Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Republik Indonesia dalam konstitusinya pada Pasal 18B Undang-
Undang Dasar 1945 secara tegas mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya semasih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rumusan pasal tersebut menunjukan bahwa Indonesia mengakui secara
konstitusional hak tradisional dari masyarakat hukum adat. Pengakuan dari hak
tersebut termasuk pula mengakui tata cara setiap kesatuan masyarakat
menyelesaikan perkara yang ada dalam lingkup adatnya masing masing. Salah
satunya adalah mengakui keberadaan peradilan desa. Peradilan desa (Dorpjustitie)
berwenang mengadili perkara-perkara kecil yang merupakan urusan adat atau
urusan desa, seperti perselisihan tanah, pengairan, perkawinan, mas kawin,
perceraian, kedudukan adat dan lain-lain yang timbul dalam masyarakat hukum adat
bersangkutan. Para hakim desa tidak boleh menjatuhkan hukuman sebagaimana
diatur dalam KUHP dan apabila para pihak yang berselisih tidak puas dengan
keputusan hakim desa adat, ia dapat mengajukan perkaranya kepada hakim
gubernemen (hakim Negara).1
Berbagai wacana yang berkembang mengenai penguatan peradilan desa ini
bermuara pada dua konsep besar mengenai bagaimana seharusnya kedudukan
peradilan desa dalam hubungannya dengan sistem peradilan nasional yang telah
mapan. Pilihan pertama adalah mengintegrasikan peradilan desa secara
kelembagaan untuk masuk menjadi bagian dari sistem peradilan nasional. Usulan
ini dikemukakan untuk memberikan kekuatan mengikat yang lebih kokoh bagi
1
Nurul Firmansyah, Menakar Peradilan Desa Adat Dalam UU Desa,
https://huma.or.id/home/uncategorized/menakar-peradilan-desa-adat-dalam-uu-desa.html diakses pada 20
November 2019

1
putusan-putusan yang dibuat peradilan desa. Pilihan yang kedua adalah penguatan
substansial terhadap peradilan desa tanpa diperlukan integrasi kelembagaan
sebagaimana pilihan pertama. Sasaran yang ingin dicapai adalah dekonsentrasi
beban perkara yang menumpuk di pengadilan negara, sehingga yang diperlukan
adalah ketersediaan beragam pilihan bagi penyelesaian perkara di masyarakat.
Penyelesaian perkara pada tatanan adat tidak memisahkan antara perkara yang
bersifat privat maupun publik. Salah satu perkara yang sangat dekat
penyelesaiannya dengan peradilan desa yakni perkara perkawinan dan perceraian.
Salah satu fase terpenting dalam hidup manusia dalam bermasyarakat adalah
perkawinan. Dikatakan penting karena perkawinan dapat mengubah status hukum
seseorang. Semula dikatakan belum dewasa dan dengan dilangsungkannya sebuah
perkawinan maka dapat dikatakan sudah dewasa atau yang semula dianggap anak
muda dengan perkawinan menjadi suami istri dengan berbagai konsensus yuridis
dan sosiologis yang menyertainya.
Mengenai perkawinan dalam masyrakat adat di Bali tidak hanya merupakan
perbuatan hukum yang bersifat duniawi (sekala) saja, melainkan juga berkaitan
dengan kehidupan dunia gaib (niskala) sehingga sangat disakralkan.2 Masyarakat
Bali adalah masyarakat yang sangat religius, dimana ukuran standar yang digunakan
adalah keluarga ideal menurut ajaran agama dan kepercayaan yang dianut yakni
kebahagiaan lahir dan bathin. Perkawinan menurut hukum adat Bali, dirumuskan
sebagai sebuah ikatan suci antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan
untuk membentuk keluarga yang utama, yang keturunan purusa.3
Bagi masyarakat hukum adat Bali yang beragama Hindu, perkawinan
dipandang sebagai suatu kewajiban, karena perkawinan mempunyai arti dan

2
I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, dan Komang Gede Narendra, 2011, Perkawinan Menurut
Hukum Adat Bali, Udayana University Press Kerjasama Bali Shanti Unit Pelayanan Konsultasi Adat/Budaya,
Bali LPPM Universitas Udayana, Denpasar, h.3.
3
Putu Dyatmikawati, 2011, Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di
Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, DIH, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol.7 No.14, Universitas Dwijendra, Denpasar, h.108.

2
kedudukan yang sangat penting dan khusus dalam kehidupan. Perkawinan dapat
putus baik karena kematian salah satu pihak atau karena perceraian. Akibat
perceraian terhadap status suami atau istri dalam keluarga, pada umumnya pihak
yang berstatus pradana akan kembali ke rumah orang tuanya. Dalam perkawinan
biasa, wanita yang kembali ke rumah orang tuanya karena perceraian akan
berstatus mulih deha di rumah orang tuanya. Pengaturan mengenai perkawinan
termasuk didalamnya perceraian diatur dalam hukum tertulis yakni pada Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perceraian dalam hukum positif
diselesaikan di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Dalam konteks
perceraian pada pasangan yang beragama hindu maka dilaksanakan di Pengadilan
Negeri. Namun sebelum terbentuk suatu lembaga yang diberi kewenangan untuk
menyelesaikan perkara perceraian sesuai dengan hukum negara, terdapat pula
penyelesaian perkara perceraian dalam tatanan masyarakat hukum adat. Dalam
praktiknya pun hukum adat memang mendapat tempat dalam penyelenggaraan
peradilan.4 Setidaknya hal ini tercermin dalam beberapa yurisprudensi yang
dihasilkan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya.5
Jika dikaitkan dengan penyelesain perkara perceraian dalam hukum adat
bali, maka dalam masyarakat adat bali dalam tatanan tradisional idealnya dapat
diselesaikan terlebih dahulu melalui proses peradilan desa . Namun seiring
perkembangannya, penyelesaian perkara melalui peradilan desa dianggap bergeser
menjadi penyelesaian perkara berdasar pada hukum positif yang dianggap lebih
memberikan kepastian hukum.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana perkembangan peradilan desa sebagai lembaga peradilan dalam
masyarakat hukum adat di Bali ?
4
Sulastriyono dan Sandra Dini F. Aristya, 2012, Penerapan Norma dan Asas-Asas Hukum Adat dalam
Praktik Peradilan Perdata, Mimbar Hukum, Vol.24 No.1, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, h.26.
5
Ibid

3
1.2.2 Bagaimana eksistensi peradilan desa dalam penyelesaian perkara perceraian
di Bali ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana perkembangan peradilan desa sebagai
lembaga peradilan dalam masyarakat hukum di Bali.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana eksistensi peradilan desa dalam penyelesaian
perkara perceraian di Bali.

1.4 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan sebagai satu kesatuan
yang utuh, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
historis (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)6.
Terkait dengan penelitian ini pendekatan perundang-undangan digunakan untuk
mencari ratio Legis dasar ontologis Peraturan perundang-undangan terkait dengan
penyelesaian suatu permasalahan yang terjadi. Pendekatan konseptual digunakan
karena dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui konsep terkait penyelesaian
perkara di luar pengadilan baik itu dalam lapangan hukum perdata, pidana, adat ,
dll. Sesuai dengan tipe penelitian, pendekatan konseptual (conceptual approach)
diberikan bobot lebih besar dibandingkan pendekatan lain. Peter Mahmud Marzuki
mengatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam penulisan diatas antara lain
“Statute Approach adalah Pendekatan Perundang-undangan yang dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani. Conseptual Approach pendekatan konseptual
beranjak dari pandanganpandangan para ahli”. Dengan demikian perlu mencari
Ratio Legis dan dasar ontologi lahirnya undang-undang, sehingga peneliti mampu
memahami kandungan filosofis yang ada di belakang undang-undang, dan
menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofi antara undang-undang

6
Marzuki M., 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.93

4
dengan isu yang dihadapi.7 Dengan pendekatan konseptual (Conseptual Approach),
peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang
diahadapi.8
Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif dilakukan melalui studi kepustakaan yang berkaitan
dengan permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini. Langkah-langkah
yang dilakukan yakni mengumpulkan, membaca dan mempelajari literature-literatur
yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat serta mengutip beberapa
pendapat maupun pernyataan yang mendukung untuk menjawab permasalahan
tersebut dan kemudian disusun secara sistematis sebagai landasan hukum untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif
dan teknik sistematisasi. Teknik deskriptif adalah teknik yang menguraikan apa
adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non
hukum. Teknik sistematisasi adalah teknik untuk mencari kaitan rumusan suatu
konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang
sederajat maupun antara peraturan perundang-undangan yang tidak sederajat

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Peradilan desa Sebagai Lembaga Peradilan Dalam Masyarakat


Hukum Adat Di Bali

7
Ibid, h.94
8
Ibid, h.96

5
Melacak eksistensi peradilan desa di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah
berlakunya sistem peradilan di Indonesia, mulai sejak zaman pra kemerdekaan sampai
sekarang, dimana Indonesia telah menganut sistem peradilan yang modern. Sebelum
Indonesia merdeka, kolonialisasi Belanda terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara telah
mengubah sistem peradilan di nusantara mengikut kepada undang-undang formal yang
dibawa Belanda, serta adapun peradilan yang lahir secara murni yang dijalankan oleh
hakim desa dan tidak terpengaruh oleh peraturan kolonialisasi Belanda. 9 Peradilan desa
merupakan suatu lembaga peradilan perdamaian antara para warga masyarakat hukum
adat di lingkungan masyarakat hukum adat yang ada.10
Peradilan desa merupakan terminologi normatif yang disebutkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, terutama dalam peraturan perundang-undangan yang
lahirnya setelah reformasi. Namun terminologi legal formal tersebut dikenal dengan
istilah yang berbeda oleh masyarakat. Beberapa masyarakat kesatuan hukum adat
menyebut lembaga peradilan desa dengan istilah yang beragam, misalnya “sidang adat”,
“para-para adat”, “pokara adat”, atau “rapat adat”, serta berbagai istilah menurut
kekhasan bahasa lokal setempat. Dan ini secara perlahan kemudian mendorong lahirnya
kembali peradilan desa yang eksistensinya diakui secara yuridis dalam sistem peradilan
di Indonesia.11 Selanjutnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, dalam beberapa
pasalnya mulai mengakui secara tersirat mengenai keberadaan peradilan desa di
Indonesia tetapi tidak menyatakan dengan tegas. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 10
yang berbunyi : ayat (1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ayat (2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata
secara perdamaian. Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ini
9
Fathor Rahman, 2018, Eksistensi Peradilan Desa Dalam Peraturan Perundangan-Undangan Di
Indonesia, Jurnal Hukum Samudra Keadilan ,Vol.13 No. 2, Malang, h.324
10
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberti, Yogyakarta, h.3
11
Fathor Rahman, loc.cit

6
sebelumnya termuat dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) dan ketentuan Pasal 16 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa (semua
peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan
ditetapkan dengan Undang-Undang) tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara
dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase”. Sementara bunyi
Pasal 16 ayat (2) “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) (Peradilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya) tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan
perkara secara perdamaian”. Maka apabila ditinjau dari persepektif yuridis, eksisitensi
peradilan adat, pasca digulirkannya era eformasi nampak semakin jelas dan terang
disebut dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Selain Peradilan desa yang secara kontekstual diakui dalam Konstitusi Negara
Indonesia, maka untuk melacak berlakunya kembali peradilan desa dalam sistem
peradilan di Indonesia, dapat dilihat di beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 103 mengatur tentang
kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul yang meliputi: Menegaskan
Kewenangan berdasarkan hak asal usul adalah hak yang merupakan warisan yang
masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa. Kewenangan tersebut
meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. Pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d. Penyelesaian perkara adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat
dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan
mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;

7
e. Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa Adat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
f. Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan
hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
g. Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa Adat.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terutama dalam poin e, secara tekstual jelas


disebutkan soal “peradilan adat” yang hal ini dapat diapahami, bahwa menggunakan
frase peradilan desa dapat disetarakan dengan peradilan desa yang dilaksanakan oleh
hakim desa telah dihidupkan kembali, untuk menyelesaikan perkara adat berdasarkan
hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak
asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah. Selanjutnya
dalam Pasal 26 ayat (4) huruf k, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
tersebut, disebutkan dan mempertegas kedudukan Kepala Desa, yang berkewajiban
menyelesaikan perselisihan di masarakat Desa. Walaupun tidak dijelaskan secara rigit
soal bentuk perselisihan apa yang wajib diseleaikan oleh Kepala Desa, namun secara
kontekstual dapat dimaknai bahwa Kepala Desa memiliki tugas dan wewenang untuk
menciptakan masyarakat yang aman dan tentram diantara warga desanya, dengan
menyelesaikan berbagai macam konflik atau perkara yang timbul dalam masyarakat.
Kedudukan kepala desa harus dapat dimaknai tidak hanya sebagai perangkat desa yang
berperan secara administratif tapi juga praktis yang memiliki peran dalam penyelesain
konflik , karena pada dasarnya dalam peradilan desa tidak menempatkan secara
limitatif dan kaku seperti pengaturan dalam lembaga peradilan negara yang
mengedepankan kepastian hukum.
Dalam peradilan desa , tercapainya perdamaian yang dirasakan oleh masyarakat
hukum adat merupakan tujuan utama dalam setiap penyelesaian perkara baik bersifat
privat maupun publik. Dalam masyarakat Desa, penyelesaian perkara biasanya

8
dilakukan di hadapan Kepala Desa atau Kepala Rakyat yang sering disebut hakim
perdamaian desa. Kepala Desa sebagai hakim perdamaian, merupakan tugas dari
prajuru desa pakraman dalam menyelesaikan dan mendamaikan perkara-perkara yang
terjadi di masyarakat melalui musyawarah dengan perangkat desa dan memberikan
saran-saran sebagai norma hukum yang berlaku dalam masyarakat desanya demi
tercapainya kewibawaan, ketertiban dan keamanan desa, sehingga tidak setiap masalah
selalu di limpahkan ke pengadilan Negara karena adanya suatu perkara cukup hanya
diselesaikan pada hakim perdamaian desa. Pada hakikatnya, dibeberapa wilayah di
Indonesia, seperti di Bali, Aceh, Madura, dan lain sebagainya, nyatanya ada pranata
sosial yang menyerupai peradilan masih tetap berjalan selama ini, yang dengan lahirnya
Undang-Undang Desa dapat dilembagakan sebagai peradilan desa yang menjadi bagian
dari kelembagaan tradisional desa adat yang dalam definisi hukum disebut dengan
“susunan asli” masyarakat hukum adat. Kelembagaan peradilan desa merupakan
pengadilan yang hidup dalam praktek sehari-hari di desa adat (masyarakat hukum adat).
Hal ini sesuai dengan Pasal 103 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa yang menyebutkan bahwa pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan oleh desa
adat berdasarkan susunan asli. Susunan asli adalah sistem organisasi kehidupan desa
adat yang dikenal di wilayah-wilayah masing-masing.
Dengan merujuk rumusan Pasal 103 huruf a dan dikaitkan dengan Pasal 103
huruf d dan e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka kelembagaan
pengadilan desa adat adalah peradilan desa yang dikenal oleh masyarakat hukum adat,
baik yang berfungsi memutus, maupun yang berfungsi mendamaikan perkara adat
berdasarkan hukum adat. Artinya, pengadilan-pengadilan yang dikenal oleh masyarakat
hukum adat itulah yang kemudian diakui menjadi pengadilan desa adat dalam rumusan
UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.12 Selain beberapa peraturan

12
Sovia Hasanah, 2017, Kedudukan Hukum Peradilan Desa Adat,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59487a43f02f2/kedudukan-hukum-peradilan-desa-
adat, diakses pada 24 November 2019

9
perundang-undangan yang disebutkan diatas, pengaturan peradilan desa juga terdapat
dalam beberapa peraturan lainnya seperti yang tertuang secara gamblang dalam
Ketentuan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua tersebut
menunjukkan fakta dan bukti nyata bahwa peradilan desa di Papua hingga sekarang
masih ada dan masih hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di Papua.
Pengakuan terhadap hukum yang hidup (living law) khususnya peradilan adat,
sebagaimana ditegaskan Pasal 50 Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua, bahwa disamping badan peradilan umum, pemerintah mengakui adanya
peradilan desa di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Sehingga berdasar hal
tersebut, kedudukan peradilan desa sejauh Indonesia masih mengakui hak hak
tradisional warga negaranya yang tentu tidak terlepas dari hukum adat yang lahir dan
hidup dimasing-masing wilayah, maka peradilan desa masih tetap diakui
keberadaannya untuk menyelesaikan perkara yang berada dalam lingkup adat seperti
perkara perceraian yang diusahakan untuk mediasi oleh prajuru desa, maupun perkara
lainnya yang memerlukan tahapan mediasi sebelum berlajut pada penyelesaian melalui
peradilan negara.

2.2 Eksistensi Peradilan desa Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian Di Bali


Sesungguhnya perkawinan menurut agama Hindu adalah ingin mewujudkan suatu
kelanggengan sebagai suami istri dan perkawinan itu sendiri merupakan dharma karena
merupakan suatu lembaga untuk menjalankan segala bentuk yadnya. Oleh karena itu
perceraian dalam agama Hindu sangat dihindarkan, perceraian merupakan dosa karena
telah melanggar sumpah/janji perkawinan (samskara). Tetapi ada juga alasan-alasan
agar perceraian itu dapat dilakukan baik itu alsan-alasan yang terdapat dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ) maupun menurut agama Hindu dalam Kitab Hukum

10
Manawadarmasastra serta hukum adat yang berlaku dimasing masing masyarakat
hukum adat.13
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila
dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman)
dan sesuai upacara agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini
berarti suatu perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila
dilaksanakan menurut hukum dan agama Hindu, sedangkan perceraian baru dapat
dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga dalam hal ini, pada
perkara perceraian terdapat 2 tahap yang fundamental yang harus dilalui pada idealnya ,
yakni tahapan penyelesaian perkara perceraian dalam ranah adat melalui peradilan desa
, kemudian dilanjutkan dengan pengajuan gugatan perceraian di Pengadilan Negeri
sehingga dalam prosesnya status perceraian mendapat kepastian hukum. Dua tahapan
tersebut pada prakteknya menimbulkan kebingungan dikalangan pihak yang berperkara
sehingga berdasarkan hal tersebut muncul Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali
tahun 2010 Tentang Perceraian. Kemunculan keputusan Pesamuhan Agung ini
merupakan representasi dari adanya pengakuan terhadap penyelesaian perkara dalam
tatanan masyarakat adat melalui peradilan desa dengan mengupayakan perdamaian
terlebih dahulu. Hal ini pula yang tidak berbeda dengan Pengadilan Negeri yang tetap
mengusulkan mediasi pada tahap awal persidangan. Perceraian masyarakat Hindu di
Bali sebelum adanya keputusan MUDP Bali III tahun 2010 ialah perceraian masyarakat
Hindu di Bali di langsungkan di desa adat dengan mekanisme peradilan desa tanpa ke

13
Kadek Hemamalini dan Untung Suhardi, 2015, Dinamika Perkawinan Adat Bali Status Dan
Kedudukan Anak Sentana Rajeg Menurut Hukum Adat dan Hukum Hindu, Dharmasmrt Vol. XIII No. 26,
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara, Jakarta, h.42-43

11
pengadilan negeri untuk yang menikah secara adat dan agama dan tidak punya akta
perkawinan, perceraian biasanya dilangsungkan dengan sederhana. Menurut awig-awig
desa tertentu, perceraian diumumkan dalam rapat banjar tiga atau enam bulan setelah
istri pulang ke rumah keluarga asal. Hukum adat Bali sendiri sudah mengatur
perceraian masyarakat Hindu di Bali dengan dikeluarkannya keputusan Majelis Utama
Desa Pakraman Bali III tahun 2010 yang mengharuskan perceraian masyarakat Hindu
Bali dilakukan di Desa Adat dengan mekanisme peradilan desa dan secara agama
sebelum dibawa ke pengadilan. 14 Sehingga kedudukan peradilan desa dalam hal ini
telah diakui dengan eksplisit dan berada pada tatanan peradilan yang harus dilalui
sebelum perkara perceraian dilanjutkan ke peradilan negara. Kedudukan Keputusan
MUDP meskipun merupakan suatu himbauan dan tidak memilki kekuatan hokum yang
mengikat dalam tatanan masyarakat hokum adat , namun membantu jalannya undang-
undang karena dalam isi keputusan MUDP sendiri berisikan tentang mekanisme cerai di
desa adat dan harus dilanjutkan di pengadilan sehingga masyarakat yang bercerai bisa
memperoleh putusan yang sah secara hukum nasional.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peradilan desa merupakan suatu lembaga peradilan perdamaian antara para
warga masyarakat hukum adat di lingkungan masyarakat hukum adat yang ada. Dalam
peradilan desa, tercapainya perdamaian yang dirasakan oleh masyarakat hukum adat
merupakan tujuan utama dalam setiap penyelesaian perkara baik bersifat privat
maupun publik. Dalam masyarakat Desa, penyelesaian perkara biasanya dilakukan di

14
Vita Karvyana, 2018, Efektivitas Keputusan MUDP Bali No. III Tahun 2010 Mengenai Perceraian
(Studi Kasus Di Desa Busungbiu, Buleleng), E-Journal Komunitas Yustitia Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Ilmu Hukum, Vol. 1 No.1, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, h.4

12
hadapan Kepala Desa atau Kepala Rakyat yang sering disebut hakim perdamaian desa.
kedudukan peradilan desa sejauh Indonesia masih mengakui hak hak tradisional warga
negaranya yang tentu tidak terlepas dari hukum adat yang lahir dan hidup dimasing-
masing wilayah, maka peradilan desa masih tetap diakui keberadaannya untuk
menyelesaikan perkara yang berada dalam lingkup adat seperti perkara perceraian yang
diusahakan untuk mediasi oleh prajuru desa, maupun perkara lainnya yang
memerlukan tahapan mediasi sebelum berlajut pada penyelesaian melalui peradilan
negara.
Pada perkara perceraian terdapat 2 tahap yang fundamental yang harus dilalui
pada idealnya, yakni tahapan penyelesaian perkara perceraian dalam ranah adat melalui
peradilan desa, kemudian dilanjutkan dengan pengajuan gugatan perceraian di
Pengadilan Negeri sehingga dalam prosesnya status perceraian mendapat kepastian
hukum. Hukum adat Bali sendiri sudah mengatur perceraian masyarakat Hindu di Bali
dengan dikeluarkannya keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali III tahun 2010
yang mengharuskan perceraian masyarakat Hindu Bali dilakukan di Desa Adat dengan
mekanisme peradilan desa dan secara agama sebelum dibawa ke pengadilan. Sehingga
kedudukan peradilan desa dalam hal ini telah diakui dengan eksplisit dan berada pada
tatanan peradilan yang harus dilalui sebelum perkara perceraian dilanjutkan ke
peradilan negara. Kedudukan Keputusan MUDP meskipun merupakan suatu himbauan
dan tidak memilki kekuatan hokum yang mengikat dalam tatanan masyarakat hokum
adat , namun membantu jalannya undang-undang karena dalam isi keputusan MUDP
sendiri berisikan tentang mekanisme cerai di desa adat dan harus dilanjutkan di
pengadilan sehingga masyarakat yang bercerai bisa memperoleh putusan yang sah
secara hukum nasional.

3.2 Saran
Untuk menjamin eksistensi dari peradilan desa tetap ada dalam praktiknya,
maka perlu adanya kita untuk memiliki kesadaran dimana dalam perkara-perkara yang

13
bersifat ringan dan sederhana di masyarakat yang sekiranya masih dapat dipergunakan
jalur perdamaian, alangkah baiknya diselesaikan secara adat terlebih dahulu, tidak
serta-merta dibawa ke ranah Pengadilan Negara. Sehingga perlu dibentuk sebuah
Rancangan Undang-Undang Peradilan Adat yang mempertegas eksistensi peradilan
adat dalam sistem peradilan di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Sudantra, I Ketut, I Gusti Ngurah Sudiana, dan Komang Gede Narendra, 2011, Perkawinan
Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press Kerjasama Bali Shanti Unit
Pelayanan Konsultasi Adat/Budaya, Bali LPPM Universitas Udayana, Denpasar.
M., Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum, Liberti, Yogyakarta.

B. Jurnal

Dyatmikawati, Putu, 2011, Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di

14
Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, DIH,
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7 No.14, Universitas Dwijendra, Denpasar.

Sulastriyono dan Sandra Dini F. Aristya, 2012, Penerapan Norma dan Asas-Asas Hukum Adat

Dalam Praktik Peradilan Perdata, Mimbar Hukum, Vol.24 No.1, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Rahman, Fathor, 2018, Eksistensi Peradilan Desa Dalam Peraturan Perundangan-Undangan

Di Indonesia, Jurnal Hukum Samudra Keadilan ,Vol.13 No. 2, Malang

Hemamalini, Kadek dan Untung Suhardi, 2015, Dinamika Perkawinan Adat Bali Status Dan

Kedudukan Anak Sentana Rajeg Menurut Hukum Adat dan Hukum Hindu, Dharmasmrt
Vol. XIII No. 26, Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara, Jakarta

Karvyana, Vita, 2018, Efektivitas Keputusan MUDP Bali No. III Tahun 2010 Mengenai

Perceraian (Studi Kasus Di Desa Busungbiu, Buleleng), E-Journal Komunitas Yustitia


Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Hukum, Vol. 1 No.1, Universitas Pendidikan
Ganesha, Singaraja.

C. Internet
Firmansyah, Nurul, Menakar Peradilan Desa Adat Dalam UU Desa,
https://huma.or.id/home/uncategorized/menakar-peradilan-desa-adat-dalam-uu-desa.html
diakses pada 20 November 2019.
Hasanah, Sovia, 2017, Kedudukan Hukum Peradilan Desa Adat,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59487a43f02f2/kedudukan-hukum-
peradilan-desa-adat, diakses pada 24 November 2019.
D. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8

15
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 7
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkwinan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1975 Nomor 12
Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali tahun 2010 Tentang Perceraian

16

Anda mungkin juga menyukai