Anda di halaman 1dari 28

INFEKSI DAN INFEKSI OPORTUNISTIK

OLEH
ROSNA WALI

Nama dosen : Wiwi Rumaolat S.Pd,Msi.Med


Mata kuliah : Ilmu Dasar Keperawatan
Prodi : S1 Keperawatan
Kelas : A1 (siang) Ambon
Semester : Genap (II)
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5


2.1 Definisi Infeksi Oportunistik..................................................................... 5
2.2 Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV ........................... 6
2.3 Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV .............................. 7
2.4 Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi Oportunistik .. 10
2.4.1 Saat Pemberian Terapi Antiretroviral pada Infeksi Oportunistik .... 12
2.4.2 Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome ............................ 13
2.5 Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi Oportunistik yang
Tersering pada Penderita HIV di Indonesia ............................................. 15
2.6 Agen infeksi ........................................................................................ 17
2.6.1 Konsep Dasar Infeksi......................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 26


BAB I
PENDAHULUAN

Penyebaran infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin meningkat


dan menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health Organization
(WHO) memperkirakan sebanyak 36,9 juta orang di dunia terinfeksi virus ini pada
tahun 2014 dengan 2 juta infeksi baru setiap tahunnya. 1 Data Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif infeksi HIV di
Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014 mencapai 150.296 kasus,
dengan 22.869 kasus baru pada tahun 2014. 2 Bali menempati urutan kelima
dengan 9.637 kasus kumulatif, yang sebagian terdata dari Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah sebanyak 2.965 kasus mulai tahun 2004 hingga 2014 dengan 304
kasus baru pada tahun 2014.2,3
Perjalanan alami infeksi HIV yang tidak diterapi menyebabkan penurunan
imunitas pejamu berkelanjutan hingga menimbulkan infeksi oportunistik (IO)
yang menandakan terjadinya acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).4,5
Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif
penderita AIDS di Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014 mencapai
55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus HIV. 2 Infeksi oportunistik
dideskripsikan sebagai infeksi yang mengalami peningkatan frekuensi dan
keparahan pada individu dengan HIV/AIDS.6 Infeksi ini disebabkan oleh patogen
yang tidak bersifat invasif pada orang sehat, namun dapat menyerang tubuh
apabila sistem imunitas menurun.7
Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing wilayah.
Penelitian di India mendapatkan bahwa secara umum kandidiasis orofaringeal,
tuberkulosis (TB) dan diare oleh kriptosporidia merupakan IO yang tersering.8 Hal
yang serupa juga didapatkan di Indonesia. Laporan Surveilans AIDS Departemen
Kesehatan Republik Indonesia tahun 1987 sampai dengan 2009 mendapatkan
bahwa IO yang terbanyak adalah TB, diare kronis dan kandidiasis orofaringeal. 9
Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar Bali pada tahun
2014 yang mendapatkan IO tersering adalah TB, Toksoplasmosis, kandidiasis
oral, IO multipel dan pneumonia.10
Infeksi oportunistik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pasien dengan HIV/AIDS. Sistem imun yang sangat rendah dapat menyebabkan
IO berakhir dengan kematian kecuali mendapat terapi adekuat.10 Penatalaksanaan
terhadap IO yang paling bermakna adalah terapi antiretroviral (antiretroviral
therapy/ART) di samping terapi antimikrobial spesifik untuk IO. 4,11 Angka
kejadian IO menurun drastis sejak diperkenalkannya ART pada tahun 1996 dan
diimplementasikannya profilaksis IO pada pertengahan tahun 1990, sehingga
meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita HIV. 12,13 Pemberian ART di
sisi lain juga berpotensi menimbulkan immune reconstitution inflammatory
syndrome (IRIS) atau sindrom pulih imun yang berkaitan dengan beban penyakit
yang lebih berat sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan dimulainya
rejimen ART.6,14
Berdasarkan data tersebut, mengetahui strategi dalam pencegahan dan
penatalaksanaan IO merupakan hal yang penting dalam menangani kasus
HIV/AIDS. Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai pathogenesis,
pencegahan dan penatalaksanaan IO yang sering dijumpai di negara berkembang,
khususnya di Indonesia, serta pertimbangan pemberian ART pada IO. Diharapkan
tinjauan pustaka ini dapat menambah wawasan serta mengoptimalkan penanganan
pasien dengan HIV/AIDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Infeksi Oportunistik


Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat
invasif namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada
orang yang terinfeksi HIV/AIDS.7,12 Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh patogen
yang berasal dari luar tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa), maupun
oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal
terkendali oleh sistem imun (seperti flora normal usus). 10 Penurunan sistem imun
berperan sebagai “oportuniti” atau kesempatan bagi patogen tersebut untuk
menimbulkan manifestasi penyakit.
Centers for Disease Control (CDC) mendefinisikan IO sebagai infeksi yang
didapatkan lebih sering atau lebih berat akibat keadaan imunosupresi pada
penderita HIV.14,15 Infeksi oportunistik yang digolongkan CDC sebagai penyakit
terkait AIDS (AIDS-defining illness) adalah kriptosporidiosis intestinal (diare
kronis >1 bulan); Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP); strongiloidosis selain
pada gastrointestinal (GI); toksoplasmosis dan CMV selain pada hati, limfa dan
kelenjar getah bening (KGB); kandidiasis esofagus, bronkus atau paru;
kriptokokosis sistem saraf pusat (SSP) atau diseminata; Mycobacterium avium dan
M. kansasii selain pada paru dan KGB; virus herpes simpleks mukokutaneus
kronis, paru dan GI; progressive multifocal leucoencephalopathy (PML); sarkoma
Kaposi pada usia <60 tahun; limfoma otak; histoplasmosis diseminata;
isosporiasis intestinal; limfoma nonHodgkin; pneumonitis interstitial limfoid dan
bakteri piogenik multipel pada usia <13 tahun; kokidioidomikosis; ensefalopati
HIV; Mycobacterium tuberculosis; wasting syndrome; bakteremia Salmonella;
pneumonia bakteri rekuren; serta kanker serviks invasif.16
2.2 Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV
Infeksi oportunistik merupakan alasan utama rawat inap dan penyebab kematian
pasien dengan HIV/AIDS sehingga harus selalu diperhatikan dalam evaluasi

pasien dengan HIV/AIDS.17,18 Sejak ditemukannya kemoprofilaksis dan


kombinasi ART yang efektif, angka kematian akibat IO menurun drastis walaupun
tetap masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita
HIV.4,17 The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS)
melaporkan sebanyak 1,2 juta kematian akibat penyakit terkait AIDS sepanjang
tahun 2014 dengan penyebab terbanyak (1 dari 5 kematian) diakibatkan oleh
tuberkulosis.1 Angka ini telah menurun sebesar 42% dibandingkan puncaknya
pada tahun 2004.1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif
penderita AIDS (infeksi HIV dengan IO) di Indonesia dari tahun 1987 hingga
September 2014 mencapai 55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus
HIV.2 Case Fatality Rate AIDS di Indonesia juga mengalami penurunan bertahap
mulai 13,86% pada tahun 2004 hingga mencapai 0,46% pada tahun 2014.2
Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing wilayah. Infeksi
yang sering dijumpai di Amerika dan Eropa antara lain Pneumocystis jirovecii
pneumonia (PCP), meningitis Kriptokokal, Cytomegalovirus (CMV) dan
Toksoplasmosis, sedangkan di negara berkembang seperti Asia Tenggara, TB
menjadi IO yang tersering.7 Beberapa penelitian di India mendapatkan bahwa
secara umum kandidiasis orofaringeal, TB dan diare oleh kriptosporidia
merupakan IO yang tersering. 8,10 Hal yang serupa juga didapatkan di Indonesia.
Laporan Surveilans AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1987
sampai dengan 2009 mendapatkan bahwa IO yang terbanyak adalah TB, diare
kronis dan kandidiasis orofaringeal. 9 Data mengenai profil IO di Bali masih
sedikit, terdapat satu penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
Denpasar Bali pada tahun 2014 yang mendapatkan IO tersering adalah TB,
Toksoplasmosis, kandidiasis oral, IO multipel dan pneumonia.10
2.3 Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV
Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul reseptor membran
CD4+, terutama sel limfosit T.5 Infeksi HIV menimbulkan disfungsi imun melalui
penurunan sel T CD4+ (imunodefisiensi) dan aktivasi imun (imunosupresi) yang

meliputi respon imun spesifik HIV dan aktivasi imun terhadap sel sekitar
(bystander).18 Limfosit T CD4+ berperan penting dalam pengaturan respon imun
terhadap patogen dengan menjalankan berbagai fungsi, antara lain aktivasi sel
pada sistem imun bawaan (limfosit B, sel T sitotoksik dan sel nonimun), serta
berperan dalam supresi reaksi imun. 19 Rendahnya jumlah limfosit T CD4 + akan
menurunkan sistem imun melawan patogen sehingga penderita menjadi rentan
terhadap IO.
Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2, Th17,
sel T regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan fungsi
yang berbeda-beda.19,20 Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen intraseluler,
autoimunitas spesifik organ, serta menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang
meningkatkan aktivitas fagositik makrofag dan sel mikroglial. Sel Th2 berfungsi
pada respon imun terhadap parasit ekstraseluler, seperti cacing, serta berperan
penting dalam menginduksi berbagai penyakit alergi. 19 Sel Th17 merupakan
mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen ekstraseluler seperti
bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar epitel usus. Hilangnya
sel ini akan mengganggu integritas mukosa usus, meningkatkan permeabilitas
terhadap produk mikroba serta berperan dalam aktivasi imun kronis. 19,20 Sel Treg
berperan penting dalam mempertahankan toleransi imunologis terhadap antigen
dan menurunkan respon imun setelah patogen tereliminasi. Treg dalam keadaan
normal berperan dalam menekan respon imun sel T, namun pada infeksi HIV
terjadi perubahan distribusi diferensiasi sel T CD4 + berupa peningkatan jumlah
Treg serta penurunan diferensiasi sel T lainnya. 20 Sel Thf berinteraksi dengan sel
B spesifik antigen pada jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas
antibodi, maturasi serta diferensiasi sel B menjadi sel memori dan sel plasma.19,20
Infeksi HIV menyebabkan ekspansi Thf dan meningkatkan antibodi autoreaktif
sehingga menghasilkan kerusakan berat termasuk hancurnya sel CD4.20
Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi akibat penghancuran
langsung oleh HIV, namun juga melibatkan hubungan yang lebih kompleks antara
sistem imun pejamu dan efek dari replikasi aktif HIV. Berkurangnya jumlah
limfosit T CD4+ setelah infeksi HIV terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu
meliputi respon imun spesifik HIV dan aktivasi imun terhadap sel sekitar
(bystander).18 Limfosit T CD4+ berperan penting dalam pengaturan respon imun
terhadap patogen dengan menjalankan berbagai fungsi, antara lain aktivasi sel
pada sistem imun bawaan (limfosit B, sel T sitotoksik dan sel nonimun), serta
berperan dalam supresi reaksi imun. 19 Rendahnya jumlah limfosit T CD4 + akan
menurunkan sistem imun melawan patogen sehingga penderita menjadi rentan
terhadap IO.
Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2, Th17,
sel T regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan fungsi
yang berbeda-beda.19,20 Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen intraseluler,
autoimunitas spesifik organ, serta menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang
meningkatkan aktivitas fagositik makrofag dan sel mikroglial. Sel Th2 berfungsi
pada respon imun terhadap parasit ekstraseluler, seperti cacing, serta berperan
penting dalam menginduksi berbagai penyakit alergi.19 Sel Th17 merupakan
mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen ekstraseluler seperti
bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar epitel usus. Hilangnya
sel ini akan mengganggu integritas mukosa usus, meningkatkan permeabilitas
terhadap produk mikroba serta berperan dalam aktivasi imun kronis. 19,20 Sel Treg
berperan penting dalam mempertahankan toleransi imunologis terhadap antigen
dan menurunkan respon imun setelah patogen tereliminasi. Treg dalam keadaan
normal berperan dalam menekan respon imun sel T, namun pada infeksi HIV
terjadi perubahan distribusi diferensiasi sel T CD4 + berupa peningkatan jumlah
Treg serta penurunan diferensiasi sel T lainnya. 20 Sel Thf berinteraksi dengan sel
B spesifik antigen pada jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas
antibodi, maturasi serta diferensiasi sel B menjadi sel memori dan sel plasma. 19,20
Infeksi HIV menyebabkan ekspansi Thf dan meningkatkan antibodi autoreaktif
sehingga menghasilkan kerusakan berat termasuk hancurnya sel CD4.20
Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi akibat penghancuran
langsung oleh HIV, namun juga melibatkan hubungan yang lebih kompleks antara
sistem imun pejamu dan efek dari replikasi aktif HIV. Berkurangnya jumlah
limfosit T CD4+ setelah infeksi HIV terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu
meliputi respon imun spesifik HIV dan aktivasi imun terhadap sel sekitar
(bystander).18 Limfosit T CD4+ berperan penting dalam pengaturan respon imun
terhadap patogen dengan menjalankan berbagai fungsi, antara lain aktivasi sel
pada sistem imun bawaan (limfosit B, sel T sitotoksik dan sel nonimun), serta
berperan dalam supresi reaksi imun. 19 Rendahnya jumlah limfosit T CD4 + akan
menurunkan sistem imun melawan patogen sehingga penderita menjadi rentan
terhadap IO.
Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2, Th17,
sel T regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan fungsi
yang berbeda-beda.19,20 Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen intraseluler,
autoimunitas spesifik organ, serta menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang
meningkatkan aktivitas fagositik makrofag dan sel mikroglial. Sel Th2 berfungsi
pada respon imun terhadap parasit ekstraseluler, seperti cacing, serta berperan
penting dalam menginduksi berbagai penyakit alergi.19 Sel Th17 merupakan
mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen ekstraseluler seperti
bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar epitel usus. Hilangnya
sel ini akan mengganggu integritas mukosa usus, meningkatkan permeabilitas
terhadap produk mikroba serta berperan dalam aktivasi imun kronis. 19,20 Sel Treg
berperan penting dalam mempertahankan toleransi imunologis terhadap antigen
dan menurunkan respon imun setelah patogen tereliminasi. Treg dalam keadaan
normal berperan dalam menekan respon imun sel T, namun pada infeksi HIV
terjadi perubahan distribusi diferensiasi sel T CD4 + berupa peningkatan jumlah
Treg serta penurunan diferensiasi sel T lainnya. 20 Sel Thf berinteraksi dengan sel
B spesifik antigen pada jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas
antibodi, maturasi serta diferensiasi sel B menjadi sel memori dan sel plasma. 19,20
Infeksi HIV menyebabkan ekspansi Thf dan meningkatkan antibodi autoreaktif
sehingga menghasilkan kerusakan berat termasuk hancurnya sel CD4.20
Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi akibat penghancuran
langsung oleh HIV, namun juga melibatkan hubungan yang lebih kompleks antara
sistem imun pejamu dan efek dari replikasi aktif HIV. Berkurangnya jumlah
limfosit T CD4+ setelah infeksi HIV terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu
terganggunya produksi limfosit T de novo oleh timus, efek bystander dari
pembentukan sinsitium, perubahan permeabilitas membran, disfungsi
mitokondria, penghancuran oleh sel T sitotoksik spesifik HIV atau melalui kadar
respon imun yang berlebihan.21,22 Mekanisme utama berkurangnya sel T CD4+
adalah akibat apoptosis, tidak hanya pada sel yang terinfeksi HIV namun juga
pada sel bystander melalui kematian sel yang diinduksi aktivasi dan pembentukan
sinsitia. Sinsitia terbentuk oleh fusi sel yang terinfeksi HIV dengan target yang
tidak terinfeksi dan selanjutnya akan mengalami apoptosis yang diperantarai p53.
Destruksi jaringan sel retikuler fibroblastik, deposisi kolagen dan berkurangnya
interleukin 7 sebagai faktor pertahanan hidup sel T selanjutnya juga berperan
dalam berkurangnya limfosit T CD4+ naїve.22
Virus mentargetkan populasi CD4+ yang telah terdiferensiasi terminal dan
membiarkan prekursor populasi CD4+ yang dapat memproduksi sel T baru secara
kontinu sehingga virus selalu memiliki cadangan target baru untuk
melangsungkan replikasinya. Kerusakan CD4 + terdiferensiasi dengan segera
diikuti oleh peningkatan proliferasi CD4 + baru yang secara parsial dapat
menggantikan CD4+ yang mati, namun proses regenerasi ini tidak stabil dan
makin berkurang seiring waktu hingga akhirnya tidak mampu mengimbangi
hilangnya CD4+ dan timbullah manifestasi imunodefisiensi.20
Jumlah limfosit T CD4+ pada orang normal adalah 500-1600 sel/µL darah.
Jumlah ini secara bertahap akan berkurang seiring dengan perkembangan infeksi
HIV dan menyebabkan penderita menjadi rentan terhadap IO. 5 Jumlah limfosit T
CD4+ merupakan indikator terbaik dalam menentukan kerentanan terhadap IO
sehingga menjadi panduan dalam pemberian kemoprofilaksis. 4 Penderita dengan
jumlah limfosit T CD4+ yang telah mencapai 200 sel/µL hampir seluruhnya telah
terinfeksi IO dan bermanifestasi sebagai AIDS. Periode rata-rata mulai dari
infeksi HIV hingga mencapai AIDS adalah 8-10 tahun dengan penurunan limfosit
T CD4+ sekitar 50-100 sel/µL pertahunnya. Jumlah limfosit T CD4 + yang telah
turun di bawah 50 sel/µL merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan pasien
umumnya akan mengalami kematian.5
2.4 Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi Oportunistik
Sebelum ditemukannya kombinasi ART yang efektif, IO merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV yang mengakibatkan hingga
2 juta kematian setiap tahunnya.1,4 Diperkenalkannya ART kombinasi yang efektif
pada tahun 1996 mendorong revolusi dalam pengobatan orang dengan HIV dan
AIDS (ODHA) di seluruh dunia.23 Angka harapan hidup 5 tahun meningkat mulai
dari 7% pada masa pre-ART, menjadi 18% pada masa ART awal, hingga
mencapai 65% pada masa ART kombinasi yang efektif. 25 Terapi antiretroviral
belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh, namun secara dramatis
dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup
ODHA serta meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan
AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi
dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.23
Data berbagai penelitian mendapatkan bahwa ART menurunkan insiden IO
secara drastis, membantu resolusi dan perbaikan IO, termasuk IO yang profilaksis
dan terapi spesifiknya belum tersedia. 4 Terapi antiretroviral tidak dapat
menggantikan kebutuhan terhadap profilaksis antimikrobial pada pasien dengan
imunosupresi yang berat, namun telah menjadi landasan strategi untuk
menurunkan berbagai infeksi dan proses terkait HIV.24
Hubungan antara IO dan HIV bersifat dua arah atau timbal balik. Infeksi HIV
menyebabkan imunosupresi yang memberikan kesempatan bagi patogen
oportunistik untuk menyebabkan penyakit, sebaliknya IO juga dapat mengubah
perjalanan alami HIV melalui peningkatan viral load sehingga mempercepat
perkembangan serta meningkatkan transmisi HIV. 5,25 Pemberian ART dapat
menurunkan risiko IO, dan sebaliknya pemberian kemoprofilaksis dan vaksinasi
spesifik IO dapat membantu menurunkan kecepatan perkembangan HIV dan
meningkatkan angka harapan hidup.25
2.4.1 Saat Pemberian Terapi Antiretroviral pada Infeksi Oportunistik
Belum ada panduan spesifik mengenai pemberian ART pada IO karena
keterbatasan data.14 Terdapat 2 keadaan utama yang perlu diperhatikan yaitu

inisiasi ART pada keadaan IO akut dan pemberian ART saat timbul IO pada
pasien yang sedang mendapat ART. Penatalaksanaan pada setiap keadaan
bervariasi tergantung dari derajat perkembangan virologis dan imunologis
sebelum pemberian ART dan keuntungan yang didapat dari pemberian ART,
durasi infeksi HIV sebelum dan sejak inisiasi ART serta interaksi obat yang
berpotensi terjadi antara rejimen ART dan terapi IO.24
Kelebihan inisiasi ART pada keadaan IO akut meliputi perbaikan fungsi
imun yang dapat mempercepat kesembuhan IO, terutama bila terapi yang efektif
untuk IO tersebut masih terbatas atau belum tersedia. Kelebihan lainnya adalah
mengurangi risiko terjadinya IO berikutnya. 24 Pendapat yang menentang inisiasi
ART segera begitu terdiagnosis IO meliputi jumlah dan toksisitas obat yang
bertambah, sulitnya membedakan toksisitas disebabkan oleh ART atau akibat
terapi IO, interaksi obat yang dapat terjadi serta kemungkinan terjadi IRIS.14,24
Terapi antiretroviral harus dimulai sesegera mungkin pada kasus IO
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, CMV, PML dan sarkoma Kaposi; sedangkan
kasus TB, kompleks Mycobacterium avium, PCP dan meningitis kriptokokal
harus menunggu respon terapi IO setidaknya 2 minggu sebelum inisiasi ART.27
Belum ada data penelitian yang menyatakan bahwa inisiasi ART akan dapat
meningkatkan hasil akhir pada pasien yang telah diterapi spesifik untuk IO,
sebaliknya ART yang dimulai pada keadaan IO akut juga tidak didapatkan
memperburuk prognosis IO tersebut. Timbulnya IO dalam waktu 12 minggu
setelah inisiasi ART, harus segera mendapat terapi untuk IO dengan tetap
melanjutkan ART dan mempertimbangkan modifikasi rejimen ART apabila
respon kenaikan jumlah sel T CD4+ tidak optimal.24
Inisiasi ART bagaimanapun wajib diberikan pada infeksi HIV stadium klinis
3 dan 4 atau tanpa memandang stadium klinis jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm 3.
Inisiasi ART dilakukan tanpa melihat stadium klinis WHO dan jumlah CD4 pada
koinfeksi TB, koinfeksi Hepatitis B, ibu hamil dan menyusui yang terinfeksi HIV,
orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif, kelompok populasi kunci
(laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL), pekerja seks,
pengguna narkoba suntik (penasun) dan waria), serta penderita HIV pada populasi
umum yang tinggal di daerah epidemi HIV meluas.23,27

2.4.2 Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome


Immune reconstitution inflammatory syndrome yang disebut juga immune
reconstitution disease atau sindrom pulih imun adalah perburukan kondisi klinis
sebagai akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan respons imun
setelah pemberian ART.22,27 Sindrom ini dapat memberikan gambaran klinis
berupa penyakit infeksi maupun noninfeksi. Manifestasi tersering adalah inflamasi
dari penyakit infeksi berupa timbulnya gejala klinis atau perburukan infeksi yang
telah ada.27
Insidens IRIS berbeda pada tiap wilayah, tergantung pada rendahnya derajat
sistem imun, prevalensi IO serta koinfeksi dengan patogen lain. Insiden pada
suatu tinjauan pustaka didapatkan sebesar 16,1% dengan morbiditas yang tinggi
namun mortalitas yang rendah (4,5%).22 Mekanisme IRIS belum diketahui dengan
jelas, diperkirakan terjadi sebagai respon imunopatologis berlebihan dari cepatnya
pemulihan sistem imun spesifik patogen terhadap rangsangan antigen yang sudah
ada disertai disregulasi imun yang terjadi beberapa saat setelah inisiasi ART.22
Dikenal dua jenis IRIS yang sering tumpang tindih, yaitu IRIS unmasking dan
IRIS paradoksikal. Jenis unmasking menampakkan manifestasi klinis IO yang
sebelumnya asimtomatis, namun kemudian menjadi jelas setelah inisiasi ART.
Jenis ini terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi
untuk IO yang langsung mendapatkan terapi ART. 27 Jenis paradoksikal
menunjukkan perburukan klinis dari IO pada pasien yang telah mendapatkan
pengobatan untuk IO, yang kemudian mendapatkan ART.24
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari antigen
yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Organisme yang paling
sering menyebabkan IRIS adalah M. tuberculosis, M. avium, Cryptococcus
neoformans dan Cytomegalovirus.22,24,28 Manifestasi klinis IRIS yang utama
adalah demam disertai munculnya kembali gejala penyakit infeksi yang pernah
ada sebelumnya dan telah teratasi infeksinya (penyebab terbanyak TB),
munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik (seperti M. avium) serta
penyakit autoimun dan inflamasi seperti sarkoidosis.24,28
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat
konsensus untuk kriteria diagnosis IRIS sebagai berikut27:
1. Menunjukkan respons terhadap ART dengan
a. telah mendapat ART
b. penurunan viral load > 1 log kopi/mL (jika pemeriksaan tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
dengan inisiasi ART
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil disembuhkan
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ART
Beberapa faktor risiko terjadinya IRIS adalah jumlah CD4+ yang rendah saat
inisiasi ART, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat inisiasi ART, banyak dan
beratnya IO, penurunan jumlah virus RNA HIV yang cepat selama ART, belum
pernah mendapat ART saat diagnosis IO serta pendeknya jarak waktu antara
memulai terapi IO dan memulai ART. 22,27 Enam bulan sejak memulai ART
merupakan masa yang kritis yang penting dengan mayoritas kasus terjadi dalam
beberapa minggu pertama sehingga perlu dilakukan pemantauan dengan baik.23,24
Strategi pencegahan IRIS meliputi inisiasi ART pada jumlah CD4 + yang tinggi,
menunda inisiasi ART pada pasien dengan IO terutama yang melibatkan SSP serta
menapis dan mencegah IO sebelum inisiasi ART.22
Tatalaksana IRIS meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan
jumlah antigen, tetap meneruskan ART, serta pemberian antiinflamasi. 27
Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada kasus yang berat dengan
dosis 0,5mg/kgBB prednison yang diberikan selama 21 hari.28 Inflamasi mungkin
berlangsung selama beberapa minggu hingga bulan sebelum mereda.24
2.5 Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi Oportunistik yang
Tersering pada Penderita HIV di Indonesia
2.5.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering (40%) pada infeksi HIV
dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada ODHA. 1,28 Infeksi TB dan
HIV saling berhubungan, HIV menyebabkan progresivitas infeksi TB menjadi TB
aktif, sebaliknya infeksi TB membantu replikasi dan penyebaran HIV serta
berperan dalam aktivasi infeksi HIV yang laten. 5 Sebagian besar orang yang
terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit TB karena mempunyai sistem imun yang
baik, dan dikenal sebagai infeksi TB laten. Infeksi TB laten tersebut tidak
infeksius dan asimtomatis, namun dengan mudah dapat berkembang menjadi TB
aktif pada orang dengan sistem imun yang menurun, seperti pada ODHA.26,28
Pasien TB dengan HIV positif atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien
ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-
HIV di dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan 3 juta pasien terdapat di Asia
Tenggara. Epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB
sehingga pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa upaya
pengendalian HIV.28
Sebagian besar infeksi TB menyerang jaringan paru, namun dapat juga
menyerang organ lain yang disebut TB ekstraparu. Gejala klinis TB paru adalah
batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih yang dapat disertai darah, sesak nafas,
badan lemas, berat badan menurun, malaise, keringat malam dan demam meriang
lebih satu bulan.29 Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik,
yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (>
10%).28 Gambaran radiologis dada dapat dijumpai infiltrat fibronoduler pada lobus
paru atas dengan atau tanpa kavitasi (Gambar 1).15
Infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4 + berapapun, namun pasien dengan
jumlah CD4+ <200cells/μl memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga
direkomendasikan pemberian ART dan obat anti TB (OAT). 5,8 Penanganan ko-
infeksi TB-HIV selalu mendahulukan terapi TB sebelum inisiasi ART dengan
pertimbangan menghindari interaksi OAT dengan ARV, toksisitas obat,
kepatuhan minum obat dan juga mencegah terjadinya IRIS.28

Gambar 1. Radiografi dada pada pasien ko-infeksi TB-HIV. Gambar kiri menunjukkan adanya
infiltrat dengan kavitasi pada lobus kanan atas. Gambar kanan menunjukkan adanya infiltrat
bilateral tanpa kavitasi. (Dikutip dari kepustakaan nomor 30)
AGEN INFEKSI

1. Konsep Dasar Infeksi

a. Pengertian
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi didalam
tubuh yang menyebabkan sakit (potter & Perry 2005). Sedangkan menurut
Smeltzer & Brenda (2002), infeksi adalah beberapa penyakit yang disebabkan
oleh pertumbuhan organisme patogenik dalam tubuh.

b. Penyebab infeksi
Tipe mikroorganisme penyebab infeksi dibagi menjadi empat kategori, yaitu :

1) Bakteri
Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan spesies bakteri
dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan dapat hidup didalam
tubuhnya. Bakteri bisa masuk antara lain melalui udara, tanah, air, makanan,
cairan dan jaringan tubuh dan benda mati lainnya.

2) Virus
Virus terutama berisi asam nukleat (nukleat acid) karenanya harus masuk
dalam sel hidup untuk di produksi.

3) Parasit
Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk kelompok parasit adalah
protozoa, cacing dan arthropoda.

4) Fungi
Fungi terdiri dari ragi dan jamur
c. Tipe Infeksi

1) Kolonisasi
Merupakan suatu proses dimana benih mikroorganisme menjadi flora yang
menetap/residen. Mikroorganisme bisa tumbuh dan berkembang biak tetapi
tidak bisa menimbulkan penyakit. Infeksi terjadi ketika mikroorganisme yang
menetap tadi sukses menginvasi/menyerang bagian tubuh/host manusia yang
system pertahanannya tidak efektif dan pathogen menyebabkan kerusakan
jaringan.

2) Infeksi local
Spesifik dan terbatas pada bagian tubuh dimana mikroorganisme tinggal.

3) Infeksi Sistemik
Terjadi bila microorganisme menyebar kebagian tubuh yang lain dan
menimbulkan kerusakan.

4) Bakterimia
Terjadi ketika didalam darah ditemukan adanya bakteri.

5) Septikimia
Multiplikasi bakteri dalam darah sebagai hasil dari infeksi sistemik.

6) Infeksi akut
Infeksi yang muncul dalam waktu singkat.

7) Infeksi kronik
Infeksi yang terjadi secara lambat dalam periode yang lama (dalam
hitungan bulan/tahun).
d. Rantai Infeksi
Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai faktor
yang saling mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara
penularan, portal of entry dan host atau penjamu yang rentan.
Skema 2.1
Agen infeksi

Host/pejamu Reservoir

Portal de exit Portal de entry

Cara penularan
(Perry & Potter 2005)

1) Agen Infeksi
Mikroorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Mikroorganisme dikulit bisa merupakan flora transient
maupun resident. Mikroorganisme transient normalnya ada dan jumlahnya
stabil, organisme ini bisa hidup dan berbiak dikulit. Organisme transient
melekat pada kulit saat seseorang kontak dengan objek atau orang lain dalam
aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan kecuali dengan cuci tangan.
Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui cuci tangan
dengan sabun dan detergen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan
seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung pada:
jumlah mikroorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit),
kemampuan untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan
dalam host/pejamu.
2) Reservoir (sumber mikroorganisme)
Adalah tempat dimana mikroorganisme pathogen dapat hidup baik
berkembang biak atau tidak. Yang bisa berkembang sebagai reservoir adalah
manusia, binatang, makanan, air, serangga dan benda lain. Kebanyakan
reservoir adalah tubuh manusia, terutama dikulit, mukosa, cairan atau
drainase. Adanya mikroorganisme pathogen dalam tubuh tidak selalu
menyebabkan penyakit pada hostnya. Sehingga reservoir yang didalamnya
terdapat mikroorganisme pathogen bisa menyebabkan orang lain bisa menjadi
sakit (carier). Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam reservoir jika
karakteristik reservoirnya cocok dengan kuman. Karakteristik tersebut adalah
air, suhu, ph, udara dan pencahayaan.

3) Portal of exit
Mikroorganisme yang hidup didalam reservoir harus menemukan jalan keluar
untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum menimbulkan
infeksi, mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari reservoirnya. Jika
reservoirnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran pencernaan,
pernafasan, perkemihan, genetalia, kulit, membrane mukosa yang rusak serta
darah.

4) Cara penularan
Kuman dapat berpindah atau menular ke orang lain dengan berbagai cara
seperti kontak langsung dengan penderita melalui oral, fekal, kulit atau
darahnya. Kontak tidak langsung melalui jarum atau balutan bekas luka
penderita, peralatan yang terkontaminasi, makanan yang diolah tidak tepat,
melalui vector nyamuk atau lalat.

5) Portal masuk
Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh.
Kulit merupakan barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius.
Rusaknya kulit atau ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba
dapat masuk kedalam tubuh melalui rute yang sama dengan portal keluar.
Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh memperbesar kesempatan
pathogen masuk kedalam tubuh.
6) Daya tahan hospes (manusia)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen
infeksius. Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu
terhadap pathogen. Meskipun seseorang secara konstan kontak dengan
mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi
sampai individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah mikroorganisme
tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap
kuman yaitu usia, keturunan, stress (fisik dan emosional), status nutrisi,
terafi medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.

e. Proses Infeksi

Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung dari
tingkat infeksi, patogenisitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Dengan
proses perawatan yang tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan
meminimalkan penyakit. Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan
keperawatan yang diberikan.
Berbagai komponen dari system imun memberikan jaringan kompleks
mekanisme yang sangat baik yang jika utuh, berfungsi mempertahankan tubuh
terhadap mikroorganisme asing dan sel-sel ganas. Pada beberapa keadaan,
komponen-komponen baik respon spesifik maupun non spesifik bisa gagal dan hal
tersebut bisa mengakibatkan kerusakan pertahanan hospes. Orang-orang yang
mendapat infeksi yang disebabkan oleh defisiensi dalam pertahanan dari segi
hospesnya disebut hospes yang melemah. Sedangkan orang-orang dengan
kerusakan mayor yang berhubungan dengan respon imun spesifik disebut hospes
yang terimunosupres.Ciri-ciri umum yang berkaitan dengan hospes yang melemah
adalah : infeksi berulang, infeksi kronik, ruam kulit, diare, kerusakan pertumbuhan
dan meningkatnya kerentanan terhadap kanker tertentu.

Secara umum proses infeksi adalah sebagai berikut :


1) Periode inkubasi
Interval antara masuknya pathogen kedalam tubuh dan munculnya gejala
pertama.
2) Tahap prodromal
Interval dari awitan tanda dan gejala non spesifik (malaise, demam ringan,
keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama masa ini, mikroorganisme
tumbuh dan berkembang biak dan klien lebih mampu menyebarkan penyakit
ke orang lain.
3) Tahap sakit
Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap jenis infeksi.
4) Pemulihan
Interval saat munculnya gejala akut infeksi.

f. Pertahanan terhadap infeksi

Tubuh memiliki pertahanan normal terhadap infeksi. Flora normal tubuh yang
tinggal didalam dan luar tubuh melindungi seseorang dari beberapa pathogen. Setiap
system organ memiliki mekanisme pertahanan terhadap agen infeksius. Flora
normal, system pertahanan tubuh dan inflamasi adalah pertahanan non spesifik yang
melindungi terhadap mikroorganisme.

1) Flora normal
Secara normal tubuh memiliki mikroorganisme yang ada pada lapisan
permukaan dan didalam kulit, saliva, mukosa oral dan saluran gastrointestinal.
Manusia secara normal mengekskresi setiap hari triliyunan mikroba melalui usus.
Flora normal biasanya tidak menyebabkan sakit tetapi biasanya justru turut berperan
dalam memelihara kesehatan. Flora ini bersaing dengan mikroorganisme penyebab
penyakit untuk mendapatkan makanan. Flora normal juga mengekskresi substansi
antibakteri dalam usus. Flora normal kulit menggunakan tindakan protektif dengan
menghambat multiplikasi organisme yang menempel dikulit. Flora normal dalam
jumlah banyak mempertahankan keseimbangan yang sensitive dengan
mikroorganisme lain untuk mencegah infeksi. Setiap faktor yang mengganggu
keseimbangan ini mengakibatkan individu semakin beresiko mendapatkan penyakit
infeksi.

2) Pertahanan system tubuh


Sejumlah system organ tubuh memiliki pertahanan unik terhadap
mikroorganisme. Kulit, saluran pernafasan dan saluran gastrointestinal sangat
mudah dimasuki oleh mikroorganisme. Organisme pathogen dengan mudah
menempel pada permukaan kulit, di inhalasi melalui pernafasan atau dicerna
melalui makanan. Setiap system organ memiliki mekanisme pertahanan yang secara
fisiologis disesuaikan dengan struktur dan fungsinya. Berikut ini adalah mekanisme
pertahanan normal terhadap infeksi :
3) Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi protektif vaskular dengan menghantarkan cairan,
produk darah dan nutrien ke jaringan interstisial ke daerah cidera. Proses ini
menetralisasi dan mengeliminasi patogen atau jaringan mati (nekrotik) dan memulai
cara-cara perbaikan jaringan tubuh. Tanda inflamasi termasuk bengkak, kemerahan,
panas, nyeri/nyeri tekan, dan hilangnya fungsi bagian tubuh yang terinflamasi. Bila
inflamasi menjadi sistemik akan muncul tanda dan gejala demam, leukositas,
malaise, anoreksia, mual, muntah dan pembesaran kelenjar limfe.

Respon inflamasi dapat dicetuskan oleh agen fisik, kimiawi atau


mikroorganisme. Respon inflamasi termasuk hal berikut ini:

a) Respon seluler dan vaskuler


Arteriol yang menyuplai darah yang terinfeksi atau yang cidera berdilatasi,
memungkinkan lebih banyak darah masuk dala sirkulasi. Peningkatan darah
tersebut menyebabkan kemerahan pada inflamasi. Gejala hangat lokal
dihasilkan dari volume darah yang meningkat pada area yanginflamasi. Cidera
menyebabkan nekrosis jaringan dan akibatnya tubuh mengeluarkan histamin,
bradikinin, prostaglandin dan serotonin. Mediator kimiawi tersebut
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kecil. Cairan, protein dan sel
memasuki ruang interstisial, akibatnya muncul edema lokal. Tanda lain
inflamasi adalah nyeri. Pembengkakan jaringan yang terinflamasi
meningkatkan tekanan pada ujung syaraf yang mengakibatkan nyeri.

b) Pembentukan eksudat inflamasi


akumulasi cairan dan jaringan mati serta SDP membentuk eksudat pada
daerah inflamasi. Eksudat dapat berupa serosa (jernih seperti plasma),
sanguinosa (mengandung sel darah merah) atau purulen (mengandung SDP
dan bakteri). Akhirnya eksudat disapu melalui drainase limfatik. Trombosit
dan protein plasma seperti fibrinogen membentuk matriks yang berbentuk jala
pada tempat inflamasi untuk mencegah penyebaran.

c) Perbaikan jaringan
Sel yang rusak akhirnya digantikan oleh sel baru yang sehat. Sel baru
mengalami maturasi bertahap sampai sel tersebut mencapai karakteristik
struktur dan bentuk yang sama dengan sel sebelumnya.
g. Respon Imun
Saat mikroorganisme masuk dalam tubuh, pertama kali akan diserang oleh
monosit. Sisa mikroorganisme tersebut yang akan memicu respon imun.
Materi asing yang tertinggal (antigen) menyebabkan rentetan respon yang
mengubah susunan biologis tubuh. Setelah antigen masuk dala tubuh, antigen
tersebut bergerak ke darah atau limfe dan memulai imunitas seluler atau
humural.

1) Imunitas selular
Ada kelas limfosit, limfosit T (CD4T) dan limfosit B (sel B). Limfosit T
memainkan peran utama dalam imunitas seluler. Ada reseptor antigen pada
membran permukaan limfosit CD4T. Bila antigen bertemu dengan sel yang
reseptor permukaannya sesuai dengan antigen, maka akan terjadi ikatan.
Ikatan ini mengaktifkan limfosit CD4T untuk membagi diri dengan cepat
untuk membentuk sel yang peka. Limfosit yang peka bergerak ke daerah
inflamasi, berikatan dengan antigen dan melepaskan limfokin. Limfokin
menarik & menstimulasi makrofag untuk menyerang antigen.

2) Imunitas humoral
Stimulasi sel B akan memicu respon imun humoral, menyebabkan sintesa
imunoglobulin/antibodi yang akan membunuh antigen. Sel B plasma dan sel
B memori akan terbentuk apabila sel B berikatan dengan satu antigen. Sel B
mensintesis antibodi dalam jumlah besar untuk mempertahankan imunitas,
sedangkan sel B memori untuk mempersiapkan tubuh menghadapi invasi
antigen.

3) Antibodi
Merupakan protein bermolekul besar, terbagi menjadi imunoglobulin A, M,
D, E, G. Imunoglobulin M dibentuk pada saat kontak awal dengan antigen,
sedangkan IgG menandakan infeksi yang terakhir. Pembentukan antibodi
merupakan dasar melakukan imunisasi.

4) Komplemen
Merupakan senyawa protein yang ditemukan dalam serum darah. Komplemen
diaktifkan saat antigen dan antibodi terikat. Komplemen diaktifkan, maka
akan terjadi serangkaian proses katalitik.
5) Interferon
Pada saat tertentu diinvasi oleh virus. Interferon akan mengganggu
kemampuan virus dalam bermultiplikasi.

h. Tanda-tanda infeksi
Tanda-tanda infeksi menurut Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell &
Cotran, 2003 antara lain :

1) Rubor
rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran
arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak
darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat
terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut.

2) Kalor
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor
disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang
memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang
lebih banyak daripada ke daerah normal.

3) Dolor
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang
ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya
dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang
meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang.

4) Tumor
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar
ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke
jaringan-jaringan interstitial.

5) Functio laesa
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland,
2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan
tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi
jaringan yang meradang.
DAFTAR PUSTAKA

1. The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. Global AIDS statistic


2014. World Health Organization; 2015. p. 1-8.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan analisis
HIV/AIDS. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2014. p. 1-8.
3. Anonim. Register pasien poli Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar tahun 2004-2014. Tidak dipublikasikan.
4. Kaplan, J.E., Masur H. Preventing opportunistic infections among HIV-
infected persons. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P.,
Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually
Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1423-

41.
5. Sandhu, A., Samra, A.K. Opportunistic infections and disease implications in
HIV/AIDS. IJPSI. 2013; 2(5): 47-54.
6. Decker, C.F., Masur, H. Clinical management of HIV infection: management
of opportunistic infections. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm,
W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p.
1441-67
7. Agarwal, S.G., Powar, R.M., Tankhiwale, S., Rukadikar, A. Study of
opportunistic infections in HIV-AIDS patients and their co-relation with
CD4+ cell count. Int J Curr Microbiol App Sci. 2015; 4(6): 848-61.
8. Kumar, A., Singh, A.K. HIV related opportunistic infections: a system wise
approach. J Evolution Med Dental Sci. 2014; 3(58): 13152-61.
9. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan triwulan situasi
perkembangan HIV&AIDS di Indonesia sampai dengan 31 Desember
2009. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2010. p. 1-28.
10. Ariani W., Arya L.N., Suryana K. "Spektrum infeksi oportunistik pada klien
Klinik Merpati RSUD Wangaya periode Januari-Februari 2014." E-Jurnal
Medika Udayana. 2015; 4(2): 1-7.

11. Seddon, J., Bhagani, S. Antimicrobial therapy for the treatment of


opportunistic infections in HIV/AIDS patients: a critical appraisal.
HIV/AIDS - Res Palliative Care. 2011; 3: 19-33.
12. Balkhair, A.A., Al-Muharrmi, Z.K., Ganguly, S., Al-Jabri, A.A. Spectrum of
AIDS defining opportunistic infections in a series of 77 hospitalised HIV-
infected Omani patients. Sultan Qaboos University Med J. 2012; 12(4):
442-8

Anda mungkin juga menyukai