimbulkan kecemasan dan depresi.
Kecemasan dan stress dapat memperparah rasa gatal yang muncul.
Sensasi gatal sangat erat kaitannya dengan sensasi sentuhan dan nyeri.
Pruritus dirangsang oleh pelepasan neurostimulators seperti histamin
dari sel mast dan peptida lainnya yang menyampaikan implus ke pusat
otak sehingga menimbulkan rangsangan untuk menggaruk.
Penuaan yang terjadi pada kulit meningkatkan kejadian pruritus karena
efek kumulatif dari lingkungan yang merubah stuktur kulit seiring
dengan penambahan usia. Faktok yang menyebabkan meningkatnya
kejadian pruritus yaitu berkurangnya hidrasi kulit, menurunnya
kolagen kulit, kerusakan sistem imun, rusaknya fungsi kulit sebagai
sistem pertahanan dari patogen. Pada lansia, pruritus sering
dihubungkan dengan kulit kering yang merupakan hasil penurunan
permukaan lemak pada kulit, keringat, sebum dan perfusi kulit
(Cohen, Frank, Salbu & Israel, 2012).
D. Sistem Termoregulasi pada Lanjut Usia

Manusia mengalami berbagai perubahan fisik dan psikologis melalui


pertumbuhan dan maturitas. Perubahan termoregulasi banyak terjadi pada
lanjut usia yang berhubungan dengan perubahan normal akibat penuaan.
Perubahan ini tidak terjadi pada kecepatan yang sama atau pada waktu yang
sama untuk semua orang. Perubahan dan permasalahan yang dihasilkan
merupakan faktor dari adanya kemunduran fungsi sistem tubuh dan berbagai
faktor risiko. Perawat memainkan peran penting dalam mempromosikan
kesehatan termoregulasi dan kenyamanan untuk lanjut usia.

1. Perubahan yang Terjadi pada Termoregulasi Lanjut Usia


Termoregulasi merupakan proses kompleks meliputi berbagai sistem
tubuh. Fungsi utama dari termoregulasi adalah untuk mempertahankan suhu
inti tubuh stabil dalam berbagai suhu lingkungan. Termoregulasi juga
membantu dalam mempertahankan homeostasis ketika terjadi infeksi. Suhu
tubuh inti dalam keadaan normal dipertahankan pada 97 derajat F (36,1
derajat Celcius) ke 99 derajat F (37,2 Derajat Celcius) melalui kompleks
mekanisme fisiologis yang mengatur produksi panas dan disipasi.
Termoregulasi pada lanjut usia dipengaruhi oleh perubahan yang berkaitan
dengan usia dan faktor risiko yang mengganggu. Dengan meningkatnya usia,
perubahan-perubahan terjadi pada sistem termoregulasi.
Melalui termoregulasi, respon adaptif terhadap suhu lingkungan dapat
diubah oleh banyak pengaruh internal dan eksternal. Pada suhu dingin,
normalnya tubuh akan melakukan mekanisme fisiologi untuk mencegah
kehilangan panas tubuh dan meningkatkan produksi panas.
Mekanisme fisiologi tubuh dalam menghasilkan panas dan mencegah
kehilangan panas mencakup: kontraksi otot, meningkatkan denyut
jantung, vasokontriksi peripheral, dilatasi pembuluh darah pada otot,
pelepasan tiroksin dan kortikosteroid oleh kelenjar ptuitari, menggigil,
dan penyekatan jaringan dalam oleh lemak subkutan. Berikut ini adalah
perubahan respon tubuh lanjut usia pada sistem termoregulasi (Miller, 2012):
a. Respon Terhadap Suhu Dingin
Perubahan respon tubuh lanjut usia pada suhu dingin meliputi
vasokontriksi yang tidak efisien, penurunan kardiak output, penurunan
masa otot, kurangnya sirkulasi peripheral penurunan jaringan
subkutan (menjadi kehilangan panas), serta terlambatnya dan
berkurangnya mengiggil.
b. Respon Terhadap Suhu Panas
Mekanisme normal saat lingkungan panas adalah memproduksi
keringat yang memfasilitas evaporasi dan dilatasi pembuluh darah
peripheral yang memfasilitasi radiasi panas. Namun, produksi keringan
pada lanjut usia adalah setengah dari produksinya saat usia 20 tahun
sehingga terjadi perubahan respon tubuh terhadap suhu panas.
c. Perubahan Respon Terhadap Penyakit
Peningkatan suhu atau demam adalah respon protektif tubuh terhadap
kondisi patologis, seperti kanker, infeksi, dehidrasi, atau penyakit
jaringan ikat. Suhu tubuh lanjut usia tidak selalu meningkat atau
demam saat dalam kondisi yang patologis, suhu tubuh dapat terlihat
normal atau bisa rendah karena terjadi perubahan terhadap
pusat termoregulasi di hipotalamus yang berkorelasi dengan
bertambahnya usia.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fungsi Termoregulasi pada Lanjut Usia

Lanjut usia mengalami kemunduran fungsi termoregulasi yang dipengaruhi


oleh berbagai faktor sebagai berikut:
a. Usia
Perubahan fungsi ginjal untuk menyimpan air yang terjadi pada lanjut
usia mengakibatkan respon menurunkan sensasi haus yang berkontribusi
terhadap tidak adekuatnya cairan dan kehilangan termoregulasi.
b. Lingkungan
Suhu lingkungan bisa meningkatkan kerentanan lansia khususnya usia
lebih dari 75 tahun untuk mengalami hipotermi atau hipertermi. Faktor
lain yang meningkatkan risiko perubahan termoregulasi adalah kondisi
lingkunga. Sebagai contoh, panas yang berhubungan dengan penyakit
bisa menjadi presipitasi dengan adanya aktivitas moderat di cuaca yang
panas dan lembab, khususnya jika intake cairan tidak adekuat. Jika hanya
mengandalkan sensasi haus mereka untuk memberi signal terhadap
kebutuhan intake cairan, mereka bisa dimungkinkan untuk dehidrasi
karena usia berhubungan dengan sensasi haus.
c. Psikososial
Lansia yang mengalami isolasi sosial dan demenisa dapat meningkatkan
risiko gangguan termoregulasi karena mereka kehilangan kemampuan
kognitif sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengatur suhu
tubuhnya dan menggunakan pakaian yang sesuai.
d. Perubahan Persepsi
Lansia mengalami penurunan persepsi yang merubah persepsi dingin atau
panas lansia dan mengurangi stimulus untuk melakukan aksi protektif,
misal menambahkan pakaian atau menaikkan suhu lingkungan.

3. Gangguan Patologis pada Termoregulasi Lansia


Gangguan patologis yang sering diderita oleh lanjut usia adalah hipertermi
dan hipotermi.
 Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian hipertermi dan hipotermi adalah
usia di atas 75 tahun, infeksi atau sepsis, temperature lingkungan yang tidak
cocok, gangguan kardio dan gangguan cerebravaskular. Pada lansia, terjadi
penurunan fungsi termoregulasi yang menyebabkan mereka sering mengalami
gangguan patologis hipertermi dan hipotermi.
1) Hipertermi
Hipertermi ditandai dengan suhu diatas 103 derajat F atau 39.4 Derajat
Celcius yang dihasilkan dari paparan lingkungan dan latihan. Risiko
hipertermi meningkat dengan adanya perubahan pisiologi yang
meningkatkan produksi panas internal misal hipertiriodisme,
Keotasisosis diabetic) atau menganggu kemampuan dalam berespon
untuk tekanna panas (misal penyakit kardiovaskuler, dan
ketidakseimbangan cairan).
2) Hipotermi
Hipotermi ditandai dengan suhu inti tubuh 95 derajat F atau 35 derajat
celcius atau dibawahya akibat metabolisme yang menurun (Efendi, 2009).
Risiko meningkat jika ada kondisi dimana produksi panas menurun
(misal saat inaktifitas, malnutrisi, gangguan endokrin dan kondisi
neuromuscular) serta peningkatan kehilangan panas (misal erbakar
dan vasodilatasi) atau dampak dari proses termoregulasi normal tubuh
(kondisi patologi pada pusat sistem saraf). Selain itu, risiko hipotermi
juga meningkat jika mengalami gangguan misal gangguan
kardiovaskuler, infeksi, trauma, gangguan endokrin dan kegagalan ginjal
kronik.
4. Pengkajian Termoregulasi pada Lansia
Pengkajian dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi
kesehatan klien yang akan digunakan dalam menegakan diagnose
keperawatan. Terdapat beberapa prinsip yang diperlukan perawat
dalam pengkajian temperature (Miller, 2012).
1) Mendokumentasikan suhu tubuh biasanya pada klien yang
berlangsung harian atau musiman.
2) Menganggap bahwa peningkatan kecil dari suhu biasanya pada klien
sebagai klue yang mewakili adanya proses patologi.
3) Dengan hati-hati mengikuti standar prosedur untuk mengukur suhu
secara akurat. Gunakan thermometer terdaftar di bawah 95 F atau 35
C.
4) Pertimbangkan dampak dari pengobatan terhadap perubahan
suhu untuk mengevaluasi temperature (misal obat yang menutupi
demam).
5) Jangan menganggap bahwa infeksi selalu diberangi dengan demam.
6) Kehadiran infeksi, penurunan fungsi atau perubahan status
mental dapat diawali dan indikator akurat dari penyakit daripada
perubahan suhu.
7) Jangan menganggap bahwa lansia akan memiliki perilaku kompensasi
atau komplen dari adanya ketidaknyamanan ketika terekspos dengan
lingkungan yang tidak cocok.

 Pengkajian termoregulasi yang dilakukan pada lanjut usia:


1. Anamnesa
a. Pernahkah kamu mengalami gangguan kesehatan yang terjadi pada
musim panas atau musim dingin?
b. Apakah kamu bisa menjaga kamar atau ruangan mu pada temperatur
yang nyaman pada musim panas atau salju?
c. Apa yang kamu lakukaan untuk mengatasi temperatur panas di musim
kemarau?
d. Apakah kamu pernah mengalami kesulitan dalam membayar
keperluanmu?
e. Apa bentuk proteksi yang dilakukan dalam menangani temperatur
dingin pada musim salju (misal dengan selimut atau menggunakan
pemanas)?
f. Pernahkah kamu menerima perawatan kesehatan untuk paparan panas
atau dingin?

 Pengkajian Fisik
a. Pengkajian Suhu Dasar Tubuh
Lansia normal memiliki suhu rendah tubuh atau bahkan mungkin
menyebabkan pelemahan respon demam terhadap infeksi. Hal tersebut
menyebabkan, pentingnya untuk menemukan suhu dasar lansia. Karena
tipe thermometer sekarang beda-beda (oral, rektal, timpani dan bladder),
maka penting untuk mendokumentasikan metode yang digunakan saat
melakukan pengkajian suhu. Perawat perlu untuk mendorong lansia dalam
home setting untuk mengetahui suhu merkea biasanya dengan mengukur
suhu mereka pada waktu yang berbeda perharinya selama beberapa hari
saat mereka merasa mereka dalam keadaan baik.
 Pengkajian Faktor Risiko Perubahan Termoregulasi
Lansia dengan usia > 75 tahun memiliki resiko perubahan termoregulasi
(dapat memiliki 1 atau lebih factor risiko).
 Pengkajian Hipotermia
a. Hipotermia dapat terdeteksi dengan pengukuran suhu tubuh dengan
hasil dibawah 35 Catau 95 F.
b. Gejala awal hipotermia tidak terlihat dan aesssemen dilakukan secara
objektif.
c. Kulit akan merasa sangat dingin.

 Pengkajian Hipertermia
Manifestasi dari panas yang berhubungan dengan penyakit memiliki range
dari sakit kepala sedang hingga ancaman saluran napas dan gangguan
kardiovaskuler.
 Pengkajian Demam Lansia sebagai Respon terhadap Penyakit
a. Demam pada lansia terjadi saat ada kenaikan sebesar 2 F atau 1 C dari
baseline.
b. Bertambahnya usia tidak diikuti dengan bertambahnya fungsi tubuh
melainkan dengan penurunan atau perubahan fungsi tubuh.
c. Lanjut usia mengalami perubahan fungsi system termoregulasi yang
mengakibatkan lansia rentan mengalami hipertermi dan hipotermi.
d. Perawat harus melakukan pengkajian yang teliti dan teratur pada lanjut
usia karena sedikit perubahan suhu pada lanjut usia mungkin
merupakan tanda terjadinya gangguan patologis
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya dapat
kita ambil sebuah kesimpulan bahwa perubahan-perubahan sistem integumen
pada lansiaseperti peradangan kulit epidermis dan dermis sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis pada kulit.

Kemudian asuhan keperawatan dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi


kebutuhan dasar klien dan mengembalikan kondisi klien seoptimal mungkin
dengan cara memberikan beberapa tindakan dan perawatan secara
professional
Daftar Pustaka

1. Rahmi Z. 2016. Asuhan keperawatan pada lansia yang mengalami gangguan


integritas kulit pada kaki melalui perawatan kaki (foot care). Universitas
indonesia. Jakarta.
2. P. Pratiwi Suhartin. 2010. Teori penuaan, perubahan pada sistem tubuh dan
implikasinya pada lansia. Program studi ilmu keperawatan fakultas
kedokteran. Universitan Diponegoro. Semarang.
3. Moorhed, (et al). 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC) 5th Edition.
Missouri: Mosby Elsevier
4. Gloria M. Bulechek, (et al).2013. Nursing Interventions Classifications (NIC)
6th Edition. Missouri: Mosby Elsevier

Anda mungkin juga menyukai