Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Mukositis Oral

A. Defenisi Mukositis Oral

Mukositis Oral adalah peradangan dan ulserasi dari mukosa mulut ( Kobya-

Bulut & Guducu-Tufekci 2016). Mukositis adalah kerusakan membran mukosa

sebagai akibat sekunder dari terapi kanker, dapat terjadi pada rongga mulut, faring,

laring, esophagus, dan area lain pada saluran gastrointestinal. Hal ini seringkali terjadi

pada beberapa hari setelah pemberian obat kemoterapi, dan dapat menetap sampai

satu minggu setelahnya (Priestman, 2012). Mukositis oral merupakan inflamasi akut

pada mukosa oral akibat nekrosis dari lapisan basalis dari mukosa oral, yang ditandai

dengan adanya eritema dan atau ulserasi pada mukosa oral, dan dapat menimbulkan

nyeri hebat, membutuhkan analgesik opioid, mengganggu asupan nutrisi, dan kualitas

hidup pasien (Chiappelli, 2005; Volpato et al., 2007; Lalla et al., 2014).

B. Faktor Risiko yang Mempengaruhi terjadinya Mukositis Oral

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi dalam meningkatkan terjadinya

mukositis oral terbagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang berhubungan

dengan pasien sendiri, dan faktor risiko yang berhubungan dengan terapi. Faktor

risiko yang berhubungan dengan pasien, meliputi umur dan jenis kelamin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Barasch dan Peterson (2003) dalam Gupta

(2013), didapatkan kesimpulan bahwa usia mempengaruhi terjadinya mukositis oral,

terutama pada usia lanjut akibat ketidakefektifan perbaikan DNA, sehingga perbaikan

jaringan menjadi lebih lama. Sedangkan, menurut Sonis dan Fey (2002) dalam Gupta

(2013), populasi anak-anak juga memiliki risiko lebih tinggi karena proliferasi
jaringan epitel sel anak lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Menurut Eilers

(2014), anak-anak memiliki sel epitel yang lebih sensitif mengalami toksisitas, dan

keganasan hematologi dapat menyebabkan mielosupresi yang memicu terjadinya

mukositis oral. Secara keseluruhan berdasarkan jenis kelamin, perempuan memiliki

risiko lebih tinggi dibandingkan laki-laki, terutama bila mereka mendapatkan

kemoterapi jenis 5 Fluorouracil (FU).

Terkait dengan faktor risiko yang berhubungan dengan terapi yang diperoleh,

mukositis oral dipengaruhi oleh agen kemoterapi, dosis kemoterapi, intensitas

pengulangan terapi. Agen kemoterapi yang paling sering terkait dengan mukositis

adalah antimetabolit yang meliputi etoposide, 5 FU, dan methotrexate (Cawley &

Benson, 2015). Obat ini sangat sering diberikan pada pasien kanker darah dan

nasofaring. Anak yang mendapat terapi dengan dosis lebih besar, seperti misalnya

pada anak yang resisten terhadap pengobatan akan lebih rentan mengalami mukositis.

Kemoterapi yang dilakukan dalam waktu yang lama, seperti pada anak yang

mengalami relaps juga meningkatkan risiko terjadinya mukositis. Selain itu pasien

yang mendapat kombinasi terapi juga memiliki risiko lebih tinggi mengalami

mukositis dibandingkan dengan terapi tunggal (Eilers, 2014; Chang, Cheng & Yuen,

2018).

Tingkat keparahan mukositis berpengaruh langsung pada perencanaan terapi

yang perlu mempertimbangkan pengurangan dosis, penundaan, bahkan penghentian

kemoterapi. Kondisi ini juga dapat memperparah infeksi yang dapat mengancam

nyawa, khususnya bila pasien jatuh dalam kondisi neutropenia ( D’ Hondt et al.,

2016)

Faktor risiko lainnya yang berkontribusi menyebabkan terjadinya mukositis

oral pada pasien, antara lain adalah riwayat terkena Virus Herpes Simpleks dan
pengobatannya seperti penggunaan acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex),

pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, dan pasien yang mengalami

penurunan produksi saliva serta pH saliva. Adanya penurunan produksi dan pH saliva

tersebut juga merupakan efek samping dari kemoterapi yang diberikan (Chu &

Devita, 2015). Status gizi juga mempengaruhi terjadinya mukositis. Pada asupan

glukosa dan protein yang tinggi, serta malnutrisi kekurangan protein berkontribusi

menyebabkan mukosa mulut kering sehingga meningkatkan risiko terjadinya iritasi

dan penurunan pertumbuhan sel-sel epitel mukosa (Eilers, 2014). Hal ini juga

dipertegas dengan penelitian yang dilakukan oleh Peterson dan Carrielo (2014) yang

menyatakan bahwa anak dengan status gizi kurang atau gizi buruk lebih berisiko

mengalami mukositis, namun penelitian lain yang dilakukan oleh Robien et al.

(2014), anak dengan Body Mass Index (BMI) yang lebih tinggi, seperti gizi normal,

overweight, dan obesitas lebih berisiko

C. Patofisiologi Mukositis Oral

Mekanisme terjadinya mukositis oral akibat kemoterapi dapat terjadi secara

langsung (direct mucosatoxicity) dan tidak langsung (indirect mucosatoxicity). Direct

mucosatoxicity terjadi bila kemoterapi secara langsung menyerang sel epitel yang

mengalami pembelahan sehingga sel tersebut berhenti membelah dan menyebabkan

atropi jaringan yang berakhir pada ulserasi, sedangkan indirect mucosatoxicity terjadi

bila kemoterapi menyebabkan penekanan pada sistem imun pasien (imunosupresi)

yang dapat meningkatkan risiko infeksi di rongga mulut yang pada akhirnya

mencetuskan mukositis oral.

Beberapa studi menunjukkan bahwa patofisiologi dari mukositis oral sangatlah

kompleks, meliputi efek langsung dari agen kemoterapi pada sel epitel, bahkan dapat

mencapai submukosa dan matriks ekstrasellular, disertai dengan aktivitas dari sitokin
proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6. Berbagai faktor lain berinterferensi pada

proses ini, seperti mikroorganisme oral, status imunitas pasien, trauma lokal, dan

kondisi oral hygiene pasien. Lebih jauh lagi, terdapat suatu kemungkinan adanya

polimorfisme pada respon inflamasi, yang dapat membuat individu lebih rentan

terhadap mukositis dibandingkan dengan individu lainnya (Sonis, 2014).

Proses terjadinya mukositis oral meliputi 5 fase, fase awal adalah fase inisiasi

yang merupakan fase awal kontaknya agen kemoterapi dengan sel mukosa yang

membawa radikal bebas. Fase berikutnya merupakan proses transkripsi dari nuclear

factor kappaB (NFkB) yang mengaktivasi mediator proinflamatori seperti interleukin

(IL)-1 beta dan tumor necrosis factor (TNF-alpha). IL-1beta dapat meningkatkan

konsentrasi agen kemoterapi pada sel yang diserang dan TNF-alpha dapat

menyebabkan kerusakan jaringan. Fase ketiga adalah respon terhadap stimulasi

mediator proinflamatori, seperti adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang

menyebabkan udema pada mukosa, atropi, dan akhirnya mengalami fase ulserasi.

Fase ulserasi merupakan fase mulai timbulnya lesi. Pada fase ini akan terjadi

kolonisasi bakteri maupun organisme patogen lainnya, seperti Candida albicans pada

ulserasi yang terjadi, dan kemudian mengarah pada infeksi sekunder. Kondisi ini

diperparah dengan adanya kondisi neutropenia sehingga tidak mampu melawan

kolonisasi bakteri yang terbentuk. Bakteri akan mengeluarkan endotoksin yang akan

menstimulasi IL-1 dan TNF-alpha lebih banyak lagi. Pada fase ini, pasien akan

mengeluhkan nyeri yang hebat dan sensasi seperti terbakar pada mukosa oral. Ulserasi

juga diperberat dengan adanya mikrotrauma yang terjadi pada saat pasien membuka

mulut, makan, mengunyah, dan berbicara. Fase terakhir adalah fase penyembuhan,

yaitu adanya proliferasi sel dan reepitelisasi pada ulkus sehingga mukosa akan

kembali normal. Perbaikan jaringan juga disertai dengan peningkatan leukosit,


khususnya neutrophil untuk mengontrol pertumbuhan bakteri. Fase penyembuhan

berlangsung selama kurang lebih 12-16 hari tergantung dari kecepatan proliferasi atau

epitelisasi jaringan, perbaikan sistem hematopoetik, dan ada tidaknya faktor yang

mempengaruhi penyembuhan luka seperti proses infeksi dan iritasi mekanik (Kostler,

2001; Shih et al., 2013; Naidu et al., 2014; Sonis, 2014; Price & Wilson, 2015; Lalla

et al., 2018)

D. Manifestasi Klinis Mukositis Oral

Mukositis oral ini biasa terjadi 5-10 hari setelah inisiasi kemoterapi dan

berakhir pada hari ke-7-14, tergantung derajat keparahannya. Manifestasi klinisnya

dapat bervariasi tergantung derajat keparahannya. Seringkali tidak hanya berupa rasa

tidak nyaman, namun juga dapat sangat mengganggu bila disertai dengan

terbentuknya ulserasi mukosa. Karena pasien seringkali dalam kondisi neutropenia,

kondisi ini dapat diperparah dengan berkembangnya infeksi jamur di rongga mulut,

yang tersering adalah oral moniliasis yang tampak sebagai bercak – bercak keputihan

pada permukaan mukosa rongga mulut dan lidah (Priestman, 2012). Manifestasi klinis

yang sering muncul antara lain ulserasi berukuran 0,5-4 cm, eritema yang ditutupi

garis kuning atau fibrin berwarna putih yang disebut sebagai pseudomembran.

Gambar 2.1 Manifestasi Klinis Mukositis Oral


(Sumber: Kostler et al., 2001)
Pada mukositis oral yang dalam, pasien akan merasakan nyeri, sensasi seperti

terbakar, sulit untuk membuka mulutnya, dan kesulitan memasukkan makanan atau

minuman melalui mulut, dan sulit untuk berbicara. Lesi dapat terjadi bilateral, di

bagian ventral atau lateral dari lidah, mukosa labial, bagian dasar mulut, palatum

mole, dan area orofaringeal. Penyembuhan spontan mukositis oral (mulai dari

timbulnya eritema sampai perbaikan jaringan), tanpa pembentukan scar atau jaringan

ikat membutuhkan waktu sekitar 2-3 minggu. Beberapa pasien yang mendapatkan

radiasi atau kemoterapi, terkadang juga mengalami trombositopenia, sehingga

terkadang ditemukan perdarahan pada ulserasi mukositis oral (Dodd, 2004). Pasien

mukositis oral juga menunjukkan adanya penurunan produksi saliva sehingga lidah

menjadi kering. Hal ini menyebabkan lidah mengalami penurunan fungsi pengecapan

sehingga penderita mengeluhkan mengenai pengecapan yang dirasa berbeda, bahkan

tidak dapat mengecap rasa, serta menurunkan nafsu makan (Priestman, 2012).

Derajat keparahan dari mukositis oral tergantung pada dosis terapi, fraksi dari

dosis agen kemoterapi, volume dari jaringan yang terkena paparan agen kemoterapi,

status nutrisi, tipe dari radiasi, riwayat paparan dengan kombinasi radioterapi dan

kemoterapi, adanya penyakit sistemik sepeti diabetes melitus dan kelainan vaskuler

(Volpato et al., 2007).

E. Penatalaksanaan Mukositis Oral

Penatalaksanaan lesi dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis.

Penatalaksanaan farmakologis dapat dilakukan melalui empat tindakan, yaitu

debridemen oral, dekontaminasi oral, manajemen topikal, dan mengontrol

peradarahan. Debridemen oral dilakukan dengan melepaskan pseudomembran dari

lesi, dan perlu dilakukan secara hati-hati karena pasien mukositis oral biasanya

disertai dengan trombositopenia dan neutropenia yang berisiko terjadinya perdarahan


dan infeksi. Selanjutnya dekontaminasi oral dilakukan dengan memberikan regimen

antifungal, antibakteri, atau antiseptik, namun kandungan kimia dari agen tersebut

dapat menimbulkan mukosa oral kering dan mudah iritasi. Manajemen topikal

digunakan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien baik lokal ataupun

sistemik. Terakhir untuk mengontrol perdarahan, pasien diberikan antifibrinolitik

(Gupta, 2013; Lalla et al., 2014).

Penatalaksanaan non farmakologis dapat dilakukan dengan berbagai upaya,

antara lain perawatan mulut, pengaturan diet, dan pencegahan infeksi. Perawatan

mulut merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kesehatan dan integritas

mukosa mulut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rubenstein et al.

(2004), yaitu intervensi perawatan mulut dapat meminimalkan risiko mukositis akibat

kemoterapi karena dapat mengurangi bakteri dan jamur sehingga meminimalkan

risiko infeksi, mengurangi nyeri, dan perdarahan. Menurut Saldanha dan Almeida

(2014), perawatan mulut dengan berkumur menggunakan larutan salin 0,9% menjadi

salah satu pilihan dalam mengurangi derajat mukositis oral. Perawatan mulut yang

dianjurkan pada anak adalah berkumur-kumur minimal empat kali sehari (Tomlinson

& Kline, 2005), atau minimal melakukan perawatan mulut dua kali setelah makan dan

sebelum tidur, dan setiap dua jam sekali bila sudah mengalami mukositis (Otto, 2001).

Terkait pengaturan diet, makanan dengan konsistensi lembut menjadi pilihan

untuk pasien dengan mukositis oral. Pasien juga harus menjaga kelembaban mulutnya

dengan meningkatkan asupan cairan peroral atau menghisap es batu. Pasien dengan

mukositis oral yang berat wajib memperoleh Total Parenteral Nutrition (TPN) untuk

mencukupi kebutuhan nutrisi pasien. Pasien juga harus menghindari makanan yang

bersifat iritatif, seperti makanan asam, pedas, asin, ataupun makanan kering ( Lalla et

al., 2008; Lalla et al., 2014).


Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk mencegah dan menangani

mukositis oral, antara lain adalah penggunaan cryotherapy (terapi dingin), estrak

tanaman herbal, madu, larutan salin, dan permen karet. Cryotherapy dilakukan dengan

meletakkan es batu atau air es di mulut selama 5 menit sebelum sampai dengan 5

menit sesudah pemberian kemoterapi. Hasil dari penelitian ini diperoleh penurunan

skala atau derajat keparahan dari mukositis oral. Mekanisme kerja dari terapi es ini

adalah menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pada membran mukosa oral

sehingga menurunkan paparan mukosa oral terhadap agen mukotoksik dari agen

kemoterapi (Heydari, Sharifi, & Salek, 2012). Penggunaan terapi dingin ini

memerlukan kriteria tertentu, yaitu status gigi anak dalam kondisi sehat (tidak

memiliki riwayat gigi sensitif) karena dapat menimbulkan nyeri atau

ketidaknyamanan (Kakoei, Ghassemi, & Nakhaee, 2013).

Penelitian lain menggunakan ekstrak herbal adalah penelitian yang dilakukan

oleh Miranzadeh et al. (2014), yaitu dengan mencampurkan larutan Achiella

millefolium ke dalam larutan mouthwash dengan perbandingan 50:50. Larutan A.

millefolium ini dibuat dengan mencampurkan 10 kg A. millefolium dengan 50 liter

air, dipanaskan sampai menjadi 20 liter air dengan konsentrasi 12 ppm. Hasilnya

setelah 14 hari terjadi penurunan derajat keparahan dari mukositis oral yang dialami

pasien. Mekanisme kerja dari daun A. millefolium adalah efek antibakteri yang

menghambat adanya kolonisasi bakteri di area lesi atau ulserasi. Kelemahan dari

penelitian ini bila diaplikasikan di Indonesia adalah sulitnya menemukan daun A.

millefolium dengan spesies yang sama dengan A. millefolium di tempat penelitian

(Miranzadeh et al., 2014). Penggunaan tanaman herbal sebagai terapi memerlukan uji

klinis untuk membuktikan mengenai dosis terapeutik dan dosis lethal (toksik) dari

suatu tanaman (Al-Snafi, 2015).


Penelitian lain dilakukan oleh Nurhidayah (2011), yaitu menggunakan larutan

madu dalam melakukan perawatan mulut pasien anak kanker yang memperoleh

kemoterapi. Berdasarkan observasi yang dilakukan menggunakan instrument Oral

Assessment Guide, terdapat penurunan yang signifikan pada rerata skor mukositis

pada kelompok intervensi (p<0,005). Selain madu, terdapat beberapa agen moutwash

yang sudah diteliti keefektifannya, antara lain chlorhexidine 0,2%, benzydamine,

natrium bikarbonat, sukralfat, dan normal salin (Hashemi et al., 2015).

2. Oral Hygiene

A. Defenisi Oral Hygiene

Oral hygiene adalah tindakan untuk membersihkan dan menyegarkan mulut,

gigi dan gusi (Clark, dalam Shocker, 2008). Dan menurut Taylor, et al (dalam

Shocker, 2008), oral hygiene adalah tindakan yang ditujukan untuk menjaga

kontinuitas bibir, lidah dan mukosa mulut, mencegah infeksi dan melembabkan

membran mulut dan bibir. Sedangkan menurut Hidayat dan Uliyah (2005), oral

hygiene merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien yang

dihospitalisasi. Tindakan ini dapat dilakukan oleh pasien yang sadar secara mandiri

atau dengan bantuan perawat. Untuk pasien yang tidak mampu mempertahankan

kebersihan mulut dan gigi secara mandiri harus dipantau oleh perawat.

B. Tujuan Oral Hygiene

Tujuan utama dari kesehatan rongga mulut adalah untuk mencegah

penumpukan plak dan mencegah lengketnya bakteri yang terbentuk pada gigi.

Akumulasi plak bakteri pada gigi karena hygiene mulut yang buruk adalah faktor

penyebab dari masalah utama kesehatan rongga mulut, terutama gigi. Kebersihan

mulut yang buruk memungkinkan akumulasi bakteri penghasil asam pada permukaan

gigi. Asam demineralizes email gigi menyebabkan kerusakan gigi (gigi berlubang).
Plak gigi juga dapat menyerang dan menginfeksi gusi menyebabkan penyakit gusi dan

periodontitis.

3. Pengobatan Mukositis Oral dengan Oral Hygiene

Untuk pencegahan dan pengobatan OM, sangat penting bahwa zat yang

digunakan dalam perawatan mulut harus efektif, aman, mudah dijalankan dan tanpa

efek samping (Kobya & Guducu, 2016). Meskipun ada aremany pilihan, seperti serum

fisiologis, natrium bikarbonat, vitamin E, yodium povidon, benzydamine, glutamin,

seng, faktor pertumbuhan, Palifermin, daya rendah perawatan laser dan cryotherapy,

strategi pengobatan yang efektif belum dikembangkan (Izgu, 2017). Penyebab utama

untuk ini adalah penggunaan rejimen perawatan mulut yang terpisah dan variasi ef fi

siensi dari agen yang digunakan untuk menghilangkan gejala.

Penelitian lain dalam literatur telah menunjukkan bahwa klorheksidin dan

vitamin E yang sering digunakan dalam pengelolaan mucositis oral (Aziziet al.,

2015 ; Chaitanya et al., 2017 ; Kishore Kumar-2015 ; Nashwan 2011). Chlorhexidine

adalah antimikroba spektrum luas dan larutan antiseptik sering digunakan dalam

perawatan mulut yang efektif pada bakteri Gram-positif / negatif dan jamur (Ozveren,

2010 ). Namun, rasanya tidak menyenangkan dan mungkin membuat sensasi terbakar

di mulut, dan dengan penggunaan jangka panjang, perubahan warna gigi dan

dysgeusia dapat mengembangkan (Macedo, Morais, Dantas, & Morais, 2015 ;

Ozveren, 2010). Hasil tidak efektif dan efek samping yang merugikan didapatkan

menggunakan chlorhexidine & Guducu-Tufekci 2016 ; Macedo et al., 2015 ).

Oral Hygiene menggunakan madu terbukti efektif mengurangi stomatitis pada

pasien kanker yang menjalani kemoterapi dan radioterapi (Baliga, 2010). Anak-anak

lebih menyukai rasa manis. Madu merupakan bahan makanan yang mudah didapatkan

dan terjangkau, rasanya manis dan enak, juga mengandung nutrisi yang sangat baik
untuk kesehatan. Komposisi terbesar madu adalah fruktosa dan glukosa (70%),

merupakan monosakarida yg mudah diabsorbsi oleh mukosa. Madu juga mengandung

asam amino esensial, mineral yang paling lengkap. Selain itu madu juga mengandung

enzim invertase, diastase, katalase, oksidase, dan peroksidase. Enzim oksidase

berfungsi mengubah glukosa menjadi glukonolaktone yang menghasilkan asam

glukonat dan hydrogen peroksida. Hydrogen peroksida berfungsi sebagai antibakteri

(Haris et.al.,2010).

DAFTAR PUSTAKA
Azizi, A., Alirezaei, S., Pedram, P., & Ma fi, AR (2015). ef fi keampuhan dari vi- topikal dan

sistemik Tamin E dalam mencegah mucositis lisan kemoterapi-induksi. Laporan dari

Radioterapi dan Onkologi, 2 ( 1), e796. https://doi.org/10.5812/rro.2(1)2015.796 .

Biglari, B., Moghaddam, A., Santos, K., Blaser, G., Axel-Buchler, A., Jansen, G., et al.

(2013). Multisenter studi prospektif observasional pada perawatan luka profesional

menggunakan madu (Medihoney ™). International Luka Journal, 10 ( 3), 252 - 259.

Izgu, N. (2017). terapi komplementer dalam pengelolaan mucositis lisan diinduksi selama

pengobatan kanker. Koc Universitas Jurnal Pendidikan Keperawatan dan Penelitian, 14

(4), 304 - 310. https://doi.org/10.5222/HEAD.2017.304 .

Chaitanya, N., Muthukrishnan, A., Babu, DBG, Kumari, CS, Lakshmi, MA, Palat, G., &

Alam, KS (2017). Peran vitamin E dan vitamin dalam mucositis lisan disebabkan oleh

kemoterapi kanker / radiotherapy- meta-analisis. Journal of Clinical dan Diagnostik

Penelitian, 11 ( 5), 6 - 9. https://doi.org/10.7860/JCDR/2017/26845.990

Kishore Kumar-, M. (2015). Sebuah studi klinis untuk mengetahui pengaruh mulut

chlorhexidine mencuci radiasi diinduksi mucositis oral. Jurnal Bioengineering dan

Biomedical Science, 5 ( 2), 150. https://doi.org/10.4172/2155-9538.10

Macedo, RAP, Morais, EF, Dantas, AN, & Morais, MLSA (2015). klorheksidin untuk

mengobati mucositis oral pada pasien dengan leukemia akut: tinjauan sistematik.

Revista Dor, 16 ( 3), 221 - 226.

Nashwan, AJ (2011). Penggunaan chlorhexidinemouthwash pada anak-anak yang menerima

chemotherapy: Sebuah tinjauan literatur. Journal of Pediatric Oncology Keperawatan,

28 ( 5), 295 - 299. https://doi.org/10.1177/1043454211408103 .

Ozveren, H. (2010). perawatan mulut pada pasien yang menerima ventilator mekanik.

Hacettepe Universitas Fakultas Ilmu Kesehatan Keperawatan Journal, 92 - 99.


Baliga KBM, & Uppal N. (2010) Effect of Topical Honey of Limitation of Radiation Induced

Oral Mucositis: An Intervention Study. International Journal of Oral & Maxillofacial

Surgery. 3912; 1181-1185

Harris JL. Schwartz MB, Ustjanauskas A, Ohri-Vachaspati P, & Brownell KD. (2010). Effects

of Srving High Sugar Cereals on Children’s Breakfast-Eating Behavior. Official

Journal of The The American Academy of Pediatrics.

Eilers, J. (2014). Nursing intervention and supportive care for the prevention and treatment of

oral mucositis associated with cancer treatment. Oncology Nursing Forum, 31(4), 13-

18.

Gupta, N., & Khan, M. (2013). Oral Mucositis. E-Journal of Dentistry. 3(3), 405-410.

Kakoei, S., Ghassemi, A., & Nakhaee, N. (2013). Effect of cryotherapy on oral mucositis in

patients with head and neck cancers receiving radiotherapy. International Journal of

Radiation Research, 11(2), 117-120.

Lalla, R.V., Bowen, J., Barasch, A., Elting, L., Epstein, J., Keefe, D.M., et al. (2014).

MASCC/ISOO clinical practice guidelines for the management of mucositis secondary

to cancer therapy. Cancer, 120(10), 1453–1461.

Anda mungkin juga menyukai