Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang

sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung

lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai

gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu

kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah : Bronchitis kronis, emfisema

paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595).

PPOK Merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi

pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang penting adalah

Bronkhitis Obstruktif, Emphysema dan Asthma Bronkiale. (Black. J. M. &

Matassarin,.E. J. 1993).

Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai

dengan gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang

disebabkan oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak

mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu (Darmojo,

1999).

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang

bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respon

inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Gold, 2009).

1
PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun) merupakan suatu

penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh

emfisema atau bronkitis kronis dan asma yang mengakibatkan obstruksi jalan

napas yang bersifat ireversibel dengan penyebab yang tidak diketahui dengan

pasti.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)?

2. Apa etiologi yang mendasari terjadinya penyakit obstruktif kronik?

3. Bagaimana mekanisme terjadinya penyakit paru obstruktif kronik?

4. Bagaimana manifestasi klinis yang dihasilkan?

5. Bagaimana komplikasi dari penyakit paru obstruktif kronik?

6. Bagaimana WOC dari penyakit paru obstruktif kronik?

7. Bagaimana penatalaksanaan medis pada penyakit paru obstruktif kronik?

8. Bagaimana penerapan asuhan keperawatan pada penyakit obstruktif

kronik?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Askep ini disusun sebagai salah satu tugas yang diberikan untuk

memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah. Diharapkan

setelah membaca makalah ini mahasiswa dapat mengetahui lebih dalam

tentang asuhan keperawatan pada klien dengan PPOK.

2
1.3.2 Tujuan khusus

1. Menjelaskan anatomi dari paru-paru

2. Menjelaskan definisi dari penyakit paru obstruktif kronik

3. Menyebutkan etiologi yang mendasari terjadinya penyakit paru

obstruktif kronik

4. Menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit paru obstruktif kronik

5. Menguraikan manifestasi klinis yang dihasilkan

6. Menyebutkan komplikasi dari penyakit paru obstruktif kronik

7. Memaparkan WOC dari penyakit paru obstruktif kronik

8. Menjelaskan penatalaksanaan medis pada penyakit paru obstruktif

kronik

9. Menjelaskan penerapan asuhan keperawatan pada penyakit paru

obstruktif kronik

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah bukti

empiris mengenai hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup

penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

1.4.2 Manfaat praktis

Memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya

efikasi diri untuk meningkatkan perawatan diri secara mandiri dalam

meningkatkan kualitas hidup penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fiosiologi

Paru-paru Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari

gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung

alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas

permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran

udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya

gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan

kanan).

4
1. Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :

a. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo

dekstra superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus

tersusun oleh lobulus.

b. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus

inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil

bernama segment.

Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah

segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior.

Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu;5 (lima) buah segmen

pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3

(tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih

terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Diantara

5
lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi

pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-

tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus

ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus

alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang

diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.

2. Letak paru-paru

Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga

dada/kavum mediastinum. Pada ba-gian tengah iiu tcrdapal lampuk

paiu-paru alau hilus Pada mediastinum depan terletak jantung.

Paru- paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi

menjadi 2 (dua):

a. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang

langsung membungkus paru-paru.

b. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar.

Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut

kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa

udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat

sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya

(pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada

dimana sewaktu bernapas bergerak.

3. Pembuluh darah pada paru

6
Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal

dinding dan tebal ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan

kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan

dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain

aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke

paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah

"kaya oksigen" (oxyge-nated) dibandingkan dengan darah pulmonal

yang relatif kekurangan oksigen.

Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri

pulmonalis membawa darah yang sedikit mengandung O2 dari ventrikel

kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran

bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk

jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli

(gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding

kapiler.

Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi

vena pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar

melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung

02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh

vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka

dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.

7
Kapasitas paru-paru. Merupakan kesanggupan paru-paru dalam

menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan

sebagai berikut :

1. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru- paru

pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita

dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru- paru, umur, sikap

dan bentuk seseorang.

2. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah

ekspirasi maksima.l Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru

dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter.

3. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara.

Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-

paru 2.600 cm3 (2 1 /2liter).

4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16

- 18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30

x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah,

misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah

cepat dan sebaliknya.

Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk

menghembuskan napas dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar biasa,

akibat dari salah satu rangsangan baik yang berasal dari luar bahan-

bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan.

8
Bersin. Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput

lendir hidung, dalam hal ini udara keluar dari hidung dan mulut.

2.2 Etiologi

Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari jumlah

partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya. Partikel gas

ini termasuk :

1. Asap Rokok
a. Perokok aktif.
b. Perokok pasif.
2. Polusi Udara
a. Polusi diruangan, asap rokok dan asap kompor.
b. Polusi diluar ruangan, gas buang kendaraan bermotor dan debu

jalanan.
3. Polusi ditempat Kerja (bahan Kimia, zat iritan dan gas beracun)
Infeksi saluran nafas bawah berulang

2.3 Klasifikasi

Menurut Marilynn E. Doenges, 2000 PPOK diklasifikasikan menjadi

tiga, yaitu :

a. Asma

Asma dikarakteristikan oleh konstruksi yang dapat pulih dari otot

halus bronchial, hipersekresi mukosa, dan inflamasi mukosa serta

edema. Faktor pencetus termasuk allergen, masalah emosi, cuaca

dingin, latihan, obat, kimia dan infeksi.

b. Bronkitis kronik

Bronchitis kronik merupakan infrlamasi luas jalan nafas dengan

penyempitan atau hambatan jalan nafas dan peningkatan produksi

9
sputum mukoid, menyebabkan ketidak cocokan ventilasi-perfusi dan

menyebabkan sianosis.

c. Emfisema

Emfisema merupakan bentuk paling berat dari PPOM

dikarakteristikan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya

merusak dinding alveolar menyebabkan banyak bleb atau bula (ruang

udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).

Bronchitis kroniuk dan emfisema ada bersamaan pada beberapa pasien

dan adalah dua penyakit yang paling umum terlihat pada pasien PPOM

yang dirawat. Kedua penyakit dikarakteristikan oleh keterbatasan aliran

udara kronis. Bronchitis kronis dan enfisema biasanya tidak dapat

kembali sempurna, meskipun beberapa efek dapat diobati.


2.4 Manifestasi Klinis

Menurut Brunner & Suddarth, 2005 manifestasi klinis dari PPOK atau

PPOM adalah sebagai berikut :

a. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.


b. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat

banyak.
c. Dispnea.
d. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
e. Anoreksia.
f. Penurunan berat badan dan kelemahan.
g. Takikardia, berkeringat.
h. Hipoksia, sesak dalam dada.
Gejala-gejala awal dari PPOM, yang bisa muncul setelah 5-10 tahun

merokok, adalah batuk dan adanya lendir. Batuk biasanya ringan dan sering

disalah-artikan sebagai batuk normal perokok, walaupun sebetulnya tidak

10
normal. Sering terjadi nyeri kepala dan pilek. Selama pilek, dahak menjadi

kuning atau hijau karena adanya nanah. Lama-lama gejala tersebut akan

semakin sering dirasakan. Bisa juga disertai mengi/bengek. Pada umur sekitar

60 tahun, sering timbul sesak nafas waktu bekerja dan bertambah parah

secara perlahan. Akhirnya sesak nafas akan dirasakan pada saat melakukan

kegiatan rutin sehari-hari, seperti di kamar mandi, mencuci baju, berpakaian

dan menyiapkan makanan. Sepertiga penderita mengalami penurunan berat

badan, karena setelah selesai makan mereka sering mengalami sesak yang

berat sehingga penderita menjadi malas makan. Pembengkakan pada kaki

sering terjadi karena adanya gagal jantung. Pada stadium akhir dari penyakit,

sesak nafas yang berat timbul bahkan pada saat istirahat, yang merupakan

petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut.

2.5 Pemeriksaan diagnostik

1. Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma,

peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla

(emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal

ditemukan saat periode remisi (asthma).

2. Pemeriksaan Fungsi Paru :dilakukan untuk menentukan penyebab dari

dispnea menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi

atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi

efek dari terapi, misal : bronchodilator.

3. TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma,

menurun pada emfisema.

11
4. FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan

kapasitas vital. (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.

5. GDA : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PaO2 menurun dan

PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi

seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis

respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau

asthma).

6. Bronchogram: dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi,

kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar

mukus (bronchitis).

7. Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan

eosinofil (asthma).

8. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi

patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau

allergi.

9. ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial

disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi

(bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema).

10. Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat disfungsi

pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,

merencanakan/evaluasi program.

2.6 WOC

12
2.7 Komplikasi

1. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55

mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan

mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada

tahap lanjut timbul cyanosis.

2. Asidosis Respiratory

13
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO (hiperkapnia). Tanda yang

muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.

3. Infeksi Respiratory

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi

mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.

Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya

dyspnea.

4. Gagal Jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),

harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi

ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan

emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.

5. Cardiac Disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau

asidosis respiratory.

6. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma

bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan

seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan.

Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali

terlihat.

2.8 Penatalaksanaan

14
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada

fase akut, tetapi juga fase kronik.

2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas

harian.

3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat

dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan

merokok, menghindari polusi udara.

2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara

3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi

antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat

sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas

atau pengobatan empirik

4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan

kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih

kontroversial.

5. Pengobatan simtomatik.

6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.

7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan

dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

15
1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret

bronkus.

2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan

pernapasan yang paling efektif.

3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk

memulihkan kesegaran jasmani.

4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita

dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)

1. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :

a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeks. Infeksi

ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka

digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari

Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika

kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis

yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti

kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang

mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan

dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya

dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi

sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik

yang kuat.

16
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena

hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2

c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan

baik.

d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di

dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien

dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250

mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56

IV secara perlahan.

2. Terapi jangka panjang di lakukan :

a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin

4×0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.

b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran

napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan

pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.

c. Fisioterapi

2.9 Patofisiologi

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu

pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran

karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga

tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan

keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas

antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi

17
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan

restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa

perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai

untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan

untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik

pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap

kapasitas vital paksa (VEP1/KVP).


Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen

asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.

Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau

disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil

mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan

menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit

dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian

mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul

peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama

ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang

memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya

peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya

peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara

progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya

elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.

Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi

18
akibat pengempisan (recoil ) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan

demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di

dalam paru dan saluran udara kolaps.


Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa

eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK

predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag

untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak

diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selama

eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya

ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan

adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi

mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada

arteriol.

2.10Teori Asuhan Keperawatan PPOK

A. Pengkajian

1. Aktifitas dan istirahat

Gejalah : 1. keletihan, kelemahan, malaise

2. Ketidak mampuan untuk melakukan aktifitas sehari-hari

,karena sulit bernapas.

3. Ketidak mampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi

duduk tinggi.

4. Dispnea pada saat istrahat atau respons terhadap aktifitas

atau latihan.

19
Tanda :

 keletihan

 Gelisah, insomnia.

 Kelemehan umum atau kehilangan massa otot.

2. Sirkulasi

Gejalah : pembengkakan pada ekstremitas bawah.

Tanda :

 peningkatan TD

 Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat, disritmia.

 Destensi vena leher (penyakit berat).

 Edema depanden, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.

 Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan

diameter AP dada).

 Warna kulit atau membran mukosa normal atau abu-abu atau sianosi,

kuku tabuh dan sianosis perifer.

 Pucat dapat menunjukkan anemia.

3. Integritas ego

Gejalah : 1. peningkatan factor resiko.

2. Perubahan pola hidup.

Tanda : ansietas, ketakutan, peka rangsang

4. Makanan atau cairan

Gejalah :

1. mual/ muntah

20
2. Nafsu makan buruk/anoreksi (enfisema)

3. Ketidak mampuan untuk makan karena distress pernafasan.

4. Penurunan berat badan menetap (enfisema), peningkatan berat

badan menunjukkan edema (bronchitis).

Tanda :

1. turgor kulit buruk

2. Edema dependen

3. Berkeringat

4. Penurunan Berat badan, penurunan massa otot/lemak

subkutan(emfisema).

5. Palpitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis)

5. Higiene

Gejalah : penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan

melakukan aktifitas sehari-hari. Tanda : kebersihan buruk,

bau badan

6. Pernafasan

Gejalah :

1. napas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala

menonjol pada enfisema) khususnya pada kerja, cuaca atau episode

berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidak mampuan

untuk bernapas (asma).

2. batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada

saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun

21
sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih atau kuning) dapat

banyak sekali (bronchitis kronik).

3. Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap

dini meskipun dapat menjadi produktif (enfisema).

4. Riwayat peneumonia berulang, terpajan padsa polusi kimia/iritan

pernapasan dalam jangaka panjang (mis. Rokok) atau debu/asap

(mis. Asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji).

5. Factor keluarga dan keturunan, mis. Defisiensi alfa-antitripsin

(enfisema).

6. Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.

Tanda :

1. pernapasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang

dengan mendengkur, napas bibir (enfisema).

2. Lebih memilih posisi tiga titik (“tripot”) untuk bernapas (khususnya

dengan eksaserbasi akut bronchitis kronik).

3. Penggunaan otot bantu pernapasan. Mis. Meninggikan bahu, retraksi

fosa suprakklafikula, melebarkan hidung.

4. Dada : dapat terlihat hiperinflamasi dengan peninggian diameter AP

(bentuk barrel), gerakan diafragma minimal.

5. Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi(enfisema),

menyebar, lembut atau krekels lembab kasar (bronchitis), ronki,

mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama

22
inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas

(asma).

6. Perkusi : hiperesonan pada area paru (mis. Jebakan udara dengan

emfisema), bunyi pekak pada area paru (mis. Konsolidasi, cairan,

mukosa).

7. Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.

8. Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku, abu-abu

keseluruhan, warna merah (bronchitis kronik), “biru

menggembung”). Pasien dengan emfisema sedang sering disebut

“pink puffer” karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas

tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.

9. Tabuh pada jari-jari (emfisema).

C. Diagnosa keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme,

peningkatan produksi secret dan penurunan energy/kelemahan.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai

oksigen atau kerusakan alveoli.

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan behubungan dengan dispnea, kelemahan,

efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, dan mual muntah.

4. Resiko tinggi terhadap infesi berhubungan dengan tidak adekuatnya

pertahanan utama,tidak adekuatnya imunitas, proses penyakit kronis

dan malnutrisi.

23
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dank tindakan yang akan

dilakukan berhubungan dengan kurangnya informasi.

A. Intervensi

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme,

peningkatan produksi secret dan penurunan energy/kelemahan.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai

oksigen atau kerusakan alveoli.

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan behubungan dengan dispnea, kelemahan,

efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, dan mual muntah

4. Resiko tinggi terhadap infesi berhubungan dengan tidak adekuatnya

pertahanan utama,tidak adekuatnya imunitas, proses penyakit kronis

dan malnutrisi.

5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dank tindakan yang akan

dilakukan berhubungan dengan kurangnya informasi

B. Evaluasi

Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf

keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan

untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan.

Evaluasi yang diharapkan pada pasien PPOK/PPOM adalah:

1. Menunjukkan jalan napas paten dengan bunyi nafas bersih tidak ada

dispnea dan sianosis.

2. Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi.

3. Mempertahankan atau meningkatkan berat badan.

24
4. Tidak adanya infeksi

5. Klien paham mengenai penyakitnya dan tindakan yang dilakukan.

25
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas Pasien.

a. Nama : Ny. W

b. Umur : 37 tahun.

c. Jenis kelamin : Perempuan.

d. Pendidikan : SD.

e. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

f. Agama : Islam

g. Suku / bangsa : Banjar / Indonesia

h. Alamat : Jln. Flamboyan kota baru

i. Ruangan dirawat : Jamrud kamar C2

j. Tanggal masuk RS : 3 Juli 2017

k. No. register : 3513xx

l. Diagnose medis : TB Paru dan PPOK

m. Dokter yang merawat: dr. P

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengatakan sering sesak dan

mudah lelah namun masih bisa beraktivitas, terkadang merasa bergetar,

pada tanggal 3 Juli2017 dibawa ke IGD oleh keluarga dan disarankan

masuk rumah sakit ruang paru.

Sampai dengan tanggal 10 Juli 2017 Pasien masuk rumah sakit dan

kumat-kumatan semakin sesak saat berbaring maupun beraktivitas, sesak

26
semakin parah dan tidak ada kurang-kurangnya, batuk berdahak tetapi

dahak tidak dapat dikeluarkan, hasil rontgen menunjukan pada

tenggorokan pasien terdapat seperti cairan, nafsu makan menurun makan

hanya 4-5 sendok, badan lemah. Pada tangga l8 juli keadaan pasien

membaik, sesak berkurang namun badan masih bergetar, cek sputum hasil

negative dan pada tanggal 11 dokter menyarankan untuk boleh pulang

namun pada tanggal 12 juli 2017 pasien mengeluh badan masih bergetar

dan sesak lagi, sehingga pasien masih dirawat inap, pasien juga ada BAB

4x dari pagi tadi cair, pada ekstremitas bawah terdapat pitting edema > 3

detik dan pasien mengatakan perutnya juga terasa membesar.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah sakit baru dalam 1

bulan terakhir ini hanya terasa terkadang sesak namun masih bisa

beraktivitas, tidak ada riwayat sakit jantung.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
pasien tampak sakit sedang, kesedaran composmentis, GCS E4 V5,

M6. TTV : T : 36,50C, P : 68 x/menit, R : 28 x/menit,BP : 110/80

mmHg, spO2 : 97 %, infus RL 10 tetes per menit terpasang di vena

radialis dextra dan O2 terpasang 8 liter per menit per menggunakan

NRM.

5. Pemeriksaan Diagnostik

27
3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan Penyakit paru

obstruksi kronik

2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan

pasien sering bertanya “kenapa sesaknya tidak hilang-hilang”

3.3 Intervensi Keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental,

kelemahan upaya batuk buruk

Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif

Kriteria hasil : pasien dapat mempertahankan jalan nafas dan

mengeluarkan secret tanpa bantuan

Intervensi keperawatan : Kaji fungsi pernafasan contoh : bunyi nafas,

kecepatan, irama, dan kelemahan dan penggunaan otot bantu.

Rasional : Peningkatan bunyi nafas dapat menunjukkan atelektasis, ronchi,

menunjukkan akumulasi sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan

jalan nafas yang dapat menimbulkan penggunaan otot akseseri pernafasan

dan peningkatan kerja pernafasan.

2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa batuk efektif, catat

karakter, jumlah sputum, adanya hemoptysis

Rasional : Pengeluaran sulit bila secret sangat tebal sputum berdarah

kental/darahcerah (missal efek infeksi, atau tidak kuatnya hidrasi).

28
3. Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi

Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan

menurunkan upaya pernafasan.

4. Bersihkan secret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan

Rasional : Mencegah obstruksi respirasi, penghisapan dapat diperlukan

bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.

5. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 m/ hari kecuali kontra

indikasi
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret,

membant uuntuk mudah dikeluarkan.


6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan

kekurangan upaya batuan

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali aktif

Kriteria Hasil : dispnea berkurang, frekuensi, irama dan kedalaman dan

pernafasan normal

Intervensi : Kaji kualitas dan kedalaman pernafasan penggunaan otot

aksesoris, catat setiap perubahan

Rasional : Kecepatan biasanya meningkat, dispnea

terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman pernafasan dan bervariasi

tergantung derajat gagal nafas.

7. Kaji kualitas sputum, warna, bau dan konsistensi

29
Rasional : Adanya sputum yang tebal, kental, berdarah dan purulent

diduga terjadi sebagai masalah sekunder.

8. Baringkan klien untuk mengoptimalkan pernafasan (semi fowler)

Rasional : Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal upaya

batuk untuk memobilisasi dan membuang sekret.

9. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek

paru, kerusakan membran alveolar, kapiler, secret kental dan tebal

Tujuan : tidak ada tanda-tanda dyspnea

Kriteria Hasil : melaporkan tidak adanya penurunan dispnea, menunjukkan

perbaikan ventilasi dan O2 jaringan adekuat dengan AGP dalam rentang

normal, bebes dari gejala, distress pernafasan.

Intervensi : Kaji dispnea, takipnea, tidak normal atau menurunnya bunyi

nafas,peningkatan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada

dan kelemahan.

Rasional : TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil

bronkopneumonia sampai inflamasi difusluas nekrosis effure pleural untuk

fibrosis luas.

10. Evaluasi tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan pada warna

kulit, termasuk membrane mukosa dan kuku

30
Rasional : Akumulasi sekret/pengaruh jalan nafas dapat mengganggu O2

organ vital dan jaringan.

11. Tunjukkan/dorong bernafas dengan bibir selama endikasi, khususnya

untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim


Rasional : Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps

atau penyempitan jalan nafas, sehingga membantu menyebarkan udara

melalui paru dan menghilangkan atau menurunkan nafas pendek.


12. Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu aktivitas pasien sesuai

keperluan
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen/kebutuhan selama periode

penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.


13. Kolaborasi medis dengan pemeriksaan ACP dan pemberian oksigen

Rasional :Mencegah pengeringan membrane mukosa, membantu

pengenceran sekret.

14. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan


Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
Kriteriahasil : Suhu tubuh dalam rentang normal (36,50C - 370C)
15. Pantau suhu tubuh
Rasional : Sebagai indicator untuk mengetahui status hipertermi
16. Anjurkan untuk mempertahanan masukan cairan adekuat untuk

mencegah dehidrasi
Rasional : Dalam kondisi demamter jadi peningkatan evaporasi yang

memicu timbulnya dehidrasi


17. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur

Rasional : Menghambat pusat simpatis dan hipotalamus sehingga terjadi

vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk

mengurangi panas tubuh melalui penguapan

31
18. Anjurkan pasin untuk memakai pakaian yang menyerap keringat

Rasional :Kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya

pertumbuhan jamur. Juga akan mengurangi kenyamanan pasien

19. Kolaborasi pemberian antipiretik


Rasional : Mengurangi panas dengan farmakologis

32
3.4 Analisis Data

Data Etiologi Problem


DS: pasien mengatakan Penyakit Paru Ketidak efektifan
bersihan jalan napas
“Sesak Napas ditambah Obstruksi Kronik
ketika beraktivitas, badan
bergetar, dahak terasa Rokok dan polusi
lengket pada tenggorokan,
kadang” Terjadinya inflamasi
DO:
 Pasien tampak Sputum meningkat
sesak dan, sputum
kental Batuk
dan berwarna
kekuningan. Ketidak efektifan
 Pernafasan cuping bersihan jalan napas
hidung
 Ekspansi dinding
dada simetris
 Bantuan otot bantu
nafas(+) retraksi
intercostal
 Batuk (+)
 Fremitus vocal :
paru sini
stragetaran teraba
lebih jauh
 T: 360C
 P: 111x/Menit
 R :22x/Menit
 BP: 90/80 mmHg

33
 SPO2 : 90 %
(Nasal Kanul 4
Liter
DS: Pasien mengatakan Ekspansi paru Ansietas
sesak masih terus menerus, Menurun
badan terasa lemas,
keringat dingin dan pasien
selalu menanyakan kenapa Suplai oksigen Tidak
sesaknya tidak hilang- adekuat keseluruh
hilang. Tubuh
DO :
 Pasien tampak
sesak nafas Hipoksia
 Pasien tampak
cemas
 Pasien tampak Sesak
gelisah
 Pasien
berkeringat dingin Cemas

 Orthopnea (+)
 Bibir pucat

BAB IV

34
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang

bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons

inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Gold, 2009).

PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk

sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh

peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi

utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal

dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asma

bronchiale. Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari

jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya.

Partikel gas ini termasuk : Asap Rokok, Perokok aktif, Perokok pasif,

Polusi Udara, Polusi diruangan, asap rokok dan asap kompor. Polusi diluar

ruangan, gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan. Polusiditempat

Kerja (bahan Kimia, zat iritan dan gas beracun) dan Infeksi saluran nafas

bawah berulang.

4.2 Saran

Adapun saran dari kami yaitu, untuk lebih memahami dan

memperdalam pengetahuan mengenai konsep medis dan konsep proses

keperawatan dari PPOK, pembaca bisa membuka referensi yang lebih

lengkap.

35
36
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer SC dan Bare BG. Buku ajaran medical-bedah Brunner & Suddarth Edisi

8 Volume 1 . Jakarta: EGC, 2001.

Price SA & Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinik proses-proses penyakit.

Jakarta: EGC, 2005

Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid 1 . Jakarta: Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.

Alsagaff H & Mukty HM. Dasar-dasar paru. Surabaya: Airlangga University

Press, 2006

37

Anda mungkin juga menyukai