Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

HUKUM PERIKATAN KONTRAK


PERBEDAAN PERJANJIAN DAN PERIKATAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
APRIL 2017

1
MAKALAH
HUKUM PERIKATAN KONTRAK
PERBEDAAN PERJANJIAN DAN PERIKATAN

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perikatan


Kontrak yang dibimbing oleh Bapak Akhmad Khoiri, M.Hi.

Oleh :
1. Machallafri Iskandar (E20151001)
2. Ummu Khudzaifah (E20151005)
3. Fitri Febrianti (E20151012)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
APRIL 2017

2
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah
dengan judul Perbedaan Perjanjian dan Perikatan. Salawat dan salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat-sahabat
dan pengikut-pengikutnya sampai hari penghabisan.
Atas bimbingan dari Dosen Hukum Perikatan Kontrak dan saran dari teman-
teman maka disusunlah Makalah ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat
berguna bagi kami semua dalam memenuhi tugas dari mata kuliah Hukum Perikatan
Kontrak dan semoga segala yang tertuang dalam Makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis maupun bagi para pembaca dalam rangka membangun khasanah keilmuan.
Makalah ini disajikan khusus dengan tujuan untuk memberi arahan dan tuntunan agar
yang membaca bias menciptakan hal-hal yang lebih bermakna.
Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada:
1. Dosen Pembimbing mata kuliah Maketing I, Bapak Akhmad Khoiri, M.Hi
2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan saran yang
bersifat membangun kepada para pembaca guna perbaikan langkah-langkah
selanjutnya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata.

Jember, 17 April 2017


Penulis

3
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1


1.1. Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan .................................................................... 2
1.4. Sistematika Penulisan ............................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 4
2.1 Perjanjian ................................................................................ 4
2.2 Perikatan ................................................................................. 6
2.3 Perbedaan Perjanjian dan Perikatan ....................................... 13
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 17
3.1 Simpulan................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

BAB I
PENDAHULUAN

4
1.1 Latar Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat sosial
yang mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang
manusia tidak akan dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang
yang lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang
namanya kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu
terdapat berbagai hal yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal,
mengikat dan memiliki sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Hal tersebut
dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang kini akan kita bahas merupakan
hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar perseorangan atau antar
sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi
cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang
bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang
diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam
perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai
dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk
tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

5
Dalam perikatan terdapat beberapa pokok bahasan diantaranya: Ketentuan
Umum Perikatan, Prestasi dan Wanprestasi, Jenis-Jenis Perikatan, Perbuatan
Melawan Hukum, Perwakilan Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang dan Hapusnya
Perikatan.

1.2 Rumusan Masalah


Ada beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah
yang berjudul Perbedaan Perjanjian dan Perikatan, antara lain :
 Apakah yang dimaksud dengan perjanjian dan perikatan?
 Apa saja perbedaan perjanjian dan perikatan?
 Apa perbedaan perjanjian dan perikatan menurut para ahli dan UU?

1.3 TujuanPenulisan
Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Perbedaan Perjanjian dan
Perikatan, yaitu:
 Dapat mengetahui arti perjanjian dan perikatan
 Dapat mengetahui perbedaan perjanjian dan perikatan
 Dapat mengetahui perbedaan perjanjian dan perikatan

1.4 Sistematika Penulisan


Bab I Pendahuluan:
a. LatarBelakang
b. RumusanMasalah
c. TujuanPenulisan
d. SistematikaPenulisan
Bab II Pembahasan:
a. Perjanjian
b. Perikatan
c. Perbedaan Perjanjian dan Perikatan
Bab III Penutup:

6
1. Simpulan

BAB II
PEMBAHASAN

7
2.1 Perjanjian
1.1 Pengertian Perjanjian
Dalam hukum asing di jumpai istilah overeenkomst (bahasa belanda),
contract\agreement( bahasa inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah
yang dalam hukum kita di kenal sebagai “kontrak” atau “ perjanjian”.
Umumya di katakan bahwa istilah istilah tersebut memiliki pengertian yang
sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut memiliki
pengertian yang sama.
Istilah kontra atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUH perdata,
bahkan dalam ketentuan hukum tersebut di muat pula pengertian kontrak
atau perjanjian. Pada pasal 1313 KUH perdata merumuskan pengertian
perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih. Mengikat dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Namun para ahli hukum mempunyai
pendapat yang berbeda beda mengenai pengertian perjanjian.
Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum yang lain
mengemukakan bahwa suatau perjanjian adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan yang
mendukung janji janji atau kesanggupan yang di ucapkan atau di tulis.
1.2 Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Suatu kontrak atau perjanjian di anggap sah dan mengikat, maka
kontrak atau perjanjian tersebut harus memenuhi syarat syarat tertentu.
Menurut ketentuan pasal 1320 KUH perdata, ada empat syarat yang harus di
penuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:
1. Syarat pertama dari terbentuknya perjanjian yaitu adanya kesepakatan
antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan.
Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh di sebabkan oleh tiga
hal yaitu adanya penipuan, paksaan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian

8
tersebut di buat bedasarkan adanay paksaan dari salah satu pihak, maka
perjanjian tersebut dapat di batalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan pada saat penyusunan
kontrak, para pihak secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau
belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH perdata yang di sebut
pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang
orang belum dewasa dan mereka yang berada di bawah pengampunan.
3. Mengenai suatu hal tertentu suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu
yan telah di setujui. Suatu hal tertentu di sini adalah objek perjanjian dan
isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan
tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan di nilai haruslah
jelas dan ada, sehingga tidak mengira ngira
4. Setiap perjanjian yang di buat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
undang undang ketertiban umum dan kesusilaan.
1.3 Pelaksanaan dan Pembatalan Suatu Perjanjian
1. Yang dimaksud dengan pelaksanaan di sini adalah realisasi atau
pemenuhan hak dan kewajiban yang telah di perjanjiakan oleh pihak
pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuanya. Pelaksanaan perjanjian
pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang
menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang
dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu di susul
dengan penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran
2. Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam
kemungkinan alasan yaitu: pembatalan karena tidak memenuhi syarat
subyektif dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Wanprestasi adalah tidak di laksanakanya kewajiaban sebagai mana
mestinya yang di bebankan oleh kontrak terhadap pihak pihak tertentu
seperti yang di sebutkan dalam kontrak.
Adapun tiga bentuk ingkar janji yaitu:
a. Tidak memenuhi kewajiban sama sekali

9
b. Terlambat memenuhi kewajiban
c. Memenuhi kewajiban secara tidak sah

2.2 Perikatan
2.1 Pengertian Perikatan
Dalam buku ini digunakan secara harfiah kata “perikatan” sebagai
terjemahan istilah “verbintesis” , yang merupakan pengambilalihan dari
“obligastion” dalam Code Civil Perancis. Dengan demikian berarti perikatan
adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan
tersebut.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberukan rumusan,
definisi, maupun arti istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal
1233, yang menyatakan bahawa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap
kewajiban perdata dapat karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait
dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua atau lebih
(pihak) dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban
pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.
2.2 Unsur Perikatan
Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 yaitu:
1. Hubungan hukum
Hubungan hukum ialah hubungan yang terhadapnya hukum
melekatkan “hak” pada 1 (satu) pihak dan melekatkan “kewajiban” pada
pihak lainnya. Apabila 1 (satu) pihak tidak mengindahkan ataupun
melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan
tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali.
Misalnya A berjanji menjual sepeda kepada B adalah hubungan
hukum. Akibat dari janji itu, A wajib menyerahkan sepeda miliknya

10
kepada B dan berhak menuntut harganya, sedangkan B wajib
menyerahkan harga sepeda itu dan berhak untuk menuntut penyerahan
sepeda.
Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka
hukum “memaksakan” agar kewajiban tadi dipenuhi. Seterusnya kita
melihat pula bahwa tidak semua hubungan hukum dapat disebutkan
perikatan. Suatu janji untuk bersama-sama piknik, tidak melahirkan
perikatan, sebab janji tadi tidak mempunyai arti hukum. Janji demikian
termasuk dalam lapangan moral, dimana tidak dipenuhinya prestasi akan
menimbulkan “reaksi” dari dan oleh anggota-anggota masyarakat
lainnya. Jadi, pelaksanaanya bersifat otonom dan sosiologis. Untuk
menilai suatu hubungan hukum perkatan atau bukan, maka hukum
mempunyai ukuran-ukuran (kriteria) tertentu.
2. Kekayaan
Yang dimaksudkan dengan kriteria perikatan itu adalah ukuran-
ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga
hubungan hukum itu dapat disebutkan suatu perikatan di dalam
perkembangan sejarah, apa yang dipakai sebagai kriteria itu tetap.
Dahulu yang menjadi kriteria ialah hubungan hukum itu dapat dinilai
dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai
dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu
perikatan.
Kriteria itu semakin lama sukar untuk dipertahankan, karena di
dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat
dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya tidak diberikan akibat
hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi. Dan ini bertentangan dengan
salah satu tujuan dari pada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena
itu, sekarang kriteria di atas tidak lagi dipertahankan sebagai kriteria,
maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat
dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan

11
menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka
hukumpun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai
suatu perikatan.
3. Pihak-pihak
Apabila hubungan hukum tadi dijajaki lebih jauh lagi maka
hubungan hukum itu harus terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih. Pihak
yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang
berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif
adalah debitur atau yang berutang. Mereka ini yang disebut subjek
perikatan.
Seorang debitur harus selamanya diketahui, oleh karena seseorang
tentu tidak dapat menagih dari seorang yang tidak dikenal. Lain halnya
dengan kreditur boleh merupakan seseorang yang tidak diketahui.
Di dalam perikatan pihak-pihak kreditur dan debitur itu dapat
diganti. Penggantian debitur harus diketahui atau persetujuan kreditur,
sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak. Bahkan
untuk hal-hal tertentu, pada saat suatu perikatan lahir antara pihak-
pihak, secara apriori disetujui hakikat penggantian kreditur itu.
Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus 1 (satu) orang
kreditur dan sekurang kurangnya 1 (satu) orang debitur. Hal ini tidak
menutup kemungkinan dalam suatu perikatan itu terdapat beberapa
orang kreditur dan beberapa orang debitur. Seorang kreditur dapat
dilukiskan sebagaimana yang diuraikan dibawah ini:
• Kreditur itu tidak perlu dikenal, artinya penggantian kreditur dapat
terjadi secara sepihak, tanpa bantuan debitur, bahkan dalam lalu-
lintas perdagangan yang tertentu penggantian itu telah disetujui
terjadi sejak semula. Apabila dalam suatu perikatan kreditur itu
ditentukan atau dikenal, maka kreditur yang seperti ini disebutkan
kreditur yang memiliki gugatan atas nama (vordering op naam).

12
• Penggantian kedudukan kreditur atau peralihan hak atas prestasi
terjadi dengan melakukan suatu formalitas tertentu (vorm van
rechthandeling) misalnya dengan suatu akta, misalnya akta cessie.
Penggantian kedudukan kreditur itu dapat pula dilakukan dengan
bentuk yang lebih mudah, tanpa dengan membuat akta cessie. Untuk
itu kreditur harus membuat suatu pengakuan utang
(schuldbekentensis). Pengakuan utang ini dapat berupa pengakuan
utang atas tunjuk “aan order” atau atas bawa “aan toonder”. Peralihan
dari pengakuan utang atas tunjuk dilakukan dengan dengan
penyerahan dari tangan ketangan dan di bagian belakang dari surat
itu diperbuat keterangan tentang peyerahan (endorsement) dan tanda
tangan dari pihak yang menyerahkan. Peralihan dari pengakuan utang
atas bawa terjadi dengan syarat-syarat yang lebih ringan dari pada
endorsement. Peralihan ini terjadi dengan penyerahan surat semata-
mata, misalnya cheque. Apabila cara-cara peralihan hak kreditur
yang tumbuh di dalam masyarakat sekarang kita perhatikan dengan
seksama, maka ada tendes yang menunjukkan bahwa peralihan
pengakuan utang atas bawa, juga memerlukan tanda tangan di
belakang dari surat itu. Kita menemukan cek-cek yang di
belakangnnya tercantum tanda tangan kreditur yang mengalihkan,
dengan tujuan agar pertanggungjawaban pemegang-pemegang cek-
cek sebelumnya itu dapat dimintakan apabila di kemudian hari si
pemegang cek terakhir menemukan bahwa cek itu tadi tidak memiliki
dana (kosong). Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya
atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-
hak pribadi yang kualitatif (kwalitatieve persooonlijke recht).
Misalnya A menjual sebuah mobil kepada B mobil mana telah
diasuransikankepada perusahaan asuransi. Dengan terjadinya
peralihan hak milik dari A kepada B, maka B sekaligus pada saat
yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang telah melekat

13
pada mobil tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan perikatan
kualitatif dan hak yang terjadi dari perikatan demikian dinamakan
hak kualitatif. Penggantian kriditur dapat pula terjadi dengan
subrogasi. Seorang debitur dilukiskan sebagai berikut:
• Dalam suatu perikatan sekurang-kurangnya harus ada seorang
debitur.
• Seorang debitur biasanya hrus dikenal, karena yang tidak dikenal.
Dengan demikian maka penggantian kedudukan debitur hanya dapat
terjadi apabila kreditur telah memberikan persetujuan, misalnya
pengambilalihan utang (schuldoverneming).
• Seorang debitur dapat terjadi karena perikatan kualitatif, sehingga
kewajiban memenuhi presentasi dari debitur dinamakan kewajiban
kualitatif, misalnya seorang pemilik baru dari sebuah rumah yang
oleh pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa-
menyewa, terikat untuk meneruskan perjanjian sewa-menyewa itu.
Menurut Asser”s (handleiding tot de beoefening van het Ned
Burgerlijkrecht cetakan tahun 1967), maka sejak saat suatu perikatan
dilakukan, pihak kreditur dapat memberikan persetujuan untuk
adanya penggantian debitur, misalya di dalam suatu perjanjian jual
beli dapat dijanjikan seseorang itu membeli untuk dirinya sendiri dan
untuk pembeli-pembeli yang berikutnya (koop voor zich of voor
nader to noemen meester). Apabila di dalam jual ini debitur
(pembeli) belum melunaskan seluruh harga beli, maka dalam hal
benda itu dialihkan kepada pembeli baru, maka kewajiban untuk
membayar tersebut dengan sendirinya beralih kepada pembeli baru
itu. Kedudukan debitur dapat berganti atau beralih dengan subrogasi.
Kualifikasi istilah prestasi didalam bahasa Hukum di Indonesia
belum ada. Untuk menuangkan pengertian yang terkandung dalam
istilah tadi ke dalam bahasa itu memerlukan kalimat panjang yang
kurang praktis kedengarannya. Menurut hemat penulis pemakaian

14
istilah prestasi di dalam lingkungan bahasa hukum di Indonesia
tidaklah salah, oleh karena pada umumnya istilah tersebut lazim
dipergunakan. Berdasarkan pemikiran yang demikian penulis di
dalam bahasa Indonesia dapat langsung mempergunakannya sebagai
bahasa milik sendiri.
Apabila 2 (dua) orang mengadakan perjanjian ataupun apabila
undang-undang dengan terjadinya suatu peristiwa menciptakan suatu
perikatan jelaslah bahwa maksud dari kedua orang tersebut maupun
dari pembentuk undang-undang untuk mengikat kedua orang itu
memenuhi kewajiban, untuk memenuhi sesuatu disebut dengan
prestasi.
4. Prestasi (Objek Hukum)
Pasal 1234:
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata prestasi itu dibedakan atas
• Memberikan sesuatu
• Berbuat sesuatu
• Tidak berbuat sesuatu
Ke dalam perikatan untuk memberikan sesuatu termasuk
pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menyewa),
penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak. Perikatan untuk
melakukan sesuatu misalnya membangun rumah.
Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu misalnya A, membuat
perjanjian dengan B ketika menjual apoteknya, untuk tidak menjalankan
usaha apotek dalam daerah yang sama.
2.3 Syarat-Syarat Sah Perikatan
Syarat sahnya perikatan sulit dipisahkan dari salah satu asas dalam
hukum perikatan yakni asas konsensuil (kesepakatan). Syarat sahnya
perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1230 yakni, sepakat bagi

15
yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu
hal tetentu dan sebab yang halal.
1. Kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian merupakan unsur
utama sebagai syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan dalam perikatan
atau kontrak dapat terjadi dalam bentuk lisan, tertulis (mengucapka kata)
dengan simbol-simbol tertentu serta berdiam diri (dengan suatu
sikap/isyarat). Perikatan dapat menjadi batal (dapat dibatalkan) jika saja
terjadi cacat kehendak atau cacat kesepakatan melalui beberapa hal,
diantaranya kekhilafan/kesesatan, paksaan, penipuan, dan penyalah
gunaan keadaan. Cacat kehendak dan kekhilafan, paksaan, dan penipuan
diatur dalam pasal 1321 yang menegaskan “tiada kesepakatan yang sah
apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan
paksaan atau penipuan”. Kemudian diatur juga dalam pasal 1449 yang
menegaskan “perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau
penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkan”.
2. Cakap yang dimaksud isini adalah setiap orang yang berumur 21 tahun ke
atas oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal ditaruh
dibawah pengampuan, seperti: pemabuk, gila, pemboros. Misalnya, orang
yang telah dewasa tetapi tidak dianggap, tidak mampu sebab pemabuk,
gila dan boros. Lebih jauh ditegaskan perihal yang dianggap tidak cakap
berdasarkan Pasal 1330 menegaskan, “tidak cakap untuk membuat
perjanjian”.
3. Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat perjanjian jika tidak terpenuhi
dalam perjanjian maka perjanjian itu dikatakan batal demi hukum
tertentu. Hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi (kewajiban
yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam
perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 prestasi itu dapat
berupa:
• Menyerahkan sesuatu
• Berbuat sesuatu

16
• Tidak berbuat sesuatu
4. Sebab yang halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut
Pasal 1337 KUHPerdata adalah “persetujuan yang tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan”.
2.4 Pembatalan dan Pelaksanaan Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan kemungkinan
bahwa suatu perikatan atau perjanjian dapat dibatalkan, jika perjanjian
tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan individu tertentu. Individu
ini tidak hanya pihak dalam perikatan atau perjanjian tersebut, tetapi
meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak
yang membuat atau mengadakan perikatan atau perjanjian tersebut. Dalam
hal ini, pihak yang jika dengan dilaksanakannya perikatan atau perjanjian
tersebut akan menderita kerugian dapat mengajukan pembatalan atas
perikatan atau perjanjian tersebut, baik sebelum perikatan perjanjian itu
dilaksanakan maupun setelah perikatan perjanjian tersebut dilaksanakan.
Bagi keadaan yang terakhir ini, Pasal 1451 dan Pasal 1452 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa
akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti
keadaan sebelum perjanjian dibuat.

2.3 Perbedaan Perjanjian dan Perikatan


Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal
dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya
KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi
pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu
perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan
secara tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa

17
perikatan selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari
perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian
sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi
dari pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal
1233 KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena
perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.
Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua
istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum
Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian.
Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:
“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.”
Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu
merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun
pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada
dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan
perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa
perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi
sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan
perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena
diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara orangtua dengan
anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara
ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang.

18
Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada
konsekuensi hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak
hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang
telah terikat. Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum
yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari
pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya
merupakan perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut
menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan
hukum yang mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi
hukum.
Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah
bahwa oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak
dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi),
sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan
konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).
Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan
pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih
luasnya pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal
pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan
mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat
antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk
memenuhi prestasi tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan
tersebut tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang
dirugikan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut
pemenuhan prestasi atau penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi
dan bunga.
Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti,
yaitu pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya

19
sangat tergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain
merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun
perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-udang tetapi
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari
undang-undang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat
didalamnya.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan

20
Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal
dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya
KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi
pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu
perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan
secara tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa
perikatan selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari
perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian
sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari
pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233
KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan
tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.
Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua
istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum
Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian.
Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:
“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.”
Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu
merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun
pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada
dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan

21
perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa
perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi
sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan
perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena
diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara orangtua dengan
anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah
dan anak tetapi karena perintah undang-undang.
Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada
konsekuensi hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak
hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah
terikat. Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang
dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak
yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian
dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya merupakan
perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan bahwa
tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat tetapi
dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah
bahwa oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak
dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi),
sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan
konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).

Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan


pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih
luasnya pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal
pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan
mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat

22
antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk
memenuhi prestasi tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan
tersebut tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang
dirugikan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut
pemenuhan prestasi atau penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi dan
bunga.
Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti,
yaitu pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya
sangat tergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain
merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun
perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-udang tetapi
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari undang-
undang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat
didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

23
Anonim. 2009. Hukum Perikatan dan Perjanjian, (Online),

(www.google.com/Hukum%20Perikatan%20Kontrak/HUKUM%20PERIKATAN%2

0DAN%20PERJANJIAN%20_%20lady%20chabbie.html, Di akses 18 April 2017)

24

Anda mungkin juga menyukai