Anda di halaman 1dari 9

PERMUKIMAN PESISIR DAERAH KUNJUNGAN KKL

(TARAKAN-NUNUKAN-SEBATIK)

TARAKAN
Kota Tarakan adalah kota terbesar di Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia dan
juga merupakan kota terkaya ke-17 di Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah
250,80 km² dan sesuai dengan data Badan Kependudukan Catatan Sipil dan Keluarga
Berencana, Kota Tarakan berpenduduk sebanyak 239.787 jiwa. Kota Tarakan secara

geografis terletak pada 3014’30” Lintang Utara – 3026’37” Lintang Utara dan

117030’50” Bujur Timur – 117040’12” Bujur Timur. Kota Tarakan terdiri dari 2
(dua) pulau yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau, Luas wilayah Kota Tarakan
± 65.733 Ha, terdiri atas wilayah daratan seluas ± 25.080 Ha dan
wilayah lautan seluas ±40.653 Ha.
Laju perkembangan ekonomi perkotaan yang semakin pesat membuat intensitas
kegiatan perkotaan meningkatkan dan pemanfaatan lahan yang semakin kompetitif,
sedangkan di sisi lain, urbanisasi menyebabkan tingginya permintaan lahan tempat
tinggal di dalam kota. Pemerintah cenderung terfokus pada pengembangan ekonomi
dan cenderung melupakan aspek pertumbuhan kawasan di wilayah pinggiran
(Hesley, 1995). Kondisi tersebut terjadi pula pada kawasan permukiman tepi pantai di
Kota Tarakan dengan ciri-ciri fisik yang mirip dengan karakteristik kampung kota atau
permukiman kumuh kota.
Keberadaan permukiman kumuh akan mengurangi kualitas lingkungan dan
cenderung menyebabkan masalah, baik terkait aspek tata ruang, sosial dan ekologi.
Pada umumnya keberadaan permukiman kumuh dikarenakan rendahnya
perekonomian masyarakat (Jenkis, 2005). Kondisi mata pencaharian masyarakat
pesisir Tarakan sebagian besar nelayan, atau buruh pabrik pengolahan ikan.

Kondisi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Pesisir


Perkembangan kota yang semakin pesat dituntut menghasilakan kemajuan
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan. Pesisir Kecamatan
Tarakan Timur dipersiapkan sebagai kawasan Central Business District (CBD),
dengan dinamika ekonomi yang tinggi dan bertujuan menunjang perekonomian
daerah. Hal ini berarti bahwa keberadaan kawasan permukiman kumuh, tidak sesuai
dengan tujuan pembangunan Kota Tarakan yang berorientasi pada konsep Waterfront
City (RTRW Kota Tarakan tahun 2010-2031).
Penilaian dari aspek bangunan, kondisi permukiman kota Tarakan cenderung
beragam, hal ini dikarenakan perbedaan tipologi rumah antara rumah panggung yang
berada di atas air dengan rumah tembok/ permanen yang berada di daratan. Pada
umumnya bangunan rumah yang berada di tepi pantai atau di sungai berupa rumah
panggung sehingga termasuk rumah semi hingga non permanen.

Struktur Bangunan Perumahan Pesisir

Berdasarkan aspek status kepemilikan bangunan, maka mayoritas merupakan


hak milik. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan rumah yang dihuni merupakan
kepemilikan pribadi. Meskipun jika ditelaah dari kondisi struktur bangunan didominasi
oleh bangunan non permanen dan semi permanen. Namun di sisi lain, permukiman
kumuh cenderung terus berkembang dan menempati lahan-lahan kosong pada
kawasan pesisir pantai, sehingga cenderung membentuk permukiman liar tanpa status
hukum kepemilikan lahan yang jelas (Gotham, 2001).
Adanya sarana prasarana penunjang yang baik di permukiaman akan
meningkatkan kualitas lingkungan hunian. Sebaliknya kondisi sarana prasarana yang
buruk dapat menjadi masalah yang serius bagi lingkungan hunian, dan dapat
mengakibatkan kekumuhan di lingkungan tersebut.

162
Secara umum, perumahan pesisir telah terlayani oleh sarana-prasarana vital
permukiman seperti air bersih, sanitasi, persampahan, jaringan jalan, listrik dan
drainase. Namun permasalahannya adalah tingkat pelayanan yang tidak begitu baik,
adapun beberapa permasalahan sarana-prasarana permukiman sebagai berikut:
 Sanitasi : pada permukiman di atas air sebagian warga masih belum
memiliki sanitasi yang memadai, warga telah memiliki WC pribadi, namum
pengelolaan septic-tank masih belum baik, warga membuang limbah septic-tank
di perairan, sehingga mencemari laut.

Kondisi MCK

 Air Bersih : Ekonomi masyarakat yang sebagian berpenghasilan rendah


dari hasil melaut, dan ketidakpastian status hukum kepemilikan lahan
menyebabkan sebagian masyarakat tidak dapat menikmati layanan PDAM.
Sebagai solusinya, masyarakat setempat membeli air dari pedagang keliling
ataupun menyimpan air hujan di tandon.
 Persampahan : Berdasarkan observasi lapangan diketahui bahwa pada
umumnya/rata-rata telah terlayani oleh pasukan kebersihan. Namum terdapat
warga yang masih mengolah sendiri sampahnya dengan cara di bakar, maupun
langsung membuangnya kelaut. Hal ini dikarenakan alasan ekonomi, guna
mengurangi pengeluaran untuk membayar petugas kebersihan.

KAB. NUNUKAN

Kabupaten Nunukan sebagian wilayahnya berada di daratan Kalimantan, dan sebagian


lain berupa pulau-pulau, sehingga moda transportasi yang dibutuhkan untuk
menghubungkan wilayah-wilayah tersebut adalah dengan transportasi air yang berupa :
a) transportasi sungai; Jenis transportasi ini untuk menghubungkan daerah-daerah
pedalaman yang tidak bisa dijangkau dengan transportasi darat.
b) transportasi penyeberangan antar pulau; Jenis transportasi ini memegang peran
sangat penting di Kabupaten Nunukan dan Pulau Sebatik karena masih
terbatasnya angkutan darat, mengingat Kabupaten Nunukan wilayahnya lebih
besar laut dibandingkan darat, disamping itu, banyak pulau-pulau baik besar
maupun kecil, sehingga moda transportasi yang paling cocok adalah transportasi
penyeberangan antar pulau. Selama ini moda transportasi ini diusahakan oleh
masyarakat yaitu untuk menghubungkan antara ibukota kabupaten dengan kota
kecamatan, antar kota kecamatan, serta hubungan ke luar daerah dan bahkan ke
kota-kota pantai di Malaysia Timur.
c) transportasi laut; Moda transportasi laut ini adalah untuk menghubungkan antar
daerah, dan di Kabupaten Nunukan sudah terdapat satu pelabuhan laut yang
dapat disinggahi oleh kapal dengan kapasaitas 4000 DWT. Secara rutin
pelabuhan Nunukan disinggahi dan merapat kapal penumpang PELNI ukuran
besar seperti: KM Kerinci, Tidar, Awu dan Aga Mas, yang sebagian
penumpangnya merupakan penumpang transit menuju Tawau – Sabah Malaysia
Timur.

SEBATIK

Pulau Sebatik di Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu dari 92 pulau kecil
terluar yang merupakan beranda depan NKRI, menjadi fokus pembangunan nasional
secara politik, hukum dan sosial budaya, namun lingkungan pesisirnya sebagai potensi
sekaligus permasalahan dalam upaya pembangunan Pulau Sebatik yang terintegrasi.
Berdasarkan luas dan kepadatan, beberapa lembaga terkait mendefiniskan pulau kecil,
(1) pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 5.000 meter persegi (CSC,
1984), (2) pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2.000 meter persegi
(DKP, 2007)

Pulau Sebatik memiliki topografi pantai yang datar dan ditumbuhi oleh vegetasi
mangrove. Wilayah tengah merupakan daerah pegunungan, disamping merupakan
hutan sekunder juga telah diusahakan oleh penduduk untuk perkebunan kelapa dan
kakao, sedangkan wilayah dataran rendah dibagian tengah telah diusahakan oleh
penduduk sebagai sawah tadah hujan.

Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang merupakan sumber masalah dari pulau-
pulau. Kusumastanto menyebutkan bahwa masalah ini bersumber dari karakteristik
pulau kecil (Kusumastanto, 2004) :

1. Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan


prasarana dan sarana menjadi sangat mahal. Luas pulau kecil itu bukan suatu
kelemahan jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh
penghuninya tersedia di pulau yang dimaksud. Akan tetapi, begitu jumlah
penduduk meningkat secara drastic, diperlukan barang dan jasa dari pasar yang
jauh dari pulau itu. Itu berarti mahal.
2. Kesukaran atau ketidakmampuan mencapai skala ekonomi yang optimal dan
menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi. Hal ini
turut menghambat pembangunan hamper semua pulau kecil di dunia.
3. Keterseidiaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar,
vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar yang pada akhirnya menentukan
daya dukung (carriying capacity) sistem pulau kecil dan menopang kehidupan
manusia, penghuni serta segenap kegiatan pembangunan.
4. Produktivitas sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian
erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan terdapat di
sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling
terkait satu sama lain secara erat. Oleh karena itu, keberhasilan usaha pertanian,
perkebunan dan kehutanan di lahan darat suatu pulau, jika tidak dikelola
menurut prinsip-prinsip ekologis, dapat merusak/mematikan industri perikanan
panatai dan pariwisata bahari di sekitar pulau.
5. Budaya local kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan
pembangunan. Contohnya, di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa
wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat. Ini
menjadi kendala tersendiri.
Kondisi Bangunan Perumahan Pesisir

Gambar di atas merupakan kondisi bangunan perumahan pesisir pulau Sebatik yang
berada di desa Binalawan Kecamatan Sebatik Barat. Bangunan perumahan kebanyakan
bangunan semi permanen dan non-permanen. Meskipun secara umum kondisi
perumahan, permukiman dan infrastruktur dasar dikawasan pesisir ini cukup baik
terutama dilihat dari aksesibilitasnya, sebagian besar penduduk yang berprofesi sebagai
nelayan masih tergolong masyarakat berpenghasilan rendah. Dilihat dari sarana dan
prasarana, permasalahan mendesak yang dihadapi masyarakat adalah penyediaan air
bersih dan sanitasi lingkungan.

Hasi Tangkapan Nelayan

Akses menuju pulau Sebatik dapat dilakukan melalui jalr transportasi udara kemudian
dilanjutkan dengan transportasi laut. Perjalanan dari kota Tarakan juga dapat ditempuh
dengan menggunakan transportasi laut yaitu menggunakan kapal cepat dengan jalur
pelayaran dari kota Tarakan ke Kabupaten Nunukan pulang pergi atau kota Tarakan-
Pulau Sebatik pulang pergi setiap hari. Masyarakat pulau Sebatik yang ingin melakukan
perjalanan menggunakan kapal cepat atau Speedboat dapat menitipkan kendaraan roda
duanya di tempat parker khusus sebelum naik ke kapal.

Tempat Penitipan Kendaraan

Anda mungkin juga menyukai