Dosen Pengampu
Drs. Sumarjono, M.Si.
Oleh
Kelompok: 6
1. Rikki Purwansah 170210302020
2. Muchammad Kusdiyanto 170210302021
3. Uswatun Khasanah 170210302024
4. Shera Pramudea 170210302025
Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
lancar.Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Nabi akhir zaman yang telah menunjukkan kita ke jalan yang diridhoi Allah
SWT.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Sejarah Australia dan Osenia
dengan judul “SEJARAH HUBUNGAN LAUT KUNO”di Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Jember.Kami
berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kami dalam penyusunan
makalah ini.Namun sebagai manusia biasa, kami tidak luput dari kesalahan dan
kekhilafan.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami
sangat menyadari hasi dari paper ini masih kurang senpurna, oleh karena itu kami
mengharapkan saran serta kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.
Penyusun
DAFTAR ISI
2.3 Sejarah Hubungan Jalur Laut Zaman Kuno Nusantara dan Kawasan
Asia
A. Perdagangan dan Pelayaran Kuno di Indonesia
Sampai sekitar tahun 1500, di Indonesia sudah terjadi hubungan perdagangan
antarpulau. Perdagangan antarpulau itu dilakukan melalui pelayaran antarpulau.
Bangsa Indonesia yang tinggal di satu pulau dengan menggunakan kapal
melakukan pelayaran ke pulau lain untuk melakukan perdagangan (Anshori, M.J.
2010: 35).
Adanya pelayaran dan perdagangan membuat kerajaan-kerajaan yang
letaknya terpencar di pulau-pulau Indonesia secara ekonomi, budaya, dan politik
telah bergabung dalam satuan-satuan yang lebih besar. Komunikasi dan lalu lintas
pelayaran dalam perdagangan antarpulau di Indonesia ini sangat mungkin
dilakukan karena masyarakatnya sudah lama mengembangkan jaringan hubungan
maritim yang baik. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu dikenal sebagai negara
maritime (Anshori, M.J. 2010: 35).
Sebagai negara maritim, pelayaran dan perdagangan di Indonesia hingga
sekitar tahun 1500 ditunjang oleh pengetahuan tentang arah angin yang digunakan
untuk pelayaran dan perdagangan. Misalnya, Arah angin pada bulan Oktober oleh
para pelaut bangsa kita dimanfaatkan untuk berlayar dari Maluku menuju pusat-
pusat perdagangan di Makassar, Gresik, Demak, Banten, sampai ke Malaka, dan
kota-kota lain di sebelah barat. Pada bulan Maret, pelayaran ke arah timur dapat
dilakukan dengan memanfaatkan angin barat, dilakukan pada bulan Juni sampai
dengan Agustus dimanfaatkan untuk berlayar ke arah utara Indonesia, seperti Cina,
Campa, dan lain-lain. Begitu juga pada bulan September dan Desember, Arah
angin yang digunakan untuk pelayaran kembali ke Indonesia (Anshori, M.J. 2010:
35-36).
Untuk melakukan pelayaran dengan menggunakan Arah angin ini tentu saja
memerlukan pengetahuan tentang sistem angin di kepulauan Indonesia.
Pengetahuan ini sudah dimiliki oleh para pelaut kita sebagai pengetahuan navigasi.
Alat navigasi yang sangat penting, di antaranya kompas dan strolabe. Kompas
sebagai pembantu untuk menentukan arah dan tempat menurut deklinasi dan
inklinasi jarumnya. Strolabe untuk menentukan lokasi menurut pengukuran
matahari, prioritas jika kapal berada di tengah-tengah laut. Namun demikian, masih
banyak yang berlayar secara tradisional yang berpegang pada pengetahuan yang
diperolehnya dari turun-temurun. Bahkan, ada yang menentang Arah Angin di laut
hanya dengan menggunakan intuisinva. Mereka menentukan lokasi
menentukannya berdasarkan intuisinya. Mereka menentukan lokasi keberadaannya
berdasarkan bentuk awan dan pantulan sinar matahari. Cara lainnya adalah dengan
melihat warna dan jenis air laut serta arusnya, ataupun melalui penciumannya
(Anshori, M.J. 2010: 36).
Jalur pelayaran dan perdagangan di wilayah Indonesia bagian barat dikuasai
oleh Sriwijaya selama berabat-abad. Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan
pusat kekuasaan. Sebagai pusat perdagangan, Sriwijaya banyak didatangi oleh
pedagang dari Persia, Arab, China, dan dari daerah-daerah di Nusantara seperti dari
pulau Jawa (Anshori, M.J. 2010: 36).
Kerajaan-kerajaan lainnya yang menguasai perdagangan di Nusantara adalah
kerajaan-kerajaan di jawa timur, seperti Kediri. Kerajaan-kerajaan di jawa timur ini
lebih banyak mengadakan hubungan perdagangannya kea rah timur Nusantara.
Hubungan perdagangan antar pulau di bagian timur nusantara ini sangat
memungkinkan karena di bagian barat nusantara, perdagangan sudah dikuasai
Sriwijaya. Bahkan sekitar abad ke 12 wilayah timur nusantara ini dikuasai
seluruhnya oleh kerajaan Kediri. Keberhasilan kerajaan Kediri dari pulau jawa dan
jawa timur ini disebabkan ketangguhan prajurit dan rakyatnya dalam berlayar
mengarungi lautan yang luas (Anshori, M.J. 2010: 36-37).
Kemajuan dan keberhasilan perdagangan di wilayah timur Nusantara oleh
kerajaan-kerajaan di jawa timur pada abad-ke 13 mendesak perdagangan sriwijaya.
Hubungan perdagangan antar pulau lebih banyak terjadi di wilayah timur. Apalagi
saat itu kerajaan Sriwijaya sudah mulai menurun kejayaannya.
Sejak kekuasaan perdagangan Sriwijaya menurun pada abad ke-13 itu,
perdagangan wilayah barat nusantara dikuasai oleh Malaka sejak abad XIV. Malaka
menjadi pusat perdagangan di Nusantara, bahkan terbesar di Asia. Para pedagang
dari Arab, Gujarat, Siam, Cina, Sumatra, Jawa, dan Maluku banyak berdatangan.
Akibatnya jalur perdagangan di Nusantara, khususnya di Malaka makin ramai
(Anshori, M.J. 2010: 37).
Jalur pelayaran dan perdagangan ked an dari Malaka, juga Asia Tenggara dan
Asia sangat ditentukan oleh arah angin. Adanya arah angin ini menimbulkan musim
panas atau musim barat daya dan musim dingin atau musim timur. Musim barat
daya yang terjadi dari Januari-Maret merupakan musim yang baik untuk jalur
pelayaran dari Asia bagian selatan ke Malaka. Pada musim panas, pelayaran tidak
dapat dilakukan dari Malaka ke tempat lain karena di daratan Asia angin membalik
arah menjadi angin barat daya. Pada bulan-bulan terakhir tahun lama dan bulan-
bulan pertama tahunbaru berikutnya, bangsa cina dan bangsa lain melakukan
pelayaran ke Malaka dengan menggunakan angin timur laut pada musim dingin di
daratan Asia. Bangsa cina melakukan perdagangan di Malaka selama enam bulan,
sambil menunggu berbaliknya arah angin dari Malaka ke Cina (Anshori, M.J. 2010:
37).
Sementara itu, para pedagang bangsa Indonesia mengadakan pelayaran untuk
perdagangan ke Malaka pada musim timur atau musim kemarau, yaitu bulan mei-
september. Mereka baru kembali dari malaka ke daerahnya masing-masing bulan
Januari pada waktu musim barat. Perdagangan Malaka pada saat itu sangat
bergantung pada rempah-rempah. Perdagangan rempah-rempah yang berpusat di
Maluku di kuasai oleh pedagang-pedagang dari jawa sehingga malaka mengadakan
hubungan dengan jawa. Selain rempah-rempah, pedagang Malaka membeli bahan
makanan dari jawa khususnya beras. Lama-kelamaan pelabuhan-pelabuhan di Jawa
makin ramai sehingga pulau jawa berfungsi sebagai stasiun tengah jalur
perdagangan perantara (Anshori, M.J. 2010: 37).
Tujuan utama perdagangan antara para pedagang dari bagian barat dan bagian
timur pada masa kekuasaan malaka adalah untuk memperoleh rempah-rempah.
Oleh karena malaka menjadi pusat perdagangan maka jalur perdagangan menyebar
dari arah barat di malaka, kemudian ke pelabuhan perantara di pulau jawa,
Kalimantan atau Sulawesi sebelum sampai di bagian timur, yaitu di Maluku sebagai
pusat penghasil rempah-rempah. Daerah Maluku menjadi pelabuhan terakhir jalur
pelayaran dan perdagangan internasional yang berakhir di teluk parsi atau laut
merah (Anshori, M.J. 2010: 38).
Sumber dan barang dagangan pada saat ramainya hubungan perdagangan
antar pulau di Indonesia bermacam-macam. Dari sumatera dan jawa banyak
dihasilkan lada atau padi (beras), dari Maluku dihasilkan rempah-rempah, seperti
cengkih dan pala. Kayu cendana dihasilkan dari nusa tenggara. Selain itu, di
Kalimantan banyak dihasilkan jenis kayu lainnya selain hasil-hasil hutannya seperti
rotan atau kapur barus. Pada saat itu, barang-barang dagangan ini ternyata ada pula
yang diperdagangkan kepada pedagang asing. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika rempah-rempah, kapur barus, kemenyan dari Indonesia sudah banyak tersebar
(Anshori, M.J. 2010: 38).
B. Jalur Perdagangan Kuno di Asia Tenggara
Pada dasarnya, jalur perdagangan di Asia Tenggara sampai sekitar tahun
1500 meliputi jalur perdagangan kuno di asia yang disebut jalur sutera dan jalur
perdagangan kuno di asia. Selain itu, juga menyangkut peranan pusat-pusat
perdagangan di sekitar laut tengah dan letak geografis Indonesia serta peranannya
dalam kegiatan perdagangan di asia sampai sekitar tahun 1500 (Anshori, M.J. 2010:
38-39).
1) Jalur Sutera
Jalur sutra di mulai dari Arab sampai ke bagian barat laut Tiongkok
melalui Persia dan Afganistan. Sedangkan jalur laut bermula dari teluk Persia
dan laut arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan China seperti Buang Zhou,
Quanzhou, Hangzhou, dan Yangho melalui teluk benggala, selat malaka, dan laut
china selatan (Tanggok, 2013: 9).
Kegiatan perdagangan di Asia sudah terjadi sejak lama. Kegiatan
perdagangan itu disebut sebagai jalur perdagangan kuno. Jalur perdagangan kuno
di Asia, di antaranya jalur sutera. Barang yang diperdagangkan bermacam-macam.
Begitu juga dengan angkutan yang digunakan di lalu lintas perdagangan itu pun
bermacam-macam (Anshori, M.J. 2010: 39).
Jalur perdagangan kuno yang terkenal di Asia dinamakan jalur sutera. Jalur
sutera merupakan jalur perdagangan darat antara Cina dengan kota-kota di pantai
timur Laut Tengah, misalnya Iskandaryah, Roma, dan Antiochia. Sebutan jalur
sutera dari barang dagangan yang diperjualbelikan Cina. Pada saat itu, Cina
merupakan penghasil kain sutra yang sangat baik mutunya. Kain sutra itu dibawa
melalui jalur darat ke kota-kota di pantai timur Laut Tengah oleh pedagang Cina.
Oleh karena itu, jalur perdagangannya disebut jalur sutera (Anshori, M.J. 2010: 39).
Jalur sutera merupakan lalu lintas perdagangan yang sangat penting karena
merupakan jalur yang menghubungkan kerajaan, yaitu Cina dan Romawi. Selain
itu, jalur sutera merupakan jalur perdagangan yang paling tua dan digunakan mulai
tahun 500 SM. Jalur sutra juga merupakan jalur perdagangan yang panjang
(Anshori, M.J. 2010: 39).
Untuk menempuh jalur sutra, para pedagang cina yang datang ke pantai timur
laut tengah atau sebaliknya menggunakan kuda, unta, atau keledai. Waktu yang
dibutuhkan sangat lama, bahkan memakan waktu berbulan-bulan. Oleh karena itu,
para pedagang sering beristirahat atau menginap ditengah padang pasir atau gurun
yang dilalui bersama unta dan kuda, serta keledai yang menjadi alat angkut
(Anshori, M.J. 2010: 39).
Barang dagangan yang diperjual belikan dalam jalur perdagangan ini, seperti
keramik, porselen, dan kain sutra. Barang-barang dagangan ini dapat menghasilkan
keuntungan yang besar. Oleh karena itu, para pedagang rela menempuh perjalanan
yang panjang di tengah panasnya gurun pasir. Disamping itu, di sepanjang jalur
sutra ternyata banyak binatang buas dan perampok sehingga sering mengakibatkan
kerugian yang besar bagi para pedagang. Hal tersebut menyebabkan para pedagang
memilih jalur laut, meskipun masih ada yang menempuh jalur sutra (Anshori, M.J.
2010: 39)
2) Jalur Laut di Asia Barat dengan Asia Tenggara dan Asia Timur (Cina)
Hubungan Perdagangan Asia hingga sekitar tahun 1500 melalui jalur Asia
Barat, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Negara di Asia Barat yang sudah mengenal
dan maju dalam perdagangannya adalah India. Di Asia Tenggara adalah kerajaan-
kerajaan yang ada di Indonesia, antara lain Sriwijaya, Singasari atau Kediri.
Sementara itu, di Asia Timur adalah Cina. Khusus untuk para pedagang Cina,
mereka menggunakan jalur laut untuk perdagangan. Namun demikian, adanya jalur
laut tidak membuat perdagangan melalui jalur sutera diambil. Pusat-pusat
perdagangan, antara lain di India ada Barygaza, Majurikota, Kamara, lalu Gujarat.
Di Cina pusat perdagangannya di Kanton dan Makau, sedangkan di Indonesia di
Sriwijaya, lalu diteruskan oleh Singasari, Kediri, dan Malaka. Barang-barang yang
dijualnya antara lain porselen dan sutera dari Cina (Anshori, M.J. 2010: 40).
Barang dagangan lainnya adalah emas, kayu cendana, rempah-rempah,
cengkih dan lada. Barang-barang yang dibeli melalui jalur laut yang semakin maju.
Di bandar pelabuhan terjadi pertukaran (jual beli) sutra dan porselen dari Cina,
rempah-rempah dari Indonesia, permata dari india, dan permadani dari Arab
(Anshori, M.J. 2010: 40).
Perdagangan melalui jalur laut dimulai dari Kanton (Cina) menyusuri pantai
Laut Cina Selatan menuju kawasan Asia Tenggara. Selat Malaka dan Selat Sunda
merupakan jalur strategis yang menghubungkan Asia Timur dengan Asia Barat.
Dari Selat Malaka, para pedagang singgah di pelabuhan India. Selanjutnya, dari
India, pedagang menyusuri Teluk Persia menuju pelabuhan Antiochia atau
Iskandariyah di kawasan Laut Tengah. Di pelabuhan Laut Tengah inilah pertemuan
para pedagang Asia dan pedagang Eropa (Romawi). Para pedagang Romawi
kemudian menyebarluaskan barang dagangan Asia ke seluruh Eropa. Jadi, laut
tengah merupakan mata rantai penghubung perdagangan antara asia dan eropa
(Anshori, M.J. 2010: 40).
Para pedagang dari Asia Barat, Asia Tenggara, Asia Timur, khusus India,
Cina, dan Indonesia mengumpulkan perdagangan melalui jalur laut ini dengan
menggunakan kapal-kapal laut untuk melakukan pelayaran. Pelayaran dengan
kapal-kapal, seperti kapal besar yang disebut jung, menggunakan Arah angin dan
musim yang terjadi di sekitar kawasan Asia tersebut. Pelayaran yang dilakukan
oleh para pedagang India dengan memanfaatkan angin yang bertiup ke wilayah
Cina atau Indonesia. Begitu pula para pedagang Cina jika mau ke India akan
memanfaatkan Arah angin yang sedang bertiup ke India atau ke Indonesia. Para
pedagang Indonesia pun sama-sama memanfaatkan angin atau musim yang bertiup
ke arah India atau Cina. Para pedagang yang menggunakan jalur laut ini
menggunakan kapal untuk mengarungi lautan yang luas dan penuh dengan bahaya.
Biasanya para pedagang singgah di pelabuhan- pelabuhan yang terletak di Pesisir
pantai. Di pelabuhan ini pun terjadi perdagangan (Anshori, M.J. 2010: 41).
Menjelang akhir tahun 1500, pusat perdagangan di Indonesia masih berada di
sekitar Selat Malaka. Oleh karena menjadi tempat bertemunya jalur perdagangan
dari barat, utara, dan timur, baik perdagangan di Asia Tenggara, Asia Timur,
maupun Asia Barat, perdagangan Malaka makin berkembang. Malaka berkembang
tidak hanya dari perdagangan rempah-rempah, tetapi juga dari hasil kerajinan.
Kemudian, timbullah dua jenis perdagangan, yaitu perdagangan primer dan
perdagangan sekunder (Anshori, M.J. 2010: 41).
Perdagangan primer adalah perdagangan rempah-rempah. Perdagangan
rempah-rempah merupakan perdagangan utama di Asia Tenggara, Asia Timur, dan
Asia Barat. Sebagai perdagangan sekunder adalah perdagangan bebas selain
perdagangan rempah-rempah, misalnya hasil kerajinan.emas, kain sutra, dan
porselen (Anshori, M.J. 2010: 41).
Perdagangan primer dan sekunder tersebut dilakukan dengan dua cara. Cara
pertama adalah pedagang menyediakan barang, kemudian diangkut dengan kapal
dan langsung dijual ke negara lain. Cara kedua adalah pedagang meminjamkan
modal berupa uang atau barang kepada nahkoda, setelah barang terjual, keuntungan
yang didapat di bagi antara pedagang dan nahkoda (Anshori, M.J. 2010: 41).
Para pedagang di Malaka, antara lain terdiri atas keluarga sultan, pegawai
tinggi, dan pedagang lain yang cukup memiliki modal. Mereka memiliki banyak
kapal dagang. Selain pedagang bangsa pribumi, juga banyak pedagang asing,
seperti orang Gujarat, Parsi, Arab, dan Benggal (Anshori, M.J. 2010: 41-42).
Hingga akhir abad XV, Malaka masih tetap menjadi pusat perdagangan di
Nusantara. Kekuasaan dan perdagangan Malaka mulai merosot sejak jatuh dikuasai
oleh Portugis tahun 1511. Seiring dengan perkembangannya Malaka, di daerah-
daerah juga muncul pusat-pusat perdagangan daerah. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya kota pelabuhan yang bermunculan, seperti di Sumatra, Jawa, Maluku,
dan pulau-pulau lain. Perdagangan yang dilakukan di kota-kota pelabuhan daerah
termasuk perdagangan tingkat kedua di bawah tingkat Malaka. Terbukti dari
sedikitnya volume perdagangan dan jumlah kapal yang berlabuh di pelabuhan itu.
Lebih lanjut tentang perdagangan di daerah dilakukan dengan menggunakan kapal-
kapal kecil tidak seperti di Malaka yang lebih banyak menggunakan perahu-perahu
atau kapal-kapal yang besar (Anshori, M.J. 2010: 42).
Kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan di daerah Sumatera,
antara lain Pasai, Pidie, Palembang, Jambi, Tulangbawang, dan Pariaman. Khusus
di pantai barat Sumatra ada pelabuhan Tiku, Meulaboh, dan Andalas. Para
pedagang membuat bangunan-bangunan yang jujur sepanjang pantai untuk
mengambil barang-barangnya (Anshori, M.J. 2010: 42).
Perdagangan di kota-kota pelabuhan di Jawa berpusat di Demak, Jepara,
Kerajaan Sunda, dan Tuban. Tuban memegang peranan dalam perdagangan
rempah-rempah antara barat atau jurusan Malaka dan timur jurusan Maluku.
Namun, sejak abad XVI peranan Tuban beralih ke Gresik, kemudian ke Jepara,
Cirebon, Sunda Kelapa, dan Banten yang muncul sebagai kota-kota pelabuhan yang
ramai dikunjungi para pedagang dari daerah lain. Kota-kota pelabuhan tempat
berlangsungnya perdagangan di Indonesia bagian timur adalah Kepulauan Ambon,
Seram, Ternate, Tidore, Bacan, dan pulau-pulau lain. Perdagangan antara bangsa-
bangsa dari bagian barat dengan bangsa-bangsa bagian timur dilakukan secara
barter. Para pedagang di bagian barat seperti orang Melayu (penduduk asli Malaka)
dan Jawa membawa beras atau bahan-bahan makanan lain dan tekstil untuk ditukar
dengan rempah-rempah yang banyak dihasilkan para pedagang dari bagian timur,
khususnya kepulauan Maluku (Anshori, M.J. 2010: 42).
C. Pusat-Pusat Perdagangan Di Laut Tengah
Kawasan Laut Tengah merupakan mata rantai penghubung perdagangan Asia
dan Eropa. Di Sekitar Laut Tengah Sekitar kota-kota pusat perdagangan. Untuk
Wilayah Eropa Ada Kota Istambul (Kostantinopel), Roma, Venesia, dan Genoa.
Wilayah Afrika yang dekat dengan Laut Tengah adalah Iskandaryah dan Tunisia,
sedangkan wilayah Asia Barat adalah Antiochia (Anshori, M.J. 2010: 43).
Pedagang dari Asia menempuh perjalanan laut melalui Malaka, singgah di
India, lalu ke Teluk Persia. Kemudian, melanjutkan menuju pelabuhan Antiochia
dan Iskandaryah di kawasan Laut Tengah. Di pelabuhan Laut Tengah, para
pedagang dari Asia bertemu dengan para pedagang dari Eropa (Anshori, M.J. 2010:
43).
Barang-barang yang disukai, antara lain rempah-rempah dari Indonesia, kain
sutra dari Cina, perhiasan permata dari India dan permadani yang diproduksi dari
Persia. Barang-barang dari Asia Dibawa ke Eropa oleh pedagang dari Eropa.
Begitu pula barang-barang dari Eropa Dibawa ke Asia (Anshori, M.J. 2010: 43).
III. SIMPULAN