Disusun Oleh:
dr. Lyon Clement
Pebimbing:
dr. Mukti Fahimi, Sp. PD
Portofolio ini telah disetujui untuk memperlengkap Program Internsip Dokter Indonesia.
Segala puji dan syukur saya ucapakan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah portofolio yang berjudul
“Acute on Chronic Kidney Disease”. Makalah portofolio ini diajukan dalam rangka memenuhi
salah satu persyaratan untuk menempuh tercapainya Program Internsip Dokter Indonesia. Penulis
menyadari bahwa banyak pihak yang telah berpartisipasi dan membantu dalam penulisan makalah
portofolio ini.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama:
1. dr. Wiweka, MARS, selaku Kepala Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo.
2. dr. Eko Budi Prasetyo Sp. An, KIC, selaku Wakamed Rumah Sakit Angkatan Laut dr.
Mintohardjo.
3. dr. Pribadi Arief, Sp. B-KBD, selaku Wakabin Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo.
4. dr. Irma Ferial, selaku dokter pendamping wahana Rumah Sakit Angkatan Laut dr.
Mintohardjo.
5. Seluruh teman-teman medis dan paramedis Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Angkatan Laut
dr. Mintohardjo yang telah memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan makalah
portofolio ini.
6. Kepada seluruh sahabat-sahabat internsip saya yang memberikan semangat dan inspirasi
dalam pembuatan makalah portofolio ini.
Kritik dan saran penulis harapkan guna memperoleh hasil yang lebih baik dalam
menyempurnakan makalah portofolio. Semoga makalah portofolio ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Penulis
KASUS PORTOFOLIO
Obyektif Presentasi:
Tujuan: Mengetahui diagnosis dan tatalaksana Acute Kidney Injury dan Chronic Kidney Disease
Bahan Bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
1. Gambaran Klinis
Wanita, 54 tahun, dengan sesak yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
2. Riwayat Pengobatan
Pasien dirujuk dari Rumkital Marinir Cilandak pada 8 Maret 2019 untuk hemodialisis dengan
diagnosis Acute on CKD, Anemia, Bacterial infection, DM tipe II, Hipertrigliseridemia, dan
Hiperurisemia dengan keluhan sesak yang memberat dan lemas sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien telah menjalani perawatan selama 3 hari dan telah mendapatkan pengobatan
berupa IVFD NaCl 0,9% 15 tpm, Ceftriaxone 1 x 2 g IV, Omeprazole 1 x 40 mg IV,
Paracetamol 3 x 500 mg, Asam folat 3 x 1 tab, Prorenal 3 x 2 tab po, Probenecid 1 x 500 mg,
Gliquidone 3 x 30 mg po.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
Riwayat diabetes melitus (+) sejak 13 tahun terakhir, pasien mendapatkan pengobatan
Gliquidone 3 x 30 mg po. Pasien mengaku kontrol rutin ke puskesmas setiap minggu.
Riwayat asam urat dan kolesterol (+), pasien mendapatkan obat dan dari puskesmas namun
tidak mengingat nama obat tersebut.
4. Riwayat Keluarga
• Kakak perempuan pasien menderita CKD, DM, hiperkolesterolemia, dan meninggal dalam
perawatan di RS sesaat sebelum hemodialisis.
5. Lain-lain: -
Daftar Pustaka
1. Waikar SS, Bonventre JV. Acute kidney injury. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed. New York:
McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2099-111.
2. KDIGO. KDIGO clinical practice guideline for acute kidney injury. Kidney international
supplements. 2012; 2: 1-138.
3. Patschan D, Müller GA. Acute Kidney Injury in Diabetes Mellitus. Int J Nephrol. 2016; 2016:
6232909.
4. Gross JL, Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T. Diabetic
nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment. Diabetes care. 2005; 28: 164-76.
5. Yokota LG, Sampaio BM, Rocha EP, Balbi AL, Sousa Prado IR, Ponce D. Acute kidney injury in
elderly patients: narrative review on incidence, risk factors, and mortality. Int J Nephrol Renovasc
Dis. 2018; 11: 217-224.
6. Han SS, Baek SH, Ahn SY, Chin HJ, Na KY, Chae DW, et al. Anemia is a risk factor for acute
kidney injury and long-term mortality in critically ill patients. Tohoku J Exp Med. 2015; 237: 287-
95.
7. Basu RK, Wheeler D. Effects of ischemic acute kidney injury on lung water balance: nephrogenic
pulmonary edema?. Pulmonary Med. 2011; 2011: 414253.
8. Hoste EA, Clermont G, Kersten A, et al. RIFLE criteria for acute kidney injury are associated with
hospital mortality in critically ill patients: a cohort analysis. Crit Care. 2006; 10: R73.
9. Botev R, Mallié JP, Couchoud C, et al. Estimating glomerular filtration rate: Cockcroft-Gault and
Modification of Diet in Renal Disease formulas compared to renal inulin clearance. Clin J Am Soc
Nephrol. 2009; 4: 899-906.
10. Dialysis indications [Internet]. [cited 2019 Mar 23]; Available from:
https://step2.medbullets.com/renal/120688/dialysis-indications
11. Bargman JM, Skorecki KL. Chronic kidney disease. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed. New
York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2111-21.
12. Kazancioğlu R. Risk factors for chronic kidney disease: an update. Kidney Int Suppl. 2013; 3: 368-
71.
13. Vanholder R, Fouque D, Glorieux G, Heine GH, Kanbay M, Mallamaci F, et al. Clinical
management of the uraemic syndrome in chronic kidney disease. Lancet Diabetes Endocrinol.
2016; 2016: 1-14.
14. Tannock L. Dyslipidemia in Chronic Kidney Disease. [Updated 2018 Jan 22]. In: Feingold KR,
Anawalt B, Boyce A, et al., editors. Endotext [Internet]. South Dartmouth (MA): MDText.com,
Inc.; 2000-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK305899/
15. Vargas-Santos AB, Neogi T. Management of Gout and Hyperuricemia in CKD. Am J Kidney Dis.
2017; 70: 422-39.
16. KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease. Kidney international supplements. 2013; 3: 1-163.
17. KDIGO. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney
international supplements. 2012; 2: 1-64.
18. KDIGO. KDIGO 2017 clinical practice guideline update for the diagnosis, evaluation, prevention,
and treatment of chronic kidney disease-minearal and bone disorder (CKD-MBD). 2017; 7: 1-60.
19. Cianciolo G, De PA, Di LL, Ronco C, Zannini C, La MG. Folic acid and homocysteine in chronic
kidney disease and cardiovascular disease progression: which comes first? Cardiorenal Med. 2017;
7: 255-66.
20. Liu KD, Chertow GM. Dialysis in the treatment of renal failure. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser
SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed.
New York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2121-5.
Hasil Pembelajaran
1. Subjektif:
Pasien dirujuk dari Rumkital Marinir Cilandak pada 9 Maret 2019 untuk hemodialisis dengan
diagnosis Acute on CKD, Anemia, Bacterial infection, DM tipe II, Hipertrigliseridemia, dan
Hiperurisemia dengan keluhan sesak yang memberat disertai demam dan lemas sejak 3 hari
SMRS. Pasien telah menjalani perawatan selama 3 hari dan telah mendapatkan pengobatan
berupa IVFD NaCl 0,9% 15 tpm, Ceftriaxone 1 x 2 g IV, Omeprazole 1 x 40 mg IV, Paracetamol
3 x 500 mg, Asam folat 3 x 1 tab, Prorenal 3 x 2 tab po, Probenecid 1 x 500 mg, Gliquidone 3 x
30 mg po.
Saat masuk RSAL Mintohardjo, pasien mengatakan bahwa sesak dirasakan tidak membaik
selama perawatan sebelumnya. Sesak dirasakan terus-menerus, dirasakan lebih berat saat
berbaring terlentang, membaik bila dalam posisi duduk. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk
kering sejak 1 hari SMRS. Pasien mengatakan dalam perawatan di RS sebelumnya pasien sudah
tidak mengalami demam. Pasien juga mengeluhkan mual, namun menyangkal adanya muntah.
Pasien juga mengeluhkan pada 4 hari SMRS, pasien sempat tidak BAK sama sekali dalam 24
jam, namun selama perawatan di RS sebelumnya pasien dapat BAK. Sebelumnya, pasien
merasakan frekuensi dan jumlah BAK berkurang sejak 1-2 bulan SMRS dan warna urin menjadi
lebih pekat. Pasien juga mengeluhkan lemas, nafsu makan menurun, disertai penurunan berat
badan sejak 1-2 bulan SMRS. Pasien menyangkal keluhan bengkak pada lengan, tungkai, atau
wajah. Pasien menyangkal keluhan nyeri dada. Pasien juga menyangkal adanya gangguan BAB.
Riwayat diabetes melitus (+) sejak 13 tahun terakhir, pasien mendapatkan pengobatan
Gliquidone 3 x 30 mg po. Pasien mengaku kontrol rutin ke puskesmas setiap minggu.
Riwayat asam urat dan kolesterol (+), pasien mendapatkan obat dan dari puskesmas
namun tidak mengingat nama obat tersebut.
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat penyakit ginjal sebelumnya (-)
Riwayat penyakit jantung sebelumnya (-)
Riwayat penyakit keluarga
Tanda vital
Tekanan darah : 105/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit, regular, teraba kuat
Suhu : 36,4 oC
Respirasi : 22 x/menit
Status generalis
Kepala : normosefali, rambut hitam distribusi merata
Wajah : simetris, edema (-)
Mata : edema palpebra -/-, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Telinga : nyeri tarik aurikula -/-, nyeri tekan tragus -/-, sekret -/-
Hidung : deformitas (-), sekret -/-
Mulut : mukosa bibir basah, faring tidak hiperemis, Tonsil: T1/T1
Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar, JVP 5+2 cm
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea axillaris anterior sinistra, thrill (-)
Perkusi : batas atas jantung di ICS III linea parasternalis sinistra
batas kiri jantung di ICS V linea axilaris anterior sinistra
batas kanan jantung di ICS IV linea sternalis dextra
Auskultasi : SI/SII regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : gerak napas tampak simetris, retraksi otot pernapasan -
Palpasi : gerak napas teraba simetris
Perkusi : Sonor pada lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, ronki basah halus di basal paru +/+, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : tampak datar
Auskultasi : bising usus 6 kali /menit
Perkusi : timpani
Palpasi : teraba supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), shifting dullness (-), hepar dan lien
tidak teraba.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
6/3/2019
Hematologi
-Darah Rutin
Variable Hasil Nilai Normal
Hemoglobin (g/dL) 8.5 14-16
Hematokrit (%) 25 42.0-48.0
Jumlah Leukosit (/uL) 12.000 5.000-10.000
Jumlah Trombosit (/uL) 246.000 150.000-450.000
-Kimia Klinik
Variable Hasil Nilai Normal
Glukosa Darah 182 <200
Sewaktu (mg/dl)
Trigliserida 392 <175
Kolesterol Total 174 <200
HDL 15 45-65
LDL 81 <100
Asam Urat 13,05 2-7
-Fungsi Ginjal
Variable Hasil Nilai Normal
Ureum (mg/dl) 191 17-43
Kreatinin (mg/dl) 6,98 0.6-1.1
8/3/2019
Hematologi
-Darah Lengkap
Variable Hasil Nilai Normal
Hemoglobin (g/dL) 7.8 14-16
Hematokrit (%) 23 42.0-48.0
Jumlah Leukosit (/uL) 14.500 5.000-10.000
Jumlah Trombosit (/uL) 228.000 150.000-450.000
Kimia Klinik
Variable Hasil Nilai Normal
Glukosa Darah 208 <200
Sewaktu (mg/dl)
Fungsi Ginjal
Variable Hasil Nilai Normal
Ureum (mg/dl) 179 17-43
Kreatinin (mg/dl) 6,41 0.6-1.1
-Elektrolit
Variable Hasil Nilai Normal
Natrium (mmol/L) 126 134-146
Kalium (mmol/L) 4.9 3.4-4.5
Klorida (mmol/L) 100 96-108
Hasil EKG (10/3/2019): sinus rhythm, HR: 75x/menit, dalam batas normal
Hasil Radiologi (11/3/2019)
Deskripsi Radiologis
Kesan: jantung normal, bronkopneumonia kanan
3. Assessment :
Resume:
Pasien dirujuk dari Rumkital Marinir Cilandak pada 9 Maret 2019 untuk hemodialisis dengan
diagnosis Acute on CKD, Anemia, Bacterial infection, DM tipe II, Hipertrigliseridemia, dan
Hiperurisemia. Saat masuk RSAL Mintohardjo, pasien mengatakan bahwa sesak dirasakan tidak
membaik selama perawatan sebelumnya. Sesak dirasakan terus-menerus, dirasakan lebih berat
saat berbaring terlentang, membaik bila dalam posisi duduk. Batuk kering (+) sejak 1 hari SMRS.
Demam (-). Mual (+), muntah (-). Pada 4 hari SMRS, BAK (+) dalam 24 jam, namun selama
perawatan di RS sebelumnya pasien sudah BAK. Frekuensi dan jumlah BAK menurun sejak 1-2
bulan SMRS. Lemas, penurunan nafsu makan, dan berat badan sejak 1-2 bulan SMRS. Bengkak,
nyeri dada, gangguan BAB (-).
Riwayat DM (+) selama 13 tahun, rutin kontrol dan minum obat gliquidone 3 x 30 mg. Riwayat
asam urat dan kolesterol (+). Riwayat penyakit jantung, ginjal, dan hipertensi (-). Kakak pasien
CKD (+), DM (+), hiperkolesterolemia (+), meninggal sebelum sempat hemodialisis. Pasien tidak
berolahraga dan tidak mengatur jenis dan pola makan.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis,
tanda-tanda vital: tekanan darah 105/70 mmHg, nadi: 88 x/menit, suhu: 36,4 oC dan respirasi: 22
x/menit. Status gizi kurang. Pada pemeriksaan fisik mata didapatkan konjungtiva anemis +/+.
Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan ronki basah halus di basal paru +/+. Pasien terpasang
foley kateter dengan urin kuning jernih.
Diagnosis Kerja:
Acute on Chronic Kidney Disease
Anemia suspek ec. CKD
DM tipe II
Hipertrigliseridemia
Hiperurisemia
4. Plan
Tatalaksana:
o Venflon saja, stop infus
o Lasix pump 10 mg/jam
o Gliquidone 2 x 30 mg tab
o Allopurinol 1 x 300 mg tab
o Asam folat 3 x 1 tab
o Natrium bicarbonate 3 x 1 tab
o CaCO3 3 x 1 tab
o Ceftriaxone stop Cefoperazone 2 x 1 g IV
o Pasang kateter
BAB I
PENDAHULUAN
Acute Kidney Injury (AKI) didefinisikan sebagai gangguan fungsi filtrasi dan ekskresi ginjal
selama beberapa hari hingga beberapa minggu, menyebabkan retensi zat sisa nitrogen dan zat sisa
lainnya yang seharusnya dibuang oleh ginjal. Sementara itu, Chronic Kidney Disease (CKD)
meliputi suatu serangkaian proses patofisiologi yang berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan penurunan GFR. AKI berkaitan dengan risiko terjadinya CKD, sementara CKD
merupakan faktor risiko suatu pasien mengalami AKI.
AKI seringkali terjadi pada pasien yang mengalami CKD, ditandai dengan peningkatan
kadar ureum dan kreatinin darah yang mendadak, melebihi laju penurunan GFR yang terjadi pada
CKD. Pada pasien yang telah mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, asam-basa,
anemia, gangguan metabolik tulang, komplikasi kardiovaskuler, dan lain sebagainya yang terjadi
pada pasien dengan CKD, eksaserbasi akut dari AKI dapat berhubungan dengan penurunan fungsi
ginjal yang lebih berat, mempengaruhi morbiditas atau bahkan mortalitas secara signifikan.
Sebagai dokter umum, penting untuk dapat mendeteksi gejala dan tanda AKI serta CDK
yang dikemukakan oleh pasien, sehingga dokter dapat menegakkan diagnosis dengan tepat sehingga
memutuskan tatalaksana yang tepat pula. Oleh karena itu, harus pula dipahami etiologi, klasifikasi,
patofisiologi, cara mendiagnosis, serta penentuan tatalaksana yang tepat berdasarkan gejala dan
tanda tersebut, terutama dalam penanganan awal dan pengenalan kondisi yang perlu ditangani
dengan hemodialisis.
Oleh karena itu, dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai kasus Acute on Chronic
Kidney Disease beserta tinjauan pustaka mengenai AKI dan CKD secara menyeluruh, dengan
harapan meningkatkan kompetensi dokter umum dalam mendiagnosis dan mendeteksi AKI dan
CKD dengan tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi
AKI didefinisikan sebagai gangguan fungsi filtrasi dan ekskresi ginjal selama beberapa hari
hingga beberapa minggu, menyebabkan retensi zat sisa nitrogen dan zat sisa lainnya yang
seharusnya dibuang oleh ginjal. AKI merupakan suatu kondisi di mana terdapat peningkatan
konsentrasi kreatinin serum yang seringkali berhubungan dengan penurunan volume urine. Pasien
yang mengalami AKI dapat mengalami atau tidak mengalami kelainan pada perenkim ginjal. AKI
bisa asimtomatik hingga dapat menyebabkan keseimbangan volume, elektrolit, dan asam basa.
Secara tradisional, penyebab AKI dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu
azotemia prerenal, kelainan intrinsik parenkim ginjal, dan obstruksi postrenal.
Menurut Guidelines AKI KDIGO 2012, terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan
kecenderungan terjadinya AKI, antara lain dehidrasi, usia lanjut, jenis kelamin wanita, etnis kulit
hitam, CKD, penyakit jantung, paru, atau hati kronis, DM, kanker dan anemia. Interaksi antara
paparan terhadap etiologi dan adanya faktor risiko meningkatkan kecenderungan terjadinya AKI.
DM merupakan faktor risiko tersering yang ditemukan pada pasien AKI dan CKD. DM
dapet mencetuskan gangguan fungsi ginjal melalui 2 mekanisme. Mekanisme pertama ialah
mekanisme mikrovaskulopati. Pada hiperglikemia yang akut (relatif terjadi dalam waktu yang masih
singkat) telah terjadi penumpukan advanced glycation end products (AGEs) di glomerulus yang
menyebabkan penurunan produksi NO, sehingga menurunkan respon vasodilatasi dan pada akhirnya
menurunkan GFR. Hiperglikemia juga menyebabkan penuaan sel endotel glomerulus atau stress-
induced premature senescence (SIPS) yang menyebabkan penurunan fungsi sel endotel. Hal ini
diduga disebabkan oleh pemendekan telomere dan kerusakan DNA yang disebabkan oleh akumulasi
ROS. Hiperglikemia secara tidak langsung berhubungan pula dengan kejadian aterosklerosis yang
dapat terjadi pada pembuluh darah ginjal, menyebabkan penyempitan lumen dan penurunan aliran
darah ke ginjal.
Keterangan:
eGFR : estimated GFR (mL/menit/1,73 m2)
CrCl : creatinine clearance (mL/menit/1,73 m2)
SCr : kreatinin serum (mg/dL)
3.1.4. Komplikasi
Beberapa komplikasi AKI terkait dengan gangguan fungsi ginjal dalam mengatur
homeostasis volume, elektrolit, asam-basa, dan ekskresi zat sisa nitrogen, antara lain:
Uremia, terjadi sebagai akibat penumpukan zat sisa nitrogen sehingga meningkatkan kadar
ureum darah / BUN. BUN tidak menimbulkan gejala pada kadar <100 mg/dL. Pada kadar
yang lebih tinggi, dapat terjadi penurunan kesadaran dan perdarahan. Gejala toksisitas
lainnya bergantung pada toksisitas zat yang diekskresi melalui ginjal. Kumpulan gejala
toksisitas tersebut secara kolektif disebut uremia.
Hipervolemia dan hipovolemia. Hipervolemia merupakan konsekuensi dari oliguria/anuria,
dikarenakan gangguan ekskresi air dan natrium. Gejala dapat berupa peningkatan berat
badan, edema, peningkatan JVP, dan edema paru. Edema paru dapat terjadi pula karena
kelebihan cairan dan perdarahan akibat sindrom pulmoner renal. AKI menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler sehingga meningkatkan perpindahan cairan ke
rongga alveolar. Penelitian lebih lanjut telah membuktikan dampak AKI lainnya yang
dikatakan sebagai edema pulmoner nefrogenik. Peningkatan regulasi gen proinflamatorik,
overekspresi kemokin, perubahan kanal ion, dan disregulasi apoptosis berhubungan dengan
gangguan sawar alveolus-endotel sehingga turut berperan dalam meningkatkan terjadinya
edema paru. AKI dapat mencetuskan atau memperberat cedera paru dikarenakan
peningkatan permeabilitas vaskuler dan infiltrasi sel radang pada parenkim paru. Pada fase
penyembuhan AKI, terdapat fase polyuria yang disebabkan oleh mekanisme diuresis
osmotik dari urea dan zat sisa lainnya sehingga dapat menimbulkan terjadinya hipovolemia.
Hiponatremia yang dapat disebabkan oleh pemberian cairan hipotonik atau dekstrose
isotonik yang berlebihan.
Hiperkalemia terutama terjadi pada rhabdomiolisis, hemolisis, dan tumor lysis syndrome
karena terbebaskannya kalium intrasel dari sel yang mengalami kerusakan. Gejala
hiperkalemia antara lain berupa lemah otot hingga aritmia jantung pada hiperkalemia berat
Asidosis metabolik, dengan peningkatan anion gap sering terjadi pada AKI, terutama pada
adanya komorbid sepsis, ketoasidosis diabetik, atau asidosis respiratorik
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Hiperfosfatemia biasanya terjadi pada pasien dengan laju
katabolisme tinggi atau AKI yang disebabkan oleh rhabdomiolisis, hemolisis, dan tumor
lysis syndrome. Hipokalsemia dapat terjadi karena deposisi metastatik dari kalsium fosfat,
atau karena gangguan keseimbangan vitamin D, hormon paratiriod, dan FGF-23.
Hipokalsemia dapat menyebabkan parestesia perioral, kram otot, kejang, dan pemanjangan
interval QT pada EKG.
Perdarahan dan anemia yang disebabkan rendahnya eritropoiesis dan disfungsi trombosit,
semakin berat pada keadaan sepsis, penyakit hati kronis, dan DIC.
Infeksi
Gangguan jantung, seperti aritmia, pericarditis, dan efusi pericardium. Kelebihan volume
dan uremia dapat menyebabkan kerusakan jantung dan penurunan fungsi jantung.
Malnutrisi, yang disebabkan oleh keadaan hiperkatabolik
3.1.5. Tatalaksana
Tatalaksana penderita AKI berbeda bergantung pada penyebab yang mendasarinya. Terdapat
beberapa prinsip yang berlaku untuk semua penyebab AKI. Perbaikan hemodinamik, koreksi cairan
dan elektrolit, pemberhentian obat-obatan nefrotoksik, dan penyesuaian dosis obat berlaku untuk
semua penyebab AKI. Banyak pasien AKI yang sebelumnya mengalami CKD tidak pulih sempurna
dan bergantung pada dialysis. Maka, dapat dikatakan AKI mempercepat progresi CKD, dan CKD
adalah faktor risiko yang penting dari AKI.
3.1.5.6. Dialisis
Dialisis diindikasikan apabila terapi medis gagal untuk mengontrol kelebihan cairan,
hiperkalemia, asidosis, pada intoksikasi zat tertentu, atau komplikasi berat dari uremia (asteriksis,
efusi pericardium, ensefalopati uremikum, perdarahan karena uremia). Terdapat singkatan yang
lazim digunakan sebagai indikasi dialisis segera, yaitu A (Acidosis), I (Intoxication), U (Uremia), E
(Electrolyte Imbalance) dan O (Overload). Indikasi A berupa asidosis metabolik dengan pH <7,10,
indikasi I berupa intoksikasi zat yang dapat didialisis, antara lain salisilat, litium, isopropanol,
metanol, dan etilen glikol (SLIME), indikasi U berupa uremia yang ditandai dengan peningkatan
BUN dengan gejala perdarahan, ensefalopati uremikum, pericarditis, dan neuropati, indikasi E
berupa hiperkalemia >6,5 meq/L yang tidak dapat ditangani dengan penggunaan obat, dan indikasi
O berupa kelebihan cairan yang tidak dapat ditangani dengan diuresis. Terlalu lambat memulai
dialisis dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam nyawa. Banyak ahli memulai dialisis pada
AKI secara empirik pada BUN yang melebihi nilai tertentu (misalkan 100 mg/dL) pada pasien yang
tidak menunjukkan tanda perbaikan klinis.
Terapi pengganti ginjal dapat dilakukan dengan cara dialisis peritoneal atau hemodialisis.
Hemodialisis membutuhkan akses vaskuler melalui vena femoralis, jugularis interna, atau subclavia.
Hemodialisis dilakukan 3-4 jam per hari, 3-4 hari seminggu. Komplikasi umum dari hemodialisis
adalah hipotensi yang dapat mencetuskan terjadinya AKI dan menyebabkan cedera iskemik
multiorgan. Hemodialisis juga dapat dilakukan secara kontinu, atau dikenal sebagai continuous
renal replacement therapy (CRRT). Alternatif hemodialisis adalah melakukan dialisis peritoneal.
Cairan dialisat dimasukkan ke dalam peritoneum dan dikeluarkan kembali dalam interval tertentu
untuk mencapai bersihan zat sisa melalui proses ultrafiltrasi.
3.2. Chronic Kidney Disease (CKD)
3.2.1. Definisi
CKD meliputi suatu serangkaian proses patofisiologi yang berkaitan dengan penurunan
fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan GFR. Progresi CKD didasarkan pada penurunan GFR
dan derajat albuminuria. Tahap terakhir dari CKD, yaitu end-stage renal disease (ESRD)
menunjukkan tahap CKD di mana toksin, cairan, dan elektrolit yang seharusnya diekskresikan oleh
ginjal akan menyebabkan kematian apabila tidak dibuang melalui terapi pengganti ginjal (dialisis
atau transplantasi ginjal).
3.2.1.2. Patofisiologi
Patofisiologi CKD meliputi dua mekanisme kerusakan. Mekanisme awal berkaitan dengan
penyebab yang mendasarinya, misalnya kelainan pembentukan ginjal, deposisi kompleks imun dan
inflamasi pada glomerulonefritis, atau toksin yang merusak tubulus dan interstisium. Mekanisme
berikutnya ialah hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron lainnya yang tidak mengalami kerusakan.
Mekanisme ini merupakan konsekuensi yang terjadi setelah terjadi penurunan massa ginjal tanpa
memperhatikan sebabnya, sehingga fungsi ginjal semakin menurun. Respon terhadap penurunan
jumlah nefron diperantarai oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Namun, respon
hiperfiltrasi dan hipertrofi untuk mempertahankan GFR ini lama kelamaan bersifat maladaptive
seiring peningkatan tekanan dan aliran di nefron yang menyebabkan kelainan arsitektur glomerulus,
gangguan fungsi podosit, dan gangguan membran filtrasi yang menyebabkan sklerosis dan
kerusakan nefron-nefron lainnya. Hiperfiltrasi, hipertrofi, dan sklerosis ini disebabkan terjadinya
peningkatan sistem RAA. Maka, dengan adanya mekanisme tersebut, penurunan massa ginjal akibat
sebab tertentu dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif.
3.2.1.4. Staging
Staging CKD didasarkan pada GFR, tidak hanya bergantung pada kreatinin serum. Kini
banyak diaplikasikan eGFR yang dihitung berdasarkan rumus, termasuk rumus yang dikeluarkan
MDRD atau Cockroft & Gault. Rumus ini hanya berlaku apabila pasien berada dalam keadaan
stabil, artinya kreatinin serum tidak meningkat atau menurun selama beberapa hari. Secara alamiah
GFR akan menurun mulai usia 30 tahun sebesar 1 mL/menit per tahun dari 120 mL/menit/1,73 m2
hingga 70 mL/menit/1,73 m2 pada usia 70 tahun. Nilai rerata GFR lebih rendah pada wanita
dibandingkan pria.
Pengukuran albuminuria juga membantu memantau kerusakan nefron. Albuminuria dahulu
diukur dengan pemeriksaan urin 24 jam. Kini, telah dapat dinilai dengan rasio albumin terhadap
kreatinin urin (UACR) melalui pengambilan sampel urin pagi. UACR > 17 mg albumin / g kreatinin
pada laki-laki dan UACR > 25 mg albumin/g kreatinin di perempuan merupakan petanda gangguan
ginjal. Adanya albuminuria menyatakan adanya kerusakan mikrovaskuler dan disfungsi endotel
sistemik.
Gangguan neurologis
Pasien CKD memiliki kecenderungan tinggi menderita penyakit serebrovaskuler dan
gangguan kognitif (terkait gangguan vaskuler ataupun neurodegeneratif). Toksin uremia
dapat berpengaruh secara langsung terhadap gangguan serebrovaskuler ataupun tidak
langsung melalui mediator inflamasi. Beta 2-mikroglobulin, salah satu toksin uremia
berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif dan berperan dalam mempercepat penuaan,
begitu pula fenol dan indol. Faktor lain yang berpengaruh ialah hipertensi, depresi, atau
peningkatan aktivitas obat psikiatri.
Gambar 3.10. Gangguan neurologis pada CKD
Gangguan cairan, elektrolit, dan asam basa
Pada CKD, terjadi gangguan keseimbangan asupan air dan natrium terhadap
ekskresinya sehingga menyebabkan retensi natrium dan ekspansi volume ekstraseluler.
Ekspansi volume ini dapat memperberat hipertensi dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut
pada glomerulus. Sebaliknya, pada pasien tertentu yang mengalami gangguan fungsi tubuler,
terdapat kerentanan terhadap hiponatremia dan hipovolemia. Pada keadaan tertentu seperti
diare, pasien yang mengalami gangguan tubulus tersebut akan mengalami kesulitan dalam
mempertahankan kadar natrium dan air tubuh, sehingga dapat terjadi hiponatremia. Restriksi
cairan dan natrium yang berlebihan juga dapat menimbulkan hiponatremia.
CKD sendiri tidak semerta-merta menyebabkan peningkatan kadar kalium darah,
karena ekskresi kalium terutama diperantarai oleh aldosteron di tubulus distal dan ekskresi
melalui saluran cerna. Namun hiperkalemia pada CKD biasanya terjadi dikarenakan adanya
sebab lain seperti asupan kalium berlebih, hemolisis, perdarahan, transfusi, dan asidosis
metabolik. Obat-obatan seperti spironolakton juga dapat memperparah hiperkalemia.
Sebaliknya hipokalemia pada CKD jarang terjadi, pada umumnya hanya terjadi pada
restriksi asupan kalium yang berlebihan.
Ekskresi asam mengalami penurunan pada CKD. Retensi asam organik pada CKD
berhubungan dengan asidosis metabolik yang pada umumnya disertai peningkatan anion
gap. Ekskresi asam yang terganggu ini berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal dalam
memproduksi ammonia. Apabila terjadi hiperkalemia, akan semakin menurunkan produksi
ammonia dan memperberat asidosis metabolik. Pada tahap awal, pada umumnya akan terjadi
asidosis hiperkloremik dengan anion gap yang tidak meningkat, namun pada retensi asam
yang lebih lanjut akan menyebabkan peningkatan anion gap. Penurunan pH darah pada
umumnya bersifat ringan dan dapat ditanggulangi dengan pemberian natrium bikarbonat.
Namun, pH yang terlalu rendah perlu ditanggulangi segera dengan dialisis.
Lain-lain
CKD berhubungan dengan dyslipidemia yang ditandai dengan peningkatan kadar
trigliserida dan penurunan kadar HDL. Kadar LDL dan kolesterol total biasanya tidak
meningkat. Pada CKD, terjadi penurunan fungsi lipoprotein lipase dan reseptor LDL.
Peningkatan trigliserida pada CKD disebabkan adanya penundaan katabolisme lipoprotein
yang kaya akan trigliserida. CKD juga berkaitan dengan kadar apoA-I yang lebih rendah.
Aktivitas LCAT (lecithin-cholesterol acyltransferase) yang menurun dan CETP (cholesteryl
ester transfer protein) yang meningkat menyebabkan penurunan HDL. Selain kadar HDL
yang menurun, efek antioksidan dan antiinflamatorik HDL juga mengalami penurunan.
Hiperurisemia dapat berperan sebagai penyebab atau komplikasi dari CKD. Dua per
tiga asam urat tubuh diekskresikan melalui ginjal, sementara sepertiga sisanya melalui
saluran cerna. Maka, penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan hiperurisemia. Sebaliknya
pula, hiperurisemia berhubungan dengan hipertensi dan progresi CKD. Hiperurisemia pada
CKD menimbulkan gangguan yang serupa pada pasien non CKD, yaitu berupa gout artritis.
3.2.3. Diagnosis
3.2.3.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala dan tanda CKD seringkali ringan atau bahkan tidak ada sampai mencapai tahap akhir,
sehingga pada saat didiagnosis seringkali menimbulkan reaksi penolakan dari pasien. Faktor risiko
yang perlu diidentifikasi antara lain hipertensi, DM, hasil urinalisis abnormal, dan komplikasi
kehamilan seperti preeclampsia atau abortus. Riwayat pengobatan harus ditanya secara lengkap,
khususnya obat antiinflamasi, penghambat COX-2, antibiotik, agen kemoterapi, antiretroviral, PPI,
obat pencahar yang mengandung fosfat, dan litium. Dalam mengevaluasi sindrom uremia, perlu
ditanyakan gejala berupa penurunan nafsu makan, berat badan, mual, cegukan, edema perifer, kram
otot, gatal-gatal, dan gerakan kaki involunter. Riwayat keluarga yang perlu ditanyakan antara lain
dengan gangguan ginjal atau paparan yang sama terhadap agen nefrotoksik. CKD seringkali muncul
dalam satu keluarga, walaupun dengan penyebab yang berbeda-beda.
Pemeriksaan fisik terutama meliputi tekanan darah dan kerusakan organ akibat hipertensi,
yaitu funduskopi dan pemeriksaan jantung. Funduskopi dapat mendeteksi retinopati diabetik yang
terkait dengan nefropati diabetik. Pemeriksaan fisik lain yang dapat ditemukan antara lain edema
dan polineuropati sensorik. Adanya asterixis atau pericardial friction rub yang tidak disebabkan
oleh penyebab lain dapat menunjukkan tanda-tanda uremia.
3.2.4. Tatalaksana
Tatalaksana CKD idealnya dilakukan sebelum terdapat penurunan GFR yang nyata. Maka,
GFR sebaiknya diukur secara berkala dan penurunannya selalu diamati pada semua pasien. Adanya
percepatan laju penurunan GFR merupakan petanda proses akut atau subakut yang mungkin saja
masih bersifat reversibel. Proses akut tersebut antara lain deplesi volume, hipertensi tidak terkontrol,
ISK, uropati obstruktif, paparan terhadap agen nefrotoksik, dan reaktivasi penyakit seperti lupus dan
vaskulitis.
3.2.4.1. Antihipertensif
Peningkatan tekanan filtrasi glomerulus dan hipertrofi glomerulus terjadi sebagai respon
terhadap hilangnya jumlah nefron yang fungsional. Respon tersebut merupakan respon yang
maladaptif, karena menyebabkan penurunan fungsi ginjal bahkan setelah proses yang
mencetuskannya telah ditanggulangi. Maka, pengendalian hipertensi glomerular penting untuk
memperlambat progresi CKD. Peningkatan tekanan darah meningkatkan proteinuria dengan
meningkatkan alirannya melewati kapiler glomerulus, sehingga efek renoprotektif dari obat
antihipertensi dapat menurunkan proteinuria. Maka, dapat dikatakan bahwa semakin baik
tatalaksana untuk menurunkan ekskresi protein, semakin baik pula perlindungan terhadap
penurunan GFR. Pada pasien dengan CKD, tekanan darah yang ditargetkan ialah 130/80 mmHg.
ACE-I dan ARB efektif menurunkan progresi CKD baik pada pasien DM ataupun tidak,
melalui mekanisme vasodilatasi eferen dan penurunan hipertensi glomerulus. ACE-I dan ARB
direkomendasikan untuk pasien DM dengan ekskresi albumin 30-300 mg / 24 jam, dan
direkomendasikan untuk pasien DM dan non-DM dengan ekskresi albumin > 300 mg / 24 jam. Bila
ekskresi albumin <30 mg / 24 jam pada pasien DM ataupun non-DM, antihipertensi diberikan
apabila tekanan darah sistolik >140 mmHg atau diastolik >90 mmHg untuk mencapai target tekanan
darah 140/90 mmHg. Sementara itu, bila ekskresi albumin ≥30 mg / 24 jam, antihipertensi diberikan
apabila tekanan darah sistolik >130 mmHg atau diastolik > 80 mmHg untuk mencapai target
tekanan darah 130/80 mmHg. Kombinasi ACE-I dan ARB berhubungan dengan penurunan
proteinuria yang lebih baik dibandingkan pemberian obat tungagal saja. Namun, terapi kombinasi
berhubungan dengan kejadian AKI dan efek samping kardiovaskuler yang lebih besar, sehingga
kombinasi ACE-I dan ARB sebaiknya dihindari.
Peningkatan kreatinin serum dengan penggunaan ACE-I atau ARB dapat menunjukkan
adanya gangguan renovaskuler. Adanya efek samping tersebut menandakan diperlukannya
antihipertensi lini kedua selain ACE-I dan ARB. Di antara CCB, diltiazem dan verapamil
menunjukkan efek antiproteinuria dan renoprotektif yang lebih baik dibandingkan dihidropiridin.
Pada CKD setidaknya didapatkan dua respon pengobatan. Pertama, progresi terkait dengan
hipertensi sistemik, intraglomerulus, dan proteinuria (pada nefropati diabetik dan gangguan
glomerulus). Pada kasus ini, ACE-I dan ARB merupakan pilihan pertama. Kedua, proteinuria ringan
atau tidak ada pada tahap awal (pada penyakit ginjal polikistik dan penyakit tubulointerstisial), yang
mana hipertensi intraglomerulus tidak jelas ditemukan, agen antihipertensi lainnya dapat digunakan
untuk mengendalikan hipertensi sistemik.
3.2.4.5. Dialisis
Variabilitas individual dalam tingkat keparahan derajat uremia dan fungsi ginjal menyebabkan
kurang tepatnya penggunaan kadar ureum atau kreatinin darah sebagai acuan untuk memulai
dialisis. Terlebih lagi, pasien dapat beradaptasi dengan uremia kronik dan menyangkal adanya
gejala, hanya akan sadar merasa lebih baik setelah melalui dialisis. Idealnya, dialisis sebaiknya
dimulai sebelum timbulnya gejala dan tanda uremia yang berat. Namun pada praktiknya, lebih baik
mempersiapkan dengan seksama untuk persiapan dialisis untuk mencegah masalah terkait proses
dialisis itu sendiri (misalnya mempersiapkan fistula untuk hemodialisis). Edukasi mengenai terapi
pengganti ginjal selayaknya telah diberikan sejak awal CKD stage 4 terdiagnosis sehingga pasien
dapat mempersiapkan diri untuk mempelajari tentang dialisis dan bersiap untuk melakukan dialisis.
Terapi pengganti ginjal terdiri atas hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
Kriteria yang dapat diterima untuk memulai terapi pengganti ginjal antara lain adanya gejala uremia,
hiperkalemia yang tidak merespon dengan pengobatan, ekspansi volume CES persisten walaupun
telah diberikan diuretik, asidosis yang tidak dapat ditangani dengan obat, kelainan perdarahan, atau
GFR <10 mL/menit/1,73 m2. Dialisis peritoneal jarang dilakukan di negara berkembang karena
tingginya angka kejadian infeksi, sehingga hemodialisis merupakan pilihan yang utama.
Keberhasilan hemodialisis diukur berdasarkan rasio reduksi urea (urea reduction ratio), yaitu
reduksi fraksional urea dalam tiap sesi hemodialisis dengan target >65-70% dan body water-indexed
clearance x time product (Kt/V) >1,2 atau 1,05, bergantung pada kalibrasi konsistensi urea. Pada
mayoritas pasien ESRD, dibutuhkan 9-12 jam hemodialisis setiap minggu, biasanya dibagi menjadi
3 sesi yang sama panjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Waikar SS, Bonventre JV. Acute kidney injury. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed.
New York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2099-111.
2. KDIGO. KDIGO clinical practice guideline for acute kidney injury. Kidney international
supplements. 2012; 2: 1-138.
3. Patschan D, Müller GA. Acute Kidney Injury in Diabetes Mellitus. Int J Nephrol. 2016;
2016: 6232909.
4. Gross JL, Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T. Diabetic
nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment. Diabetes care. 2005; 28: 164-76.
5. Yokota LG, Sampaio BM, Rocha EP, Balbi AL, Sousa Prado IR, Ponce D. Acute kidney
injury in elderly patients: narrative review on incidence, risk factors, and mortality. Int J
Nephrol Renovasc Dis. 2018; 11: 217-224.
6. Han SS, Baek SH, Ahn SY, Chin HJ, Na KY, Chae DW, et al. Anemia is a risk factor for
acute kidney injury and long-term mortality in critically ill patients. Tohoku J Exp Med.
2015; 237: 287-95.
7. Basu RK, Wheeler D. Effects of ischemic acute kidney injury on lung water balance:
nephrogenic pulmonary edema?. Pulmonary Med. 2011; 2011: 414253.
8. Hoste EA, Clermont G, Kersten A, et al. RIFLE criteria for acute kidney injury are
associated with hospital mortality in critically ill patients: a cohort analysis. Crit Care. 2006;
10: R73.
9. Botev R, Mallié JP, Couchoud C, et al. Estimating glomerular filtration rate: Cockcroft-
Gault and Modification of Diet in Renal Disease formulas compared to renal inulin
clearance. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 899-906.
10. Dialysis indications [Internet]. [cited 2019 Mar 23]; Available from:
https://step2.medbullets.com/renal/120688/dialysis-indications
11. Bargman JM, Skorecki KL. Chronic kidney disease. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th
ed. New York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2111-21.
12. Kazancioğlu R. Risk factors for chronic kidney disease: an update. Kidney Int Suppl. 2013;
3: 368-71.
13. Vanholder R, Fouque D, Glorieux G, Heine GH, Kanbay M, Mallamaci F, et al. Clinical
management of the uraemic syndrome in chronic kidney disease. Lancet Diabetes
Endocrinol. 2016; 2016: 1-14.
14. Tannock L. Dyslipidemia in Chronic Kidney Disease. [Updated 2018 Jan 22]. In: Feingold
KR, Anawalt B, Boyce A, et al., editors. Endotext [Internet]. South Dartmouth (MA):
MDText.com, Inc.; 2000-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK305899/
15. Vargas-Santos AB, Neogi T. Management of Gout and Hyperuricemia in CKD. Am J
Kidney Dis. 2017; 70: 422-39.
16. KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease. Kidney international supplements. 2013; 3: 1-163.
17. KDIGO. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney
international supplements. 2012; 2: 1-64.
18. KDIGO. KDIGO 2017 clinical practice guideline update for the diagnosis, evaluation,
prevention, and treatment of chronic kidney disease-minearal and bone disorder (CKD-
MBD). 2017; 7: 1-60.
19. Cianciolo G, De PA, Di LL, Ronco C, Zannini C, La MG. Folic acid and homocysteine in
chronic kidney disease and cardiovascular disease progression: which comes first?
Cardiorenal Med. 2017; 7: 255-66.
20. Liu KD, Chertow GM. Dialysis in the treatment of renal failure. In: Kasper DL, Fauci AS,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal
medicine. 20th ed. New York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2121-5.
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO