TINJAUKAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit jantung rematik (PJR) adalah peradangan jantung dan terbentuknya jaringan
parut dipicu oleh reaksi autoimun terhadap infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A.
Penyakit jantung rematik merupakan komplikasi yang serius dari demam rematik dan
menyebabkan penurunan fungsi pada jantung. Demam rematik adalah sindroma klinis akibat
infeksi Streptococcus Beta Hemoliticus grup A yang ditandai oleh kriteria Jones.1 Penyakit
jantung reumatik menyebabkan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik
akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup
trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat
menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.
2.3 Faktor Risiko
1. Usia
Usia mempengaruhi insiden demam rematik. Terbanyak pada usia 5-16 tahun dan
dewasa muda. Puncak kejadian penyakit jantung rematik pada decade ketiga dan
keempat. Berkurangnya imunitas dan seringnya kontak dengan anak-anak lain
memudahkan anak golongan umur tersebut mendapatkan infeksi Streptoccocus.5
3. Faktor keluarga
4. Lingkungan/ Overcrowded
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1 November 2001 yang
diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara maju
hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang di daerah Asia Tenggara
diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang
meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut. Rhemautic Heart Disease
mempengaruhi 33,4 juta orang di seluruh dunia dan menyebabkan 347.000 kematian setiap
tahun dan 80% kasus ARF terjadi pada Lower Middle Income Countries (LMIC).4 Morbiditas
akibat gagal jantung, stroke dan endokarditis sering pada penderita PJR dengan sekitar 1.5%
penderita rheumatic carditis akan meninggal pertahun. Di seluruh dunia demam rematik akut
diperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak anak dan dewasa muda. 90.000 akan meninggal
setiap tahunnya. Mortalitas penyakit ini didunia adalah sebesar 1-10%.7
Berdasarkan penilitian yang dilakukan oleh Hasnul, Marhamah dkk, kelainan katup pada
sampel penilitan didapatkan Mitral regurgitasi merupakan kelainan katup yang paling sering
terjadi, yaitu sebesar 40% dan tidak terdapat kasus stenosis trikuspid (TS) dan stenosis
pulmonal (PS). Secara teoritis, dikatakan bahwa lesi katup mitral merupakan yang paling
sering terjadi pada PJR, yaitu kira-kira tiga perempat dari keseluruhan pasien PJR. Stenosis
aorta tanpa keterlibatan katup mitral merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Keterlibatan
katup trikuspid dan pulmonal hampir tidak pernah terjadi. Berdasarkan penelitian pada suku
Aborigin, 40 pasien PJR mengalami MR dan 90% pasien anak usia dibawah 10 tahun
mengalami MR. Regurgitasi mitral adalah kelainan katup yang sering ditemukan pada pasien
usia muda, dimana belum terjadi jaringan parut pada katup dan stenosis katup.5
2.4 Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik. Demam reumatik
merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi Streptococcus
Beta Hemolyticus grup A pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Keterlibatan
kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium
melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang
berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis
yang paling banyak mengenai katup mitral (75%), katup aorta (25%).1
Telah lama diketahui demam rematik mempunyai hubungan dengan infeksi kuman
Streptokokus Beta Hemolitik grup A pada saluran nafas atas.
Streptokokus adalah bakteri gram positif yang ciri khasnya berpasangan atau membentuk
rantai selama pertumbuhannya. Terdapat sekitar dua puluh spesies Streptokokus, termasuk
Streptococcus pyogenes (grup A), Streptococcus agalactie (grup B) dan Enterococci (grup
D). Secara morfologi, Streptokokus merupakan bakteri berbentuk batang atau ovoid dan
tersusun seperti rantai yang membentuk gambaran diplokokus atau terlihat seperti bentuk
batang. Panjang
rantai sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan.8 Kuman Streptokokus Beta
Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen
polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Banyak Streptokokus mampu
menghemolisa sel darah merah secara in vitro dengan berbagai derajat. Apabila Streptokokus
menghemolis sempurna sel darah merah yang ditandai dengan adanya area yang bersih (clear
zone) disebut sebagai β-hemolitikus. Sedangkan apabila hemolisa dari sel darah merah tidak
sempurna dan menghasilkan pigmen berwarna hijau disebut α-hemolitikus.8 Dan
Streptokokus lain yang tidak mengalami hemolisa disebut γ-hemolitikusTercatat saat ini lebih
dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A
yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman
Streptococcus beta hemolitycus grup A sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung,
karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis,
imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan
dengan infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18,
19 dan 24.9 Protein M merupakan faktor virulensi utama dari Streptococcus pyogenes.
Apabila tidak ada antibodi spesifik tipe-M, organisme ini mampu bertahan terhadap proses
fagositosis oleh polimorfonuklear. Protein M dan antigen pada dinding sel Streptokokus
memiliki peranan penting dalam patogenesis demam rematik.8
2.5 Pathogenesis
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokkus Beta Hemolitik grup A dengan terjadinya
DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon autoimun terhadap infeksi
Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan
derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme
dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak
diketahui, tetapi peran antigen histokompatibilitas mayor, antigen jaringan spesifik potensial
dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai
faktor risiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. Protein M, faktor virulen yang
terdapat pada dinding sel Streptokokus, secara immunologi memiliki kemiripan dengan
struktur protein yang terdapat dalam tubuh manusia seperti miokardium (miosin dan
tropomiosin), katup jantung (laminin), sinovial (vimentin), kulit (keratin) juga subtalamus dan
nucleus kaudatus (lysogangliosides) yang terdapat diotak.10
Adanya kemiripan pada struktur molekul inilah yang mendasari terjadinya respon
autoimun yang pada demam rematik. Kelainan respon imun ini didasarkan pada reaktivitas
silang antara protein M Streptokokus dengan jaringan manusia yang akan mengaktivasi sel
limfosit B dan T. Sel T yang telah teraktivasi akan menghasilkan sitokin dan antibodi spesifik
yang secara langsung menyerang protein tubuh manusia yang mirip dengan antigen
Streptokokus. Seperti pada korea Sydenham, ditemukan antibodi pada nukleus kaudatus otak
yang lazim ditemukan terhadap antigen membran sel Streptokokus. Ditemukannya antibodi
terhadap katup jantung yang mengalami reaksi silang dengan N-acetylglucosamine,
karbohidrat dari Streptokokus grup A, membuktikan bahwa antibodi bertanggung jawab
terhadap kerusakan katup jantung).11 Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup
A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan
hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.6 Antibodi yang
paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir toksin
bakteri tersebut. Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan
asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3)
Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan
peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat
menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.12
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta
hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin,
tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-asetilglukosamin pada tubuh manusia.
Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya
rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin
dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan
anti protein M. Penelitian tentang genetik marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-
associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever
dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan
dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada
reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan humoral. Dari alel
gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic heart disease pada
lesi-lesi valvular.12
Interleukin-10 (IL-10) adalah sitokin imunoregulator penting yang membantu dalam
mengelola aksi imun melalui efek pleiotropiknya. Lesi valvular pada rheumatic fever akan
dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di
katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan
meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan terbentuk
didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut
mengalami kerusakan.9
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65-70%
kasus).4 Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea
menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang masuk
dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi
akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru
diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama,
gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.9
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat
dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan
dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain, dapat terjadi stenosis dari katup mitral.
Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun
katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang
selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.9
2.6 Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever menunjukan
keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever bergantung pada sistem
organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat tunggal atau merupakan gabungan
beberapa sistem organ yang terlibat.14
a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5 minggu
sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan pernah
mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak
badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan
pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan
muntah.14 Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik,
dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.14
b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria ini
membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.14
Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever .15
Manifestasi mayor Manifestasi minor
Karditis Klinis :
- artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan
bengkak
- demam tinggi (>390 C)
Poliartritis migrans
Chorea sydenham Laboratorium:
- peningkatan penanda peradangan yaitu
erythrocyte sedimentation rate (ESR)
atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Eritema marginatum
Nodul subkutan
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta hemolyticus
grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.4,11
Kriteria Mayor
Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah
poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada
stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak nyaman di
dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan
fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai
dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan
katup jantung dapat dilihat pada tabel 2.16
Tabel 2. Gangguan katub jantung
Gangguan Manifestasi
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
Regurgitasi Mitral
- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung
Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling
sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku,
dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam
sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien
dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga
minggu.16
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan
setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan
keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus
kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai
tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih
labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak
bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat
dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.16
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
12
kurang dari 10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok
seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.14
Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian
kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna
vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa
minggu setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan.
Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat. 11
Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu
2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai
tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.
Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya
meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai
perkembangan penyakit. 17
a. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase
akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-
reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap
darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada
rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan
congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator
dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP
yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif. 18
- Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A
secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.14
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa
digunakan adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease
B/anti DNase B. Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak
terjadi peningkatan akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO
biasanya mulai meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke
3-6 setelah infeksi. Titer ASTO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250
unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2
dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60
unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah. 14
- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala
rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.14
Tabel 4. Pedoman Tirah Baring dan Rawat Jalan pada Pasien Demam
Rematik.21
Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya
rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus
grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing efektif untuk mencegah
rheumatic heart disease yang parah.22
Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5 mcg/kg/hari dosis
pemeliharaan
Diuretik:
0,5 – 2 mg/kg/hari,
Furosemide
0,2 – 0,4 mg/kg/hari
Metolazone
Vasodilator:
Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan, dinaikkan 1,5 – 3
Captopril
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis.
Sodium 0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan bila gagal jantung sulit
nitroprusside dikontrol. Monitor kadar sianida.
Inotropik:
2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
Dobutamine
2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
Dopamine
Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus
e. Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami
kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode
awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar.
Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun
risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar. 14
Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu.
Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa
serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic
fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.