Anda di halaman 1dari 127

BAB I

PENGENALAN KONSEP SISTEM KONTROL

1.1 Konsep Dasar Sistem Kontrol


Dewasa ini kontrol automatik telah memegang peranan penting
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kemajuan pada teori kontrol dan
praktis yang sangat pesat memberikan kemudahan dalam mendapatkan
unjuk kerja sistem dinamik, mempertinggi kualitas, menurunkan biaya
produksi, mempertinggi laju produksi, dan meniadakan pekerjaan-pekerjaan
rutin dan membosankan yang biasa dilakukan manusia maka diperlukan
pemahaman yang baik pada bidang ini.
Pada umumnya suatu sistem apapun yang berada di alam ini
mempunyai ciri-ciri, diantaranya terdapat tujuan tertentu pada sistem itu.
Selain itu, adanya berbagai komponen pada sistem tersebut, pada komponen-
komponen tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang merupakan
suatu kesatuan. Dengan kata lain, sistem terdiri atas komponen-komponen
yang mempunyai fungsi masing-masing dan saling bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Sistem kontrol merupakan proses pengaturan atau pengendalian
terhadap satu atau beberapa besaran (variabel, parameter) sehingga
didapatkan suatu harga atau didapatkan harga-harga dalam suatu range
(jangkauan ) tertentu.
Sistem kontrol juga merupakan sebuah sistem dimana komponen-
komponennya dihubungkan sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah
konfigurasi sistem. Sistem kontrol tersebut mengatur sistemnya sendiri atau
sistem yang lain sehingga didapatkan tanggapan sistem yang diinginkan.
Pemakaian sistem kontrol banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-
hari baik dalam pemakaian langsung maupun tidak langsung. Sistem kontrol
tersebut umumnya merupakan sistem yang pengontrolannya menggunakan
cara manual otomatis.
Sistem kontrol otomatis merupakan sistem kontrol loop tertutup
dengan acuan masukan atau keluaran yang dikehendaki dapat konstan atau
berubah secara perlahan dengan berjalannya waktu. Tugas utama sistem
kontrol adalah menjaga keluaran yang sebenarnya pada harga yang
diinginkan dengan adanya gangguan dalam sistem. Sebagai contoh sistem
kontrol otomatis adalah sebagai berikut:
a. Pengontrolan proses, misalnya pengontrolan temperatur, aliran,
tekanan, tinggi permukaan cairan, pH, dan sebagainya.
b. Pembangkit tenaga listrik, misalnya pengaturan tegangan,
frekuensi, dan sebagainya.
c. Pengontrolan numerik yaitu pengontrolan operasi yang
membutuhkan ketelitian tinggi dalam proses yang berulang-ulang.
Misalnya pembuatan lobang, tekstil, pengelasan, dan sebagainya.

1
Sistem :
- mempunyai tujuan
- terdiri dari komponen - komponen
- komponen-komponen tersebut
d. Transportasi, misalnya mempunyai
elevator, fungsiban
eskalator, berjalan, kereta api,
masing-masing yang merupakan suatu kesatuan
pesawat terbang, dan sebagainya.
e. Servomekanis
f. Bidang
1.1.Konsep non
Dasar teknik,
Sistem misalnya bidang ekonomi, sosiologi, dan
Kontrol
biologi.
Sistem kontrol adalah hubungan antara komponen-komponen
Sebagai
yang dasar sebuah
membentuk dalam konfigurasi
menganalisis dan
sistem mendesain sistem kontrol
untuk
adalah mendapatkan
dengan menggunakan
tanggapan teori
sistemsistem linier. Plant atau proses yang akan
yang diinginkan
dikontrol dapat direpresentasikan oleh hubungan sebab akibat, hal tersebut
Dasar untuk menganalisis dan mendesain sistem kontrol
dapat dilihat dalam Gambar 1.1. Input merupakan sesuatu yang diinginkan
adalah teori sistem linier
dalam sistem kontrol, sedangkan output merupakan sesuatu yang terjadi atau
merupakan
Plant tanggapan
atau prosessistem.
yang akan dikontrol
dapat direpresentasikan oleh hubungan sebab akibat
input output
plant atau proses 1
Gambar 1.1 Hubungan Sebab Akibat dalam Sistem Kontrol.

1.2 Klasifikasi Sistem Kontrol


Sistem kontrol dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara,
diantaranya adalah sebagai berikut.

1.2.1 Sistem Loop Terbuka dan Loop Tertutup


Sistem loop terbuka menggunakan peralatan penggerak untuk
mengontrol proses secara langsung tanpa umpan balik. Pada sistem ini harga
keluaran sistem tidak dapat dibandingkan terhadap harga masukannya.
Dengan kata lain keluaran tidak memberikan efek terhadap besaran masukan
atau variabel yang dikontrol tidak dapat dibandingkan terhadap harga yang
diinginkan. Umumnya masukan sistem dipilih berdasarkan pengalaman.
Sistem loop terbuka mempunyai ciri-ciri, diantaranya sederhana, harganya
murah, dapat dipercaya, dapat kurang akurat karena tidak terdapat koreksi
terhadap kesalahan, dan berbasis waktu.
Salah satu contoh sistem loop terbuka adalah sistem pengaturan
temperatur ruangan. Untuk mendapatkan temperatur yang diinginkan,
operator menggunakan pengalamannya untuk mengeset daya yang
dibutuhkan sistem agar keluaran sistem yang berupa temperatur ruangan
sesuai dengan temperatur ruangan yang diinginkan. Hal tersebut dapat
digambarkan dalam
Contoh Loop bentuk diagram balok seperti yang terlihat dalam
Terbuka
Gambar 1.2.
input output
Plant
(pengesetan daya 1 KW atau 2 KW) (temperatur ruangan)

2
Gambar 1.2 Diagram Balok Sistem Loop Terbuka Sistem
Pengaturan Temperatur Ruangan.

Contoh sistem loop terbuka yang lain adalah sistem pengaturan


permukaan cairan dalam tangki (lihat Gambar 1.3). Pada sistem tersebut
diinginkan tinggi permukaan cairan, h, tetap walaupun fluida pada katub K1
berubah-ubah. Hal tersebut dapat dicapai dengan pengaturan secara manual
pada katub K2 pada waktu tertentu sesuai pengalaman operator.
Pengenalan Konsep Sistem Pengaturan
K2
Sistem Pengaturan Loop Terbuka
contoh :
* sistem pengaturan permukaan tangki

K1 h
- h tetap walau aliran fluida
pada katub K1 berubah-ubah
Gambar 1.3 Sistem Pengaturan Permukaan Cairan dalam Tangki.
- dicapai dengan pengaturan secara
manual pada katub K2 pada
Sistem tersebut dapat digambarkan dengan diagram balok
waktu sebagai seperti
tertentu
terlihat dalamDiagram
GambarBalok
1.4. :

input Sistem Pengaturan output


(h yang diinginkan) (katub K2 dan operator) (h sesungguhnya)

Gambar 1.4 Diagram Balok Sistem Loop Terbuka Sistem


Pengaturan Permukaan Cairan dalam Tangki.

Sistem pengaturan peluncur rudal juga merupakan contoh sistem loop 7


terbuka (lihat Gambar 1.5). Pada sistem ini yang diinginkan adalah
pengaturan sudut peluncur rudal sesuai dengan jarak atau tujuan yang
diinginkan. Dalam hal ini komando berupa sinyal dari potensiometer yang
merupakan sinyal untuk menggerakkan peluncur rudal. Sinyal kontrol
diperkuat sehingga dapat menggerakkan motor yang terhubung dengan
peluncur rudal.

3
Pengenalan Konsep Sistem Pengaturan
Sistem Pengaturan Loop Terbuka
* sistem
+V pengaturan peluncur rudal
Sinyal Penguat
Motor
+v kontrol Daya
Lokasisinyal Penguat
Motor
-V
remotekontrol Daya
-v
lokasi
remote

- posisi1.5
Gambar sudut peluncur
Sistem rudal diatur
Pengaturan Posisi Sudut Peluncur Rudal.
- komando (potensiometer) untuk menggerakkan peluncur rudal
Sedangkan- sinyal
diagram balok
kontrol sistem pengaturan
diperkuat posisi
menggerakkan motorsudut peluncur rudal
yang terhubung dengan peluncur
tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1.6.
input Sistem Pengaturan output
(posisi sudut yang dikehendaki) (Penguat daya & Motor) (posisi sudut yang terjadi)

Gambar 1.6 Diagram Balok Sistem Pengaturan Posisi Sudut


Peluncur Rudal.
8
Agar posisi sudut tersebut akurat, maka pada sistem loop terbuka tersebut
harus memenuhi syarat-syarat diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Peluncur rudal harus dikalibrasi secara tepat dengan referensi
posisi sudut potensiometer.
b. Karakteristik potensimeter, penguat, motor harus konstan.

Sistem loop tertutup menggunakan pengukuran keluaran dan


mengumpanbalikkan sinyal tersebut untuk dibandingkan dengan keluaran
yang diinginkan (input atau referensi). Atau dengan kata lain keluaran dapat
memberikan efek terhadap besaran masukan atau besaran yang dikontrol
dapat dibandingkan terhadap harga yang diinginkan. Sinyal
diumpanbalikkan terhadap kontroler yang akan membuat pengubahan
terhadap sistem agar keluaran sistem seperti yang diinginkan
Perbandingan sistem loop tertutup terhadap loop terbuka adalah sebagai
berikut:
• Lebih kompleks
• Harga yang lebih mahal
• Lebih dapat dipercaya
• Biasanya lebih akurat

4
Pengenalan Konsep
Suatu proses Sistem
dalam sistem Kontrol
loop tertutup secara fungsional
dapat dinyatakan dalam diagram balok, seperti terlihat dalam Gambar
1.7.Block Diagram of a feedback control system
Disturbance
u
Reference Actuating Manipulated Controlled
Input Signal Control Variable Output
Plant
r + e=r b Element :g1 m g2 c
forward path

b
Feedback
Elements
h
feedback path

Gambar 1.7 Diagram Balok Sistem Loop Tertutup.

Secara umum, komponen sebuah sistem kontrol loop tertutup terdiri dari :
a. Reference Input (masukan acuan, r), merupakan sinyal acuan bagi
sistem kontrol. 14
b. Actuating Signal (e), merupakan sinyal kesalahan/error. yang
merupakan selisih antara sinyal acuan (r) dan sinyal b.
c. Control Element, (g1) merupakan elemen yang berfungsi untuk
memproses kesalahan/error yang terjadi dan setelah kesalahan
tersebut dimasukkan melalui elemen pengontrol.
d. Manipulated Variable (variabel yang dimanipulasi), merupakan
sinyal yang dihasilkan oleh control element yang berfungsi sebagai
sinyal pengontrol tanpa adanya gangguan.
e. Plant/proses, merupakan obyek fisik yang dikontrol, dapat berupa
proses mekanis, elektris, hidraulis maupun gabungannya.
f. Disturbance, merupakan sinyal gangguan yang tidak diinginkan.
g. Feedback Element (jalur umpan balik), merupakan bagian sistem
yang mengukur keluaran yang dikontrol dan kemudian
mengubahnya menjadi sinyal umpan balik.
h. Forward Path, merupakan bagian sistem tanpa umpan balik.

Dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai berbagai jenis sistem


kontrol, diantaranya sistem mekanis, elektris, thermis ataupun gabungannya.
Pada dasarnya sistem tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram
balok. Diagram balok sistem kontrol loop tertutupnya dapat dilihat dalam
Gambar 1.8 berikut:

5
1.1 Sistem Kontrol Loop Tertutup

Blok diagram sistem kontrol menggunakan feed back

sumber daya gangguan

Respons
deteksi (keluaran)
Alat Kontrol Beban
input kesalahan
(masukan) forward path

umpan balik
feedback path

Gambar 1.8 Diagram Balok Sistem Kontrol menggunakan Feedback /


Umpan Balik.

Komponen sistem kontrol loop tertutup tersebut terdiri dari


komponen-komponen sebagai berikut: 12
a. Input (masukan) merupakan rangsangan yang diberikan pada sistem
kontrol, merupakan harga yang diinginkan bagi variabel yang
dikontrol selama pengontrolan. Harga ini tidak tergantung pada
keluaran sistem.
b. Output (keluaran, respons) merupakan tanggapan pada sistem
kontrol, merupakan harga yang akan dipertahankan bagi variabel
yang dikontrol, dan merupakan harga yang ditunjukkan oleh alat
pencatat.
c. Beban/plant merupakan sistem fisis yang akan dikontrol (misalnya
mekanis, elektris, hidraulik ataupun pneumatik).
d. Alat kontrol/kontroller merupakan peralatan/rangkaian untuk
mengontrol beban (sistem). Alat ini bisa digabung dengan penguat.
e. Elemen umpan balik menunjukkan atau mengembalikan hasil
pencatatan ke detektor sehingga bisa dibandingkan terhadap harga
yang diinginkan (di stel)
f. Error detector (alat deteksi kesalahan) merupakan alat pendeteksi
kesalahan yang menunjukkan selisih antara input (masukan) dan
respons melalui umpan balik (feedback path).
g. Gangguan merupakan sinyal-sinyal tambahan yang tidak diinginkan.
Gangguan ini cenderung mengakibatkan harga keluaran berbeda
dengan harga masukannya. Gangguan ini biasanya disebabkan oleh
perubahan beban sistem, misalnya adanya perubahan kondisi
lingkungan, getaran ataupun yang lain.

Sebagai contoh sistem loop tertutup adalah sistem pengaturan


temperatur ruangan otomatis. Diagram balok sistem tersebut dapat dilihat
dalam Gambar 1.9.

6
Contoh Loop Tertutup

Pengesetan daya yang diharapkan

input + output
Kontroler Plant
(temperatur ruangan - (temperatur ruangan)
yang diharapkan)
Pengukuran
Temperatur

Gambar 1.9 Diagram Balok Sistem Pengaturan Temperatur Ruangan


Otomatis.

Sistem pengaturan permukaan cairan dalam tangki secara otomatis


juga merupakan sistem loop tertutup seperti terlihat dalam Gambar 1.10.
Dalam sistem tersebut diinginkan tinggi permukaan cairan dalam tangki, h,
tetap walaupun aliran fluida pada katub K1 berubah-ubah. Jika permukaan
tangki tidak sesuai dengan yang diinginkan, akan terbentuk tegangan error e.
Tegangan e diperkuat sehingga dapat memberikan input pada penggerak/
motor untuk membuka/ menutup katub K2.

K2
+V
pelampung

K1
h -V
Penguat Penggerak/
Daya motor

Gambar 1.10 Sistem Pengaturan Tinggi Permukaan Cairan dalam


Tangki Secara Otomatis.

Sedangkan diagram balok sistem pengaturan tinggi permukaan


cairan dalam tangki secara otomatis dapat dilihat dalam Gambar 1.11.

input + output
Kontroler Motor Tangki
(permukaan tangki _ (permukaan tangki
yang diinginkan) sesungguhnya)

sensor

Gambar 1.11 Diagram Balok Sistem Pengaturan Tinggi Permukaan


Cairan dalam Tangki Secara Otomatis.

7
Contoh sistem loop tertutup yang lain adalah sistem pengaturan
posisi sudut peluncur rudal secara otomatis seperti terlihat dalam Gambar
1.12.

+V

Sinyal +
kontrol Beda Error Penguat
Motor
_ penguat Daya
-V
+V
Feedback

-V

Gambar 1.12 Sistem Pengaturan Posisi Sudut Peluncur Rudal


Secara Otomatis.

1.2.2 Sistem linier dan tak linier


Kebanyakan sistem fisika merupakan sistem non linier dengan
berbagai variasi. Jika range variasi variabel sistem tidak besar, maka sistem
tersebut dapat dijadikan linier dalam range variasi variabel yang relatif kecil.
Pada sistem linier, berlaku prinsip-prinsip super posisi. Prinsip tersebut tidak
berlaku pada sistem non linier. (Bahasan selanjutnya mengenai sistem linier
dan tak linier akan dibahas dalam Bab III)

1.2.3 Sistem kontrol berubah terhadap waktu (time-variant) dan


sistem kontrol tak berubah terhadap waktu (time-invariant)
Sistem kontrol tak berubah terhadap waktu (sistem kontrol koefisien
konstan) merupakan sistem yang parameternya tidak berubah terhadap
waktu. Tanggapan sistem tergantung pada waktu saat masukan diterapkan.
Sistem kontrol berubah terhadap waktu adalah sistem yang satu atau lebih
parameternya berubah terhadap waktu. Contoh sistem waktu kontrol berubah
terhadap waktu adalah sistem kontrol kendaraan ruang angkasa, di mana
massa menurun dengan berjalannya waktu karena bahan bakar digunakan
selama penerbangan.

1.2.4 Sistem kontrol waktu kontinyu dan sistem kontrol waktu diskrit
Sistem kontrol waktu kontinyu jika semua variabel sistem adalah
fungsi dari waktu. Sistem kontrol waktu diskrit jika hanya melibatkan satu
atau lebih variabel yang hanya diketahui pada saat waktu diskrit.

1.2.5 Sistem kontrol masukan tunggal keluaran tunggal (SISO) dan


banyak masukan banyak keluaran (MIMO)
Sistem kontrol masukan tunggal keluaran tunggal (SISO) jika sistem
hanya mempunyai satu masukan dan satu keluaran. Sebagai contoh adalah
sistem kontrol kecepatan, di mana sistem hanya mempunyai satu perintah

8
masukan (kecepatan yang diinginkan) dan satu keluaran yang dikontrol
(kecepatan keluaran). Contoh sistem kontrol banyak masukan banyak
keluaran adalah misalnya pada sistem kontrol proses Yang mempunyai dua
masukan (masukan suhu dan masukan pH) dan dua keluaran (keluaran suhu
dan keluaran pH)

1.3 Operasi Penjumlahan dan Pengurangan


Dalam sistem kontrol, seringkali dibutuhkan operasi penjumlahan
dan pengurangan dan biasanya dinyatakan oleh simbol lingkaran kecil
dengan tanda panah yang menunjukkan arah proses seperti yang terlihat
dalam Gambar 1.13. Dalam gambar tersebut diperlihatkan operasi
Pengenalan Konsep Sistem Kontrol
Pengenalan Konsep Sistem Kontrol
penjumlahan dan pengurangan. Lambang operasi tersebut seringkali disebut
sebagai titik penjumlahan (summing point). Harga variabel yang masuk ke
dalam summing point sama
Penjumlahan dengan harga variabel yang keluar dari summing
dan Pengurangan
point. Sebagai contoh harga c = a – b (Gambar 1.13a) dan harga c = a – b + d
(Gambar 1.13b)
Dalam sistem kontrol, operasi penjumlahan dan pengurangan
simbol lingkaran kecil dengan tanda panah yang menunjukkan arah proses
Penjumlahan dan Pengurangan
+ d
a+ c a+ c

- Dalam sistem kontrol,-boperasi


c = a-b penjumlahan dan pengurangan
c = a-b+d
b

dimana a,b(a)
simbol lingkaran kecil dengan
dan c adalah variabel (b) tanda panah yang menunjukkan ara
Titik1.13
Gambar Operasi Penjumlahan dan Pengurangan. a, +b, dc dan d
Cabang
merupakan Variabel.
a Diperlukan untuk mengembalikan keluaran ke
z z
a+ c a+ c
masukan/bagian lain dalam sistem
Harga yang dikembalikan tetap sama dengan
1.4 Titik Cabangz harga pengembaliannya
Dalam sistem kontrol, seperti terlihat dalam Gambar 1.14 suatu titik
- c = a-b
cabang (a) diperlukan untuk mengembalikan keluaran ke masukan/bagian - c = a-b+d
lain dalam sistem. Dalam simbol ini harga yang dikembalikan tetap sama 15
b
dengan harga pengambilannya atau nilai z pada ketiga cabang tersebut b
harganya sama.

dimana a,b dan c adalah variabel

Titik Cabang

z a z Diperlukan untuk mengembalikan ke


9 masukan/bagian lain dalam sistem
Harga yang dikembalikan tetap sama
z
Gambar 1.14 Titik Cabang. Pada titik a terdapat tiga cabang,
ketiga cabang tersebut mempunyai nilai yang sama yaitu z

1.5 Komponen Sistem Kontrol


Sesuai dengan fungsi pengontrolan secara menyeluruh, seperti
terlihat dalam Gambar 1.15., maka komponen sistem kontrol dapat dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu:

Gambar 1.15 Komponen Sistem Kontrol dalam Sistem Loop Tertutup.

a. Sensor/transduser.
Sensor digunakan sebagai elemen yang langsung mengadakan
kontak dengan obyek yang diukur. Transduser berfungsi untuk
mengubah besaran fisis yang diukur menjadi besaran fisis lainnya.
Pada umumnya mengubah besaran-besaran tekanan, temperatur,
aliran, posisi dan sebagainya menjadi besaran listik.

b. Error Detector
Mengukur kesalahan (error) yang terjadi antara keluaran
sesungguhnya dan keluaran yang diinginkan. Beberapa transduser
ada yang dilengkapi dengan error detector.

c. Penggerak / Power Actuator


Alat ini berfungsi untuk mengontrol aliran energi ke sistem yang
dikontrol. Alat ini juga disebut dengan elemen pengontrol akhir
(final control element). Sebagai contoh adalah motor listrik, katub

10
pengontrol, pompa dan sebagainya. Elemen keluaran ini harus
mempunyai kemampuan untuk menggerakkan beban ke suatu harga
yang diinginkan.

d. Penguat / Amplifier
Power Amplifier merupakan unit yang dibutuhkan karena daya dari
error detector tidak cukup kuat untuk menggerakkan elemen
keluaran. Karena fungsi pengontrolan adalah untuk mengendalikan
keluaran agar kesalahan mendekati nol, maka diperlukan penguat
daya (power amplifier).
Penguat Tegangan (Voltage Amplifier), dalam bentuk fisiknya
penguatan ini banyak dilakukan oleh operational amplifier (op amp).

BAB II
MATEMATIKA SISTEM KONTROL
2.1 Transformasi Laplace

11
Transformasi Laplace merupakan metode operasional yang dapat
digunakan secara mudah untuk menyelesaikan persamaan diferensial linier.
Transformasi tersebut dapat mengubah beberapa fungsi umum seperti
sinusoida, sinusoida teredam dan fungsi eksponensial menjadi fungsi aljabar
kompleks.
Penggunaan Transformasi Laplace ini memungkinkan penggunaan
teknik grafis untuk meramal kinerja sistem. Keuntungan lain penggunaan
Transformasi Laplace adalah diperolehnya secara serentak baik komponen
peralihan maupun komponen keadaan mantap (steady state) jawaban
persamaan pada waktu menyelesaikan persamaan deferensial
¥
F(s) = L [f(t)] = f(t) e -st dt
ò
0
dengan:
F(s) = Transformasi Laplace dari f(t).

f(t) = fungsi waktu t sedemikian rupa sehingga f(t) = 0 untuk


t<0
s = variabel kompleks (s = s + jw ).
f(t) = L [=F(s)
-1
] operasional yang menunjukkan bahwa besaran
simbol
setelah simbol tersebut ditransformasi dengan integral
¥
[f(t)] = f(t) e -st dt .
F(s) = LLaplace ò
0

Sebagai contoh pemakaian Transformasi Laplace akan diberikan


fungsi-fungsi yang sering dipakai dalam sistem kontrol, yaitu:
a) Fungsi tangga (step)
Misalkan dalam Gambar 2.1 dapat dilihat suatu fungsi tangga/step
dengan
f(t) = 0 untuk t < 0
= A untuk t > 0
contoh :
a. Transformasi Laplace fungsi tangga (step)
f(t) = 0 untuk t < 0
= A untuk t 0 s = s + jw h
x
f(t) F(s) = f(t) e-st dt
0
A h
f(t) = 0 ; t < 0
x
=A ;t 0
= A e-st dt
12 t 0
0
A
Gambar 2.1 Fungsi Tangga (Step).

Transformasi Laplace fungsi tersebut dapat dicari dengan


menggunakan persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut:
¥
F(s) = f(t)e - st dt
ò
0
¥
= A e - st dt
ò
0

A
=
s
Jika pada fungsi tersebut, nilai A = 1, maka fungsi tersebut dikenal dengan
istilah fungsi unit step/fungsi tangga satuan.

b) Fungsi sinusoida
Dalam Gambar 2.2 dapat dilihat suatu fungsi sinusoida, dimana
f(t) = Sin At .

f(t)

0 t

Gambar 2.2 Fungsi Sinusoida.

Transformasi Laplace fungsi tersebut dapat dicari dengan menggunakan


persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut:
¥
F(s) = L [f(t)] = ò f(t) e -st dt
0

13
¥
F(s) = ò Sin A t e -st dt
0
¥
e jAt - e - jAt -st
=ò e dt
0
2j
A
=
s + A2
2

c) Fungsi pulsa
Dalam Gambar 2.3 dapat dilihat suatu fungsi pulsa, sebagai contoh adalah
f(t) = h ; 0 < t < t0
contoh :
= 0 ; t >t0
c. Pulsa

f(t) f(t) = h ; 0 < t t0


h = 0 ; t > t0 h
x
F(s) = f(t) e-st dt
0
t h
0 t0
x t0 x
Gambar 2.3 Fungsi Pulsa. = h e-st dt + 0 e-st dt
0 0
Transformasi Laplace fungsi tersebut dapat dicari dengan menggunakan
persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut: = h ( 1 - e -st )
s
¥
- st dt
F(s) = ò f(t)e
0
t0 ¥
= ò h e - st dt + ò0e
- st dt
0 0

h
s
1 - e - st
= ( )
d) Fungsi eksponensial menurun
Dalam Gambar 2.4 dapat dilihat suatu fungsi eksponensial
menurun, dimana f(t) = e-at.

f(t)
f(t) = e-at , 14
t>0
Gambar 2.4 Fungsi Eksponensial Menurun.

Transformasi Laplace fungsi tersebut dapat dicari dengan menggunakan


persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut:
¥
F(s) = f(t)e - st dt
ò
0
¥
= æç e - at e - st ö÷ dt
ò
0
è ø
¥
- (a + s)t
= e ò
0
dt

1
=
s+a

e) Fungsi tanjak (ramp)


Misalkan dalam Gambar 2.5 dapat dilihat suatu fungsi tanjak (ramp),
dimana f(t) = kt , t > 0. Nilai k merupakan konstanta.

f(t)
f(t) = kt , t > 0

15
t
Gambar 2.5 Fungsi Tanjak/ramp.

Transformasi Laplace fungsi tersebut dapat dicari dengan menggunakan


persamaan Transformasi Laplace sebagai berikut:

¥
F(s) = f(t)e - st dt
ò
0
¥
= te - st dt
ò
0

1
=
s2
Jika nilai k = 1, maka fungsi fungsi tersebut umumnya disebut dengan fungsi
unit ramp.

2.2 Teorema Transformasi Laplace


a) Linearitas
L [k f(t)] = kL [f(t)] = k F(s)

b) Superposisi
L [f1 (t) + f 2 (t)] = F1 (s) + F2 (s)
= L [f1 (t)] + L [f 2 (t)]
c) Translasi waktu
Jika F(s) merupakan Transformasi Laplace dari f(t), a merupakan
bilangan positif nyata dimana berlaku f(t - a) = 0 untuk 0 < t < a ,
maka:
L [ f(t - a)] = e -as F(s)
Bukti:
Misal t - a = τ

16
¥
F(s) = f(t ) esτ dt
ò
0
¥
- s(t - a)
= ò f(t - a) e dt
0
¥
= ò f(t - a) e - st easdt
0
¥
= e as f(t - a) e - st dt
ò
0

= e - as F(s)
Contoh:
Pada fungsi tangga/step seperti terlihat dalam Gambar 2.6, dimana
f(t) = 0 ; t < 0
= A;t ³0

f(t)

t
0

Gambar 2.6 Fungsi Tangga/Step.

Transformasi Laplace fungsi tangga tersebut adalah


A
F(s) =
s
sedangkan bila fungsi tersebut bertranslasi waktu sebesar a, seperti
terlihat dalam Gambar 2.7 maka persamaan fungsinya adalah sebagai
berikut f(t - a) = A , dimana
f(t) = 0; 0<t<a

17
f(t) = A; t ³ a
f(t)

0 a t

Gambar 2.7 Fungsi Tangga/Step yang Bertranslasi Waktu


Sebesar a.

Nilai F(s) fungsi tersebut sesuai dengan teorema Transformasi Laplace


merupakan translasi waktu adalah
A
F(s) = × e -as
s

d) Diferensial dalam bentuk kompleks


d
L [t f(t)] = - F(s)
ds
Contoh
[ ] d
[ ]
L t e - at = - e - at
ds
dæ 1 ö
=- ç ÷
ds è s + a ø
2
æ 1 ö
=ç ÷
ès+aø

e) Translasi dalam wawasan s


Jika F(s) merupakan Tranformasi Laplace dari f(t) dan a merupakan
bilangan nyata atau kompleks, maka

18
[ ]
L e at f(t) = F(s - a)
A
(Sin A t) = 2 , sehingga
s + A2
A
(eat Sin A t) =
(s + a) 2 + A 2

f) Diferensiasi (tranformasi fungsi turunan)

é d f(t) ù
L ê ú = s F(s) - f(0)
ë dt û

dimana f(0) merupakan harga f(t) untuk t = 0 .

é d 2 f(t) ù 2 d
L ê 2 ú
= s F(s) - s f(0) - f (0)
ë dt û dt

sedangkan Transformasi Laplace turunan ke-n adalah sebagai berikut

é d n f(t) ù n n -1 n -2 d n -2 d n -1
L ê n ú
= s F(s) - s f(0) - s f(0) - ... - f(0) - f(0)
ë dt û dt n -2 dt n -1

g) Integrasi

L [ò f(t) ] = F(s) +
ò f(0)
s s
n

én ù F(s) f(0)dtò
f(0) ò
êë ò
L ê f(t) dt ú = n +
úû s sn
+ ... +
s
dimana:
ò f(0) dt merupakan harga awal integral
f(0) merupakan harga f(t) untuk t = 0
h) Nilai akhir
Memberikan harga f(t) pada keadaan mantap (steady state) atau t ® ¥ ,
yaitu

19
lim f(t) = lim sF(s)
t ®¥ s ®0

i) Nilai awal
Memberikan harga f(t)pada keadaan awal atau t ® 0 , yaitu
lim f(t) = lim sF(s)
t ®0 s ®¥

CONTOH SOAL:
Tentukan Transformasi Laplace fungsi-fungsi :
Tentukan Tranformasi Laplace fungsi-fungsi berikut ini:
f(t) f(t) f(t)

1 1 1

t t t
0 t0 0 A 0 1 2

f(t) = 0, t < t0 f(t) = 1, 0 < t < A f(t) = t, 0 < t 1


= 1, t t0 = 0, t > A = - t + 2, 1 < t < 2
(1) (2) (3)
no 1: h
¥
h F(s) = L [f(t)] = f(t) e -st dt
ò
x 0 x
st dt + 1 e-st dt F(s)
Penyelesaian nomor (1) = [ f(t) ] = f(t) e-st dt
t
0
0 f(t)

1
dt
h
r
t
t 0 t0
0

f(t) = 0, t < t0
= 1, t t0
0 - e-st0 )

20
t0 ¥

ò
F(s) = 0 e -st dt + 1 e -st dt
0
ò
t0
¥

òe
-st
= dt
t0
¥
1
= - e -st
s t0

1
= - (e -s¥ - e -st 0 )
s
1
= - (0 - e -st 0 )
s
1
= e -st 0
s
Tentukan Transformasi Laplace fungsi-fungsi :
Penyelesaian nomor (2)
f(t) f(t) f(t)

1 1 1

t t t
0 t0 0 A 0 1 2

f(t) = 0, t < t0 f(t) = 1, 0 < t < A f(t) = t, 0 < t 1


= 1, t t0 = 0, t > A = - t + 2, 1 < t < 2
A ¥
(1) (2) (3)
ò
F(s) = e -st dt + 0 e -st dt
0
ò
A h
A
1 x
= - e -st
F(s) = [ sf(t) ]0 = f(t) e-st dt
1 0
= - (e -sA - 1)
s
1
= + (1 - e -sA )
s

21
place fungsi-fungsi :
Penyelesaian nomor (3)
f(t) f(t)

1 1

t t
0 A 0 1 2

f(t) = 1, 0 < t < A f(t) = t, 0 < t 1


= 0, t > A = - t + 2, 1 < t < 2
(2) (3)
1 2

ò ò
F(s) = t e dt + (-t + 2) e - st dt
- st
h
0 1
x
= [ f(t) ] = f(t) dt= F1 (s) + F2 (s)
e-stF(s)
0
ò u dv = uv - ò v du
u=t
du = dt
e - st dt = dv
1
v = - e - st
s
1
• ò
F1 (s) = t e - st dt
0
1 1
1 - st 1
F1 (s) = - t
s
e
0
+
s0 ò
e - st

1 1
1 1
= - t e - st - 2 e - st
s 0 s 0

1 1
= - e - s - 2 (e - s - 1)
s s
1
= 2 (1 - e - s - s e - s )
s

22
2
• ò
F2 (s) = (-t + 2) e - st dt
1
2
1 1
s s1 ò
F2 (s) = -(- t + 2) e - st + e - st

2 2
1 1
= - (- t + 2) e -st + 2 e -st
s 1 s 1
1 1
= -(0 + (-1 + 2)) e -s + 2 (e -2s - e -s )
s s
1 -s 1 -2s
= e + 2 (e - e -s )
s s
1 2

ò ò
F(s) = t e - st dt + (-t + 2) e - st dt
0 1

F(s) = F1 (s) + F2 (s)


1 1 1
= 2
(1 - e-s - s e-s ) + e-s + 2 (e- 2s - e-s )
s s s
1
= 2 (1 - e-s - s e-s + s e-s + e- 2s - e-s )
s
1
F(s) = 2 (1 - 2e-s + e- 2s )
s

Dalam menentukan nilai F(s) dari nilai f(t) kita dapat


menentukannya dengan menggunakan tabel Transformasi Laplace seperti
terlihat dalam tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Tabel Transformasi Laplace

23
No. f(t) F(s)
1. Unit impuls δ (t) 1
1
2. Unit step 1(t)
s
1
3. t
s2
1
4. e - at
s+a
1
5. t e - at
(s + a) 2
ω
6. sin ωt
s + ω2
2

s
7. cos ωt
s + ω2
2

n!
8. t n e - at (n = 1,2,3,...)
(s + a ) n +1
1 s
9. (b e - bt - a e - at )
b-a (s + a)(s + b)
1 æ 1 ö 1
10. ç (b e - bt - a e - at ) ÷
ab è a - b ø s(s + a)(s + b)
ω
11. e - at sin ωt (s + a)2 + ω2
s+a
12. e - at cos ωt (s + a)2 + ω2
A A
13. (1 - e - at )
a s(s + a)

1
1- e -ξωn t sin (ω n 1 - ξ 2 t + f )
14. 1- ξ2 ωn2
1- ξ2 (s 2 + 2ξωn s + ωn2 )s
f = arctan
x

2.3 Invers Transformasi Laplace/Transformasi Laplace Balik

24
Transformasi Laplace balik merupakan proses matematik untuk
mengubah dari variabel kompleks ke bentuk fungsi waktu. Notasi
f(t) = L -1-1,[F(s)
Transformasi Laplace balik dinyatakan dengan ]
sehingga

f(t) = L [F(s)]
-1

Dalam menyelesaikan permasalahan dengan metode transformasi


Laplace, yang berarti mendapatkan f(t) dari F(s). Secara matematik, f(t)
diperoleh dari F(s) dengan integrasi berikut:
1 c + jω

2p j ò
f(t) = F(s)est ds (t > 0)
c - jω

dengan c, suatu absis konvergensi konstanta real dan dipilih lebih besar dari
bagian real dari semua titik singular F(s). Artinya lintasan paralel sumbu
jω dan berjarak sejauh c. Lintasan integral ini berada di sebelah kanan
semua titik singular.
Metode yang lebih sederhana untuk menentukan invers
Transformasi Laplace dari F(s) ke dalam bentuk fungsi waktu f(t) adalah
dengan menggunakan tabel Transformasi Laplace. Dalam hal ini,
Transformasi Laplace harus dibawa ke dalam bentuk yang ada dalam Tabel
Transformasi Laplace. Seringkali suatu fungsi yang harus diselesaikan tidak
terdapat dalam tabel, jika hal ini terjadi maka kita harus mengekspansinya
dan menulis F(s) dalam bentuk yang sederhana sehingga dapat dilakukan
Transformasi Laplace.
Contoh:
Tentukan Transformasi Laplace balik dari
s+4
F (s) =
( s + 1)( s + 3)
Ekspansi pecahan parsial dari F(s) adalah
s+4 a a
F (s) = = 1 + 2
( s + 1)( s + 3) s +1 s + 3
dengan a1 dan a2 adalah sebagai berikut
é s+4 ù és + 4ù
a1 = ê( s + 1) ú = ê = 3/ 2
ë ( s + 1)( s + 3) û s = -1 ë s + 3 úû s = -1

25
é s+4 ù és + 4ù
a 2 = ê( s + 3) ú =ê = -1 / 2
ë ( s + 1)( s + 3) û s = -3 ë s + 1 úû s = -3

Sehingga
f(t) = L [F(s)]
-1

-1 é 3/ 2 ù -1 é - 1 /

=L ê s + 1ú + L ê s+3ú
ë û ë û

= 3 / 2e -t - 1 / 2e -3t (t ³ 0)
2.4 Pemakaian Transformasi Laplace
Transformasi Laplace dapat digunakan dengan mudah untuk
menyelesaikan suatu persamaan diferensial. Adapun langkah-langkah dalam
menyelesaikan persamaan differensial dengan menggunakan Transformasi
Laplace adalah sebagai berikut:
a) Menuliskan persamaan diferensial sistem yang akan dianalisis.
b) Menuliskan Transformasi Laplace dari persamaan diferensial
tersebut.
c) Menentukan Transformasi Laplace dari tiap suku dalam persamaan
diferensial tersebut.
Syarat-syarat permulaan (kondisi awal) harus diberikan.
d) Menyatakan bentuk transformasi dalam daerah (fungsi) s.
e) Jika diinginkan dalam daerah (fungsi) t dapat digunakan tabel
Transformasi Laplace.

Contoh 1:
contoh :
1) Suatu bentuk rangkaian sistem elektris yang terdiri dari sumber listrik
suatuE,bentuk
searah sakelarsistem elektris
s, hambatan yang R
elektrik terdiri dari sumber
dan komponen listrikterhubung
L yang searah E,
sakelar
seri s, hambatan
(lihat Gambar 2.6). elektrik R dan komponen L
s
R

L
E
i

Setelah sakelar ditutup ( t 0 ), maka persamaan untuk arus :


Gambar 2.6 Rangkaian RL Seri.
Penyelesaian:
di
Ri + L = E 26
dt
Setelah sakelar s ditutup ( t ³ 0 ), maka persamaan untuk arus adalah
di
Ri + L = E
dt
dan dengan mentransformasikan tiap suku dalam persamaan ini ke daerah s
akan diperoleh :
E
R I(s) + L[s I(s) - i(0)] =
s
kemudian masukkan syarat awal i(0) = 0, maka
E
R I(s) + L (s I(s)) =
s
E
(R + Ls)I(s) =
s
E
atau; I(s) =
s(R + Ls)
é ù
Eê 1 ú
I(s) = ê ú
Lê R
s(s + ) ú
ëê L úû

Jika diinginkan nilai arus sebagai fungsi waktu, kita dapat menggunakan
tabel Transformasi Laplace, dimana bentuk I(s) merupakan bentuk yang
sama dengan
A E R
dengan nilai A = dan a =
s(s + a) L L
A A
Invers Transformasi Laplace bentuk adalah (1 - e - at )
s(s + a) a

sehingga didapatkan persamaan arus dalam fungsi t yaitu


R R
E/L - t E - t
i(t) = .(1 - e L ) = (1 - e L )
R/L R

Selanjutnya sistem ini dapat dianalisis sebagai berikut :


1) i(t) merupakan tanggapan arus fungsi waktu yang terdiri dari
E
tanggapan/keluaran mantap yaitu yang konstan dan tanggapan
R

27
R
E -Lt
peralihan yaitu - (e ) yang menurun menuju nol sesuai dengan
R
pertambahan waktu.

2) Untuk menentukan nilai akhir arus menggunakan teorema nilai/harga


akhir
é E ù E
lim i(t) = lim s ê ú=
t ®¥ s ®0
ë s(R + Ls) û R

3) Nilai awal ditentukan dengan menggunakan teorema nilai/harga awal


é E ù
lim i(t) = lim s ê ú=0
t ®0 s ®¥
ë s(R + Ls) û

Contoh 2.
Misal sebuah rangkaian seri RLC terdiri batere E, sakelar s, hambatan
elektrik R, kumparan L dan kapasitor C yang terhubung seri seperti terlihat
dalam Gambar 2.7. Nilai masing-masing komponen seperti tertera dalam
gambar tersebut.
s
R = 200W

i L = 1H
E = 0v
C = 50 µF

- +
Gambar 2.7 Rangkaian RLC Seri.

Mula-mula kapasitor C mempunyai potensial sebesar 1 Volt.


Tentukan bentuk arus sebagai fungsi dari t (dimana v 0 = 1V ).

Penyelesaian:
di 1
L + Ri +
dt C ò
i dt = 0

L[s I(s) + i(0)] + R I(s) +


1
Cs
[ ò ]
I(s) - i(0) dt = 0
dq
i=
dt ò
Þ i dt = dq Þ i dt = q

28
ò i(0)dt = 0 Þ muatan awal q(0) kondensator
q 1 q(0) V
V = Þ
c
c Cs ò i(0) dt =
Cs
=
s
0

I(s) 1
sI(s) + 200I(s) + -6
- =0
50 × 10 s s
1
I(s) =
s + 200s + 2 × 104
2

1
=
( s + 100) 2 + 1002
1 é 100 ù
= ê 2 2ú
100 ë ( s + 100) + 100 û

Jika diinginkan nilai arus sebagai fungsi waktu, kita dapat memperolehnya
dengan cara menggunakan tabel Transformasi Laplace, sehingga didapatkan:
1
i(t) = (e -100t sin 100t) A
100

BAB III
PEMODELAN

29
3.1 Fungsi Alih
Dalam teori sistem kontrol, fungsi alih digunakan untuk mencirikan
hubungan masukan dan keluaran dari komponen/sistem yang dapat
digambarkan dengan persamaan diferensial linier, invarian waktu. Fungsi
alih persamaan diferensial, invarian waktu suatu sistem didefinisikan sebagai
perbandingan antara Transformasi Laplace keluaran terhadap Transformasi
Laplace masukan dengan anggapan semua syarat awal nol.

L (keluaran )
Fungsi alih = G(s) =
L (masukan ) keadaan awal nol
Y(s) b0 s m + b1s m -1 + ... + bm -1s + bm
= =
X(s ) a0 s n + a1s n -1 + ... + an -1s + an

Dengan menggunakan konsep fungsi alih, sistem dinamik dapat


dinyatakan dengan persamaan aljabar dalam s. Jika pangkat tertinggi s dalam
penyebut fungsi alih sama dengan n, maka sistem disebut sistem orde ke-n.

Beberapa Hal mengenai Fungsi Alih


Kegunaan konsep fungsi alih terbatas pada sistem linear persamaan
diferensial, waktu tidak berubah. Namun pendekatan fungsi alih digunakan
secara meluas dalam analisis dan desain sistem. Beberapa hal yang penting
dalam fungsi alih adalah sebagai berikut:
• Fungsi alih sistem adalah model matematika yang merupakan metode
operasional dari pernyataan persamaan diferensial yang menghubungkan
variabel keluaran dengan masukan.
• Fungsi alih sistem adalah sifat sistem tersebut sendiri, tidak tergantung
dari besaran dan sifat masukan.
• Fungsi alih tidak memberikan informasi mengenai struktur fisik sistem
tersebut, atau atau dapat dikatakan fungsi alih sistem yang secara fisik
berbeda dapat identik.
• Jika fungsi alih sistem diketahui, keluaran dapat ditelaah untuk berbagai
macam bentuk masukan dengan pandangan terhadap pengertian akan sifat
sistem tersebut.
• Jika fungsi alih sistem tidak diketahui, dapat diadakan secara percobaan
dengan menggunakan masukan yang diketahui dan menelaah keluaran
sistem
3.2 Model Matematika Sistem Dinamik
Pemodelan merupakan pembuatan model matematika sistem
dinamik. Model matematika sistem dinamik didefinisikan sebagai sejumlah
persamaan yang menggambarkan dinamika sistem secara tepat, paling tidak

30
cukup baik. Sebuah sistem dapat digambarkan dalam banyak cara yang
berbeda sehingga mungkin mempunyai banyak model matematika.
Satu model matematika mungkin lebih cocok daripada model
matematika yang lain, misalnya :
• Gambaran tempat kedudukan (state space) mungkin cocok untuk
mengerjakan sistem dengan banyak masukan dan banyak keluaran
(MIMO).
• Analisis tanggapan transien atau tanggapan frekuensi SISO linear, waktu
tidak berubah sehingga gambaran fungsi alih lebih baik dan mudah.
Dinamika sistem mekanik, listrik, panas, ekonomi dan sebagainya
mungkin dijelaskan dalam bentuk persamaan diferensial. Persamaan
Model matematis
diferensial tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan hukum fisika yang
mengendalikan sistem tertentu, misalnya Hukum Newton untuk sistem
Sistem
mekanikamekanika
dan Hukum Kirchoff untuk sistem listrik.
Berikut diberikan contoh pemodelan pada sistem mekanika. Hukum
Hukum dasar
dasar yang : Hukum
mengatur II Newton
sistem mekanika adalah hukum kedua Newton yang
dapat diterapkan pada sistem mekanika apapun.
- Sistem translasi mekanika
Sistem translasi mekanika.
sistem dashpot massa pegas yang dipasang pada kereta
Misalnya pada sistem dashpot-massa-pegas

u y

k
m

Gambar 3.1 Sistem Dashpot-Massa-Pegas yang Dipasang pada Kereta.

Dianggap pada t < 0 kereta dalam keadaan diam, u(t) merupakan


perpindahan kereta (masukan sistem).

Pada t = 0 kereta digerakkan dengan kecepatan tetap ( u tetap)
Perpindahan y(t) dari massa adalah keluaran (perpindahan adalah relatif
terhadap tanah), dimana:
m = massa
b = koefisien gesekan liat /redaman / damping

31
k = konstanta pegas
• •
dianggap gaya gesekan dash pot sebanding dengan y - u dan pegas
adalah pegas linier, yaitu gaya pegas sebanding dengan y – u.
Untuk sistem translasi, hukum Newton II menyatakan bahwa:
ma = Få
m = massa, kg
a = percepatan, m/dt2
F = gaya, N
Didapatkan:
d2y æ dy du ö
m 2
= -bç - ÷ - k(y - u)
dt è dt dt ø
d2y æ dy ö du
m 2
+ bç ÷ + ky = b + ku
dt è dt ø dt

persamaan tersebut merupakan model matematika sistem.

Model Fungsi Alih


Model fungsi alih merupakan salah satu cara untuk memberikan
gambaran model matematika sistem linier, waktu tidak berubah (time
invariant). Untuk mendapatkan fungsi alih sistem dengan model matematika
berikut
d 2 y æ dy ö du
m 2
+ bç ÷ + ky = b + ku
dt è dt ø dt
adalah dengan menentukan Transformasi Laplace dari tiap bagian pada
model matematika tersebut, sehingga didapat:
é d2y ù é •
ù
L êm 2 ú = m ês 2 Y(s) - s y(0) - y(0)ú
ë dt û ë û
é dy ù
L êb ú = b [s Y(s) - y(0)]
ë dt û
L [ky] = k Y(s)
é du ù
L êb ú = b [s U(s) - u(0)]
ë dt û
L [ku ] = k U(s)

jika ditetapkan keadaan awal adalah 0, maka y(0) = 0, y (0) = 0, dan u(0) =
0, sehingga Transformasi Laplacenya adalah sebagai berikut:

32
(ms2 + bs + k)Y(s) = (bs + k) U(s)
Sehingga didapatkan fungsi alihnya, yaitu:
Y(s) bs + k
Fungsi alih = G(s) = =
U(s) ms + bs + k
2

Sistem rotasi mekanika


Misalnya pada sistem yang terdiri dari inersia beban dan
peredaran gesekan liat dalam Gambar 3.2.
Hukum Newton II menyatakan bahwa:
JJ dα= å τ

J ω = -b ω + τ
Jω+bω= τ
dimana:
J = momen inersia beban, kg-m2
α = percepatan sudut beban, rad/dt2
τ = torsi yang diterapkan ke sistem, N-m
b = koefisien gesekan liat, Nm/rad/dt
ω = kecepatan sudut, rad/dt

J
T ω

b
Gambar 3.2 Sistem Rotasi Mekanika.

Model fungsi alih sistem di atas dapat diperoleh dengan


mentransformasi Laplace persamaan deferensial tersebut, dianggap keadaan
awal nol dan menulis rasio keluaran (kecepatan sudut ω) dengan masukan
(torsi T) yang ditetapkan sebagai berikut:

Ω(s ) 1
= , Ω(s ) = L [ω(t )], T(s ) = L [t (t )]
T(s ) Js + b

Sistem listrik

33
Misalnya pada rangkaian RLC seri dalam Gambar 3.3 bisa
didapatkan model matematika dan model fungsi alihnya.
L R

ei C e0
i

Gambar 3.3 Rangkaian RLC seri.

Model matematika rangkaian RLC seri dalam Gambar 3.3 adalah


sebagai berikut:
di 1
L + Ri +
dt C ò
i dt = ei
1
C òi dt = e0
Model fungsi alihnya dapat kita dapatkan dengan mentransformasi
Laplace model matematika tersebut yang merupakan persamaan diferensial
dan dengan menganggap syarat awal nol, diperoleh :
1
L s I(s) + R I (s) + I (s) = E i (s)
Cs
1
I (s) = E 0 (s)
Cs
Jika ei dianggap sebagai masukan dan e0 sebagai keluaran, maka fungsi alih
sistem adalah

E 0 (s) 1
= 2
E i (s) LCs + RCs + 1
Penguat pembalik (inverting amplifier)
R2

i1 R1 i2

e'
ei e0

Gambar 3.4 Penguat pembalik (inverting amplifier).

34
Penguat pembalik dalam Gambar 3.4 mempunyai model
matematika dan model fungsi alih sebagai berikut:

e1 - e'
i1 = ,
R1
e'-e0
i2 =
R2

e1 - e' e'-e0
=
R1 R2

R2
e0 = - ei
R1
e0 R
=- 2
ei R1

Rangkaian RC seri

v2 v1: masukan
v3: keluaran
R i2 i3
v1 C v3
i1

Gambar 3.5 Rangkaian RC seri.

Model matematisnya rangkaian RC seri dalam Gambar 3.5 adalah


sebagai berikut:
a). v1 = v 2 + v3 d). v3 = Q
C
b). i1 = i 2 v
e). i 2 = 2
R
c). i 2 = i3 f). Q = i3 dt ò
(a) (e) (c) (f) (d)
v1 + v2 i2 i3 Q v3
1/R 1 1/C
-
v3

v1 +
1/RC
35 v3
x
- = 1/s
(a) (e) (c) (f) (d)
v1 + v2 i2 i3 Q v3
1/R 1 1/C
-
v3

v1 + v3
1/RC x
- = 1/s

ò =1
s
1
v3 =
RC ò
(v1 - v3 ) dt

Model fungsi alihnya bisa didapat dari fungsi alih diagram baloknya yaitu:
1 1
×
v3 1
= RC s =
v1 1 + 1 1 RCs + 1
×
RC s

Model fungsi alih bila dicari dengan menggunakan hukum Kirchhof :


1 1
Ri +
C ò
i dt = v1 v3 =
C
i dt ò
1 1
R I(s) + I(s) = V1 (s) V3 (s) = I(s)
Cs Cs
1
V 3( s ) Cs = 1
=
V 1( s ) R + 1 RCs + 1
Cs

Rangkaian RC paralel
i1
i2 i3
i1 : masukan
v1 v2 R C v3 v3 : keluaran

Gambar 3.6 Rangkaian RC paralel.

Model matematis rangkaian RC paralel Gambar 3.6 adalah sebagai berikut:


a). v1 = v 2 d). v3 = Q
C
36
b). v 2 = v3 e). i 2 = v 2
R
c). i1 = i 2 + i3 ò
f). Q = i3 dt
(c)
(c) (f)
(f) (d)
(d)
i11 + i33 Q v33
1/C
-
i22
1/R 1 s=d s = d/dt
dt x
(e) (a) 1 1/s = dt
i11 +
1/C
v33 s ò
= dt

1/R
1 1
v3 =
C ò
(i1 - v 3 ) dt
R
1 1
×
V3 (s) s C R
Model fungsi alihnya : = =
I1 (s) 1 + 1 × 1 × 1 sRC + 1
s C R
3.3 Sistem linier
Suatu sistem linier jika pada sistem tersebut mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Pada sistem tersebut mempunyai persamaan diferensial linier (jika
koefisiennya konstanta atau hanya merupakan fungsi variabel bebasnya).
2) Berlaku prinsip super posisi (tanggapan terhadap beberapa masukan
dapat dihitung dengan mengerjakan masukan satu persatu dan
menjumlahkan hasilnya).
r(t) c(t)
SL

Gambar 3.7 Sistem Linier (SL) dengan r(t) sebagai Masukan dan c(t)
sebagai Keluaran.

Pada sistem linier dalam Gambar 3.7, jika sistem diberi masukan
r1(t), maka akan memberikan keluaran c1(t). Apabila sistem diberi masukan
r2(t) maka akan memberikan keluaran c2(t). Pada sistem linier, jika pada
sistem diberikan masukan r1(t) + r2(t) maka akan memberikan keluaran
sebesar c1(t) + c2(t).

37
Sebagai contoh persamaan pada sistem linier adalah sebagai berikut:
misalnya pada suatu sistem yang mempunyai persamaan y = 2x , dengan x
sebagai variabel masukan dan y sebagai variabel keluaran. Apabila sistem
diberi masukan x1(t)=1, maka akan menghasilkan keluaran y1(t)=2. Apabila
sistem diberi masukan x2(t)=4, maka akan menghasilkan keluaran y2(t)=8.
Apabila sistem diberi masukan x1 (t) + x 2 (t) =1+4=5, maka akan
menghasilkan keluaran y1 (t) + y 2 (t) =2+8=10.
x1 (t) = 1 ® y1 (t) = 2
x 2 (t) = 4 ® y 2 (t) = 8
x1 (t) + x 2 (t) ® y1 (t) + y 2 (t)
x1 (t) + x 2 (t) = 5
y = 2x = 2 ´ 5 = 10

y1 (t) + y2 (t) = 2 + 8 = 10
(linier)
Sebagai contoh persamaan pada sistem tak linier adalah sebagai
berikut:
misalnya pada suatu sistem yang mempunyai persamaan y = x 2 , dengan x
sebagai variabel masukan dan y sebagai variabel keluaran. Apabila sistem
diberi masukan x1(t)=1, maka akan menghasilkan keluaran y1(t)=1. Apabila
sistem diberi masukan x2(t)=4, maka akan menghasilkan keluaran y2(t)=16.
Apabila sistem diberi masukan x1 (t) + x 2 (t) =1+4=5, maka akan
menghasilkan keluaran y1 (t) + y 2 (t) =1+16=17, sehingga sistem yang
mempunyai persamaan y = x 2 merupakan sistem tak linier.

x1 (t) = 1 ® y1 (t) = 1
x 2 (t) = 4 ® y 2 (t) = 16
x1 (t) + x 2 (t) ® y1 (t) + y 2 (t)
x1 (t) + x 2 (t) = 5
y = x 2 = 52 = 25

y1 (t) + y 2 (t) = 1 + 16 = 17
(tak linier)
Persamaan pada sistem yang juga merupakan sistem tak linier adalah:
y = sin x, z = x 2 + y 2

38
3.4 Diagram balok
Seperti kita ketahui, suatu sistem kontrol dapat terdiri dari beberapa
komponen. Untuk menunjukkan fungsi yang dilakukan oleh tiap komponen,
dalam sistem kontrol biasanya digunakan suatu diagram yang biasa disebut
diagram balok. Diagram balok suatu sistem adalah suatu penyajian
bergambar dari fungsi yang dilakukan oleh tiap komponen dan aliran
sinyalnya. Diagram balok mengandung informasi perilaku dinamik, tetapi
tidak mengandung informasi mengenai konstruksi fisik sistem.
Dalam suatu diagram balok, semua variabel sistem saling
dihubungkan dengan menggunakan balok fungsional, yang merupakan suatu
simbol operasi matematik pada sinyal masukan balok yang menghasilkan
keluaran. Fungsi alih komponen biasanya ditulis di dalam balok, yang
dihubungkan dengan anak panah untuk menunjukkan arah aliran sinyal.
Fungsi alih sistem kaskade seperti terlihat dalam Gambar 3.8 adalah
sebagai berikut

E1(s) E2(s) E3(s) E4(s) E5(s)


G1(s) G2(s) G3(s) G4(s)

Gambar 3.8 Sistem Kaskade.


E 2 (s) = G1 (s) E1 (s)
E 3 (s) = G 2 (s) E 2 (s)
E 4 (s) = G 3 (s) E 3 (s)
E 5 (s) = G 4 (s) E 4 (s)
E 5 (s) = G1 (s) G 2 (s) G 3 (s) G 4 (s) E1 (s)
E 5 (s)
= G1 (s) G 2 (s) G 3 (s) G 4 (s)
E1 (s)
dimana E1 merupakan masukan sistem dan E5 merupakan keluaran sistem.
Fungsi alih sistem yang berumpan balik negatif seperti terlihat
dalam Gambar 3.9 adalah sebagai berikut

R(s) E(s) C(s)


+ G(s)
-

B(s)

H(s)

Gambar 3.9 Sistem Berumpan Balik Negatif.

39
B(s) = H(s) C(s)
E(s) = R(s) - B(s)
C(s) = G(s) E(s)
C(s) = G(s) {R(s) - B(s)}
= G(s) {R(s) - H(s) C(s)}
= G(s)R(s) - G(s)H(s)C(s)
C(s){1 + G(s)H(s)} = G(s)R(s)
C(s) G(s)
=
R(s) 1 + G(s)H(s)
dimana R(s) merupakan input/masukan sistem, sedangkan C(s) merupakan
output/keluaran sistem.Penyederhanaan diagram balok sistem berumpan
balik negatif tersebut dapat digambarkan kembali seperti terlihat dalam
Gambar 3.10.

input R(s) G(s) output C(s)


1+ G(s)H(s)

Gambar 3.10 Penyederhanaan Diagram Balok Sistem Berumpan


Balik Negatif.

Jika sistem berumpan balik positif, maka diagram baloknya seperti terlihat
dalam Gambar 3.11.

R(s) G(s) C(s)


1 - G(s)H(s)

Gambar 3.11 Penyederhanaan Diagram Balok Sistem Berumpan


Balik Positif.

Penyederhanaan diagram balok


Suatu diagram balok yang terdiri dari beberapa loop umpan balik
dapat disederhanakan dengan cara menyusun kembali langkah demi langkah
menggunakan aturan aljabar diagram balok. Beberapa aturan aljabar diagram
balok dapat dilihat dalam Tabel 3.1 yang diperoleh dengan menulis
persamaan yang sama dengan cara yang berbeda.

Tabel 3.1 Aturan Aljabar Diagram Balok

40
Diagram Balok Asal Diagram Balok Ekivalen

e1 e2 e1 e2
G G

e1 e1
1/G
e1 e2 e1 e2
G G

e2 e2
G
e1 e2 e1 e2
+
- G G

e3
e3
G

e1 e2 e1 e2
G +
- G

e3
e3 1/G
R C
+
- G
R G C
1 + GH
H

Penyederhanaan diagram balok dengan penyusunan kembali dan


substitusi memungkinkan untuk memudahkan analisis matematik. Dalam
menyederhanakan suatu diagram balok maka fungsi alih dalam diagram
balok yang baru menjadi lebih kompleks karena adanya penambahan pole-
pole baru dan zero baru terbentuk.
Dalam menyederhanakan suatu diagram balok perlu diperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
(1) Hasil fungsi alih dalam arah jalur maju harus tetap sama.
(2) Hasil fungsi alih sekitar loop harus tetap sama.

3.5 Signal Flow Graph (Grafik Aliran Sinyal)


Manipulasi diagram balok umumnya digunakan untuk menentukan
fungsi alih suatu sistem yang sederhana, sedangkan untuk sistem yang lebih
rumit digunakan grafik aliran sinyal.
41
3.1 Fungsi Grafik
Alih aliran
Sistemsinyal merupakan suatu diagram yang mewakili seperangkat
persamaan aljabar linear. Grafik aliran sinyal berisi kerangka kerja dengan
suatu simpul yang dihubungkan secara langsung dengan cabang. Tiap simpul
2. Signal Flow Graph diagram aliran sinyal
menyatakan variabel sistem dan tiap cabang yang dihubungkan antara dua
simpul berfungsi sebagai
blok diagram penguat
sistem sinyal.sederhana
kontrol Arah aliran sinyal hanya dalam satu
arah yang ditunjukkan dengan tanda panah yang berada pada cabang dan
diagram faktor
aliranpengali ditunjukkan
sistem kontrol
sepanjang yang lebih kompleks
cabang.
Grafik aliran sinyal menggambarkan aliran sinyal dari satu titik
berbentuksebuah
suatusistem ke titik
jaringan yang lain dan memberikan hubungan antara sinyal-
(network)
sinyal
- simpul (node)tersebut. Dengan kata lain grafik aliran sinyal berbentuk suatu
variabel
jaringan (network) yang didalamnya terdapat simpul (node) yang merupakan
- percabangan (branch)
variabel dan percabanganproses (garis)
(branch) yang menunjukkan proses berupa garis
yang yang
menghubungkan dua buah variabel
menghubungkan dua buah variabel seperti terlihat dalam Gambar 3.11.
a b
a, b, c = percabangan
x1 x2 x3
x1, x2, x3, x4 = simpul
c
x4
Gambar 3.11 Grafik Aliran Sinyal.
3.1 Fungsi Alih Sistem
Simpul berfungsi sebagai titik penjumlahan dan sebagai titik
permulaan
2. Signalatau titikGraph
Flow tujuan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Gambar 3.12.
a
x2 = a x1
x1 x2
c x4
a x3 = a x1 + b x2
x1 x3 d x5 x4 = c x3
b x5 = d x3
x2
x1 a
b x4 d x5 x4 = a x1 + b x2 + c x3
x2
c x5 = d x4
x3
Gambar 3.12 Fungsi Simpul sebagai Titik Permulaan, Tujuan, dan
Penjumlahan

Penyederhanaan grafik aliran kompleks

42
2. Signal Flow Graph
3.1 Fungsi Alih Sistem
Penyederhanaan diagram aliran kompleks
2.a.Signal
Jalur Flow Graph
berderet (simpul bertingkat)
Penyederhanaan diagram aliran kompleks
Pada agrafik aliran sinyal
b yang kompleks bisa dilakukan
penyederhanaan diantaranya
a. Jalur berderet adalah
(simpul sebagai berikut
bertingkat)
a.xJalur berderet (simpul
y bertingkat) z
a b ab
yx = a x y z x z
z = by = ab x ab
z = ab x
y=ax x z
z = by = ab x
b. Jalur paralel z = ab x
a
(a + b)
x b y x y

y =Alih
3.1 Fungsi a x +Sistem
bx
y=(a+b)x
=( a + b ) x
2. Signal Flow Graph

c. c.Absorbsi
Absorbsi simpul
simpul

x a x ac
c z z
y b y bc
z = ac x + bc y z = acx + bcy

d. Eliminasi loop

43
3.1 Fungsi Alih Sistem
2. Signal Flow Graph
c. Eliminasi loop
a b ab
x y z 1 - bc
c x z
z = by
y=ax+cz z = b(ax + cz)
ab z z = abx + bcz
x ab
z= x
1 - bc
bc

Diagram balok dan grafik aliran sinyal ekivalennya dapat dilihat dalam
Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Diagram Balok dan Grafik Aliran Sinyal Ekivalennya


3.1 3.1
Fungsi AlihAlih
Fungsi Sistem
Sistem
2.Diagram
2. Signal Balok
Flow Flow
Signal GraphGraph Diagram Aliran Sinyal

R(s) R(s) C(s) C(s) R(s) R(s) C(s)C(s)


G(s) G(s)
G(s)G(s)

R(s) R(s) E(s) E(s) C(s) C(s) 1 1 G(s)G(s)


+
-
+
- G(s) G(s) C(s)C(s)
R(s) R(s) E(s) E(s)

-H(s)-H(s)
H(s) H(s)

44
2. Signal FlowFlow
2. Signal Graph
Graph

R(s)R(s) C(s) C(s) R(s) R(s) C(s) C(s)


G(s) G(s)
G(s) G(s)

R(s)R(s) E(s) E(s) C(s) C(s) 1 G(s) G(s)C(s)


+ G(s) 1
- + G(s) E(s) C(s)
- R(s) E(s)
R(s)
-H(s)
H(s) -H(s)
3.1 Fungsi Alih Sistem H(s)
2. Signal Flow Graph
N(s) N(s)

1
R(s) E(s) +
C(s)
+
- G1(s) + G2(s) 1 G(s) G(s)
E(s) C(s)
R(s)
3.1 Fungsi Alih Sistem
3.1 FungsiH(s)
Alih Sistem -H(s)
2. Signal Flow Graph
2. Signal Flow Graph
N(s)
N(s)
N(s) N(s)
R(s) E(s) + C(s) N(s)
+ 1 G(s) +
-
R(s) 1 G1(s)
E(s) G2(s)
+ C(s) 1
+
- G(s) +
R(s) E(s) C(s) 1 G(s) 1
1
H(s)
R(s) 1 C(s) C(s)
-H(s) G(s) 1
H(s)
R(s) -H(s) C(s) C(s)

R1(s) C1(s) -H(s)


G11(s) +
+ R1(s) G11(s) C1(s)

G21(s)

G12(s) G21(s)
G12(s)

G22(s)

G22(s) + R2(s) C2(s)


R2(s) + C2(s)

Grafik aliran sinyal memberikan informasi yang sama dengan


diagram balok. Penggunaan grafik aliran sinyal untuk menyajikan suatu
sistem kontrol, digunakan rumus/cara Mason untuk memperoleh hubungan
antara variabel sistem tanpa harus menyederhanakan grafik. Cara Mason
digunakan untuk menentukan fungsi alih sistem pada grafik aliran sinyal.
Cara Mason diformulasikan sebagai berikut

45
åP
n
n Δ n
T=
Δ
dimana:
T : fungsi alih sistem
Pn : lintasan maju
D : 1 - å L1 + å L 2 - å L3 + ... + (- 1) å L m
m

ΣL1 : loop-loop umpan balik


L2 : perkalian 2 buah loop yang saling tidak menyentuh
L3 : perkalian 3 buah loop yang saling tidak menyentuh
D n : sama dengan nilai D , tetapi loop yang tidak menyentuh Pn
: 1 - jumlah loop yang tidak menyentuh Pn

Contoh menentukan fungsi alih sistem dari grafik aliran sinyal adalah
sebagai berikut
1.
a b c

d
P1 = abc
D = 1 - bd
D1 = 1
sehingga fungsi alihnya adalah:
abc
T=
1 - bd
a b c d e
2.
g
f
P1 = abcde
D = 1 - cg - bcdf D1 = 1
sehingga fungsi alihnya adalah :
abcde
T=
1 - cg - bcdf

46
h

3. a b c d e f
i

g j
P1 = abcdef 1=1
P2 = agdef 2=1-i
= 1 - (i + cdh)
P3 = agjf 3=1-i

P4 = abcjf 4 =1
abcdef + agdef (1 - i) + agjf (1 - i) + abcjf
T=
1 - (i + cdh)

4.
a b c d e f g h
i j k
l
P1 = abcdefgh Δ1 = 1
Δ = 1 - (bi + dj + fk + bcdefgl) + (bidj + bifk + djfk) - bidjfk
abcdefgh
T=
1 - (bi + dj + fk + bcdefgl) + (bidj + bifk + djfk) - bidjfk

Contoh:
Tentukan fungsi alih sistem di bawah dengan menggunakan metode
penyelesaian
1) Manipulasi diagram balok
2) Signal flow graph (grafik aliran sinyal)
H2
-
R(s) C(s)
+ G1 + G2 + G3 G4
- +

H1

H3

47
R(s) C(s)
?

Penyelesaian
1) Mencari fungsi alih dengan menggunakan manipulasi diagram balok

H2
-
R(s) C(s)
+ G1 + G2 + G3 G4
- +

H1

H3

H2 /G4
-
R(s) C(s)
+ G1 + G2 + G3G4
- +

H1

H3

H2/G4

-
R(s) + G3G4 C(s)
+ G1 G2
1 – G3G4H1
-

H3

G 2 G 3G 4
1 - G 3G 4 H1 G 2 G 3G 4
=
æ G 2G 3G 4 öæ H 2 ö æH ö
1 + çç ÷÷çç ÷÷ (1 - G 3G 4 H1 ) + (G 2G 3G 4 )çç 2 ÷÷
è 1 - G 3G 4 H1 øè G 4 ø è G4 ø
G 2 G 3G 4
=
(1 - G 3G 4H1 ) + (G 2G 3H 2 )
sehingga fungsi alih sistem tersebut adalah

48
G1G 2G 3G 4
C(s) 1 - G 3G 4 H1 + G 2G 3H 2
=
R(s) 1 + G1G 2G 3G 4 H 3
1 - G 3G 4 H1 + G 2G 3H 2
G1G 2G 3G 4
=
1 - G 3G 4 H1 + G 2G 3H 2 + G1G 2G 3G 4 H 3

2) Mencari fungsi alih dengan menggunakan signal flow graph/grafik aliran


sinyal
H2
-
R(s) C(s)
+ G1 + G2 + G3 G4
- +

H1

H3

- H2(s)

R(s) 1 G1(s) G2(s) G3(s) G4(s) 1 C(s)

H1(s)

- H3(s)

P1 = G1 G 2 G 3 G 4
D1 = 1
D = 1 - (-G 2 G 3 H 2 + G 3 G 4 H1 - G1 G 2 G 3 G 4 H 3 )
D = 1 + G 2 G 3 H 2 - G 3 G 4 H1 + G1 G 2 G 3 G 4 H 3

sehingga fungsi alihnya adalah:

P1 Δ1
T =
D
G1 G 2 G 3 G 4
=
1 + G 2 G 3 H 2 - G 3 G 4 H1 + G1 G 2 G 3 G 4 H 3

49
BAB IV
KRITERIA PERFORMANSI

4.1 Spesifikasi Performansi.


Sistem kontrol dirancang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
tertentu. Biasanya spesifikasi performansi tidak boleh lebih tinggi dari yang
dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang diinginkan. Jika
ketelitian pada operasi keadaan mantap dari sistem kontrol yang diinginkan
menempati urutan yang pertama, maka kita tidak boleh menginginkan
spesifikasi performansi yang tinggi tetapi tidak begitu diperlukan pada
respon transien, karena spesifikasi tersebut akan memerlukan komponen
yang mahal.

50
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sistem kontrol umumnya disebut
dengan spesifikasi performansi. Hal tersebut berkaitan dengan kestabilan,
ketelitian, kepekaan, kesalahan keadaan mantap dan spesifikasi respon
transien.
Performansi sistem kontrol loop tertutup seharusnya memenuhi
kriteria/spesikasi performansi, di antaranya adalah:
• stabilitas (kestabilan)
• sensitivitas (kepekaan)
• akurasi (ketelitian)
• transient response (tanggapan peralihan)

4.2 Stabilitas/kestabilan
Sistem loop tertutup seharusnya stabil bahkan ketika sistem
diberikan sinyal perintah, diberikan input tambahan di berbagai tempat
dalam loop, diberikan power supply yang bervariasi, dan adanya perubahan
parameter-parameter dalam loop umpan balik

Sistem tidak stabil


Sebuah sistem dikatakan tidak stabil jika responnya terhadap suatu
masukan menghasilkan osilasi yang keras atau bergetar pada suatu
amplitudo/ harga tertentu.

Sistem stabil
Sebuah sistem dikatakan stabil jika sistem tersebut akan tetap dalam
keadaan diam/ berhenti kecuali jika dirangsang oleh suatu fungsi masukan,
dan akan kembali dalam keadaan diam jika rangsangan tersebut dihilangkan.
Ketidakstabilan merupakan hal yang tidak menguntungkan bagi suatu sistem
loop tertutup, sedangkan pada sistem loop terbuka sistem harus stabil.
Masukan sistem tidak mempengaruhi kestabilan suatu sistem,
sehingga jika sistem tersebut stabil terhadap suatu masukan maka dia akan
stabil untuk masukan yang ada, sebaliknya stabilitas hanya bergantung pada
karakteristik sistem itu sendiri.
Respon suatu sistem yang stabil dapat dikenali dari adanya peralihan
yang menurun menuju nol terhadap pertambahan waktu, sehingga sistem
yang stabil koefisien suku eksponensial yang terdapat dalam respon
transiennya harus merupakan bilangan-bilangan nyata yang negatif atau
bilangan kompleks dimana bagian nyatanya harus negatif.
Suatu respon yang berosilasi dengan amplitudo yang berkurang
terhadap waktu secara eksponensial dapat dilihat dalam Gambar 4.1. Respon
sistem tersebut merupakan respon sistem yang stabil, yang merupakan
respon peralihan sistem.

51
i (A)1

0 t(dt)

1
Gambar 4.1 Respon Peralihan Sistem Stabil.

Pendekatan untuk menentukan kestabilan sistem yaitu setelah


mengubah persamaan sistem ke dalam fungsi s melalui Transformasi
Laplace. Kestabilan tersebut didapatkan diantaranya adalah dengan
menggunakan persamaan karakteristik, menggunakan kriteria Routh -
Hurwitz, analisis tempat kedudukan akar-akar persamaan karakteristik (root
locus), atau dengan menggunakan kriteria Nyquist.

4.2.1 Persamaan Karakteristik


Stabilitas sistem umpan balik secara umum didapat dari fungsi alih
sistem, dimana fungsi alih sistem secara umum adalah
C(s) G(s)
=
R(s) 1 + G(s)H(s)
dimana R(s) merupakan masukan sistem, C(s) merupakan keluaran sistem,
G(s) merupakan penguatan sistem, dan H(s) merupakan umpan balik sistem
seperti terlihat dalam Gambar 4.2. Dengan membuat penyebut fungsi alih
sistem yaitu 1 + G(s)H(s) = 0, yang merupakan persamaan karakteristik
sistem dan dapat memberikan informasi mengenai kestabilan sistem.

R(s) + C(s)
G(s)
-
C(s) G(s)
=
R(s) 1 + G(s)H(s)
H(s)
1 + G(s) + H(s) = 0
N(s) Gambar 4.2 Diagram Balok N(s)
Sistem D(s)
dengan Jalur Maju G(s) dan
+ N(s)
G(s)H(s) = sehingga
Umpan Balik H(s).
1 + G(s) + H(s) = 1 + = =0
D(s) D(s) D(s)
C(s) G(s) D(s) + N(s) = 0 = (s + r1)(s + r2)....(s + rn)
=
R(s) 1 + G(s)H(s)

52
1 + G (s) H (s) = 0
N (s)
G (s) H (s) =
D( s)
Sehingga:
N ( s) D( s) + N ( s)
1 + G ( s) H ( s) = 1 + = =0
D( s) D( s)
D( s ) + N ( s ) = 0 = ( s + r1 )( s + r2 )...( s + rn )

-r1, -r2 merupakan akar-akar persamaan karakteristik.


Sistem tersebut akan stabil jika semua bagian nyata akar-akar tersebut
negatif

contoh :
Tentukan apakah sistem merupakan sistem yang stabil/tidak pada sistem di
bawah ini
2
1. Jika loop tertutup dengan G (s) = , H(s) = 1
s(s + 3)
persamaan karakteristiknya :
2 s 2 + 3s + 2
1 + G(s)H(s) = 1 + = =0
s(s + 3) s(s + 3)
s 2 + 3s + 2 = 0
(s + 2)(s + 1) = 0
akar-akarnya : r1= -2, r2 = -1
Syarat sistem stabil adalah bagian nyata akar-akar persamaan
karakteristiknya harus negatif.
Karena r1 dan r2 negatif maka sistem tersebut merupakan sistem yang
stabil.
211
2. Jika loop tertutup dengan G ( s ) = , H(s) = 1
s (0.01s )(0.02 s + 1)
persamaan karakteristiknya :
211
1 + G(s) + H(s) = 0 1+ =0
s(0.01s+1)(0.02s+1)
s(0.01s+1)(0.02s+1) + 211 = 0
0.002s3 + 0.03s2 + s + 211 = 0
s3 + 150s2 + 5000s + 1,056.106 = 0
(s +160)(s - 5 - 81j)(s - 5 + 81j) = 0
Akar-akarnya adalah r1,= -160; r2 = 5 + j 81; r3 = 5 -j 81

53
Karena r2 dan r3 bagian nyatanya positif maka sistem merupakan sistem
yang tidak stabil.

4.2.2 Kriteria Routh - Hurwitz


Bentuk umum persamaan karakteristik :
B1 sm + B2 sm-1 + B3 sm-2 + .... + Bm+1 = 0
Koefisien persamaannya disusun dalam 2 baris
sm B1 B3 B5 B7 ...
sm-1 B2 B4 B6 B8 ...
Semua koefisien diasumsikan bernilai real dan positif. Penambahan baris-
baris koefisien selanjutnya adalah sebagai berikut :
sm B1 B3 B5 B7 ...
sm-1 B2 B4 B6 B8 ...
sm-2 U1 U3 U5 U7 ...
sm-3 U2 U4 U6 U8 ...
sm-4 V1 V3 V5 V7 ...
sm-5 V2 V4 V6 V8 ...
. . . . .
. . . . .
. . . . .
s 0 Z1
dimana:
B2B3 - B1B4 B2B5 - B1B6
U1 = U3 =
B2 B2
U1B4 - B2U3 U1B6 - B2U5
U2 = U4 =
U1 U1
U2U3 - U1U4 U2U5 - U1U6
V1 = V3 =
U2 U2
Pada kriteria kestabilan dengan menggunakan Routh Hurwitz, baris pertama
tabulasi adalah sm dan baris terakhirnya adalah s0. Jumlah baris adalah
sebanyak m +1 (dimana m adalah orde persamaan karakteristik)

Kriteria kestabilan Routh Hurwitz adalah sebagai berikut


ü Dengan memeriksa apakah semua bagian pada kolom paling kiri
(B1, B2, U1, U2, V1, V2, ...) mempunyai tanda yang sama , hal ini

54
menandakan tidak ada akar pada bidang s sebelah kanan sehingga
sistem merupakan sistem yang stabil.
ü Jika ada perubahan tanda sebanyak x, maka akan terdapat akar
sebanyak x pada bidang s sebelah kanan

Misalnya diketahui suatu persamaan karakteristik


1 + G(s) H(s) = s3 + 4s2 + 100s + 500 = 0
baris yang dihasilkan dari persamaan karakteristik adalah baris pertama dan
kedua, baris selanjutnya didapatkan dari kedua baris tersebut dengan aturan
yang telah ada.

s3 1 100
s2 4 500
s -25 0
s0 500 0
Ada 2 perubahan tanda pada kolom pertama, yaitu 4 ke -25 dan -25 ke 500
sehingga ada 2 akar pada bidang s sebelah kanan, maka sistem merupakan
sistem yang tidak stabil.

Ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada tabulasi tersebut, yaitu:


1) Jika pada suatu baris (sebelum s0), kolom paling kiri berharga 0
sedangkan kolom yang lain tidak berharga 0, maka kolom paling kiri
yang berharga 0 digantikan konstanta positif yang cukup kecil (ε)
Misalnya diketahui persamaan karakteristik sistem adalah
1 + G(s) H(s) = s5 + s4 + 4s3 + 4s2 + 2s + 1 = 0
baris yang dihasilkan :
s5 1 4 2
s4 1 4 1
s3 (0 1 0)
digantikan
e 1 0
s2 4e-1 1 0
e
s -e2+4e-1 0 0
4e-1
s0 1 0 0
4ε - 1
Nilai pada kolom paling kiri, baris ke 4 berharga negatif,
ε

55
- ε 2 + 4ε - 1
nilai pada kolom paling kiri, baris ke 5 berharga positif,
4ε - 1
sehingga ada 2 perubahan tanda yang berarti ada 2 buah akar yang
terletak pada bidang s sebelah kanan, sehingga sistem merupakan
sistem yang tidak stabil.

2) Jika pada suatu baris sebelum s0, semua kolomnya berharga 0,


menunjukkan sepasang akar konjugate pada sumbu imaginer.
Untuk hal seperti ini, baris dapat dilengkapi dengan mendapatkan
polinomial pelengkap dari baris sebelumnya (baris terakhir sebelum
semua kolomnya berharga 0) yang kemudian diturunkan
(didiferensialkan) dan kemudian koefisiennya dipergunakan untuk
melengkapi baris. Nol polinomial pelengkap merupakan akar-akar nyata
persamaan karakteristik.
contoh :
1 + G(s)H(s) = s 3 + 10s 2 + 16s + 160 = 0

baris yang dihasilkan :


s3 1 16
s2 10 160
s 0 0
Gunakanlah koefisien baris kedua sebagai polinomial pelengkap
F(s) = 10s 2 + 160 = 0
Untuk melengkapi baris F(s) diturunkan terhadap s sehingga didapatkan
koefisien dan disisipkan ke dalam baris, sehingga didapat
s3 1 16
s2 10 160
s 0
20
20 0
s0 160
Tidak ada akar pada bidang s sebelah kanan karena tidak ada perubahan
tanda pada kolom paling kiri, sehingga sistem merupakan sistem yang
stabil. Namun demikian, terdapat sepasang akar konjugate pada sumbu
imajiner yaitu pada s1= j4 dan s2= -j4. Nilai tersebut didapat dari baris
kedua tabulasi, yaitu:
F(s) = 10s2 + 160 = 0

Contoh soal :
Tentukan harga K agar sistem dalam Gambar 4.3 stabil.

56
R(s) + K C(s)
- s(s2+s+1)(s+2)

Gambar 4.3 Sistem Loop Tertutup dengan Penguatan K.

Fungsi alih loop tertutupnya adalah


c(s) K/s(s2+s+1)(s+2) K
= =
2
R(s) 1 + K/s(s +s+1)(s+2) 2
s(s +s+1)(s+2) + K
Persamaan karakteristiknya adalah
s(s 2 +s+1)(s+2) + K = s 4 + 3s 3 + 3s 2 + 2s + K = 0
Tabulasinya :
s4 1 3 K
s3 3 2 0
s2 7/3 K
s1 2-9/7K
s0 K
7/3 x 2 - 3K 14 - 9K
=
7/3 7
Agar sistem stabil, semua elemen pada kolom pertama harus positif yaitu
2 - 9/7 K > 0 K>0
2 > 9/7 K
14/9 > K
sehingga agar sistem stabil, maka nilai K adalah 14/9 > K > 0
4.3 Sensitivitas/Kepekaan
Proses apapun yang diwakili oleh suatu fungsi alih bersifat peka
terhadap perubahan lingkungannya, usia, diabaikannya nilai yang pasti untuk
parameter-parameter sistem, dan faktor-faktor alamiah lainnya yang
mempengaruhi proses sistem kontrol.
Pada sistem terbuka, seluruh kesalahan dan adanya perubahan nilai
akan mengakibatkan perubahan dan ketidaktelitiannya pada keluaran. Pada
sistem loop tertutup akan peka terhadap perubahan keluaran yang
disebabkan oleh perubahan pada prosesnya dan mencoba memperbaiki
keluarannya.
Kepekaan sistem kontrol terhadap berubahnya parameter merupakan
suatu sifat yang penting. Keuntungan utama penggunaan sistem loop tertutup
terletak pada kemampuannya untuk mengurangi kepekaan sistem.
Sensitivitas/kepekaan adalah merupakan ukuran ketergantungan
karakteristik sistem pada unsur-unsur khusus. Misalnya sensitivitas fungsi
alih sistem loop tertutup T terhadap K adalah sebagai berikut

57
dlnT dT T
STK = =
dlnK dK K
dimana:
C(s )
T=
R (s )
Sensitivitas merupakan fungsi frekuensi dan sebuah sistem yang ideal
mempunyai sensitivitas nol untuk segala parameter.
Dalam Gambar 4.4 diberikan contoh kepekaan fungsi alih terhadap
perubahan parameter dalam sistem. Sistem tersebut mempunyai fungsi alih
C K1G
T= =
R 1 + K 2G

R + C
K1 G
-

K2

Gambar 4.4 Contoh Kepekaan Fungsi Alih Terhadap Perubahan


Parameter Sistem

Kepekaan fungsi alih terhadap perubahan parameter-parameter tersebut


adalah
a) Kepekaan fungsi alih T terhadap perubahan parameter K1 adalah sebagai
berikut
dT
STK1 = T = K1 dT
dK1 T dK1
K1
dT G T
= =
dK1 1 + K 2G K1
K T
STK1 = 1 =1
T K1
pada keadaan ini seluruh kesalahan dan adanya perubahan nilai pada K1
akan mengakibatkan perubahan dan ketidaktelitiannya pada keluaran
sistem.

b) Kepekaan fungsi alih T terhadap perubahan parameter K2 adalah sebagai


berikut

58
dT
STK 2 = T = K 2 dT
dK 2 T dK 2
K2
dT G - K12G 2
= =
dK 2 (1 + K 2G )2 K1 (1 + K 2G )2
K 2 - K12G 2 - K 2T 2 - K 2G
STK 2 = = =
T K1 (1 + K 2G )2 TK1 1 + K 2G
Untuk K 2G >> 1 Þ STK 2 @ -1
Pada keadaan ini mungkin akan menimbulkan keluaran yang berubah-
ubah dengan cepat (berosilasi), dan bahkan tak stabil.

c) Kepekaan fungsi alih T terhadap perubahan parameter G adalah sebagai


berikut
dT
STG = T = G dT
dG T dG
G
dT (1 + K 2G )K1 - K1GK 2 K1
= =
dK 2 (1 + K 2G )2
(1 + K 2G )2
G K1 1
STG = =
T (1 + K 2G ) 1 + K 2G
2

Pada keadaan ini dengan bertambahnya nilai G, maka pengaruh G


terhadap keluaran akan berkurang
Pada sistem tersebut jika nilai
K1 = 10 V/rad
K2 = 10 V/rad
100
G (s ) = ,
s(s + 1)
maka

59
STK1 = 1
- 10 ×100
- K 2G s(s + 1)
STK 2 = =
1 + K 2 G 1 + 10 ×100
s(s + 1)
- 1000 -1
= = 3 2
s(s + 1) + 1000 10 s + 10 3 s + 1
1 -1 s2 + s
STG = = = 2
1 + K 2 G 1 + 10 ×100 s + s + 100
s(s + 1)

Soal:
Dalam w Gambar 4.5, tentukan kepekaan fungsi alih T terhadap perubahan
parameter G1, G2, H, dan K3 pada w = 1 rad/dtk. Jika diketahui
R + + C
K1 G1 G2 K3
- -

K2

Gambar 4.5 Soal kepekaan fungsi alih T terhadap perubahan


parameter dalam sistem.

H = 4s
K1 = K2 = 10 V/rad
K3 = 3 V/rad
10
G1 =
100 + s
20
G2 =
s(s + 2)
Penyelesaian:

60
s 3 + 182s 2 + 8200s
STG1 =
s 3 + 182s 2 + 8200s + 2000
s 3 + 102s 2 + 200s
STG 2 = 3
s + 182s 2 + 8200s + 2000
- (80s 2 + 8000s)
STH = 3
s + 182s 2 + 8200s + 2000
STK 3 = 1

4.4 Ketelitian (accuracy)


Ketelitian berhubungan dengan error steady state/kesalahan keadaan
mantap. Kesalahan keadaan mantap merupakan selisih nilai keluaran
terhadap masukan sistem pada saat sistem dalam keadaan mantap. Sifat fisik
sistem kontrol adalah selalu mengalami kesalahan keadaan mantap dalam
merespon suatu jenis masukan tertentu. Sistem mungkin tidak mempunyai
kesalahan keadaan mantap untuk masukan step, tetapi sistem yang sama
dapat menunjukkan adanya kesalahan keadaan mantap untuk masukan ramp.
Untuk menghilangkan kesalahan keadaan mantap adalah dengan mengubah
struktur sistem. Suatu sistem akan menunjukkan kesalahan keadaan mantap
atau tidak tergantung pada jenis fungsi alih loop terbuka sistem.
Dalam sistem kontrol dikenal istilah tipe sistem yang didapat dari
fungsi alih loop terbuka G(s)H(s), dimana bentuk umum G(s)H(s) adalah
sebagai berikut
K(Tas + 1)(Tbs + 1).....(Tms + 1)
G(s) H(s) =
SN(T1s + 1)(T2s + 1)....(Tns + 1)
Persamaan di atas meliputi suku sN pada penyebut, menyatakan
pengalian kutub dengan N. Suatu sistem dikatakan tipe 0, tipe 1, tipe 2, jika
N = 0, N = 1, N = 2,...Tipe sistem ini berbeda dengan orde sistem.
Apabila G(s)H(s) ditulis sedemikian rupa sehingga masing-masing
suku dalam dalam penyebut kecuali susku sN, mendekati satu bila s
mendekati nol, maka penguatan loop terbuka secara langsung berhubungan
dengan kesalahan keadaan mantap.
Pada sistem loop tertutup dalam Gambar 4.6 nilai fungsi alih loop
tertutupnya adalah

R(s) + E(s) C(s)


G(s)
-

H(s)

Gambar 4.6G(s)
C(s) = E(s) Sistem Loop Tertutup.
E(s)
=
1
E(s) = R(s) - C(s) H(s) R(s) 1 + GH
61 G(s) dan H(s)
E(s) = R(s) - E(s) G(s) H(s) 1
E(s) = R(s)
E(s)(1+GH) = R(s) 1 + GH
C(s) = E(s) G(s)
E(s) = R(s) - C(s) H(s)
E(s) = R(s) - E(s) G(s) H(s)
E(s)(1 + G(s) H(s)) = R(s)
E(s) 1
=
R(s) 1 + G(s) H(s)
1
E (s) = R(s)
1 + G(s) H(s)
[
ess = L lim e (t )
t ®¥
]
= lim s E (s )
s ®0

s R (s )
= lim
s ®0 1 + G(s)H(s)

Koefisien kesalahan stabil menggambarkan keunggulan sistem


kontrol. Semakin besar koefisien yang diberikan semakin kecil kesalahan
keadaan mantapnya. Pada sistem yang diberikan, keluaran mungkin berupa
posisi, kecepatan, tekanan, suhu dan lain-lain. Oleh karena itu, selanjutnya
kita sebut keluaran sebagai “posisi”, laju perubahan keluaran “kecepatan”
dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa dalam sistem kontrol suhu “posisi”
menyatakan suhu keluaran, “kecepatan” menyatakan laju perubahan suhu
keluaran, dan sebagainya.

Koefisien kesalahan posisi Kp


Pembangkit kesalahan keadaan mantap sistem dengan masukan unit
step/tangga satuan adalah sebagai berikut:
Pada masukan unit step r(t) =1
R(s) = 1
s
s 1
ess = lim
s ® 0 1 + G (s )H (s ) s

1
=
1 + G (0 )H(0 )
Koefisien kesalahan posisi Kp
K p = lim G(s) H(s)
s ®0

= G (0 )H(0 )

62
Jadi, sinyal pembangkit kesalahan keadaan mantap dalam koefisien
kesalahan posisi adalah
1
ess =
1+ Kp

Untuk sistem tipe 0,


K(Ta s + 1)(Tb s + 1)....
K p = lim =K
s ®0 (T s + 1)(T s + 1)....
1 2

Untuk sistem tipe ≥ 1


K(T s + 1)(Tb s + 1)....
K p = lim N a = ¥ untuk N ³ 1
s ®0 s (T s + 1)(T s + 1)....
1 2
Oleh karena itu, sistem tipe 0, koefisien kesalahan posisi Kp
terhingga, sedangkan untuk sistem tipe 1 atau lebih besar koefisien
kesalahan posisi Kp tidak terhingga.
Jika masukan sistem berupa unit step, pembangkit kesalahan keadaan
mantap ess dapat disimpulkan sebagai berikut:
1
ess = untuk sistem tipe 0
1+ K
ess = 0 untuk sistem tipe ≥ 1
Sehingga dapat disimpulkan apabila diinginkan kesalahan keadaan
mantap untuk masukan step/langkah sama dengan nol, maka tipe sistem
harus satu atau lebih besar.

Koefisien kesalahan kecepatan Kv


Pembangkit kesalahan keadaan mantap sistem dengan masukan unit
ramp adalah adalah sebagai berikut:
Pada masukan unit ramp r(t) =t
R(s) = 1 2
s
s 1
ess = lim
s ®0 1 + G (s ) H (s ) s 2

1
=
sG (s ) H(s )
koefisien kesalahan kecepatan Kv didefinisikan sebagai
K v = lim sG(s) H(s)
s ®0

63
maka pembangkit kesalahan keadaan mantap dalam koefisien
kesalahan kecepatan diberikan oleh
1
ess =
Kv

Kesalahan kecepatan digunakan untuk menyatakan kesalahan keadaan


mantap untuk masukan berupa unit ramp. Dimensi kesalahan kecepatan
sama dengan kesalahan sistem. Oleh karena itu, kesalahan kecepatan
bukanlah kesalahan pada kecepatan, akan tetapi merupakan kesalahan pada
posisi yang disebabkan oleh masukan ramp.
Untuk sistem tipe 0,
sK(Ta s + 1)(Tb s + 1)....
K v = lim =0
s ®0 (T s + 1)(T s + 1)....
1 2

Untuk sistem tipe 1,


sK(Ta s + 1)(Tb s + 1)....
K v = lim =K
s ®0 s(T s + 1)(T s + 1)....
1 2

Untuk sistem tipe ≥2


sK(T s + 1)(Tb s + 1)....
K v = lim N a = ¥ untuk N ³ 2
s ®0 s (T s + 1)(T s + 1)....
1 2

Sehingga pembangkit kesalahan keadaan mantap ess untuk masukan unit


ramp adalah
1
ess = =¥ untuk sistem tipe 0
Kv
1 1
ess = = untuk sistem tipe 1
Kv K
1
ess = =0 untuk sistem tipe ≥ 2
Kv

Dari analisis di atas menunjukkan bahwa sistem tipe 1 dengan


umpan balik satuan dapat mengikuti masukan ramp dengan kesalahan
tertentu. Sistem dengan tipe 2 atau lebih besar dapat mengikuti masukan
ramp dengan pembangkit kesalahan nol pada keadaan mantap.

Koefisien kesalahan percepatan Ka


Pembangkit kesalahan keadaan mantap sistem dengan masukan unit
parabolik adalah adalah sebagai berikut:

64
2
Pada masukan unit parabolik r(t) = t t³0
2
r(t) = 0 t<0
R(s) = 1
s3
s 1
ess = lim
1 + G (s )H(s ) s 3
s ®0

1
= 2
s G (s )H(s )
koefisien kesalahan keadaan mantap didefinisikan oleh persamaan
K a = lim s 2 G(s) H(s )
s ®0
sehingga pembangkit kesalahan keadaaan mantap ess unit
parabolik adalah
1
ess =
Ka

Kesalahan percepatan yaitu kesalahan keadaan mantap pada masukan


parabolik yang merupakan kesalahan posisi.
Untuk sistem tipe 0,
s 2 K(Ta s + 1)(Tb s + 1)....
K a = lim =0
s ®0 (T1s + 1)(T2 s + 1)....
Untuk sistem tipe 1,
s 2 K(Ta s + 1)(Tb s + 1)....
K a = lim =0
s ®0 s(T s + 1)(T s + 1)....
1 2

Untuk sistem tipe 2,


s 2 K(T s + 1)(Tb s + 1)....
K a = lim 2 a =K
s ®0 s (T s + 1)(T s + 1)....
1 2

Untuk sistem tipe ≥ 3,


s 2 K(Ta s + 1)(Tb s + 1)....
K a = lim N =¥
s ®0 s (T s + 1)(T s + 1)....
1 2

Sehingga pada masukan yang berupa unit parabolik, pembangkit


kesalahannya adalah sebagai berikut:

65
ess = ¥ untuk sistem tipe 0 dan 1
1
ess = untuk sistem tipe 2
K
ess = 0 untuk sistem tipe ≥ 3
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa sistem tipe 2 dengan
umpan balik satuan dapat mengikuti masukan parabolik dengan sinyal
pembangkit kesalahan tertentu. Sistem tipe 3 atau lebih dengan umpan balik
satuan mengikuti masukan parabolik dengan pembangkit kesalahan nol pada
keadaan mantap.
4.5 Analisis Tanggapan Peralihan
Dengan menganalisis tanggapan peralihan (respon transien) sistem
dapat diketahui beberapa hal, diantaranya adalah mengenai waktu yang
diharapkan untuk mencapai keadaan mantap dan nilai kesalahan (error) yang
mengikuti sinyal masukan/input.
Selanjutnya yang akan dianalisis adalah mengenai respon sistem
untuk masukan unit step, ramp dan sebagainya. Dalam pembahasan ini
diasumsikan bahwa syarat awalnya adalah nol. Semua sistem yang
mempunyai fungsi alih sama akan menunjukkan respon/keluaran yang sama
dalam memberikan respon masukan yang sama.

SISTEM ORDE SATU


Diagram balok sistem orde satu dapat dilihat dalam Gambar 4.7
yang mempunyai fungsi alih sebagai berikut

R(s) + 1 C(s)
Ts
-

Gambar 4.7 Sistem Orde Satu.


1
C (s) Ts
=
R( s) 1+ 1
Ts
1
=
Ts + 1

R(s) 1 C(s) C(s) 1


=
Ts + 1 R(s) T s + 1

Respon Unit Step Pada Sistem Orde Satu

66
Jika sistem orde satu diberi masukan unit step r(t)= 1, dari Transformasi
Laplace fungsi ramp adalah R(s) = 1 . Keluaran sistem adalah sebagai
s
berikut
1
C(s) = R(s)
Ts + 1

1 1
C(s ) =
Ts + 1 s
1
=
s Ts + 1)
(
c(t) =L -1
[C(s )]
-t
c(t) =1- e T ( t³0 )

Persamaan keluaran tersebut menyatakan bahwa keluaran c(t) mula-


mula nol kemudian akhirnya menjadi satu (dapat dilihat dalam
Gambar 4.8). Salah satu karakteristik penting respon eksponensial c(t)
tersebut adalah bahwa pada t = T, maka c(t ) = 1 - e -1 @ 0.632 = 2 3
T = time constant / konstanta waktu sistem
= 2 harga akhir
3
Konstanta waktu T yang lebih kecil akan mempercepat respon sistem.
Karakteristik penting lainnya pada kurva respon eksponensial adalah
kemiringan garis singgung / gradien pada t = 0 adalah 1 T , karena
dc 1 1
= e-t/T =
dt T t=0 T
C(t)
slope = 1/T
C(t) = 1 - e-t/T
0,95
0,865

0,632

0 T 2T 3T 4T
t

Gambar 4.8 Respon unit step sistem orde satu.

67
Respon Unit Ramp Pada Sistem Orde Satu
Jika sistem orde satu diberi masukan unit ramp r(t) = t, dari Transformasi
Laplace fungsi ramp adalah R (s ) = 1 2 . Keluaran sistem adalah sebagai
s
berikut
1 1
C(s ) =
Ts + 1 s 2
c(t ) = L -1 [C(s )]
-t
c(t ) = t = T + Te T
Respon unit ramp sistem orde satu tersebut dapat dilihat dalam Gambar 4.9.

Sinyal error / kesalahan e(t) adalah


e(t ) = r (t ) - c(t ) = t - æç t - T + Te T ö÷
-t

è ø
e(t ) = Tæç1 - e T ö÷
-t

è ø
e(¥ ) = T
yang merupakan kesalahan keadaan mantap.

r(t)
c(t)
6T error
steady state
T
T
4T
r(t)=t

2T
c(t)

0
2T 4T 6T T

Gambar 4.9 Respon unit ramp sistem orde satu.

Respon Fungsi Impuls

68
Jika sistem orde satu diberi masukan fungsi unit impuls, dari Transformasi
Laplace fungsi unit impuls adalah R(s) = 1.
Keluaran sistem adalah sebagai berikut
1 1 -t
C(s ) = C(t ) = e T t ³ 0
Ts + 1 T
1 1 -t T
c(s ) = c(t ) = e t³0
Ts + 1 T
yang dapat dilihat dalam Gambar 4.10.

C(t)

1/T

0 t
T 2T 3T 4T
Gambar 4.10 Respon unit impuls sistem orde satu.

SISTEM ORDE DUA


Diagram balok sistem orde dua dapat dilihat dalam Gambar 4.11,
sedangkan fungsi alihnya adalah sebagai berikut

R(s) + wn 2 C(s)
s(s+2xwn)
-

Gambar 4.11 Sistem Orde Dua.

wn2
C (s) s ( s + 2xwn )
=
R( s) wn2
1+
s ( s + 2xwn )
wn2
=
s ( s + 2xwn ) + wn2

69
wn2
=
s 2 + 2xwn s + wn2

Akar-akar penyebut fungsi alih atau persamaan karakteristik adalah


- 2xwn s ± (2xwn s ) 2 - 4w n2
s12 =
2
s12 = -xwn ± wn x 2 - 1

= -xwn ± jwn 1 - x 2
s12 = -xwn ± jwd
dimana
x = rasio peredaman sistem (damping ratio)
wn = frekuensi natural/alamiah tak teredam
wd = frekuensi natural/alamiah teredam

Kelakuan dinamik sistem orde dua dapat digambarkan dalam suku


dua parameter ξ dan ωn . Jika (0 < x < 1) , maka pole loop tertutup
merupakan konjugat kompleks dan berada pada bidang s sebelah kiri. Dalam
hal ini, sistem dikatakan dalam peredaman dan tanggapan peralihan
berosilasi. Jika (ξ = 1) , maka sistem dikatakan teredam kritis. Sistem
terlalu teredam berhubungan dengan (ξ > 1) . Tanggapan peralihan sistem
teredam kritis dan sistem terlalu teredam tidak berosilasi. Jika ξ=0,
tanggapan peralihan tidak muncul.

Pada sistem orde dua seperti terlihat dalam Gambar 4.11,


berdasarkan respon sistem dengan masukan unit step akan terdapat tiga
keadaan yang berbeda yaitu keadaan teredam (0 < x < 1) , teredam kritis
(ξ = 1) , dan sistem terlalu teredam (ξ > 1) .
1) Keadaan Kurang Teredam / Underdamped (0 < x < 1)
C(s) ω 2n
=
R(s) (s + ξ ω n + jω d )(s + ξ ω n - jω d )
Jika sistem diberi input berupa unit step :
ωn2
C(s) = 2
(s + 2ξωn s + ωn2 )s

70
Dari Tabel Transformasi Laplace didapatkan

1
c(t) = 1 - e -ξω n t sin (ω n 1 - ξ 2 t + f )
2
1- ξ
1- ξ2
f = arctan
x
Jika wd = wn 1 - x 2 ; maka

e -ξω n t æ 1- ξ2 ö
c(t) = 1 - sin ç ω d t + arctan ÷ t³0
ç ξ ÷
1- ξ2 è ø

Respon sistem tersebut juga bisa diperoleh dengan menggunakan


Transformasi Laplace balik jika C(s) ditulis dalam bentuk berikut:

1 s + 2xwn
C (s ) = - 2
s s + 2xwn s + wn2
1 s + xwn xwn
= - -
s ( s + xwn ) + wd ( s + xwn ) 2 + wd2
2 2

-1 é s + xwn ù
L ê 2ú
= e -xw n t cos wd t
ë ( s + xwn ) + wd û
2

é xwn ù
L -1 ê 2ú
= e -xw n t sin wd t
ë ( s + xwn ) + wd û
2

oleh karena itu, transformasi laplace balik dari persamaan


ωn2
C(s) = 2
(s + 2ξωn s + ωn2 )s
diperoleh sebagai
L -1
[C (s)] = c(t )

71
æ ξ ö
c(t) = 1 - e -ξωn t ç cos ω d t + sin ω d t ÷
ç ÷
è 1- ξ2 ø
e - ξω n t æ 1 - ξ ö÷
2
c(t) = 1 - sin ç ω d t + arctan t³0
ç ξ ÷
1- ξ2 è ø
Sinyal kesalahan / error adalah e(t) = r(t) – c(t), dimana
r(t) = 1
dan
æ ξ ö
c(t) = 1 - e -ξωn t ç cos ω d t + sin ω d t ÷
ç 1- ξ2 ÷
è ø
sehingga
æ ξ ö
e(t) = e -ξω n t ç cos ω d t + sin ω d t ÷ t³0
ç ÷
è 1- ξ2 ø
jika ξ = 0 Þ c(t) = 1 - cos ω n t

2) Teredam Kritis / Critically Damped (ξ = 1)

Dalam hal ini apabila dua pole C ( s ) hampir sama, maka sistem
R( s)
dapat didekati dengan bentuk teredam kritis. Jika input berupa unit
step dimana R(s) = 1/s dan C(s) dapat ditulis dengan
ω 2n
C(s) =
(s + ω n ) 2 s
c(t) = 1 - e - ω n t (1 + ω n t) t³0

3) Terlalu Teredam / Overdamped (ξ > 1)

Dalam hal ini pole C ( s ) adalah bilangan nyata / real negatif


R( s)
yang tidak sama. Jika input berupa unit step dimana R(s) = 1/s dan
C(s) dapat ditulis dengan

72
ω 2n
C(s) =
(s + ω n ) 2 s
ω 2n
C(s) =
æç s + ξω + ω ξ 2 - 1 ö÷æç s + ξω - ω ξ 2 - 1 ö÷s
è n n
øè n n
ø
ωn æ e - s1t
e - s2t
ö
c(t) = 1 + ç - ÷ t³0
ç s2 ÷ø
2 ξ 2 - 1 è s1

dengan s1 = æç ξ + ξ 2 - 1 ö÷ω n
è ø
s 2 = æç ξ - ξ 2 - 1 ö÷ω n
è ø
Tanggapan c(t) terdiri dari dua suku eksponensial menurun.

TANGGAPAN PERALIHAN
Sistem dengan tenaga tidak dapat memberikan tanggapan seketika
dan akan menunjukkan tanggapan peralihan walaupun diberi masukan
ataupun gangguan. Karakteristik unjuk kerja sistem kontrol yang diinginkan
dicirikan oleh suku tanggapan peralihan terhadap masukan unit step karena
hal itu mudah dilakukan dan cukup drastis. Jika tanggapan terhadap masukan
unit step diketahui, secara matematis dapat dihitung tanggapan untuk
masukan yang lain.
Tanggapan peralihan sistem kontrol selalu menunjukkan osilasi
teredam sebelum mencapai keadaan mantapnya, hal ini juga menunjukkan
bahwa sistem tersebut mempunyai rasio peredaman (0 < x < 1) yang juga
berarti bahwa sistem tersebut merupakan sistem yang kurang teredam /
underdamped.
Tanggapan peralihan sistem kontrol terhadap masukan unit step
umumnya dikelompokkan sebagai berikut (lihat Gambar 4.12):
1) Delay Time / Waktu Tunda, td
Waktu yang dibutuhkan oleh respons untuk mencapai setengah
harga akhir pada saat lonjakan pertama
2) Rise Time / Waktu Naik, tr
Waktu yang dibutuhkan oleh respons agar bertambah dari 10%
menjadi 90% dari nilai akhir
3) Peak Time / Waktu Puncak, tp
Waktu yang dibutuhkan oleh respons untuk mencapai puncak
pertama lonjakan (maksimum)
4) Maximum Overshoot / Lonjakan Maksimum, Mp
Merupakan nilai puncak kurva respons diukur dari satu

73
c(t p ) - c(¥)
Mp = ´ 100%
c(¥)
dengan c(tp) = nilai respons pada saat lonjakan maksimum.
c(∞) = nilai respons pada saat keadaan mantap.
5) Settling Time / Waktu Turun, ts
Waktu yang dibutuhkan oleh respons untuk mencapai harga tertentu
dan tetap dalam range nilai akhir (biasanya 5% atau 2%)
C(t)

Mp 0,05
atau
1 0,02
0,9
td
toleransi yang
0,5 diijinkan

0,1
t
0 tr

tp
ts

Gambar 4.12 Respon Unit Step Sistem Orde Dua.


Rise time (tr):
æ ξ ö
c(t r ) = 1 = 1 - e -ξω n t r ç cos ω d t r + sin ω d t r ÷
ç ÷
è 1- ξ2 ø
e -ξω n t r ¹ 0, sehingga
ξ
cos ω d t r + sin ω d t r = 0
1- ξ2

ωd1- ξ2
tan ω d t r = - =
ξ σ
Maka diperoleh nilai rise time (tr)
1 æ ω ö π -β
tr = arctanç d ÷ =
ωd è - σ ø ωd
dengan nilai β seperti yang didefinisikan dalam Gambar 4.13.

74
jw

jwd

wn 1 - x2 wn

b
-s xwn 0 s

Gambar 4.13 Definisi Sudut β.

æ 1 - x 2 ö÷
Dapat dilihat bahwa arctanç - terletak diantara p dan π,
ç x ÷ 2
è ø
æ 1 - x 2 ö÷ p +
jika ξ = 0 + maka arctanç - =
ç x ÷ 2
è ø
æ 1 - x 2 ö÷
Jika ξ = 1 - maka arctanç - =p -
ç x ÷
è ø

Peak Time / Waktu Puncak (tp):


Waktu puncak dapat diperoleh dengan menurunkan c(t) terhadap
waktu dan menyamakannya dengan nol, atau
dc wn
dt = 0 = (s in w d tp ) e - x w nt p
t = tp 1 - x 2

Menghilangkan persamaan berikut:


sin wd tp = 0
wd tp = 0, p, 2p, 3p, .....
Karena waktu puncak tp berhubungan dengan waktu puncak overshoot /
lonjakan pertama, maka nilai waktu puncak tersebut adalah
p
tp = w
wd tp = p d

Maximum Overshoot / Overshoot Maksimum (Mp):

75
Overshoot maksimum terjadi pada waktu puncak atau pada
π
t = tp =
ωd
Jadi dari persamaan keluaran, Mp diperoleh
M p = c (t p ) - 1

-ξ ωn ( π )æ ξ ö
= -e ωd ç cos π + sin π ÷
ç ÷
è 1- ξ2 ø
-æç σ ö÷ π
è ωd ø
=e
æ ö
-ç ξ ÷π
ç 1- ξ 2 ÷
=e è ø

Persen overshoot maksimum adalah sebagai berikut


- æç σ öπ
÷
è ωd ø
e ´ 100%

Setlling Time / Waktu Turun (ts):


Untuk sistem orde dua dalam redaman, tanggapan peralihan
diperoleh dari persamaan respons

e -ξω n t æ 1- ξ2 ö
c(t) = 1 - sin ç ω d t + arctan ÷ t³0
ç ξ ÷
1- ξ2 è ø

Ada dua kriteria untuk menentukan waktu turun yaitu kriteria 2%


dan 5% :
Untuk kriteria 2%,
4 4 4 4
ts = 4T = = = =
s xw n 0,456.3,53 1,61

Untuk kriteria 5%,

3 3
ts = 3T = =
s xw n

Contoh soal 1:

76
Dalam Gambar 4.14 dengan ξ = 0,6 dan ωn = 5 rad/dt. Tentukan waktu naik
tr, waktu puncak tp, overshoot maksimum Mp, dan waktu turun ts bila sistem
diberi masukan unit step.

R(s) + wn2 C(s)


s(s+2xwn)
-

Gambar 4.14 Sistem Orde Dua.

Penyelesaian:
Diketahui: ξ = 0,6
ωn = 5 rad/dt
sehingga
wd = wn 1 - x 2
= 5 1 - (0,6) 2
= 4 rad/dt

σ = ξωn
= 0,6 . 5 = 3

Waktu naik sistem adalah


p-b 3,14 - b
tr = =
wd 4
wd 4
b = tg-1 s = tg-1 3 = 0,93 rad
p-b 3,14 - b 3,14 - 0,93
tr = = = = 0,55 dt
wd 4 4

Waktu puncak sistem adalah


p = 3,14 = 0,785 dt
tp = w
d 4
Overshoot Maksimum adalah
M p = e - ( σ ωd )π = e - (3 4)3.14 = 0,095
Overshoot maksimum (%) = 9,5%
Waktu turun/settling time:

77
Ada dua kriteria untuk menentukan waktu turun yaitu kriteria 2%
dan 5% :
Untuk kriteria 2%,
4 4
t s = 4T = = = 1,33 detik
s 3
Untuk kriteria 5%,
3 3
t s = 3T = = = 1 detik
s 3

Contoh soal 2
Pada sistem dalam Gambar 4.15, tentukan nilai penguatan K dan Kh
sehingga maksimum overshoot pada tanggapan unit step sebesar 0,2 dan
waktu puncak 1 detik. Dengan nilai K dan Kh tersebut di atas, tentukan
waktu naik dan waktu turun.

R(s) + K C(s)
s(s+1)
-
1 + Khs

Gambar 4.15 Sistem Kontrol.

Penyelesaian:
Nilai maksimum overshoot

1-ξ 2 )π p
M p = e -( ξ tp = =1
wd
1-ξ 2 )π
0.2 = e -( ξ wd = p = 3.14rad/dt
1-ξ 2 )π
ln e -( ξ = ln 0.2
2
e -( ξ 1-ξ )π
= -1.61
ξ = 0.456

Waktu puncak diketahui sama dengan 1 detik, sehingga

78
1 - ξ 2 )π p
M p = e - (ξ tp = =1
wd
1 - ξ 2 )π
0.2 = e - ( ξ w d = p = 3,14rad/dt
1 - ξ 2 )π
ln e - ( ξ = ln 0.2 Karena ξ = 0,456 maka nilai
2 wd
e - (ξ 1 - ξ )π
= -1.61 wn =
ξ = 0.456 1-x 2
= 3,53
Karena frekuensi alami w n sama dengan K dalam contoh ini,
K = w = 12,5
2
n

dengan menggunakan persamaan


B + K Kh
x= ,
2 KJ

Maka diperoleh nilai K h adalah


2 Kx
Kh =
K
= 0,178

Waktu naik t r :
p -b
tr =
wd
dengan
wd
b = arctan
-s
3,14
= arctan
- xw n
3,14
= arctan
0,456.3,53
= arctan 1,95
= 1,10
sehingga

79
3,14 - 1,10
tr =
3,14
t r = 0,65 detik

Waktu turun t s :
Untuk kriteria 2%,
4 4 4 4
ts = = = =
s xw n 0,456.3,53 1,61
= 2,48 detik

Untuk kriteria 5%
3 3 3 3
ts = = = =
s xw n 0,456.3,53 1,61
= 1,86 detik

BAB V
METODE ANALISIS SISTEM KONTROL

5.1 Metode Root Locus


Metode root locus / letak kedudukan akar digunakan untuk meneliti
perilaku sistem dengan parameter sistem berubah pada lingkup tertentu,
misalnya perubahan parameter penguatan K. Di dalam analisis sistem,
penguatan K dipilih sedemikian rupa agar sistem stabil serta memberikan
respon yang baik. Rancangan dimaksudkan agar letak pole dan zero dari
fungsi alih loop tertutup terletak pada daerah yang ditentukan. Agar sistem
stabil, pole dan zero harus terletak pada bidang s sebelah kiri sumbu
imajiner.

80
Metode letak kedudukan akar ini memberikan informasi penguatan
K jika penguatan K diubah dari nol menjadi tak terhingga. Metode ini
memungkinkan kita untuk untuk mencari pole loop tertutup dan zero loop
terbuka dengan penguatan sebagai parameter.

R(s) C(s)
K? G(s)

H(s)

Gambar 5.1 Sistem Loop Tertutup.

Fungsi alih loop tertutup secara umum adalah sebagai berikut


C(s) G(s)
=
R(s) 1 + G(s)H(s)
akar-akar karakteristik yang memenuhi persamaan karakteristik:
1 + G(s) H(s) = 0

Suatu sistem loop tertutup dalam Gambar 5.1 mempunyai persamaan


karakteristik sebagai berikut
1 + K G(s) H(s) = 0
atau
K G(s) H(s) = -1
maka akar karakteristik adalah harga s yang memenuhi syarat berikut ini:

syarat sudut
ÐG(s) H(s) = 180! (2K + 1); K = 0,1,2,3,...
syarat magnitud
G(s)H(s) = 1

Aturan yang dipakai untuk menggambarkan root locus adalah sebagai


berikut:
Aturan 1
Harga K = 0 pada root locus adalah pada pole G(s) H(s)
Aturan 2
K = ∞ pada root locus adalah pada zero G(s) H (s)

81
contoh
K(s + 1)
1+ =0
s(s + 2)(s + 3)
s +1
G(s) H(s) =
s(s + 2)(s + 3)
zero digambarkan dengan ο , yaitu z = -1
pole digambarkan dengan ´ , yaitu p1 = 0, p 2 = -2, p 3 = -3 ,

jw

K= 0 K= 0 K= ∞ K= 0

-3 -2 -1 0 σ

Aturan 3
Jumlah cabang pada root locus adalah sama dengan jumlah yang
terbesar diantara pole dan zero G(s) H(s).
misal:
Untuk contoh diatas, zero-nya adalah 1, pole-nya adalah 3; maka
jumlah cabang adalah 3
Aturan 4
Gambar root locus selalu simetri terhadap sumbu real.

Aturan 5
Bila jumlah titik zero (nz), lebih kecil dari jumlah pole (np), dengan
selisih N = n p - n z , maka terdapat sejumlah N bagian akar yang harus
berakhir pada titik-titik zero di tak terhingga (Catatan: jumlah zero
sebanding dengan jumlah pole ketika zero berada di tak terhingga). Root
locus tersebut berjalan sepanjang suatu asimtot bila K menuju tak terhingga.
Root locus pada sumbu real dapat ditentukan dengan melihat bahwa jumlah
pole dan zero dari sebelah kanan adalah ganjil.
Aturan 6
Perpotongan asimtot dengan sumbu real pada titik:
h - h2
σ= 1
n-m

82
dengan
h1 = jumlah pole G (s) H(s)
h2 = jumlah zero G(s) H(s)
n = banyaknya pole
m = banyaknya zero
Aturan 7
Untuk K mendekati tak terhingga, sudut root locus terhadap sumbu real:
(2K + 1)180!
θK = ;
n-m
dengan
n = banyaknya pole
m = banyaknya zero
contoh:
K(s + 1)
G(s) H(s) =
s(s + 4)(s 2 + 2s + 2)
K=0 θ 0 = π = 60!
3
K =1 θ1 = 3π = 180!
3
K=2 θ 2 = 5π = 300!
3
(0 - 4 - 1 + j - 1 - j) - (-1) 5
σ= =-
3 3

Aturan 8
Menentukan titik potong tempat kedudukan akar dengan sumbu imajiner,
dapat diperoleh dengan 2 cara yaitu:
a. Kriteria kestabilan Routh-Hurwitz
Berdasarkan batas bahwa K ³ 0, dapat ditentukan nilai K dengan kriteria
kestabilan Routh-Hurwitz
b. Dengan memasukkan s = jω pada persamaan karakteristik, menyamakan
bagian nyata maupun imajiner dengan nol, kemudian mencari harga w
dan K.
contoh:
persamaan karakteristik :
s 3 + 3s 2 + 2s + K = 0
(jw ) 3 + 3(jw ) 2 + 2(jw ) + K = 0
(K - 3ω 2 ) + j(2ω - ω3 ) = 0
K - 3ω 2 = 0

83
2ω - ω3 = 0
diperoleh
ω = ± 2,
K =6
Berarti, root locus memotong sumbu imajiner di ω = ± 2 , harga K pada
titik ini adalah 6 (0 £ K £ 6)
Aturan 9
Menentukan titik breakaway dan breakin.
Titik breakin atau breakaway adalah titik dimana sepasang cabang root locus
bertemu atau berpisah dengan membesarnya harga K.
Titik breakin atau breakaway merupakan akar-akar persamaan:
dG(s) H(s)
=0
ds
dK
atau = 0 pada persamaan karakteristik sistem.
ds
Aturan 10
Sudut berangkat atau sudut datang root locus adalah berasal dari pole
kompleks atau zero kompleks. Sudut berangkat q d dari pole dan sudut
datang q a menuju zero dapat ditentukan dengan mengaplikasikan kondisi
sudut terhadap titik yang sangat dekat dengan pole atau zero. Sudut datang
pada zero, -z1 diperoleh dari
m n
θaz1+ å
i =2
Ð(- z1 + z i ) - å Ð(- z
i =1
1 + p i ) = ±180 ! (2 K + 1)

Misalnya:
Dalam root locus Gambar 5.2, tentukan sudut berangkat p2.

84

θp2

-p2
2j

116,6º
-z1 33,7º
σ
-4 -2 -p1 1

90º

-p3 -2j

Gambar 5.2 Root Locus dengan Sudut Berangkat.

q z1 = tan -1 (2 / 3) = 33,7 !
q p1 = tan -1 (-2 / 1) = 116,6 !
q p 3 = 90 !
sehingga
33,7 ! - (90 ! + 116,6 ! + q p 2 ) = 180 !
q p 2 = -352,9 ! = +7,1!
Sehingga sudut berangkat dari p2 adalah +7,1 !

5.1 Analisis Root Locus (Tempat Kedudukan Akar)


Akar-akar persamaan karakteristik suatu sistem loop tertutup
mendefinisikan karakteristik tanggapan sistem.
Lokasi akar pada bidang s kompleks merupakan prediksi karakteristik
tanggapan fungsi waktu pada :
• rasio peredaman ( x )
• frekuensi alamiah ( ωn )
Akar tersebut berubah sesuai dengan penguatan loop (K) yang bervariasi
dari 0 menuju ∞. Penguatan K = 0 terjadi pada pole G(s)H(s), sedangkan
penguatan K = ∞ terjadi pada zero G(s)H(s).

Contoh 1
85
Gambarkan root locus dan berikan analisis respon/tanggapan unit step untuk
berbagai nilai penguatan K pada sistem loop tertutup dalam Gambar 5.2.

R(s) E(s) K C(s)


+ s(s+2)
-

Gambar 5.3 Sistem Loop Tertutup.

Penyelesaian:
Fungsi alih sistem ini adalah
C (s) K / s ( s + 2) K K
= = = 2
R ( s ) 1 + K / s ( s + 2) s ( s + 2) + K s + 2 s + K
Untuk menggambarkan root locus diperlukan beberapa aturan yang dipakai
dalam root locus, yaitu
Aturan 1
Harga K = 0 pada root locus adalah pada pole G(s) H(s), yaitu pada s = 0 dan
s = -2.
pole digambarkan dengan tanda ´ , yaitu pada p1 = 0 dan p2 = -2.
Aturan 2
K = ∞ pada root locus adalah pada zero G(s) H (s), dalam soal ini tidak ada
nilai zero, yang berarti root locus berakhir di zero ∞.
Aturan 3
Jumlah cabang pada root locus adalah sama dengan jumlah yang terbesar
diantara pole dan zero G(s) H(s).
misal:
Untuk contoh diatas, zero-nya adalah 0, pole-nya adalah 2; maka jumlah
cabang adalah 2.
Aturan 4
Gambar root locus selalu simetri terhadap sumbu real.

Aturan 5
Bila jumlah titik zero (nz), lebih kecil dari jumlah pole (np), dengan selisih
N = n p - n z , maka terdapat sejumlah N bagian akar yang harus berakhir
pada titik-titik zero di tak terhingga.
Dalam soal ini N = 2 – 0 = 2 sehingga ada 2 bagian akar yang berakhir pada
titik-titik zero di ∞.

86
Root locus pada sumbu real dapat ditentukan dengan melihat bahwa jumlah
pole dan zero dari sebelah kanan adalah ganjil.
Aturan 6
Perpotongan asimtot dengan sumbu real pada titik:
h - h2 2 + 0
σ= 1 = =1
n-m 2-0
dengan
h1 = jumlah pole G (s) H(s)
h2 = jumlah zero G(s) H(s)
n = banyaknya pole
m = banyaknya zero
Aturan 7
Untuk K mendekati tak terhingga, sudut root locus terhadap sumbu real:
(2K + 1)180!
θK = ;
n-m
dengan
n = banyaknya pole
m = banyaknya zero
contoh:
K
G(s) H(s) =
s(s + 2)
180 0
K=0 θ0 = = 90 !
2
540
K =1 θ1 = = 270 !
2
Aturan 8
Titik potong tempat kedudukan akar dengan sumbu imajiner dalam soal ini
tidak akan mungkin terjadi karena untuk K mendekati ∞, sudut root locus
terhadap sumbu real adalah 90o dan 270 o.
Aturan 9
Titik breakaway merupakan akar-akar persamaan dari
dG(s) H(s)
= 0,
ds
d (1 / s ( s + 2) d ( s 2 + 2 s ) -1
= =0
ds ds
–2s – 2 = 0
s = -1
atau

87
dK
=0,
ds
Persamaan karakteristik sistem adalah 1 + KG(s)H(s) = 0 atau merupakan
penyebut fungsi alihnya, sehingga persamaan karakteristiknya adalah
s2 + 2s + K
atau
K = - s 2 - 2 s , sehingga
dK
=0
ds
d (- s 2 - 2s)
= -2 s - 2 = 0
ds
2s = - 2
s = -1
sehingga titik breakawaynya adalah pada s = - 1 .

Root locus pada contoh ini dapat dilihat dalam Gambar 5.4.

Gambar 5.4 Root Locus dengan Breakaway.

Sehingga pada root locus yang penguatannya bervariasi dari K = 0 menuju K


= ∞ tersebut dapat disimpulkan diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Persamaan karakteristik sistem merupakan penyebut fungsi alih,
yaitu
s 2 + 2s + K = 0

Akar persamaan karakteristik sistem tersebut adalah

88
- 2 ± 4 - 4K
s=
2

s = -1 ± 1 - K

Pada K = 0, pole G(s)H(s) terletak pada s = 0 dan s = -2.


Pada 0<K<1, root locus terletak pada sumbu real sampai titik
breakaway pada s = -1.
Pada K > 1, root locus terletak pada bidang kompleks, dengan nilai
real –1 dan nilai imajiner naik dengan bertambahnya penguatan K.
(b) Sistem stabil pada penguatan 0<K<∞
(c) Respon unit step berubah sesuai dengan besarnya nilai K dalam
sistem dapat dilihat dalam Gambar 5.5.

Gambar 5.5 Respon Unit Step dengan Variasi Nilai K.

Titik breakaway :
Ketika dua atau lebih akar bertemu, mereka akan menjauh dari titik
tersebut dengan sudut tertentu. Titik tersebut dikenal sebagai titik
breakaway. Titik breakaway tersebut berhubungan dengan banyaknya akar
pada sistem. Beberapa contoh titik breakaway sehubungan dengan
banyaknya akar dapat dilihat dalam Gambar 5.6 berikut:

89
jω jω

σ σ

jω jω

45º
σ σ

Gambar 5.6 Titik Breakaway dengan Banyak Akar yang Bervariasi.

Contoh 1:
Diketahui suatu fungsi alih suatu sistem loop adalah sebagai berikut
K
KG(s)H(s) = 2
s ( s + 4)( s + 4 s + 20)
Akar-akarnya adalah
s = 0, s = –4, s = –2 ± j4
Bagian sumbu real diantara 0 dan –4 .

Sudut asimtot:
(2K + 1)180!
θK =
n-m
(2K + 1)180 !
θK =
4-0

90
180 0
K=0 θ0 = = 45 !
4
540
K =1 θ1 = = 135 !
4
900
K=2 θ2 = = 225 !
4
1260
K =3 θ3 = = 315 !
4
Perpotongan asimtot dengan sumbu real pada titik:
h - h 2 (-4 - 2 + 4 j - 2 - 4 j - 0) - 8
σ= 1 = = = -2
n-m 4 4
Root locusnya dapat dilihat dalam Gambar 5.7.

4j
asimtot

2j

45º
σ
-4 -2 1

-2j

-4j

Gambar 5.7 Root Locus.


Titik breakaway:
d é 1 ù
ds ë s + 8s + 36 s + 80 s úû
ê 4 3 2

(4 s 3 + 24 s 2 + 72 s + 80)
= - =0
( s 4 + 8s 3 + 36 s 2 + 80 s ) 2

91
atau s3 + 6s2 +18s +20 = 0
sehingga didapat nilai s adalah - 2,-2 ± j 2,45 , atau terdapat tiga titik
breakaway pada nilai s tersebut.

4j

2j
45º
σ
-4 -2 1

-2j

-4j

Gambar 5.8 Root Locus dengan Titik Breakaway.

Perpotongan root locus dengan sumbu imajiner:


Pers. karakterististik
Tabel Routh Hurwitz
4
s 1 36 K
s3 8 80 0
2
s 26 K 0
s 80-8K/26 0 0
0
s K 0 0
Kondisi untuk stabil kritis/ambang stabil,
80 - 8K/26 > 0
atau K < 260

Persamaan pembantu
26 s2 + 260 = 0
atau s2= -10
s = ± j 10 = ± j 3,16

92
Root locus secara lengkap dapat dilihat dalam Gambar 5.9.

4j
3.16j

2j
45º
σ
-4 -2 1

-2j

-4j

Gambar 5.9 Root Locus Secara Lengkap.

Contoh 2:
Diketahui sistem loop tertutup seperti terlihat dalam Gambar 5.10,
gambarkan root locusnya.
R(s) K C(s)
s (0,1s + 1)( s + 3)

Gambar 5.10 Sistem Loop Tertutup.

Penyelesaian:

Pole sistem terletak pada


s=0
s = -10
s = -3

å p -åz
a =
n p -nz

93
(0 - 10 - 3) - 0
=
3-0
- 13
=
3
= -4,33

(2k + 1) × 180!
qk =
n p - nz
1
q 0 = × 180! = 60!
3
3
q1 = × 180! = 180!
3
5
q 2 = × 180! = 300!
3

Y1
tan 60! =
4.33
Y1 = 4,33 tan 60 !
= 7,5
Y2 = 4,33 tan 300 !
= -7,5

seperti terlihat dalam Gambar 5.11.

94
jw

Y1

180o 60o
300o
0
s
-4.33

Y2

Gambar 5.11 Sudut Root Locus Menuju Tak Terhingga.

Perpotongan root locus dengan sumbu imajiner dengan menggunakan


persamaan karakteristik,
1 + G (s) H (s) = 0
K
1+ =0
s (0,1s + 1)( s + 3)
K
1+ =0
0,1s + 1,35s 2 + 3s
3

0,1s 3 + 1,35s 2 + 3s + K
=0
0,1s 3 + 1,35s 2 + 3s
0,1s 3 + 1,35s 2 + 3s + K = 0 s = jw
0,1( jw ) + 1,35( jw ) + 3( jw ) + K = 0
3 2

- 0,1 jw 3 - 1,3w 2 + jw + K = 0
j (-0,1w 3 + 3w ) + ( K - 1,3w 2 ) = 0
- 0,1w 3 + 3w = 0
0,1w 3 = 3w
w 2 = 30
w = ± 30 = ±5,47

95
K - 1,3w 2 = 0
K = 1,3w 2
K = 1,3 × 30 = 39

Titik breakaway
dK
=0
ds
0,1s 3 + 1,3s 2 + 3s + K = 0
K = -(0,1s 3 + 1,3s 2 + 3s )
(
d - (0,1s 3 + 1,3s 2 + 3s )
=0
)
ds
- (0,3s 2 + 2,63s + 3) = 0
0,3s 2 + 2,6 s + 3 = 0
- b ± b 2 - 4ac
s1, 2 =
2a
- 2,6 ± 6,76 2 - 3,6
=
0,6
- 2,6 ± 3,16
=
0,6
- 2,6 ± 1,78
=
0,6
- 2,6 + 1,78
s1 =
0,6
= -1.367
- 2,6 - 1,78
s2 =
0,6
= -7,3 (tidak memenuhi)

sehingga titik breakaway terletak pada s = -1,367. Root locus secara lengkap
dapat dilihat dalam Gambar 5.12.

96
jw

7.5

5.47

K=0 K=0 K=0

-10 -4.33 -3 -1.367 σ

-5.47

-7.5

Gambar 5.12 Root Locus Secara Lengkap.


Selanjutnya dapat dianalisis bahwa untuk sistem tersebut akan stabil pada
penguatan 0<K<36.

5.3 Diagram Bode


Diagram Bode merupakan salah satu cara untuk mempresentasikan
suatu fungsi alih yang dikemukakan oleh Hendrik Wade Bode. Diagram
Bode disebut juga dengan diagram logaritmik yang terdiri dari dua diagram,
yang pertama menggambarkan nilai magnitud (dalam desibel, dB) terhadap
frekuensi sedangkan lainnya menggambarkan sudut fasa (dalam derajat)
terhadap frekuensi dalam skala logaritmik. Penyajian standar besaran
logaritmik G(j w )H(j w ) adalah 20 log G ( jw ) H ( jw , dengan basis
logaritma tersebut adalah 10.
Dengan menggambar diagram Bode pada kertas semilog maka akan
diperoleh suatu pemahaman mengenai bagaimana pengaruh dari lokasi pole
dan zero terhadap bentuk diagram. Dengan pemahaman ini dapat
diprediksikan bagaimana suatu sistem bekerja pada suatu domain frekuensi
hanya dengan memeriksa fungsi alihnya.

Faktor-faktor dasar G ( jw ) H ( jw ) adalah sebagai berikut:

97
1. Penguatan K
2. Faktor orde pertama (1 + jw / w 0 ) !1
3. Faktor integral dan turunan ( jw )
!1

[
4. Faktor kuadratik 1 + 2x ( jw / w n ) + ( jw / w n ) ]
2 !1

Dalam menyusun diagram logaritmik gabungan untuk setiap bentuk


umum G ( jw ) H ( jw ) dengan membuat sketsa kurva setiap faktor tersebut
dan menambah kurva individu ini secara grafis, karena menjumlah logaritma
penguatan berkaitan dengan mengalikannya.

Misalnya pada suatu sistem yang mempunyai fungsi alih


s +1
G ( s ) = 100
( s + 10)( s + 100)

s +1
G ( s ) = 100
s + 110 s + 100
2

Untuk menggambarkan Diagram Bode sistem tersebut, adalah dengan


menulis kembali fungsi alih diatas sehingga pole dan zero tertulis dalam
bentuk faktor-faktor dasar G ( jw ) H ( jw ) . Pertama adalah dengan menulis
kembali fungsi alih diatas sehingga pole dan zero tertulis dalam bentuk
faktor orde pertama æç1 + s ö . Hal ini dibutuhkan ketika menurunkan
è w0 ÷ø
persamaan untuk suatu real pole.
s +1
G ( s ) H (s ) = 100
( s + 10)( s + 100)
1+ s 1
= 100
10 × (1 + s 10) × 100 × (1 + s 100)
1+ s 1
= 0,1
(1 + s 10)(1 + s 100)
Setelah persamaan fungsi alih diturunkan, magnitud dan fase dapat
digambarkan dengan mudah jika s = jw .
Persamaan diatas terdiri dari empat bagian, sebuah konstanta (0,1), sebuah
zero (pada s = -1 ), dan dua buah pole (pada s = -10 dan s = -100 ).
Fungsi di atas (dengan s = jw ) dapat ditulis kembali sebagai empat faktor
yang individual, yaitu

98
1 + jw 1
G ( jw )H ( jw ) = 0,1
(1 + jw 10)(1 + jw 100)

jw é æ jw ö ù
ê1+
Ðç1 + ÷
1 øúû
= [ 0,1 Ð(0,1)]
1 ë è
[1 + jw 10 Ð(1 + jw 10)][1 + jw 100 Ð(1 + jw 100)]
Dalam menggambarkan magnitud dan fase pada setiap phasor secara
individual cukup mudah, kesulitan yang sering ditemui adalah ketika
menggambarkan magnitud dan fase dari G ( jw )H ( jw ) . G ( jw )H ( jw )
dapat ditulis sebagai suatu phasor tunggal, yaitu

æ 1 + jw 1 ö
G ( jw )H ( jw ) = ç 0,1 ÷(Ð(0,1) + Ð(1 + jw 1) - Ð(1 + jw 10) - (1 + jw 10 0))
ç 1 + jw 10 1 + jw 10 0 ÷
è ø

= G ( jw )H ( jw ) ÐG ( jw )H ( jw )

1 + jw 1
G ( jw )H ( jw ) = 0,1
1 + jw 10 1 + jw 10 0

ÐG ( jw )H ( jw ) = Ð(0.1) + Ð(1 + jw 1) - Ð(1 + jw 10 ) - (1 + jw 10 0 )

Diagram Magnitud
Salah satu cara untuk mentransformasikan perkalian menjadi suatu
penambahan adalah dengan menggunakan logaritma. Tidak dengan
logaritma sederhana melainkan dengan desiBel. Hubungan antara nilai
G(j w )H(j w ) dan nilai desiBel (dB) ditunjukkan pada persamaan berikut:
dB = 20 × log10 (G ( jw ) H ( jw ))
Jadi jika G ( jw ) H ( jw ) = 100 maka X = 40 ; G ( jw ) H ( jw ) = 0,01
menghasilkan dB = -40 ; dan seterusnya.
Jika magnitud dari G ( jw )H ( jw ) ditampilkan dalam desiBel, diperoleh
1 + jw
1
G ( jw ) H ( jw ) = 0.1
1 + jw 1 + jw
10 100

99
æ
ç 1 + jw ö
÷
20 × log10 ( G ( jw ) H ( jw ) ) = 20 × log10 ç 0.1
1
÷
ç 1+ j w 1+ j w ÷
ç 10 100 ÷ø
è
= 20 × log10 ( 0.1 ) + 20 × log10 æç 1 + jw ö÷
è 1 ø
æ ö æ ö
ç 1 ÷ ç 1 ÷
+ 20 × log10 ç ÷ + 20 × log10 ç ÷
ç 1 + jw ÷ ç 1 + jw ÷
ç 10 ÷ø ç 100 ÷ø
è è

= 20 × log10 ( 0.1 ) + 20 × log10 æç 1 + jw ö÷


è 1 ø

- 20 × log10 æç 1 + jw ö÷ - 20 × log10 æç 1 + jw ö
÷
è 10 ø è 100 ø

Diagram Fase
ÐG ( jw )H ( jw ) = Ð(0,1) + Ð(1 + jw 1) - Ð(1 + jw 10 ) - (1 + jw 10 0 )
Terdapat dua tipe bentuk, sebuah bentuk konstanta dan bentuk 1 + jw w 0 .

Menggambarkan Diagram Bode


1. Faktor Konstanta
Dianggap suatu bentuk konstanta adalah,
G (s )H ( s ) = G ( jw )H ( jw ) = K
§ Magnitud
Dari persamaan diatas diperoleh nilai magnitud sebuah nilai konstanta
(K) adalah 20 log K

§ Fase
Fase juga merupakan bentuk konstan. Jika K adalah positif, nilai fase-
nya adalah 0° (atau semua kelipatan genap dari 180°). Jika K adalah
negatif maka nilai fasenya - 180! , atau semua kelipatan ganjil dari
180°.
Jika dalam bentuk radian apabila K positif, nilai fase-nya adalah 0
radian, jika K negatif maka fase-nya adalah - p radian.

Contoh 1:

100
misalnyaG (s )H ( s ) = G ( jw )H ( jw ) = 15
magnitud(dB ) = 20 log G ( jw )H ( jw ) = 20 log 15 = 23.5dB
fasa = ÐG ( jw )H ( jw ) = Ð15 = 0!
Hal tersebut dapat dilihat dalam Gambar 5.13 berikut.

(a)

(b)
Gambar 5.13 Diagram Bode Faktor Penguatan K. A Grafik
magnitud, B Grafik fasa

catatan:
• Untuk bentuk konstan, diagram magnitud berupa garis lurus.
• Diagaram fase juga berupa garis lurus, baik pada 0° (untuk konstanta
positif) maupun - 180! (untuk konstanta negatif).

!1
æ wö
2. Faktor orde pertama çç1 + j ÷÷
è w 0 ø
Pole Real
Misalnya suatu pole real sederhana

101
1
G (s )H ( s ) = ,
s
1+
w0

1
G ( jw )H ( jw ) =
w
1+ j
w0

Frekuensi w 0 disebut dengan break frequency, frekuensi sudut atau


frekuensi 3 dB.

Magnitud
Nilai magnitud diperoleh dari

1
G ( jw )H ( jw ) = , yaitu = 20 log G ( jw ) H ( jw )
w
1+ j
w0
æ 2 ö
ç 2 æç w ö÷ ÷
= -20 × log10 ç 1 + ç ÷ ÷ , dalam dB
ç
è è w 0 ø ÷ø
Terdapat tiga kondisi dari nilai frekuensi:
Kondisi 1) w << w0
Kondisi frekuensi rendah (low frequency). Dapat dituliskan suatu
pendekatan untuk nilai magnitud dari fungsi alih
æ 2 ö
ç 2 æç w ö÷ ÷
G ( jw )H ( jw ) = -20 × log10 ç 1 + ç ÷ ÷ , w << w 0
ç
è è w0 ø ÷ø
» -20 × log10 (1) = 0

Kondisi 2) w >> w0
Kondisi frekuensi tinggi (high frequency). Dapat dituliskan suatu
pendekatan untuk nilai magnitud dari fungsi alih

102
æ 2 ö
ç 2 æç w ö÷ ÷
G ( jw )H ( jw ) = -20 × log10 ç 1 + ç ÷ ÷ , w >> w 0
ç
è è w 0 ø ÷ø
æ æ ö2 ö æw ö
ç w ÷
» -20 × log10 ç çç ÷÷ ÷ = -20 × log10 çç ÷÷
ç è w0 ø ÷ è w0 ø
è ø
Grafik berupa garis lurus dengan kemiringan -20 dB/dekade
melewati break frequency pada 0 dB. Sehingga, setiap kenaikan
frekuensi 10, nilai magnitud turun sebesar 20 dB.

Kondisi 3) w = w0
Kondisi break frequency. Pada frekuensi ini
æ 2 ö
ç 2 æç w ö÷ ÷
G ( jw )H ( jw ) = -20 × log10 ç 1 + ç ÷ ÷ , w = w 0
ç
è è w 0 ø ÷ø
» -20 × log10 ( 2) = -3.01dB » -3dB
Kondisi ini ditunjukkan oleh sebuah lingkaran pada grafik magnitud
dalam Gambar 5.14.

Gambar 5.14 Grafik Magnitude Pole Real.

103
§ Fase
Nilai fase dari suatu real pole diberikan oleh persamaan
æ ö
ç ÷
1 ÷ æw ö
ÐG ( jw )H ( jw ) = Ðç = - arctançç ÷÷
ç w ÷ è w0 ø
ç1+ j ÷
è w0 ø
Kondisi 1) w << w0
Kondisi frekuensi rendah (low frequency). Dapat dituliskan suatu
pendekatan untuk nilai fase dari fungsi alih
ÐG ( jw )H ( jw ) » - arctan(0) = 0! = 0 radian

Kondisi 2) w >> w0
Kondisi frekuensi tinggi (high frequency). Dapat dituliskan suatu
pendekatan untuk nilai fase dari fungsi alih
p
ÐG ( jw )H ( jw ) = - arctan(¥) = -90 ! = - radian
2
Kondisi 3) w = w0
Break frequency. Pada frekuensi
p
ÐG ( jw )H ( jw ) = - arctan(1) = -45! = - radian
4
Ditunjukkan oleh sebuah lingkaran pada diagram fase dalam Gambar
5.15.

104
Gambar 5.15 Diagram Fase.

Catatan:
• Untuk suatu pole real, garis asimtot diagram Bode untuk magnitud
adalah pada 0 dB sampai break frequency dan kemudian turun pada 20
dB/dekade (jika kemiringan adalah -20 dB/dekade). Pole dari orde ke-
n memiliki kemiringan dengan nilai -20n dB/dekade.
• Diagram fase adalah pada 0 derajat sampai sepersepuluh dari nilai
break frequency ( 0.1w0 ) dan kemudian turun secara linier sampai -90
derajat pada sepuluh kali nilai break frequency ( 10w0 ). Pole dari orde
ke-n turun sampai -90n derajat.

Contoh 2: Pada contoh pertama ini ditunjukkan pole real tunggal pada 10
radian per detik. Garis asimtot frekuensi rendah ditunjukkan oleh garis
putus-putus seperti terlihat dalam Gambar 5.16.
1
G (s) H (s) =
s
1+
10

105
Magnitude Plot

(a)

(b)
Gambar 5.16 Diagram Bode. A Grafik magnitude B Grafik Fasa.

Contoh 3: Pada contoh ini ditunjukkan pole ganda pada 30 radian per detik.
Perhatikan bahwa kemiringan dari garis asimtot adalah -40 dB/dekade dan
fase berada antara 0o sampai -180º seperti terlihat dalam Gambar 5.

106
1
G (s) H (s) = 2
æ s ö
ç1 + ÷
è 30 ø

(a)

(b)
Gambar 5.17 Diagram Bode. A Grafik magnitude B Grafik fasa.

Zero Real
Pendekatan linier untuk suatu zero hampir sama seperti pada pole. Misalnya
pada suatu zero sederhana:

107
s
G (s) H (s) = 1 + ,
w0
w
G ( jw ) H ( jw ) = 1 + j
w0
§ Magnitud
Nilai magnitud zero diberikan oleh
w
G ( jw ) H ( jw ) = 1 + j
w0
Terdapat tiga kondisi:
1. Pada frekuensi rendah, w << w0 , besarnya gain mendekati nol.
2. Pada frekuensi tinggi, w >> w0 , gain meningkat pada 20 dB/dekade
dan melewati break frequency pada 0 dB.
3. Pada break frequency, w = w0 , besarnya gain adalah sekitar 3 dB.

§ Fase
Nilai fase zero diberikan oleh:
æ wö æw ö
ÐG ( jw ) H ( jw ) = Ðçç1 + j ÷÷ = arctançç ÷÷
è w0 ø è w0 ø
Terdapat tiga kondisi:
1. Pada frekuensi rendah, w << w0 , nilai fase mendekati nol.
2. Pada frekuensi tinggi, w >> w0 , besarnya fase adalah 90º.
3. Pada break frequency, w = w0 , besarnya fase adalah 45º.
catatan:
• Untuk suatu real zero, garis asimtot diagram Bode untuk magnitud
adalah pada 0 dB sampai break frequency dan kemudian naik pada +20
dB/dekade (jika kemiringan adalah +20 dB/dekade). Pole dari orde ke-n
memiliki kemiringan dengan nilai -20n dB/dekade.
• Diagram fase adalah pada 0 derajat sampai sepersepuluh dari nilai
break frequency ( 0.1w0 ) dan kemudian naik secara linier sampai +90
derajat pada sepuluh kali nilai break frequency ( 10w0 ). Pole dari orde
ke-n naik sampai +90n derajat.
Contoh 3
Berikut diberikan suatu zero pada 30 radian per detik.
s
G (s) H (s) = 1 +
30
108
(a)

(b)
Gambar 5.18 Diagram Bode contoh 3. A Grafik magnitude B Grafik
fasa.

3.Faktor Integral dan Turunan ( jw )


!1

Pole pada Titik Origin (Asal)


Suatu pole sederhana pada titik origin dapat dengan mudah digambarkan,
misal

109
1
G (s) H (s) = ,
s
1 wo
G ( jw ) H ( jw ) = =-j
w w
j
w0
§ Magnitud
Nilai magnitud diberikan oleh:
w0 w0
G ( jw ) H ( jw ) = - j =
w w
Fungsi tersebut berupa garis lurus pada diagram Bode dengan
kemiringan sebesar - 20 dB/dekade dan melewati 0 dB pada 1
rad/detik. Dan juga melewati 20 dB pada 0.1 rad/detik, -20 dB pada 10
rad/detik dan seterusnya.
§ Fase
Nilai fase diberikan oleh:
w0
ÐG ( jw ) H ( jw ) = Ð - j = -90 0
w
Catatan:
• Untuk suatu pole sederhana pada titik origin gambarlah sebuah garis
lurus dengan kemiringan sebesar - 20 dB/dekade dan menuju 0 dB
pada 1 rad/detik. Pole orde ke-n memiliki kemiringan dengan nilai
- 20 n dB/decade.
• Diagram fase adalah pada -90º derajat. Pole dari orde ke-n memiliki
nilai sebesar - 90 n derajat.
Contoh 4
Contoh berikut menunjukkan sebuah pole sederhana pada titik origin.

110
(a)

(b)
Gambar 5.19 Diagram Bode contoh 4. A Grafik magnitude B Grafik
fasa.

Zero pada Titik Origin


Suatu zero pada titik origin adalah sama seperti pole pada titik origin
tetapi besarnya magnitud meningkat, dan fase adalah positif.

111
catatan:
• Untuk suatu pole sederhana pada titik origin gambarlah sebuah garis
lurus dengan kemiringan sebesar + 20 dB/dekade dan menuju 0 dB
pada 1 rad/detik. Pole dari orde ke-n memiliki kemiringan dengan nilai
+ 20 n dB/dekade.
• Diagram fase adalah pada +90º derajat. Pole dari orde ke-n memiliki
nilai sebesar + 90 n derajat.

[
4. Faktor Kuadratik 1 + 2x ( jw / w n ) + ( jw / w n ) ]
2 !1

§ Pole Sekawan Kompleks


Misal sebuah fungsi alih:
w02 1
G ( jw ) H ( jw ) = 2 =
s + 2xw0 s + w0 æ s ö
2 2
æ s ö
çç ÷÷ + 2x çç ÷÷ + 1
è w0 ø è w0 ø
dengan 0 < x < 1

§ Magnitud
Nilai magnitud diberikan oleh:

1
G ( jw ) H ( jw ) =
2
æ æ w ö2 ö æ 2
ç1 - ç ÷ ÷ + ç 2x w ö÷
ç çè w0 ÷ø ÷ çè w0 ÷ø
è ø
æ æ æ w ö2 ö æ
2 2 ö
ç ç1 - ç ÷ ÷ + ç 2x w ö÷ ÷÷ , dalam dB
= -20 × log10 ç
ç ç çè w0 ÷ø ÷ çè w0 ÷ø ÷
è è ø ø
Berdasarkan nilai frekuensi terdapat tiga kondisi:
Kondisi 1) w << w 0 . Ini adalah kondisi frekuensi rendah. Pada kondisi
ini dapat dituliskan pendekatan terhadap magnitud dari fungsi alih
G ( jw ) H ( jw ) = -20 × log10 (1) = 0
Kondisi 2) w >> w 0 . Pada kondisi frekuensi tinggi, pendekatan
terhadap magnitud dari fungsi alih dituliskan
æ æ w ö2 ö æw ö
G ( jw ) H ( jw ) = -20 × log10 ç çç ÷÷ ÷ = -40 × log10 çç ÷÷
ç è w0 ø ÷ è w0 ø
è ø

112
Grafik merupakan sebuah garis lurus dengan kemiringan -40 dB/decade
melewati break frequency 0 dB. Yaitu, pada setiap kenaikan 10 faktor
dalam frekuensi, nilai magnitud turun 40 dB.

Kondisi 3) w = w 0 . Dapat ditunjukkan bahwa sebuah puncak muncul


pada diagram magnitud didekat break frequency. Lokasi dan tinggi dari
puncak dapat ditentukan dengan mendeferensialkan persamaan magnitud
dari fungsi alih.
w r = w0 1 - 2x 2
Puncak tersebut memiliki nilai magnitud
G ( jw ) H ( jw r ) = -20 × log10 æç 2x 1 - x 2 ö÷x , dalam dB
è ø
Sebagai catatan, bahwa puncak hanya terdapat pada
0 < x < 0.707 = 1 2
Dan frekuensi dari puncak pada umumnya sangat dekat dengan break
frequency. Untuk kurva yang ditunjukkan dibawah ini,
100
G (s) H (s) =
s + 2 s + 100
2

1
G (s) H (s) =
1 2 2
s + s +1
100 100
1
G (s) H (s) = 2
æ s ö æ s ö
ç ÷ + 2.0,1ç ÷ + 1
è 10 ø è 10 ø

1
G (s) H (s) = 2
,
æ s ö æ s ö
çç ÷÷ + 2x çç ÷÷ + 1
è w0 ø è w0 ø

w0 = 10, x = 0.1
Amplitudo puncak adalah 5.02 atau 14 dB seperti terlihat dalam Gambar
5.20.

113
Gambar 5.20 Amplitudo Puncak.

§ Fase
Nilai fase dari suatu pole sekawan kompleks ditunjukkan dalam
persamaan
æ ö
ç 2x w ÷
ç w0 ÷
ÐG ( jw ) H ( jw ) = - arctanç 2 ÷
ç æw ö ÷
ç 1 - çç ÷÷ ÷
è è w0 ø ø

Berdasarkan nilai frekuensi terdapat tiga kondisi:


Kondisi 1) w << w 0 . Pada frekuensi rendah pendekatan nilai fase dari
fungsi alih dapat dituliskan
ÐG ( jw ) H ( jw ) » - arctan(0) = 0! = 0 radian

Kondisi 2) w >> w 0 . Pada frekuensi tinggi nilai fase dapat dituliskan


ÐG ( jw ) H ( jw ) = -180 !

Kondisi 3) w = w 0 . Pada break frequency.

114
ÐG ( jw ) H ( jw ) = -90!

Hal tersebut ditunjukkan oleh sebuah lingkaran pada diagram 5.21


berikut, dimana
1
G (s) H (s) = 2
,
æ s ö æ s ö
çç ÷÷ + 2x çç ÷÷ + 1
è w0 ø è w0 ø
w0 = 10, x = 0.1

Gambar 5.21 Break Frekuensi.

Catatan:
• Untuk menggambarkan diagram fase adalah dengan mengikuti garis
asimtot frekuensi rendah pada 0º sampai
æ2ö
log10 çç ÷÷
w = w0 èx ø
2
Kemudian turun secara linier sampai menemui garis asimtot frekuensi
tinggi pada - 180! pada

115
2
w = w0
æ2ö
log10 çç ÷÷
èx ø

§ Zero Sekawan Kompleks


Suatu zero sekawan kompleks menghasilkan diagram Bode yang mirip
dengan pole sekawan kompleks. Perbedaannya pada diagram magnitud
memiliki sebuah cekungan bukannya sebuah puncak, magnitud
mengalami kenaikan diatas break frequency dan fase juga mengalami
kenaikan bukannya menurun.
contoh:
2
æ s ö æ s ö
G ( s ) H ( s ) = çç ÷÷ + 2x çç ÷÷ + 1,
è w0 ø è w0 ø
w0 = 10, x = 0.1
Cekungan pada diagram magnitud memiliki nilai 0.2 atau -14 dB.

116
Gambar 5.21 Diagram Bode.

117
Untuk menggambarkan diagram Bode suatu system, juga dapat
menggunakan MATLAB. Sebagai contoh apabila menggunakan
MATLAB®

>> MySys=tf(100*[1 1],[1 110 1000])


Transfer function:
100 s + 100
------------------------------
s^2 + 110 s + 1000
>> bode(MySys)

akan diperoleh suatu diagram seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 5.22
berikut.

Gambar 5.22 Diagram Bode.

BAB VI

118
PERANCANGAN SISTEM KONTROL

6.1 Kontroler
Kontroler seringkali juga disebut dengan istilah kompensator,
pengendali ataupun penapis. Kontroler adalah suatu sistem dinamis yang
sengaja ditambahkan untuk mendapatkan karakteristik sistem keseluruhan
yang diinginkan. Fungsi kontroler otomatis pada umumnya adalah sebagai
berikut:
1) Membandingkan nilai masukan dan keluaran sistem secara
keseluruhan (plant).
2) Menentukan penyimpangan.
3) Menghasilkan sinyal kontrol (mengurangi penyimpangan menjadi
nilai nol/ nilai yang kecil).
Cara bagaimana kontroler otomatis menghasilkan sinyal kontrol disebut
Aksi Kontrol
Adapun tujuan kontrol secara khusus adalah sebagai berikut:
1) Meminimumkan error steady state.
2) Meminimumkan settling time.
3) Mencapai spesifikasi transien yang lain, mis : meminimumkan
maximum overshoot.
Aksi kontrol dasar yang sering digunakan dalam kontroler analog industri
adalah:
1. Kontroler dua posisi atau "on-off"
2. Kontroler proporsional (P)
3. Kontroler integral (I)
4. Kontroler proporsional + integral (PI)
5. Kontroler proporsional + turunan (PD)
6. Kontroler proporsional + integral + deferensial (PID)

Pengetahuan mengenai karakteristik dasar berbagai aksi kontrol


dasar tersebut sangat penting bagi ahli kontrol, selanjutnya keenam aksi
kontrol tersebut akan dibahas pada bab ini.

Aksi kontrol dua posisi atau "on-off"


Dalam sistem kontrol dua posisi, elemen pembangkit hanya
mempunyai dua posisi tertentu yaitu on dan off. Kontrol dua posisi atau on-
off relatif sederhana dan tidak mahal, sangat banyak digunakan dalam sistem
kontrol industri maupun domestik. Diagram balok kontroler on-off tersebut
dapat dilihat dalam Gambar 6.1, dimana
u(t) = U1 untuk e(t) > 0
= U2 untuk e(t) < 0
dengan U1 dan U2 konstan. Nilai minimum U2 biasanya nol atau –U1.
Kontroler dua posisi umumnya merupakan perangkat listrik dan sebuah
katub yang dioperasikan dengan selenoida.

119
+ e u1 u
u2
-

Gambar 6.1 Diagram Balok Kontroler on-off.

Aksi kontrol proporsional (P)


Pada kontroler dengan aksi kontrol proporsional (lihat Gambar 6.2),
hubungan antara masukan kontroler u(t) dan sinyal pembangkit kesalahan
e(t) adalah

u(t) = K p e(t)
U(s)
= K p = fungsi alih
E(s)

dengan Kp merupakan suku penguatan proporsional. Apapun mekanisme


kontroler proporsional pada dasarnya merupakan suatu penguat dengan
penguatan yang dapat disetel.

+ E(s) U(s)

Gambar 6.2 Diagram Balok Kontroler Proporsional.

Aksi kontrol integral (I)


Pada kontroler dengan aksi kontrol integral (lihat Gambar 6.3), nilai
masukan kontroler u(t) diubah pada laju proporsional dari sinyal pembangkit
kesalahan e(t).

+ E(s) U(s)

Gambar 6.3 Diagram Balok Kontroler Integral.

120
Sehingga

du
= K i e(t)
dt
t

ò
u(t) = K i e(t) dt
0

U(s) K i
= = fungsi alih
E(s) s

dengan Ki adalah konstanta yang dapat diubah.


Untuk pembangkit kesalahan nol, nilai u(t) tetap konstan. Aksi kontrol
integral biasa disebut dengan kontrol reset.

Aksi kontrol proporsional + integral / proporsional integral (PI)


Aksi kontroler proporsional integral (lihat Gambar 6.4),
didefinisikan dengan persamaan berikut

t
Kp
u(t) = K p e(t) +
Ti ò e(t) dt
0

+ E(s) U(s)

Gambar 6.4 Diagram Balok Kontroler Proporsional Integral.


Adapun fungsi alihnya adalah sebagai berikut:

U(s) æ 1 ö
= Kp çç1 + ÷
E(s) è Ti s ÷ø
K p (1 + Ti s)
=
Ti s

121
dengan Kp penguatan proporsional dan Ti disebut waktu integral, yang
keduanya dapat ditentukan. Waktu integral mengatur aksi kontrol internal
sedangkan perubahan nilai Kp berakibat pada pada bagian aksi kontrol
proporsional maupun integral.

Aksi Kontrol proporsional + turunan / proporsional diferensial (PD)


Aksi kontroler proporsional diferensial (lihat Gambar 6.5),
didefinisikan dengan persamaan berikut

d e(t)
u(t) = K p e(t) + K p Td
dt

+ E(s) U(s)

Gambar 6.5 Diagram Balok Kontroler Proporsional Diferensial.

Fungsi alihnya adalah sebagai berikut:


U(s)
= K p (1 + Td s)
E(s)
dengan Kp adalah penguatan proporsional dan Td adalah konstanta yang
disebut waktu turunan, keduanya dapat ditentukan.
Kontoler turunan atau deferensial tidak pernah digunakan sendiri, karena
hanya efektif selama periode transien.

Aksi kontrol proporsional + integral + turunan / proporsional integral


diferensial (PID)
Aksi kontroler proporsional diferensial integral (lihat Gambar 6.6),
didefinisikan dengan persamaan berikut
Kp t de(t)
u(t) = K p e(t) + ò
Ti 0
e(t) dt + K p Td
dt

122
E(s) U(s)
+

Gambar 6.6 Diagram Balok Kontroler Proporsional Integral Diferensial.

Sedangkan fungsi alihnya adalah sebagai berikut:

U(s) 1
= K p (1 + + Td s)
E(s) Ti s
(1 + Ti s + Ti Td s 2 )
= Kp
Ti s

dengan Kp penguatan proporsional, Ti waktu integral dan Td waktu turunan.


Kombinasi ini mempunyai keuntungan dibandingkan masing-masing
kontroler, biasanya dengan kontroler ini didapatkan overshoot yang rendah,
cepat mencapai steady state (keadaan mantap) dan error steady state
(kesalahan keadaan mantap) yang kecil bahkan nol.
Selain aksi kontrol seperti yang telah disebutkan di atas, juga dikenal
kompensator lead atau lag dan kompensator lag-lead. Kompensator lead
yang juga disebut dengan kompensator mendahului, sedangkan kompensator
lag merupakan kompensator tertinggal.
Jika suatu kompensator diperlukan untuk memenuhi spesifikasi
performansi, maka perancang harus merealisasikan suatu perangkat fisik
yang mempunyai fungsi alih tertentu sebagai kompensator. Kompensator
biasanya merupakan perangkat listrik, pneumatik, hidraulik, atau
kombinasinya dan terdiri dari rangkaian RC (listrik, mekanik, pneumatik,
atau hidrolik) dan penguat.
Rangkaian penguat operasional yang mungkin digunakan sebagai
kompensator dapat dilihat dalam Tabel 6.1.

Tabel 6.1 Rangkaian Penguat Operasional sebagai Kompensator

123
6.2 Prosedur Perancangan
Bagian terpenting dalam merancang sistem kontrol adalah
menyatakan spesifikasi performansi secara tepat sedemikian rupa sehingga
akan didapatkan sistem kontrol sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

124
Pendekatan yang digunakan adalah merancang dan
mengkompensasikan sistem kontrol linier parameter konstan satu masukan
satu keluaran. Kompensasi merupakan pengaturan suatu sistem agar
spesifikasi yang diinginkan dipenuhi.
Pendekatan coba-coba dalam merancang sistem adalah dengan
menyusun model matematik sistem kontrol dan mengatur parameter
kompensator. Pengecekan spesifikasi performansi dengan analisis untuk
setiap pengaturan parameter memerlukan waktu yang lama.
Setelah model matematik didapat, perancang harus membuat
prototipe dan menguji sistem loop terbukanya. Jika kestabilan mutlaknya
terjamin, perancang lalu menutup loop tersebut dan menguji performansi
sistem loop tertutup yang didapat. Karena pengabaian efek pembebanan
pada komponen-komponennya, ketidaklinieran dan sebagainya yang tidak
diperhitungkan pada awal perancangan, maka performansi sistem yang
sebenarnyan kemungkinan berbeda dari ramalan teoritisnya. Sehingga dalam
perancangan pertama kemungkinan belum memenuhi semua persyaratan
performansi. Dengan coba-coba perancang harus mengubah prototipe
tersebut sampai sistem yang diperoleh memenuhi spesifikasi yang
diinginkan. Dalam menyelesaikan ini, perancang harus menganalisis setiap
percobaan, dan hasil analisisnya harus digunakan pada percobaan
berikutnya. Perancang harus melihat bahwa sistem akhir yang diperoleh
memenuhi spesifikasi performansi, andal dan ekonomis.
Pada umumnya diinginkan bahwa sistem yang dirancang harus
menghasilkan kesalahan-kesalahan sekecil mungkin dalam menanggapi
sinyal masukan. Dalam hal ini, redaman sistem harus wajar dan dinamika
sistem harus relatif tidak sensitif terhadap perubahan kecil dalam parameter
sistem. Gangguan-gangguan yang tidak diinginkan harus dapat diperlemah
dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Cheever, E. 2005. Asymptotic Bode Diagram, (online),


(http://www.swarthmore.edu diakses 15 September 2006).

125
Dorf, R.C., Bishop R.H. 2004. Modern Control Systems (10th ed.). Prentice
Hall Inc.

Kuo, B.C. 2002. Automatic Control Systems (8th ed.). New York. John
Wiley & Sons.

Ogata, K. 1996. Teknik Kontrol Automatik (edisi kedua). Terjemahan oleh


Edi Laksono. Jakarta. Erlangga.

Ogata, K. 2001. Modern Control Engineering (4th ed.). Prentice Hall Inc.

Pakpahan, S. 1999. Kontrol Otomatik; Teori dan Penerapan. Jakarta..


Erlangga.

Phillips, C.L. & Royce D. 1996. Feedback Control Systems (3rd ed.).
Englewood Cliff. Prentice Hall Inc.

Shinners S.M. 2001. Advanced Modern Control System Theory and Design.
(3rd ed.). New York. John Wiley & Sons.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Ir. Erni Yudaningtyas, MT, lahir di Wlingi Blitar Jawa Timur, penulis
menyelesaikan kuliah di Universitas Brawijaya Fakultas Teknik Jurusan

126
Elektro pada tahun 1988. Mulai tahun 1989 bekerja sebagai dosen di
Universitas Brawijaya Fakultas Teknik Jurusan Elektro. Selanjutnya
menyelesaikan kuliah pada Program Magister Sistem Pengaturan di Institut
Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya pada tahun 1999. Mulai tahun 2005
sampai sekarang, sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Kedokteran
dengan minat Teknologi Kedokteran di Universitas Brawijaya.

127

Anda mungkin juga menyukai