Anda di halaman 1dari 27

Penulis: Tim Penulis Abiummi

Layouter: Wini
Design Cover: Indraloka
Pendahuluan

T idak akan selesai tulisan ini jika kita bicarakan tantang kasih
sayang dan perjuangan besar dari seorang ibu. Mari, kita
perhatikan saja dari hal kecil seperti cara ibu makan saat bersama
dengan kita. Di pagi hari, ibu adalah orang yang akan lebih dulu
bangun untuk menyiapkan makanan dan yang lainnya, namun ia
adalah orang yang paling akhir bergabung di meja makan.
Meskipun ia sedang sakit, ia hanya akan istirahat sedikit
kemudian kembali lagi bekerja. Seolah tubuhnya tidak pernah
diperbolehkan untuk sakit di depan kita.
Coba perhatikan, bukankan ibu yang selalu terakhir menyendok
sisa sup dan sayur? Bukankan ibu yang kehabisan makanan di
piring? Atau dia yang akan memilih bagian kepala ikan agar suami
dan anak-anaknya bisa memakan bagian perut hingga ke buntut?
Belum lagi kebohongan ibu yang tidak pernah kita tahu. Seperti
kalimat, “nggak ah ibu sudah kenyang.” Atau, “Udah kok, ibu udah
makan tadi.”
Ibu adalah orang terakhir dan orang pertama dalam setiap
urusan. Ibu yang selalu pertama membereskan rumah, ibu yang
selalu pertama mencuci baju, mengepel, dan mencuci piring.
Ibu yang selalu ada setiap kali kita terjatuh, sakit, dan bersedih.
Ibu yang pertama kali memastikan kita baik-baik saja. Namun
ibu selalu terakhir dalam hal lainnya seperti istirahat, menyendok
makanan, dan bergabung di ruang keluarga. Dia akan memastikan
pintu sudah ditutup rapat dan memastikan bahwa rumah sudah
nyaman untuk keluarganya.
Dalam e-book kali ini, kamu akan menemukan cerita romantisme
yang terjadi antara penulis dengan ibu mereka. Akan ada suka dan
duka yang terkandung di dalam ceritanya. Selamat membaca. :)
Daftar Isi

Pendahuluan  3
Daftar Isi  5
Ibu dan Kesuksesaan dalam Diamnya   6
Berharganya Setiap Detik Ketika Bersamamu   9
Ekspresi Cinta Wanita Sederhana   13
Ibu, Tetaplah ‘Harum’ Bagiku.  16
Cinta Ibu dalam Setiap Gigit Makanan   21

5
Ibu dan Kesuksesaan dalam Diamnya
Oleh: Achmad A.S.

“Sukses tak harus selalu diiringi ketenaran, berhasil tak mesti


selalu diikuti kemasyhuran.” – Anonim

A dalah kita sebagai manusia yang selalu mengidentikkan


kesuksesan dengan pencapaian pada posisi, jabatan, dan
pangkat tertentu. Juga pencapaian pada materi yang lebih
besar dan lebih hebat dari orang lain. Lalu kemudian kita juga
yang menghubungkan kata sukses dengan ketenaran. Sukses
seolah mesti dikenal banyak orang, harus mendapat pengakuan
dan penghargaan.
Kita dibuat lupa bahwa tujuan hidup bukan pada apa yang
dapat dinilai manusia belaka. Bukan juga pada materi yang
dapat dihitung nilainya. Begitu banyak orang di dunia ini yang
sesungguhnya telah berhasil tanpa limpahan materi namun tak
pernah ingin muncul ke permukaan. Jika pun pada akhirnya
harus, maka itu dianggap hanya sekedar bonus. Baginya hidup
adalah tentang bagaimana berperan pada apa yang dijalani.
Adalah seseorang yang paling dekat atau bahkan yang
paling mengerti kita misalnya. Seseorang yang patut menjadi
contoh ideal dalam berbuat dan bekerja tanpa pernah berpikir
apakah akan ada timbal balik berupa penghargaan atau
materi. Kesuksesannya tak pernah mengenal kemasyhuran,
keberhasilannya tak pernah menuntut digembar-gemborkan.
Ia yang hadir dengan nama yang tak pernah luput dari ingatan

6
kita: Ibu. Ia bisa hadir dengan sebutan yang tak sama di bibir
kita: Ibu, Mamah, Bunda, Emak, Ambu dan lainnya. Juga dengan
nama-nama yang pastinya berbeda pula.
Walau tak banyak orang tahu akan kehebatan ibu masing-
masing dari kita, tapi kita yakin seyakin-yakinnya bahwa ia
adalah wanita paling hebat, berhasil, dan sukses yang pernah
ada, minimal di mata kita. Seperti halnya aku, yang sangat
amat beruntung dibesarkan oleh seorang ibu yang luar biasa.
Ibu telah sukses menghantarkan kita pada titik dimana kita
berada saat ini. Kita merasai dan mengakui bahwa ia telah
berhasil membesarkan anak-anaknya. Mari kita bersyukur jika
merasa seperti itu. Dan mari kita merenung bagi yang belum
merasakannya.
Adalah ibu yang dengan cinta, kasih, dan sayangnya kepada
kita membuat Allah menyamakan ridho-Nya dengan ridho
seorang ibu. Bahkan surga-Nya Dia letakkan di bawah telapak
kaki ibu. Lalu Rasulullah pun menyuruh kita bersujud pada ibu
jika saja manusia diizinkan bersujud pada sesama.
Adalah ibu yang dengan doa-doanya yang dipanjatkan untuk
anak-anaknya hampir setiap malam, berhasil memenuhi langit
hingga mungkin membuat malaikat keheranan. Doa-doanya
terus berkumandang tanpa jeda. Doa orang-orang yang
sedang memuja kekasihnya diam-diam rasa-rasanya kalah
telak. Dengan doanya, ibu membersamai kita sepanjang hayat.
Adalah ibu yang jika kita ceritakan lewat tulisan, ribuan
lembar kertas akan digunakan. Dan jika kita ceritakan melalui
lisan, akan menghabiskan waktu ratusan hingga ribuan jam.

7
Atau bahkan seumur hidup pun kita takkan pernah selesai jika
sengaja membicarakan tentangnya.
Adalah ibu yang dengan mengingat raut wajahnya yang kian
menua, membuat tetes air mata menghiasai bola mata kita dan
mengalir pelan dari ujung pelupuknya. Lalu ketika kemudian
kita renungi dan coba ingat-ingat kebaikannya membuat kita
berderai-derai air mata. Apalagi saat mengingat bahwa kita
belum bisa melakukan yang terbaik untuknya, lebih-lebih
membahagiakannya.
Adalah ibu yang dengan mengingat bagaimana ia
mengandung, menyapih, mengasuh, membesarkan, mengurus,
dan semua yang dilakukannya demi anak-anaknya yang tak
terbalas sepanjang masa, membuat kita menyampaikan ribuan
rasa syukur dan ucapan terima kasih karena telah terlahir dari
rahimnya.
Dan adalah Maesaroh, seorang ibu yang layaknya sebagian
besar ibu lainnya, namanya tak pernah dikenal dunia. Pun ia
tak berlimpah materi dan bergelimang harta. Bukan itu pula
cita-citanya. Tapi di mata Ahmad Dhani Kusuma dan adiknya,
ia adalah orang paling kuat dan paling berhasil membesarkan
dan merawat mereka berdua. Wanita paling berpengaruh dan
sukses yang pernah dikenal selama hidup mereka.

Oleh seorang anak yang tengah merindukan ibunya.

Facebook: Achmad AS (Achmad Anwar Sanusi)


Blog: aasanusi.blogspot.com

8
Berharganya Setiap Detik Ketika Bersamamu
Oleh: Aminah Nur Habibah

P ernahkah kalian diminta untuk cerita tentang kebersamaan


kalian dengan ibu? Kemudian, apakah yang akan kalian
ceritakan? Mungkin, kalian akan menceritakan ibu yang selalu
menyiapkan sarapan di pagi hari, ibu yang selalu menjadi
tempat untuk bercerita, atau ibu yang sering mengajak kalian
makan dan berbelanja bersama.
Aku pernah diminta untuk menceritakan kisahku dengan ibuku
dan aku kehabisan kata-kata untuk menyampaikan hal itu. Ketika
teman-teman yang lain dengan wajah berseri-seri menceritakan
ibunya, aku hanya bisa diam seribu bahasa. Aku hanya bisa
berpura-pura izin ke toilet untuk menghindari perbincangan
bersama teman-temanku mengenai hal itu. Aku hanya bisa
menuju kamar mandi untuk memecahkan tangisku di sana.
Banyak orang yang bisa dengan mudahnya menceritakan
romantismenya dengan ibunya. Namun, aku yang sejak kelas 2
SD tidak tinggal bersama kedua orangtuaku, hal itu cukup sulit
untukku. Ibuku, atau yang biasaku panggil dengan sebutan
“Ummi”, menderita sejenis sakit psikis yang membuatnya
kurang bisa melakukan hal-hal yang seorang “ibu” lakukan
seperti memasak, membersihkan rumah, dan lainnya sejak
kakak pertamaku lahir. Ummi juga menjadi sangat protektif
mengenai kebersihan sehingga dalam sehari bisa saja kami
dimandikan beberapa kali. Semakin memburuknya sakit
Ummi, kedua kakakku dipindahkan ke rumah nenek dan kakek.

9
Sementara itu, aku dan adikku tetap tinggal bersama kedua
orangtuaku.
Aku dan adikku tak pernah dibiarkan keluar rumah oleh Ummi,
kecuali untuk bersekolah atau membeli jajanan di warung.
Sering terlambat sekolah, dikurung terus-menerus di dalam
rumah, dan makan makanan warung tegal (warteg) terus-
menerus membuatku tidak betah tinggal bersama mereka.
Ketika kelas 2 SD, tepatnya sekitar pukul sebelasan malam, aku
merencanakan untuk kabur dari rumah. Aku mengajak adikku
untuk kabur ke rumah nenek, tetapi adikku menolak karena
takut dimarahi orangtua kami. Akhirnya, aku kabur sendirian
sekitar pukul dua belas malam. Sejak saat itu, aku tinggal di
rumah nenek karena orangtuaku takut jika aku kabur lagi.
Semula, aku bahagia tinggal bersama nenek, kakek, dan
kedua kakakku. Aku bisa bebas bermain, tidak terlambat
sekolah lagi, dan bisa makan masakan nenek yang enak.
Namun, semakin lama aku semakin merasakan ada yang kurang
di dalam hidupku. Ya, aku merindukan orang tuaku, terutama
Ummi dengan omelan khasnya. Seringkali aku terbayang wajah
Ummi yang sedang menjerit-jerit karena sakitnya di malam
hari, seperti ketika saat aku tinggal bersamanya.
Aku rindu Ummi, tetapi aku merasa tidak kuat tinggal
bersamanya. Ketika SMP, aku masuk di sekolah tempat Abi
mengajar. Akhirnya, aku mulai paham bagaimana kondisi
keluargaku sejak SMP. Aku mulai mengerti mengapa Umi
bersikap seperti itu dan mulai mengetahui kondisi ekonomi
keluarga kami yang menurun drastis karena sakitnya Ummi.

10
Mulailah sejak itu, aku bertekad untuk menjadi anak yang
berprestasi dan mandiri sehingga tidak merepotkan orang tua.
Waktu terus berlalu dengan jarak yang tetap membentang
di antara aku dan Ummi. Kini, aku sudah berumur 19 tahun
dan sedang berkuliah di universitas yang menyandang nama
negara. Sudah 13 tahun aku tidak tinggal bersama Ummi dan
Abi. Disebabkan sakitnya, aku hanya bisa bertemu dengan
Ummi sekitar 4—7 kali setiap tahunnya, tergantung dengan
kestabilan emosi Ummi.
Kini, jika aku diminta untuk menceritakan bagaimana
kisah kebersamaanku bersama ibu, aku sudah tahu akan
menceritakan apa. Cerita cintaku tentang Ummi ialah tentang
bahagianya bertemu dengan Ummi. Ketika yang lain bisa
bertemu dengan ibunya setiap hari, pertemuanku yang jarang
dengan Ummi membuat setiap detik bersamanya terasa begitu
berharga. Bagiku, bisa bertemu dengan Ummi adalah suatu
kenikmatan yang tak bisa tergantikan. Pertemuan yang jarang
ini tidak pernah kusia-siakan dan setiap detik yang terlewati
saat bersama Ummi menjadi saat yang kurindukan. Dalam
doa-doa yang senantiasa kupanjatkan, ada doa yang selalu
kukhususkan hanya untukmu, Ummi. Perjuangan ini masih
berlanjut, kita takboleh menyerah. Atas segala takdir yang
telah Allah tetapkan, pasti akan selalu ada hikmah untuk kita,
percayalah.

11
Ibuku sering berkata padaku, “Maafin Ummi yang ga bisa
jadi Ummi yang baik seperti ibu-ibu lainnya. Ami dan lainnya
jadi harus bersabar dengan sakit Ummi. Ummi juga masih
berusaha untuk sembuh, tolong doain Ummi.” Ummi, bagiku,
kau tetaplah ibu yang terbaik dan aku bangga mempunyai
ibu sepertimu. Jangan pernah berhenti berusaha dan berdoa
karena Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.

Facebook: Aminah Nur Habibah


Blog: aminurhabibah.tumblr.com

12
Ekspresi Cinta Wanita Sederhana
Oleh: Asma Nabila

A ku ingin bercerita. Tentang seorang wanita. Terlahir lebih dari


46 tahun lalu. Selama masa studinya, SD, SMP, SMA selalu
mendapat peringkat terbaik, juara umum di sekolah. Kuliah di
tempat impian kebanyakan orang pada masanya, Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara, atau biasa disebut STAN. Saat kuliah, hidayah
menyapanya. Dia mulai berjilbab dan mengikuti pengajian
rutin. Visi hidupnya berubah. Sebelum itu, kerja di Departemen
Keuangan merupakan tujuannya setelah lulus kuliah. Namun, dia
berpikir tentang kontrak yang diembannya apabila dia memilih
bekerja. Berpuluh tahun terikat kontrak, dengan jam kerja yang
super padat. Dia berpikir tentang nasib anaknya kelak. Waktu
untuk mendidik anaknya pasti akan sangat terbatas. Dia memilih
untuk tidak mengambil kontrak kerjanya.
Kemudian dia menikah, dan delapan anak terlahir dari
rahimnya. Semua anak dididiknya sendiri, tanpa bantuan
pembantu, apalagi baby sitter. Mendidik anaknya dengan
pondasi dasar keimanan. Menekankan tentang kewajiban
sholat, mengajar anaknya membaca Alquran, mengajari
membaca, mengajar anaknya mencintai ilmu, menjauhkan
anaknya dari input negatif, disortirnya setiap buku bacaan yang
akan dibaca anaknya, dibuat aturan tegas tentang pembatasan
menonton televisi di rumahnya. Kami tidak diizinkan menonton
film, sinetron, musik, apalagi gossip. Ia hanya mengizinkan
kami menonton berita dan kartun anak. Sebatas itu.

13
Dia wanita sederhana, pendiam, dan sedikit kaku. Tak
pernah berkata sayang, apalagi mengungkapkan cinta. Juga
tak terbiasa dengan pelukan. Tak pernah ribut-ribut bertanya
kabar tentang anaknya. Tak pernah sekalipun keluar kata kasar
dari mulutnya. Tak pernah membentak, apalagi memukul. Tak
pernah memaksa anaknya dengan keinginan duniawi. Cukup
mengingatkan anak-anaknya untuk tetap setia di jalan-Nya.
Wanita itu mengajarkan anaknya makna cinta yang
sesungguhnya. Dalam diamnya. Dalam setiap pengorbanan
yang dia berikan. Dalam setiap keteladanan yang dia lakukan.
Sang anak ingat betul, tiga belas tahun tahun lalu, setiap
harinya wanita itu mengantar anak-anaknya pergi ke sekolah
dengan sepeda. Meskipun kebanyakan orangtua lain
menggunakan mobil.
Wanita itu juga selalu datang ke sekolah setiap menjelang
masa ujian sekolah anaknya, untuk mengambil kartu ujian yang
tertahan akibat penunggakan SPP. Wanita itu selalu datang
mengambil raport anaknya satu persatu, tak peduli berapa
pun hasil yang diperoleh sang anak. Ia tak pernah menuntut
anaknya memiliki prestasi yang sama saat dirinya bersekolah
dulu, menjadi juara kelas. Namun selalu menomorsatukan
kepentingan anaknya alam hal apa pun. Dan jika dia memiliki
uang, tak sekalipun dipakainya untuk membeli kebutuhan
untuk dirinya sendiri. Selalu, untuk kebutuhan anaknya.
Wanita itu selalu bangun dini hari. Setelah tahajud dan
membaca Alquran, wanita itu membuat kue untuk dijual
keesokan harinya. Tak lupa sesekali menenangkan anak
terkecilnya yang baru berumur satu tahun yang sesekali

14
terbangun. Hari-harinya tidak hanya dilewatkan untuk
mengurus keluarganya saja. Wanita itu tetap aktif berdakwah
dan membina, dalam keadaan apa pun.
Kebanyakan anaknya sudah besar. Tiga diantaranya telah
melanjutkan perguruan tinggi negeri dengan beasiswa. Dua
anaknya yang lain, tinggal di pesantren. Wanita itu tak pernah
memaksa anak-anaknya untuk berdiam di rumah, untuk
membantunya. Dibiarkan semua anaknya memilih jalan dan
mimpinya masing-masing, selama tak bersinggungan dengan
aturan-Nya.
Wanita itu ibuku. Aku memanggilnya Ummi. Selama 23
tahun aku menjadi anaknya, dia mengajariku arti nyata
tentang ketulusan. Mengajariku bagaimana untuk tetap tegar.
Mengajarkanku akan konsep utuh tentang keimanan dan
kesabaran. Meyakinkanku betapa Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Bahwa Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang sungguh akan memberikan takdir-Nya yang terbaik.
Bahwa akan selalu ada hikmah dibalik ketetapan-Nya. Sepahit
apa pun. Bahwa seperti apa pun perlakuan orang lain terhadap
kita, tugas kita hanyalah berbuat baik.
Terlahir sebagai anaknya, memilikinya, membersamainya,
menjadi saksi hidupnya, adalah salah satu nikmat terbesar
yang tak pernah berhenti kusyukuri hingga hari ini. Dan doaku,
semoga kebersamanku dengannya tidak hanya di dunia, namun
juga di akhirat kelak. Menjadi keluarga di surga-Nya. Amin.

15
Ibu, Tetaplah ‘Harum’ Bagiku.

Oleh: Hisni Munarifana

S ejak dulu, saya selalu diceritakan tentang putri yang


menikah dengan sang pangeran. Kini, saya tahu satu hal
kalau ada satu kisah tentang seorang ibu yang mengabdikan
dirinya untuk suami dan anak-anaknya. Dan, saya melihatnya
sendiri. Beliau adalah ibu saya.
Dulu, saya masih berpikiran sederhana. Bagaimana pun
galaknya Ibu, selalu ngedumel, atau bahkan mengatakan “ini
nggak boleh atau itu nggak boleh”. Ibu tetap memiliki kedudukan
sebagai wanita paling atas dalam keluarga. Dialah wakil dalam
kerajaan rumah tangga. Dia juga yang mengawasi anggota
keluarga sekaligus memberikan semua kasih sayangnya.
Kini, saya tahu kalau ibu bukannya galak, tapi dia memberi
tahu sesuatu yang salah dengan caranya sendiri. Saya juga tahu
kalau ibu tidak ngedumel, tapi dia tahu kadang anak-anaknya
asyik dengan kesehariannya sehingga dia merasa diabaikan.
Saya juga sangat tahu kalau beliau tidak bermaksud melarang
apa pun yang saya lakukan, hanya saja dia tidak ingin saya
terjerumus ke jalan yang salah berlarut-larut. Seperti, jangan
lupa salat, jangan lupa berdoa saat keluar rumah, ingat kalau
harus rendah hati bukan rendah diri, dan masih banyak lagi.
Saat ibu menikah dengan ayah pada 1983, mereka tidak
diliputi rasa cinta yang sering ditunjukkan oleh orang-orang
kasmaran di medsos. Yang saya tahu, atau saya lihat di status-
status mereka. Ibu mengabdi kepada ayah hingga sekarang.

16
Bukan karena sebagai kepala keluarga, melainkan ayah adalah
suaminya. Suami yang akan menjadi ayah bagi anak-anak
yang dikandungnya. Kepatuhan seorang istri juga sebagai
seorang ibu. Namun, waktu memang bisa membuat Ibu saya
menyayangi Ayah apa adanya. Ibu mendampingi Ayah dengan
segala suka duka yang mereka lewati. Bahkan, mungkin lebih
dari yang aku ketahui selama ini.
Dalam keluarga, pasti semua orang pernah mengalami
pasang surut suatu keluarga. Entah, adanya broken home,
faktor ekonomi yang sulit, atau masalah lain yang mengubah
cara pandang anak-anaknya. Keluarga saya tergolong masih
dalam tahap baik-baik saja. Alhamdulillah, kami bukan
keluarga broken home. Tak ada cerita ayah selingkuh dengan
perempuan lain, lalu menduakan ibu. Mungkin, ada histori
tersendiri, tapi bukan ayah pelakunya. Histori itu datang dari
tetua-tetua keluarga, seperti kakek yang sudah menutup usia
sejak saya masih duduk di bangku SD. Walaupun begitu, kakek
tetap menyayangi istrinya, yang saya panggil Ibu Datun. Kini,
beliau pun sudah beristirahat dengan tenang sejak 2009.
Ibu sering mengatakan, “Ayah kamu nggak pernah
bersikap romantis.”
Saya hanya menimpali, “Mungkin Ayah punya caranya
sendiri menunjukkan romantisme.”
Dalam benak saya, saya sering melihat orang tua teman-
teman selalu menunjukkan kekhawatiran satu sama lain.
Meskipun, nggak lebay kayak anak-anak yang baru gede pada
masa kini. Setelah saya pikir-pikir lagi, “buat apa kata-kata manis
sebagai pujian atau rayuan gombal untuk menyenangkan

17
hati ibu. Buat apa rangkaian bunga yang ditujukan kepada
ibu saat perayaan pernikahan mereka. Kalau ternyata banyak
pernikahan yang tumbang hanya karena pasangan tersebut
terlalu memaksakan keromantisan dalam rumah tangga. Banyak
hal yang dipaksakan. Karena ayah memang bukan pujangga,
juga ibu bukanlah Juliet yang berperan dalam drama roman.
Ini kehidupan yang mereka jalani. Mereka hidup berbahagia,
juga memiliki kami—anak-anak mereka.
Saya juga pernah marah besar hanya karena orangtua
saya mengizinkan kedua adik saya menikah lebih dulu. Tahu
rasanya? Seperti dikhianati. Berlembar-lembar tisu basah karena
air mata memenuhi keranjang sampah di dekat kamar. Namun,
waktu memang bisa mengeringkan air mata. Perlahan-lahan,
saya menerima keputusan itu. Saya berusaha mengabdi seperti
yang dilakukan ibu saya, dan menerima anggota keluarga baru
kami. Yang memang menambah rasa bahagia ibu, dengan
adanya cucu-cucunya yang lucu. Begitu juga dengan saya.
Walau begitu, ada banyak cerita yang bisa saya kenang saat
hari tua nanti, karena ibu juga sangat suka bercerita tentang
masa lalu atau masa kini. Kalau saya sedang berada di rumah,
Sabtu dan Minggu, ibu mulai dengan romantisme versinya
itu. Maka dari itu, saya lebih suka tinggal di rumah sekarang-
sekarang ini saat libur. Dan, ada satu cerita yang menjadi favorit
saya, dan tak begitu mengharukan melainkan akan membuat
saya tertawa. Bagaimana tidak, ibu menceritakannya sambil
membuat guyonan, seakan cerita itu memang untuk dikenang
dan ditertawakan, bukan disesali apalagi ditangisi. Dibalik
cerita itu, ada pesan yang saya dapatkan.

18
Begini ceritanya,
“Kamu pernah dengar cerita ini, gak? Ibu Datun kayaknya
suka banget sama cerita ini.” Kata Ibu.
“Cerita apa?” Jawabku, sambil meletakkan ponsel di meja,
lalu mulai bersiap mendengarkannya.
“Gini, waktu itu kan lagi zaman-zamannya sulit. Indonesia
baru merdeka. Kamu juga masih kecil. Engkong Mursalih
juga masih ada, dan masih muda, begitu juga Ibu Datun.
Ada kejadian kalau ranjau-ranjau yang masih tertanam bekas
perang meledak. Kejadiannya seperti perang terjadi lagi. Semua
orang takut, dan berlarian. Bahkan, Engkong kamu yang hanya
pakai sarung dan kaus bolong, melompat dari atap genteng.
Setelah turun, langsung teriak ‘ada perang’ dan meminta Ibu
menggendong kamu keluar. Kamu juga masih belum pakai
apa-apa, lalu Ibu hanya mengambil kain bedong, melilitkannya,
dan membawa kamu keluar bersama rombongan. Ibu Sita
juga begitu, malahan terpisah dengannya di tengah jalan. Ibu,
Ayah, Engkong, dan Ibu Datun malah membopong Bang Kiki
dan Enyak Eneng. Bang Kiki juga memang ‘anak’ Ibu karena dia
sering memanggil Mama ke Ibu.” Lanjut Ibu.
Sekilas, saya merasa Bang Kiki itu saudara kandung, bukan
sepupu, ya.
“Kami terus berjalan untuk mengungsi hingga ke daerah
Depok yang dulunya hutan lebat. Kami tinggal sementara di
sana. Setelah beberapa bulan kemudian, kami kembali ke
daerah asal karena merasa sudah aman. Kami memulai lagi
hidup berkeluarga.” Ibu menyelesaikan ceritanya sambil makan
biskuit kelapa.

19
“Lalu, ranjau-ranjau itu di mana? Sudah meledak semua?”
Tanyaku saya sambil nyomot biskuit kelapa dari toples.
“Sudah diamankan di gudang persenjataan di daerah Priuk.”
Jawab ibu sambil menikmati biskuit keduanya.
“Lalu, Ibu sita kok bisa ketemu?” Tanya saya lagi. Saya melihat
tinggal satu biskuit di toples.
“Alhamdulillah, masih jodoh sama keluarga. Akhirnya, ketemu
saat balik ke lenteng lagi.” Jawab Ibu. Dia sepertinya tahu kalau
saya mengincar biskuit terakhir. Dia memberikannya.
Itulah Ibu yang romantis, bagaimana pun sifat dan sikap anak-
anaknya. Dia akan memberikan apa pun yang anak-anaknya
inginkan, termasuk makanan kesukaannya.
Well, sempatkanlah memeluk dan mencium keningnya,
karena kamu nggak akan pernah tahu kapan terakhir bisa
melakukannya.

Facebook: Hisni Munafarifan


Blog: morita-t.tumblr.com

20
Cinta Ibu dalam Setiap Gigit Makanan
Oleh: Mesa Dewi

S ejak kecil hingga lulus SD, ibu melarangku untuk membeli


jajanan di warung atau pedagang kaki lima. Baik di sekolah
maupun di rumah. Terbayangkah bagaimana ekspresiku
saat melihat teman-teman dengan warna-warni jajanan
yang dibelinya? Saat melihat teman-teman menyerbu bapak
penjual es sirup, aku berusaha menahan kakiku untuk tidak
turut berlari. Saat duduk bersama teman-teman yang makan
cilok bersaus kacang, aku hanya menahan nafas supaya aroma
gurihnya tak terbawa sampai alam mimpi. Saat melihat teman-
teman mencocolkan gorengan ke sambal petis beralas kertas,
aku mencoba mengalihkan pandangan ke bekal makanan
yang dibawakan ibu dari rumah sambil membayangkan betapa
renyahnya gorengan panas itu. Ah, anak kecil memang sangat
gampang melihat hijaunya rumput tetangga, hehe.
Meski aku merasa jajanan yang dijajakan di sekolah sangat
enak, aku tak berani melayangkan protes ke ibu dan merengek
supaya diperbolehkan membelinya. Karena sebenarnya aku
paham, meski (terkesan) enak, jajanan tersebut tidak sehat.
Terlebih, tubuhku semacam memiliki alarm pertahanan terhadap
bahan-bahan makanan yang berbahaya. Jika mengonsumsi
makanan yang mengandung penyedap rasa berlebih, aku
mudah mengalami pusing kepala. Jika minum minuman yang
di dalamnya ditambahkan pemanis buatan, malam harinya aku
tidak akan dapat tidur nyenyak karena batuk yang tertahankan.

21
Aku lebih memilih untuk bersabar dan mengikuti aturan ibu
daripada harus berjumpa dengan penyakit-penyakit itu. Maka,
aku hanya menceritakan pada ibu betapa segarnya seplastik es
sirup berwarna-warni itu, betapa renyahnya gorengan panas
dengan cocolan sambal petisnya, atau betapa gurihnya aroma
mie kering bertabur penyedap rasa yang selalu teman-teman
konsumsi di jam istirahat. Mendengar luapan perasanku, ibu
tersenyum dan menawarkan, “Mba kepengen? Gimana kalo
kita bikin sendiri lalu main jual-jualan? Ibu jadi penjualnya,
nanti mba sama adik beli, ya…”
Sontak mataku berbinar dan menyambutnya dengan riang,
ibu memang selalu menemukan solusi dari kegundahan
hati anaknya. Segera saja aku sambut tawaran menarik itu.
“Mauuu buuuu…” Jawabku lantang seraya mencari adik untuk
mengajaknya turut serta.
Permainan drama pun dimulai. Latar yang digunakan
adalah dapur sebagai tempat produksi sekaligus tempat
ibu menjajakan makanan. Kulkas pun turut berpartisipasi
sebagai penyimpan jus dan es batu yang akan aku beli nanti
dari “Warung Ibu”. Aneka gorengan ibu buat, juga bakso hasil
gilingan sendiri. Tak lupa daftar menu beserta harganya, juga
beberapa koin receh sebagai alat transaksi kami.
Setelah persiapan selesai, aksi jual-beli layaknya penjual
makanan di sekolah pun kami mulai,

22
Aku : “Bu, tumbaaaas.. Es jus jambu kaliyan bakso nggeh…
Pintenan bu?”
Ibu : “Es jus sewu, baksone yo sewu. Dadi rong ewu yo nduk.”
Aku : “Oh, nggeh. Niki bu. Maturnuwun.”
Ibu : “Iyo, Nak.”
Seusai membeli, aku dan adikku duduk bersama, mengobrol
santai dengan percakapan layaknya anak sekolah di jam
istirahat. Sesekali kami tertawa kecil bersama karena merasa
geli dengan tingkah konyol kami ini. Kami bahagia. Simulasi
jual-beli itu cukup menjawab rasa penasaranku akan keasyikan
membeli jajanan. Dengan permainan ini, aturan ibu tetap
tertegakkan, dan kami tetap mengonsumsi jajanan yang sehat.
Kami senang, ibu riang. :D
Ibu memang memberikan uang saku padaku, tapi bukan
uang jajan. Uang saku itu hanya boleh kugunakan untuk
menghubungi rumah via wartel, untuk menabung di sekolah
atau hal mendesak lainnya, tentunya selain membeli jajanan.
Sebagai gantinya, ibu berupaya membawakan jajanan dan
makan siang yang sehat dan variatif untukku selama di
sekolah. Ibu memang memiliki passion di bidang memasak.
Beliau rajin mencatat aneka resep makanan dan kue, membuat
kliping resep yang beliau temukan di majalah, serta telaten
membuatkannya untuk kami. Tak jarang beliau membawakan
dalam porsi yang agak banyak. Pesan beliau, bekal itu dimakan

23
bersama dengan teman-teman. Tentu saja ini membuatku dan
teman-teman sangat senang. Kala itu, anak yang membawa
bekal ke sekolah masih sangat jarang. Bahkan di kelas, hanya
aku yang tak pernah membeli jajanan. Ragam makanan variatif
yang beliau bawakan sebagai bekal sekolah, mencegahku
dari kebosanan dan membuatku dapat mematuhi aturannya
dengan nyaman.
Ibu memang romantis dalam setiap hal, bahkan dalam setiap
gigitan :D

Facebook: Mesa Dewi


Blog: griyariset.blogspot.co.id

24
Penutup

T erimakasih telah membaca semua ceritanya. Dari semua


kisah ini, kamu jadi tahu bukan? Bahwa romantisme ibu akan
terasa jika kita mau mencarinya. Mau sedikit lebih peka bahwa
semua yang ia ekspresikan adalah bentuk cinta. Jika ibu dulu
pernah mengomel karena kita jatuh dari sepeda. Itu bukan karena
dia kesal, tapi karena dia khawatir. Ibu adalah orang yang sering
mengalah, bahkan untuk sebutir biskuit kelapa yang tinggal satu-
satunya. Jika kita mau, ibu akan memberikannya kepada kita meski
ibu masih ingin memakannya. Begitulah rasa sayang dalam bentuk
spontanitas yang ibu tunjukan. Ibu, yang sering mengomel dan
mengalah ini sangat romantis bukan? Dia memberikan perhatian
dengan dan tanpa sadarnya.
Sangatlah sayang jika rasa cinta dan pengabdianmu hanya kau
tunjukan di hari ini saja. Ibu berhak mendapatkan baktimu di setiap
hembusan nafasnya. Ibu berhak mendapatkan lebih dari sekedar
ucapan selamat atau seikat bunga. Selamat berbakti pada ibu
setiap hari melalui untaian doa kan ekpresi kasih sayang lainnya. :)
Terimakasih telah mendowload Freemium Ebook Abiummi.com.

Untuk mendapatkan tips dan trik seputar parenting dan informasi

launching e-book freemium lainnya, silakan daftarkan diri Anda ke

link berikut ini:

http://abiummi.com/daftar/

dan untuk download free e-book lainnya bisa cari di link berikut ini:

http://abiummi.com/e-book/

Terimakasih ^_^

Anda mungkin juga menyukai