Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Objek dalam pembahasan ilmu fiqhi adalah perbuatan mukalaf ditinjau

dari segihukum syara’ segala hukum syara’yang tetap baginaya, seorang fiqhi

telah membahas tentang jual beli mukalaf, sewa menyewa, pegadaian,


perwakilan, sholat, puasa hajji, pembunuhan tuduhanterhadap zinah, pencurian

ikrar dan wakaf yang di lakukan mukalaf, supaya ia mengerti tentang hokum

syara’ dalam segala perbuatan ini. Perkembangan dunia moderen pada abad ini

telah mengikis perkembangan agama khususnya pada tingkah laku dan kegiatan

umat Islam, sehingga perlu hasil ijtihad para ulama terkuhusus pada ilmu fiqih.

Ilmu ushul fiqhi adalah dalil syara’ yang bersifar umum ditinjau dari segi

ketetapan hokum yang bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan–ketetapan

hokum yang bersifat umum pula.Jika seseorang pakar ilmu ushul membahas

tentang qiyas dan perintah (amr) dan dalalahna, demikian seterusnya.

Al˗qur’andan As-sunnah adalah dalil syara’ yang pertama bagi setiap hokum.

Nash˗nash tidaklah datang dalam satu bentuk saja, akan tetapi diantara ada yang

datang dalam bentuk umum atau mutlak.

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) dan Qawaidul Ushuliyah

(kaidah-kaidah Ushul) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak dari kita

yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu

Qawaidul fiqhiyah dan kaidah ushuliyah. Melihat dari fungsinya kaidah ushuliyah

dan kaidah fiqhiyah digunakan sebagai sarana ushul dalam menggali hukum
2

syar’i. Maka dari itu kedua ushul ini sangat penting untuk di pelajari. Maka dari

itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang

menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah

fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang

berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan

lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik,


budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus

muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian ushul fiqh dan qawaidul fiqhiyah ?

2. Apa keistimewaan qawaidul fiqhiyah dibanding ushul fiqh ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian ushul fiqh dan qawaidul fiqhiyah

2. Untuk mengetahui keistimewaan qawaidul fiqhiyah disbanding ushul fiqh


3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ushul Fiqh dan Qawaidul Fiqhiyah

1. Pengertian ushul fiqh

Jika fiqih adalah paham mengenai sesuatu sebagai hasil dari

kesimpulan pikiran manusia. Maka Ushul Fiqih adalah dasar yang dipakai
oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan

manusia sebagai anggota masyarakat. Perkataan dasar yang dipergunakan

dalam pengertian benda (seperti dasar kain untuk bajnu misalnya). Akan tetapi

dasar adalah bahan-bahan yang dipergunakan oleh pikiran manusia untuak

membuat hukum fiqih, yang menjadi dasarnya, yaitu:

a. Alquran

b. Sunnah Nabi Besar Muhammad SAW (hadits)

c. Ra’yu atau akal, seperti qiyas dan ijma’ adalah alat yang dipergunakan

oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum tersebut, akan tetapi dalam

perkembangan kemudian, hasil dari pemikiran rasio (akal) berupa qiyas

dan ijma’ itu diakui sebagai dasar ke-3 dan ke-4.1

Penjelasan diatas hanya merupakan pengertian ushul fiqih secara

umum, ushul fiqih ini mempunyai beberapa pengertian dari para ulama ahli

ilmu fiqih.

1
Mukhlis Usman, Kaidah- Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam
Istinbath Hukum Islam, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.79

3
4

a. Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy

“Ushul Fiqih itu ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk

mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-

kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum)”. Dalil-dalil yang dimaksud

adalah undang-undang (kaidah-kaidah yang ditimbulkan dari bahasa.

Maka dari uraian diatas dapat dipahami bahwa yang dikehendaki dengan

Ushul Fiqih adalah dalil-dalilnya seperti Alquran, sunnah Nabi, Ijma’ dan
qiyas.2

b. Drs. Muhammad Thalibu

Ushul Fiqih adalah kaidah-kaidah yang merupakan saran untuk

mendapatkan hukumnya, perbuatan yang diperoleh dengan jalan

mengumpulkan dalil secara terinci.

c. Hanafi

Ushul adalah sumber atau dalil. Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum

syara’ tentang perbuatan seseorang mukallaf, seperti hukum wajib, haram,

mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan lain-lain. Orang yang

mengetahui hukum-hukum itu disebut Faqih. Hukum-hukum tersebut ada


sumbernya (dalilnya), yaitu Quran, hadits, Ijma’ dan Qiyas.

d. Abdul Wahab Khalaf

Ilmu Ushul Fiqih istilah adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan

pembahasan-pembahasan yang merupakan cara kuntuk menemukan

hukum-hukm syara’ yang maliyah dari dalil-dalilnya secara rinci. Atau

kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan yang merupakan cara untuk

2
Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
(Bandung; Alma’arif,1986), h..52
5

menemukan (mengambil) hukum syara’ yang amaliyah dari dalil-dalilnya

secara rinci.3

2. Pengertian qawaidul fiqhiyah

Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang

kaidah-kaidah fiqh dan diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali

dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita

mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh. Qawaid
merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia

disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson

menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-

Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq

(metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl

ayat 26 :

ُ ‫س ْق‬
‫ف ِم ْن‬ َ ‫َّللاُ بُ ْنيَا َن ُه ْم ِمنَ ْالقَ َوا ِع ِد فَخ ََّر‬
َّ ‫علَ ْي ِه ُم ال‬ َّ ‫قَ ْد َم َك َر الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم فَأَتَى‬
َ‫ْث ََل يَ ْشعُ ُرون‬ ُ ‫اب ِم ْن َحي‬ ُ َ‫فَ ْوقِ ِه ْم َوأَتَا ُه ُم ْالعَذ‬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah

Mengadakan makar, Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari


fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan

datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.”

Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti,

menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan

bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui

oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”. Sedangkan mayoritas Ulama

3
Yusuf Irawan, Ushul Fiqh, (Jakarta; Medika Jaya, 2001), h. 80
6

Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum yang biasa berlaku yang

bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”. Sedangkan arti fiqh secara

etimologi lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah

ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah

(praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi, dari

semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :

”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua


bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya

diketahui hukum-hukum cabang itu”.

Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fiqhiyah adalah pedoman

umum dan universal bagi pelaksanaan hukum islam yang mencakup seluruh

bagiannya. Kaidah Fiqhiyah disebut juga kaidah syari’ah yang berfungsi

untuk memudahkan mujtahid mengisntinbatkan hukum yang bersesuaian

dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia. Titik tolak pelaksanaan

hukum islam diatur oleh kaidah-kaidah yang berifat universal yang

merupakan stasiun keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah

yang menyatakan bahwa keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, setiap


perbuatan harus dilandasi dengan keyakinan, bukan oleh keraguan. Abdul

Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik telah

mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik

mengenai perdata, pidana, ekonomi, dan undang-undang dasar telah sempurna

dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-

qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas terhadap suatu cabang undang-

undang.
7

Dibuat demikian agar prinsip-prisip umum, qanun-qanun yang

mulia ini menjadi petunjuk bagi mujtahid dalam menetapkan hukum dan

menjadi pelita dibawah sinaran nyala api untuk mewujudkan keadilan dan

kemashlahatan ummat. Lebih lanjut Khallaf menyatakan bahwa diatara nash-

nash tasyrik yang telah menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun

kulliyah yang dengan dia diterangi segala undang-undang. Dan diantara nash-

nash tasyrik ada yang menetapkan hukum-hukum yang asasi dalam cabang
fiqh yang bersifat amali. Dan Al-Qur’an membatasi diri untuk menerangkan

dasar-dasar yang menjadi sendi bagi tiap undang-undang agar membuahkan

hukum. Keluasan dan kelastisan hukum nash-nash Al-Qur’an itu merupakan

koleksi membentuk undang-undang yang terdiri dari daar dan prinsip umum

yang membantu ahli undang-undang dalam usaha mewujudkan keadilan dan

kemashlahatan ummat di setiap masa dan tidak bertentangan dengan setiap

undang-undang yang sudah adil yaitu mewujudkan kemaslahatan masyarakat.

Ungkapan khallaf tersebut megisyaratkan bahwa lapangan fiqh begitu luas,

karena mencakup berbagai hukum furuq, karena itu perlunya kristalisasi

masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok


itu merupakan kumpulan dari masalah yang serupa.

Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid

merasa lebih mudah dalam megisthimbatkan hukum bagi suatu masalah,

yakni menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Dalam kitab faraidul bahiyah disebutkan, yang artinya: “Sesungguhnya

cabang-cabang masalah fiqh itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah


8

fuqhiyah, maka menghafalkan kaidah itu besar fungsinya’’. 4 Selanjutnya

Imam Abu Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah

adalah suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak

kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut. Sedang Al-

Qrafi dalam furu’nya mengatakan bahwa seseorang fiqh tidak akan besar

pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak

berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak yang bertentangan
dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah

tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya.5

B. Keistimewaan Qawaid Fiqhiyah dibanding Ushul Fiqh

Kita yang hidup pada masa kini, bahkan disetiap masa, selalu

membutuhkan seorang ahli hukum (faqih) dengan kredibilitas tinggi, yang

menguasai metode metode ijtihad dan memiliki naluri hukum sehingga dapat

melakukan istinbat hukum syari dari dalil dalilnya, terutama dalam masalah-

masalah kontemporer dan aktual yang sangat banyak dan terus berkembang,

bahkan nyaris tak pernah berakhir dan berhenti pada satu titik. Kaidah-kaidah

fiqih atau qawaid fiqhiyyah merupakan instrumen yang membantu seorang faqih
untuk memahami masalah-masalah partikular (al juz’iyat). Masalah-masalah yang

mirip dan serupa (al ashbah wa an nazha’ir) di dalam seluruh pokok bahasan

fiqih. Kaidah-kaidah ini sangat banyak dan bercabang-cabang. Dari sini, seorang

pengkaji hukum islam atau faqih tidak dapat memahami segala sisi kajian hukum

islam kecuali jika ia mempelajari qawa’id fiqhiyah. Semakin tinggi tingkat

prestisenya akan semakin naik dan rangkingnya pun akan semakin meningkat,

4
Asjmuni A. Rahman, Ushul Fiqh (Jakarta; Pustaka Jaya, 1999), h.17
5
Asjmuni A. Rahman, Ushul Fiqh h. 18
9

dan terbukalah jalan dihadapannya menuju prosedur fatwa.6 Oleh karena itu,

mempelajari qawaid fiqhiyyah merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang

menggeluti dunia fiqih, baik pada tatanan khusus maupun umum.

Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari

kaidah-kaidah fikih ini, antara lain: "Dengan kaidah-kaidah fikih kita tahu hakikat

dari fikih, objek bahasanfikih, cara pengambilan fikih dan rahasia-rahasia fikih,

menjadi terampil di dalam memahami fikih dan menghadirkan


fikih".Sesungguhnya kaidah-kaidah fikih itu menggambarkan nilai-nilai fikih,

kebaikan dan keutamaan serta intinya. Dari bentuk dan uraian tentang kaidah

fikih menampakkan pola pikir fikih Islam yang sangat luas dan mendalam dan

tampak pula kekuatan filosofinya yang rasional serta kemampuannya di dalam

mengumpulkan fikih dan mengembalikannya kepada akarnya". Hasbi al-

Shiddieqy menyatakan bahwa nilai seorang fakih (ahli hukum Islam) diukur

dengan dalam dan dangkalnya dalam kaidah fikih ini, karena di dalam kaidah

fikih terkandung rahasia dan hikmah-hikmah fikih" Dari uraian di atas bisa

disimpulkan kegunaan kaidah-kaidah fikih, antara lain:

1. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas


umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih

yang banyak sekali jumlahnya. Dengan kaidah-kaidah fikih kita mengetahui

benang merah yang mewarnai fikih dan menjadi titik temu dari masalah-

masalah fikih.

6
Nasheer Farid Muhamad, Qawaid fiqhiyah, (Jakarta : AMZAH, 2013), h. V
10

2. Dengan memerhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan

hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi, yaitu dengan memasukkan

masalah tadi atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.

3. Dengan kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih dalam waktu

dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.

4. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari

berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan


pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.

5. Orang yang mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia

dan semangat hukum-hukum Islam (ruh al-hukrn) yang tersimpul di dalam

kaidah-kaidah fikih.

6. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul,

akan memiliki keluasan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati

kepada kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, di dalam buku Ade Dedi Rohayana,

perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan ushul fiqh adalah sebagai berikut:7

1. Ilmu ushul fiqh merupakan parameter (tolok ukur) cara beristinbath fiqh yang

benar, kedudukan ilmu ushul fiqh (dalam fiqh) ibarat kedudukan ilmu nahwu

dalam hal pembicaraan dan penulisan. Ushul fiqh merupakan wasilah,

jembatan penghubung, antara dalil dan hukum. Tugas ushul fiqh adalah

mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci). Ruang lingkup

ushul fiqh adalah dalil dan hokum, seperti amar itu menunjukkan wajib, nahyi

7
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2008), h. 30
11

menunjukkan haram, dan wajib mukhayar (kifayah) bila telah dikerjakan

sebagian orang, maka yang lainnya bebas dari tanggung jawab. Qawa’id

fiqhiyyah adalah qadliyyah kulliyah atau aktsariyah (mayoritas) yang juz’i-

juz’inya (farsial-farsialnya) beberapa masalah fikih dan ruang lingkupnya

selalu perbuatan orang mukallaf;

2. Ushul fiqh merupakan qawa’id kulliyah yang dapat diaplikasikan pada

seluruh juz’i dan ruang lingkupnya. Ini berbeda dengan qawa’id fiqhiyyah
yang merupakan kaidah aghlabiyah (mayoritas) yang dapat diaplikasikan pada

sebagian besar juz’inya, karena ada pengecualiannya;

3. Ushul fiqh merupakan zari’ah (jalan) untuk mengeluarkan hukum syara’

amali. Qawa’id fiqhiyyah merupakan kumpulan dari hokum-hukum serupa

yang mempunyai ‘illat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai

persoalan dan mempermudah mengetahuinya.

4. Eksistensi qawa’id fiqhiyyah baik dalam opini maupun realitas lahir setelah

furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan dan mengoleksi

makna-maknanya. Adapun ushul fiqh dalam opini dituntut eksistensinya

sebelum eksisnya furu’, karena akan menjadi dasar seorang faqih dalam
menetapkan hokum. Posisinya seperti Al-Qur’an terhadap Sunnah dan nash

Al-Qur’an lebih kuat dari zhahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’ tidak dapat

dijadikan alasan bahwa furu’ itu lahir lebih dahulu, furu’ sebagai inspiratory

lahirnya ushul fiqh. Posisinya seperti anak terhadap ayah, buah terhadap

pohon, dan tanaman terhadap benih.

5. Qawa’id fiqhiyyah sama dengan ushul fiqh dari satu sisi dan berbeda dari sisi

yang lain. Adapun persamaannya yaitu keduanya sama-sama mempunyai


12

kaidah yang mencakup berbagai juz’I, sedangkan perbedaannya yaitu kaidah

ushul adalah masalah-masalah yang dicakup oleh bermacam-macam dalil

tafshili yang dapat mengeluarkan hukum syara’, kalau kaidah fikih adalah

masalah-masalah yang mengandung hukum-hukum fikih saja. Mujtahid dapat

sampai kepadanya dengan berpegang kepada masalah-masalah yang

dijelaskan ushul fiqh tersebut. Kemudian bila seorang fakih mengaplikasikan

hukum-hukum tersebut terhadap hukum-hukum farsial, maka itu bukanlah


kaidah. Namun, bila ia menyebutkan hukum-hukum tersebut dengan

qadiyyah-qadiyyah kulli (kalimat-kalimat universal) yang dibawahnya

terdapat berbagai hukum juz’i, maka itu disebut kaidah. Qawa’id kulliyyah

dan hukum-hukum juz’i benar-benar masuk dalam madlul (kajian) fikih,

keduanya menunggu kajian mujtahid terhadap ushul fiqh yang


membangunnya.

Kemudian diantara keistimewaan qawa’id fiqhiyyah yang tidak terdapat


dalam ushul fiqh adalah sebagai berikut:

1. Memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga sebagai

barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang masuk dalam ruang

lingkupnya.

2. Dapat menunjukkan bahwa hukum-hukum yang sama ‘illatnya meskipun

berbeda-beda merupakan satu jenis ‘illat dan maslahat.

3. Sebagian besar masalah ushul fiqh tidak mengkaji hikmah tasyri’ dan

maksudnya, tetapi mengkaji bagaimana mengeluarkan hokum-hukum dari

lafaz-lafaz syar’i dengan menggunakan kaidah yang mungkin dapat


13

mengeluarkan furu’ dari lafaz-lafaz syar’i tersebut. Sebaliknya, qawa’id

fiqhiyyah mengkaji maksud-maksud syara’ secara umum maupun khusus,

juga sebagai parameter dalam mengidentifikasi rahasia-rahasia hukum dan

hikmah-hikmahnya.8

8
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah h. 33
14

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Jika fiqih adalah paham mengenai sesuatu sebagai hasil dari kesimpulan

pikiran manusia. Maka ushul fiqih adalah dasar yang dipakai oleh pikiran

manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai


anggota masyarakat sedangkan qawaidul fiqhiyah adalah : ”suatu perkara kulli

(kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-

cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang

itu”.

2. Kita yang hidup pada masa kini, bahkan disetiap masa, selalu membutuhkan

seorang ahli hukum (faqih) dengan kredibilitas tinggi, yang menguasai

metode metode ijtihad dan memiliki naluri hukum sehingga dapat melakukan

istinbat hukum syari dari dalil dalilnya, terutama dalam masalah-masalah

kontemporer dan aktual yang sangat banyak dan terus berkembang, bahkan

nyaris tak pernah berakhir dan berhenti pada satu titik. Kaidah-kaidah fiqih

atau qawaid fiqhiyyah merupakan instrumen yang membantu seorang faqih

untuk memahami masalah-masalah partikular (al juz’iyat).

B. Saran

Semoga setelah membaca makalah ini kita dapat mengetahui tentang

keistimewaan qawaid fiqhiyyah dibanding ushul fiqh sehingga menjadi

pengetahuan yang berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

14
15

DAFTAR PUSTAKA

Dedi Rohayana, Ade. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta : Gaya Media Pratama).

2008.

Farid Muhamad, Nasheer. Qawaid fiqhiyah, (Jakarta : AMZAH). 2013.

Irawan, Yusuf. Ushul Fiqh, (Jakarta; Medika Jaya). 2001.

Rahman, Asjmuni A. Ushul Fiqh (Jakarta; Pustaka Jaya). 1999.

Usman, Mukhlis. Kaidah- Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam

Istinbath Hukum Islam, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada). 2002.

Yahya, Mukhtar. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,

(Bandung; Alma’arif). 1986.

15

Anda mungkin juga menyukai