Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH PORTOFOLIO

Acute on Chronic Kidney Disease

Disusun Oleh:
dr. Lyon Clement

Pebimbing:
dr. Mukti Fahimi, Sp. PD

RSAL Dr. Mintohardjo


Periode Februari 2019 – Juni 2019
BERITA ACARA

Portofolio ini telah disetujui untuk memperlengkap Program Internsip Dokter Indonesia.

Jakarta, Maret 2019


Dokter Pendamping

(dr. Irma Ferial)


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya ucapakan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah portofolio yang berjudul
“Acute on Chronic Kidney Disease”. Makalah portofolio ini diajukan dalam rangka memenuhi
salah satu persyaratan untuk menempuh tercapainya Program Internsip Dokter Indonesia. Penulis
menyadari bahwa banyak pihak yang telah berpartisipasi dan membantu dalam penulisan makalah
portofolio ini.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama:

1. dr. Wiweka, MARS, selaku Kepala Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo.
2. dr. Eko Budi Prasetyo Sp. An, KIC, selaku Wakamed Rumah Sakit Angkatan Laut dr.
Mintohardjo.
3. dr. Pribadi Arief, Sp. B-KBD, selaku Wakabin Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo.
4. dr. Irma Ferial, selaku dokter pendamping wahana Rumah Sakit Angkatan Laut dr.
Mintohardjo.
5. Seluruh teman-teman medis dan paramedis Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Angkatan Laut
dr. Mintohardjo yang telah memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan makalah
portofolio ini.
6. Kepada seluruh sahabat-sahabat internsip saya yang memberikan semangat dan inspirasi
dalam pembuatan makalah portofolio ini.

Kritik dan saran penulis harapkan guna memperoleh hasil yang lebih baik dalam
menyempurnakan makalah portofolio. Semoga makalah portofolio ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, Maret 2019

Penulis
KASUS PORTOFOLIO

Nama Peserta: dr. Lyon Clement

Nama Wahana: RSAL Dr. Mintohardjo

Topik: Acute on Chronic Kidney Disease

Tanggal (Kasus): 12 Maret 2019

Nama Pasien: Ny. W No RM: 214602

Tanggal Presentasi: Nama Pendamping: dr. Mukti Fahimi, Sp.PD

Tempat Presentasi: RSAL Dr. Mintohardjo

Obyektif Presentasi:

 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran Tinjauan Pustaka


 Diagnostik  Manajemen Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil


Deskripsi: Ny. W, 54 tahun, dengan sesak yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.

 Tujuan: Mengetahui diagnosis dan tatalaksana Acute Kidney Injury dan Chronic Kidney Disease
Bahan Bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit

Cara Membahas:  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos

Data Pasien Nama: Ny. W No Registrasi: 214602

Nama Tempat: Bangsal Numfor RSAL


Telepon: Terdaftar Sejak:
Dr. Mintohardjo
Data Utama dan Bahan Diskusi

1. Gambaran Klinis
Wanita, 54 tahun, dengan sesak yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
2. Riwayat Pengobatan
 Pasien dirujuk dari Rumkital Marinir Cilandak pada 8 Maret 2019 untuk hemodialisis dengan
diagnosis Acute on CKD, Anemia, Bacterial infection, DM tipe II, Hipertrigliseridemia, dan
Hiperurisemia dengan keluhan sesak yang memberat dan lemas sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien telah menjalani perawatan selama 3 hari dan telah mendapatkan pengobatan
berupa IVFD NaCl 0,9% 15 tpm, Ceftriaxone 1 x 2 g IV, Omeprazole 1 x 40 mg IV,
Paracetamol 3 x 500 mg, Asam folat 3 x 1 tab, Prorenal 3 x 2 tab po, Probenecid 1 x 500 mg,
Gliquidone 3 x 30 mg po.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
 Riwayat diabetes melitus (+) sejak 13 tahun terakhir, pasien mendapatkan pengobatan
Gliquidone 3 x 30 mg po. Pasien mengaku kontrol rutin ke puskesmas setiap minggu.
 Riwayat asam urat dan kolesterol (+), pasien mendapatkan obat dan dari puskesmas namun
tidak mengingat nama obat tersebut.
4. Riwayat Keluarga
• Kakak perempuan pasien menderita CKD, DM, hiperkolesterolemia, dan meninggal dalam
perawatan di RS sesaat sebelum hemodialisis.
5. Lain-lain: -
Daftar Pustaka

1. Waikar SS, Bonventre JV. Acute kidney injury. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed. New York:
McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2099-111.
2. KDIGO. KDIGO clinical practice guideline for acute kidney injury. Kidney international
supplements. 2012; 2: 1-138.
3. Patschan D, Müller GA. Acute Kidney Injury in Diabetes Mellitus. Int J Nephrol. 2016; 2016:
6232909.
4. Gross JL, Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T. Diabetic
nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment. Diabetes care. 2005; 28: 164-76.
5. Yokota LG, Sampaio BM, Rocha EP, Balbi AL, Sousa Prado IR, Ponce D. Acute kidney injury in
elderly patients: narrative review on incidence, risk factors, and mortality. Int J Nephrol Renovasc
Dis. 2018; 11: 217-224.
6. Han SS, Baek SH, Ahn SY, Chin HJ, Na KY, Chae DW, et al. Anemia is a risk factor for acute
kidney injury and long-term mortality in critically ill patients. Tohoku J Exp Med. 2015; 237: 287-
95.
7. Basu RK, Wheeler D. Effects of ischemic acute kidney injury on lung water balance: nephrogenic
pulmonary edema?. Pulmonary Med. 2011; 2011: 414253.
8. Hoste EA, Clermont G, Kersten A, et al. RIFLE criteria for acute kidney injury are associated with
hospital mortality in critically ill patients: a cohort analysis. Crit Care. 2006; 10: R73.
9. Botev R, Mallié JP, Couchoud C, et al. Estimating glomerular filtration rate: Cockcroft-Gault and
Modification of Diet in Renal Disease formulas compared to renal inulin clearance. Clin J Am Soc
Nephrol. 2009; 4: 899-906.
10. Dialysis indications [Internet]. [cited 2019 Mar 23]; Available from:
https://step2.medbullets.com/renal/120688/dialysis-indications
11. Bargman JM, Skorecki KL. Chronic kidney disease. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed. New
York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2111-21.
12. Kazancioğlu R. Risk factors for chronic kidney disease: an update. Kidney Int Suppl. 2013; 3: 368-
71.
13. Vanholder R, Fouque D, Glorieux G, Heine GH, Kanbay M, Mallamaci F, et al. Clinical
management of the uraemic syndrome in chronic kidney disease. Lancet Diabetes Endocrinol.
2016; 2016: 1-14.
14. Tannock L. Dyslipidemia in Chronic Kidney Disease. [Updated 2018 Jan 22]. In: Feingold KR,
Anawalt B, Boyce A, et al., editors. Endotext [Internet]. South Dartmouth (MA): MDText.com,
Inc.; 2000-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK305899/
15. Vargas-Santos AB, Neogi T. Management of Gout and Hyperuricemia in CKD. Am J Kidney Dis.
2017; 70: 422-39.
16. KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease. Kidney international supplements. 2013; 3: 1-163.
17. KDIGO. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney
international supplements. 2012; 2: 1-64.
18. KDIGO. KDIGO 2017 clinical practice guideline update for the diagnosis, evaluation, prevention,
and treatment of chronic kidney disease-minearal and bone disorder (CKD-MBD). 2017; 7: 1-60.
19. Cianciolo G, De PA, Di LL, Ronco C, Zannini C, La MG. Folic acid and homocysteine in chronic
kidney disease and cardiovascular disease progression: which comes first? Cardiorenal Med. 2017;
7: 255-66.
20. Liu KD, Chertow GM. Dialysis in the treatment of renal failure. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser
SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed.
New York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2121-5.

Hasil Pembelajaran

1. Penegakan diagnosis Acute Kidney Injury dan Chronic Kidney Disease


2. Penatalaksanaan Acute Kidney Injury dan Chronic Kidney Disease

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portfolio

1. Subjektif:
Pasien dirujuk dari Rumkital Marinir Cilandak pada 9 Maret 2019 untuk hemodialisis dengan
diagnosis Acute on CKD, Anemia, Bacterial infection, DM tipe II, Hipertrigliseridemia, dan
Hiperurisemia dengan keluhan sesak yang memberat disertai demam dan lemas sejak 3 hari
SMRS. Pasien telah menjalani perawatan selama 3 hari dan telah mendapatkan pengobatan
berupa IVFD NaCl 0,9% 15 tpm, Ceftriaxone 1 x 2 g IV, Omeprazole 1 x 40 mg IV, Paracetamol
3 x 500 mg, Asam folat 3 x 1 tab, Prorenal 3 x 2 tab po, Probenecid 1 x 500 mg, Gliquidone 3 x
30 mg po.
Saat masuk RSAL Mintohardjo, pasien mengatakan bahwa sesak dirasakan tidak membaik
selama perawatan sebelumnya. Sesak dirasakan terus-menerus, dirasakan lebih berat saat
berbaring terlentang, membaik bila dalam posisi duduk. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk
kering sejak 1 hari SMRS. Pasien mengatakan dalam perawatan di RS sebelumnya pasien sudah
tidak mengalami demam. Pasien juga mengeluhkan mual, namun menyangkal adanya muntah.
Pasien juga mengeluhkan pada 4 hari SMRS, pasien sempat tidak BAK sama sekali dalam 24
jam, namun selama perawatan di RS sebelumnya pasien dapat BAK. Sebelumnya, pasien
merasakan frekuensi dan jumlah BAK berkurang sejak 1-2 bulan SMRS dan warna urin menjadi
lebih pekat. Pasien juga mengeluhkan lemas, nafsu makan menurun, disertai penurunan berat
badan sejak 1-2 bulan SMRS. Pasien menyangkal keluhan bengkak pada lengan, tungkai, atau
wajah. Pasien menyangkal keluhan nyeri dada. Pasien juga menyangkal adanya gangguan BAB.

Riwayat penyakit dahulu

 Riwayat diabetes melitus (+) sejak 13 tahun terakhir, pasien mendapatkan pengobatan
Gliquidone 3 x 30 mg po. Pasien mengaku kontrol rutin ke puskesmas setiap minggu.
 Riwayat asam urat dan kolesterol (+), pasien mendapatkan obat dan dari puskesmas
namun tidak mengingat nama obat tersebut.
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat penyakit ginjal sebelumnya (-)
 Riwayat penyakit jantung sebelumnya (-)
Riwayat penyakit keluarga

 Kakak perempuan pasien menderita CKD, DM, hiperkolesterolemia, dan meninggal


dalam perawatan di RS sesaat sebelum hemodialisis.
Riwayat kebiasaan

 Pasien tidak berolahraga


 Pasien tidak mengatur jenis makanan yang dimakan ataupun mengatur pola makan
 Pasien tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol.

2. Objektif: (pemeriksaan dilakukan pada tanggal 12 Maret 2019)


Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4M6V5
Kesan sakit : tampak sakit sedang
Kesan gizi : tampak gizi kurang
Sianosis :-
Ikterik :-
Dehidrasi :-
Ascites :-
Edema :-
Mobilitas : Aktif
Sikap penderita : Kooperatif

Tanda vital
Tekanan darah : 105/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit, regular, teraba kuat
Suhu : 36,4 oC
Respirasi : 22 x/menit

Saturasi O2 : 99% dengan O2


Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 17,58 kg/m2 (status gizi kurang)

Status generalis
Kepala : normosefali, rambut hitam distribusi merata
Wajah : simetris, edema (-)
Mata : edema palpebra -/-, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Telinga : nyeri tarik aurikula -/-, nyeri tekan tragus -/-, sekret -/-
Hidung : deformitas (-), sekret -/-
Mulut : mukosa bibir basah, faring tidak hiperemis, Tonsil: T1/T1
Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar, JVP 5+2 cm
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea axillaris anterior sinistra, thrill (-)
Perkusi : batas atas jantung di ICS III linea parasternalis sinistra
batas kiri jantung di ICS V linea axilaris anterior sinistra
batas kanan jantung di ICS IV linea sternalis dextra
Auskultasi : SI/SII regular, murmur (-), gallop (-)

Paru :
Inspeksi : gerak napas tampak simetris, retraksi otot pernapasan -
Palpasi : gerak napas teraba simetris
Perkusi : Sonor pada lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, ronki basah halus di basal paru +/+, wheezing -/-

Abdomen :
Inspeksi : tampak datar
Auskultasi : bising usus 6 kali /menit
Perkusi : timpani
Palpasi : teraba supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), shifting dullness (-), hepar dan lien
tidak teraba.

Genitourinaria : terpasang foley kateter Fr 16, urin kuning jernih


Ekstremitas atas: akral hangat, edema -/-
Ekstremitas bawah: akral hangat, edema -/-

Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
6/3/2019
Hematologi
-Darah Rutin
Variable Hasil Nilai Normal
Hemoglobin (g/dL) 8.5 14-16
Hematokrit (%) 25 42.0-48.0
Jumlah Leukosit (/uL) 12.000 5.000-10.000
Jumlah Trombosit (/uL) 246.000 150.000-450.000
-Kimia Klinik
Variable Hasil Nilai Normal
Glukosa Darah 182 <200
Sewaktu (mg/dl)
Trigliserida 392 <175
Kolesterol Total 174 <200
HDL 15 45-65
LDL 81 <100
Asam Urat 13,05 2-7

-Fungsi Ginjal
Variable Hasil Nilai Normal
Ureum (mg/dl) 191 17-43
Kreatinin (mg/dl) 6,98 0.6-1.1

8/3/2019
Hematologi
-Darah Lengkap
Variable Hasil Nilai Normal
Hemoglobin (g/dL) 7.8 14-16
Hematokrit (%) 23 42.0-48.0
Jumlah Leukosit (/uL) 14.500 5.000-10.000
Jumlah Trombosit (/uL) 228.000 150.000-450.000

Kimia Klinik
Variable Hasil Nilai Normal
Glukosa Darah 208 <200
Sewaktu (mg/dl)

Fungsi Ginjal
Variable Hasil Nilai Normal
Ureum (mg/dl) 179 17-43
Kreatinin (mg/dl) 6,41 0.6-1.1

-Elektrolit
Variable Hasil Nilai Normal
Natrium (mmol/L) 126 134-146
Kalium (mmol/L) 4.9 3.4-4.5
Klorida (mmol/L) 100 96-108

Hasil EKG (10/3/2019): sinus rhythm, HR: 75x/menit, dalam batas normal
Hasil Radiologi (11/3/2019)

Deskripsi Radiologis
Kesan: jantung normal, bronkopneumonia kanan

3. Assessment :
Resume:
Pasien dirujuk dari Rumkital Marinir Cilandak pada 9 Maret 2019 untuk hemodialisis dengan
diagnosis Acute on CKD, Anemia, Bacterial infection, DM tipe II, Hipertrigliseridemia, dan
Hiperurisemia. Saat masuk RSAL Mintohardjo, pasien mengatakan bahwa sesak dirasakan tidak
membaik selama perawatan sebelumnya. Sesak dirasakan terus-menerus, dirasakan lebih berat
saat berbaring terlentang, membaik bila dalam posisi duduk. Batuk kering (+) sejak 1 hari SMRS.
Demam (-). Mual (+), muntah (-). Pada 4 hari SMRS, BAK (+) dalam 24 jam, namun selama
perawatan di RS sebelumnya pasien sudah BAK. Frekuensi dan jumlah BAK menurun sejak 1-2
bulan SMRS. Lemas, penurunan nafsu makan, dan berat badan sejak 1-2 bulan SMRS. Bengkak,
nyeri dada, gangguan BAB (-).
Riwayat DM (+) selama 13 tahun, rutin kontrol dan minum obat gliquidone 3 x 30 mg. Riwayat
asam urat dan kolesterol (+). Riwayat penyakit jantung, ginjal, dan hipertensi (-). Kakak pasien
CKD (+), DM (+), hiperkolesterolemia (+), meninggal sebelum sempat hemodialisis. Pasien tidak
berolahraga dan tidak mengatur jenis dan pola makan.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis,
tanda-tanda vital: tekanan darah 105/70 mmHg, nadi: 88 x/menit, suhu: 36,4 oC dan respirasi: 22
x/menit. Status gizi kurang. Pada pemeriksaan fisik mata didapatkan konjungtiva anemis +/+.
Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan ronki basah halus di basal paru +/+. Pasien terpasang
foley kateter dengan urin kuning jernih.
Diagnosis Kerja:
 Acute on Chronic Kidney Disease
 Anemia suspek ec. CKD
 DM tipe II
 Hipertrigliseridemia
 Hiperurisemia

4. Plan

Tatalaksana:
o Venflon saja, stop infus
o Lasix pump 10 mg/jam
o Gliquidone 2 x 30 mg tab
o Allopurinol 1 x 300 mg tab
o Asam folat 3 x 1 tab
o Natrium bicarbonate 3 x 1 tab
o CaCO3 3 x 1 tab
o Ceftriaxone stop  Cefoperazone 2 x 1 g IV
o Pasang kateter
BAB I
PENDAHULUAN

Acute Kidney Injury (AKI) didefinisikan sebagai gangguan fungsi filtrasi dan ekskresi ginjal
selama beberapa hari hingga beberapa minggu, menyebabkan retensi zat sisa nitrogen dan zat sisa
lainnya yang seharusnya dibuang oleh ginjal. Sementara itu, Chronic Kidney Disease (CKD)
meliputi suatu serangkaian proses patofisiologi yang berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan penurunan GFR. AKI berkaitan dengan risiko terjadinya CKD, sementara CKD
merupakan faktor risiko suatu pasien mengalami AKI.

AKI seringkali terjadi pada pasien yang mengalami CKD, ditandai dengan peningkatan
kadar ureum dan kreatinin darah yang mendadak, melebihi laju penurunan GFR yang terjadi pada
CKD. Pada pasien yang telah mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, asam-basa,
anemia, gangguan metabolik tulang, komplikasi kardiovaskuler, dan lain sebagainya yang terjadi
pada pasien dengan CKD, eksaserbasi akut dari AKI dapat berhubungan dengan penurunan fungsi
ginjal yang lebih berat, mempengaruhi morbiditas atau bahkan mortalitas secara signifikan.

Sebagai dokter umum, penting untuk dapat mendeteksi gejala dan tanda AKI serta CDK
yang dikemukakan oleh pasien, sehingga dokter dapat menegakkan diagnosis dengan tepat sehingga
memutuskan tatalaksana yang tepat pula. Oleh karena itu, harus pula dipahami etiologi, klasifikasi,
patofisiologi, cara mendiagnosis, serta penentuan tatalaksana yang tepat berdasarkan gejala dan
tanda tersebut, terutama dalam penanganan awal dan pengenalan kondisi yang perlu ditangani
dengan hemodialisis.

Oleh karena itu, dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai kasus Acute on Chronic
Kidney Disease beserta tinjauan pustaka mengenai AKI dan CKD secara menyeluruh, dengan
harapan meningkatkan kompetensi dokter umum dalam mendiagnosis dan mendeteksi AKI dan
CKD dengan tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Acute Kidney Injury (AKI)

3.1.1 Definisi

AKI didefinisikan sebagai gangguan fungsi filtrasi dan ekskresi ginjal selama beberapa hari
hingga beberapa minggu, menyebabkan retensi zat sisa nitrogen dan zat sisa lainnya yang
seharusnya dibuang oleh ginjal. AKI merupakan suatu kondisi di mana terdapat peningkatan
konsentrasi kreatinin serum yang seringkali berhubungan dengan penurunan volume urine. Pasien
yang mengalami AKI dapat mengalami atau tidak mengalami kelainan pada perenkim ginjal. AKI
bisa asimtomatik hingga dapat menyebabkan keseimbangan volume, elektrolit, dan asam basa.

3.1.2 Etiopatofisiologi & Faktor Risiko

Secara tradisional, penyebab AKI dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu
azotemia prerenal, kelainan intrinsik parenkim ginjal, dan obstruksi postrenal.

Gambar 3.1. Penyebab AKI

3.1.2.1. Azotemia prerenal


Azotemia prerenal merupakan penyebab tersering dari AKI. Peningkatan kreatinin serum
atau BUN disebabkan tidak adekuatnya aliran darah ginjal dan tekanan hidrostatik intraglomerular
untuk memungkinkan terjadinya filtrasi. Kondisi klinis tersering yang dapat menyebabkan
mekanisme tersebut antara lain hipovolemia, penurunan curah jantung, dan obat-obatan yang dapat
mengganggu autoregulasi pembuluh darah ginjal seperti NSAID dan penghambat Angiotensin II.
Secara definitif, pada azotemia prerenal tidak terjadi kerusakan intrinsik ginjal, sehingga fungsi
ginjal akan kembali normal bila aliran darah ginjal adekuat. Namun, seringkali azotemia prerenal
terjadi bersamaan dengan kelainan intrinsik ginjal. Azotemia prerenal berkepanjangan dapat
menimbulkan iskemia tubuler dan menyebabkan nekrosis tubuler akut.
GFR ditentukan oleh aliran darah ginjal dan resistensi arteriol aferen dan eferen glomerulus.
Penurunan volume atau curah jantung yang ringan mencetuskan respon autoregulasi ginjal.
Vasokonstriksi perifer akan terjadi bersamaan dengan reabsorbsi air dan natrium sebagai akibat dari
penurunan volume atau curah jantung yang bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah dan
volume intravaskuler yang adekuat untuk otak dan A. coronaria. Respon vasokonstriksi ini
diperantarai oleh angiotensin II, norepinefrin, dan ADH. Walaupun aliran darah ke ginjal menurun,
filtrasi glomerulus dapat dipertahankan dengan adanya vasokonstriksi arteriol eferen yang
diperantarai oleh angiotensin II, sehingga GFR tidak mengalami penurunan yang terlalu besar.
Selain itu, terjadi pula refleks miogenik pada arteriol aferen yang menyebabkan terjadinya dilatasi
apabila tekanan perfusi ginjal rendah, sehingga mempertahnakan aliran darah ke ginjal. Kemudian,
adanya umpan balik tubuloglomerular juga menyebabkan dilatari arteriol aferen yang dimediasi
oleh NO. Namun demikian, mekanisme autoregulasi biasanya mengalami kegagalan apabila TD
sistolik <80 mmHg.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi mekanisme autoregulasi ginjal, misalnya
aterosklerosis, hipertensi, dan usia tua yang menyebabkan penyempitan arterior intrarenal dan
gangguan vasodilatasi arteriol aferen. Pada pasien CKD, respon vasodilatasi terjadi secara maksimal
untuk mempertahankan GFR. Obat-obatan juga mempengaruhi mekanisme autogergulasi. NSAID
menghambat produksi prostaglandin ginjal, sehingga menurunkan respon vasodilatasi arteriol
aferen. ACE-I dan ARB menghambat vasokonstriksi eferen ginjal. Kombinasi NSAID dengan
ACE-I atau ARB dapat meningkatkan risiko azotemia prerenal. Pasien dengan penyakit hepar
kronis juga berisiko mengalami azotemia prerenal. Hal ini disebabkan adanya penurunan resistensi
perifer dikarenakan vasodilatasi sirkulasi splanknik pada penyakit hepar kronis, sehingga pada
akhirnya mencetuskan respon vasokonstriksi ginjal. Peristiwa ini dikenal sebagai sindrom
hepatorenal.

3.1.2.2. Kelainan instrinsik ginjal


Penyebab AKI instrinsik tersering adalah sepsis, iskemia, dan nefrotoksin yang
menyebabkan kelainan pada pembuluh darah besar, pembuluh darah glomerulus, tubulus,
intratubulus, atau interstisium ginjal. Azotemia prerenal yang berkepanjangan juga dapat
menyebabkan nekrosis tubuler akut. Selain disebabkan oleh iskemia, nekrosis tubuler akut juga
dapat disebabkan oleh toksin dan sepsis.
Efek hemodinamik sepsis yang berasal dari vasodilatasi arteri sistemik yang diperantarai
oleh sitokin yang mempengaruhi NO sintase, dapat menyebabkan penurunan GFR. Mekanisme
tersebut dapat dikarenakan vasodilatasi arteriol eferen yang berlebihan, terutama pada onset awal
sepsis. Mekanisme lain ialah vasokonstriksi yang disebabkan oleh sistem RAA. Selain itu, sepsis
dapat menyebabkan kerusakan endotel yang menyebabkan peningkatan adhesi dan migrasi leukosit,
thrombosis, peningkatan permeabilitas, peningkatan tekanan interstisial, penurunan aliran darah
tubulus, serta aktivasi ROS yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan tubulus.
Ginjal merupakan salah satu organ yang rentan mengalami hipoksia. Bagian medulla luar
rentan terhadap iskemia dikarenakan arsitektur pembuluh darah yang memperdarahi tubulus. Di
medulla luar, reaksi leukosit-endotel di pembuluh darah menyebabkan inflamasi dan penurunan
aliran darah lokal pada tubulus proksimal yang sangat bergantung pada metabolisme oksidatif.
Iskemia juga berhubungan dengan terbentuknya ROS yang meningkatkan kerusakan tubulus.
Iskemia sendiri pada umumnya tidak menyebabkan AKI yang berat. Secara klinis, AKI terjadi
apabila iskemia terjadi pada pasien dengan CKD atau usia tua, atau adanya sebab lain seperti sepsis,
obat-obatan vasoaktif atau nefrotoksik, rhabdomyolisis, atau respon inflamasi sistemik akibat luka
bakar atau pankreatitis. Vasokontriksi preglomerular persisten merupakan penyebab umum
penurunan GFR pada AKI yang disebabkan oleh peningkatan antaran solute pada makula densa
pasca terjadinya kerusakan tubulus proksimal, peningkatan tonus vaskuler, serta penurunan respon
vasodilatasi. Penurunan GFR dapat pula disebabkan oleh backleak filtrate dan obstruksi tubuler
yang disebabkan oleh sisa jaringan nekrotik.
Ginjal sangat rentan terhadap agen nefrotoksik karena perfusi darah yang dan konsentrasi zat
nefrotoksik yang tinggi pada nefron dan interstisum medulla. Baik tubulus, interstitium, atau endotel
ginjal dapat mengalami kerusakan akibat zat nefrotoksik. Seperti AKI pada umumnya, faktor risiko
nefrotoksisitas antara lain usia tua, CKD, dan azotemia prerenal. Untuk beberapa obat tertentu,
hipoalbuminemia termasuk salah satu faktor risiko karena menyebabkan peningkatan kadar obat
yang bebas dalam plasma. Nefrotoksin eksogen yang paling sering menyebabkan AKI antara lain
zat kontras yang mengandung iodin, antibiotik tertentu (vancomycin, aminoglikosida, dan
amfoterisin B), paparan berulang terhadap antibiotik penisilin, sefalosporin, kuinolon, sulfonamid,
rifampin, antivirus (asiklovir, foscarnet, pentamidine, tenofovir, cidofovir), agen kemoterapi
(cisplatin, karboplatin, ifosfamide, bevacizumab, mitomycin C, gemcitabine), dan etilen glikol.
Terdapat pula nefrotoksin yang bersifat endogen seperti myoglobin, hemoglobin, asam urat, dan
tumor lysis syndrome pada myeloma. Selain itu, terdapat pula reaksi alergi obat yang dapat
menimbulkan AKI, antara lain alergi terhadap PPI dan NSAID.

3.1.2.3. AKI Postrenal


AKI postrenal terjadi ketika aliran urin mengalami hambatan akut secara parsial atau total,
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik retrograde yang mengganggu filtrasi glomerulus.
Peningkatan tekanan intratubuler secara mendadak menyebabkan perubahan hemodinamik berupa
hiperemia sebagai akibat dari dilatasi arteriol aferen yang segera diikuti oleh vasokonstriksi sebagai
respon dari sistem RAA dan penurunan produksi NO. Perfusi glomerulus kemudian mengalami
penurunan sehingga laju filtrasi menurun.
Obstruksi dapat terjadi baik secara fungsional ataupun structural pada pelvis renalis hingga
ujung uretra. Aliran urin normal tidak dapat menyingkirkan obstruksi parsial, karena preservasi UO
dapat masih terjaga pada obstruksi parsial. Pada individu dengan dua ginjal yang fungsional,
obstruksi harus terjadi pada kedua ginjal untuk dapat menyebabkan peningkatan kreatinin serum
yang signifikan. AKI dapat terjadi pada kasus obstruksi unilateral pada penderita CKD atau
vasospasme dari pembuluh darah ginjal kontralateral. Obstruksi yang sering terjadi ialah obstruksi
leher kandung kemih yang disebabkan oleh gangguan prostat, neurogenic bladder, atau penggunaan
obat antikolinergik. Obstruksi dapat terjadi pula akibat striktur uretra atau sumbatan pada kateter
urin. Obstruksi ureter dapat terjadi akibat obstruksi intralumen (misalkan karena batu, bekuan
darah), infiltrasi dinding ureter (misalkan karena neoplasma), atau kompresi eksternal (misalkan
fibrosis, neoplasma, abses, postoperatif).

Menurut Guidelines AKI KDIGO 2012, terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan
kecenderungan terjadinya AKI, antara lain dehidrasi, usia lanjut, jenis kelamin wanita, etnis kulit
hitam, CKD, penyakit jantung, paru, atau hati kronis, DM, kanker dan anemia. Interaksi antara
paparan terhadap etiologi dan adanya faktor risiko meningkatkan kecenderungan terjadinya AKI.
DM merupakan faktor risiko tersering yang ditemukan pada pasien AKI dan CKD. DM
dapet mencetuskan gangguan fungsi ginjal melalui 2 mekanisme. Mekanisme pertama ialah
mekanisme mikrovaskulopati. Pada hiperglikemia yang akut (relatif terjadi dalam waktu yang masih
singkat) telah terjadi penumpukan advanced glycation end products (AGEs) di glomerulus yang
menyebabkan penurunan produksi NO, sehingga menurunkan respon vasodilatasi dan pada akhirnya
menurunkan GFR. Hiperglikemia juga menyebabkan penuaan sel endotel glomerulus atau stress-
induced premature senescence (SIPS) yang menyebabkan penurunan fungsi sel endotel. Hal ini
diduga disebabkan oleh pemendekan telomere dan kerusakan DNA yang disebabkan oleh akumulasi
ROS. Hiperglikemia secara tidak langsung berhubungan pula dengan kejadian aterosklerosis yang
dapat terjadi pada pembuluh darah ginjal, menyebabkan penyempitan lumen dan penurunan aliran
darah ke ginjal.

Gambar 3.2. Konsekuensi mikrovaskulopati DM terhadap AKI dan CKD


Mekanisme lain yang mempengaruhi terjadinya AKI yang secara langsung dipengaruhi oleh
DM ialah nefropati diabetik. Hiperglikemia kronik menyebabkan perubahan struktural ginjal yang
unik, antara lain berupa glomerulosklerosis yang ditandai dengan peningkatan ketebalan membran
basalis glomerulus, sklerosis mesangial difus, hyalinosis, mikroaneurisma, dan hyalinisasi.
Perubahan struktural tersebut menyebabkan kelainan berupa mikroalbuminuria dan
makroalbuminuria. Adanya perubahan struktural dan fungsional dari ginjal meningkatkan risiko
terjadinya AKI. Hiperfiltrasi, mikroalbuminuria, dan peningkatan tekanan darah dapat saja mulai
terjadi sejak 5 tahun menderita DM. Proteinuria pada umumnya mulai terjadi setelah 20 tahun
menderita DM, hingga mencapai CKD stage V setelah 30 tahun.

3.1.3. Manifestasi Klinis & Diagnosis

3.1.3.1. Kriteria Diagnosis dan Klasifikasi AKI


AKI dapat didiagnosis dengan peningkatan konsentrasi serum kreatinin atau penurunan UO.
AKI saat ini didefinisikan sebagai peningkatan baseline serum kreatinin minimal sebesar 0,3 mg/dL
dalam 48 jam atau minimal >50% baseline dalam waktu 1 minggu, atau penurunan UO <0,5
mL/kg/jam selama lebih dari 6 jam. Berdasarkan kriteria ini, maka tidak semua penderita AKI
mengalami kerusakan tubulus atau glomerulus. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dapat
mempersempit diagnosis banding yang merupakan penyebab AKI.
Untuk menyetarakan definisi AKI, Acute Dialysis Quality Initiative mengklasifikasikan AKI
berdasarkan kriteria RIFLE menjadi tiga grade, yaitu risk (R), injury (I), dan failure (F) dan dua
kelas, yaitu loss (L) dan end-stage kidney disease (E). Klasifikasi ini didasarkan pada perubahan
kreatinin serum atau UO dari baseline. Apabila nilai baseline tidak diketahui dan pasien tidak
memiliki riwayat CKD, maka direkomendasikan untuk menghitung kreatinin serum baseline
menggunakan persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) untuk menilai fungsi
ginjal, diasumsikan bahwa GFR 75 mL/menit/1,73 m2:
eGFR =175 x (SCr)-1.154 x (usia)-0.203 x 0.742 [bila perempuan] x 1.212 [bila kulit hitam]
Baku emas pengukuran GFR ialah mengukur bersihan inulin yang tidak dapat dikerjakan
secara rutin dalam pemeriksaan sehari-hari karena teknik pemeriksaan yang sulit. Rumus lain yang
dapat digunakan dalam penghitungan fungsi ginjal adalah rumus Cockroft & Gault. Rumus ini
dibuat berdasarkan fakta bahwa ekskresi kreatinin menggambarkan GFR. Namun demikian,
kelemahan kedua rumus ini ialah terjadi overestimasi GFR dikarenakan kreatinin tidak hanya
difiltrasi oleh glomerulus, tetapi juga disekresikan oleh tubulus, sehingga nilai eGFR yang dihitung
berdasarkan bersihan kreatinin ini cenderung lebih rendah dibandingkan GFR yang sesungguhnya.
CrCl = [{(140-usia) x BB] / (72 x SCr)}] x 0,85 [bila perempuan]

Keterangan:
 eGFR : estimated GFR (mL/menit/1,73 m2)
 CrCl : creatinine clearance (mL/menit/1,73 m2)
 SCr : kreatinin serum (mg/dL)

Gambar 3.3. Kriteria RIFLE


AKI penting untuk dibedakan dengan CKD. AKI akan mudah dibedakan dengan CKD
apabila tersedia data baseline serum kreatinin. Namun, tanpa adanya data tersebut maka keduanya
sulit dibedakan. Pemeriksaan serum kreatinin juga memiliki kendala, khususnya pada populasi
lansia. Pada lansia yang mengalami atrofi otot dan asupan proteinnya rendah, baseline kreatinin
serumnya lebih rendah, sehingga penurunan fungsi ginjal dapat tidak terdeteksi dengan nilai
ambang batas yang dipakai. Saat ini terdapat penanda lain selain kreatinin yang dapat pula
menggambarkan fungsi ginjal, antara lain cystatin C, IL-18, neutrophil gelatinase-associated
lipocalin, dan kidney injury molecule-1, namun belum digunakan secara luas. Petanda sugestif CKD
dapat didapatkan melalui teknik pencitraan (atrofi ginjal dengan penipisan korteksi pada USG, atau
adanya bukti osteodistrofi ginjal), atau pemeriksaan laboratorium (anemia normositik normokromik
yang tidak disebabkan oleh perdarahan, atau hiperparatiroidisme sekunder dengan hiperfosfatemia
dan hipokalsemia). Namun demikian, tidak ada pemeriksaan yang dapat menyingkirkan AKI yang
bertumpang tindih dengan CKD karena AKI merupakan komplikasi yang sangat umum terjadi pada
pasien dengan CKD.

3.1.3.2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Adanya riwayat muntah, diare, glikosuria yang menyebabkan polyuria, dan penggunaan
obat-obatan termasuk diuretik, NSAID, ACE-I dan ARB mengarahkan ke penyebab prerenal. Tanda
yang didapatkan dari pemeriksaan fisik antara lain hipotensi ortostatik, takikardi, penurunan JVP,
penurunan turgor kulit, dan mukosa oral kering. Riwayat CHF, penyakit liver kronis, dan sindroma
nefrotik dapat berhubungan dengan penurunan aliran darah ginjal dan perubahan hemodinamik
ginjal yang menyebabkan penurunan GFR. Adanya riwayat gangguan vaskuler juga meningkatkan
kemungkinan adanya gangguan pada A. renalis, khususnya apabila didapatkan asimetri antara kedua
ginjal. Tanda gangguan vaskuler termasuk livedo reticularis dan tanda emboli lainnya yang dapat
ditemukan di tungkai.
Riwayat penyakit prostat, nefrolitiasis, keganasan di rongga panggul atau paraaorta
mengarahkan ke penyebab postrenal. Ada tidaknya gejala bergantung pada lokasi obstruksi. Nyeri
kolik yang menjalar ke lipat paha menunjukkan obstruksi ureter akut. Nokturia dan frekuensi atau
hesitansi dapat ditemukan pada gangguan prostat. Rasa penuh pada abdomen dan nyeri suprapubik
dapat menyertai pembesaran kandung kemih. Diagnosis pasti obstruksi memerlukan pemeriksaan
pencitraan.
Riwayat penggunaan obat-obatan mutlak diinvestigasi pada pasien dengan AKI. Tidak
hanya obat-obatan nefrotoksik, tetapi obat-obatan lain harus disesuaikan dosisnya dengan fungsi
ginjal. Perlu diperhatikan bahwa penurunan GFR yang sesungguhnya tidak dapat direfleksikan dari
estimated GFR (eGFR) karena perhitungan tersebut didasarkan pada kreatinin serum yang
memerlukan pasien dalam keadaan stabil. Reaksi idiosinkrasi juga dapat menimbulkan nefritis
interstisial yang menimbulkan gejala demam, nyeri sendi, atau kemerahan kulit yang gatal.
AKI yang disertai gejala purpura, perdarahan pulmoner, atau sinusitis meningkatkan
kemungkinan terjadinya vaskulitis sistemik dengan glomerulonephritis. Riwayat penyakit autoimun
seperti SLE pada penderita AKI menandakan perburukan dari penyakit tersebut. Pada wanita hamil,
preeclampsia dapat berkontribusi dalam terjadinya AKI. Perut yang tegang merupakan pertanda
sindrom kompartemen abdomen akut. Tanda iskemia tungkai dapat membantu diagnosis
rhabdomyolysis.

Gambar 3.4. Manifestasi klinis dari penyebab utama AKI

3.1.3.3. Pemeriksaan Penunjang


 Urinalisis
Anuria pada awal perjalanan penyakit AKI jarang ditemukan kecuali dalam kondisi
obstruksi total traktus urinarius, oklusi arteri ginjal, sepsis berat, iskemia berat,
glomerulonefritis proliferatif berat, atau vaskulitis. UO yang semakin kecil berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk. Urin kemerahan atau cokelat meningkatkan kecurigaan
adanya rhabdomyolysis atau hemolisis.
AKI karena iskemia atau nefrotoksin seringkali menyebabkan proteinuria ringan (<1
g/hari). Proteinuria yang berat pada AKI menggambarkan kerusakan terhadap glomerulus
atau ekskresi light chain myeloma. Proteinuria yang sangat berat (>3,5 g/hari) berkaitan
dengan glomerulonephritis, vaskulitis, atau toksin/obat yang dapat merusak glomerulus dan
tubulointerstisial.
Adanya eritrosit pada sedimen urin meningkatkan kecurigaan terhadap
rhabdomiolisis atau hemolisis. Azotemia prerenal dapat menimbulkan sedimen berupa
silinder hialin. Hematuria dan piuria dapat ditemukan pada AKI postrenal. AKI akibat
nekrosis tubuler akut memberikan gambaran yang khas, yaitu silinder granuler berpigmen
cokelat seperti lumpur dan silinder epitel tubuler. Glomerulonefritis dapat menyebabkan
perubahan bentuk sel darah merah atau adanya silinder eritrosit, sementara nefritis
interstisial dapat menimbulkan silinder leukosit. Adanya kristal tertentu di urin dapat
mengarah ke suatu diagnosis. Kristal oksalat merupakan salah satu petanda toksisitas etilen
glikol, sementara kristal asam urat dapat ditemukan pada tumor lysis syndrome.
 Pemeriksaan Darah
Waktu peningkatan dan penurunan kreatinin serum bervariasi bergantung pada
sebabnya. Azotemia prerenal menyebabkan peningkatan ringan yang segera kembali ke
baseline dengan perbaikan hemodinamik. Nefropati akibat kontras menyebabkan
peningkatan dalam waktu 24-48 jam, memuncak pada 3-5 hari, dan menurun kembali pada
5-7 hari. Toksin seperti antibiotik aminoglikosida dan cisplatin dapat menunda peningkatan
kreatinin selama 3-5 hari hingga 2 minggu dari paparan awal.
Pemeriksaan darah lengkap dapat membantu diagnosis. Anemia umum ditemukan
pada AKI, namun tidak disebabkan secara langsung dengan AKI dan penyebabnya biasanya
multifaktorial, salah satunya termasuk gangguan eritropoiesis pada CKD. Sebaliknya,
anemia dapat meningkatkan risiko terjadinya AKI, khususnya pada keadaan iskemik.
Anemia berat tanpa perdarahan mungkin menandakan adanya hemolisis, multiple myeloma,
atau mikroangiopati trombotik seperti HUS dan TTP.
AKI dapat menimbulkan gangguan elektrolit seperti hyperkalemia, hiperfosfatemia
dan hipokalsemia. Hiperfosfatemia berat dengan hipokalsemia cenderung mengarahkan
diagnosis ke rhabdomyolisis atau tumor lysis syndrome. Asidosis metabolik dengan anion
gap dapat meningkat sebagai akibat dari retensi anion fosfat, hipurat, sulfat, dan urat,
sementara anion gap yang rendah menunjukkan kemungkinan adanya multiple myeloma
karena keberadaan kation yang tak terukur. Pemeriksaan darah lainnya seperti kadar
komplemen, ANA, ANCA, Anti-GBM dan krioglobulin dapat membantu diagnosis
glomerulonephritis dan vaskulitis.
Terkait dengan keterbatasan ureum dan kreatinin dalam memprediksi kerusakan
jaringan ginjal, beberapa biomarker baru telah dikembangkan. Pada kasus AKI dengan
oliguria, tes bolus furosemide 1-1,5 mg/kg dapat digunakan sebagai uji prognostik. Jumlah
urin kurang dari 200 mL dalam 2 jam setelah bolus menandakan progresi AKI dan
meningkatkan kecenderungan dibutuhkannya terapi pengganti ginjal. Pemeriksaan sedimen
urin juga menentukan prognosis. Keberadaan silinder epitel atau silinder granuler pada
sedimen urin menandakan kerusakan yang berat pada jaringan ginjal. Biomarker protein
baru kini sedang dikembangkan, yaitu kidney injury molecule-1 (KIM-1) dan neutrophil
gelatinase associated lipocalin (NGAL). KIM-1 merupakan biomarker kerusakan tubuler
yang pada umumnya disebabkan oleh iskemia dan nefrotoksin. NGAL merupakan petanda
inflamasi dan kerusakan ginjal.
 Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Pemeriksaan tertentu dapat membedakan penyebab azotemia prerenal dengan
penyebab intrinsik di mana terjadi kelainan tubuler. Penurunan aliran tubuler dan
peningkatan recycling urea di medulla pada azotemia prerenal menyebabkan peningkatan
BUN yang lebih tinggi dibandingkan kreatinin. Namun peningkatan yang tidak sebanding
tersebut dapat pula disebabkan perdarahan saluran cerna atas, nutrisi parenteral total,
peningkatan katabolisme jaringan, dan penggunaan kortikosteroid.
FeNa (Fractional Excretion of Sodium) menggambarkan fraksi natrium terfiltrasi
yang direabsorbsi oleh tubulus. FeNa menggambarkan kemampuan reabsorbsi natrium serta
faktor lain yang mempengaruhi reabsorbsi tubuler. Pada azotemia prerenal, FeNa <1%
menandakan reabsorbsi tubuler yang meningkat. FeNa yang rendah juga bisa ditemukan
pada glomerulonephritis. FeNA >1% bisa terjadi pada pasien CKD atau penggunaan
diuretik. Pada AKI iskemik, FeNa seringkali >1% dikarenakan terjadinya kerusakan tubulus
sehingga terjadi gangguan reabsorbsi natrium. Maka, dapat dikatakan bahwa FeNa sugestif
terhadap deplesi volume intravaskuler.
 Pencitraan
Teknik pencitraan dengan USG atau CT-scan ginjal dapat dilakukan untuk
menginvestigasi obstruksi pada pasien dengan AKI. Temuan adanya obstruksi berupa
dilatasi sistem tubulus dan hidroureteronefrosis. Obstruksi dapat terjadi tanpa adanya
abnromalitas radiologi pada keadaan deplesi volume, fibrosis retroperitoneal, adanya tumor,
atau pada fase awal dari obstruksi. Apabila terdapat kecurigaan terhadap obstruksi walaupun
pencitraannya normal, maka perlu dilakukan pielografi anterograd atau retrograd. Pencitraan
juga membantu menilai ukuran dan ekogenisitas ginjal yang membantu membedakan AKI
dan CKD. Pada CKD, ginjal berukuran lebih kecil kecuali pada pasien dengan nefropati
diabetic, nefropati HIV, atau penyakit infiltratif. Pada AKI, ginjal seharusnya berukuran
normal. Pembesaran ginjal pada AKI sugestif terhadap nefritis interstisial akut atau penyakit
inflitratif. Pencitraan terhadap vaskuler dapat dilakukan apabila terdapat kecurigaan akan
adanya obstruksi arteri atau vena ginjal. MRI dengan kontras gadolinium sebaiknya
dihindari pada AKI karena dapat mencetuskan fibrosis ginjal.
 Biopsi
Biopsi hanya dilakukan apabila melalui pemeriksaan klinis, laboratorium, dan
pencitraan tidak bisa menjelaskan sebab AKI. Biopsi dapat menegakkan diagnosis dan
menentukan prognosis AKI dan CKD. Biopsi biasanya dilakukan apabila sebab azotemia
prerenal, AKI postrenal, dan AKI nefrotoksik dan iskemik telah disingkirkan, dan adanya
sebab lain yang memungkinkan seperti glomerulonefritis, vaskulitis, nefritis interstisial,
myeloma, HUS, TTP, atau disfungsi allograft.

3.1.4. Komplikasi

Beberapa komplikasi AKI terkait dengan gangguan fungsi ginjal dalam mengatur
homeostasis volume, elektrolit, asam-basa, dan ekskresi zat sisa nitrogen, antara lain:

 Uremia, terjadi sebagai akibat penumpukan zat sisa nitrogen sehingga meningkatkan kadar
ureum darah / BUN. BUN tidak menimbulkan gejala pada kadar <100 mg/dL. Pada kadar
yang lebih tinggi, dapat terjadi penurunan kesadaran dan perdarahan. Gejala toksisitas
lainnya bergantung pada toksisitas zat yang diekskresi melalui ginjal. Kumpulan gejala
toksisitas tersebut secara kolektif disebut uremia.
 Hipervolemia dan hipovolemia. Hipervolemia merupakan konsekuensi dari oliguria/anuria,
dikarenakan gangguan ekskresi air dan natrium. Gejala dapat berupa peningkatan berat
badan, edema, peningkatan JVP, dan edema paru. Edema paru dapat terjadi pula karena
kelebihan cairan dan perdarahan akibat sindrom pulmoner renal. AKI menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler sehingga meningkatkan perpindahan cairan ke
rongga alveolar. Penelitian lebih lanjut telah membuktikan dampak AKI lainnya yang
dikatakan sebagai edema pulmoner nefrogenik. Peningkatan regulasi gen proinflamatorik,
overekspresi kemokin, perubahan kanal ion, dan disregulasi apoptosis berhubungan dengan
gangguan sawar alveolus-endotel sehingga turut berperan dalam meningkatkan terjadinya
edema paru. AKI dapat mencetuskan atau memperberat cedera paru dikarenakan
peningkatan permeabilitas vaskuler dan infiltrasi sel radang pada parenkim paru. Pada fase
penyembuhan AKI, terdapat fase polyuria yang disebabkan oleh mekanisme diuresis
osmotik dari urea dan zat sisa lainnya sehingga dapat menimbulkan terjadinya hipovolemia.
 Hiponatremia yang dapat disebabkan oleh pemberian cairan hipotonik atau dekstrose
isotonik yang berlebihan.
 Hiperkalemia terutama terjadi pada rhabdomiolisis, hemolisis, dan tumor lysis syndrome
karena terbebaskannya kalium intrasel dari sel yang mengalami kerusakan. Gejala
hiperkalemia antara lain berupa lemah otot hingga aritmia jantung pada hiperkalemia berat
 Asidosis metabolik, dengan peningkatan anion gap sering terjadi pada AKI, terutama pada
adanya komorbid sepsis, ketoasidosis diabetik, atau asidosis respiratorik
 Hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Hiperfosfatemia biasanya terjadi pada pasien dengan laju
katabolisme tinggi atau AKI yang disebabkan oleh rhabdomiolisis, hemolisis, dan tumor
lysis syndrome. Hipokalsemia dapat terjadi karena deposisi metastatik dari kalsium fosfat,
atau karena gangguan keseimbangan vitamin D, hormon paratiriod, dan FGF-23.
Hipokalsemia dapat menyebabkan parestesia perioral, kram otot, kejang, dan pemanjangan
interval QT pada EKG.
 Perdarahan dan anemia yang disebabkan rendahnya eritropoiesis dan disfungsi trombosit,
semakin berat pada keadaan sepsis, penyakit hati kronis, dan DIC.
 Infeksi
 Gangguan jantung, seperti aritmia, pericarditis, dan efusi pericardium. Kelebihan volume
dan uremia dapat menyebabkan kerusakan jantung dan penurunan fungsi jantung.
 Malnutrisi, yang disebabkan oleh keadaan hiperkatabolik

3.1.5. Tatalaksana

Tatalaksana penderita AKI berbeda bergantung pada penyebab yang mendasarinya. Terdapat
beberapa prinsip yang berlaku untuk semua penyebab AKI. Perbaikan hemodinamik, koreksi cairan
dan elektrolit, pemberhentian obat-obatan nefrotoksik, dan penyesuaian dosis obat berlaku untuk
semua penyebab AKI. Banyak pasien AKI yang sebelumnya mengalami CKD tidak pulih sempurna
dan bergantung pada dialysis. Maka, dapat dikatakan AKI mempercepat progresi CKD, dan CKD
adalah faktor risiko yang penting dari AKI.

3.1.5.1. Azotemia prerenal


Pencegahan dan pengobatan azotemia prerenal berupa perbaikan perfusi ginjal. Cairan
pengganti disesuaikan dengan tipe cairan yang hilang. Perdarahan berat diganti dengan PRC.
Perdarahan yang tidak terlalu berat atau hilangnya plasma pada kasus luka bakar dan pankreatitis
diganti dengan cairan kristaloid isotonik atau koloid. HES dikontrandikasikan pada AKI berat.
Pemberian NaCl 0,9% yang berlebihan dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik dan menurunkan
GFR. Bila terjadi asidosis metabolik, dapat digunakan cairan yang mengandung bikarbonat.
Optimisasi fungsi jantung dapat memerlukan obat inotropik, obat-obatan penurun preload dan
afterload, obat antiaritmia, hingga alat pacu jantung.

3.1.5.2. Sirosis dan sindrom hepatorenal


Manajemen cairan pada pasien sirosis, ascites, dengan AKI sulit karena kesulitan menilai
volume intravaskuler. Fluid challenge mungkin diperlukan untuk diagnosis sekaligus terapi.
Pemberian cairan berlebihan dapat memperburuk ascites dan menurunkan fungsi paru. Terapi
definitive sindrom hepatorenal ialah transplantasi hati. Terapi sementara antara lain terlipressin
dikombinasikan dengan octreotide, midodrin, dan norepinefrin, dikombinasikan pula dengan
albumin IV (25-50 g, maksimal 100 g/hari)

3.1.5.3. AKI Intrinsik


Untuk AKI yang disebabkan oleh nekrosis tubuler akut, belum ada obat yang dapat
menunjukkan manfaat. AKI yang disebabkan oleh glomerulonefritis akut atau vaskulitis dapat
merespon dengan baik terhadap agen imunosupresif dan/atau plasmaferesis. Nefritis interstisial
akibat alergi obat dapat ditanggulangi dengan penghentian obat yang terkait disertai penggunaan
steroid. AKI karena scleroderma dapat ditanggulangi dengan ACE-I. TTP-HUS idiopatik harus
ditangani secara cepat dengan terapi penukaran plasma. Pada pasien dengan rhabdomyolysis, cairan
yang banyak dan agresif sangat diperlukan, mencapai 10 L per hari. Pada kasus rhabdomyolysis
yang berat diperlukan dialisis.

3.1.5.4. AKI Postrenal


Diagnosis dini obstruksi serta menghilangkan obstruksi dengan cepat dapat mencegah
terjadinya kerusakan struktural akibat stasis urin. Lokasi obstruksi menentukan tatalaksana. Untuk
striktur uretra dan gangguan kandung kemih, dapat dilakukan kateterisasi melalui uretra atau
suprapubis. Obstruksi ureter dapat ditanggulangi dengan nefrostomi perkutan atau pemasangan stent
ureter.

3.1.5.5. Terapi Suportif


Hipervolemia pada AKI dapat mengancam nyawa karena edema pulmoner akut, terutama
pada pasien dengan komorbid penyakit paru. Cairan dan natrium harus dibatasi disertai penggunaan
obat diuretic. Pada kasus kelebihan cairan yang berat, furosemide dapat diberikan bolus 200 mg
dilanjutkan drip intravena 10-40 mg/jam, dengan atau tanpa diuretik tiazid. Penggunaan diuretic
sebaiknya segera dihentikan apabila tidak ada respon perubahan UO. Dopamin dosis rendah dapat
meningkatkan ekskresi natrium dan air sementara pada kasus AKI prerenal. Namun karena
tingginya risiko aritmia dan iskemia usus, risiko dopamin melebih manfaatnya dalam penanganan
AKI.
Gangguan elektrolit tersering pada AKI ialah hiponatremia dan hiperkalemia. Asidosis
metabolik tidak perlu ditatalaksana kecuali bila berat (pH <7,20 dan HCO3- <15 meq/L). Asidosis
metabolik dapat ditangani dengan pemberian natrium bikarbonat oral atau IV. Hiperfosfatemia
dapat ditangani dengan menghambat absorpsi fosfat usus menggunakan pengikat fosfat (CaCO3,
kalsium asetat, lanthanum, sevelamer, atau alumunium hidroksida). Hipokalsemia tidak perlu
diobati kecuali bergejala.
Malnutrisi energi protein umum ditemukan pada AKI. Nutrisi inadekuat menyebabkan
ketoasidosis dan meningkatkan katabolisme protein. Namun, nutrisi yang berlebih dapat
memperburuk azotemia. Nutrisi parenteral total membutuhkan cairan dalam jumlah banyak dan
dapat menyulitkan kontrol volume. Target asupan energi pada AKI sekitar 20-30 kkal/kg per hari.
Asupan protein disesuaikan dengan derajat keparahan AKI, yaitu 1-1,5 gram/kg/hari pada pasien
dialisis. Mikromineral dan vitamin larut air perlu disuplementasikan pula pada pasien dialisis.
Anemia pada AKI biasanya bersifat multifaktorial dan tidak membaik dengan pemberian
eritropoietin, dikarenakan onset kerja yang lambat dan resistensi sumsum tulang pada pasien kritis.
Perdarahan karena uremia dapat ditanggulangi dengan desmopressin atau estrogen, namun
memerlukan dialisis pada kasus uremia berat atau berkepanjangan. Pencegahan perdarahan saluran
cerna dengan PPI dan AH2 diperlukan. Namun perlu diperhatikan penggunaan PPI karena dapat
berhubungan dengan nefritis interstisial sebagai akibat dari reaksi alergi.

3.1.5.6. Dialisis
Dialisis diindikasikan apabila terapi medis gagal untuk mengontrol kelebihan cairan,
hiperkalemia, asidosis, pada intoksikasi zat tertentu, atau komplikasi berat dari uremia (asteriksis,
efusi pericardium, ensefalopati uremikum, perdarahan karena uremia). Terdapat singkatan yang
lazim digunakan sebagai indikasi dialisis segera, yaitu A (Acidosis), I (Intoxication), U (Uremia), E
(Electrolyte Imbalance) dan O (Overload). Indikasi A berupa asidosis metabolik dengan pH <7,10,
indikasi I berupa intoksikasi zat yang dapat didialisis, antara lain salisilat, litium, isopropanol,
metanol, dan etilen glikol (SLIME), indikasi U berupa uremia yang ditandai dengan peningkatan
BUN dengan gejala perdarahan, ensefalopati uremikum, pericarditis, dan neuropati, indikasi E
berupa hiperkalemia >6,5 meq/L yang tidak dapat ditangani dengan penggunaan obat, dan indikasi
O berupa kelebihan cairan yang tidak dapat ditangani dengan diuresis. Terlalu lambat memulai
dialisis dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam nyawa. Banyak ahli memulai dialisis pada
AKI secara empirik pada BUN yang melebihi nilai tertentu (misalkan 100 mg/dL) pada pasien yang
tidak menunjukkan tanda perbaikan klinis.
Terapi pengganti ginjal dapat dilakukan dengan cara dialisis peritoneal atau hemodialisis.
Hemodialisis membutuhkan akses vaskuler melalui vena femoralis, jugularis interna, atau subclavia.
Hemodialisis dilakukan 3-4 jam per hari, 3-4 hari seminggu. Komplikasi umum dari hemodialisis
adalah hipotensi yang dapat mencetuskan terjadinya AKI dan menyebabkan cedera iskemik
multiorgan. Hemodialisis juga dapat dilakukan secara kontinu, atau dikenal sebagai continuous
renal replacement therapy (CRRT). Alternatif hemodialisis adalah melakukan dialisis peritoneal.
Cairan dialisat dimasukkan ke dalam peritoneum dan dikeluarkan kembali dalam interval tertentu
untuk mencapai bersihan zat sisa melalui proses ultrafiltrasi.
3.2. Chronic Kidney Disease (CKD)

3.2.1. Definisi
CKD meliputi suatu serangkaian proses patofisiologi yang berkaitan dengan penurunan
fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan GFR. Progresi CKD didasarkan pada penurunan GFR
dan derajat albuminuria. Tahap terakhir dari CKD, yaitu end-stage renal disease (ESRD)
menunjukkan tahap CKD di mana toksin, cairan, dan elektrolit yang seharusnya diekskresikan oleh
ginjal akan menyebabkan kematian apabila tidak dibuang melalui terapi pengganti ginjal (dialisis
atau transplantasi ginjal).

3.2.1. Etiopatofisiologi dan Faktor Risiko


3.2.1.1. Etiologi
Terdapat lima penyebab tersering dari CKD. Penyebab paling sering ialah nefropati diabetik
yang disebabkan oleh DM tipe II. Penyebab lainnya ialah glomerulonefritis, hipertensi (termasuk
gangguan vaskuler ginjal dan gangguan primer pada glomerulus yang menyebabkan hipertensi),
autosomal dominant polycystic kidney disease (ADPKD), dan nefropati kistik dan tubulointerstisial
lainnya. Hipertensi yang menyebabkan CKD dapat terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama
merupakan pasien dengan glomerulopati primer subklinis seperti glomerulosklerois fokal segmental
atau global. Kategori kedua ialah pasien yang mengalami sklerosis ginjal dan hipertensi sebagai
akibat dari penyakit vaskuler sistemik, biasanya juga melibatkan pembuluh darah jantung dan otak.
Kategori kedua ini khususnya sering ditemukan pada lansia, yang mana telah terjadi iskemia ginjal
kronis. Demikian pula pada pasien-pasien stadium awal CKD seringkali mengalami komplikasi
kardiovaskuler atau serebrovaskuler sebelum CKD sempat mengalami progresi. Maka, dapat
dikatakan bahwa penurunan GFR atau albuminuria merupakan faktor risiko penyakit
kardiovaskuler.

3.2.1.2. Patofisiologi
Patofisiologi CKD meliputi dua mekanisme kerusakan. Mekanisme awal berkaitan dengan
penyebab yang mendasarinya, misalnya kelainan pembentukan ginjal, deposisi kompleks imun dan
inflamasi pada glomerulonefritis, atau toksin yang merusak tubulus dan interstisium. Mekanisme
berikutnya ialah hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron lainnya yang tidak mengalami kerusakan.
Mekanisme ini merupakan konsekuensi yang terjadi setelah terjadi penurunan massa ginjal tanpa
memperhatikan sebabnya, sehingga fungsi ginjal semakin menurun. Respon terhadap penurunan
jumlah nefron diperantarai oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Namun, respon
hiperfiltrasi dan hipertrofi untuk mempertahankan GFR ini lama kelamaan bersifat maladaptive
seiring peningkatan tekanan dan aliran di nefron yang menyebabkan kelainan arsitektur glomerulus,
gangguan fungsi podosit, dan gangguan membran filtrasi yang menyebabkan sklerosis dan
kerusakan nefron-nefron lainnya. Hiperfiltrasi, hipertrofi, dan sklerosis ini disebabkan terjadinya
peningkatan sistem RAA. Maka, dengan adanya mekanisme tersebut, penurunan massa ginjal akibat
sebab tertentu dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif.

Gambar 3.5. Perubahan arsitektur glomerulus pada CKD


3.2.1.3. Faktor risiko
Faktor risiko CKD antara lain berat badan lahir rendah menurut usia, obesitas masa kanak-
kanak, wanita, merokok, hipertensi, DM, penyakit autoimun, usia lanjut, etnis Afrika, status
sosioekonomi rendah, riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, riwayat AKI, adanya proteinuria,
sedimen urin abnormal, atau gangguan struktural traktus urinarius. Berat badan lahir rendah
berhubungan dengan jumlah glomerulus yang lebih sedikit, sehingga lebih rentan terhadap CKD.
Obesitas berhubungan dengan inflamasi, stres oksidatif, disfungsi endotel, dan hipervolemia.
Terdapat mutasi gen yang meningkatkan kecenderungan terjadinya ESRD. Gen tersebut bernama
APOL1 dan mutasinya hanya ditemukan pada etnis Afrika tertentu. Faktor genetik lainnya ialah
polimorfisme gen yang mengkode mediator-mediator pada sistem RAA.

3.2.1.4. Staging
Staging CKD didasarkan pada GFR, tidak hanya bergantung pada kreatinin serum. Kini
banyak diaplikasikan eGFR yang dihitung berdasarkan rumus, termasuk rumus yang dikeluarkan
MDRD atau Cockroft & Gault. Rumus ini hanya berlaku apabila pasien berada dalam keadaan
stabil, artinya kreatinin serum tidak meningkat atau menurun selama beberapa hari. Secara alamiah
GFR akan menurun mulai usia 30 tahun sebesar 1 mL/menit per tahun dari 120 mL/menit/1,73 m2
hingga 70 mL/menit/1,73 m2 pada usia 70 tahun. Nilai rerata GFR lebih rendah pada wanita
dibandingkan pria.
Pengukuran albuminuria juga membantu memantau kerusakan nefron. Albuminuria dahulu
diukur dengan pemeriksaan urin 24 jam. Kini, telah dapat dinilai dengan rasio albumin terhadap
kreatinin urin (UACR) melalui pengambilan sampel urin pagi. UACR > 17 mg albumin / g kreatinin
pada laki-laki dan UACR > 25 mg albumin/g kreatinin di perempuan merupakan petanda gangguan
ginjal. Adanya albuminuria menyatakan adanya kerusakan mikrovaskuler dan disfungsi endotel
sistemik.

Gambar 3.6. Staging CKD


CKD stage 1 dan 2 biasanya tidak bergejala, biasanya ditemukan secara tidak sengaja ketika
pemeriksaan laboratorium dan tidak memiliki implikasi klinis tanpa adanya faktor risiko. Setelah
progresi ke CKD stage 3 dan 4, gejala klinik dan perubahan parameter pada pemeriksaan
laboratorium menjadi lebih jelas. Seluruh organ telah terlibat, namun komplikasi yang paling nyata
adalah anemia dan mudah lelah, penurunan nafsu makan dengan malnutrisi progresif, gangguan
metabolisme kalsium, fosfat, dan hormon pengaturnya, serta gangguan keseimbangan air, elektrolit,
dan asam basa. Kebanyakan lansia memiliki eGFR yang setara dengan CKD stage 2 dan 3 tanpa
adanya progresi lebih lanjut dari penurunan fungsi ginjal. Namun, apabila terjadi progresi hingga
CKD stage 5, akumulasi toksin pada umumnya telah menyebabkan gangguan yang nyata dalam
aktivitas hidup sehari-hari, kesejahteraan, status gizi, dan keseimbangan air dan elektrolit.
Gangguan tersebut dikenal sebagia sindrom uremia.

3.2.1.5. Sindrom Uremia


Walaupun kreatinin dan urea serum digunakan untuk mengukur kemampuan ekskresi ginjal,
akumulasi dari kedua zat tersebut tidak menimbulkan banyak gejala dan tanda dari sindrom uremia
pada ESRD. Gejala yang muncul biasanya dikarenakan toksin yang terakumulasi karena penurunan
GFR. Sindrom uremia tidak hanya sekedar gangguan fungsi ekskresi ginjal. Sekelompok gangguan
metabolik dan endokrin yang pada keadaan normal diperankan oleh ginjal juga mengalami
penurunan, menyebabkan anemia, malnutrisi, serta gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein. Kemudian, kadar hormon PTH, FGF-23, insulin, glucagon, dan hormon steroid seperti
vitamin D, hormon seks, dan prolaktin mengalami perubahan berupa penurunan ekskresi, penurunan
degradasi, atau regulasi yang abnormal pada CKD. Terakhir, CKD juga berkaitan dengan inflamasi
sistemik, ditandai dengan peningkatan CRP dan protein fase akut lainnya. Inflamasi ini berkaitan
dengan sindrom malnutrisi-inflamasi-aterosklerosis/kalsifikasi yang pada akhirnya berhubungan
dengan progresi gangguan kardiovaskuler. Maka, secara umum, patofisiologi sindrom uremia dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok gangguan:
1. Gangguan yang disebabkan oleh akumulasi toksin yang secara fisiologis diekskresi oleh
ginjal
2. Gangguan yang disebabkan oleh hilangnya fungsi ginjal lain seperti homeostasis cairan,
elektrolit, dan fungsi hormonal
3. Inflamasi sistemik progresif dan konsekuensi vaskuler dan nutrisinya
Konsekuensi dari sindrom uremia bersifat sistemik. Sistem yang mengalami dampak dari
sindrom uremia antara lain sistem kardiovaskuler, hematologi, endokrin, osteoartikuler, neurologis,
gastrointestinal, dermatologi, stomatologi, nefrologi, dan lain-lainnya termasuk malnutrisi,
gangguan elektrolit, dan asam basa.
 Inflamasi, metabolic bone disease (MBD), dan gangguan kardiovaskuler
Peradangan kronis derajat rendah disertai stres oksidatif sangat berkaitan dengan
komplikasi kardiovaskuler dari ginjal. Faktor utama penyebabnya ialah keadaan
proinflamatorik yang ditandai dengan aktivasi nuclear transcription factor kappa B (NF-
KB) sebagai respon terhadap ROS, disfungsi mitokondria, produk yang teretensi karena
uremia, infeksi, substansi vasoaktif, dislipidemia, dan inflamasi. Aktivasi NF-KB
berhubungan dengan dilepaskannya sitokin proinflamatorik dan aktivasi kemokin.
Sebaliknya aktivasi NF-KB juga akan meningkatkan produksi ROS. Pada keadaan normal,
nuclear factor-erythroid-2-related factor 2 (pengatur resistensi terhadap senyawa oksidan
melalui ekspresi antioksidan dan agen sitoprotektif) juga teraktivasi. Namun, keseimbangan
ini terganggu pada CKD. Toksin yang teretensi pada uremia, termasuk urea itu sendiri,
banyak yang bersifat proinflamatorik. Toksin pada uremia dapat secara langsung merusak
jantung dan pembuluh darah. Toksin tersebut ialah indoksil sulfat, ADMA, endotelin, dan
oksalat.

Gambar 3.7. Inflamasi pada CKD

Komplikasi kardiovaskuler dapat berupa komplikasi terhadap jantung dan pembuluh


darah. Komplikasi terhadap jantung adalah kardiomiopati pada CKD, yang ditandai dengan
hipertrofi ventrikel kiri, penyempitan kapiler, fibrosis intersisial, disertai disfungsi diastolik.
Pertumbuhan, fibrosis, apoptosis, dan hipertrofi otot jantung ini diperantarai oleh aktivasi
NF-KB. Konsekuensi dari komplikasi ini ialah aritmia, kematian mendadak, dan gagal
jantung. Hipertensi, retensi natrium dan air, amyloidosis, dan infeksi pada CKD juga dapat
semakin merusak jantung dan pembuluh darahnya. Kelainan lain yang dapat terjadi pada
jantung ialah perikarditis dan efusi pericardium yang disebabkan akumulasi toksin pada
sinrom uremia yang berkelanjutan.
Gangguan pada arteri pada penderita CKD antara lain berupa disfungsi endotel,
kalsifikasi arteri, kekakuan vaskuler, dan transisi otot polos vaskuler menjadi tipe osseus.
Kekakuan vaskuler dan kalsifikasi tersebut seluruhnya berhubungan dengan sitokin
proinflamatorik. Inflamasi mengaktivasi jalur BMP2:BMP4, Msx2, dan Wnt yang
meningkatkan transkripsi gen yang meningkatkan konversi otot polos vaskuler menjadi
fenotip osteokondrogenik. Hiperfosfatemia pada CKD juga berkaitan dengan kalsifikasi
arteri. Hiperfosfatemia meningkatkan produksi ROS dan juga pada akhirnya meningkatkan
aktivasi NF-KB. Inflamasi yang terjadi menurunkan konsentrasi penghambat kalsifikasi dan
menurunkan ekspresi protein Klotho, yang menyebabkan resistensi efek fosfaturia dari FGF-
23. Resistensi tulang terhadap PTH, hiperparartirodisme sekunder, dan penuaan yang lebih
cepat.
MBD khususnya terjadi karena peningkatan konsentrasi fosfat yang menyebabkan
meningkatnya respon kompensasi tubuh untuk menurunkan konsentrasi serum fosfat, antara
lain melalui FGF-23 dan PTH, yang menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi tulang.
Terlepas dari retensi fosfat, penuaan, inflamasi, iskemi tulang, dan kurangnya produksi
vitamin D semakin meningkatkan degradasi tulang. Peningkatan kadar kalsium darah ini
kemudian berkaitan dengan deposisi kalsium pada vaskuler. Pada kasus-kasus langka, terjadi
kalsifilaksis, yaitu sindrom yang terdiri atas kalsifikasi vaskuler, inflamasi, trombosis, dan
nekrosis kulit.
 Malnutrisi dan disbiosis
Malnutrisi dan disbiosis terkait dengan fungsi saluran cerna. Produk yang teretensi
akibat uremia seperti leptin, grelin, dan neuropeptide Y dapat menyebabkan penurunan nafsu
makan dan asupan. P-cresyl-sulfat menyebabkan resistensi insulin, gangguan metabolisme
lemak, serta distribusi lemak yang tidak merata. Inflamasi juga berhubungan dengan
penurunan nafsu makan. Faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain perubahan persepsi
rasa dan bau, penurunan motilitas usus dan penyerapan, depresi, dan kehilangan asam amino
dan protein akibat dialisis. Pasien juga dapat mengalami kekurangan asupan energi,
memperburuk terjadinya kekurangan energi protein bahkan sebelum dilakukan dialisis.
Walaupun menurunkan asupan protein dapat menurunkan produk retensi uremia,
katabolisme otot yang disebabkan oleh asidosis atau inflamasi juga meningkatkan kadar
metabolit toksik. Maka, diet yang mengandung nutrisi yang tepat dalam jumlah yang tepat
sangat diperlukan pada pasien CKD.

Gambar 3.8. Malnutrisi pada CKD

Mikroorganisme usus sangat berpengaruh terhadap status nutrisi, metabolisme, dan


imunitas. Disbiosis berhubungan dengan penyakit kronis lain. Progresi CKD mengubah
komposisi mikrobiota usus yang dapat meningkatkan produk retensi uremia yang toksik.
Selain itu, produk retensi uremia juga dapat menyebabkan inflamasi dan mengganggu fungsi
epitel usus halus.
 Anemia
CKD terkait dengan penurunan kadar Hb, terutama disebabkan oleh penurunan
produksi dan resistensi eritropoietin dan defisiensi besi absolut dan relatif. Ginjal merespon
terhadap kadar oksigen jaringan yang rendah yang memicu eritropoiesis. Penurunan fungsi
ginjal mengganggu mekanisme ini. Dimulai dari CKD stage 3, telah terjadi anemia
normositik normokromik yang merupakan petanda dari penurunan produksi dan resistensi
eritropoitein. Hal ini sudah dapat ditemukan secara universal pada CKD stage 4. Defisiensi
besi terutama disebabkan oleh gangguan absorbsi besi di usus yang disebabkan oleh proses
inflamasi yang meningkatkan hepcidin, suatu penghambat transport besi dari enterosit ke
plasma. Kurangnya asupan besi dan perdarahan saluran cerna atau saluran kemih,
pengambilan darah berulang, serta dialisis semakin menurunkan cadangan besi. Terakhir,
defisiensi vitamin B12 dan folat, rendahnya usia ertirosit, serta infeksi juga berpengaruh
terhadap anemia.

Gambar 3.9. Anemia pada CKD

 Gangguan neurologis
Pasien CKD memiliki kecenderungan tinggi menderita penyakit serebrovaskuler dan
gangguan kognitif (terkait gangguan vaskuler ataupun neurodegeneratif). Toksin uremia
dapat berpengaruh secara langsung terhadap gangguan serebrovaskuler ataupun tidak
langsung melalui mediator inflamasi. Beta 2-mikroglobulin, salah satu toksin uremia
berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif dan berperan dalam mempercepat penuaan,
begitu pula fenol dan indol. Faktor lain yang berpengaruh ialah hipertensi, depresi, atau
peningkatan aktivitas obat psikiatri.
Gambar 3.10. Gangguan neurologis pada CKD
 Gangguan cairan, elektrolit, dan asam basa
Pada CKD, terjadi gangguan keseimbangan asupan air dan natrium terhadap
ekskresinya sehingga menyebabkan retensi natrium dan ekspansi volume ekstraseluler.
Ekspansi volume ini dapat memperberat hipertensi dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut
pada glomerulus. Sebaliknya, pada pasien tertentu yang mengalami gangguan fungsi tubuler,
terdapat kerentanan terhadap hiponatremia dan hipovolemia. Pada keadaan tertentu seperti
diare, pasien yang mengalami gangguan tubulus tersebut akan mengalami kesulitan dalam
mempertahankan kadar natrium dan air tubuh, sehingga dapat terjadi hiponatremia. Restriksi
cairan dan natrium yang berlebihan juga dapat menimbulkan hiponatremia.
CKD sendiri tidak semerta-merta menyebabkan peningkatan kadar kalium darah,
karena ekskresi kalium terutama diperantarai oleh aldosteron di tubulus distal dan ekskresi
melalui saluran cerna. Namun hiperkalemia pada CKD biasanya terjadi dikarenakan adanya
sebab lain seperti asupan kalium berlebih, hemolisis, perdarahan, transfusi, dan asidosis
metabolik. Obat-obatan seperti spironolakton juga dapat memperparah hiperkalemia.
Sebaliknya hipokalemia pada CKD jarang terjadi, pada umumnya hanya terjadi pada
restriksi asupan kalium yang berlebihan.
Ekskresi asam mengalami penurunan pada CKD. Retensi asam organik pada CKD
berhubungan dengan asidosis metabolik yang pada umumnya disertai peningkatan anion
gap. Ekskresi asam yang terganggu ini berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal dalam
memproduksi ammonia. Apabila terjadi hiperkalemia, akan semakin menurunkan produksi
ammonia dan memperberat asidosis metabolik. Pada tahap awal, pada umumnya akan terjadi
asidosis hiperkloremik dengan anion gap yang tidak meningkat, namun pada retensi asam
yang lebih lanjut akan menyebabkan peningkatan anion gap. Penurunan pH darah pada
umumnya bersifat ringan dan dapat ditanggulangi dengan pemberian natrium bikarbonat.
Namun, pH yang terlalu rendah perlu ditanggulangi segera dengan dialisis.
 Lain-lain
CKD berhubungan dengan dyslipidemia yang ditandai dengan peningkatan kadar
trigliserida dan penurunan kadar HDL. Kadar LDL dan kolesterol total biasanya tidak
meningkat. Pada CKD, terjadi penurunan fungsi lipoprotein lipase dan reseptor LDL.
Peningkatan trigliserida pada CKD disebabkan adanya penundaan katabolisme lipoprotein
yang kaya akan trigliserida. CKD juga berkaitan dengan kadar apoA-I yang lebih rendah.
Aktivitas LCAT (lecithin-cholesterol acyltransferase) yang menurun dan CETP (cholesteryl
ester transfer protein) yang meningkat menyebabkan penurunan HDL. Selain kadar HDL
yang menurun, efek antioksidan dan antiinflamatorik HDL juga mengalami penurunan.
Hiperurisemia dapat berperan sebagai penyebab atau komplikasi dari CKD. Dua per
tiga asam urat tubuh diekskresikan melalui ginjal, sementara sepertiga sisanya melalui
saluran cerna. Maka, penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan hiperurisemia. Sebaliknya
pula, hiperurisemia berhubungan dengan hipertensi dan progresi CKD. Hiperurisemia pada
CKD menimbulkan gangguan yang serupa pada pasien non CKD, yaitu berupa gout artritis.

3.2.3. Diagnosis
3.2.3.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala dan tanda CKD seringkali ringan atau bahkan tidak ada sampai mencapai tahap akhir,
sehingga pada saat didiagnosis seringkali menimbulkan reaksi penolakan dari pasien. Faktor risiko
yang perlu diidentifikasi antara lain hipertensi, DM, hasil urinalisis abnormal, dan komplikasi
kehamilan seperti preeclampsia atau abortus. Riwayat pengobatan harus ditanya secara lengkap,
khususnya obat antiinflamasi, penghambat COX-2, antibiotik, agen kemoterapi, antiretroviral, PPI,
obat pencahar yang mengandung fosfat, dan litium. Dalam mengevaluasi sindrom uremia, perlu
ditanyakan gejala berupa penurunan nafsu makan, berat badan, mual, cegukan, edema perifer, kram
otot, gatal-gatal, dan gerakan kaki involunter. Riwayat keluarga yang perlu ditanyakan antara lain
dengan gangguan ginjal atau paparan yang sama terhadap agen nefrotoksik. CKD seringkali muncul
dalam satu keluarga, walaupun dengan penyebab yang berbeda-beda.
Pemeriksaan fisik terutama meliputi tekanan darah dan kerusakan organ akibat hipertensi,
yaitu funduskopi dan pemeriksaan jantung. Funduskopi dapat mendeteksi retinopati diabetik yang
terkait dengan nefropati diabetik. Pemeriksaan fisik lain yang dapat ditemukan antara lain edema
dan polineuropati sensorik. Adanya asterixis atau pericardial friction rub yang tidak disebabkan
oleh penyebab lain dapat menunjukkan tanda-tanda uremia.

3.2.3.2. Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium
Pemeriksaan labotarorium bertujuan untuk mencari penyebab atau factor pencetus
serta derajat kerusakan ginjal. Pemeriksaan elektroforesis protein serum dan urin untuk
mencari penyebab multiple myeloma disarankan untuk pasien usia >35 tahun, terutama bila
disertai anemia dan peningkatan kadar kalsium serum. Pada glomerulonephritis, perlu
diperiksa antibody lupus, serta penyebab infeksius seperti hepatitis B, C, dan HIV. Kadar
kalsium, fosfat, vitamin D, dan PTH perlu diukur untuk mengevaluasi gangguan metabolic
tulang. Kadar Hb, Fe, vitamin B12, dan asam folat juga sebaiknya dievaluasi. Pengambilan
urin 24 jam dapat membantu diagnosis, karena ekskresi protein >300 mg dapat merupakan
indikasi untuk memulai terapi ACE-I atau ARB.
 Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang paling bermanfaat adalah USG yang dapat menilai
kedua ginjal, simetris atau tidak, ukuran ginjal, serta menyingkirkan kemungkinan massa
ginjal atau adanya obstruksi. Temuan adanya kedua ginjal berukuran kecil mendukung
diagnosis CKD. Bila ukuran ginjal normal, kemungkinan penyakit ginjal bersifat akut atau
subakut. Pengecualiannya adalah pada nefropati DM, amyloidosis, dan nefropati HIV, di
mana ukuran ginjal dapat normal walaupun telah terjadi CKD. Penyakit ginjal polikistik
sebaliknya menunjukkan gambaran ginjal yang membesar dengan kista multipel. Perbedaan
> 1 cm dalam panjang ginjal menunjukkan adanya gangguan pembentukan organ unilateral
atau penyakit renovaskuler dengan insufisiensi arteri yang mengenai salah satu ginjal.
Diagnosis penyakit renovaskuler kemudian dapat ditegakkan dengan teknik lain, termasuk
USG Doppler, teknik kedokteran nuklir, CT-scan, atau MRI. Bila didapatkan kecurigaan
terhadap nefropati refluks (ISK berulang semasa kanak-kanak, ginjal asimetri dengan
jaringan parut pada polus ginjal), dapat dilakukan pemeriksaan voiding cystogram.
Pemeriksaan radiografi dengan kontras tidak sesuai untuk CKD, terutama pada pasien
dengan nefropati DM, dikarenakan tingginya risiko gagal ginjal akibat kontras.

3.2.4. Tatalaksana
Tatalaksana CKD idealnya dilakukan sebelum terdapat penurunan GFR yang nyata. Maka,
GFR sebaiknya diukur secara berkala dan penurunannya selalu diamati pada semua pasien. Adanya
percepatan laju penurunan GFR merupakan petanda proses akut atau subakut yang mungkin saja
masih bersifat reversibel. Proses akut tersebut antara lain deplesi volume, hipertensi tidak terkontrol,
ISK, uropati obstruktif, paparan terhadap agen nefrotoksik, dan reaktivasi penyakit seperti lupus dan
vaskulitis.

3.2.4.1. Antihipertensif
Peningkatan tekanan filtrasi glomerulus dan hipertrofi glomerulus terjadi sebagai respon
terhadap hilangnya jumlah nefron yang fungsional. Respon tersebut merupakan respon yang
maladaptif, karena menyebabkan penurunan fungsi ginjal bahkan setelah proses yang
mencetuskannya telah ditanggulangi. Maka, pengendalian hipertensi glomerular penting untuk
memperlambat progresi CKD. Peningkatan tekanan darah meningkatkan proteinuria dengan
meningkatkan alirannya melewati kapiler glomerulus, sehingga efek renoprotektif dari obat
antihipertensi dapat menurunkan proteinuria. Maka, dapat dikatakan bahwa semakin baik
tatalaksana untuk menurunkan ekskresi protein, semakin baik pula perlindungan terhadap
penurunan GFR. Pada pasien dengan CKD, tekanan darah yang ditargetkan ialah 130/80 mmHg.

ACE-I dan ARB efektif menurunkan progresi CKD baik pada pasien DM ataupun tidak,
melalui mekanisme vasodilatasi eferen dan penurunan hipertensi glomerulus. ACE-I dan ARB
direkomendasikan untuk pasien DM dengan ekskresi albumin 30-300 mg / 24 jam, dan
direkomendasikan untuk pasien DM dan non-DM dengan ekskresi albumin > 300 mg / 24 jam. Bila
ekskresi albumin <30 mg / 24 jam pada pasien DM ataupun non-DM, antihipertensi diberikan
apabila tekanan darah sistolik >140 mmHg atau diastolik >90 mmHg untuk mencapai target tekanan
darah 140/90 mmHg. Sementara itu, bila ekskresi albumin ≥30 mg / 24 jam, antihipertensi diberikan
apabila tekanan darah sistolik >130 mmHg atau diastolik > 80 mmHg untuk mencapai target
tekanan darah 130/80 mmHg. Kombinasi ACE-I dan ARB berhubungan dengan penurunan
proteinuria yang lebih baik dibandingkan pemberian obat tungagal saja. Namun, terapi kombinasi
berhubungan dengan kejadian AKI dan efek samping kardiovaskuler yang lebih besar, sehingga
kombinasi ACE-I dan ARB sebaiknya dihindari.
Peningkatan kreatinin serum dengan penggunaan ACE-I atau ARB dapat menunjukkan
adanya gangguan renovaskuler. Adanya efek samping tersebut menandakan diperlukannya
antihipertensi lini kedua selain ACE-I dan ARB. Di antara CCB, diltiazem dan verapamil
menunjukkan efek antiproteinuria dan renoprotektif yang lebih baik dibandingkan dihidropiridin.
Pada CKD setidaknya didapatkan dua respon pengobatan. Pertama, progresi terkait dengan
hipertensi sistemik, intraglomerulus, dan proteinuria (pada nefropati diabetik dan gangguan
glomerulus). Pada kasus ini, ACE-I dan ARB merupakan pilihan pertama. Kedua, proteinuria ringan
atau tidak ada pada tahap awal (pada penyakit ginjal polikistik dan penyakit tubulointerstisial), yang
mana hipertensi intraglomerulus tidak jelas ditemukan, agen antihipertensi lainnya dapat digunakan
untuk mengendalikan hipertensi sistemik.

3.2.4.2. Kontrol Gula Darah dan Hiperurisemia


Pada penderita CKD, target HbA1C adalah <7% untuk mencegah atau menunda progresi
komplikasi mikrovaskuler DM, kecuali pada individu dengan komorbid pada risiko hipoglikemia
ditargetkan >7%. Kontrol gula darah juga harus bersamaan dengan manajemen risiko penyakit
kardiovaskuler, menggunakan obat antihipertensi, obat antiplatelet, dan obat-obatan lainnya. Untuk
penanganan hiperurisemia, tidak ada bukti yang menjelaskan bahwa menurunkan kadar asam urat
dapat menunda progresi CKD.

3.2.4.3. Diet dan Pengaturan Gaya Hidup


Diet untuk penderita CKD seharusnya diatur oleh ahli gizi, diatur berdasarkan tingkat
keparahan CKD khususnya dalam pengaturan konsumsi protein, natrium, fosfat, dan kalium.
Konsumsi protein sebaiknya dibatasi hingga 0,8 g/kg/hari pada pasien dengan GFR <30
mL/menit/1,73 m2. Hindari asupan protein >1,3 g/kg/hari karena berhubungan dengan progresi
CKD. Konsumsi natrium harus dibatasi hingga <2 g/hari, ekuivalen dengan <5 g NaCl/hari.

3.2.4.4. Manajemen Komplikasi CKD


 Penyesuaian Dosis Obat
Dosis loading kebanyakan obat-obatan tidak dipengaruhi oleh CKD, sementara dosis
pemeliharaan harus disesuaikan. Untuk obat-obatan yang >70% diekskresi melewati jalur
nonrenal, tidak diperlukan adanya penyesuaian. Obat-obatan yang perlu dihindari antara lain
metformin, meperidin, dan obat antihiperglikemia oral yang diekskresi melalui ginjal.
NSAID sebaiknya dihindari karena memperburuk fungsi ginjal. Beberapa obat-obatan
antibiotik, antihipertensi, dan antiaritmia juga perlu dikurangi dosis atau frekuensi
pemberiannya. Penyesuaian dosis ini terutama dilakukan apabila GFR < 60 mL/menit/m2.
 Anemia
Anemia pada CKD ditegakkan apabila:
 Usia 0,5-5 tahun: Hb <11 g/dL
 Usia 5-12 tahun: Hb < 11,5 g/dL
 Usia 12-15 tahun: Hb < 12 g/dL
 Usia >15 tahun: Pria: Hb < 13 g/dL, Wanita: Hb < 12 g/dL
Terapi eritropoietin (ESA) telah menurunkan angka kebutuhan penderita CKD akan
transfusi. Sebelum dimulai terapi ESA, cadangan besi sumsum tulang harus adekuat.
Suplementasi besi biasanya diperlukan untuk memastikan respon optimal terhadap terapi
ESA. Pada penderita CKD yang belum melakukan dialisis, suplementasi besi selayaknya
diberikan secara oral. Bila terdapat intoleransi atau sudah dilakukan dialisis, dapat diberikan
secara IV. Selain besi, suplementasi zat lain yang mempengaruhi pembentukan sel darah
merah juga harus diberikan, termasuk vitamin B12 dan asam folat. Selain perbaikan kondisi
anemia, asam folat juga berfungsi mengkonversi homosistein menjadi metionin. Pada
penderita CKD, seringkali terjadi hiperhomosisteinemia yang berhubungan dengan
kerusakan endotel vaskuler. Target Hb pada anemia karena CKD ialah 10-11,5 g/dL.
 CKD-MBD
Kadar kalsium, fosfat, PTH, dan alkali fosfatase sebaiknya diukur pada pasien CKD
dengan GFR <45 mL/menit/1,73 m2 untuk mengetahui nilai baseline. Hiperfosfatemia harus
segera ditanggulangi dengan diet rendah fosfat dan obat pengikat fosfat. Pengikat fosfat
berbasis kalsium yang dapat digunakan antara lain kalsium asetat dan kalsium karbonat.
Kekurangannya ialah efek samping berupa hiperkalsemia. Pengikat fosfat lainnya yang tidak
mengandung kalsium adalah sevelamer dan lanthanum, sehingga tidak menimbulkan efek
samping hiperkalsemia. Kalsitriol menghambat sekresi PTH secara langsung dengan cara
meningkatkan konsentrasi kalsium. Namun, terapi kalsitriol dapat mencetuskan
hiperkalsemia dan/atau hiperfosfatemia. KDIGO merekomendasikan kadar PTH
dipertahankan pada 150-300 pg/mL, karena kadar PTH yang terlalu rendah dapat
menyebabkan gangguan tulang adinamik.
 Gangguan Cairan, Elektrolit, dan Keseimbangan Asam-Basa
Pembatasan asupan natrium dan penggunaan diuretik pada umumnya diperlukan
untuk menjaga status euvolemia. Restriksi cairan diindikasikan hanya apabila terdapat
masalah hiponatremia. Hiperkalemia pada tahap awal merespon dengan pembatasan diet
kalium, pengguan diuretik, serta mencegah penggunaan obat hemat kalium. Obat pengikat
kalium berupa resin, seperti kalsium resonium, natrium polistiren, dan patiromer dapat
meningkatkan ekskresi kalium melalui saluran cerna. Hiperkalemia yang tidak dapat
ditangani dengan obat merupakan salah satu indikasi dialisis segera. Gangguan asam basa
berupa renal tubular asidosis dan asidosis metabolik yang merupakan kelanjutannya dapat
ditanggulangi dengan suplementasi natrium bikarbonat. Pemberian bikarbonat diindikasikan
pada kadar bikarbonat darah di bawah 20-23 mmol/L untuk mencegah katabolisme protein
yang terjadi pada asidosis metabolik, sehingga dapat mencegah progresi CKD.

3.2.4.5. Dialisis
Variabilitas individual dalam tingkat keparahan derajat uremia dan fungsi ginjal menyebabkan
kurang tepatnya penggunaan kadar ureum atau kreatinin darah sebagai acuan untuk memulai
dialisis. Terlebih lagi, pasien dapat beradaptasi dengan uremia kronik dan menyangkal adanya
gejala, hanya akan sadar merasa lebih baik setelah melalui dialisis. Idealnya, dialisis sebaiknya
dimulai sebelum timbulnya gejala dan tanda uremia yang berat. Namun pada praktiknya, lebih baik
mempersiapkan dengan seksama untuk persiapan dialisis untuk mencegah masalah terkait proses
dialisis itu sendiri (misalnya mempersiapkan fistula untuk hemodialisis). Edukasi mengenai terapi
pengganti ginjal selayaknya telah diberikan sejak awal CKD stage 4 terdiagnosis sehingga pasien
dapat mempersiapkan diri untuk mempelajari tentang dialisis dan bersiap untuk melakukan dialisis.
Terapi pengganti ginjal terdiri atas hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
Kriteria yang dapat diterima untuk memulai terapi pengganti ginjal antara lain adanya gejala uremia,
hiperkalemia yang tidak merespon dengan pengobatan, ekspansi volume CES persisten walaupun
telah diberikan diuretik, asidosis yang tidak dapat ditangani dengan obat, kelainan perdarahan, atau
GFR <10 mL/menit/1,73 m2. Dialisis peritoneal jarang dilakukan di negara berkembang karena
tingginya angka kejadian infeksi, sehingga hemodialisis merupakan pilihan yang utama.
Keberhasilan hemodialisis diukur berdasarkan rasio reduksi urea (urea reduction ratio), yaitu
reduksi fraksional urea dalam tiap sesi hemodialisis dengan target >65-70% dan body water-indexed
clearance x time product (Kt/V) >1,2 atau 1,05, bergantung pada kalibrasi konsistensi urea. Pada
mayoritas pasien ESRD, dibutuhkan 9-12 jam hemodialisis setiap minggu, biasanya dibagi menjadi
3 sesi yang sama panjang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Waikar SS, Bonventre JV. Acute kidney injury. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed.
New York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2099-111.
2. KDIGO. KDIGO clinical practice guideline for acute kidney injury. Kidney international
supplements. 2012; 2: 1-138.
3. Patschan D, Müller GA. Acute Kidney Injury in Diabetes Mellitus. Int J Nephrol. 2016;
2016: 6232909.
4. Gross JL, Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T. Diabetic
nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment. Diabetes care. 2005; 28: 164-76.
5. Yokota LG, Sampaio BM, Rocha EP, Balbi AL, Sousa Prado IR, Ponce D. Acute kidney
injury in elderly patients: narrative review on incidence, risk factors, and mortality. Int J
Nephrol Renovasc Dis. 2018; 11: 217-224.
6. Han SS, Baek SH, Ahn SY, Chin HJ, Na KY, Chae DW, et al. Anemia is a risk factor for
acute kidney injury and long-term mortality in critically ill patients. Tohoku J Exp Med.
2015; 237: 287-95.
7. Basu RK, Wheeler D. Effects of ischemic acute kidney injury on lung water balance:
nephrogenic pulmonary edema?. Pulmonary Med. 2011; 2011: 414253.
8. Hoste EA, Clermont G, Kersten A, et al. RIFLE criteria for acute kidney injury are
associated with hospital mortality in critically ill patients: a cohort analysis. Crit Care. 2006;
10: R73.
9. Botev R, Mallié JP, Couchoud C, et al. Estimating glomerular filtration rate: Cockcroft-
Gault and Modification of Diet in Renal Disease formulas compared to renal inulin
clearance. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 899-906.
10. Dialysis indications [Internet]. [cited 2019 Mar 23]; Available from:
https://step2.medbullets.com/renal/120688/dialysis-indications
11. Bargman JM, Skorecki KL. Chronic kidney disease. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 20th
ed. New York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2111-21.
12. Kazancioğlu R. Risk factors for chronic kidney disease: an update. Kidney Int Suppl. 2013;
3: 368-71.
13. Vanholder R, Fouque D, Glorieux G, Heine GH, Kanbay M, Mallamaci F, et al. Clinical
management of the uraemic syndrome in chronic kidney disease. Lancet Diabetes
Endocrinol. 2016; 2016: 1-14.
14. Tannock L. Dyslipidemia in Chronic Kidney Disease. [Updated 2018 Jan 22]. In: Feingold
KR, Anawalt B, Boyce A, et al., editors. Endotext [Internet]. South Dartmouth (MA):
MDText.com, Inc.; 2000-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK305899/
15. Vargas-Santos AB, Neogi T. Management of Gout and Hyperuricemia in CKD. Am J
Kidney Dis. 2017; 70: 422-39.
16. KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease. Kidney international supplements. 2013; 3: 1-163.
17. KDIGO. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney
international supplements. 2012; 2: 1-64.
18. KDIGO. KDIGO 2017 clinical practice guideline update for the diagnosis, evaluation,
prevention, and treatment of chronic kidney disease-minearal and bone disorder (CKD-
MBD). 2017; 7: 1-60.
19. Cianciolo G, De PA, Di LL, Ronco C, Zannini C, La MG. Folic acid and homocysteine in
chronic kidney disease and cardiovascular disease progression: which comes first?
Cardiorenal Med. 2017; 7: 255-66.
20. Liu KD, Chertow GM. Dialysis in the treatment of renal failure. In: Kasper DL, Fauci AS,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal
medicine. 20th ed. New York: McGraw Hill Education; 2018. Pg. 2121-5.
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal :

Nama peserta : dr. Lyon Clement

Dengan judul/topik : Acute on Chronic Kidney Disease

Nama Pembimbing : dr. Mukti Fahimi, Sp.PD

Nama Pendamping : dr. Irma Ferial

Nama Wahana : RSAL Dr. Mintohardjo

No Nama Peserta Presentasi No Tanda Tangan

1 dr. Lyon Clement (Presentan) 1

2 dr. Gerald Alain Aditya (Peserta) 2

3 dr. Yuri Fitri Budiman (Peserta) 3

4 dr. Belinda Anabel (Peserta) 4

5 dr. Rifqoh Atiqoh (Peserta) 5

6 dr. Chintya Monica (Peserta) 6

7 dr. Nurul Khusnul Chotimah (Peserta) 7

Anda mungkin juga menyukai