Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Interprofessional education (IPE) adalah metode pembelajaran
yang interaktif, berbasis kelompok, yang dilakukan dengan
menciptakan suasana belajar berkolaborasi untuk mewujudkan
praktik yang berkolaborasi, dan juga untuk menyampaikan
pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi dan
hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi (Umy,
2016).
Tujuan IPE adalah praktik kolaborasi antar profesi, dimana
melibatkan berbagai profesi dalam pembelajaran tentang bagaimana
bekerjasama dengan memberikan pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang diperlukan untuk berkolaborasi secara efektif.
Implementasi IPE di bidang kesehatan dilaksanakan kepada
mahasiswa dengan tujuan untuk menanamkan kompetensi-
kompetensi IPE sejak dini dengan retensi bertahap, sehingga ketika
mahasiswa berada di lapangan diharapkan dapat mengutamakan
keselamatan Klien dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
bersama profesi kesehatan yang lain (Uns, 2016).
Inter Professional Colaboration (IPC) merupakan proses
kolaborasi yang terdiri dari dua atau lebih tenaga kesehatan berfokus
pada belajar dengan, dari, dan tentang masing-masing profesi
sehingga dapat mengembangkan kerjasama demi terwujudnya
pelayanan Klien yang lebih optimal. (Poltekkes Semarang, 2017).
Interprofessional Collaboration (IPC) Keluarga Sehat adalah
suatu kegiatan intrakurikuler yang memadukan pelaksanaan Tri
Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat) yang dilakukan melalui pendekatan kolaborasi
antar rumpun ilmu kesehatan dalam menciptakan keluarga cinta
sehat dengan cara memberikan kepada mahasiswa pengalaman

1
belajar dan bekerja dalam kegiatan pembangunan masyarakat
bidang kesehatan sebagai wahana penerapan dan pengembangan
ilmu yang dilaksanakan di luar kampus dalam waktu, mekanisme dan
persyaratan tertentu. (Poltekkes Semarang,2017).
Proses kolaborasi ini diperlukan dan lebih ditingkatkan dalam
pelayanan kesehatan di masa sekarang ini karena di iklim global
sekarang ini sudah tidak cukup bagi tenaga kesehatan untuk bekerja
secara profesional saja namun tenaga kesehatan perlu juga
mengembangkan upaya antar profesional dalam menangani Klien.
Transisi epidemiologi biasa disebut dengan perubahan keadaan
yang ditandai dengan adanya perubahan angka kematian dan angka
kesakitan akibat penyakit infeksi menjadi penyakit non infeksi. Hal ini
terjadi karena adanya era globalisasi yang mengubah pola hidup di
masyarakat, mulai dari sosial ekonomi dan tingginya angka harapan
hidup. Perubahan tersebut menimbulkan penyakit kronis seperti
jantung, diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit kronis lainnya.
Diabetes melitus merupakan penyebab hiperglikemi. Hiperglikemi
disebabkan oleh berbagai hal, namun hiperglikemi paling sering
disebabkan oleh diabetes melitus. Pada diabetes mellitus, gula
menumpuk dalam darah sehingga gagal masuk kedalam sel.
Kegagalan tersebut terjadi akibat hormon insulin jumlahnya kurang
atau cacat fungsi. Hormon insulin merupakan hormon yang
membantu masuknya gula darah (Lathifah, 2017).
Penyakit kronis seperti DM sangat rentan terhadap gangguan
fungsi yang bisa menyebabkan kegagalan pada organ mata, ginjal,
saraf, jantung dan pembuluh darah. Gangguan fungsi yang terjadi
karena adanya gangguan sekresi insulin dan gangguan kerja insulin
maupun keduanya. Menurut International Diabetes Federation-7
tahun 2015, dalam metabolisme tubuh hormon insulin bertanggung
jawab dalam mengatur kadar glukosa darah. Hormon ini diproduksi
dalam pankreas kemudian dikeluarkan untuk digunakan sebagai

2
sumber energi. Apabila di dalam tubuh kekurangan hormon insulin
maka dapat menyebabkan hiperglikemi (Lathifah, 2017).
Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM
adalah masalah kesehatan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya
peningkatan jumlah penderita diabetes dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2015 menyebutkan sekitar 415 juta orang dewasa memiliki
diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an. Apabila
tidak ada tindakan pencegahan maka jumlah ini akan terus
meningkat tanpa ada penurunan. Diperkirakan pada tahun 2040
meningkat menjadi 642 juta penderita (Lathifah, 2017).
Prevalensi DM dan hipertiroid di Banten berdasarkan wawancara
yang terdiagnosis dokter sebesar 1,3% dan 0,4%. DM terdiagnosis
dokter dan gejala sebesar 1,6%. Prevalensi diabetes yang
terdiagnosis dokter tertinggi maupun yang terdiagnosis dokter dan
gejala tertinggi terdapat di 4 kabupaten/kota yang sama, yaitu Kota
Cilegon (2,2% dan 2,8%), Kota Tangerang (1,8% dan 2,5%), Kota
Tangerang Selatan (1,7% Dan 1,9%) dan Kabupaten Tangerang
(1,4% dan 1,7%). Sedangkan prevalensi hipertiroid tertinggi di Kota
Tangerang dan Kota Cilegon (masing-masing 0,9%), Kota Serang
(0,7%), dan Kota Tangerang Selatan (0,4%) (Riskesdas, 2015).
Berdasarkan latar belakang diatas kami tertarik untuk melakukan
pengkajian keluarga binaan IPE-IPC dengan kasus Diabetes
Melitusl. Dengan adanya kolaborasi antara keperawatan, kebidanan
dan analis kesehatan diharapkan dapat mengurangi prevalensi DM
di Provinsi Banten khususnya di Kabupaten Tangerang.

3
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan kolaborasi dan memberikan pendidikan kesehatan
untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan
pada penderita Diabetes Melitus.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada klien sebagai
penderita diabetes, diharapkan klien mampu :
a. Menumbuhkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya untuk
menolong diri sendiri dalam meningkatkan mutu hidup,
sehingga tercapai derajat kesehatan secara optimal.
b. Meningkatkan berbagai kemampuan individu dalam
penanganan kesehatan pada diri sendiri sebelum meminta
pertolongan lebih lanjut.
c. Melakukan pemeriksaan secara kolaboratif kepada klien.
d. Melakukan tindakan dan pemecahan masalah kesehatan
bersama-sama.
e. Monitoring dan evaluasi hasil tindakan terhadap penyakit
Diabetes Melitus.
C. Sasaran
Sasaran kegiatan keluarga binaan PKL terpadu adalah anggota
keluarga yang menderita DM yaitu Ny.R yang berjenis kelamin
Perempuan, berusia 64 tahun, alamat di Kp. Cereme RT 05 RW 04,
Desa Pasir Muncang Kec. Jayanti Kab. Tangerang.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian IPE – IPC


Interprofessional education (IPE) adalah metode pembelajaran
yang interaktif, berbasis kelompok, yang dilakukan dengan
menciptakan suasana belajar berkolaborasi untuk mewujudkan
praktik yang berkolaborasi, dan juga untuk menyampaikan
pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi dan
hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi. IPE
dapat terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa dari program studi
kesehatan yang berbeda belajar bersama yang bertujuan untuk
meningkatkan kerja sama dan kualitas pelayanan kesehatan (Umy,
2016).
Inter Professional Collaboration (IPC) adalah suatu kegiatan
intrakurikuler yang memadukan pelaksanaan Tri Darma Perguruan
Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat)
yang dilakukan melalui pendekatan kolaborasi antar rumpun ilmu
kesehatan dalam menciptakan masyarakat cinta sehat dengan cara
memberikan kepada mahasiswa pengalaman belajar dan bekerja
dalam kegiatan pembangunan masyarakat bidang kesehatan
sebagai wahana penerapan dan pengembangan ilmu yang
dilaksanakan di luar kampus dalam waktu, mekanisme dan
persyaratan tertentu. (Poltekkes Semarang, 2017).

B. Definisi Diabetes Mellitus


Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai
suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi
etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai

5
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai
akibat dari insufisiensi fungsi insulin. Diabetes Melitus tidak dapat
disembuhkan tetapi kadar gula darah dapat dikendalikan melalui diet,
olah raga, dan obat-obatan. Untuk dapat mencegah terjadinya
komplikasi kronis, diperlukan pengendalian DM yang baik (Perkeni,
2011).
Diabetes Militus adalah keadaan kronik yang berkarakteristik
penyakit progresif oleh ketidakmampuan tubuh untuk metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang menuju pada
hiperglikemia(peningkatan gula darah). Diabetes militus mengacu
sebagai “gula yang tinggi” oleh Klien dan penyedia perawatan
kesehatan.

C. Etiologi
Klasifikasi etiologi Diabetes mellitus menurut American Diabetes
Association, 2010 adalah sebagai berikut:
1. Diabetes tipe 1(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut) : Autoimun dan Idiopatik. Pada
Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent), lebih sering
ternyata pada usia remaja. Lebih dari 90% dari sel pankreas
yang memproduksi insulin mengalami kerusakan secara
permanen.
2. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan
resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang
terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin).Diabetes
tipe 2 (Diabetes Non Insulin Dependent) ini tidak ada kerusakan
pada pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin, bahkan
kadang - kadang insulin pada tingkat tinggi dari normal. Akan
tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin, sehingga
tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Diabetes melitus tipe 2 yang dahulu disebut diabetes melitus
tidak tergantung insulin (non-insulin-dependent diabetes

6
melitus/NIDDM) atau diabetes onset dewasa – merupakan
kelainan metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah
yang tinggi dalam konteks resistensi insulin dan defisiensi insulin
relatif. Gejala klasiknya antara lain haus berlebihan, sering
berkemih, dan lapar terus-menerus. Diabetes tipe 2 berjumlah
90% dari seluruh kasus diabetes dan 10% sisanya terutama
merupakan diabetes tipe 1 dan diabetes gestasional.
Kegemukan diduga merupakan penyebab utama diabetes tipe 2
pada orang yang secara genetik memiliki kecenderungan
penyakit ini. (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas).
Diabetes tipe 2 diduga disebabkan oleh kombinasi faktor genetik
dan lingkungan. Banyak Klien diabetes tipe 2 memiliki anggota
keluarga yang juga menderita diabetes tipe 2 atau masalah
kesehatan lain yang berhubungan dengan diabetes, misalnya
kolesterol darah yang tinggi, tekanan darah tinggi (hipertensi) atau
obesitas. Keturunan ras Hispanik, Afrika dan Asia memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk menderita diabetes tipe 2.
Sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko menderita
diabetes tipe 2 adalah makanan dan aktivitas fisik kita sehari-hari.
Berikut ini adalah faktor-faktor risiko mayor seseorang untuk
menderita diabetes tipe 2.
1. Riwayat keluarga inti menderita diabetes tipe 2 (orang tua atau
kakak atau adik)
2. Tekanan darah tinggi (>140/90 mm Hg)
3. Dislipidemia: kadar trigliserida (lemak) dalam darah yang tinggi
(>150mg/dl) atau kadar kolesterol HDL <40mg/dl
4. Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa
Darah Puasa Terganggu (GDPT)
5. Riwayat menderita diabetes gestasional atau riwayat melahirkan
bayi dengan berat lahir lebih dari 4.500 gram
6. Makanan tinggi lemak, tinggi kalori

7
7. Gaya hidup tidak aktif (sedentary)
8. Obesitas atau berat badan berlebih (berat badan 120% dari berat
badan ideal)
9. Usia tua, di mana risiko mulai meningkat secara signifikan pada
usia 45 tahun
10. Riwayat menderita polycystic ovarian syndrome, di mana terjadi
juga resistensi insulin

D. Patofisiologi
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor
khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian
insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa
oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan,
dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal
atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka
kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri
khas dari diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan
produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis
diabetic tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian,
diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah

8
akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler
nonkotik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes
yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi
glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan
progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Jika gejalanya dialami Klien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliura,
polidipsia, luka pada kulit yang lama tak sembuh-sembuh, infeksi
vagina atau pandangan kabur. Untuk sebagian besar Klien (kurang
lebih 75%) penyakit diabetes tipe II yang dideritanya ditemukan
secara tidak sengaja (misalnya, pada saat Klien menjalani
pemeriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu konskuensi tidak
terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun adalah
bahwa komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan mata,
neuropati, perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi
sebelum diagnosa ditegakkan.
Penanganan primer diabetes tipe II adalah dengan menurunkan
berat badan. Karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas.
Latihan merupakan unsur yang penting pula untuk meningkatkan
efektifitas insulin. Obat hipoglikemia oral dapat ditambahkan jika diet
dan latihan tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Jika
penggunaan obat oral dengan dosis maksimal tidak berhasil
menurunkan kadar glukosa hingga tingkat yang memuaskan, maka
insulin dapat digunakan. Sebagian Klien memerlukan insulin untuk
sementara waktu selama periode stress fisiologik yang akut, seperti
selama sakit atau pembedahan (Brunner & Suddart. 2002).

E. Klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk
diabetes melitus berdasarkan perawatan dan simtoma yaitu Diabetes
tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali

9
disertai dengan sindrom resistansi insulin. Diabetes melitus tipe
2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes,
non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe
diabetes melitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di
dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme
yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang
mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin,
resistensi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi
GLUT10 dengan kofaktor horon resistin yang menyebabkan sel
jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap
insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot
lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen
tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan
kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya
sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya
kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi
dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas
terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar,
namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin
berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Faktor lain
meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang
terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak
remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil
diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara
perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan
asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat
memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian
berat/beban adalah rendah hati.

10
F. Manifestasi Klinis
Keluhan umum Klien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia
pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu
Klien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada
pembuluh darah dan saraf. Keluhan yang sering muncul adalah
adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada
tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada
tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim. Menurut
Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering
ditemukan adalah Katarak, Glaukoma, Retinopati, Gatal seluruh
badan, Pruritus Vulvae, Infeksi bakteri kulit, Infeksi jamur di kulit,
Dermatopati, Neuropati perifer, Neuropati visceral, Amiotropi, Ulkus
Neurotropik, Penyakit ginjal, Penyakit pembuluh darah perifer,
Penyakit koroner, Penyakit pembuluh darah otak, Hipertensi,
Komplikasi.
1. Akut : Hipoglikemia, Diabetik ketoasidosis (KTA), Sindrom non
ketotik hiperosmolar hiperglikemia (SNKHH).
2. Kronis
a. Mikrovaskular (Retinopati, Nefropati, Neuropati),
b. Makrovaskular (Kardiovaskular)
c. Serangan jantung.
Kadar gula darah tak terkendali membuat darah mengental serta
menyebabkan pengerasan dan penyempitan pembuluh darah.
Sumbatan pembuluh darah mudah terjadi, jantung kurang darah,
akhirnya otot jantung berhenti (infark).

G. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
1. Tes toleransi glukosa (TTG) memanjang, > 200 mg/dL. Biasanya
tes ini dianjurkan untuk Klien yang menunjukkan kadar glukosa
darah meningkat di bawah kondisi stress.
2. Gula darah puasa (FBS) ; >140 mg/dl

11
3. Kadar glukosa sewaktu (GDS) ; >200 mg/dl
4. Urinolisa positif terhadap glukosa dan keton.
5. Untuk kelompok resiko tinggi DM seperti usia dewasa tua,
hipertensi, obesitas, dan riwayat keluarga, dan menghasilkan
hasil pemeriksaan negatif. Perlu pemeriksaan penyaring setiap
tahun bagi beberapa paisen.

H. Diagnosa keperawatan
1. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
tentang penyakit
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan masukan oral, mual, anoreksia, peningkatan
metabolisme protein dan lemak
3. Devisit volume cairan dean elektrolit berhubungan dengan
diuresis osmotik
4. Intoleransi aktivitas penurunan simpanan energy
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangrene
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan ekstremitas gangreneb
7. Resiko injuri berhubungan dengan gangguan penglihatan
8. Resiko gangguan volume cairan lebih.

12
BAB III
HASIL KEGIATAN

A. Tinjauan Kasus
Nama KK :Tn.S
Alamat Lengkap :Kp. Cereme RT 05 RW 04, Desa pasir muncang
Kec. Jayanti Kab. Tangerang.
1. Identitas Kasus/Klien/Klien
Nama : Ny R
Umur : 64 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMP
2. Keluhan Utama/Kondisi Saat Ini
Klien mengatakan sering terbangun di malam hari untuk buang air
kecil, sering mengatakan haus, sering merasa kelelahan dan
lemas.
3. Riwayat Penyakit Terdahulu
Klien mengatakan jika tidak pernah menderita penyakit tertentu dan
di keluarga tidak ada yang memiliki penyakit keturunan
4. Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
a. Pola Pemenuhan Nutrisi
Klien mengatakan makan tidak tentu terkadang 2 kali sehari
atau 3 kali sehari, porsi makan hanya 2 – 3 sendok nasi putih
dengan jenis makanan berupa sayur dan lauk, dan Klien minum
air putih sebanyak 8-10 gelas perhari.
b. Pola Pemenuhan Eliminasi
Klien mengatakan BAB 1x/hari konsistensi lunak dan berwarna
kuning, BAK lebih dari 10x/ hari dan berwarna coklat keruh.

13
1) Pola Pemenuhan Kebutuhan Istirahat
Klien mengatakan hanya tidur ± 5 jam sehari, sering
terbangun di malam hari sehingga tidak menentu.
2) Personal Hygiene
Klien mengatakan mandi 2x sehari, menggosok gigi 2x
sehari ketika mandi, mencuci rambut dengan menggunakan
sampo 2 hari sekali, dan Klien menggunting kuku seminggu
sekali.
B. Implementasi Kegiatan
1. Implementasi Keperawatan
Dalam keperawatan hal yang dilakukan kepada Ny.R yaitu :
a. Pada hari pertama mahasiswa perawat melakukan pemeriksaan
fisik dan tanda-tanda vital.
b. Pada hari kedua mahasiswa perawat memberikan pendidikan
kesehatan tentang gangguan system endokrin pada penderita
Diabetes Melitus.
c. Pada hari ketiga mahasiswa perawat memantau bagaimana
klien mengatur pola makan pada penderita Diabetes Melitus.
2. Implementasi Kebidanan
Dalam kebidanan hal yang dilakukan kepada Ny.R yaitu :
a. Pada hari kedua mahasiswa bidan memberikan pendidikan
kesehatan tentang gangguan sistem reproduksi pada penderita
Diabetes Melitus.
b. Pada hari ketiga mahasiswa bidan memberikan pendidikan
kesehatan tentang pentingnya olahraga.
3. Implementasi Analis Kesehatan
Hal yang dilakukan analis kesehatan kepada Ny.R yaitu :
a. Pada hari pertama mahasiswa analis kesehatan melakukan
pemeriksaan penunjang dengan memeriksa kadar gula darah
(GDS) pada Ny.R dan didapatkan hasil 280 mg/dl.
b. Pada hari ketiga mahasiswa analis kesehatan melakukan
pemeriksaan penunjang dengan memeriksa kadar gula darah
(GDS) pada Ny.R dan didapatkan hasil 220 mg/dl.

4. Identifikasi Overlapping
Overlapping antar profesi kesehatan terjadi pada keperawatan dan
kebidanan dalam melakukan pemeriksaan fisik.

5. Identifikasi Keunikan Masing-Masing Profesi


a. Keperawatan memiliki keunikan tersendiri yaitu dapat
melakukan perawatan dan memberikan bentuk support mental
pada klien dengan Diabetes Melitus.
b. Kebidanan memiliki keunikan tersendiri yaitu bisa melakukan
penkes fokus tentang Kesehatan reproduksi pada penderita
Diabetes Melitus.
c. Analis kesehatan memiliki keunikan tersendiri yaitu melakukan
pemeriksaan dan membaca hasil pemeriksaan laboratorium
kemudian melakukan interpretasi pada Ny.R.

6. Pengalaman Positif Yang Didapat


Pengalaman positif yang kami dapatkan selama memberikan
asuhan kepada klien dan keluarga binaan yaitu saling memberikan
pengetahuan dan berbagi ilmu tentang pemeriksaan yang dilakukan
di masing-masing bidang profesi dan mengaplikasikan ilmu yang
sudah kami dapatkan selama pembelajaran di kampus dan
menerapkannya kepada klien dan keluarga binaan selama PKL
Terpadu ini.
BAB IV
MONITORING SETELAH INTERVENSI

Monitoring dilakukan selama 3 hari dari tanggal 02 Mei-04 Mei 2019,


selanjutnya dilakukan monitoring dari intervensi selama 3 hari. Hasil monitoring hari
pertama yaitu melakukan pemeriksaan TTV normal dengan hasil N: 80 x/m, S:
36,5oc, R: 22 x/m, TD : 120/70 MMHg dengan hasil GDS 280 mg/dl. Hasil
monitoring hari ke kedua yaitu melakukan pemeriksaan TTV dengan hasil N: 80 x/m,
S: 36,5oc, R: 22 x/m, TD : 120/70 MMHg. Hasil monitoring pada hari ketiga yaitu
melakukan pemeriksaam TTV N: 80 x/m, S: 36,5oc, R: 22 x/m, TD : 120/70 MMHg
dan hasil GDS 220 mg/dl.
Table 4.1
A. Permasalahan
NO MASALAH TINDAKAN RTL
1 Kurangnya 1. Memberikan 1. Anjurkan Ibu
pengetahuan pendidikan kesehatan untuk makan
tentang mengenai Diabetes makanan sesuai
Diabetes Melitus Melitus diit Diabetes
2. Mendiskusikan tentang Melitus
diit Diabetes Melitus
2 Resiko 1. Memeriksa kadar gula 1. Anjurkan Ibu
terjadinya darah sewaktu untuk
kekurangan 2. Memeriksa tanda- memeriksakan
volume cairan tanda vital kesehatan setiap
1 bulan sekali diri
ke puskesmas
terdekat
2. Anjurkan Ibu
untuk minum air
putih 8 gelas
sehari.

16
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah dilakukannya implementasi selama 3 hari terhadap klien,
didapatkan hasil yakni klien dapat memahami tentang Diabetes Melitus
terutama dalam pengobatan. Klien mampu melakukan perubahan
perilaku hidup sehat dan sedikit demi sedikit memiliki keinginan untuk
melakukan pengobatan kembali secara rutin ke fasilitas kesehatan.

B. Saran
Diharapkan masyarakat mampu melakukan perubahan pola hidup
sehatnya agar terhindar dari berbagai penyakit, baik menular ataupun
tidak menular. Agar kesejahteraan hidup tercapai dan terlaksananya
Gerakan Masyarakat Hidu Sehat.

17
DAFTAR PUSTAKA

SmartPatien. 2016. Diabetes Melitus. Hospital Authority Infodatin. Waspada


Diabetes.

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
diabetes

18
LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan

2. Satuan Acara Penyuluhan (SAP)

3. Dokumentasi Kegiatan.

Anda mungkin juga menyukai