Anda di halaman 1dari 1

“Integritas dan kejujuran itu nomor wahid”

Pengalaman menjadi guru (pendidik) itu seru, menarik, dan menggoreskan warna tersendiri.
Tapi ada beberapa hal yang kadang tak kusukai. Terutama yang berkaitan dengan administrasi
dan perangkat belajar yang tak bisa disesuaikan dengan situasi sekolah. Setiap sekolah punya
keunikannya masing-masing, punya paternnya masing-masing yang secara de facto sejatinya
tak bisa diseragamkan. Terkecuali sekolah-sekolah negeri yang dari segala-galanya
dipersiapkan oleh negara. Meski begitu tetap saja tak bisa disamakan seratus persen, karena
Indonesia itu luas dengan beragam daerah dan budaya, satu daerah dengan daerah lain tentulah
berbeda.
Suatu siang yang yang panas, aku ditugaskan untuk menjaga ruang ujian. Waktu itu tes
pendalaman materi atau lebih sering disebut try out. Tak seperti guru yang lain yang antusias
duduk diam di depan, tugas sebagai pengawas ujian adalah bagian menyebalkan buatku,
membosankan, dan bikin ngantuk. Meski begitu sudah sepantasnya guru harus bisa menikmati
proses.
Pada awal mulai mengerjakan soal semua tekun, konsentrasi sangat baik dan kondusif, hingga
sampai pada 30 menit menjelang akhir waktu pengujian. Kelas mulai gaduh, beberapa anak
mulai memukul-mukulkan pena di meja, ada yang tiduran, ada yang lirik-lirik kerjaan
temannya. Telingaku mulai terganggu ketika ada kebangetan. Ada yang berani mengobrol dan
sengaja bertanya pada temannya. Yang lain butuh konsentrasi mengerjakan soal malah bocah
satu itu bikin ulah, pikirku. Tanpa pikir panjang saat ia menengok ke belakang, berniat tanya
ke temannya atau entah apa yang dilakukan. Lembar kerjanya aku ambil, sengaja meremasnya
dan kusobek di depannya “Berisik, minta lembar kerja lagi di ruang guru. Ulangi kerjaanmu”
Aku marah. Melotot. Kali ini kelas kembali sunyi. Muka anak itu memerah, kaget.
Terang saja aku juga manusia, dalam hati ada rasa tidak tega melakukan hal semacam itu.
Menyobek kertas kerja di depan teman-temannya. Pasti anak itu malu dan marah harus
mengulang kerjaannya. Tindakanku ini bisa memicu banyak efek secara psikis. Namun semesta
selalu bekerja sesuai porsinya, setiap tindakan selalu terhubung dengan konsekuensi. Dalam
psikologi dikenal istilah acute stress reaction (acute stress disorder). Seorang anak bisa
tumbuh dengan sikap minder dan selalu merasa takut untuk mencoba hal-hal baru karena efek
kejadian menyakitkan, yang parah adalah minder sekaligus acuh. Hingga kini biasa kita
temukan jargon di berbagai media; tindakan kasar bisa membunuh karakter jadi berpikirlah
dua kali sebelum bertindak. Aku sadari hal itu, maka dalam situasinya tidak mungkin bereaksi
demikian pada anak yang belum terlalu mengenalku secara personal, karena faktanya bukan
satu anak itu saja yang bikin ulah, dan bikin gaduh.
Bimbingan tentang memaknai integritas dan kejujuran pun perlu strategi. Tidak serta merta
seseorang boleh menawarkan sesuatu yang tidak populer di dunia remaja, apalagi dengan cara
otoriter. Dengan cara yang tidak bisa diterima setiap orang meskipun sudah ada peraturan
tertulis dalam ujian. Harus tahu dimana celah untuk masuk dan mengajarkan kebiasaan baru
tentang kebijaksanaan. Meski anak itu merasa jadi korban, tapi percayalah semua pendidik
pasti sangat peduli dengan masa depan anak-anak yang dibinanya, dibimbingnya. Itu bentuk
kasih sayang. Welas asih. Jadi kita semua sesungguhnya sedang belajar. Siapapun kita,
dimanapun kita, apapun posisi kita. Seorang siswa harus belajar untuk bertanggungjawab pada
dirinya dan seorang pendidik harus belajar untuk piwulang lan wewarah – mengajar dan
membimbing. (andreas frengki).

Anda mungkin juga menyukai