Anda di halaman 1dari 2

Berharap Sehat dari Dana Zakat

Oleh : Gugus Febriansyah

BPJS Kesehatan sepertinya tak pernah lepas dari masalah keuangan sejak awal diresmikan lima
tahun lalu. Di tahun pertamanya, BPJS Kesehatan telah mengalami defisit sebesar Rp 3,8 triliun.
Jumlah tersebut diprediksi akan membengkak hingga mencapai Rp 32 triliun pada akhir tahun ini.
Ekonom senior, Rizal Ramli bahkan menyebut BPJS Kesehatan sebagai program yang ‘design to fail’.
Sebab, visi besarnya untuk memproteksi kesehatan seluruh rakyat Indonesia, kala itu hanya dibekali
dengan anggaran sebesar Rp 5 triliun saja.

Hingga bulan Mei 2019, jumlah peserta BPJS Kesehatan meningkat menjadi 83,6% dari total
penduduk Indonesia atau sekitar 221,5 juta jiwa. Namun, hal tersebut tak lantas membuat masalah
defisit dapat teratasi. Tingginya partisipasi masyarakat nyatanya tidak berbanding lurus dengan
besarnya premi yang diterima. Penyebabnya, sebanyak 43% atau sekitar 96,8 juta jiwa peserta BPJS
Kesehatan berstatus sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang biaya preminya ditanggung penuh
oleh Pemerintah. Ditambah, sekitar 12 juta peserta lainnya diketahui tidak tertib dalam membayar
kolektabilitas (iuran) setiap bulannya.

Berbagai upaya pun dilakukan oleh BPJS Kesehatan untuk menekan semakin besarnya defisit
anggaran. Mulai dari menggunakan jasa ‘debt collector’ untuk menagih peserta BPJS Kesehatan yang
menunggak iuran. Hingga memberikan sanksi berat berupa pencabutan akses layanan publik seperti
layanan SIM, STNK, IMB, dan paspor bagi peserta yang masih enggan melunasi tunggakan mereka.
Terakhir, BPJS Kesehatan juga secara resmi telah menaikkan besaran iuran terhitung sejak bulan
Januari tahun depan. Kenaikan tersebut terpaksa diberlakukan guna menghindari defisit BPJS
Kesehatan yang diperkirakan mencapai Rp 77 triliun pada tahun 2024.

Tak ayal, semua kebijakan tersebut menuai kecaman di masyarakat karena dinilai tidak manusiawi
dan cenderung merampas hak dasar warga negara. Masalah ini juga memicu polemik di kalangan
warganet hingga hashtag #BPJSRasaRentenir sempat ramai dan menjadi trending di media sosial
twitter beberapa waktu lalu.

Untuk mengatasi besarnya defisit yang semakin tak terkendali, diperlukan adanya alternatif
pembiayaan selain APBN sebagai solusi jangka panjang yang berkelanjutan. Salah satu instrumen
fiskal yang bisa diberdayakan untuk mengatasi permasalahan ini ialah zakat. Seperti diketahui, zakat
merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim yang memiliki kelebihan harta sesuai
dengan ukuran (nisab) yang telah ditentukan. BAZNAS sebagai badan penyelenggara zakat di
Indonesia, menyatakan jika saat ini potensi zakat di tanah air mencapai Rp 252 triliun. Tak
mengherankan, mengingat predikat Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di
dunia.

Pemanfaatan zakat sebagai sumber pembiayaan BPJS Kesehatan masyarakat miskin merupakan
sebuah keniscayaan. Hal ini disebabkan terdapat ‘irisan’ antara BPJS Kesehatan dengan BAZNAS
sebagai lembaga pemerintah yang sama-sama bertanggung jawab untuk menjamin hak dasar (baca :
kesehatan) bagi masyarakat miskin. Konsep ini dapat terwujud dengan koordinasi yang baik dari
kedua belah pihak serta didukung pihak-pihak terkait. Tentu dengan beberapa catatan yang harus
diperhatikan.
Pertama, memperbaiki sistem jaminan kesehatan yang sesuai syariah. Fatwa dari MUI menyatakan
jika beberapa transaksi atau akad dari BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan prinsip hukum Islam. Oleh
karena itu, BPJS Kesehatan dan MUI harus duduk bersama guna menemukan solusi pembiayaan
yang sesuai syariat.

Hal ini mutlak dilakukan, sebab zakat sebagai dana umat harus dikelola sesuai dengan prinsip hukum
Islam. Langkah ini juga untuk meyakinkan hati umat Islam bahwa zakat yang mereka bayarkan
dikelola sesuai dengan kaidah yang ditentukan.

Kedua, mengkaji ulang jumlah penerima bantuan iuran. Zakat hanya boleh dipergunakan untuk
membiayai kebutuhan fakir, miskin dan beberapa golongan lain yang telah ditetapkan oleh syariat.
Oleh karena itu, BPJS Kesehatan perlu memvalidasi ulang jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI). Saat
ini jumlah mereka tercatat 96,8 juta jiwa atau jauh lebih banyak dibandingkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa penduduk miskin di Indonesia hanya 25,1 juta jiwa.

Koordinasi dari kedua lembaga ini diperlukan untuk mengoreksi adanya selisih data yang mencapai
lebih dari 70 juta jiwa. Diperlukan adanya database terpusat dan terintegrasi yang mampu
memastikan bahwa penerima dana zakat benar-benar berasal dari golongan yang berhak
menerimanya.

Ketiga, merumuskan regulasi zakat yang mapan. Selama ini, aturan mengenai zakat hanya mencakup
persoalan penghimpunan dan pengelolaan zakat oleh lembaga berwenang. Belum ada regulasi yang
mengatur secara tegas kewajiban bagi para wajib zakat. Perlu segera dilakukan pendataan mengenai
jumlah wajib zakat di Indonesia. Selain itu, diperlukan aturan yang mewajibkan mereka untuk
menyalurkan zakat melalui lembaga resmi yang telah ditunjuk.

Hal yang tak kalah pentingnya ialah menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa pembayaran
zakat secara terorganisir mampu meningkatkan kesejahteraan warga miskin dalam jangka panjang
sebagai upaya untuk mengentaskan mereka dari jeratan kemiskinan. Regulasi semacam ini
diharapkan dapat mendongkrak penerimaan zakat di Indonesia secara optimal. Mengingat, dari
potensi zakat yang mencapai angka 252 triliun pada tahun ini, BAZNAS hanya mampu menghimpun
sekitar 8,1 triliun saja.

Berbagai kebijakan tersebut tidak dimaksudkan untuk membebani umat Islam di Indonesia dengan
berbagai pungutan yang memberatkan. Sebab, saat ini pemerintah juga telah menggunakan zakat
sebagai variabel pengurang pajak. Jika memungkinkan, kelak zakat dapat menjadi pengganti pajak
bagi umat Islam dengan konsep yang tentunya disesuaikan dengan aturan syariah.

Pada akhirnya, alokasi dana zakat sebagai alternatif pembiayaan jaminan kesehatan nasional
diharapkan mampu mewujudkan BPJS Kesehatan sebagai lembaga yang kuat, mandiri serta mampu
menghadirkan layanan kesehatan yang berkualitas bagi segenap rakyat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai