Anda di halaman 1dari 6

NAMA: Muhammad Rizki Deva Ananda

KELAS: X MIPA 2

Sejarah Kerajaan Banten

Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam yang ada di Provinsi Banten dan pada awal
mulanya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Namun kemudian, Banten melepaskan diri saat
Kerajaan Demak mundur dan pemimpin pertama Kerajaan Banten adalah Sultan Hasanuddin yang
memiliki periode pemerintahan dari tahun 1522 sampai dengan 1570. Sultan Hasanuddin lalu membuat
Banten menjadi pusat perdagangan dan memperluas wilayahnya hingga Lampung sebagai penghasil
lada di wilayah Sumatera Selatan.

Jika dilihat dari letak geografisnya, Kerajaan Banten ada di bagian utara yang sekarang merupakan
provinsi Banten. Kerajaan Banten ada di wilayah Banten pada bagian paling ujung Pulau Jawa dan pada
awalnya wilayah dari Kesultanan Banten masuk ke dalam wilayah Kerajaan Sunda.

Raja-Raja Kerajaan Banten


Kerajaan Banten memiliki beberapa pemimpin di masanya dan dari beberapa pemimpin itu menghasilkan
kehidupan rakyat Banten yang baik dan juga kehidupan sosial yang semakin merosot dan akhirnya
menyebabkan hancurnya Kerajaan Banten Tersebut.
1. Sultan Hasanuddin

Waktu terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak, Banten dan juga Cirebon ingin
melepaskan diri dari Demak sehingga akhirnya kedua wilayah tersebut menjadi wilayah yang berdaulat.
Selepas dari Demak, Sultan Hasanuddin diangkat menjadi raja Banten pertama dan memerintah selama
18 tahun dari tahun 1552 sampai dengan 1570 M. Dibawah pemerintahan Sultan Hasanuddin, Lampung
berhasil dikuasai yang merupakan wilayah penghasil rempah lada dan Selat Sunda sebagai jalur lalu
lintas perdagangan. Dalam pemerintahannya, Sultan Hasanuddin membangun pelabuhan Banten
sehingga banyak dikunjungi pedagang banyak bangsa seperti pedagang dari Gujarat, Persia dan juga
Venesia yang ingin menghindari Selat Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Banten semakin
berkembang dan menjadi bandar perdagangan serta pusat penyebaran dari agama Islam. Sultan
Hasanuddin kemudian wafat tahun 1570 dan diganti oleh putranya yakni Maulana Yusuf.

2. Maulana Yusuf

Maulana Yusuf memerintah Banten dari tahun 1570 sampai dengan 1580 M. Pada tahun 1579,
Maulana Yusuf berhasil menaklukan Kerajaan Pajajaran di Pakuan, Bogor dan juga menyingkirkan Raja
Pajajaran yakni Prabu Sedah sehingga membuat banyak rakyat Pajajaran yang mengungsi ke
pegunungan dan sampai sekarang dikenal dengan Suku Badui di Rangkasbitung, Banten.

3. Maulana Muhammad

Maulana Yusuf yang wafat lalu digantikan oleh putranya yakni Maulana Muhammad yang naik
tahta saat usianya masih 9 tahun sehingga pemerintahan dijalankan oleh Mangkubimu Jayanegara
sampai Maulana Muhammad beranjak dewasa dan memerintah tahun 1580 sampai dengan 1596.
Sesudah 16 tahun kemudian, Sultan Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang yang
didirikan Ki Gendeng Sure, bangsawan Demak. Kerajaan Banten yang juga merupakan keturunan dari
Demak juga merasa memiliki hak atas Palembang, namun Banten kalah dan Sultan Maulana Muhammad
tewas di dalam pertempuran tersebut.

4. Pangeran Ratu [Abdul Mufakhir]

Pangeran Ratu yang saat itu masih berumur 5 bulan akhirnya menjadi Sultan Banten ke-4 tahun
1596 sampai dengan 1651. Sementara menunggu Pangeran dewasa, pemerintahan dijalankan oleh
Mangkubumi Ranamanggala. Pada waktu tersebut, Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman
mendarat di Banten tanggal 22 Juni 1596. Pangeran Ratu lalu mendapat gelar Kanjeng Ratu Banten dan
saat wafat ia digantikan oleh anaknya yakni Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa lalu memerintah Banten tahun 1651 sampai dengan 1682 M. Pada masa
Sultan Ageng Tirtayasa inilah akhirnya Banten mencapai puncak kejayaan dan Sultan Ageng Tirtayasa
juga berusaha untuk memperluas wilayah kerajaannya. Tahun 1671 M, Sultan Ageng Tirtayasa lalu
mengangkat putranya untuk dijadikan raja pembantu dengan gelar Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji.
Sultan Haji ini memiliki jalinan baik dengan Belanda sehingga membuat Sultan Ageng Tirtayasa yang
kecewa melihatnya lalu menarik jabatan raja pembantu Sultan Haji. Sultan Haji kemudian ingin
mempertahankan jabatan tersebut dengan cara meminta bantuan pada Belanda sehingga terpecahlah
perang saudara dan Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap kemudian di penjara di Batavia sampai ia wafat
pada tahun 1691 M.

6. Sultan Haji

Sultan Haji diberikan wewenang untuk mengatur urusan dalam negeri di Surosowan sedangkan
untuk wilayah luar Surosowan masih di pegang oleh Sultan Ageng dan anaknya yakni Pangeran
Purbaya. Pindahnya Sultan Ageng Tirtayasa lalu dimanfaatkan oleh Belanda dengan mendekati Sultan
Haji agar bisa dihasut dan Belanda berhasil sampai selalu di undang dalam setiap upacara. Hubungan
Belanda dan Sultan Haji yang semakin erat membuat Belanda berhasil merubah tingkah laku dari Sultan
Haji seperti cara makan, cara berpakaian dan berbagai hal lainnya sehingga gaya hidup Sultan Haji lebih
kebarat-baratan dibandingkan memakai budaya bangsanya sendiri. Sultan Ageng yang prihatin lalu
meminta guru spiritual bernama Syekh Yusuf agar bisa memerintahkan Sulan Haji untuk pergi ke Mekkah
dan Sultan Ageng berharap supaya anaknya bisa berubah dan dewasa dalam memerintah Kerajaan
Banten.

Pada tahun 1674, Sultan menunaikan ibadah haji dengan rombongan dan selama Sultan pergi,
kekuasaan dipegang sementara oleh adiknya yakni Pangeran Purbaya dan Sultan pergi ke Mekkah
selama 2 tahun sehingga ia dikenal dengan nama Sultan Haji tersebut. Namun ternyata sifatnya tidak
berubah justru lebih mudah dipengaruhi Belanda sehingga akhirnya timbul konflik antara Sultan Ageng
dengan Sultan Haji. Dalam perpecahan ini, VOC mendukung Sultan Haji dengan memberikan beberapa
persyaratan yakni Banten harus menyerahkan Cirebon untuk VOC, monopoli lada di Banten dikuasai
VOC dan Persia, India serta Cian harus disingkirkan sebab merupakan saingan dari VOC, Banten juga
diharuskan membayar 600.000 ringgit jika ingkar dengan janji dan pasukan Banten yang menguasai
pantai serta pedalaman Priyangan juga harus ditarik.

Perjanjian ini disetujui Sultan Haji dan dengan bantuan VOC, Sultan Haji menyerang Keraton Tirtayasa
dan sebagai rasa terima kasih, Sultan Haji memberikan ucapan selamat pada pergantian Gubernur
Jenderal Belanda yang membuat hati Sultan Ageng Tirtayasa sangat sakit. Pada 27 Februari 1682,
Sultan Ageng lalu memberikan perintah untuk menyerang Surosowan yakni dengan membakar kampung-
kampung dekat Keraton Surosowan sehingga membuat belanda yang tinggal disitu menjadi gentar.

Pembakaran kampung ini terjadi selama 1 malam dan Sultan Haji melarikan diri dengan meminta
perlindungan orang Belanda yakni Jacob de Roy dan saat siang akhirnya pertempuran berhenti. Belanda
kemudian menambah pasukan sehingga perang yang sudah dikuasai Sultan Ageng berbalik di pegang
oleh Belanda kemudian Keraton Tirtayasa di kepung belanda sampai beberapa bulan sehingga timbul
kelaparan dan pengikut Sultan Ageng bersama Sultan Ageng melarikan diri. Pada tanggal 14 Maret,
Sultan Ageng tiba di Keraton Surosowan dan kemudian di penjara di Batavia sampai ia menutup usia.
Baca Artikel terkait lainnya Asal Usul Nusantara, Sejarah Minangkabau, dan Sejarah Candi Kalasan.

Peninggalan Kerajaan Banten


Selama 3 abad masa Banten berkuasa, Kerajaan ini meninggalkan beberapa peninggalan kerajaan di
Pulau Jawa yang sebagian masih berdiri kokoh hingga sekarang dan sebagian lagi tinggal berupa
reruntuhannya saja.

1. Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten merupakan peninggalan Kerajaan Banten sebagai kerajaan Islam
Indonesia yang berada di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen dan masih berdiri sampai sekarang.
Masjid ini di bangun tahun 1652 pada masa pemerintahan putra pertama Sunan Gunung Jati yakni
Sultan Maulana Hasanuddin dan menjadi salah satu 10 masjid tertua di Indonesia yang masih berdiri
sampai sekarang. Masjid ini mempunyai menara yang terlihat seperti mercusuar dan bagian atapnya
seperti pagoda China, sedangkan pada bagian kiri dan kanan masjid ada serambi serta kompleks
pemakaman Sultan Banten dan juga keluarganya.

Seni budaya bisa dilihat dari bangunan masjid Agung Banten [Tumpang Lima] dan juga beberapa
bangunan gapura yang ada di Kaibon Banteng. Selain itu, istana yang di bangun Jan Lukas Cardeel
seseorang berkebangsaan Belanda yang merupakan pelarian dari Batavia dan memeluk agam Islam.
Istana ini terlihat seperti istana Eropa dan situs peninggalan lainnya juga tersebar di beberapa kota lain
seperti Serang, Tangerang, Pandeglang dan juga Cilegon.

2. Meriam Ki Amuk

Dalam Benteng Speelwijk ada beberapa bua meriam dan meriam yang memiliki ukuran terbesar
dinamakan dengan meriam ki amuk sebab meriam ini bisa menembak dengan jauh dan daya ledaknya
juga besar. Meriam ini merupakan rampasan dari pemerintah Belanda saat perang

Politik Kerajaan Banten


Sultan Hasanuddin yang merupakan Sultan pertama di Banten dan memerintah dari tahun 1522 sampai
dengan 1570 merupakan putra dari Fatahillah, panglima tentara Demak dan pernah diutus Sultan
Trenggana untuk menguasai bandar-bandar di wilayah Jawa Barat. Saat kerajaan Demak masih
berkuasa, Banten adalah bagian dari kerajaan Demak dan kemudian Kerajaan Demak mengalami
kemunduran sehingga Banten bisa melepaskan diri dari kekuasaan Demak tersebut.

Pada tahun 1511, Malaka jatuh ke tangan Portugis dan membuat pedagang muslim pindah jalur
pelayaran ke Selat Sunda. Pada pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Banten berkembang
menjadi pusat perdagangan dan ia juga memperluas kekuasaan Banten ke wilayah Lampung yang
merupakan penghasil lada.

Maulana Yusuf lalu menggantikan Sultan Hasanuddin pada tahun 1570 sampai dengan 1580 dan pada
tahun 1579, ia berhasil menaklukan Kerajaan Pajajaran sehingga rakyat Kerajaan Pajajaran Mengungsi
ke pedalaman Banten Selatan dan dikenal dengan Suku Badui. Sesudah Kerajaan Pajajaran berhasil
ditaklukan, para elit Sunda kemudian memeluk agama Islam.

Maulana Yusuf diganti oleh Maulana Muhammad pada tahun 1580 sampai dengan 1596 yang berhasil
menyerang Kesultanan Palembang dan dalam perang ini, Maulana Muhammad tewas dan dilanjutkan
oleh putra mahkota yakni Pangeran Ratu. Ia kemudian diberikan gelar Sultan Abu Mufakhir Mahmud
Abdul Kadir. Kerajaan Banten memperoleh kejayaan di masa Pangeran Ratu yakni Sultan Ageng
Tirtayasa tahun 1651 sampai dengan 1682 dan ia menentang kekuasaan Belanda dalam membentuk
VOC serta menguasai pelabuhan Jayakarta yang dilaksanakan Sultan Ageng Tirtayasa gagal dan
kemudian digantikan oleh Sultan Haji.

Ekonomi Kerajaan Banten


Saat berada dibawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mengalami perkembangan pesat
dan menjadi bandar perdagangan serta pusat penyebaran agama Islam sebab letak lalu lintas
perdagangan sangat strategis dan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis membuat para pedagang Islam
tidak lagi pergi ke Selat Malaka akan tetapi berpindah ke Banten dan Banten juga menjadi pengekspor
lada yang sangat penting.

Banten lalu semakin maju sebab dikunjungi oleh banyak pedagang Arab, Persia, Gujarat, Cina, Turki dan
beberapa pedagang lainnya. Sehingga di Banten akhirnya juga dibangun perkampungan seperti asal
bangsa pedagang tersebut seperti Arab yang mendirikan Kampung Pakojan, Cina yang mendirikan
Kampung Pecinan dan Indonesia yang mendirikan kampung Banda, Kampung Jawa dan beberapa
kampung lainnya.

Sosial Budaya Kerajaan Banten


Banten yang sudah di-Islamkan oleh Fatahillah di tahun 1527 lalu mulai melandaskan hidup dengan
dasar Islam dan sesudah berhasil menaklukan Kerajaan Pajajaran, Islam semakin menguat sampai ke
pedalaman yang dikenal dengan Suku Badui, sementara mereka yang ingin mempertahankan tradisi
lama serta menolak pengaruh Islam disebut dengan Pasundan Kawitan. Kehidupan sosial Banten pada
masa Sultan Ageng Tirtayasa sangat baik sebab Sultan sangat perhatian dengan kesejahteraan
rakyatnya. Akan tetapi saat Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dunia dan Belanda mulai campur tangan,
kehidupan sosial masyarakat mulai merosot tajam.
Masa Kejayaan Kerajaan Banten

Kerajaan Banten mulai mencapai puncak kejayaan pada pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa di tahun
1651 sampai 1682 dan kemudian Banten membangun armada. Namun, Sultan Ageng Tirtayasa
menentang Belanda dalam pembentukan VOC dan berusaha untuk keluar dari tekanan VOC yang sudah
memblokade kapal dagang saat menuju ke wilayah Banten. Banten juga melakukan monopoli lada di
wilayah Lampung yang merupakan perantara dari beberapa negara lain sehingga membuat Banten
menjadi wilayah multi etnis serta sektor perdagangan yang sangat berkembang dengan cepat. Baca

Kemunduran Kerajaan Banten


Kerajaan Banten kemudian mulai mengalami kemunduran yang bermula dari perselisihan Sultan Ageng
dengan putra beliau yakni Sultan Haji karena perebutan kekuasaan. VOC lalu memakai keadaan tersebut
dengan cara memihak Sultan Haji dan membuat Sultan Ageng bersama dengan 2 orang puteranya yang
lain yakni Pangeran Purbaya serta Syekh Yusuf harus mundur menuju pedalaman Sunda. Akan tetapi di
tanggal 14 Maret 1683, Sultan Ageng kemudian di tangkap dan di tahan di Batavia dan pada 14
Desember 1683, Syekh Yusuf juga di tangkap VOC serta Pangeran Purbaya yang kemudian juga
menyerahkan dirinya.

Dengan kemenangan tersebut, Sultan haji menyerahkan Lampung di tahun 1682 pada VOC sebagai
balasannya. Pada 22 Agustus 1682 akhirnya hadir surat perjanjian hak monopoli perdagangan lada di
daerah Lampung ke tangan VOC. Sultan Haji kemudian meninggal pada tahun 1687 dan VOC
menguasai Banten yang membuat pengangkatan Sultan Banten harus disetujui oleh Gubernur Jenderal
Hindian Belanda di Batavia.

Setelah itu terpilih Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya untuk menggantikan Sultan Haji dan kemudian
digantikan kembali oleh Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin. Pada tahun 1808 sampai
dengan 1810, Gubernur Hindia Belanda melakukan penyerangan ke Banten di masa pemerintahan
Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin. Penyerangan ini terjadi karena Sultan tidak
mau menuruti permintaan Hindia Belanda karena ingin memindahkan ibukota Banten ke Anyer. Tahun
1813, akhirnya Banten runtuh oleh Inggris.

Akhir Kerajaan Banten

Sesudah Sultan Haji berhasil mengalahkan pasukan Sultan Ageng, Belanda lalu memberikan surat
perjanjian dan Sultan Haji mulai merasakan tekanan dari Belanda tersebut, sebab di dalam surat
perjanjian berisi Banten tidak memiliki kekuatan dalam hal politik, ekonomi dan juga militer. Sultan Haji
lalu sangat menyesal dengan apa yang ia lakukan terhadap ayahnya sendiri. Dengan perjanjian tersebut,
pihak Belanda menjadi pemenang dan pada masa pemerintahan Sultan Haji terjadi banyak sekali
pemberontakan dan juga kerusuhan.

Pembunuhan kemudian dilakukan rakyat Banten pada Belanda sebab Sultan Haji lebih memihak pada
Belanda dan sebagian rakyat juga tidak mengakui Sultan Haji sebagai Sultan Banten. Sultan Haji menjadi
gelisah dan menyesal dengan apa yang sudah dilakukan pada ayah dan asik kandungnya sendiri.
Belanda yang sudah dijadikan sahabat oleh Sultan Haji justru berbalik menyerangnya dan karena merasa
tertekan, Sultan Haji akhirnya meninggal sehingga perebutan kekuasaan oleh anak-anaknya pun terjadi.

Perebutan kekuasaan tersebut membuat Belanda turun tangan dan mengangkat anak Sultan Haji
bernama Abdul Fadl Muhammad Yahya sebagai Sultan Banten da pada masa pemerintahan tersebut,
kekuasaan Banten berada di tangan Belanda sehingga kebijakan yang dilakukan Sultan haruslah
mendapat persetujuan dari Belanda.

Anda mungkin juga menyukai