Anda di halaman 1dari 3

Pada era 1990-an sebagian besar anak-anak di Taman Kanak-Kanak (TK) sampai

Sekolah Dasar (SD) memiliki cita-cita menjadi insinyur agar dapat membuat pesawat
terbang seperti Habibie. Dari situ dapat dilihat bahwa Habibie adalah sosok yang
melekat bukan hanya pada kalangan dewasa, melainkan pada kalangan anak-anak
juga.

Belakangan memasuki 2010, ketika Hasri Ainun Habibie wafat, B.J. Habibie
mengalami pukulan batin mendalam karena belahan jiwanya telah berpulang terlebih
dulu. Untuk mengenang belahan jiwanya, Habibie membuat sebuah film dokudrama
dengan judul Habibie & Ainun pada 2013, bercerita tentang percintaan di antara
mereka berdua di tengah pasang surutnya badai sosial-politik Indonesia.

Semenjak dokudrama itu lepas landas, sosok Habibie dikenal sebagai laki-laki
romantis dan setia. Kisah cinta antara Habibie dan Ainun menjadi inspirasi bagi
seluruh pasangan suami-istri dari ragam kalangan. Sampai ia tidak memangku
jabatan pemerintahan lagi, Habibie tetap menjadi sosok yang dekat dengan
masyarakat dalam teknologi maupun percintaan. Namun, apakah sosok BJ Habibie
hanya sebatas ilmu pengetahuan, teknologi, dan percintaan?

Didorong Roh Sejarah

Sedikit orang mengenang sosok Habibie sebagai seorang pemimpin pasca Orde
Baru runtuh. Sebagian menganggap bahwa ia adalah seorang teknokrat cerdas
sehingga kepemimpinan politiknya tidak secerah kepemimpinannya memimpin
industri teknologi seperti pesawat terbang. Sebagian juga menganggap ia hanya
meneruskan kepemimpinan dari Soeharto sehingga tidak terdapat gebrakan politik
baru. Ditambah lagi, pada era kepemimpinannya Timor Timur lepas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membuat rasa nasionalisme sebagian publik
tersayat.

Habibie berkuasa kurang lebih selama 512 hari, sebuah jangka waktu pemerintahan
yang pendek. Tetapi, dalam masa pemerintahan yang singkat ia mampu melakukan
gebrakan-gebrakan reformis-dialektis dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan
HAM serta kajian perempuan. Pada masa krisis itu ia berupaya melahirkan
pemerintahan sipil yang demokratis-kritis sebuah angan-angan dalam tekanan rezim
otoriter.

Selama Orde Baru berkuasa pers dibungkam sehingga wacana pemikiran kritis
mengalami kemandekan aliran. Tetapi, pada era pemerintahan Habibie pers
memperoleh kebebasannya lewat UU No 40 tahun 1999 tentang pers. Ini menjadi
tonggak kebebasan pers di Indonesia yang sebelumnya dibungkam oleh rezim Orde
Baru. Bukan hanya itu, jauh sebelum era Abdurahman Wahid, Habibie juga
memberikan kebebasan kepada etnis Tionghoa untuk berbicara dan mengajarkan
bahasa Mandarin.

Selain itu, ia juga mengadakan referendum bagi Timor Timur di bawah Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memilih merdeka atau otonomi khusus di bawah
pemerintah Republik Indonesia. Realitas berkata rakyat Timor Timur lebih memilih
untuk merdeka dari Republik Indonesia dan pemerintahan Habibie menerimanya
sebagai hasil dari dialog antara Republik Indonesia dengan Timor Timur. Sebuah
keputusan politik yang membuat dirinya kurang populis dan dipandang sebelah mata
oleh sebagian publik dan elite politik.

Ia juga meminta maaf atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu guna
membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis. Tampaknya, roh
sejarah menggiringnya untuk melakukan pembaruan total sehingga ia tidak menyia-
nyiakan waktu untuk melakukan transformasi dalam masyarakat Indonesia. Dapat
dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dilahirkannya, bahwa kebenaran bersifat
interuptif dan historis. Bergerak sangat cepat sekaligus mengejutkan sehingga
banyak pihak yang belum dapat menerima kebenaran yang dihidupinya. Akhirnya, ia
menjadi sosok yang tak populis dalam soal sosial-politik, namun pemerintahannya
berhasil menegakkan kebenaran sehingga berdampak secara intelektual-sosial kala
itu.

Peletak Dasar Demokrasi

Setelah melihat kenang-kenangan demokratis Habibie, maka dapat dikatakan bahwa


ia merupakan peletak dasar demokrasi Indonesia sekalipun pertanggungjawabannya
ditolak oleh parlemen. Ia telah memperjuangkan nilai-nilai imajinatif anak-anak
intelektual yang diinjak-injak oleh Orde Baru dalam masa pemerintahannya yang
singkat.

Habibie berhasil mengawal agenda Reformasi 1998 dalam pemerintahan yang


masih kental dengan kultur Orde Baru. Oleh karena itu, The Washington Post pada
11 September 2019 menyatakan bahwa his (Habibie) unpopular presidency was the
shortest in modern Indonesia's history, but was transformative. Masa pemerintahan
Habibie adalah masa pemerintahan yang tidak populer dalam ingatan masyarakat
Indonesia, namun ia berhasil mematahkan sendi-sendi otoritarianisme Orde Baru.

Tampaknya, kesetaraan dan kebebasan adalah prinsip dasar Habibie untuk


mentransformasi Indonesia pasca-Soeharto. Kedua nilai itu merupakan roh dari
demokrasi, tanpa kesetaraan dan kebebasan dalam masyarakat, demokrasi yang
berlangsung adalah semu belaka. Sepertinya, ia belajar dari masa kekelaman
sosial-politik di Jerman pada Perang Dunia Kedua sehingga ia ingin membangun
sebuah masyarakat demokratis-humanis di Indonesia. Oleh sebab itu, ia menghidupi
nilai-nilai demokratis dalam masa pemerintahannya agar memicu sejarah baru
dalam masyarakat Indonesia.

Alhasil, ia mewariskan nilai-nilai itu untuk tetap dihidupi agar tidak menjadi artefak
demokrasi di masa lampau. Tak heran jika Amnesty Internasional Indonesia
mengatakan bahwa jangan sampai upaya HAM yang didorong oleh Habibie
terbengkalai sia-sia dan cita-cita Reformasi luntur tanpa bekas. Ini merupakan
peringatan bahwa pekerjaan Habibie belum selesai sehingga perlu dikawal hari ini
agar negara ini tidak jatuh ke dalam beban kelampauannya. Dengan demikian, kita
layak mengenangnya bukan hanya sebagai bapak ilmu pengetahuan dan teknologi,
melainkan juga bapak demokrasi Indonesia dari kenang-kenangan pemerintahannya
yang berusia 512 hari.
https://m.detik.com/news/kolom/d-4703959/habibie-dan-pemerintahan-singkat-yang-transformatif

Anda mungkin juga menyukai