Anda di halaman 1dari 90

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI PENETRASI GEL TRANSDERMAL


NANOPARTIKEL GLUKOSAMIN HIDROKLORIDA
DENGAN VARIASI KONSENTRASI KITOSAN
MENGGUNAKAN SEL DIFUSI FRANZ

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ASYRAQ FAHRUZZAMAN
NIM: 1113102000034

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2017
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Asyraq Fahruzzaman

NIM : 1113102000034

Tanda Tangan :

Tanggal : 1 Agustus 2017

iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK

Nama : Asyraq Fahruzzaman


Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Uji Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel
Glukosamin Hidroklorida dengan Variasi Konsentrasi
Kitosan Menggunakan Sel Difusi Franz

Glukosamin hidroklorida merupakan suplemen yang mampu membantu


mengatasi gejala osteoartritis. Pemberian glukosamin HCl melalui rute
transdermal menggunakan sistem penghantaran nanopartikel diharapkan mampu
meningkatkan daya penetrasinya yang rendah. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh sistem nanopartikel dan variasi konsentrasi kitosan terhadap
penetrasi glukosamin HCl. Nanopartikel dibuat dengan metode gelasi ionik
menggunakan matriks kitosan dan penyambung silang Na-TPP. Nanopartikel
dibuat dalam 3 formula F1, F2, dan F3 dengan variasi konsentrasi kitosan masing-
masing 1%, 0,5%, dan 0,25% serta satu formula tanpa nanopartikel. Uji penetrasi
secara in vitro dilakukan menggunakan alat sel difusi franz dengan membran kulit
tikus. Hasil uji penetrasi menunjukkan jumlah kumulatif glukosamin HCl yang
terpenetrasi per luas area selama 8 jam untuk F1, F2, F3, dan Non-nano secara
berturut-turut adalah 528,2 µg/cm2 ; 583,4 µg/cm2 ; 557,9 µg/cm2 dan 314,2
µg/cm2. Fluks penetrasi menit ke 10 untuk F1, F2, F3, dan Non-nano secara
berturut-turut adalah 1879,9 µg/cm2 jam; 1695,6 µg/cm2 jam; 1505 µg/cm2 jam;
dan 473,1 µg/cm2 jam. Sistem nanopartikel dapat meningkatkan jumlah kumulatif
dan fluks penetrasi glukosamin HCl yang ter penetrasi per luas area jika
dibandingkan dengan sediaan yang dibuat tanpa sistem nanopartikel. Tidak
terdapat pengaruh dari konsentrasi kitosan yang digunakan dalam formula
terhadap penetrasi glukosamin HCl kecuali antara F1 dan F3 pada menit ke-10
hingga menit ke-30.

Kata kunci: glukosamin HCl, nanopartikel, kitosan, penetrasi, difusi franz.

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRACT

Name : Asyraq Fahruzzaman


Major : Pharmacy
Title : Penetration of Nanoparticle Glucosamine Hidrocloride
Transdermal Gel With Variance of Chitosan
Concentration by In Vitro Test Using Franz Diffusion
Cells

Glucosamine hydrochloride is a supplement that is considered able to overcome


the symptoms of osteoarthritis. Administration of glucosamine hydrochloride via
the transdermal route using nanoparticle delivery systems is expected to increase
its low penetration ability. The purpose of this study was to determine the effect
of nanoparticle system and chitosan concentration on the penetration of
glucosamine HCl. The nanoparticles were prepared by ionic gelation method
using chitosan matrix and Na-TPP as crosslinker. Nanoparticles prepared in three
formulas F1, F2, and F3 with chitosan concentration variations of 1%, 0.5%, and
0.25% and one without nanoparticle. The in vitro penetration test was performed
using a franz diffusion cell with mouse skin membrane. The result showed
cumulative amount of glucosamine that penetrated per area for 8 hours for F1, F2,
F3, and Non-nano respectively 528.2 µg / cm2; 583.4 µg / cm2; 557.9 µg / cm2 and
314.2 µg / cm2. Flux penetration at 10th minute for F1, F2, F3, and Non-nano
respectively 1879.9 µg/cm2 h; 1695.6 µg/cm2 h; 1505 µg/cm2 h; and 473.1 µg/cm2
h. The cumulative amount and flux penetration of glucosamine HCl were better
with nanoparticle system than without nanoparticle. Variation of chitosan
concentrartion used in this formulation of did not show significant effect on the
penetration of glucosamine hydrochloride except between F1 and F3 at the 10th
minute until the 30th minute.

Keywords: glucosamine hydrochloride, nanoparticle, chitosan, penetration, Franz


diffusion

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Uji Penetrasi
Gel Transdermal Nanopartikel Glukosamin HCl dengan Variasi Konsentrasi
Kitosan Menggunakan Sel Difusi Franz” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya dorongan, bimbingan,
semangat, motivasi, bantuan baik moral maupun material serta doa dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. dan Bapak Drs. Umar Mansyur, M.Sc.,
Apt. Sebagai pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis
dalam penelitian hingga menyusun skripsi.
2. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. Selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Eka Putri, M.Si., Apt. sebagai pembimbing akademik yang telah
membimbing dan memberikan dukungan dalam menghadapi permasalahan
akademik.
4. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Kedua orang tua saya, Umi dan Abi tercinta, yaitu Bapak Brilliantoro dan Ibu
Maulina Dian Purwanti yang selalu memberikan kasih sayang dan doa yang
tiada henti senantiasa mengiringi perjalanan hidup penulis, serta dukungan
baik secara moril dan materil. Kepada saudara-saudaraku tersayang Azzam,
Ghulam, Rakha, dan Jabran yang telah memberikan doa dan semangat dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Teman seperjuangan penelitian, Marrisa, atas perhatian, kerja sama,
kebersamaan dan waktu untuk mendengarkan segala keluh kesah selama
penelitian.
7. Seluruh laboran, Kak Eris, Kak Rahmadi, Kak Yaenap, Kak Rani, Kak Tiwi,
dan Kak Walid yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
8. Teman-teman seangkatan Farmasi 2013 yang telah memberikan semangat
dan doa selama ini

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

9. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan
penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berdoa
semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis mendapat
balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 1 Agustus 2017

Penulis

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS


AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah


Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Asyraq Fahruzzaman


NIM : 1113102000034
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah


saya, dengan judul:

Uji Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel Glukosamin Hidroklorida


dengan Variasi Konsentrasi Kitosan Menggunakan Sel Difusi Franz

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian penyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 1 Agustus 2017

Yang menyatakan

(Asyraq Fahruzzaman)
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian................................................................................ 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
2.1. Osteoartritis .......................................................................................... 5
2.2. Glukosamin HCl ................................................................................... 6
2.3. Gel Transdermal ................................................................................... 8
2.4. Kulit .................................................................................................... 10
2.4.1. Struktur Kulit............................................................................ 11
2.4.2. Jalur Penetrasi Obat Melalui Kulit ........................................... 12
2.4.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan....................... 13
2.5. Nanopartikel Kitosan.......................................................................... 14
2.6. Kitosan ............................................................................................... 16
2.7. Natrium Tripolifosfat ......................................................................... 17
2.8. Monografi ........................................................................................... 18
2.8.1. Tween 80 .................................................................................. 18
2.8.2. Hidroksipropilmetil Selulosa.................................................... 18
2.8.3. Propilen Glikol ......................................................................... 20
2.8.4. Metil Paraben ........................................................................... 21
2.8.5. Propil Paraben .......................................................................... 22
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9. Uji Penetrasi ....................................................................................... 22


2.10. Spektrofotometer UV Visibel........................................................... 23
2.10.1. Teori Spektrofotometri ........................................................... 23
2.10.2. Komponen Spektrofotometri UV-Vis ......................................... 24
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 26
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 26
3.2. Bahan Penelitian ................................................................................. 26
3.3. Alat Penelitian .................................................................................... 26
3.4. Prosedur Kerja .................................................................................... 26
3.4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl ................................. 26
3.4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ............ 27
3.4.3. Evaluasi Gel Glukosamin HCl ................................................. 28
3.4.4. Uji Penetrasi ............................................................................. 29
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 32
4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl ........................................... 32
4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ...................... 32
4.3. Evaluasi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ..................................... 33
4.3.1. Pemeriksaan Organoleptik ....................................................... 33
4.3.2. Pemeriksaan Homogenitas ....................................................... 34
4.3.3. Pengukuran pH ......................................................................... 35
4.3.4. Pengukuran Viskositas dan Rheologi ....................................... 36
4.4. Uji Penetrasi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl .............................. 38
4.4.1. Pembuatan Senyawa Phenyl Thiourea (PTH) .......................... 40
4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea
(PTH) ........................................................................................ 40
4.4.3. Pembuatan Kurva Standar Glukosamin HCl ............................ 40
4.4.4. Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas Area .................. 40
4.4.5. Fluks Penetrasi ......................................................................... 43
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 46
5.1. Kesimpulan......................................................................................... 46
5.2. Saran ................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 47
LAMPIRAN ......................................................................................................... 51

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Sendi Normal dan Osteoartritis .......................................... 6
Gambar 2.2 Struktur Glukosamin HCl.................................................................. 7
Gambar 2.3 Struktur Kulit................................................................................... 10
Gambar 2.4 Jalur Penetrasi Zat Melalui Kulit .................................................... 12
Gambar 2.5 Struktur Kitosan .............................................................................. 17
Gambar 2.6 Struktur Natrium Tripolifosfat ........................................................ 17
Gambar 2.7 Struktur Propilen Glikol .................................................................. 20
Gambar 2.8 Struktur Metil Paraben .................................................................... 21
Gambar 2.9 Struktur Propil Paraben ................................................................... 21
Gambar 2.10 Franz Diffusion Cell ........................................................................ 23
Gambar 4.1 Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ................................................. 33
Gambar 4.2 Gel Glukosamin HCl Non-nano ...................................................... 34
Gambar 4.3 Uji Homogenitas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl..................... 34
Gambar 4.4 Uji Homogenitas Gel Glukosamin HCl Non-nano ......................... 35
Gambar 4.5 Grafik Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl .................... 36
Gambar 4.6 Kurva Rheologi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ...................... 37
Gambar 4.7 Kurva Kalibrasi Glukosamin HCL .................................................. 40
Gambar 4.8 Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area . 42
Gambar 4.9 Grafik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Luas Area ................. 44

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 3.1 Formula Nanopartikel Glukosamin HCl ............................................... 26
Tabel 3.2 Formula Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ........................................ 27
Tabel 4.1 pH Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ................................................. 35
Tabel 4.2 Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ..................................... 37
Tabel 4.3 Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area ....... 41
Tabel 4.4 Persentase Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area . 42
Tabel 4.5 Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area ........................... 44

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1 Skema Prosedur Penelitian .............................................................. 51
Lampiran 2 Persentase Torque Gel Glukosamin HCl ......................................... 52
Lampiran 3 Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (Hasil Derivatisasi
Glukosamin HCl) ............................................................................. 53
Lampiran 4 Absorbansi Standar Glukosamin HCl ............................................. 54
Lampiran 5 Data Hasil Uji Penetrasi F1 ............................................................. 55
Lampiran 6 Data Hasil Uji Penetrasi F2 ............................................................. 55
Lampiran 7 Data Hasil Uji Penetrasi F3 ............................................................. 56
Lampiran 8 Data Hasil Uji Penetrasi Non-nano ................................................. 56
Lampiran 9 Data Fluks Penetrasi F1 ................................................................... 57
Lampiran 10 Data Fluks Penetrasi F2 ................................................................... 57
Lampiran 11 Data Fluks Penetrasi F3 ................................................................... 58
Lampiran 12 Data Fluks Penetrasi Non-nano ....................................................... 58
Lampiran 13 Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Glukosamin HCl Per Luas
Area .................................................................................................. 59
Lampiran 14 Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Glukosamin HCl ................... 60
Lampiran 15 Hasil Uji Statistik pH Gel Nanopartikel Glukosamin HCl .............. 61
Lampiran 16 Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Terpenetrasi
Per Luas Area................................................................................... 62
Lampiran 17 Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl ....................... 68
Lampiran 18 Gambar Alat yang Digunakan ......................................................... 75
Lampiran 19 Sertifikat Analisa Kitosan ................................................................ 76
Lampiran 20 Sertifikat Analisa HPMC ................................................................. 77

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Osteoartritis adalah artritis yang paling umum di dunia. Penyakit ini
ditandai dengan degenerasi tulang rawan sendi yang dapat menyebabkan
remodeling tulang dan synovitis (Fox & Stephens, 2007). Osteoartritis merupakan
penyakit progresif yang dapat memperburuk fungsi fisik dari waktu ke waktu.
Pasien dengan osteoartritis memiliki kerusakan pada tulang rawan artikular, yang
mengarah ke nyeri sendi dan penurunan mobilitas sekitar sendi (Pesek, dkk.,
2016). Diperkirakan bahwa 9,6% laki-laki dan 18% perempuan dengan usia 60
tahun di seluruh dunia memiliki gejala osteoartritis. Pada tahun 1990, penyakit ini
berada pada urutan delapan teratas penyakit nonfatal yang membebankan, dan
menyumbang angka 2,8% dari total individu yang hidup dengan kecacatan
(Hammad, Magid, & Sobhy, 2014).
Sendi dilindungi oleh kartilago dan dilumasi dengan cairan sinovial
sehingga kita bisa bergerak dan memutar setiap sendi secara bebas tanpa rasa
sakit. Zat utama yang terdapat dalam tulang rawan, tendon, ligamen, cairan
sinovial dan membran mukus kita adalah proteoglikan dan glikosaminoglikan.
Senyawa proteoglikan menjalani proses metabolisme dan sintesis secara berulang
dan konstan. Ketidakseimbangan dapat terjadi dalam proses tersebut yang
diakibatkan oleh penuaan atau kondisi medis lain sehingga menyebabkan
terjadinya artritis (Hammad, Magid, & Sobhy, 2014).
Glukosamin merupakan suplemen yang mampu membantu mengatasi
gejala osteoartritis. Glukosamin mampu mencegah rasa sakit dengan memperbaiki
sel-sel yang melapisi sendi (Arya & Jain, 2013). Terbukti pada penelitian
preklinis pada hewan percobaan bahwa glukosamin memiliki efek antiinflamasi
melalui pengurangan faktor nuklear kappa beta yang diinduksi oleh Interleukin-1
(IL-1). Beberapa penelitian pada manusia juga telah menunjukkan bahwa
glukosamin HCl mengurangi produksi IL-1 yang merangsang enzim katabolik dan
penanda inflamasi seperti prostaglandin E2 dengan sel kondrosit dan sinovial dari
pasien dengan osteoartritis (Fox & Stephens, 2007).

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




2

Glukosamin secara umum digunakan baik dalam bentuk glukosamin


hidroklorida atau bentuk sulfat. Penggunaan glukosamin bebas (bebas garam)
dalam penghantaran transdermal mungkin menguntungkan tetapi menunjukkan
stabilitas fisiko-kimia yang sangat rendah, sehingga membuat senyawa ini tidak
dapat digunakan untuk penggunaan klinis. Glukosamin sulfat sangat tidak stabil,
di sisi lain, glukosamin hidroklorida memiliki stabilitas yang baik (Han, dkk.,
2010).
Glukosamin peroral diabsorpsi di saluran pencernaan kemudian
mengalami metabolisme lintas pertama yang signifikan dalam hati dan
menghasilkan bioavailabilitas sebesar 26% (Barclay, Tsourounis, & Mccart,
1998), selain itu glukosamin juga diambil oleh jaringan nonsendi. Kedua hal
tersebut menyebabkan penggunaan glukosamin secara peroral membutuhkan
dosis yang tinggi dalam penggunaanya.
Melokalisasi pemberian pada persendian melalui rute transdermal
merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
penggunaan glukosamin. Pemberian secara transdermal akan menghindari obat
dari metabolisme lintas pertama sehingga akan meningkatkan bioavailabilitas,
maka dosis yang diberikan lebih sedikit dibandingkan dosis oral. Namun, hanya
sedikit informasi yang ada mengenai kemampuan penetrasi dari glukosamin
melalui kulit, tampaknya kemampuan glukosamin berpenetrasi ke dalam kulit
cukup rendah karena polaritas dan hidrofilisitasnya (Dalirfardouei, Karimi, &
Jamialahmadi, 2016).
Teknologi nanopartikel mampu mengatasi masalah tersebut karena
nanopartikel atau sering disebut dengan nanocarrier dapat meningkatkan
penetrasi obat ke dalam tubuh melewati kulit (Goyal, dkk., 2016). Berbagai
polimer dapat digunakan untuk membuat nanopartikel, namun kitosan memiliki
keunggulan karena telah terbukti bersifat nontoksik, biodegradable dan
biokompatibel (Kalam, 2016). Nanopartikel kitosan dapat dibuat dengan berbagai
cara, diantaranya dengan metode gelasi ionik dimana kitosan disambung silang
dengan polianion seperti tripolipospat. Metode ini dipilih karena kemudahan
dalam pembuatannya dan biayanya yang ekonomis serta tidak menggunakan
pelarut organik maupun zat yang toksik (Anandhakumar, dkk., 2017).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




3

Anggraeni (2015) dalam penelitiannya telah berhasil membuat sediaan gel


transdermal glukosamin HCl dengan teknologi nanopartikel kitosan yang dibuat
dengan metode gelasi ionik, dan menggunakan hidroksipropilmetilselulosa
(HPMC) sebagai gelling agent, namun dalam penelitian ini belum dilakukan uji
penetrasi untuk mengetahui kemampuan sediaan gel nanopartikel glukosamin HCl
menembus kulit.
Variabel yang dapat mempengaruhi sifat nanopartikel kitosan diantaranya
konsentrasi kitosan dan crosslinker, rasio volume dan massa antara larutan kitosan
dengan crosslinker, pH, kekuatan ionik, dan temperatur (Kleine-Brueggeney,
dkk., 2015). Salah satu variabel yang sangat berpengaruh pada karakteristik
nanopartikel kitosan adalah konsentrasi kitosan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan uji
penetrasi untuk melihat pengaruh dari bentuk nanopartikel dan konsentrasi kitosan
terhadap penetrasi glukosamin HCl.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh sistem nanopartikel dan konsentrasi kitosan terhadap
penetrasi glukosamin HCl?

1.3. Tujuan Penelitian


Mengetahui pengaruh sistem nanopartikel dan konsentrasi kitosan
terhadap penetrasi glukosamin HCl.

1.4. Manfaat Penelitian


Setelah penelitian ini dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan literatur oleh
pihak pendidikan yang digunakan oleh mahasiswa/i yang berkepentingan.
2. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak peneliti dan lainnya
yang berminat di bidang penelitian lanjutan tentang nanokitosan yang
mengandung bahan aktif glukosamin HCl yang dapat digunakan sebagai
sediaan farmasi untuk osteoartritis.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




4

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh industri farmasi untuk


memproduksi sediaan farmasi osteoartritis dalam sistem penghantaran
nanokitosan yang mengandung glukosamin HCl.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Osteoartritis
Osteoartritis juga dikenal sebagai artritis degeneratif atau penyakit sendi
degeneratif atau osteoartrosis. Osteoartritis termasuk ke dalam kelompok kelainan
mekanik yang melibatkan degradasi sendi, termasuk tulang rawan artikular dan
tulang-tulang subchondral. Kata 'osteoartritis' berasal dari kata Yunani ‘Osteo’,
yang berarti tulang, ‘arthro’, yang berarti persendian, dan ‘it is’, yang berarti
peradangan (Arya & Jain, 2013). Menurut DiPiro, osteoartritis adalah gangguan
progresif lambat yang terutama mempengaruhi bantalan sendi diarthrodial dari
kerangka perifer dan aksial. Hal ini ditandai dengan kerusakan progresif dan
hilangnya tulang rawan artikular, menghasilkan pembentukan osteofit, nyeri,
keterbatasan gerak, deformitas, dan cacat progresif.
Terdapat beberapa faktor resiko untuk penyakit osteoartritis diantaranya
yaitu, osteoartritis cenderung terjadi pada orang-orang dengan obesitas; orang-
orang dengan usia lanjut; dan orang-orang dengan masalah gaya hidup tertentu
seperti orang-orang yang rutin berolahraga dan beresiko menimbulkan cedera
sendi seperti berlari. Osteoartritis juga berkaitan dengan gen dan keturunan (Fox
& Stephens, 2007).
Nyeri adalah gambaran yang paling umum dari sendi osteoartritis. Sifat
nyeri ini sering digambarkan sebagai nyeri yang tidak jelas. Nyeri ini diperparah
dengan penggunaan sendi dan mereda dengan istirahat. Pada kasus lanjut, nyeri
juga tetap terasa di saat beristirahat dan pada malam hari, karena otot pelindung
disekitar sendi telah rusak. Nyeri sendi biasanya disertai dengan kekakuan pada
pagi hari dan umumnya berlangsung kurang dari satu jam. Fenomena nyeri yang
seperti ini umumnya dilaporkan oleh pasien pada tahap awal penyakit (Bronner &
Farach-Carson, 2007).
Seiring dengan progresi penyakit berlangsung, pasien akan menyadari
penurunan rentang gerak karena berkurangnya ruang sendi, kejang dan kontraktur
otot, penyusutan dan penyumbatan mekanik kartilago karena osteofit (Bronner &
Farach-Carson, 2007).

5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




6

Gambar 2.1 Anatomi Sendi Normal dan Osteoartritis


[Sumber: Bronner & Farach-Carson, 2007]

Tujuan utama untuk pengobatan osteoartritis adalah untuk (1) mendidik


pasien, pengasuh, dan kerabat; (2) mengurangi rasa sakit dan kekakuan; (3)
mempertahankan atau meningkatkan mobilitas sendi; (4) membatasi gangguan
fungsional; dan (5) mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup (Wells,
dkk., 2009). Karena glukosamin merupakan bagian penyusun dari matriks tulang
rawan dalam jaringan sendi, maka disebutkan bahwa administrasi glukosamin
dapat menjadi pereda gejala osteoartritis dengan cara menyediakan komponen
untuk memperbaiki tulang rawan sehingga dapat mengurangi rasa sakit dan
memperbaiki kecacatan sendi (Fox & Stephens, 2007).

2.2. Glukosamin HCl


Glukosamin adalah monosakarida yang berasal dari kitin, yang terutama
ditemukan dalam cangkang hewan invertebrata laut. Glukosamin banyak
digunakan di banyak negara sebagai suplemen makanan dan telah ditemukan
bahwa glukosamin berperan dalam mengurangi nyeri sendi pada pasien yang
menderita osteoartritis. Pasien dengan osteoartritis mengalami pemburukan tulang
rawan artikular, yang mengarah pada nyeri sendi dan penurunan mobilitas sekitar
sendi. Glukosamin berperan di jalur biosintesis dan merupakan prekursor dari

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




7

glikosaminoglikan yang merupakan komponen utama dari matriks artikular


(Pesek, dkk., 2016).
Sekitar 90% dari setiap dosis oral konvensional (1500 mg/hari) dengan
cepat diserap dari usus manusia. Namun, glukosamin oral hanya menawarkan
konsentrasi dalam plasma sebesar 20 - 26% yang menunjukkan glukosamin
mengalami metabolisme lintas pertama yang signifikan dan kehilangan
presismatik dalam usus dan hati (Dalirfardouei, Karimi, & Jamialahmadi, 2016).
Terdapat tiga bentuk suplemen glukosamin yang beredar di pasaran, yaitu
glukosamin HCl, glukosamin sulfat, dan N-asetil glukosamin (Dalirfardouei,
Karimi, & Jamialahmadi, 2016). Glukosamin HCl dianggap lebih stabil dari
glukosamin sulfat, karena tidak memerlukan penambahan natrium untuk
menstabilkan produk, yang biasanya dilakukan dengan glukosamin sulfat
(Institute of Medicine, 2003). Selain itu, glukosamin sulfat membutuhkan
stabilisator senyawa dalam bentuk garam dan memiliki kemurnian sebesar 74%.
Glukosamin HCl tidak memiliki kelompok sulfat dan memiliki kemurnian sebesar
99%. Oleh karena itu, glukosamin HCl dalam dosis 1.500 mg sama dengan dosis
2.608 mg glukosamin sulfat (Fox & Stephens, 2007).

Gambar 2.2. Struktur Glukosamin HCl


[Sumber: USP 30-NF25, 2006]

Glukosamin HCl memiliki rumus kimia C16H14NClO5 dan struktur kimia


seperti pada gambar 2.2, dengan nama kimia 2-amino-2-deoxy-β-D-
glucopyranose hidrocloride. Glukosamin berbentuk serbuk kristal putih dengan
rasa agak manis dan bau tidak spesifik dengan berat molekul 215,63. Memiliki
kelarutan 1 bagian dalam 10 bagian air dengan pH 3,0 - 5,0 (dalam air).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




8

Glukosamin HCl harus disimpan dalam wadah kedap udara dan terlindung dari
cahaya (USP30-NF25, 2006).

2.3. Gel Transdermal


Menurut Farmakope Indonesia edisi ke-4 gel merupakan sistem semipadat
terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul
organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel kadang-kadang disebut jeli.
Sedangkan menurut Formularium Nasional, gel adalah sediaan bermassa lembek
berupa suspensi yang dibuat dari zarah kecil senyawa anorganik atau
makromolekul senyawa organik, masing-masing terbungkus dan saling terserap
oleh cairan.
Gel memiliki komponen air yang lebih tinggi yang memungkinkan
disolusi lebih besar pada obat-obatan, sehingga lebih mudah menghantarkan obat
dengan pembawa, dibandingkan dengan salep dan krim. Selain itu, mereka lebih
unggul dalam hal penggunaan dan kepatuhan pasien, karena penggunaan gel lebih
nyaman dibanding salep dan krim (Kaur & Singh, 2015).
Gel transdermal dirancang untuk menghantarkan sejumlah obat yang
berefek terapi melewati kulit pasien. Baik gel topikal maupun transdermal
dimaksudkan untuk penggunaan eksternal. Tetapi gel topikal dimaksudkan untuk
tindakan terlokalisasi pada satu atau lebih lapisan kulit sedangkan gel transdermal
menggunakan rute perkutan untuk menghasilkan efek sistemik (Kaur & Singh,
2015).
Dalam review article yang ditulis oleh Kaur dkk yang berjudul A Novel
Approach: Transdermal Gel disebutkan bahwa gel transdermal memiliki beberapa
keuntungan dari bentuk sediaan lain yaitu:
1. Menghindari metabolisme lintas pertama di hati.
2. Penghentian obat dapat dengan mudah dilakukan apabila terjadi toksisitas
obat.
3. Efek samping lebih sedikit karena berkurangnya konsentrasi plasma obat.
4. Frekuensi penggunaan obat dapat dikurangi sehingg meningkatkan
kepatuhan pasien menggunakan obat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




9

5. Dengan gel transdermal, obat dihantarkan ke dalam tubuh dengan laju


yang stabil dan dapat diperpanjang.
6. Farmakokinetik obat konventional mengikuti pola puncak dan lembah
dalam pelepasan obat dalam darah dan jaringan. Sedangkan, obat
transdermal merupakan sistem pengiriman dirancang untuk melepaskan
obat pada tingkat yang telah ditentukan dan secara kontinyu sehingga
kadar dalam darah lebih stabil.
7. Meningkatkan nilai terapetik obat karena menhindari dari masalah-
masalah yang berkaitan dengan obat seperti iritasi saluran cerna, mual,
muntah, mulas dan meningkatnya nafsu makan setelah terapi oral.
8. Memungkinkan digunakan pada pasien pasien yang sedang dalam keadaan
darurat, tidak merespon, tidak sadar, atau pasien koma.
9. Efek terapi yang ekivalen dengan dosis yang lebih rendah dapat dicapai
daripada yang diperlukan apabila obat diberi secara oral.
10. Obat-obatan yang terdegradasi oleh enzim dan asam dalam sistem
pencernaan bisa diadministrasikan dengan memasukkan ke dalam gel
transdermal.
Namun gel transdermal juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu:
1. Gel transdermal tidak cocok untuk obat yang mengiritasi atau peka kulit.
2. Gel transdermal tidak cocok untuk obat yang memiliki sangat rendah atau
tinggi koefisien partisi. Obat harus memiliki koefisien partisi
memungkinkan (log P 1 - 3).
3. Untuk molekul obat berat (> 500Da) akan menjadi sulit untuk menembus
stratum korneum.
4. Gel transdermal tidak menguntungkan bagi obat yang ekstensif
dimetabolisme di kulit.
5. Hanya obat yang relatif kuat yang cocok kandidat untuk pengiriman
transdermal karena batas alami masuk obat dikenakan oleh
impermeabilitas kulit.
6. Banyak obat dengan struktur hidrofilik menembus kulit terlalu lambat
yang kurang efek terapeutik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




10

Pemberian obat sistemik dengan rute transdermal adalah metode tanpa


rasa sakit dengan menerapkan formulasi obat ke kulit yang utuh dan sehat. Obat
awalnya menembus melalui stratum korneum dan kemudian melewati epidermis
dan lebih dalam ke dermis tanpa akumulasi obat dalam lapisan dermis. Ketika
obat mencapai lapisan dermis, obat tersedia untuk penyerapan ke dalam sirkulasi
sistemik (Alkilani, 2015).

2.4. Kulit
Dalam pemberian obat dengan rute transdermal, kulit merupakan tempat
administrasi bukan sebagai organ sasaran (Honeywell-Nguyen & Bouwstra,
2005). Kulit adalah organ yang paling mudah diakses dan terbesar dari tubuh
dengan luas permukaan 1,7 m2, mengorbankan 16% dari total massa tubuh rata-
rata orang. Fungsi utama dari kulit adalah untuk memberikan pelindung antara
tubuh dan lingkungan eksternal terhadap mikroorganisme, radiasi ultraviolet
(UV), bahan kimia, alergen dan mencegah kehilangan air. Kulit dapat dibagi
menjadi tiga wilayah utama: (1) lapisan terluar, yaitu epidermis yang berisi
stratum korneum; (2) lapisan tengah, dermis dan (3) lapisan paling dalam,
hipodermis (Alkilani, 2015). Struktur kulit dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3. Struktur Kulit


[Sumber: Alkilani, 2015]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




11

2.4.1. Struktur Kulit


1. Epidermis
Epidermis adalah lapisan terluar dari kulit yang mempunyai variasi
dalam ketebalannya, yaitu sekitar 0,8 mm pada telapak tangan dan telapak
kaki. Epidermis terdiri dari daerah sel epitel berlapis dan viable epidermis.
Sel yang terkandung dalam epidermis terutama adalah keratinosit (sekitar
95% dari sel), dengan sel lainnya termasuk melanosit, sel-sel Langerhans
dan sel Merkel. Stratum korneum merupakan lapisan yang paling luar dari
epidermis. Stratum korneum berkontak langsung dengan lingkungan
eksternal dan memiliki sifat penghalang yang diakibatkan oleh
kepadatannya yang sangat tinggi, yaitu 1,4 g/cm3 dalam keadaan kering
dan lapisan ini memiliki hidrasi yang rendah, yaitu 15% - 20%. Sel-sel
dalam stratum korneum terutama terdiri dari keratin insoluble (70%) dan
lipid (20%). Air dalam stratum korneum dikaitkan dengan keratin di
korneosit (Alkilani, 2015).

2. Dermis
Dermis memiliki ketebalan sekitar 2 - 3 mm dan terdiri dari
kolagen sebesar 70% dan serat elastin yang memberikan kekuatan dan
elastisitas pada kulit. Pembuluh darah yang terdapat di dermis memberikan
nutrisi untuk lapisan dermis dan epidermis. Saraf, makrofag, dan
pembuluh limfatik juga ditemukan dalam lapisan dermis, seperti yang
digambarkan pada Gambar 2.3 (Alkilani, 2015).

3. Hipodermis
Hipodermis atau lapisan subkutan adalah lapisan terdalam pada
kulit yang terdiri dari jaringan sel lemak. Hipodermis menjadi penghubung
antara kulit dengan jaringan yang terdapat di dalam tubuh, seperti otot dan
tulang. Oleh karena itu, fungsi utaman dari hipodermis ini adalah
melindungi dari benturan fisik, mengisolasi panas, dan mendukung serta
menjadi konduktor pembuluh dan impuls saraf pada kulit. Jaringan sel
lemak pada hipodermis merupakan 50% dari lemak tubuh total, sel lain

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




12

yang mendominasi pada hipodermis tediri dari fibroblast dan makrofag


(Alkilani, 2015).

2.4.2. Jalur Penetrasi Melalui Kulit


Stratum korneum yang terdapat pada epidermis merupakan rintangan
utama pada kulit yang membuat kulit sulit untuk ditembus oleh zat dari luar.
Impermeabilitas dari kulit tersebut menjadi suatu rintangan baik untuk rute topikal
maupun transdermal. Terdapat dua jalur yang mungkin dapat menjadi jalur
masuknya zat melewati stratum korneum, yaitu transepidermal yang terdiri dari
interselular dan transelular serta jalur yang kedua adalah transappendageal. Jalur
tersebut dapat dilihat pada gambar 2.4 (Madani, Mandel, & Seifalian, 2013).

Gambar 2.4. Jalur Penetrasi Melalui Kulit: (A) Transelular, (B) Interselular, dan
(C) Transappedangeal
[Sumber: Madani, 2013]

Pada rute transelular, molekul obat akan melewati kulit secara langsung
melewati membran fosfolipid dan keratinosit. Jalur ini memungkinkan untuk obat
yang bersifat polar dan hidrofilik. Sedangkan rute interselular adalah rute
penetrasi utama untuk banyak molekul yang melewati stratum korneum. Pada

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




13

jalur interselular, obat menembus lapisan kulit melalui ruang antar sel dari kulit,
sehingga jalurnya menjadi berliku dan lebih panjang. Untuk jalur ini lebih
cenderung untuk obat yang bersifat lipofilik karena akan larut dalam lemak yang
terdapat di antara filamen (Lund, 1994).
Untuk jalur transappendageal molekul melewati kelenjar keringat dan
melewati folikel rambut yang disebabkan adanya pori-pori diantaranya yang
memungkinkan obat tersebut berpenetrasi. Jalur appendageal hanya mencakup
0,1% area untuk penyerapan pada kulit, sehingga jalur ini dianggap kurang
potensial dibandingkan jalur transepidermal (Touitou & Barry, 2007).

2.4.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan


Menurut Allen dan Ansel (2014), tidak semua senyawa obat dapat
diberikan secara transdermal karena ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhinya, secara umum faktor tersebut meliputi sifat fisikokimia obat
seperti berat molekul, solubilitas, koefisien partisi dan konstanta disosiasi (pKa),
faktor lainnya adalah sifat dari pembawa dan kondisi dari kulit. Di bawah ini
merupakan faktor-faktor yang ditemukan oleh para peneliti pada kulit yang
normal, sedangkan pada kulit yang terluka sistem penghantaran obat transdermal
tidak terjadi karena akan terakses langsung ke jaringan subkutan dan kapiler.
1. Konsentrasi obat merupakan faktor penting. Umumnya, jumlah obat yang
terabsorbsi secara perkutan per unit luas permukaan setiap periode waktu
bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu
sistem penghantaran obat trasnsdermal.
2. Semakin besar area pengaplikasian, semakin banyak obat yang diabsorbsi.
3. Obat harus memiliki ketertarikan fisikokimia yang lebih besar kepada kulit
dibandingkan dengan pembawa sehingga obat akan meninggalkan
pembawa menuju kulit.
4. Obat dengan berat molekul 100 - 800 dan solubilitasnya cukup pada lipid
dan air dapat mempenetrasi kulit. Berat molekul ideal pada sistem
penghantaran obat transdermal dipercayai 400 atau dibawahnya.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




14

5. Hidrasi pada kulit umumnya menyokong absorbsi perkutan. Sistem


penghantaran obat transdermal berperan sebagai barrier oklusif yang
menghambat keringat untuk lewat sehingga meningkatkan hidrasi kulit.
6. Absorbsi perkutan tampak lebih baik apabila diaplikasikan pada area yang
memiliki lapisan tanduk tipis dibandingkan dengan yang tebal.
7. Secara umum, semakin lama obat yang diaplikasikan berkontak dengan
kulit akan semakin banyak total obat yang diabsorbsi.

2.5. Nanopartikel Kitosan


Nanopartikel didefinisikan sebagai dispersi partikel atau partikel padat
yang memiliki kisaran ukuran dari 1 - 1000 nm (Zhao, dkk., 2011). Nanopartikel
telah banyak digunakan untuk menghantarkan obat, melepaskan obat di situs
target yang sebagian besar mengalami degradasi dalam cairan biologis dan untuk
obat yang tidak dapat dengan mudah berdifusi melewati barrier (Rajalakshmi,
dkk., 2014).
Secara umum, nanopartikel atau kadang juga disebut sebagai nanocarriers
telah banyak digunakan dalam berbagai aplikasi biomedis. Penggunaan partikel
berukuran nano menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan sistem
pengiriman obat lainnya. Nanopartikel digunakan untuk (i) meningkatkan
kelarutan obat yang sangat hidrofobik; (ii) memberikan pelepasan obat yang
berkelanjutan dan terkontrol; (iii) meningkatkan stabilitas agen terapi dengan cara
kimia atau fisik; (iv) memberikan konsentrasi yang lebih tinggi dari obat untuk
menargetkan daerah karena efek Enhanced Permeation and Retention (EPR) dan
(v) memberikan perawatan yang ditargetkan ketika dimodifikasi dengan ligan sel-
spesifik (Goyal, dkk., 2016).
Nanopartikel akan memfasilitasi penetrasi molekul obat melalui lapisan
luar subkutan, diikuti oleh pelepasan obat ke dalam lapisan kulit yang lebih
dalam. nanopartikel yang paling umum digunakan untuk pengiriman obat topikal
dan/atau transdermal adalah nanopartikel polimer, nanoemulsi, nanopartikel
berbasis lipid (liposom dan nanopartikel solid lipid), nanopartikel logam dan
dendrimers (Goyal, dkk., 2016).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




15

Nanopartikel yang menggunakan polimer yang tidak larut air


diformulasikan menggunakan pelarut organik, panas atau gaya geser yang tinggi
yang dapat mempengaruhi stabilitas obat. Selain itu, metode pembuatannya
biasanya kompleks dan memakan waktu. Sebaliknya, polimer yang larut dalam air
menawarkan metode persiapan ringan dan sederhana tanpa menggunakan pelarut
organik dan gaya geser yang tinggi. Di antara yang larut dalam air polimer yang
tersedia, kitosan adalah salah satu yang paling sering diteliti (Rajalakshmi, dkk.,
2014).
Berbagai metode telah digunakan dalam pembuatan nanopartikel kitosan
yaitu antara lain seperti metode emulsi, metode gelasi ionik, metode reverse
micellar, metode ikatan kovalen, metode desolvasi dan metode self-assembling
(Patel & Jivani, 2009).
Pembuatan nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik pertama kali
dilaporkan oleh Calvo dan telah diperiksa secara luas dan dikembangkan oleh
Janes. Mekanisme pembentukan nanopartikel kitosan didasarkan oleh interaksi
elektrostatik antara gugus amina kitosan dan muatan negatif kelompok polianion
seperti tripolifosfat yang akan membentuk struktur network inter- dan/atau
intramolekul tiga dimensi. Crosslinker polianion tripolifisfat sering dipakai karena
bersifat tidak toksis dan memiliki multivalen. Teknik metode gelasi ionik
menawarkan metode preparasi yang sederhana dan ringan di lingkungan berair.
Pertama, kitosan dilarutkan dalam asam asetat dengan kehadiran atau tidak adanya
agen penstabil, seperti poloxamer, yang dapat ditambahkan dalam larutan kitosan
sebelum atau sesudah penambahan polianion. Polianion atau anionik polimer
kemudian ditambahkan dan nanopartikel spontan terbentuk di bawah pengadukan
mekanik pada suhu kamar. Ukuran dan muatan permukaan partikel dapat
dimodifikasi dengan memvariasikan rasio kitosan dan stabilizer (Krishna,
Amareshwar, & Chakravarty, 2011).
Menurut Krishna dkk (2011), metode gelasi ionik memiliki kelebihan
dibanding metode lain, yaitu:
a) penggunaan solusi berbasis air;
b) stabilitas tinggi partikel disintesis;
c) kondisi reaksi ringan;

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




16

d) tanpa pelarut organik;


e) proses yang efektif sederhana dan biaya yang ekonomis; dan
f) mencegah kemungkinan rusaknya bahan aktif yang akan dienkapsulasi
dalam nanopartikel kitosan

2.6. Kitosan
Kitosan, dengan nama kimia poli-β-(1,4)-2-amino-2-deoksi D-glukosa,
merupakan hasil dari deasetilasi parsial kitin dan merupakan polisakarida yang
terdiri dari kopolimer glukosamin dan N-asetilglukosamin. Kitosan terdapat
dalam berbagai derajat deasetilasi dan depolimerisasi sehingga tidak mudah untuk
menentukan komposisi kimianya. Derajat deasetilasi yang dibutuhkan untuk
memperoleh produk yang larut harus lebih besar dari 80 - 85%. Berat molekul
kitosan berkisar antara 10.000 - 1.000.000 (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
Kitosan tidak berbau, berupa serbuk atau serpihan berwarna putih atau
krem. Pembentukan serat sering terjadi selama pengendapan dan dapat terlihat
‘cottonlike’. Kitosan merupakan poliamin kationik dengan kerapatan muatan yang
tinggi pada pH < 6,5, sehingga menempel pada permukaan yang bermuatan
negatif dan mengkelat ion logam. Selain itu, ia juga merupakan polielektrolit
linier dengan gugus amin dan hidroksil yang reaktif (tersedia untuk reaksi kimia
dan pembentukan garam). Adanya sejumlah gugus amin membuat kitosan
bereaksi secara kimia dengan sistem anionik, yang menghasilkan perubahan sifat
fisiko kimia kombinasi ini. Hampir semua sifat fungsional kitosan bergantung
pada panjang rantai, kerapatan muatan, dan distribusi muatan (Rowe, Sheskey &
Quinn, 2009).
pH 1% larutan kitosan dalam air berkisar 4,0 - 6,0. Berat jenis kitosan 1,35
- 1,4 g/cm3 dan temperatur gelas transisinya 203oC. Kitosan agak sukar larut
dalam air; praktis tidak larut dalam etanol 95%, pelarut organik lain, dan larutan
netral atau basa pada pH di atas 6,5. Kitosan larut dengan mudah pada hampir
semua asam organik encer maupun pekat dan sampai jumlah tertentu dalam asam
mineral anorganik (kecuali asam fosfor dan asam sulfur). Selama disolusi, gugus
amin polimer terprotonasi menghasilkan polisakarida bermuatan positif dan garam
kitosan yang larut dalam air. Kelarutan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




17

Kelarutan juga sangat dipengaruhi oleh penambahan garam ke dalam larutan.


Semakin besar kekuatan ionik, maka kelarutan semakin kecil akibat dari pengaruh
salting-out, yang menyebabkan pengendapan kitosan. Ketika kitosan dalam
larutan, gaya tolak antara unit deasetilasi dan unit glukosamin didekatnya
menyebabkan kitosan berada dalam konformasi memanjang. Penambahan
elektrolit menurunkan efek ini dan molekul memiliki konformasi yang lebih acak
seperti kumparan (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Kitosan merupakan bahan
yang tidak toksik dan tidak iritan. Kitosan biokompatibel dengan kulit baik sehat
maupun terinfeksi serta bersifat biodegradabel (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

Gambar 2.5. Struktur Kitosan


[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

2.7. Natrium Tripolifosfat


Natrium tripolifosfat atau juga disebut pentasodium trifosfat merupakan
senyawa anorganik dengan rumus kimia Na5P3O10 dan berat molekul 367,86
dengan struktur seperti pada gambar 2.6. Natrium tripolifosfat adalah garam
natrium dari polifosfat penta-anion, yang merupakan basa konjugat dari asam
triphosphoric.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




18

Gambar 2.6. Struktur Natrium Tripolifosfat


[Sumber: Pubchem.ncbi.nlm.nih.gov]

Natrium tripolifosfat merupakan anhidrat yang mengandung enam


molekul air hidrasi. Natrium tripolifosfat memiliki pemerian berupa serbuk atau
granul putih agak higroskopis yang bebas larut dalam air, dan memiliki pH sekitar
9,5 pada larutan 1 banding 100 (Institute of Medicine, 1996).
Natirum tripolifosfat dengan gugus-gugus fosfatnya, mampu berinteraksi
dengan gugus amin yang terprotonasi pada rantai makromolekul kitosan (Yu,
dkk., 2013) sehingga membentuk nanopartikel. Natrium tripolifosfat lebih sering
digunakan dibandingkan crosslinker lain karena tidak bersifat toksik (Mardliyati,
Muttaqien, & Setyawati, 2012).

2.8. Monografi
2.8.1. Tween 80
Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama
kimia polioksietilen 20 sorbitan mono-oleat. Rumus molekulnya adalah
C64H124O26. Pada suhu 25°C tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan
berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Tween 80 larut dalam air
dan etanol, namun tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan tween 80 antara
lain, sebagai zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan (Rowe, Sheskey
& Quinn, 2009). Selain fungsi-fungsi tersebut, tween 80 juga berfungsi sebagai
peningkat penetrasi (Pandey, dkk., 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




19

2.8.2. Hidroksipropilmetil Selulosa


HPMC atau hidroksipropilmetil selulosa; hypermellose; hypromellosum;
Methocel; metil selulosa propilen glikol eter; metil hidroksipropil selulosa;
Metolose; MHPC; Pharmacoat; Tylopur merupakan polimer dengan karakteristik
sebagai berikut, bentuk berupa serbuk granul atau berserat dengan warna putih
kecoklatan (krem), tidak memiliki rasa dan bau.
HPMC berasal dari selulosa murni yang terkandung dalam bubur kayu.
Bubur tersebut kemudian direaksikan dengan NaOH untuk menghasilkan selulosa
alkali yang mengembang. Alkali selulosa tersebut kemudian direaksikan dengan
klorometan dan propilen oksida untuk menghasilkan metil hidroksipropil eter
selulosa. HPMC dapat direaksikan dengan HCl anhidrat untuk meningkatkan
depolimerisasi, yang kemudian dihasilkan HPMC dengan viskositas yang rendah
(Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). HPMC larut dalam air dingin, dan membentuk
larutan koloid kental, praktis tidak larut dalam air panas, kloroform, etanol 95%
dan eter, tetapi dapat larut dalam campuran etanol dan diklormetan, campuran
metanol dan diklormetan serta larutan air dan alkohol. Beberapa kelas dari HPMC
larut dalam larutan aseton, campuran aseton dan propan-2-ol dan pelarut organik
lainnya. Beberapa dapat mengembang dalam etanol.
HPMC dengan konsentrasi 2% dalam larutan air memiliki pH sebesar 5,0 -
8,0. Selain itu HPMC berubah kecoklatan pada suhu 190 - 200°C, dan menjadi
abu pada suhu 225 - 230°C. Temperature glass transition dari HPMC adalah pada
suhu 170 - 180°C. HPMC tidak bercampur dengan beberapa pengoksidasi kuat.
HPMC merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks
dengan garam logam atau ion organik dan membentuk endapan yang tidak terlarut
(Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Larutan HPMC stabil pada pH 3 - 11. HPMC
mengalami perubahan yang reversibel (dapat kembali) dari bentuk padatan ke
bentuk gel dengan pemanasan dan pendinginan secara berturut turut. Tempertur
pembekuan (gelation) antara 50 - 90oC, tergantung pada jenis dan konsentrasinya.
Pada temperatur di bawah temperatur gelasi akan terjadi penurunan viskositas
larutan polimer HPMC dengan peningkatan suhu, sedangkan pada temperatur
gelasi, viskositas akan meningkat dengan meningkatnya suhu HPMC digunakan
sebagai bahan bioadesif, pembentuk film, zat penyalut, zat pengontrol pelepasan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




20

obat, agen pendispersi, peningkat disolusi, emulgator, stabilizer emulsi, zat


peningkat viskositas, pengikat, mukoadesif dan agen peningkat kelarutan (Rowe,
Sheskey & Quinn, 2009).

2.8.3. Propilen Glikol


Propilen glikol atau 1,2-dihidroksipropane; E1520; 2-hidroksi propanol;
metil etilen glikol; metil glikol; propan-1,2-diol; propilenglikolum dengan rumus
kimia C3H8O2 dan struktur dapat dilihat pada gambar 2.7, memiliki fungsi sebagai
pengawet antimikroba, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, dan kosolven
yang bercampur dengan air. Pada konsentrasi sekitar 15%, propilen glikol
berfungsi sebagai humektan (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009) yang digunakan
untuk mencegah kekeringan pada produk setelah diaplikasikan ke kulit (Aulton,
2002). Selain itu, propilen glikol juga berperan sebagai peningkat penetrasi obat
ke dalam kulit dan memiliki efek yang sinergis bersama dengan tween 80
(Pandey, dkk., 2014).

Gambar 2.7. Struktur Propilen Glikol


[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

Propilen glikol merupakan cairan jernih, tidak berwarna, kental (viskositas


dinamik 58,1 cP pada suhu 20°C), dan tidak berbau. Propilen glikol dapat
bercampur dengan aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin dan air. Selain itu
propilen glikol larut 1 bagian dalam 6 bagian eter, tidak bercampur dengan
minyak mineral ringan atau fixed oil, tetapi larut dalam beberapa minyak esensial
(Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




21

2.8.4. Metil Paraben


Metil paraben atau metil parahidroksi benzoat; metil hidroksi benzoat;
metil-4-hidroksi benzoat; atau juga dikenal dengan nama nipagin M merupakan
pengawet antimikroba. Metil paraben secara luas digunakan pada produk
kosmetik, makanan, dan farmasi. Paraben efektif pada rentang pH 4 - 8 dan
memiliki spektrum antimikroba yang luas, walaupun paling efektif melawan ragi
dan jamur (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Efikasinya sebagai pengawet
meningkat dengan ditambahkannya propilen glikol (2 - 5%), atau dengan
dikombinasikan dengan pengawet lainnya. Metil paraben (0,18%) sering
digunakan dalam kombinasi dengan propil paraben (0,02%) (Rowe, Sheskey &
Quinn, 2009).

Gambar 2.8. Struktur Metil Paraben


[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

Metil paraben memiliki kelarutan yang buruk dalam air yaitu 1 bagian
larut dalam 400 bagian air pada suhu ruang, dan agak sukar larut dalam air panas.
Metil paraben mudah larut dalam etanol dan dalam propilen glikol namun praktis
tidak larut dalam minyak mineral. Produk hidrolisis dari metil paraben yaitu asam
parahidroksi benzoat praktis tidak memiliki aktivitas antimikroba (Rowe, Sheskey
& Quinn, 2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




22

2.8.5. Propil Paraben


Propil paraben atau propil parahidroksi benzoat; propil hidroksi benzoat;
propil-4-hidroksi benzoat; atau juga dikenal dengan nama nipasol M merupakan
pengawet antimikroba. Seperti halnya metil paraben, propil paraben juga secara
luas digunakan pada produk kosmetik, makanan, dan farmasi (Rowe, Sheskey &
Quinn, 2009).

Gambar 2.9. Struktur Propil Paraben


[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Propil paraben memiliki rantai yang lebih panjang dibandingkan metil
paraben. Hal ini memberi konsekuensi yaitu kelarutannya dalam air lebih buruk,
tetapi aktivitas antimikrobanya lebih baik daripada metil paraben. Kelarutannya
dalam air adalah 1 bagian larut dalam 2500 bagian air pada suhu ruang dan dalam
225 bagian air pada suhu 80°C. Propil paraben mudah larut dalam etanol 95% dan
dalam propilen glikol (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

2.9. Uji Penetrasi


Studi penetrasi kulit in vitro dilakukan untuk mengukur kecepatan dan
jumlah komponen yang melewati kulit dan jumlah komponen yang tertahan pada
kulit. Dengan pengambilan secara manual dari cairan sampel, franz static
diffusion cell system, yang memiliki area kulit yang luas dan kompartemen
reseptor statik merupakan pilihan yang cocok dalam karakterisasi penetrasi dan
deposisi obat dalam kulit dari formulasi yang memiliki tingkat permeasi yang
rendah. Alat franz diffusion cell dapat dilihat pada gambar 2.10. Alat ini terbagi
atas dua komponen, yaitu kompartemen donor dan kompartemen reseptor.
Membran yang digunakan dapat berupa kulit manusia, kulit hewan maupun kulit
sintetis. Membran diletakkan di antara kompartemen donor dan kompartemen

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




23

reseptor. Setelah pengaplikasian formulasi uji pada membran yang dipasangkan


pada sel difusi franz, cairan dalam kompartemen reseptor disampling dalam
interval waktu yang ditentukan untuk kemudian dianalisa kandungannya (Witt,
2003).
Kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima, biasanya digunakan
dapar fosfat. Suhu sel dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket
disekeliling kompartemen reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada
membran kulit. Pada interval waktu tertentu diambil beberapa mililiter cairan dari
kompartemen reseptor dan jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit dapat
dianalisis dengan metode yang sesuai. Setiap pengambilan sampel cairan dari
kompartemen reseptor, harus selalu digantikan dengan cairan yang sama sejumlah
volume terambil (Anggraeni, 2008).

Gambar 2.10. Franz Diffusion Cell


[Sumber: www.permegear.com]

2.10. Spektrofotometer UV Visibel


2.10.1. Teori Spektrofotometri
Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




24

elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrum UV-Vis
mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang
bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk
pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa
ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan
menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).
Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 - 400 nm,
sementara sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400 - 800 nm
(Dachriyanus, 2004).

2.10.2. Komponen Spektrofotometri UV-Vis


Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang optimum, setiap komponen
dari instrumen yang dipakai harus berfungsi dengan baik. Komponen-komponen
spektrofotometri UV-Vis meliputi sumber sinar, monokromator, dan sistem optik.
1. Sebagai sumber sinar; lampu deuterium atau lampu hidrogen untuk
pengukuran UV dan lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel.
2. Monokromator; digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam
komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan
dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga
kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan
instrumen melewati spektrum.
3. Optik-optik; dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber
sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer
berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam
satu kompartemen untuk mengoreksi pembacaan atau spektrum sampel.
Blanko yang paling sering digunakan dalam spektrofotometri adalah
semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi
(Rohman, 2007).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan
spektrofotometri ultraviolet yaitu:
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




25

Panjang gelombang yang digunakn untuk analisis kuantitatif adalah


panjang gelombang dimana terjadi absorbansi maksimum. Untuk
memperoleh panjang gelombang serapan maksimum dapat diperoleh
dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang
gelombang dari suatu larutan baku dengan konsentrasi tertentu.

2. Pembuatan kurva kalibrasi


Dilakukan dengan membuat seri larutan baku dalam berbagai
konsentrasi kemudian asorbansi tiap konsentrasi diukur lalu dibuat kurva
yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Kurva
kalibrasi yang lurus menandakan bahwa hukum Lambert-Beer terpenuhi.
3. Pembacaan absorbansi sampel
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2
sampai 0,8 atau 15% sampai 70% jika dibaca sebagai transmitan. Hal ini
disebabkan karena pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan
fotometrik yang terjadi adalah paling minimal (Rohman, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan ± 7 bulan, terhitung dari bulan Januari – Juli tahun
2017 yang dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 1, Laboratorium Penelitian 2,
Laboratorium Formulasi Sediaan Padat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Bahan Penelitian


Glukosamin HCl (Wellable, China), kitosan (PT. Biotek Surindo), natrium
tripolifosfat (WAKO), hidroksipropilmetil selulosa/HPMC, asam asetat, natrium
asetat (Merck), dietil eter, metil paraben (Bratachem), propil paraben
(Bratachem), propilenglikol (Bratachem), aquadest, tissue, aluminium foil, dan
plastic wrap.

3.3. Alat Penelitian


Timbangan analitik (AND GH-120), viskotester Haake 6+, pengaduk
magnetik, pH meter (Horiba F-52), spektrofotometri UV-Vis (U- 2900, Hitachi),
Franz Diffusion Cell, buret (50 ml, Pyrex), vial dan alat-alat gelas yang sering
dipakai di laboratorium.

3.4. Prosedur Kerja


3.4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl

Tabel 3.1. Formula Nanopartikel Glukosamin HCl


Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi
Formula Glukosamin Larutan Kitosan Larutan Na- Tween 80
HCl (% b/v) (% b/v) TPP (% b/v) (% b/v)
F1 2 1 0,1 0,5
F2 2 0,5 0,1 0,5
F3 2 0,25 0,1 0,5

Nanopartikel glukosamin HCl dibuat dengan cara melarutkan 1 g


glukosamin HCl ke dalam 40 ml larutan kitosan dengan variasi konsentrasi sesuai

26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




27

formula dalam asam asetat 1%. Sebanyak 10 ml larutan Na-TPP, dengan


konsentrasi sesuai formula, diteteskan ke dalam larutan kitosan untuk dilakukan
sambung silang sambil diaduk menggunakan bantuan pengaduk magnetik hingga
terbentuk dispersi nanopartikel.

3.4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl


Gel glukosamin HCl dibuat dalam 3 formula seperti yang tertera dalam
Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Formula Gel Glukosamin HCl


BAHAN FORMULA
F1 F2 F3 Non-nano
DNPG F1 50 ml - - -
DNPG F2 - 50 ml - -
DNPG F3 - - 50 ml -
LG - - - 50 ml
HPMC 2,5 g 2,5 g 2,5 g 2,5 g
Propilen 10 g 10 g 10 g 10 g
Glikol
Nipagin 0,2 g 0,2 g 0,2 g 0,2 g
Nipasol 0,1 g 0,1 g 0,1 g 0,1 g
Aquadest Add 100 g Add 100 g Add 100 g Add 100 g
Keterangan: DNPG = dispersi nanopartikel glukosamin, berisi 1 g glukosamin HCl; LG =
Larutan Glukosamin HCl dalam asam asetat 1 %, berisi 1 g glukosamin HCl

1. Nipagin dan nipasol dicampur dengan propilen glikol dan dipanaskan


dalam penangas air dengan suhu 60°C sampai larut, kemudian
didinginkan sampai suhu kamar (M1).
2. HPMC didispersikan ke dalam M1 menggunakan lumpang sampai
homogen (M2).
3. M2 ditambah air hangat kemudian digerus hingga mengembang
sempurna.
4. Setelah itu, sisa air ditambahkan ke dalamnya sambil diaduk perlahan
(M3).
5. Dispersi nanopartikel ditambahkan ke dalam M3, kemudian diaduk
secara perlahan sampai terbentuk massa gel yang homogen.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




28

3.4.3. Evaluasi Gel Glukosamin HCl


a. Pemeriksaan Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan mengamati
penampilan fisik sediaan, meliputi bentuk, warna, kekentalan, dan bau
(Panitia penyusun FI V, 2014).

b. Pemeriksaan Homogenitas
Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan menggunakan dua
kaca objek. Cara pengujiannya sebagai berikut, sejumlah tertentu sediaan
dioleskan pada sekeping kaca objek dan kemudian kaca objek yang
lainnya ditempelkan pada kaca objek yang sudah diolesi sediaan. Suatu
sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat
adanya butiran kasar (Panitia penyusun FI III, 1979). Pemeriksaan
homogenitas dilakukan pengulangan tiga kali.

c. Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter. pH meter
sebelumnya dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar pH 4
dan pH 7. Pada saat pengukuran pH, elektroda pada pH meter dicelupkan
ke dalam sediaan yang dibuat dan dicatat nilai pH yang tertera pada layar
(Panitia penyusun FI V, 2014).

d. Pengukuran Viskositas dan Rheologi


Viskositas dan rheologi sediaan diukur menggunakan viskometer
Haake 6+. Sebanyak 200 g sediaan diukur viskositas dan rheologi dengan
menggunakan spindel nomor 4 pada kecepatan 2, 3, 4, 5, 6, 10, 12, 20, 30,
50, 60, dan 100 rpm, kemudian kembali lagi dengan kecepatan 60, 50, 30,
20, 12, 10, 6, 5, 4 dan 2 rpm. Setelah itu dibuat kurva rheogram untuk
mengetahui sifat alir sediaan antara % Torque (sb. x) dan rpm (sb. y).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




29

3.4.4. Uji Penetrasi


Uji penetrasi dilakukan dengan menggunakan metode Franz Cells
dengan kulit tikus sebagai membran. Membran ini dipasangkan di antara
kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Bagian stratum korneum
(luar) menghadap ke bagian atas (kompartemen donor). Medium reseptor
yang digunakan adalah dapat fosfat pH 7,4. Kompartemen reseptor
dikelilingi oleh water jacket untuk menjaga pada suhu 37°C. Panas
dihasilkan dari hotplate termostatik dengan pengaduk magnetik. Cairan
reseptor diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 500 rpm.
Sampling dilakukan dengan mengambil 1 ml dalam waktu yang berbeda.
Setiap setelah melakukan sampling, ditambahkan fase reseptor yang baru
dengan volume dan temperatur yang sama untuk menjaga agar volume
tetap konstan. Jumlah gel yang diaplikasikan sebanyak 300 mg gel.
Kemudian dari hasil sampling dihitung kadar glukosamin menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Kemudian dihitung fluks dan jumlah kumulatif
zat terpenetrasi per luas area.
Jumlah kumulatif glukosamin HCl yang terpenetrasi per luas area
difusi (µg/cm2) dihitung dengan rumus :
!!!
𝐶𝑛𝑉 + !!! 𝐶. 𝑆
𝑄=
𝐴
Keterangan:
𝑄 = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (µg/cm2)
𝐶𝑛 = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-n
𝑉 = Volume sel difusi (21ml)
!!!
!!! 𝐶 = Jumlah konsentrasi zat pada sampling menit sebelumnya
𝑆 = Volume sampling = 1 ml
𝐴 = Luas area membran = 3,14 cm2

Kecepatan penetrasi tiap satuan waktu (fluks) glukosamin HCl


dihitung dengan rumus :
𝑀 𝑄
𝐽= =
𝑠𝑥𝑡 𝑡
Keterangan :
J = Fluks (µg cm-2 jam-1)
S = Luas area difusi (cm2)
M = Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (µg)
T = waktu (jam)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




30

Selanjutnya dibuat grafik jumlah kumulatif glukosamin yang


terpenetrasi per luas area difusi terhadap waktu dan grafik fluks terhadap
jam.

a) Pembuatan Standar Glukosamin


Sebanyak 100 mg glukosamin HCl standar dilarutkan dalam 100
ml natrium asetat 0,10 M dan didiamkan selama ± 24 jam sehingga
diperoleh konsentrasi akhir glukosamin HCl sebesar 1000 mg/L.

b) Pembuatan Standar Phenyl Thiourea (PTH)


Standar phenyl thiourea (PTH) diperoleh dari derivatisasi
glukosamin HCl standar dengan phenyl isothiocyanate (PITC). Sebanyak 4
ml larutan glukosamin HCl standar dimasukkan ke dalam labu volumetrik
25 ml dan ditambahkan 0,4 mL PITC dan 15 ml metanol, kemudian
ditambahkan dengan metanol : air (3:2) sampai tanda batas. Sebanyak 10
ml diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu dipanaskan
selama 20 menit di atas penangas air, kemudian didinginkan dan volume
dicukupkan hingga 10 ml dengan aquadest. Larutan tersebut kemudian
diekstraksi sebanyak 2 kali menggunakan 15 ml dietil eter untuk
menghilangkan PITC yang tidak bereaksi, dan bagian larutan yang
mengandung PTH hasil derivatisasi glukosamin HCl diambil. Sebanyak 5
ml dimasukkan ke dalam labu volumetrik 50 ml dan dicukupkan dengan
aquadest sampai tanda batas.

c) Pemilihan Panjang Gelombang Maksimum


Pemilihan panjang gelombang (λ) dilakukan dengan menggunakan
larutan glukosamin HCl standar, larutan phenyl isothiocyanate, dan larutan
phenyl thiourea hasil derivatisasi glukosamin HCl dengan phenyl
isothiocyanate lalu dilakukan scanning menggunakan spektrofotometer
UV-Vis pada rentang panjang gelombang (λ) 200 - 400 nm.

d) Pembuatan Kurva Standar Glukosamin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




31

Dibuat seri konsentrasi larutan standar phenyl thiourea


menggunakan aquadest dengan konsentrasi 3, 4, 6, 8, dan 10 mg/L
kemudian diukur absorbansinya dengan spektrometri UV-Vis pada
panjang gelombang 240 nm. Kemudian nilai absorbansi tersebut diplot
terhadap konsentrasi untuk mendapatkan kurva standar dan persamaan
garis yang menunjukkan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi
glukosamin.

e) Analisis Kadar Glukosamin


Masing-masing sampel dari ketiga formula diambil sebanyak 4 ml
dan dimasukkan ke dalam labu volumetrik 25 ml kemudian ditambahkan
0,4 ml PITC dan 15 ml metanol, lalu ditambahkan dengan metanol : air
(3:2) sampai tanda batas. Sebanyak 10 ml diambil dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi lalu dipanaskan selama 20 menit di atas penangas air,
kemudian didinginkan dan volume dicukupkan hingga 10 ml dengan
aquadest. Larutan tersebut kemudian diekstraksi sebanyak 2 kali
menggunakan 15 ml dietil eter untuk menghilangkan PITC yang tidak
bereaksi, dan bagian larutan yang mengandung PTH hasil derivatisasi
glukosamin HCl diambil. Sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam labu
volumetrik 50 ml dan dicukupkan dengan aquadest sampai tanda batas.
Absorbansinya diukur dengan spektrometri UV-Vis pada panjang
gelombang 240 nm. Hasil absorbansi yang diperoleh kemudian
dimasukkan dalam persamaan regresi linear dari kurva standar glukosamin
HCl dan diperoleh konsentrasi sampel glukosamin HCl.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




32

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl


Preparasi nanopartikel dilakukan menggunakan metode gelasi ionik, di
mana polimer kitosan dicampur dengan natrium tripolifosfat akan menghasilkan
interaksi antar muatan positif pada gugus amino kitosan dengan muatan negatif
pada tripolifosfat.
Formula nanopartikel yang digunakan dalam penelitian ini dibuat menjadi
tiga formula dengan memvariasikan konsentrasi kitosan, yaitu F1, F2, dan F3
secara berturut-turut adalah 1%, 0,5%, dan 0,25% yang masing-masing formula
akan dibuat menjadi sediaan gel. Variasi konsentrasi kitosan bertujuan untuk
melihat pengaruh konsentrasi kitosan terhadap kemampuan penetrasi gel
glukosamin HCl melewati kulit.
Formula nanopartikel glukosamin HCl yang digunakan pada pembentukan
gel transdermal ini telah dikarakterisasi dalam penelitian Marrisa (2017), di mana
dari hasil yang didapatkan menunjukkan penurunan pada ukuran partikel, efisiensi
penjerapan, dan zeta potensial seiring dengan menurunnya konsentrasi kitosan
yang digunakan.
Formula dengan konsentrasi kitosan 1% menghasilkan rata-rata ukuran
partikel sebesar 506,9 nm, dengan efisiensi penjerapan 67,5% dan zeta potensial
+29,3 mV, untuk konsentrasi kitosan 0,5% menghasilkan rata-rata ukuran partikel
sebesar 149,4 nm, dengan efisiensi penjerapan 51,6% dan zeta potensial +27,3
mV dan untuk konsentrasi kitosan 0,25% menghasilkan rata-rata ukuran partikel
sebesar 100,8 nm, dengan efisiensi penjerapan 47,2% dan zeta potensial +22,5
mV (Marrisa, 2017).

4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl


Pemilihan jenis sediaan gel sebagai basis didasari atas beberapa hal, yang
pertama karena dispersi nanopartikel glukosamin HCl yang digunakan berupa
dispersi utuh dalam sistem pendispersi air, sehingga akan lebih mudah dibuat
menjadi bentuk gel dibanding bentuk krim atau salep, karena kadar air yang tinggi

32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




33

dan sediaan gel biasanya mudah diaplikasikan maupun dibersihkan. Penggunaan


dispersi utuh nanopartikel glukosamin HCl dilakukan karena sulitnya pemisahan
nanopartikel glukosamin HCl dari sistem dispersinya.
Basis gel yang digunakan sebagai gelling agent adalah hidroksipropilmetil
selulosa (HPMC). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa gel yang
diformulasikan dengan HPMC memiliki stabilitas yang lebih baik ketimbang gel
yang diformulasikan dengan kitosan sebagai pembentuk gelnya (Anggraeni,
2015).
Nipagin dan nipasol berfungsi sebagai pengawet pada sediaan, mengingat
hampir 90% sediaan mengandung air sehingga mudah ditumbuhi jamur dan
bakteri. Pengadukan dilakukan secara perlahan untuk meminimalisir gelembung
yang terbentuk.

4.3. Evaluasi Gel Glukosamin HCl


4.3.1. Pemeriksaan Organoleptik
Pengamatan organoleptik ketiga formula gel menunjukkan bahwa gel yang
dihasilkan semitransparan, kental, berbau HPMC dan terdapat gelembung gas
yang hilang setelah didiamkan selama beberapa jam. Sediaan yang semitransparan
disebabkan oleh adanya beberapa bahan yang terdispersi dalam sediaan. Warna
kekuningan pada sediaan berasal dari warna polimer yang digunakan, yaitu
kitosan yang berwarna sedikit kekuningan, semakin besar konsentrasi kitosan
yang digunakan maka sediaan yang dihasilkan makin berwarna kekuningan.
Gelembung gas yang terdapat dalam sediaan dihasilkan ketika proses pengadukan
menggunakan lumpang, karena udara mudah terperangkap oleh HPMC.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




34

Gambar 4.1. Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

Gambar 4.2. Gel Glukosamin HCl Non-nano

4.3.2. Pemeriksaan Homogenitas


Sediaan gel glukosamin HCl terlihat homogen pada semua formula. Ketiga
formula memenuhi persyaratan karena tidak terlihat adanya gumpalan-gumpalan
polimer yang belum terdispersi secara sempurna ataupun partikel kasar seperti
yang dapat dilihat pada Gambar 4.3. dan Gambar 4.4.

Gambar 4.3. Uji Homogenitas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




35

Gambar 4.4. Uji Homogenitas Gel Glukosamin HCl Non-nano

4.3.3. Pengukuran pH
Hasil dari pengukuran pH pada Tabel 4.1. menunjukkan bahwa semakin
kecil konsentrasi kitosan yang digunakan maka pH yang dihasilkan akan semakin
kecil karena kitosan memiliki gugus amino dengan pKa 6,2 - 7 yang merupakan
zat basa (Ravi, 2000), sehingga semakin sedikit jumlah kitosan yang digunakan
maka akan semakin rendah pH yang dihasilkan.

Tabel 4.1. pH Gel Nanopartikel Glukosamin HCl


Formula pH
F1 4,392 ± 0,076
F2 4,003 ± 0,013
F3 3,721 ± 0,006
Non-nano 3,574 ± 0,006

Berdasarkan hasil pengujian diketahui pH sediaan belum memenuhi


persyaratan pH sediaan topikal yaitu antara 4,5 – 6,5. Kulit yang normal memiliki
pH antara 4,5 - 6,5 sehingga sediaan topikal harus memiliki pH yang sama dengan
pH normal kulit tersebut. Kesesuaian pH kulit dengan pH sediaan topikal
mempengaruhi penerimaan kulit terhadap sediaan. Sediaan topikal yang ideal
adalah tidak mengiritasi kulit. Kemungkinan iritasi kulit akan sangat besar apabila
sediaan terlalu asam atau terlalu basa (Wasitaatmajda, 1997).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




36

Optimasi dengan penambahan pengatur pH ke dalam formulasi dapat


dilakukan untuk mendapatkan nilai pH pada rentang pH kulit, namun tetap
menjaga kestabilan gel yang diformulasi.

4.3.4. Pengukuran Viskositas dan Rheologi


Viskositas sediaan gel glukosamin HCl berbasis HPMC dapat dilihat pada
Tabel 4.2 serta Gambar 4.5. Nilai viskositas sediaan gel glukosamin HCl menurun
seiring dengan meningkatnya kecepatan spindel. Dari data yang diperoleh,
viskositas sediaan gel glukosamin HCl menurun dari 8910 cP menjadi 890 cP
pada Formula 1, 8020 cP menjadi 870 cP pada Formula 2, dan dari 7840 cP
menjadi 850 cP pada Formula 3. Sediaan yang memiliki viskositas yang
cenderung berubah pada beberapa kecepatan geser yang diberikan merupakan
karakteristik dari cairan nonnewton.

10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
0 20 40 60 80 100 120

F1 F2 F3 nonnano

Gambar 4.5. Grafik Viskositas Gel Glukosamin HCl

Viskositas pada gel glukosamin HCl semakin menurun seiring dengan


penurunan konsentrasi kitosan yang digunakan. Meskipun demikian tidak terlihat
perbedaan yang signifikan pada wujud gel yang dihasilkan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




37

Tabel 4.2. Viskositas Gel Glukosamin HCl


Viskositas (cP)
Kecepatan Putar
(Rpm) Non-
F1 F2 F3
nano
2 8910 8020 7840 7690
4 8540 7430 7350 7150
10 7280 6390 6090 5740
20 4470 4370 4170 4020
30 2980 2910 2830 2780
60 1490 1450 1400 1350
100 890 870 850 830

Dispersi senyawa makromolekul seperti polimer HPMC memang


tergolong cairan nonnewton. Hal ini dikonfirmasi dengan kurva rheologi yang
diperoleh dari sediaan ini.

F1 F2
50 50
40 40
%torque

%torque

30 naik 30 naik
20 20
turun turun
10 10
0 0
0 20 40 0 20 40

Rpm Rpm

F3 Non-nano
50 50
40 40
%torque

%torque

30 naik 30 naik
20 turun 20
turun
10 10
0 0
0 10 20 30 40 0 10 20 30 40
Rpm Rpm

Gambar 4.6. Kurva Rheologi Gel Glukosamin HCl

Rheogram menunjukkan bahwa sediaan gel berbasis HPMC memiliki sifat


aliran pseudoplastis, di mana kemiringan kurva antara kecepatan spindel (sumbu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




38

x) dan %Torque (sumbu y) semakin menurun dengan meningkatnya kecepatan


spindel. Selain itu, rheogram pseudoplastis berawal dari titik nol yang artinya
bahan akan langsung mengalir pada saat diberikan tegangan geser.
Pada rheogram terlihat kurva naik berhimpit dengan kurva turun yang
artinya sifat alir sediaan gel ini tidak bergantung pada waktu, dengan kata lain
rheogram yang ditunjukkan oleh sediaan gel berbasis HPMC adalah rheogram
dari pseudoplastis.
Sediaan farmasi seperti sistem dispersi pada umumnya menginginkan
rheologi pseudoplastis, plastis, atau tiksotropik karena pada saat disimpan akan
membentuk gel yang viskositasnya tinggi sehingga mampu menghambat proses
pengendapan dan aglomerasi. Namun, pada saat akan digunakan dengan sedikit
pemberian gaya atau tegangan geser, sistem gel akan berubah menjadi sol di mana
sediaan akan menjadi lebih cair sehingga mudah dituang atau disebar di atas
permukaan kulit (Aulton, 2002).

4.4. Uji Penetrasi Gel Glukosamin HCl


Pada penelitian ini, dilakukan uji penetrasi gel glukosamin HCl secara in
vitro menggunakan sel difusi franz. Uji ini dilakukan untuk mengetahui jumlah
glukosamin HCl yang terpenetrasi melalui kulit selama interval waktu tertentu
dari sediaan gel berbasis HPMC yang telah dibuat.
Bobot sediaan yang diaplikasikan ditentukan berdasarkan luas membran
dan penyebaran sediaan yang merata. Pengaplikasian sediaan dengan bobot yang
terlalu besar pada luas membran yang kecil akan menyebabkan terjadinya
penumpukan sediaan pada lapisan atas membran, sehingga zat aktif tidak
sepenuhnya terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan kulit
(Simanjuntak, 2006).
Cairan yang terdapat dalam kompartemen penerima adalah dapar fosfat
salin pH 7,4 yang menggambarkan sistem aliran darah di bawah kulit. Air
dialirkan dari termostat masuk ke dalam water jacket untuk menjaga temperatur
sesuai dengan suhu tubuh yaitu 37°C. Suhu harus tetap dijaga karena perubahan
suhu dapat mengakibatkan perubahan laju difusi glukosamin HCl menembus
membran. Kompartemen reseptor diaduk dengan magnetic stirrer pada kecepatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




39

500 rpm untuk menjaga cairan kompartemen tetap homogen. Penggunaan


kecepatan yang lebih tinggi dapat menyebabkan timbulnya gelembung udara di
antara membran dan cairan kompartemen penerima (Christina, 2010)
Sampel dicuplik sebanyak 1 ml dan digantikan dengan medium
kompartemen reseptor yang baru dengan volume yang sama untuk
mempertahankan sink condition (Lachman dkk.,1994). Hasil cuplikan yang
didapat selanjutnya akan diderivatisasi untuk dapat mengukur kadar glukosamin
HCl dalam sampel.

4.4.1. Pembuatan Senyawa Phenyl Thiourea (PTH)


Glukosamin HCl harus diderivatisasi terlebih dahulu karena
glukosamin HCl tidak memiliki gugus kromofor sehingga tidak menyerap
sinar pada daerah UV-Vis. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses
derivatisasi sehingga menjadi senyawa berkromofor dan dapat dideteksi
pada daerah UV. Pereaksi yang dapat digunakan untuk derivatisasi
glukosamin dengan detektor UV, diantaranya adalah phenyl isothiocyanate
(PITC) (Liang, Leslie, Adebowale, Ashraf, dan Eddington, 1999); N-(9-
fluorenyl- methoxycarbonyloxy) succinimide (FMOC-Su) (Zhou,
Waszkuc, and Mohammed, 2005; Yan, Evenocheck, 2011); dan 1,2-
naphthoquinone-4- sulphonic acid sodium salt (NQS) (Hadad, Abdel-
Salam, dan Emara, 2011). Pereaksi FMOC-Su sudah tidak ada lagi di
pasaran, sedangkan NQS memiliki harga yang relatif lebih mahal
dibandingkan PITC, sehingga akan lebih efisien menggunakan PITC untuk
penelitian ini.
Pembuatan senyawa phenyl thiourea (PTH) dalam penelitian ini
dilakukan dengan menderivatisasi senyawa glukosamin HCl standar
dengan pereaksi phenyl isothiocyanate (PITC) menggunakan metode yang
telah divalidasi oleh Gaonkar (2006) sehingga dapat dideteksi
menggunakan spektrofotometer Uv-Vis.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




40

4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (PTH)


Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan
larutan standar glukosamin HCl dengan konsentrasi 1000 ppm. Nilai
absorbansi tertinggi didapatkan pada panjang gelombang 240 nm dengan
absorbansi 1,208. Nilai panjang gelombang tersebut sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Gaonkar (2006) yang mengukur
glukosamin dengan spektrofotometer UV-Vis dengan teknik derivatisasi
menggunakan PITC. Panjang gelombang maksimum glukosamin HCl
dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.4.3. Pembuatan Kurva Standar Glukosamin HCl


Kurva kalibrasi digunakan untuk mendapatkan persamaan regresi
yang akan digunakan untuk menghitung kadar senyawa glukosamin HCl
bebas. Hasil pengukuran absorbansi sejumlah larutan standar glukosamin
HCl pada panjang gelombang 240 nm adalah y = 0,0641x + 0,0034 dengan
nilai r = 0,9998.

0.7

0.6

0.5
Absorbansi

0.4 y = 0.0641x + 0.0034


0.3
R = 0.9998
0.2

0.1

0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi (µg/ml)

Gambar 4.7. Kurva Kalibrasi Glukosamin HCl

4.4.4. Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas Area

Hasil pengujian penetrasi melalui membran kulit tikus


menunjukkan jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area pada

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




41

Formula 1, Formula 2, Formula 3, dan Non-nano pada jam ke 8 secara


berturut-turut adalah 528,209 µg/cm2 ; 583,391 µg/cm2 ; 557,949µg/cm2
dan 314,150 µg/cm2. Nilai tersebut menunjukkan kadar glukosamin HCl
yang terdapat dalam medium reseptor. Selain yang terakumulasi dalam
medium reseptor, glukosamin HCl yang berdifusi juga tertinggal dalam
jaringan kulit tikus yang digunakan sebagai membran difusi. Oleh karena
itu jumlah total glukosamin HCl yang berdifusi sebenarnya lebih besar dari
nilai terukur dalam cairan reseptor.

Tabel 4.3. Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per Satuan Luas Area


Waktu (µg/cm2)
(Menit)
F1 F2 F3 Non-nano
10 313,9 ± 2,5 283,2 ± 26,2 251,3 ± 35,8 78,9 ± 2,9
30 353,4 ± 7,8 330,0 ± 4,9 306,1 ± 17,1 169,7 ± 12,7
60 374,9 ± 1,5 390,6 ± 7,5 366,0 ± 18,9 203,6 ± 3,5
90 405,6 ± 30,8 434,6 ± 23,7 384,9 ± 3,4 248,4 ± 2,0
120 421,7 ± 26,2 445,4 ± 20,7 428,5 ± 7,7 259,8 ± 2,1
180 426,5 ± 20,0 454,7 ± 13,9 443,6 ± 13,3 271,2 ± 2,9
240 441,3 ± 40,4 491,2 ± 28,3 475,5 ± 4,1 274,9 ± 0,1
300 458,2 ± 56,9 522,1 ± 44,0 506,8 ± 29,3 283,9 ± 3,7
360 477,3 ± 46,6 525,6 ± 40,8 530,1 ± 34,9 290,2 ± 6,1
420 510,9 ± 29,0 532,5 ± 25,1 535,3 ± 32,2 308,6 ± 1,9
480 528,2 ± 35,6 583,4 ± 41,3 557,9 ± 4,1 314,1 ± 1,4

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




42

F1 F2 F3 Non Nano

700

600

500
Jumlah Kumulatif

400

300

200

100

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu (Jam)

Gambar 4.8. Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area

Tabel 4.4. % Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area
% Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per
Waktu Satuan Luas Area
(Menit)
F1 F2 F3 Non-nano
10 32,9 ± 0,3 29,6 ± 2,6 26,3 ± 3,6 8,3 ± 0,3
30 37,0 ± 0,8 34,5 ± 0,5 32,0 ± 1,7 17,8 ± 1,3
60 39,2 ± 0,2 40,9 ± 0,7 38,3 ± 1,9 21,3 ± 0,4
90 42,5 ± 3,2 45,5 ± 2,3 40,3 ± 0,3 25,9 ± 0,2
120 44,1 ± 2,7 46,6 ± 2,1 44,9 ± 0,8 27,2 ± 0,2
180 44,6 ± 2,1 47,6 ± 1,4 46,4 ± 1,3 28,4 ± 0,3
240 46,2 ± 4,2 51,4 ± 4,8 49,8 ± 0,4 28,8 ± 0,0
300 48,0 ± 6,0 54,6 ± 4,4 53,0 ± 2,9 29,7 ± 0,4
360 50,0 ± 4,9 55,0 ± 4,0 55,5 ± 3,5 30,4 ± 0,6
420 53,5 ± 3,0 55,7 ± 2,5 56,0 ± 3,2 32,3 ± 0,2
480 55,3 ± 3,7 61,1 ± 4,1 58,4 ± 0,4 32,9 ± 0,1

Hasil jumlah kumulatif glukosamin HCl menunjukkan bahwa


bentuk fisik nanopartikel memberikan kemampuan penetrasi yang lebih
baik dibandingkan tanpa sistem nanopartikel. Hal tersebut juga
ditunjukkan oleh hasil pengolahan data menggunakan statistik SPSS 22
dengan metode uji One Way Anova yang menunjukkan bahwa hasil

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




43

persentase kumulatif difusi glukosamin HCl per luas area memiliki


perbedaan yang bermakna antara gel Non-nano dengan ketiga sediaan gel
nanopartikel glukosamin HCl dikarenakan memiliki nilai signifikansi <
0,05.
Hal tersebut dapat terjadi karena nanopartikel berguna sebagai
reservoir obat untuk mengantarkannya ke stratum korneum sehingga dapat
mengendalikan permeasi mereka ke dalam kulit (Ucheci, Ogbonna &
Attama, 2014). Pada kulit yang tidak rusak, folikel berperan penting dalam
penetrasi nanopartikel, folikel merupakan tempat penyimpanan yang
sangat baik yang dapat digunakan untuk pelepasan obat dan menawarkan
jalan pintas ke dalam sirkulasi sistemik. Akumulasi senyawa pada bagian
folikel akan meningkatkan kemampuan penetrasi senyawa tersebut
(Schneider, dkk., 2009).
Hasil jumlah kumulatif glukosamin HCl tersebut juga
menunjukkan variasi konsentrasi kitosan dalam ketiga formula
nanopartikel tidak mempengaruhi kemampuan penetrasi glukosamin HCl
kecuali antara F1 dengan F3 pada menit ke 10 hingga 30. Hal tersebut
ditunjang oleh hasil pengolahan data menggunakan statistik SPSS 22
dengan metode uji One Way Anova yang menunjukkan hasil persentase
kumulatif antara ketiga formula nanopartikel memiliki nilai signifikansi >
0,05, kecuali pada menit ke 10 hingga menit ke 30 untuk F1 dan F3 yang
memiliki nilai signifikansi <0,05.

4.4.5. Fluks Penetrasi


Fluks (kecepatan) penetrasi glukosamin HCl dapat dihitung dari
data jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi yang perhitungannya
dapat dilihat pada Lampiran 7. Data hasil perhitungan fluks difusi gel
glukosamin HCl dapat dilihat pada Tabel 4.5, sedangkan grafik fluks difusi
glukosamin HCl per luas area dapat dilihat pada Gambar 4.9.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




44

Tabel 4.5. Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area

Waktu Fluks Penetrasi (µg cm-2 jam-1)


(menit) F1 F2 F3 Non-nano
10 1879,9 ± 15,2 1695,6 ± 157,2 1505,0 ± 214,6 473,1 ± 17,7
30 706,8 ± 15,6 660,1 ± 9,9 612,2 ± 34,1 339,5 ± 25,4
60 374,9 ± 1,5 390,6 ± 7,5 366,0 ± 18,9 203,6 ± 3,5
90 270,4 ± 20,5 289,7 ± 15,8 256,6 ± 2,3 165,6 ± 1,4
120 210,8 ± 13,1 222,7 ± 10,4 214,3 ± 3,8 129,9 ± 1,0
180 142,2 ± 6,7 151,6 ± 4,6 147,9 ± 4,4 90,4 ± 0,9
240 110,3 ± 10,1 122,8 ± 12,1 118,9 ± 1,0 68,7 ± 0,0
300 91,6 ± 11,4 104,4 ± 8,8 101,4 ± 5,9 56,8 ± 0,7
360 79,5 ± 7,8 87,6 ± 6,8 88,4 ± 5,8 48,3 ± 1,0
420 72,9 ± 4,2 76,1 ± 3,6 76,5 ± 4,6 44,0 ± 0,3
480 66,0 ± 4,5 72,9 ± 5,2 69,7 ± 0,5 39,3 ± 0,2

2000
1800
Fluks Penetrasi (µg cm-2 jam-1)

1600
1400
1200
F1
1000
F2
800
600 F3
400 NonNano
200
0
0 2 4 6 8 10
Waktu (jam)

Gambar 4.9. Grafik fluks Penetrasi Glukosamin HCl Per Luas Area

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa fluks penetrasi


keempat formula semakin menurun dengan berjalannya waktu. Besarnya
fluks penetrasi pada menit-menit awal dapat dipengaruhi oleh efisiensi
penjerapan dari nanopartikel. Berdasarkan evaluasi efisiensi penjerapan
nanopartikel glukosamin HCl yang digunakan pada pembentukan gel ini

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




45

menunjukkan hasil pada F1 dengan konsentrasi kitosan 1%, F2 dengan


konsentrasi kitosan 0,5%, dan F3 dengan konsentrasi kitosan 0,25% secara
berturut-turut 67,5%, 51,6%, dan 47,2% hal ini menunjukkan semakin
besar konsentrasi kitosan yang digunakan maka semakin tinggi efisiensi
penjerapan yang dihasilkan. Semakin besar efisiensi penjerapan maka
semakin banyak glukosamin HCl yang masuk melewati kulit karena
perbedaan gradien yang tinggi antara dua kompartemen (Annisa, dkk.,
2016). Hal tersebut dapat dilihat dari hasil fluks penetrasi, pada F1 fluks
penetrasi lebih tinggi dibandingkan F2, dan F2 lebih tinggi dibandingkan
F3. Seiring berjalannya waktu kejenuhan mulai terjadi pada kulit, pada
saat ini penetrasi dipengaruhi oleh kemampuan glukosamin HCl berdifusi
secara pasif melewati kulit, sehingga fluks penetrasi glukosamin HCl pada
semua formula terlihat mirip.
Fluks penetrasi senyawa berbanding lurus dengan jumlah
kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area menurut hukum Ficks I. Oleh
karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kumulatif glukosamin
HCl terpenetrasi per luas area turut mempengaruhi fluks penetrasi
glukosamin HCl melalui membran difusi (Anggraeni, 2008).
Hasil fluks penetrasi juga menunjukkan bahwa bentuk fisik
nanopartikel memberikan kecepatan penetrasi yang lebih baik
dibandingkan tanpa sistem nanopartikel. Hal tersebut juga ditunjukkan
oleh hasil pengolahan data menggunakan statistik SPSS 22 dengan metode
uji One Way Anova.
Hasil fluks penetrasi glukosamin HCl tersebut juga menunjukkan
bahwa fluks penetrasi dalam ketiga formula nanopartikel tidak dipengaruhi
oleh variasi konsentrasi kitosan kecuali antara F1 dengan F3 pada menit ke
10 hingga 30. Hal tersebut ditunjang oleh hasil pengolahan data
menggunakan statistik SPSS 22 dengan metode uji One Way Anova yang
menunjukkan hasil fluks penetrasi antara ketiga formula nanopartikel
memiliki nilai signifikansi > 0,05, kecuali pada menit ke 10 hingga menit
ke 30 untuk F1 dan F3 yang memiliki nilai signifikansi <0,05.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Penggunaan sistem nanopartikel dapat meningkatkan jumlah kumulatif
dan fluks penetrasi glukosamin HCl yang terpenetrasi dibandingkan dengan gel
yang dibuat tanpa sistem nanopartikel. Perbedaan konsentrasi kitosan pada
pembuatan nanopartikel glukosamin HCl tidak memberikan pengaruh bermakna
pada jumlah kumulatif dan fluks penetrasi glukosamin HCl kecuali antara F1 dan
F3 pada menit ke-10 hingga menit ke-30. Jumlah kumulatif glukosamin HCl yang
terpenetrasi per luas area selama 8 jam untuk F1, F2, F3, dan Non-nano secara
berturut-turut adalah 528,2 µg/cm2; 583,4 µg/cm2; 557,9 µg/cm2 dan 314,2
µg/cm2. Fluks penetrasi pada menit ke-10 untuk F1, F2, F3, dan Non-nano secara
berturut-turut adalah 1879,9 µg/cm2 jam; 1695,6 µg/cm2 jam; 1505 µg/cm2 jam;
dan 473,1 µg/cm2 jam.

5.2. Saran
a. Perlu dilakukan uji penetrasi menggunakan membran kulit manusia
untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.
b. Perlu dilakukan penelitian terkait dosis efektif senyawa glukosamin
HCl dalam bentuk sediaan gel transdermal.
c. Pada uji penetrasi selanjutnya sebaiknya dibandingkan dengan sediaan
gel glukosamin hidroklorida yang telah beredar di pasaran.
d. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengoptimasi formulasi gel
nanopartikel glukosamin HCl serta mengevaluasi gel yang dihasilkan.

46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




DAFTAR PUSTAKA

Alkilani, Ahlam Zaid., NcCrudden, Maeliosa T.C., Donnelly, & Ryan F. (2015).
Transdermal Drug Delivery: Innovative Pharmaceutical
Developments Based on Disruption of the Barrier Properties of the
stratum corneum. Pharmaceutics; 7(4): 438–470.
Allen, L. V., & Ansel H. C. (2014). Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and
Drug Delivery Systems. Tenth Edition. Philadelpia: Lippincott
Williams & Wilkins. 343-344.
Anandhakumar, S., Krishnamoorthy, G., Ramkumar, K. M., & Raichur, A. M.
(2017). Preparation of collagen peptide functionalized chitosan
nanoparticles by ionic gelation method: An effective carrier system
for encapsulation and release of doxorubicin for cancer drug delivery.
Materials Science and Engineering C, 70, 378–385.
https://doi.org/10.1016/j.msec.2016.09.003
Anonim. (2007). The United States Pharmacopoeia 30 – The National Formulary.
25. United States Pharmacopoeia Convention, Inc.
Anggraeni, C.A. (2008). Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel, dan Salep
Terhadap Penetrasi Aminofilin Sebagai Antiselulit Secara In Vitro
Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi. Universitas Indonesia.
Anggraeni, Yuni. (2015). Formulasi Sediaan Gel Transdermal Glukosamin HCl
Untuk Terapi Osteoartritis. Jakarta.
Annisa, Rahmi., Hendradi, Esti., Melani, Dewi. (2016). Pengembangan sistem
nanostructured lipid carriers (NLC) meloxicam dengan lipid
monostearin dan miglyol 808 menggunakan metode emulsifikasi.
Journal Trop. Pharm. Chem. Vol.3 No.3
Arya, R., & Jain, V. (2013). Osteoartritis of the knee joint: An overview. Journal,
Indian Academy of Clinical Medicine, 14(2), 154–162. Retrieved from
http://medind.nic.in/jac/t13/i2/jact13i2p154.pdf
Aulton, M.E. (2002). Pharmaceutics : The Science of Dosage Forms Design.
London : Churchill Living Stone.
Barclay, T. S., Tsourounis, C., & Mccart, G. M. (1998). Glucosamine, 32, 574–
579.
Bronner, F., & Farach-Carson, M. C. (2007). Bone and Osteoarthritis. London:
Springer.
Christina. (2010). Pengaruh Mentol, Etanol, dan Propilen Glikol Terhadap Profil
Penetrasi Perkutan Glukosamin Secara In Vitro Menggunakan Sel
Difusi Franz. Skripsi. Universitas Indonesia
Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara
Spektrofotometri, Cetakan pertama. Padang : CV. Trianda Anugrah
Pratama
Dalirfardouei, R., Karimi, G., & Jamialahmadi, K. (2016). Molecular mechanisms

47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




48

and biomedical applications of glucosamine as a potential


multifunctional therapeutic agent. Life Sciences, 152, 21–29.
https://doi.org/10.1016/j.lfs.2016.03.028
Fox, B. A., & Stephens, M. M. (2007). Glucosamine hydrochloride for the
treatment of osteoartritis symptoms. Clinical Interventions in Aging,
2(4), 599–604.
Goyal, R., Macri, L. K., Kaplan, H. M., & Kohn, J. (2016). Nanoparticles and
nanofibers for topical drug delivery. Journal of Controlled Release,
240, 77–92. https://doi.org/10.1016/j.jconrel.2015.10.049
Hadad, G. M., Randa A. Abdel-Salam, & Emara, S. (2011). Determination of
glucosamine and carisoprodol in pharmaceutical formulations by lc
with pre-column derivatization and UV detection. Journal of
Chromatographic Science 2012; 50: 307–315
doi:10.1093/chromsci/bms008.
Hammad, Y. H., Magid, H. R., & Sobhy, M. M. (2014). Clinical and biochemical
study of the comparative efficacy of topical versus oral
glucosamine/chondroitin sulfate on osteoartritis of the knee. The
Egyptian Rheumatologist, 37(2), 85–91.
https://doi.org/10.101.6/j.ejr.2014.06.007
Han, I. H., Choi, S. U., Nam, D. Y., Park, Y. M., Kang, M. J., Kang, K. H., Kim,
Y. M., Bae, G., Oh, I. Y., Park, J. H., Ye, J. S., Choi, Y. B., Kim, D.
K., Lee, J., & Choi, Y. W. (2010). Identification and assesment of
permeability enhanching vehicles for transdermal delivery of
glucosamine hydrocloride. Arch Pharm Res Vol. 33 No.2. 293 - 299
Honneywell-Nguyen, P. L., & Bouwstra, J. A. (2005). Vesicles as a tool for
transdermal and dermal delivery. Drug Discovery Today:
Technologies. Vol. 2, No. 1. 68-74.
Institute of Medicine. (1996). Food and Nutrition Board Committee on Food
Chemicals Codex. Washington, DC: National Academy of Sciences.
Institute of Medicine. (2003). Safety review: Draft 3 prototype monograph on
glucosamine. Pp 1-84. Washington, DC: National Academy of
Sciences.
Kalam, M. A. (2016). Development of chitosan nanoparticles coated with
hyaluronic acid for topical ocular delivery of dexamethasone.
International Journal of Biological Macromolecules, 89, 127–136.
https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2016.04.070
Kaur, D., Singh, R. (2015). A novel approach: Transdermal gel. International
Journal of Pharma Research & Review, 4(10), 41-50
Kleine-Brueggeney, H., Zorzi, G. K., Fecker, T., El Gueddari, N. E.,
Moerschbacher, B. M., & Goycoolea, F. M. (2015). A rational
approach towards the design of chitosan-based nanoparticles obtained
by ionotropic gelation. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces, 135,
99–108. https://doi.org/10.1016/j.colsurfb.2015.07.016

48 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




49

Krishna, A.S., Amareshwar, P., & Chakravarty, P. (2011). Different techniques


used for the preparation of nanoparticles using natural polymers and
their application. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences, Vol 3, Suppl 2, 45-50. ISSN- 0975-1491
Liang, Zhongming, Leslie, J., Adebowale, A., Ashraf, M., &
Eddington, N. D. (1999). Determination of the nutraceutical,
glucosamine hydrochloride, in raw materials, dosage forms and
plasma using pre-column derivatization with ultraviolet HPLC.
Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis, 20 807–814.
Lund, W. (1994). Pharmaceutical Codex, 12th edition. London: The
Pharmaceutical Press
Madani, S.Y., Mandel, A., Seifalian, A.M. (2013). A concise review of carbon
nanotube's toxicology. Nano Reviews, 4: 21521
Mardliyati, E., El Muttaqien, S., & Setyawati, D. R. (2012). Sintesis nanopartikel
kitosan-trypoly phosphate dengan metode gelasi ionik: pengaruh
konsentrasi dan rasio volume terhadap karakteristik partikel.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan.
90-93. ISSN 1411-2213.
Marrisa. (2017). Ukuran Partikel dan Efisiensi Penjerapan Nanopartikel
Glukosamin Hidroklorida dengan Variasi Konsentrasi Kitosan.
Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pandey, A., Mittal, A., Chauhan, N., & Alam, S. (2014). Role of surfactants as
penetration enhancer in transdermal drug delivery system. Journal
Molecular Pharmaceutics & Organic Process Research, Vol.2, Issue
2. doi: 10.4172/2329-9053.1000113. ISSN: 2329-9053 JMPOPR
Panitia penyusun FI V. (2014). Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Patel, J.K., & Jivani, N.P. (2009). A novel approach: Transdermal gel.
International Journal of Pharmaceutical Sciences and
Nanotechnology, Vol.2, 517-522.
Pesek, J., Matyska, M., Jimena, A., Juan, J., Jo, A., & Berioso, B. (2016).
Analysis of glucosamine using aqueous normal phase
chromatography. LWT - Food Science and Technology 65. 777-782
Rajalakshmi, R.,Muzib, I.Y., Aruna, U., Vinesha, V., Rupangada, V., & Krishna
Moorthy, K.S.B. (2014). Chitosan nanoparticles - an emerging trend
in nanotechnology. International Journal of Drug Delivery 6. 204-
229.
Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schneider, M., Stracke, F., Hansen, S., & Schaefer, U.F. (2009). Nanoparticle and
their interactions with the dermal barrier. Dermato-Endocrinology
1:4. 197-206
Touitou, Elka. Barry W. (2007). Enhancement In Drug Delivery. New York: CRC
Press, 220-221, 237, 246

49 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




50

Uchechi, O., Ogbonna, J.D.N., & Attama, A.A. (2014). Nanoparticles for dermal
and transdermal drug delivery. Application of Nanotechnology in
Drug Delivery. Chapter 6: 193-230.
Walters, Kenneth. (2002). Dermatological and Transdermal Formulation. New
York: Marcel Dekker. 1-12,225.
Wasitaatmadja. (1997). Penuntun Kosmetik Medik. Universitas Indonesia: Jakarta.
Wells BG; Dipiro JT; Schwinghammer TL; Dipiro CV. (2009). Pharmacotherapy
handbook.
Witt, K. & Bucks, D. (2003). Studying in vitro : Skin preparation and drug release
to optimize dermatological formulations. Formulation, Fill & Finish.
22-27.
Yu, S. H., Wu, S. J., Wu, J. Y., Peng, C. K., & Mi, F. W. (2013).
Tripolyphosphate cross-linked macromolecular composites for the
growth of shape- and size-controlled apatites. Molecules: 18. 27-40.
doi: 10.3390/molecules18010027
Zhao, L. M., Shi, L. E., Zhang, Z. L., Chen, J. M., Shi, D. D., Yang, J., & Tang, Z.
X. (2011). Preparation and application of chitosan nanoparticles and
nanofibers. Brazilian Journal of Chemical Engineering, Vol. 28, No.3.
353-362.
Zhou, J. Z., Waszkuc, T., & Mohammed, F. (2005). Determination
of glucosamine in raw materials and dietary supplements containing
glucosamine sulfate and/or glucosamine hydrochloride by high
performance liquid chromatography with fmoc-su derivatization:
collaborative study. Journal of AOAC International Vol. 88, No. 4

50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian

Preparasi nanopartikel glukosamin HCl dengan


konsentrasi kitosan 1%; 0,5%; dan 0,25%

Preparasi gel nanopartikel


glukosamin HCl

Evaluasi gel
glukosamin HCl

Organo- Homogeni- pH Viskositas Penetapan


leptik tas dan kadar
Rheologi

Penetrasi

Derivatisasi
glukosamin HCl

Pembuatan Penentuan Pembuatan


larutan induk panjang kurva
glukosamin gelombang kalibrasi
HCl maksimum

Analisis kadar glukosamin HCl

51 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




52

Lampiran 2. Persen Torque Gel Glukosamin HCl

%Torque
Kecepatan Putar
(Rpm) Non-
F1 F2 F3
nano
2 8,9 8 8 8
2,5 11,1 9,8 9,8 9,8
3 13,1 11,5 11,4 11,3
4 17 14,8 14,7 14,5
5 20,7 18 17,7 17,6
6 24,1 21 20,7 20,6
10 36,4 31,9 31,4 31
12 42 36,9 36,7 36,4
20 44,7 43,7 43,7 43,6
30 44,7 43,6 43,7 43,6
20 44,8 43,7 43,7 43,7
10 44,2 39,4 40,7 38,6
12 38,8 34,3 35,4 34,7
6 25,8 22,7 23,2 21,7
5 22,6 19,5 19,7 19
4 18,3 16,1 16,4 16,1
3 14,4 12,7 12,9 12,2
2,5 12,3 10,8 11 10
2 10 8,8 9 8,8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




53

Lampiran 3. Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (Hasil


Derivatisasi Glukosamin HCl)

Report Date: 18:46:44, 06/07/2017

PTH
Abs
2.2
2.1
2.0
1.9
1.8
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
1.2
1.1
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
-0.1
-0.2
nm
200 250 300 350 400

Sample: PTH
File name: PTH belom diencerin.UDS
Run Date: 14:46:58, 02/13/2017
Operator: R310
Comment:
Peak Integration belom diencerin
Method: Rectangular
Instrument Sensitivity: 1
Model: Threshold: U-2910 0.0100
Spectrophotometer
Serial Number:
ROM Version:
Peaks 2J15301 05
Peak # Start (nm) Apex (nm) End (nm) Height (Abs) Area (Abs*nm) Valley (nm) Valley (Abs)
Instrument Parameters
1 400.0 240.0 225.6 1.208 50.738 225.6 0.996
Measurement Type: Wavelength Scan
Data Mode: Abs
Starting Wavelength: 400.0 nm
Ending Wavelength: 200.0 nm
Scan Speed: 200 nm/min
Sampling Interval: 0.2 nm
Slit Width: 1.50 nm
Lamp change mode: Auto
Auto change wavelength: 340.0 nm
Baseline Correction: User 1
Wait time: 0s
Cycle Time: 0 min
Replicates: 1
Response: Medium
Path Length: 10.0 mm
(Abs values are corrected to 10 mm path length)

1/4

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




54

Lampiran 4. Absorbansi Standar Glukosamin HCl

Konsentrasi (µg/ml) Absorbansi

3 0,203
4 0,255
6 0,382
8 0,517
10 0,647

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




55

Lampiran 5. Data Hasil Uji Difusi F1

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per % Kumulatif Difusi Glukosamin


Waktu Satuan Luas Area (µg/cm2) HCl
(Menit) Rata-
1 2 SD 1 2 Rata-rata SD
rata
10 312,158 315,737 313,947 2,531 32,672 33,047 32,860 0,265
30 347,893 358,947 353,420 7,817 36,413 37,570 36,991 0,818
60 376,018 373,854 374,936 1,530 39,357 39,130 39,243 0,160
90 427,399 383,892 405,645 30,764 44,734 40,181 42,458 3,220
120 440,219 403,122 421,671 26,231 46,076 42,193 44,135 2,746
180 440,716 412,365 426,540 20,047 46,128 43,161 44,645 2,098
240 469,934 412,763 441,348 40,427 49,186 43,202 46,194 4,231
300 498,457 417,980 458,219 56,906 52,172 43,749 47,960 5,956
360 510,184 444,316 477,250 46,576 53,399 46,505 49,952 4,875
420 531,551 490,430 510,991 29,077 55,636 51,332 53,484 3,043
480 553,416 503,002 528,209 35,648 57,924 52,648 55,286 3,731

Lampiran 6. Data Hasil Uji Difusi F2

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per % Kumulatif Difusi Glukosamin


Waktu Satuan Luas Area (µg/cm2) HCl
(Menit) Rata-
1 2 SD 1 2 Rata-rata SD
rata
10 301,722 264,605 283,163 26,246 31,580 27,695 29,638 2,747
30 326,525 333,555 330,040 4,970 34,176 34,912 34,544 0,520
60 395,894 385,283 390,589 7,503 41,437 40,326 40,882 0,785
90 451,350 417,881 434,615 23,666 47,241 43,738 45,490 2,477
120 460,095 430,800 445,448 20,715 48,157 45,090 46,624 2,168
180 464,568 444,913 454,740 13,898 48,625 46,568 47,596 1,455
240 525,290 457,037 491,164 48,262 54,980 47,837 51,408 5,051
300 553,217 490,977 522,097 44,011 57,903 51,389 54,646 4,606
360 554,409 496,741 525,575 40,778 58,028 51,992 55,010 4,268
420 550,235 514,679 532,457 25,142 57,591 53,870 55,731 2,632
480 554,211 612,571 583,391 41,267 58,007 64,116 61,062 4,319

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




56

Lampiran 7. Data Hasil Uji Penetrasi F3

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per % Kumulatif Difusi Glukosamin


Waktu Satuan Luas Area (µg/cm2) HCl
(Menit) Rata-
1 2 SD 1 2 Rata-rata SD
rata
10 276,678 225,994 251,336 35,839 28,959 23,654 26,307 3,751
30 294,027 318,150 306,089 17,058 30,775 33,300 32,037 1,785
60 352,663 379,420 366,041 18,920 36,912 39,713 38,312 1,980
90 382,577 387,370 384,974 3,389 40,043 40,545 40,294 0,355
120 433,958 423,098 428,528 7,679 45,421 44,284 44,853 0,804
180 453,039 434,179 443,609 13,336 47,418 45,444 46,431 1,396
240 472,618 478,454 475,536 4,127 49,467 50,078 49,773 0,432
300 486,034 527,500 506,767 29,320 50,872 55,212 53,042 3,069
360 505,414 554,780 530,097 34,907 52,900 58,067 55,483 3,654
420 512,569 558,060 535,315 32,167 53,649 58,410 56,030 3,367
480 560,869 555,029 557,949 4,130 58,704 58,093 58,399 0,432

Lampiran 8. Data Hasil Uji Penetrasi Non-nano

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per % Kumulatif Difusi Glukosamin


Waktu Satuan Luas Area (µg/cm2) HCl
(Menit) Rata-
1 2 SD 1 2 Rata-rata SD
rata
10 80,946 76,772 78,859 2,952 8,472 8,035 8,254 0,309
30 178,717 160,778 169,747 12,684 18,706 16,828 17,767 1,328
60 206,146 201,127 203,637 3,549 21,577 21,051 21,314 0,371
90 246,893 249,825 248,359 2,073 25,841 26,148 25,995 0,217
120 261,304 258,322 259,813 2,108 27,350 27,038 27,194 0,221
180 269,204 273,229 271,217 2,846 28,177 28,598 28,387 0,298
240 274,770 274,969 274,869 0,141 28,759 28,780 28,770 0,015
300 281,279 286,497 283,888 3,689 29,441 29,987 29,714 0,386
360 285,752 294,348 290,050 6,079 29,909 30,808 30,359 0,636
420 309,951 307,218 308,585 1,933 32,442 32,156 32,299 0,202
480 313,181 315,119 314,150 1,370 32,780 32,982 32,881 0,143

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




57

Lampiran 9. Data Fluks Penetrasi F1

Fluks Penetrasi (µg cm-2 jam-1)


Waktu
(Menit) Rata-
1 2 SD
rata
10 1869,207 1890,640 1879,923 15,155
30 695,785 717,894 706,839 15,633
60 376,018 373,854 374,936 1,530
90 284,932 255,928 270,430 20,509
120 220,109 201,561 210,835 13,116
180 146,905 137,455 142,180 6,682
240 117,484 103,191 110,337 10,107
300 99,691 83,596 91,644 11,381
360 85,031 74,053 79,542 7,763
420 75,936 70,061 72,999 4,154
480 69,177 62,875 66,026 4,456

Lampiran 10. Data Fluks Penetrasi F2

Fluks Penetrasi (µg cm-2 jam-1)


Waktu
(Menit) Rata-
1 2 SD
rata
10 1806,721 1584,458 1695,590 157,164
30 653,051 667,109 660,080 9,941
60 395,894 385,283 390,589 7,503
90 300,900 278,587 289,743 15,777
120 230,048 215,400 222,724 10,357
180 154,856 148,304 151,580 4,633
240 131,323 114,259 122,791 12,066
300 110,643 98,195 104,419 8,802
360 92,402 82,790 87,596 6,796
420 78,605 73,526 76,065 3,592
480 69,276 76,571 72,924 5,158

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




58

Lampiran 11. Data Fluks Penetrasi F3

Fluks Penetrasi (µg cm-2 jam-1)


Waktu
(Menit) Rata-
1 2 SD
rata
10 1656,754 1353,260 1505,007 214,603
30 588,054 636,301 612,178 34,115
60 352,663 379,420 366,041 18,920
90 255,051 258,247 256,649 2,260
120 216,979 211,549 214,264 3,839
180 151,013 144,726 147,870 4,445
240 118,154 119,614 118,884 1,032
300 97,207 105,500 101,353 5,864
360 84,236 92,463 88,350 5,818
420 73,224 79,723 76,474 4,595
480 70,109 69,379 69,744 0,516

Lampiran 12. Data Fluks Penetrasi Non-nano

Fluks Penetrasi (µg cm-2 jam-1)


Waktu
(Menit) Rata-
1 2 SD
rata
10 485,664 460,620 473,142 17,709
30 357,433 321,556 339,495 25,369
60 206,146 201,127 203,637 3,549
90 164,595 166,550 165,573 1,382
120 130,652 129,161 129,906 1,054
180 89,735 91,076 90,406 0,949
240 68,692 68,742 68,717 0,035
300 56,256 57,299 56,778 0,738
360 47,625 49,058 48,342 1,013
420 44,279 43,888 44,084 0,276
480 39,148 39,390 39,269 0,171

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




59

Lampiran 13. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Glukosamin HCl Per


Luas Area

Sampel F1 Sediaan Gel Pada menit ke-10


Serapan menit ke 10 (y10) = 0,153
y = 0,06409x – 0,00343
0,153 = 0,06409x – 0,00343
x10 = 2,334
Konsentrasi terpenetrasi = x10 x faktor pengenceran
= 2,334 x 20
= 46, 675 µg/mL
Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :

!!!
𝐶𝑛𝑉 + !!! 𝐶. 𝑆
𝑄=
𝐴

𝐶𝑛 = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-x


𝑉 = Volume sel difusi (21ml)
!!!
!!! 𝐶 = Jumlah konsentrasi zat pada sampling sebelumnya
𝑆 = Volume sampling = 1 ml
𝐴 = Luas area membrane = 3,14 cm2

𝑄 = {(46,675 µg/ml x 21 ml) + (0 µg/ml x 1 ml)}/ 3,14 cm2


= 312,157 µg/cm2
%Kumulatif = (Q x A x 100)/ Kandungan zat aktif dalam sediaan
%Kumulatif = (312,157 µg/cm2 x 3,14 cm2 x100)/3000 µg
= 32,672 %
Jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi persatuan luas area pada menit ke
10 adalah 312,157 µg/cm2 dengan %kumulatif 32,672 %

Sampel F1 Sediaan Gel Pada menit ke-30


Serapan menit ke 30 (y30) = 0,163
Y = 0,06409x – 0,00343
0,163 = 0,06409x – 0,00343
X30 = 2,489
Konsentrasi terpenetrasi = x30 x faktor pengenceran
= 2,489 x 20
= 49,796 µg/ml

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




60

(Lanjutan)

Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :

!!!
𝐶𝑛𝑉 + !!! 𝐶. 𝑆
𝑄=
𝐴

𝐶𝑛 = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke-30


𝑉 = Volume sel difusi (21ml)
!!!
!!! 𝐶 = Jumlah konsentrasi zat pada sampling menit ke 10 = 46, 675 µg/ml
𝑆 = Volume sampling = 1 ml
𝐴 = Luas area membrane = 3,14 cm2

𝑄 = {(49,796 µg/ml x 21 ml) + (46, 675 µg/ml x 1 ml)}/ 3,14 cm2


= 347,893 µg/cm
%Kumulatif = (Q x A x 100)/ Kandungan zat aktif dalam sediaan
%Kumulatif = (347,893 µg/cm2 x 3,14 cm2 x100)/3000 µg
= 36,413 %
Jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi persatuan luas area pada menit ke-
30 adalah 347,893 µg/cm2 dengan %kumulatif 36,413 %

Lampiran 14. Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Glukosamin HCl

Sampel F2 Sediaan Gel pada Menit ke 120

Kecepatan penetrasi glukosamin HCl (fluks, J, µg cm-2 jam-1) dihitung dengan


rumus :
𝑀 𝑄
𝐽= =
𝑠𝑥𝑡 𝑡

Dimana :
J = Fluks (µg cm-2 jam-1)
S = Luas area difusi (cm2)
M = Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (µg)
T = waktu (jam)
Diketahui :
M/S = 330,040 µg/cm2
t = 2 jam
Maka :
J = 330,040 µg/cm2/ 2 jam = 165, 020 µg cm-2 jam-1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




61

Lampiran 15. Hasil Uji Statistik pH Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

Uji Normalitas pH Gel Nanopartikel Glukosamin HCl


Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.


*
PH ,201 6 ,200 ,897 6 ,358

*. This is a lower bound of the true significance.


Keterangan : Signifikansi >0,05 data terdistribusi secara normal

Uji ANOVA pH Nanopartikel Glukosamin HCl


ANOVA
PH

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups ,454 2 ,227 114,894 ,001


Within Groups ,006 3 ,002
Total ,460 5

Keterangan :Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi > 0,05 data tidak
berbeda secara bermakna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




62

Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter
penetrasi Per Luas Area

: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi secara normal


Keterangan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




63

(Lanjutan)
Uji homogenitas Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penertasi
Test of Homogeneity of Variances

Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Menit_10 2,249 3 4 ,160
Menit_30 ,824 3 4 ,516
Menit_90 2,210 3 4 ,165
Menit_240 2,434 3 4 ,140
Menit_300 1,406 3 4 ,310
Menit_360 1,023 3 4 ,432
Keterangan : nilai Sig. > 0,05 data terdistribusi secara homogen
Uji ANOVA Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi

ANOVA

Sum of
Squares df Mean Square F Sig.

Menit_10 Between Groups 670,705 3 223,568 45,704 ,001

Within Groups 19,566 4 4,892

Total 690,272 7
Menit_30 Between Groups 395,913 3 131,971 95,673 ,000
Within Groups 5,518 4 1,379
Total 401,431 7
Menit_90 Between Groups 367,373 3 122,458 31,047 ,003
Within Groups 15,777 4 3,944
Total 383,150 7
Menit_240 Between Groups 516,889 3 172,296 17,001 ,010
Within Groups 40,538 4 10,134
Total 557,426 7
Menit_300 Between Groups 625,137 3 208,379 13,396 ,015
Within Groups 62,222 4 15,555

Total 687,359 7
Menit_360 Between Groups 672,324 3 224,108 17,275 ,009

Within Groups 51,893 4 12,973

Total 724,216 7
Keterangan :Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi > 0,05 data tidak
berbeda secara bermakna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




64

Multiple Comparisons

LSD
95% Confidence
Interval
Mean
Difference Lower Upper
Dependent Variable (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound
Menit_10 F1 F2 4,336500 2,211700 ,121 -1,80416 10,47716
F3 7,521000
*
2,211700 ,027 1,38034 13,66166
Non- *
24,179500 2,211700 ,000 18,03884 30,32016
nano
F2 F1 -
-4,336500 2,211700 ,121 1,80416
10,47716
F3 3,184500 2,211700 ,223 -2,95616 9,32516
Non- *
19,843000 2,211700 ,001 13,70234 25,98366
nano
F3 F1 * -
-7,521000 2,211700 ,027 -1,38034
13,66166
F2 -3,184500 2,211700 ,223 -9,32516 2,95616
Non- *
16,658500 2,211700 ,002 10,51784 22,79916
nano
Non- F1 - - -
* 2,211700 ,000
nano 24,179500 30,32016 18,03884
F2 - - -
* 2,211700 ,001
19,843000 25,98366 13,70234
F3 - - -
* 2,211700 ,002
16,658500 22,79916 10,51784
Menit_30 F1 F2 3,762000
*
1,174475 ,033 ,50113 7,02287
F3 6,170500
*
1,174475 ,006 2,90963 9,43137
Non- *
18,743000 1,174475 ,000 15,48213 22,00387
nano
F2 F1 -3,762000
*
1,174475 ,033 -7,02287 -,50113
F3 2,408500 1,174475 ,110 -,85237 5,66937
Non- *
14,981000 1,174475 ,000 11,72013 18,24187
nano
F3 F1 -6,170500
*
1,174475 ,006 -9,43137 -2,90963
F2 -2,408500 1,174475 ,110 -5,66937 ,85237
Non- *
12,572500 1,174475 ,000 9,31163 15,83337
nano
Non- F1 - - -
* 1,174475 ,000
nano 18,743000 22,00387 15,48213
F2 - - -
* 1,174475 ,000
14,981000 18,24187 11,72013
F3 - -
* 1,174475 ,000 -9,31163
12,572500 15,83337
Menit_90 F1 F2 -1,219000 1,986012 ,573 -6,73305 4,29505
F3 3,747000 1,986012 ,132 -1,76705 9,26105
Non- *
15,911000 1,986012 ,001 10,39695 21,42505
nano
F2 F1 1,219000 1,986012 ,573 -4,29505 6,73305
F3 4,966000 1,986012 ,067 -,54805 10,48005
Non- *
17,130000 1,986012 ,001 11,61595 22,64405
nano
F3 F1 -3,747000 1,986012 ,132 -9,26105 1,76705

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




65

F2 -
-4,966000 1,986012 ,067 ,54805
10,48005
Non- *
12,164000 1,986012 ,004 6,64995 17,67805
nano
Non- F1 - - -
* 1,986012 ,001
nano 15,911000 21,42505 10,39695
F2 - - -
* 1,986012 ,001
17,130000 22,64405 11,61595
F3 - -
* 1,986012 ,004 -6,64995
12,164000 17,67805
Menit_240 F1 F2 -
-3,141000 3,183460 ,380 5,69770
11,97970
F3 -
-1,541000 3,183460 ,654 7,29770
10,37970
Non- *
16,824500 3,183460 ,006 7,98580 25,66320
nano
F2 F1 3,141000 3,183460 ,380 -5,69770 11,97970
F3 1,600000 3,183460 ,642 -7,23870 10,43870
Non- *
19,965500 3,183460 ,003 11,12680 28,80420
nano
F3 F1 1,541000 3,183460 ,654 -7,29770 10,37970
F2 -
-1,600000 3,183460 ,642 7,23870
10,43870
Non- *
18,365500 3,183460 ,004 9,52680 27,20420
nano
Non- F1 - -
* 3,183460 ,006 -7,98580
nano 16,824500 25,66320
F2 - - -
* 3,183460 ,003
19,965500 28,80420 11,12680
F3 - -
* 3,183460 ,004 -9,52680
18,365500 27,20420
Menit_300 F1 F2 -
-4,467500 3,944037 ,321 6,48290
15,41790
F3 -
-2,893000 3,944037 ,504 8,05740
13,84340
Non- *
17,623000 3,944037 ,011 6,67260 28,57340
nano
F2 F1 4,467500 3,944037 ,321 -6,48290 15,41790
F3 1,574500 3,944037 ,710 -9,37590 12,52490
Non- *
22,090500 3,944037 ,005 11,14010 33,04090
nano
F3 F1 2,893000 3,944037 ,504 -8,05740 13,84340
F2 -
-1,574500 3,944037 ,710 9,37590
12,52490
Non- *
20,516000 3,944037 ,007 9,56560 31,46640
nano
Non- F1 - -
* 3,944037 ,011 -6,67260
nano 17,623000 28,57340
F2 - - -
* 3,944037 ,005
22,090500 33,04090 11,14010
F3 - -
* 3,944037 ,007 -9,56560
20,516000 31,46640
Menit_360 F1 F2 -
-2,847000 3,601829 ,473 7,15328
12,84728
F3 -
-3,239500 3,601829 ,419 6,76078
13,23978
Non- *
18,944500 3,601829 ,006 8,94422 28,94478
nano
F2 F1 2,847000 3,601829 ,473 -7,15328 12,84728

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




66

F3 -
-,392500 3,601829 ,918 9,60778
10,39278
Non- *
21,791500 3,601829 ,004 11,79122 31,79178
nano
F3 F1 3,239500 3,601829 ,419 -6,76078 13,23978
F2 ,392500 3,601829 ,918 -9,60778 10,39278
Non- *
22,184000 3,601829 ,004 12,18372 32,18428
nano
Non- F1 - -
* 3,601829 ,006 -8,94422
nano 18,944500 28,94478
F2 - - -
* 3,601829 ,004
21,791500 31,79178 11,79122
F3 - - -
* 3,601829 ,004
22,184000 32,18428 12,18372

Keterangan :Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi > 0,05 data tidak
berbeda secara bermakna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




67

Lampiran 17. Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl

: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi secara normal


Keterangan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




68

(Lanjutan)
Uji Homogenitas Fluks Glukosamin HCl
Test of Homogeneity of Variances

Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Menit_10 2,272 3 4 ,157
Menit_30 ,848 3 4 ,505
Menit_60 2,250 3 4 ,160
Menit_90 2,191 3 4 ,167
Menit_120 1,698 3 4 ,244
Menit_180 1,044 3 4 ,424
Menit_240 2,439 3 4 ,139
Menit_300 1,380 3 4 ,317
Menit_360 1,017 3 4 ,435
Menit_420 1,200 3 4 ,370
Menit_480 2,307 3 4 ,153
Keterangan : Nilai Sig. > 0,05 data terdistribusi homogen

Uji ANOVA Fluks Glukosamin HCl Ter Penetrasi


ANOVA

Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Menit_10 Between
Groups 2374510,832 3 791503,611 44,405 ,002

Within
Groups 71298,010 4 17824,502
Total 2445808,842 7
Menit_30 Between
Groups 162757,502 3 54252,501 100,903 ,000
Within
Groups 2150,687 4 537,672
Total 164908,189 7
Menit_60 Between
Groups 45798,152 3 15266,051 142,274 ,000
Within
Groups 429,201 4 107,300
Total 46227,353 7
Menit_90 Between
Groups 18183,275 3 6061,092 35,834 ,002
Within
Groups 676,568 4 169,142
Total 18859,844 7
Menit_120 Between
Groups 11252,716 3 3750,905 50,834 ,001
Within
Groups 295,150 4 73,787
Total 11547,866 7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




69

Menit_180 Between
Groups 4929,740 3 1643,247 75,744 ,001
Within
Groups 86,779 4 21,695

Total 5016,518 7
Menit_240 Between
Groups 3708,149 3 1236,050 19,872 ,007
Within
Groups 248,802 4 62,201
Total 3956,951 7
Menit_300 Between
Groups 2869,615 3 956,538 15,815 ,011
Within
Groups 241,932 4 60,483
Total 3111,547 7
Menit_360 Between
Groups 2129,000 3 709,667 20,087 ,007

Within
Groups 141,322 4 35,330
Total 2270,322 7
Menit_420 Between
Groups 1464,840 3 488,280 38,035 ,002
Within
Groups 51,351 4 12,838
Total 1516,190 7
Menit_480 Between
Groups 1424,419 3 474,806 40,615 ,002

Within
Groups 46,762 4 11,690

Total 1471,181 7

Keterangan :Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi > 0,05 data tidak
berbeda secara bermakna
Multiple Comparisons

LSD

95% Confidence Interval


Mean Lower Upper
Dependent Variable Difference (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound
Menit_ Non- F1 * 133,50843
-1406,781652 ,000 -1777,46050 -1036,10281
10 nano 6
F2 * 133,50843
-1222,447652 ,001 -1593,12650 -851,76881
6
F3 * 133,50843
-1031,865152 ,002 -1402,54400 -661,18631
6
F1 Non- * 133,50843
1406,781652 ,000 1036,10281 1777,46050
nano 6
F2 133,50843
184,334000 ,240 -186,34484 555,01284
6
F3 * 133,50843
374,916500 ,048 4,23766 745,59534
6
F2 Non- * 133,50843
1222,447652 ,001 851,76881 1593,12650
nano 6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




70

F1 133,50843
-184,334 ,240 -555,01284 186,34484
6
F3 133,50843
190,582500 ,227 -180,09634 561,26134
6
F3 Non- * 133,50843
1031,865152 ,002 661,18631 1402,54400
nano 6
F1 * 133,50843
-374,916500 ,048 -745,59534 -4,23766
6
F2 133,50843
-190,583 ,227 -561,26134 180,09634
6
Menit_ Non- F1 -367,344781
*
23,187751 ,000 -431,72430 -302,96526
30 nano
F2 -320,585281
*
23,187751 ,000 -384,96480 -256,20576
F3 -272,682781
*
23,187751 ,000 -337,06230 -208,30326
F1 Non- *
367,344781 23,187751 ,000 302,96526 431,72430
nano
F2 46,759500 23,187751 ,114 -17,62002 111,13902
F3 94,662000
*
23,187751 ,015 30,28248 159,04152
F2 Non- *
320,585281 23,187751 ,000 256,20576 384,96480
nano
F1 -46,759500 23,187751 ,114 -111,13902 17,62002
F3 47,902500 23,187751 ,108 -16,47702 112,28202
F3 Non- *
272,682781 23,187751 ,000 208,30326 337,06230
nano
F1 -94,662000
*
23,187751 ,015 -159,04152 -30,28248
F2 -47,902500 23,187751 ,108 -112,28202 16,47702
Menit_ Non- F1 -171,299195
*
10,358582 ,000 -200,05923 -142,53916
60 nano
F2 -186,951695
*
10,358582 ,000 -215,71173 -158,19166
F3 -162,404695
*
10,358582 ,000 -191,16473 -133,64466
F1 Non- *
171,299195 10,358582 ,000 142,53916 200,05923
nano
F2 -15,652500 10,358582 ,205 -44,41253 13,10753
F3 8,894500 10,358582 ,439 -19,86553 37,65453
F2 Non- *
186,951695 10,358582 ,000 158,19166 215,71173
nano
F1 15,652500 10,358582 ,205 -13,10753 44,41253
F3 24,547000 10,358582 ,077 -4,21303 53,30703
F3 Non- *
162,404695 10,358582 ,000 133,64466 191,16473
nano
F1 -8,894500 10,358582 ,439 -37,65453 19,86553
F2 -24,547000 10,358582 ,077 -53,30703 4,21303
Menit_ Non- F1 -104,857369
*
13,005463 ,001 -140,96632 -68,74842
90 nano
F2 -124,170869
*
13,005463 ,001 -160,27982 -88,06192
F3 -91,076369
*
13,005463 ,002 -127,18532 -54,96742
F1 Non- *
104,857369 13,005463 ,001 68,74842 140,96632
nano
F2 -19,313500 13,005463 ,212 -55,42245 16,79545
F3 13,781000 13,005463 ,349 -22,32795 49,88995
F2 Non- *
124,170869 13,005463 ,001 88,06192 160,27982
nano
F1 19,313500 13,005463 ,212 -16,79545 55,42245

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




71

F3 33,094500 13,005463 ,064 -3,01445 69,20345


F3 Non- *
91,076369 13,005463 ,002 54,96742 127,18532
nano
F1 -13,781000 13,005463 ,349 -49,88995 22,32795
F2 -33,094500 13,005463 ,064 -69,20345 3,01445
Menit_ Non- F1 -80,928608
*
8,589961 ,001 -104,77816 -57,07905
120 nano
F2 -92,817608
*
8,589961 ,000 -116,66716 -68,96805
F3 -84,357608
*
8,589961 ,001 -108,20716 -60,50805
F1 Non- *
80,928608 8,589961 ,001 57,07905 104,77816
nano
F2 -11,889000 8,589961 ,239 -35,73855 11,96055
F3 -3,429000 8,589961 ,710 -27,27855 20,42055
F2 Non- *
92,817608 8,589961 ,000 68,96805 116,66716
nano
F1 11,889000 8,589961 ,239 -11,96055 35,73855
F3 8,460000 8,589961 ,380 -15,38955 32,30955
F3 Non- *
84,357608 8,589961 ,001 60,50805 108,20716
nano
F1 3,429000 8,589961 ,710 -20,42055 27,27855
F2 -8,460000 8,589961 ,380 -32,30955 15,38955
Menit_ Non- F1 -51,774357
*
4,657757 ,000 -64,70636 -38,84235
180 nano
F2 -61,174357
*
4,657757 ,000 -74,10636 -48,24235
F3 -57,463857
*
4,657757 ,000 -70,39586 -44,53185
F1 Non- *
51,774357 4,657757 ,000 38,84235 64,70636
nano
F2 -9,400000 4,657757 ,114 -22,33201 3,53201
F3 -5,689500 4,657757 ,289 -18,62151 7,24251
F2 Non- *
61,174357 4,657757 ,000 48,24235 74,10636
nano
F1 9,400000 4,657757 ,114 -3,53201 22,33201
F3 3,710500 4,657757 ,470 -9,22151 16,64251
F3 Non- *
57,463857 4,657757 ,000 44,53185 70,39586
nano
F1 5,689500 4,657757 ,289 -7,24251 18,62151
F2 -3,710500 4,657757 ,470 -16,64251 9,22151
Menit_ Non- F1 -41,620191
*
7,886729 ,006 -63,51726 -19,72312
240 nano
F2 -54,073691
*
7,886729 ,002 -75,97076 -32,17662
F3 -50,166691
*
7,886729 ,003 -72,06376 -28,26962
F1 Non- *
41,620191 7,886729 ,006 19,72312 63,51726
nano
F2 -12,453500 7,886729 ,189 -34,35057 9,44357
F3 -8,546500 7,886729 ,339 -30,44357 13,35057
F2 Non- *
54,073691 7,886729 ,002 32,17662 75,97076
nano
F1 12,453500 7,886729 ,189 -9,44357 34,35057
F3 3,907000 7,886729 ,646 -17,99007 25,80407
F3 Non- *
50,166691 7,886729 ,003 28,26962 72,06376
nano

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




72

F1 8,546500 7,886729 ,339 -13,35057 30,44357


F2 -3,907000 7,886729 ,646 -25,80407 17,99007
Menit_ Non- F1 -34,865859
*
7,777086 ,011 -56,45851 -13,27321
300 nano
F2 -47,641359
*
7,777086 ,004 -69,23401 -26,04871
F3 -44,575859
*
7,777086 ,005 -66,16851 -22,98321
F1 Non- *
34,865859 7,777086 ,011 13,27321 56,45851
nano
F2 -12,775500 7,777086 ,176 -34,36815 8,81715
F3 -9,710000 7,777086 ,280 -31,30265 11,88265
F2 Non- *
47,641359 7,777086 ,004 26,04871 69,23401
nano
F1 12,775500 7,777086 ,176 -8,81715 34,36815
F3 3,065500 7,777086 ,714 -18,52715 24,65815
F3 Non- *
44,575859 7,777086 ,005 22,98321 66,16851
nano
F1 9,710000 7,777086 ,280 -11,88265 31,30265
F2 -3,065500 7,777086 ,714 -24,65815 18,52715
Menit_ Non- F1 -31,200347
*
5,943940 ,006 -47,70337 -14,69732
360 nano
F2 -39,254347
*
5,943940 ,003 -55,75737 -22,75132
F3 -40,007847
*
5,943940 ,003 -56,51087 -23,50482
F1 Non- *
31,200347 5,943940 ,006 14,69732 47,70337
nano
F2 -8,054000 5,943940 ,247 -24,55702 8,44902
F3 -8,807500 5,943940 ,213 -25,31052 7,69552
F2 Non- *
39,254347 5,943940 ,003 22,75132 55,75737
nano
F1 8,054000 5,943940 ,247 -8,44902 24,55702
F3 -,753500 5,943940 ,905 -17,25652 15,74952
F3 Non- *
40,007847 5,943940 ,003 23,50482 56,51087
nano
F1 8,807500 5,943940 ,213 -7,69552 25,31052
F2 ,753500 5,943940 ,905 -15,74952 17,25652
Menit_ Non- F1 -28,914962
*
3,582968 ,001 -38,86288 -18,96705
420 nano
F2 -31,981962
*
3,582968 ,001 -41,92988 -22,03405
F3 -32,389962
*
3,582968 ,001 -42,33788 -22,44205
F1 Non- *
28,914962 3,582968 ,001 18,96705 38,86288
nano
F2 -3,067000 3,582968 ,440 -13,01492 6,88092
F3 -3,475000 3,582968 ,387 -13,42292 6,47292
F2 Non- *
31,981962 3,582968 ,001 22,03405 41,92988
nano
F1 3,067000 3,582968 ,440 -6,88092 13,01492
F3 -,408000 3,582968 ,915 -10,35592 9,53992
F3 Non- *
32,389962 3,582968 ,001 22,44205 42,33788
nano
F1 3,475000 3,582968 ,387 -6,47292 13,42292
F2 ,408000 3,582968 ,915 -9,53992 10,35592

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




73

Menit_ Non- F1 -26,757227


*
3,419134 ,001 -36,25026 -17,26419
480 nano
F2 -33,654727
*
3,419134 ,001 -43,14776 -24,16169
F3 -30,475227
*
3,419134 ,001 -39,96826 -20,98219
F1 Non- *
26,757227 3,419134 ,001 17,26419 36,25026
nano
F2 -6,897500 3,419134 ,114 -16,39054 2,59554
F3 -3,718000 3,419134 ,338 -13,21104 5,77504
F2 Non- *
33,654727 3,419134 ,001 24,16169 43,14776
nano
F1 6,897500 3,419134 ,114 -2,59554 16,39054
F3 3,179500 3,419134 ,405 -6,31354 12,67254
F3 Non- *
30,475227 3,419134 ,001 20,98219 39,96826
nano
F1 3,718000 3,419134 ,338 -5,77504 13,21104
F2 -3,179500 3,419134 ,405 -12,67254 6,31354

Keterangan :Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi > 0,05 data tidak
berbeda secara bermakna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




74

Lampiran 18. Gambar Alat yang Digunakan

Sel Difusi Franz

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




75

Lampiran 19. Sertifikat Analisa Kitosan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




76

Lampiran 20. Sertifikat Analisa HPMC

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai