Anda di halaman 1dari 151

HALAMAN JUDUL

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

TERDUGA HIPERURISEMIA PADA PRALANSIA DI POS PEMBINAAN

TERPADU (POSBINDU) WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAMULANG

TAHUN 2016

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

ARINA KHOIRINA

1112101000098

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H / 2016 M

ii
ABSTRAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI
Skripsi, Desember 2016

Nama : Arina Khoirina, NIM : 1112101000098


Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016
xxi + 107 halaman, 17 tabel, 4 gambar, 6 lampiran
Abstrak
Salah satu masalah kesehatan pada pralansia yang perlu mendapat perhatian
khusus adalah hiperurisemia. Dampak dari hiperurisemia adalah nyeri sendi atau
disebut penyakit gout, nefropati gout, batu urat saluran kemih, meningkatkan
risiko kejadian gagal jantung, stroke dan bahkan kematian. Oleh karena itu, perlu
diketahui adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian terduga
hiperurisemia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2016. Responden penelitian ini adalah pralansia (45-
59 tahun) yang dipilih melalui metode proportionate random sampling. Penelitian
ini merupakan penelitian epidemiologi observasional analitik dengan desain cross
sectional. Pengumpulan data dengan melakukan pengambilan darah metode stik
dengan Blood Uric Acid Test Strip, metode wawancara dengan kuesioner untuk
mengetahui karakteristik responden, metode GPPAQ untuk mengetahui tingkat
aktivitas fisik dan melakukan wawancara dengan metode Semi Quantitative FFQ
untuk melihat konsumsi fruktosa, purin, dan cairan. Data dilakukan analisis
univariat dan bivariat dengan uji chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frekuensi dari kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia sebesar 65,6%. Berdasarkan hasil uji bivariat dengan
tingkat kemaknaan 10% dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian terduga hiperurisemia adalah riwayat keluarga, kegemukan,
asupan fruktosa, asupan purin, dan asupan cairan. Sedangkan faktor-faktor yang
tidak berhubungan dengan kejadian terduga hiperurisemia adalah jenis kelamin
dan aktivitas fisik.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan adanya riwayat penyakit dalam keluarga
agar lebih berhati-hati dan menjaga pola makan sehat; mengurangi konsumsi
sumber makanan yang mengandung tinggi kalori, misalnya makanan dengan
kandungan lemak tinggi, seperti daging, makanan yang berminyak seperti nasi
goreng, kentang goreng; mengurangi konsumsi daging, jeroan dan seafood;
dianjurkan untuk mengkonsumsi air putih minimal 8 gelas sehari; serta memantau
berat badan normal dan menurunkan berat badan pada pralansia yang mengalami
kegemukan.

Kata kunci : Pralansia, Hiperurisemia, Posbindu


Daftar bacaan : 80 (2001-2016)

iv
ABSTRACT
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH

NUTRITION CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, Desember 2016

Name : Arina Khoirina, ID Number: 1112101000098


The Factors Related to Hyperuricemia Suspect in Pre-Elderly at Posbindu in
Coverage Area of Pamulang Community Health Center in 2016
xxi + 107 pages, 17 tables, 4 pictures, 6 attachments

Abstract

One of the health problems in pre-elderly that needs special attention is


hyperuricemia. The impact of hyperuricemia is joint pain (gout), nephropathy
gout, urate stones urinary tract, increasing the risk of incident heart failure, stroke
and even death. Therefore, it is important to know the factors associated with
hyperuricemia suspect.

This study aims to determine the factors related with hyperuricemia suspect in
pre-elderly at Posbindu in coverage area of Pamulang community health center in
2016. Respondents of this study are pre-elderly (45-59 years) were selected
through proportionate random sampling method. This study is an analytic
observational epidemiological study with cross-sectional design. Data is collected
by measuring blood with blood uric acid test strip of stick method, interview
method with questionnaires to determine the respondent characteristics, GPPAQ
method to determine physical activity level, and semi quntitative FFQ to
determine fructose, purine, and liquid intake. Analysis of the data consists of
univariate analysis and bivariate analysis using the chi-square test.

The results showed that total of patients with hyperuricemia suspect in pre-
elderly amounted to 65.6%. Based on the results of the bivariate test with
significance level of 10% can be seen that the factors associated with the
incidence of hyperuricemia is family history, overweight, fructose intake, purine
intake, and liquid intake. While the factors that are not related to the incidence of
hyperuricemia is gender and physical activity.

Therefore, to note the existence of a family history of the disease to be more


cautious and maintain a healthy diet; reducing consumption of foods containing
high calories such as meat, greasy food like fried rice, fried fries; reducing the
consumption of meat, giblets and seafood; recommended to consume at least 8
glasses of water a day; and monitoring of normal weight and weight loss in obese
pre-elderly.

Keywords : Pre-elderly, Hyperuricemia, Posbindu


References : 80 (2001-2016)
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. DATA PERSONAL

Nama : Arina Khoirina

Jenis kelamin : Perempuan

TTL : Jepara, 28 September 1994

Alamat : RT 004 RW 001 Desa Banjaran Kec. Bangsri Kab. Jepara

No. Telp/HP : 0895327778505

Kebangsaan : Indonesia

Status : Belum Menikah

Email : arinakhoirina2828@gmail.com

B. RIWAYAT PENDIDIKAN FORMAL

2012 – sekarang : Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2009 – 2012 : MA Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara

2006 – 2009 : MTsN Bawu Jepara

2000 - 2006 : MI Mabadil Huda Banjaran Bangsri Jepara

1998 - 2000 : TK GUPPI Banjaran Bangsri Jepara

viii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam senantiasa

tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ucapan terima kasih penulis

hanturkan secara ikhlas dan penuh dengan kerendahan hati atas terselesaikannya

skripsi ini kepada :

1. Orang tua tercinta yang telah berikhtiar, sabar, mendidik serta kepada Mbak

Muhimmatul Aliyah dan Nang Miftahul Arzaq al-Jabar yang telah memberi

dukungan serta doa untuk penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

mengabdikan dirinya untuk dunia pendidikan kesehatan.

3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat sekaligus staf dosen yang telah sabar mendidik dan

mengajarkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi masa depan penulis.

4. Ibu Febrianti, S.P, M.Si dan Bapak Dr. H. Farid Hamzens, M.Si selaku

pembimbing I dan pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan

arahan serta mengizinkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Rekan-rekan kesehatan masyarakat peminatan gizi 2012, khususnya Dek

Amay (Aprilita Noor A.) yang telah bersama-sama menuntut ilmu,

membantu, berdiskusi, memberi dukungan serta doa terhadap penelitian ini.

ix
6. Rekan-rekan Pesantren Luhur Sabilussalam, khususnya rekan kamar Ikhda

K.M dan Ayu Sajida D.A yang telah memberikan doa dan dukungan terhadap

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Rekan-rekan CSS MoRA UIN Jakarta, khususnya rekan-rekan CSS MoRA

Program Studi Kesehatan Masyarakat angkatan 2012 yaitu Ahmad Faiz,

Ainia Nurul A., Andi Saeful M., Astuti Akin, Ivanullah Anggriawan W.,

Maulida Nella M., Nurmala Saidah dan Suharni yang telah bersama-sama

menuntut ilmu dan menjadi keluarga bagi penulis, memberi doa dan

dukungan sampai penyelesaian penulisan skripsi.

8. Mas Miftachul Huda yang telah mendukung dan mendampingi penulis dalam

penyusunan skripsi ini.

Semoga ilmu yang diajarkan, bimbingan dan arahan yang disampaikan

serta doa dan dukungan yang telah diberikan dari berbagai pihak terhadap penulis

mendapatkan ganjaran pahala dari Allah. Sungguh Maha Sempurna Allah SWT,

kekurangan dan kekhilafan terdapat pada penulis maka dari itu penulis menyadari

dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan

kritik yang membangun dari pembaca sangat diharapkan sebagai bahan masukan

bagi penulis untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Semoga Allah SWT

merestui dan memberikan ridho-Nya atas semua amal perbuatan kita, Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Desember 2016

Penulis

x
DAFTAR ISTILAH

Albumin adalah protein darah yang diproduksi oleh hati dan berperan dalam
mempertahankan volume darah normal.

Artritis Gout atau penyakit asam urat adalah peradangan menyakitkan


terutama jempol kaki dan jari-jari kaki yang disebabkan oleh masalah
metabolisme asam urat yang mengakibatkan deposit kristal asam dan garam di
darah dan sendi.

Asam Laktat adalah produk sampingan dari metabolism anaeron glukosa.

Asam Nukleat adalah suatu polimer yang terdiri atas banyak molekul nukleotida.

Asam Urat adalah asam lemah yang pada pH normal akan terionisasi di dalam
darah dan jaringan menjadi ion urat.

Patogenesis adalah mekanisme penyebab penyakit atau penggambaran asal usul


dan perkembangan penyakit (akut, kronis atau berulang).

Hereditas adalah informasi genetik dan sifat-sifat yang diwariskan dari orang tua
kepada keturunannya.

Hiperurisemia adalah gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan


kadar asam urat lebih dari 5,7 mg/dL pada wanita dan lebih dari 7,0 mg/dL pada
laki-laki.

Hipoksantin adalah sebuah turunan purin yang diubah menjadi xantin oleh enzim
xantin oksidase dan kemudian xantin akan diubah menjadi asam urat.

Glikolisis adalah salah satu metode yang digunakan sel untuk menghasilkan
energi melalui proses pengubahan glukosa menjadi dua molekul asam piruvat
dengan menghasilkan ATP dan NADH.

Glikogen adalah karbohidrat yang tersimpan dalam jaringan tubuh. Hati


mengubah glukosa dari makanan menjadi glikogen dan menyimpannya unuk
digunakan kemudian.

Obesitas adalah kondisi kronis yang ditandai dengan akumulasi lemak tubuh yang
berlebihan.

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah ukuran berat badan dalam kilogram dibagi
dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Dikategorikan kegemukan jika IMT ≥
25-27 kg/m2 dan obesitas jika IMT ≥ 27 kg/m2.

xi
Jaringan Adiposa adalah jaringan yang terdiri dari sel-sel adiposit dan tubuh
menyimpan lemak dalam bentuk trigliserida.

Darah Kapiler adalah pembuluh darah mikroskopis kecil antara arteri dan vena
yang mendistribusikan darah yang kaya oksigen ke jaringan tubuh.

Globulin adalah kelompok protein yang digunakan uuntuk produksi antibodi.

Katabolisme adalah pemecahan molekul kompleks menjadi lebih kecil disertai


dengan pelepasan energi.

Kolesterol adalah senyawa berstruktur lembek dan terdapat diantara lemak dalam
aliran darah dan semua sel tubuh. Ada dua jenis kolesterol yaitu Low Density
Lipoporitein (LDL) atau kolesterol jahat dan High Density Lipoprotein (HDL)
atau kolesterol baik.

Leptin adalah hormon yang dilepaskan dari sel-sel lemak dalam jaringan adiposa.

Menopause adalah penghentian tetap menstruasi, baik secara alamiah atau


disebabkan oleh kegagalan ovarium atau akibat operasi pengangkatan indung
telur.

Metabolisme adalah pertukaran zat pada organisme yang meliputi proses fisika
dan kimia; pembentukan dan penguraian zat di dalam badan yang memungkinkan
berlangsungnya hidup.

Nukleoprotein adalah protein yang bergabung dengan asam nukleat.

Nukleosida adalah rangkaian biokimiawi yang terbentuk dari suatu rangkaian


kimiawi deoksiribosa dan basa nitrogen (purin dan pirimidin).

Nukleotida adalah unit struktural dasar asam nukleat (DNA atau RNA)

Penyakit Degeneratif adalah penyakit yang bersifat merusak secara progresif dan
sering ireversibel.

Pirimidin adalah suatu basa nitrogen dalam pita DNA yang terdiri dari sitosin,
timin, dan urasil.

Purin adalah suatu basa nitrogen dalam pita DNA yang terdiri dari adenin dan
guanin yang merupakan komponen dari makanan tertentu yang dimetabolisme
menjadi asam urat dalam tubuh.

Sintesis adalah pembentukan senyawa kimia dari unsur-unsur atau senyawa


prekursor.

Sintesis de novo adalah pembentukan sebuah molekul penting dari molekul


prekursor sederhana.

xii
Ukuran Rumah Tangga (URT) adalah ukuran takaran makanan yang biasa
digunakan dalam rumah tangga seperti sendok teh, sendok makan, sendok takar,
piring, gelas, botol, kaleng, mangkuk, bungkus, buah, dan biji. URT sering
digunakan dalam survei konsumsi makanan.

Xantin adalah salah satu bentuk purin yang merupakan bentuk antara dari
metabolisme adenine dan guanine menjadi asam urat.

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i

HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

ABSTRACT ............................................................................................................ v

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ vi

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ................................................................ vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. viii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix

DAFTAR ISTILAH ............................................................................................... xi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiv

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xx

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xxi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 6
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 7
1.6 Ruang Lingkup .................................................................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 9


2.1 Hiperurisemia .................................................................................................... 9
2.1.1 Definisi Hiperurisemia ......................................................................... 9
2.1.2 Patofisiologi Hiperurisemia................................................................ 10
2.1.3 Komplikasi Hiperurisemia ................................................................. 14

xiv
2.1.4 Cara Pemeriksaan Kadar Asam Urat Darah pada Hiperurisemia ...... 16
2.2 Konsep Pralansia ............................................................................................. 19
2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia .................................................................................................. 23
2.3.1 Riwayat Keluarga ............................................................................... 23
2.3.2 Jenis Kelamin ..................................................................................... 25
2.3.3 Aktivitas fisik ..................................................................................... 26
2.3.4 Kegemukan (Overweight) .................................................................. 29
2.3.5 Asupan makanan ................................................................................ 32
2.4 Kerangka Teori ................................................................................................ 42

BAB III KERANGKA KONSEP ......................................................................... 44


3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................ 44
3.2 Definisi Operasional ....................................................................................... 46
3.3 Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 50

BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 51


4.1 Desain Penelitian ............................................................................................ 51
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ........................................................................ 51
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................... 51
4.4 Metode Pengumpulan Data ........................................................................... 55
4.5 Instrumen Penelitian ....................................................................................... 58
4.6 Manajemen Data ............................................................................................. 59
4.7 Analisis Data ................................................................................................... 66
4.7.1 Analisis Univariat ............................................................................... 66
4.7.2 Analisis Bivariat ................................................................................. 66

BAB V HASIL ...................................................................................................... 68


5.1 Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 .................... 68
5.2 Analisis Univariat ........................................................................................... 69
5.2.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia Pralansia di
Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ................................. 69
5.2.2 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang ............................................................... 70

xv
5.2.3 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang ............................................................... 70
5.2.4 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik pada Pralansia di Posbindu
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ................................................. 71
5.2.5 Distribusi Frekuensi Kegemukan pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang ............................................................... 71
5.2.6 Dstribusi Frekuensi Asupan Makan (Fruktosa, Purin, Cairan) pada
Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ............. 72
5.3 Analisis Bivariat .............................................................................................. 73
5.3.1 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ..... 73
5.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ..... 74
5.3.3 Hubungan Aktifitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ..... 75
5.3.4 Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia pada
Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ............. 76
5.3.5 Hubungan Asupan Makan (Fruktosa, Purin dan Cairan) dengan
Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang ............................................................... 76

BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 79


6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 79
6.2 Gambaran Kejadian Terduga Hiperurisemia............................................... 80
6.3 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia 82
6.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia ....... 84
6.5 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia ...... 85
6.6 Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia ........... 87
6.7 Hubungan Asupan Makan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia ..... 90
6.7.1 Hubungan Asupan Fruktosa dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
............................................................................................................ 90
6.7.2 Hubungan Asupan Purin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia .. 92
6.7.3 Hubungan Asupan Cairan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia 94

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 97


7.1 Simpulan .......................................................................................................... 97

xvi
7.2 Saran ................................................................................................................. 99

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 101

LAMPIRAN ........................................................................................................ 107

xvii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Batasan IMT (Indeks Massa Tubuh) Penduduk Dewasa (>18 Tahun) . 29

Tabel 2.2 Kadar Purin dalam Berbagai Makanan ................................................. 35

Tabel 4.1 Nilai P (Proporsi) Variabel Dependen dan Variabel Independen ......... 52

Tabel 4.2 Nilai P1 dan P2 dari Faktor-faktor yang Berhubungan dengan


Hiperurisemia................................................................................................. 53

Tabel 4.3 Jumlah Pralansia pada Tiap Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang dalam Populasi dan sampel ........................................................... 54

Tabel 5.1 Nama-nama Posbindu di Setiap Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas


Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 68

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di


Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ........................ 69

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga pada Pralansia di Posbindu


Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ........................................ 70

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ....................................................... 70

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ....................................................... 71

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kegemukan pada Pralansia di Posbindu Wilayah


Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ....................................................... 72

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Asupan Makan (Fruktosa, Purin, Cairan) pada
Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016..... 72

Tabel 5.8 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 74

Tabel 5.9 Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 74

Tabel 5.10 Analisis Hubungan antara Aktifitas Fisik dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 75

xviii
Tabel 5.11 Analisis Hubungan antara Kegemukan dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 76

Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara Asupan Makan (Fruktosa, Purin dan Cairan)
dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ....................................................... 77

xix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patofisiologi Hiperurisemia dan Gout ............................................... 12

Gambar 2.2 Pembentukan Asam Urat dari Nukleosida ........................................ 14

Gambar 2.3 Kerangka Teori .................................................................................. 43

Gambar 3.1 Kerangka Konsep .............................................................................. 45

xx
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Penelitian

Lampiran 2 Kuesioner Penelitian

Lampiran 3 Formulir General Practice Physical Activity Questionnaire

Lampiran 4 Formulir Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire

Lampiran 5 Formulir Kadar Asam Urat Darah

Lampiran 6 Output Analisis Data Software Komputer

xxi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperurisemia merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan

peningkatan kadar asam urat lebih dari 5,7 mg/dL pada wanita dan lebih

dari 7,0 mg/dL pada laki-laki (Lang, 2009). Dampak langsung yang sering

dirasa dari hiperurisemia adalah pembengkakan dan nyeri sendi. Persendian

yang terasa nyeri diakibatkan adanya peradangan sendi (Wong, 2011). Nyeri

sendi yang terjadi akibat kadar asam urat tinggi di dalam darah disebut

penyakit gout. Penyakit gout merupakan peradangan terutama pada jempol

kaki dan jari-jari kaki yang disebabkan oleh masalah metabolisme asam urat

yang mengakibatkan deposit kristal asam dan garam di darah dan sendi.

Lebih dari itu, hiperurisemia dapat berdampak lebih besar pada organ

tubuh lain yang selanjutnya dapat berdampak ke seluruh tubuh. Seseorang

yang memiliki hiperurisemia berisiko terhadap nefropati gout. Peningkatan

kadar asam urat di dalam urin menyebabkan pengendapan kristal urat di

ginjal atau kandung kemih, menjadi batu urat saluran kemih (Soeroso,

2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ekundayo (2010),

hiperurisemia juga dapat meningkatkan risiko kejadian gagal jantung, stroke

dan kematian (Kim dkk, 2009).

1
2

Diketahui dari hasil survei yang dilakukan oleh You dkk (2013) di

populasi Mongolia Asia, prevalensi penderita hiperurisemia pada usia 45-59

tahun sebesar 13,32%. Berdasarkan laporan bidang biomedis, di Indonesia,

prevalensi hiperurisemia pada kelompok usia 45-54 tahun adalah 18,7% dan

pada kelompok usia 55-64 tahun yaitu 20,0% (Kemenkes RI, 2012). Dari

hasil survei tersebut dapat diketahui bahwa prevalensi hiperurisemia pada

pralansia di Indonesia lebih tinggi dibandingkan prevalensi pralansia di

Mongolia Asia.

Prevalensi yang tinggi juga ditunjukkan dalam Riskesdas di Provinsi

Banten tahun 2013. Diketahui bahwa prevalensi penyakit peradangan

sistemik kronik pada sendi tubuh sebagai salah satu tanda hiperurisemia

pada kelompok usia 45-54 tahun adalah 36,1% dan pada kelompok usia 55-

64 tahun yaitu 43,7%. Laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

tahun 2015, diketahui bahwa kejadian terduga hiperurisemia pada kelompok

pra lanjut usia adalah sebesar 22,2%. Prevalensi ini juga lebih tinggi dari

prevalensi nasional pada laporan biomedis Kemenkes tahun 2010.

Di Kota Tangerang Selatan, hiperurisemia merupakan salah satu

masalah kesehatan utama pada pralansia di wilayah kerja Puskesmas (PKM)

Pamulang. Selain itu, wilayah kerja Puskesmas Pamulang memiliki

kelompok pralansia terbanyak di Kota Tangerang Selatan sebesar 11,15%.

Dari laporan kasus baru (LB1) bulan Juli-Desember tahun 2015 PKM

Pamulang, diketahui berturut-turut prevalensi hiperurisemia, hipertensi, dan

diabetes melitus adalah sebesar 0,71%; 0,50%; dan 0,42%. Selanjutnya,

berdasarkan data di Posbindu PTM (Penyakit Tidak Menular) Puskesmas


3

Pamulang bulan Februari tahun 2016, ditemukan bahwa sebesar 64,3%

pralansia hiperurisemia.

Untuk mencegah peningkatan kadar asam urat darah harus diketahui

berbagai faktor yang berhubungan dengan meningkatnya kadar asam urat

dalam darah atau hiperurisemia. Diketahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan kadar asam urat darah pada pra lanjut usia adalah riwayat keluarga,

jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, purin, dan cairan.

Analisis dari National Heart, Lung, and Blood Institute Family Studies

(2001) menyimpulkan bahwa kadar asam urat berhubungan dengan riwayat

keluarga sebesar 40%. Seseorang dengan riwayat keluarga/keturunan yang

mempunyai hiperurisemia, mempunyai risiko 1-2 kali lipat dibanding pada

seseorang yang tidak memiliki riwayat (Astuti, 2014). Pada kelompok

pralansia, jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami hiperurisemia.

Dalam penelitian Lina (2014), laki-laki yang mengalami hiperurisemia

sebesar 19,7%, sedangkan pada perempuan sebesar 7,9%. Kadar asam urat

darah pada laki-laki sudah dapat mencapai 5,2 mg/dl saat pubertas dan akan

terus meningkat seiring bertambahnya usia.

Aktivitas fisik juga berhubungan dengan kadar asam urat darah

(Nahariani, 2012). Aktivitas fisik dalam intensitas yang berlebihan dapat

memberikan beban berlebih pada sendi yang dapat menyebabkan

peningkatan asam laktat, sehingga akan menghambat dan menurunkan

pengeluaran asam urat (Xiong dkk, 2013). Orang yang mengalami

kegemukan juga mempunyai risiko mengalami peningkatan kadar asam urat


4

darah. Dari penelitian Setyoningsih (2009) ditemukan bahwa pada orang

gemuk (IMT ≥ 25 kg/m2), kadar leptin dalam tubuh akan meningkat.

Peningkatan kadar leptin seiring dengan meningkatnya kadar asam urat

dalam darah. Orang gemuk mempuyai risiko 2,5 kali untuk mengalami

hiperurisemia dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami gemuk

(Poletto dkk, 2011). Selain itu, dari penelitian Modino dkk (2012) juga

diketahui tingginya prevalensi hiperurisemia dengan kejadian kegemukan.

Asupan makanan seseorang juga dapat menjadi faktor terjadinya

hiperurisemia. Konsumsi makanan yang mengandung tinggi fruktosa

memiliki peran dalam peningkatan kadar asam urat dalam darah

(Zimmerman, 2009). Selain itu, asupan purin yang tinggi seperti konsumsi

daging dan seafood juga terbukti sebagai faktor risiko yang berhubungan

dengan tingginya prevalensi hiperurisemia sesuai dengan hasil penelitian

Villegas dkk (2012). Kemudian, kurangnya konsumsi cairan yang tidak

beralkohol merupakan salah satu pemicu tingginya kadar asam urat

berdasarkan hasil penelitian Fajarina (2011).

Dari uraian masalah hiperurisemia adalah masalah kesehatan utama pada

pralansia di wilayah kerja puskesmas Pamulang, dampak yang akan terjadi,

maka perlu untuk diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian terduga hiperurisemia untuk mencegah terjadinya hiperurisemia

dan gout pada pralansia. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian

untuk mencari faktor-faktor pencetus dari masalah tersebut, dengan judul

penelitian “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Terduga


5

Hiperurisemia pada Pralansia di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu)

Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016”.

1.2 Rumusan Masalah

Hiperurisemia adalah masalah kesehatan utama pralansia (45-59 tahun)

di wilayah kerja Puskesmas Pamulang, yaitu sebesar 63,4% yang

mempunyai rata-rata kadar asam urat 9,14 mg/dl, sehingga perlu segera

ditangani karena dapat menyebabkan penyakit asam urat (arthritis gout),

dan penyakit degeneratif lain seperti nefropati gout, gagal jantung, stroke,

bahkan kematian. Laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun

2015, diketahui bahwa prevalensi gout pada pralansia adalah sebesar

28,41%. Prevalensi gout ini lebih tinggi dari prevalensi hiperurisemia, yakni

sebesar 22,2%. Sehingga penelitian pada kelompok pralansia dapat

dilakukan untuk mengetahui risiko terjadinya hiperurisemia dan mencegah

dampak dari hiperurisemia tersebut.

Diketahui adanya faktor yang berhubungan dengan kejadian terduga

hiperurisemia adalah riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik,

kegemukan, asupan fruktosa, asupan purin, dan asupan cairan. Oleh karena

itu, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja

Puskesmas Pamulang tahun 2016.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:
6

1. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian terduga hiperurisemia, riwayat

keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan makan

(fruktosa, purin, cairan) pada pralansia di Pos Pembinaan Terpadu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016?

2. Adakah hubungan antara riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas

fisik, kegemukan, asupan makan (fruktosa, purin, cairan) dengan

kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Pos Pembinaan

Terpadu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

terduga hiperurisemia pada pralansia di Pos Pembinaan Terpadu

(Posbindu) wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.

b. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diketahuinya distribusi frekuensi kejadian terduga hiperurisemia, riwayat

keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan makan

(fruktosa, purin, cairan) pada pralansia di Pos Pembinaan Terpadu wilayah

kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016?

2. Diketahuinya hubungan antara riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas

fisik, kegemukan, asupan makan (fruktosa, purin, cairan) dengan kejadian


7

terduga hiperurisemia pada pralansia di Pos Pembinaan Terpadu wilayah

kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016?

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai kasus kadar asam urat darah tinggi dan dapat dijadikan dasar

untuk mencegah dan menanggulangi hiperurisemia pada pralansia di

Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang.

2. Bagi Pralansia

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran untuk

menerapkan pola hidup sehat sehingga dapat mencegah kejadian terduga

hiperurisemia bahkan penyakit gout.

3. Bagi Peneliti

Mahasiswa dapat menambah pengetahuan dan mengembangkan

keilmuan gizi, khususnya terkait epidemiologi gizi dan kesehatan

masyarakat, serta penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk melakukan

penelitian lanjutan.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi peminatan gizi program studi

kesehatan masyarakat untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Pos Pembinaan

Terpadu di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016. Penelitian ini

dilakukan pada bulan Mei hingga bulan Oktober 2016 dengan jenis
8

penelitian epidemiologi observasional analitik dengan desain cross

sectional.

Pengumpulan data primer dengan cara melakukan pengambilan darah

metode stik dengan Blood Uric Acid Test Strip, metode wawancara dengan

kuesioner untuk mengetahui karakteristik responden, metode GPPAQ untuk

mengetahui tingkat aktivitas fisik dan melakukan wawancara dengan metode

Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire untuk melihat konsumsi

fruktosa, purin, dan cairan. Kemudian data dilakukan analisis univariat dan

analisis bivariat dengan uji chi square.


2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hiperurisemia

2.1.1 Definisi Hiperurisemia

Hiperurisemia merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan

peningkatan kadar asam urat dalam tubuh. Untuk laki-laki, ambang batas

normal dalam darah adalah 7,0 mg/dl. Adapun pada perempuan, batas kadar

asam urat darah normal adalah 5,7 mg/dl (Soeroso, 2011). Hiperurisemia

terjadi ketika asam urat serum melebihi batas tinggi (upper limit) dari jarak

yang direkomendasikan. Hiperurisemia dapat berasal dari peningkatan

produksi purin dan/atau penurunan eksresi asam urat di ginjal (Lee, 2009).

Berdasarkan penyebabnya, hiperurisemia dibagi menjadi dua kelompok.

Ketika meningkatnya konsentrasi asam urat merupakan akibat langsung

pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan

ekskresi asam urat dan sering tidak diketahui penyebabnya disebut sebagai

hiperurisemia primer. Sedangkan hiperurisemia sekunder terjadi akibat

pembentukan asam urat yang berlebihan atau penurunan eksresi asam urat

akibat beberapa faktor atau dikarenakan adanya penyakit lain dan terapi

obat-obatan tertentu (Price, 2005).

9
10

2.1.2 Patofisiologi Hiperurisemia

Patofisiologi hiperurisemia disebabkan oleh tiga faktor, yaitu produksi

asam urat berlebih, penurunan eksresi asam urat dan kombinasi peningkatan

produksi asam urat dan penurunan ekskresi asam urat (Utami dkk, 2009).

Proses terjadinya hiperurisemia berawal dari adanya metabolisme purin dan

asam urat. Ketika kadar asam urat serum melebihi batas normal yang

menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat di dalam sendi.

Patofisiologi hiperurisemia ini akan dijelaskan secara lebih rinci pada

penjelasan berikut.

A. Metabolisme Purin dan Asam Urat

Menurut Hsu (2006), asam urat merupakan produk terakhir dari

metabolisme purin. Asam urat dihasilkan dari dua hal, yaitu berasal dari

pemecahan dan sisa-sisa pembuangan bahan makanan tertentu yang

mengandung nukleotida purin (eksogen) dan berasal dari tubuh yang

memproduksi nukleotida purin (endogen). Asam urat yang diproduksi

oleh tubuh sebagian besar berasal dari metabolisme nukleotida purin

endogen, adenosin, inosin, guanosin. Prosesnya berlangsung melalui

perubahan intermediet hypoxanthine dan guanine menjadi xanthine dan

dikatalis oleh enzim xanthine oksidase dengan produk akhir berupa asam

urat (Lihat Gambar 2.2 Pembentukan Asam Urat dari Nukleosida)

(Murray, 2009).

Asam urat merupakan asam lemah yang pada pH normal akan

terionisasi di dalam darah dan jaringan menjadi ion urat. Dengan

berbagai kation yang ada, ion urat akan membentuk garam dan 98%
11

asam urat ekstraselular akan membentuk garam monosodium urat (MSU)

(Dalimartha, 2008). Jumlah asam urat dalam tubuh dicerminkan oleh

kadar natruim urat dalam serum darah. Kandungan normal natrium urat

di dalam serum pada suhu 37 derajat celcius kurang dari 7 mg/dl. Pada

wanita, kadar asam urat normal berkisar 2,4-5,7 mg/dl dan untuk pria,

berkisar 3,4-7 mg/dl (Kemenkes, 2007).

Asam urat dari sumber eksogen maupun endogen diekskresikan

melalui gastrointestinal dan ginjal (Hsu, 2006). Jika kadar asam urat

serum melebihi standar disebut dengan hiperurisemia. Ketika asam urat

dalam darah melebihi batas kelarutannya, hal tersebut terjadi karena

adanya mekanisme kelebihan produksi asam urat di dalam tubuh dan

penurunan ekskresi asam urat melalui urin. Terdapat sekitar 20-30%

penderita gout atau hiperurisemia yang mengalami kelainan sintesa purin

dalam jumlah besar sehingga asam urat dalam darah berlebihan.

Sementara itu, sekitar 70-80% penderita hiperurisemia mengalami

kelebihan produksi asam urat karena pengeluaran asam urat yang tidak

sempurna melalui urin (Yenrina, 2014).

Murray (2009) menjelaskan adanya kelebihan produksi asam urat

dalam darah ini, menyebabkan peningkatan produksi asam urat atau

retensi asam urat, sehingga kadar asam urat serum menjadi meningkat.

Masalah akan timbul jika terbentuk kristal-kristal monosodium urat

monohidrat pada sendi-sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal ini

mengakibatkan reaksi peradangan yang dapat berlanjut menimbulkan

nyeri hebat, disebut artritis gout. Jika tidak diobati, endapan kristal akan
12

menyebabkan kerusakan yang hebat pada sendi dan jaringan lunak (Price

dan Wilson, 2005).

Asam ribonukleat
Diet dari sel

Purin

Hipoksantin

Xantin oksidase
Xantin
Xantin oksidase
↑ Asam Urat (Hiperurisemia)

Kristalisasi
dalam jaringan

Fagositosis
kristal leukosit

Inflamasi dan
kerusakan jaringan

Gambar ‎2.1 Patofisiologi Hiperurisemia dan Gout

Metabolisme purin dan asam urat merupakan hal penting yang

berkaitan dengan hiperurisemia. Kelainan metabolisme purin dan asam

urat dapat menyebabkan penyakit tersebut. Purin merupakan suatu

molekul berbentuk nukleotida yang terdapat di dalam sel. Nukelotida

merupakan unit dasar dalam proses biokimiawi penurunan sifat genetik.

Jenis nukleotida yang paling dikenal peranannya adalah purin dan

pirimidin, berfungsi sebagai pembentuk asam ribonukleat (RNA) dan

asam deoksiribonukleat (DNA) (Murray, 2009).


13

Di dalam bahan makanan, purin terdapat dalam asam nukleat berupa

nukleoprotein. Ketika masuk ke pencernaan usus, nukleat dilepaskan dari

nukleoprotein oleh enzim pencernaan. Kemudian, asam nukleat ini akan

dipecah lagi menjadi mononukleotida. Dari mononukleotida yang

dihidolisis menjadi nukleosida, tubuh dapat menyerapnya secara

langsung. Sebagian lagi, mononukleotida dipecah menjadi purin dan

pirimidin. Molekul purin kemudian teroksidasi menjadi asam urat

(Murray, 2009).

B. Pembentukan Asam Urat Dalam Tubuh

Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme purin (adenosine

dan guanosin). Asam urat dapat diabsorpsi melalui mukosa usus dan

diekskresikan melalui urin. (Hsu, 2006). Murray (2009), asam urat

terbentuk dari hasil metabolisme ikatan kimia yang mengandung nitrogen

yang terdapat dalam asam nukleat yang disebut purin.

Pada manusia normal, kurang dari 10% dari asam urat diekskresikan

melalui ginjal (Hsu, 2006). Dalam proses pembentukan asam urat

dibutuhkan enzim untuk sintesis asam urat. Enzim xantin oksidase adalah

enzim yang penting berperan dalam sintesis asam urat. Enzim tersebut

sangat aktif bekerja dalam hati, usus halus, dan ginjal. Tanpa bantuan

enzim ini, asam urat tidak dapat dibentuk (Offermanns, 2008).

Mekanisme turn over dari asam urat (Murray, 2009) adalah sebagai

berikut.
14

Adenosin

Inosin Guanosin

Hipoksantin Guanin

Xantin

Asam Urat

Gambar ‎2.2 Pembentukan Asam Urat dari Nukleosida

Produksi asam urat di dalam tubuh selain sebagai jalur pembuangan

hasil pemecahan purin, pada kadar tertentu asam urat dibutuhkan juga

oleh tubuh sebagai antioksidan. Pada orang normal, jumlah asam urat

kurang lebih 1000 mg dengan kecepatan turn over 600 mg/hari (Yenrina,

2014).

Berdasarkan jumlah asam urat ini, penderita hiperurisemia dapat

dibedakan menjadi dua grup. Grup pertama terdiri dari penderita

hiperurisemia yang mengalami sedikit kenaikan, besarnya total asam urat

yaitu 1300 mg dengan turn over normal 650 mg/hari. Grup kedua,

penderita hiperurisemia denga kenaikan yang jelas, besarnya 2400 mg

dengan turn over 1200 mg (Krisnatuti, 2006).

2.1.3 Komplikasi Hiperurisemia

Kenaikan konsentrasi urat serum yang melebihi upper limit of reference

range, dapat menimbulkan perkembangan tanda-tanda dan gelaja klinis dari

penyakit artritis gout, batu ginjal dan nefropati asam urat. Pada umumnya,
15

penderita hiperurisemia tidak merasakan gejala (asimptomatik). Meskipun

demikian, dalam jangka yang lama, kadar asam urat darah yang sangat

tinggi (≥ 13mg/dL bagi pria dan ≥ 10 mg/dL bagi perempuan) dapat menjadi

faktor predisposisi terjadinya disfungsional ginjal (Lee, 2009).

Komplikasi atau prognosis hiperurisemia diantaranya adalah sebagai

berikut:

1. Kencing batu dan kerusakan ginjal

Hiperurisemia dapat mengendap di ginjal dan saluran kemih dalam

bentuk kristal/batu. Pembentukan batu ginjal tergantung pada kadar asam

urat darah. Semakin tinggi dan semakin lama asam urat berada di dalam

darah, peluang timbulnya batu urat di ginjal semakin tinggi. Adanya

kadar asam urat yang tinggi di urin, menyebabkan kristal urat mudah

mengendap sehingga terbentuk batu urat di ginjal dan saluran urin

(Dalimartha, 2008).

2. Kerusakan jantung dan pembuluh darah (penyakit jantung)

Komplikasi hiperurisemia pada jantung dan pembuluh darah antara

lain terjadinya hipertensi aterosklerotik, kelainan katup jantung dan

penyakit jantung koroner. Hal ini dikarenakan aktivitas peningkatan

xanthine oksidase, yaitu enzim yang mengubah xantin menjadi asam urat,

menghasilkan radikal bebas dan menyebabkan inflamasi serta kerusakan

oksidatif pada dinding arteri (Ekundayo, 2010). Oleh karena itu dapat

terjadi endapan kristal monosodium urat di bagian otot, katup, pembuluh

darah koroner, dan sistem konduksi jantung (Dalimartha, 2008).


16

3. Pembentukan tofus

Gumpalan keras kristal urat terkumpul di bawah kulit sekitar

persendian. Pada persendian yang di tepi, pada umumnya lebih sering

terbentuk kristal karena di bagian ini lebih dingin dari pada bagian

tengah. Asam urat cenderung mengkristal pada suhu dingin. Kristal urat

ini akan terbentuk di ibu jari kaki, telapak kaki, pergelangan kaki, lutut,

siku, dan pergelangan tangan serta di daun telinga yang relatif dingin

(Utami, 2005).

2.1.4 Cara Pemeriksaan Kadar Asam Urat Darah pada Hiperurisemia

Dalam pemeriksaan kadar asam urat, dapat dilakukan pemeriksaan

sebagai berikut (Wijayakusuma, 2006 ):

1. Pemeriksaan kadar asam urat darah dilakukan dengan mengukur kadar

normal asam urat dalam darah untuk laki-laki 3,4-7 mg dl. Sedangkan

pada wanita, kadar normal asam urat dalam darah 2,4-6 mg/dl. Untuk

kestabilan kadar asam urat dalam darah yaitu sekitar 5 mg/dl.

2. Pemeriksaan kadar asam urat dalam urin per 24 jam (kualitatif);

dinyatakan berlebihan jika kadarnya lebih dari 800 mg/24 jam pada diet

biasa atau lebih dari 600 mg/24 jam pada diet bebas purin.

3. Pemeriksaan cairan sendi merupakan pemeriksaan untuk melihat deposit

kristal asam urat (monosodium urat monohidrat) pada sendi yang

mengalami peradangan.
17

4. Pemeriksaan sinar X merupakan pemeriksaan pada penderita kronis

untuk melihat adanya kerusakan pada tulang.

Namun, metode pemeriksaan kadar asam urat dalam darah dapat

dilakukan dengan tiga metode, yaitu (Novia, dkk. 2014):

1. Metode kimia dinilai memiliki presisi yang baik, lebih akurat,

dibandingkan dengan metode yang lain, lebih sensitif, tetapi harganya

lebih mahal.

2. Metode enzimatik

Prinsip pemeriksaan kadar asam urat metode enzimatik adalah asam

urat dioksidasi oleh uricase menjadi allatoin dan hidrogen peroksida.

Dengan adanya peroksidase menghasilkan chromogen berwarna yang

diukur pada panjang gelombang 546 nm yang sebanding dengan kadar

asam dalam sampel. Metode ini memiliki kelebihan lebih spesifik, tetapi

dibutuhkan pengondisian yang tidak mudah.

3. Metode stik

Pemeriksaan kadar asam urat darah dengan menggunakan stik dapat

dilakukan dengan menggunakan alat UASure Blood Uric Meter. Prinsip

pemeriksaan alat tersebut adalah menggunakan katalis yang digabungkan

dengan teknologi biosensor yang spesifik terhadap pengukuran asam urat

darah. Strip pemeriksaan dirancang dengan cara tertentu sehingga saat

darah diteteskan pada zona reaksi dari strip, katalisator asam urat memicu

oksidasi asam urat dalam darah tersebut.


18

Metode ini merupakan pemeriksaan kadar asam urat sederhana. Alat

yang digunakan dalam metode ini dirancang untuk pengambilan sampel

darah kapiler bukan untuk sampel serum atau plasma. Kelebihan dari

metode ini adalah hasil tes dapat diketahui segera, volume darah yang

dibutuhkan sedikit, dapat segera dilakukan tes ulang, tidak memerlukan

tempat khusus, penyimpanan mudah, dan harga lebih murah.

Ketidakakuratan blood uric acid test dapat dilihat dari empat sumber,

yaitu faktor strip, faktor fisik, faktor pasien/penderita, faktor

farmakologis. Terdapat beberapa jenis strip yang dapat mengakibatkan

beberapa ketidakakuratan dalam pembacaan hasil pengukuran asam urat

darah. Pada umumnya, strip asam urat dapat menyebabkan 3% hasil eror.

Hal ini dapat dikarenakan perubahan enzim yang terdapat dalam strip

tersebut (Ginsberg, 2009).

Terdapat beberapa faktor fisik yang dapat mempengaruhi keakuratan

strip, seperti suhu dan ketinggian. Kebanyakan alat ukur mempunyai

sensor dan akan menimbulkan eror pada suhu yang ekstrim sekitar 5-7%.

Pemeriksaan darah pada seseorang yang sedang mendaki gunung juga

dapat menghasilkan eror sekitar 5%. Selanjutnya, faktor pasien pada

beberapa alat ukur ini juga dapat menimbulkan eror sekitar 1-3%.

Sejumlah obat-obatan yang dikonsumsi pasien juga dapat menimbulkan

eror sebesar 5% pada pengukuran ini (Ginsberg, 2009).


19

4. Metode kolorimetri

Jenis spesimen yang diperlukan dalam metode ini adalah serum atau

plasma heparin menggunakan fotometer atau analyzer kimiawi. Sebelum

pengambilan sampel darah, pederita diminta puasa 8-10 jam. Metode ini

dilakukan dalam analisis laboratorium klinis, hasilnya cukup sensitif,

biaya tergolong mahal karena peralatan yang digunakan mahal serta

memerlukan keterampilan teknis yang baik dalam melakukan tes

tersebut. Selain itu, penggunaan serum atau plasma heparin akan

menyakitkan pasien dalam proses pengambilannya.

2.2 Konsep Pralansia

Berdasarkan pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU NO. 13 Tahun 1998 tentang

Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah

mencapai usia lebih dari 60 tahun. Adapun klasifikasi lansia yang

dinyatakan oleh Maryam (2008) adalah sebagai berikut:

1. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

2. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3. Lansia risiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/

seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.

5. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,

sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.


20

Sedangkan menurut Kemenkes RI (2012), lanjut usia dikelompokkan

menjadi pra lanjut usia (45-59 tahun), lanjut usia (60-69 tahun), dan lanjut

usia risiko tinggi (≥ 70 tahun atau ≥ 60 tahun dengan masalah kesehatan).

Lanjut usia (lansia) disebut sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

kehidupan manusia. Sedangkan menurut Maryam (2008), lanjut usia dapat

dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat mencapai usia

tersebut. Oleh karena itu, orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan

keperawatan, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar mereka

dapat menikmati usia lanjut yang berguna dan bahagia.

Menurut Budi Anna Keliat (1999) dalam Maryam (2008), lanjut usia

memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) No. 13

tentang kesehatan).

2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,

dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi

adaptif hingga kondisi maladaptif.

3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

Pada masa pralansia merupakan masa persiapan diri untuk mencapai

usia lanjut yang sehat, aktif, dan produktif. Oleh karena pada masa ini

banyak perubahan yang terjadi seperti menopause, puncak karier, masa

menjelang pensiun, dan rasa kehilangan (kedudukan, kekuasaan, teman,

anggota keluarga, pendapatan). Adapun hal-hal yang perlu dipersiapkan

ketika pralansia menjelang masa lansia adalah sebagai berikut:


21

1. Kesehatan

a) Latihan fisik/olahraga secara teratur dan sesuai kemampuan.

b) Pengaturan gizi/diet seimbang

c) Tetap bergairah dan memelihara kehidupan seks yang sehat

d) Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur (minimal 6 bulan

sekali)

e) Memelihara penampilan diri yang rapi dan bersih

f) Menghindari kebiasaan buruk yang berdampak tidak baik bagi

kesehatan (merokok, minuman keras, malas olahraga, makan

berlebihan, tidur tidak teratur, minum obat tidak sesuai anjuran, dan

hubungan tidak harmonis).

2. Sosial

a) Meningkatkan iman dan takwa

b) Tetap setia dengan pasangan yang sah

c) Mengikuti kegiatan sosial

d) Meningkatkan keharmonisan dalam rumah tangga

e) Menyediakan waktu untuk rekreasi

f) Tetap mengembangkan hobi/bakat.

3. Ekonomi

a) Mempersiapkan tabungan hari tua

b) Berwiraswasta

c) Mengikuti asuransi

Pembinaan kesehatan bagi kelompok usia ini diperlukan dengan tujuan

untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai


22

masa tua yang bahagia dan berguna dalam kehidupan keluarga dan

masyarakat sesuai dengan eksistensinya dalam masyarakat (Depkes RI,

2003 dalam Maryam, 2008).

Seiring dengan bertambahnya usia, seseorang akan mengalami proses

penuaan. Proses penuaan ini menimbulkan berbagai masalah baik secara

fisik, biologis, mental maupun sosial ekonominya. Masalah yang penting

utuk diperhatikan adalah masalah kesehatan pada lansia. Angka kesakitan

pada penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif menampilkan adanya

kecenderungan yang semakin meningkat, seperti kanker, penyakit

kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan hiperurisemia (Lingga,

2012).

Penyakit degeneratif mulai terlihat ketika memasuki pralansia. Seiring

dengan bertambahnya usia, maka fungsi dari tubuh juga akan menurun,

sehingga perlu perhatian khusus untuk masa-masa ini. Pada masa pralansia

merupakan masa persiapan diri untuk mencapai usia lanjut yang sehat, aktif,

dan produktif. Oleh karena pada masa ini banyak perubahan yang terjadi

seperti menopause, puncak karier, masa menjelang pensiun, dan rasa

kehilangan (kedudukan, kekuasaan, teman, anggota keluarga, pendapatan)

(Maryam, 2008). Adanya perubahan pada pralansia, terutama masalah

kesehatan yang sering dialami oleh kelompok pralansia yaitu penyakit

hiperurisemia. Hiperurisemia merupakan gangguan metabolik yang ditandai

dengan meningkatnya kadar asam urat (Lingga, 2012).


23

2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Terduga

Hiperurisemia

Peningkatan kadar asam urat atau hiperurisemia disebabkan adanya

peningkatan produksi asam urat atau penurunan ekskresi asam urat. Menurut

Lee (2009) menyatakan bahwa hiperurisemia dihubungkan dengan faktor

eksogen yaitu diet makanan, obat-obatan tertentu dan faktor endogen yaitu

adanya penyakit dan abnormalitas genetik. Selanjutnya, terdapat faktor usia,

penambahan berat badan, riwayat keluarga dan jenis kelamin menjadi faktor

risiko dari hiperurisemia (Mahan, 2008). Diet tinggi purin, minum alkohol,

dan sejumlah obat-obatan juga dianggap dapat memicu terjadinya

hiperurisemia (Price dan Wilson, 2005). Ditambahkan dari Krisnatuti (2006)

bahwa aktivitas fisik yang berat berperan dapat meningkatkan kadar asam

urat darah.

2.3.1 Riwayat Keluarga

Berdasarkan kuesioner kohort PTM Kemenkes RI tahun 2014

dinyatakan bahwa keluarga dekat yang dapat membawa sifat herediter atau

riwayat penyakit yaitu ayah, ibu, saudara kandung, kakek nenek, saudara

kandung ayah/ibu. Riwayat keluarga dekat yang mengalami hiperurisemia

mempertinggi risiko terjadinya asam urat semakin tinggi. Hal ini

dikarenakan dalam proses biokimiawi penurunan sifat genetik, nukleotida

purin dan asam amino dijadikan sebagai unit dasar dalam proses biokimiawi

tersebut. Nukleotida berperan menjadi penyandi asam nukleat yang bersifat

esensial dalam pemeliharaan dan pemindahan informasi genetik. Sedangkan


24

asam amino merupakan unit pembangun protein yang dibutuhkan untuk

ekspresi informasi genetik (Leninger, 1991 dalam Krisnatuti, 2006).

Produksi asam urat berlebihan karena kelainan herediter/pembawa sifat

atau gen/keturunan yaitu terjadi karena menurunan kadar HGPRT

(hypoxanthine guanine phosphoribosyl transferase) mencapai 2-5% dari

kadar normal; aktivitas berlebih dari enzim phosphoribosyl pyrophosphate

(PRPP) synthetase dalam pengaturan biosintesis purin yang menyebabkan

peningkatan sintesis de novo purin; tidak sensitifnya PRPP aminotranferase,

suatu enzim yang mengontrol kecepataan sintesis purin sehingga

menyebabkan over produksi purin. Kelebihan produksi purin dalam kondisi

tertentu dipecah menjadi asam urat, yang menyebabkan hiperurisemia (Lim,

2007).

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara riwayat

keluarga dengan kadar asam urat menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara riwayat keluarga dengan kadar asam urat pada staf dosen

dan pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

Manado (Lande’eo, 2014). Hiperurisemia bersifat herediter, yakni adanya

kelainan metabolik sehingga terjadi peningkatan biosintesis asam urat

tersebut terjadi karena adanya perubahan genetik sehingga mekanisme

kontrol sintesis purin menjadi terganggu (Dalimartha, 2008).

Namun, hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Astuti (2014) yang menemukan bahwa ada hubungan antara faktor riwayat

keluarga dengan kadar asam urat pada lelaki dewasa. Penelitian ini
25

menunjukkan bahwa orang-orang dengan riwayat genetik/keturunan yang

mempunyai hiperurisemia, mempunyai risiko 1-2 kali lipat dibanding pada

penderita yang tidak memiliki riwayat/keturunan (Purwaningsih, 2009).

Seperti hasil penelitian Sukarmin (2015) yang menunjukkan responden

penelitian yang memiliki riwayat keluarga dengan hiperurisemia

mempunyai risiko mengalami hiperurisemia dibandingkan dengan yang

tidak memiliki riwayat. Hal ini dikarenakan adanya metabolisme purin yang

berlebihan dan kondisi ini dapat diturunkan dari orang tua ke anaknya.

2.3.2 Jenis Kelamin

Laki-laki memiliki risiko mengalami hiperurisemia lebih besar dari pada

perempuan. Dalam NHANES III, perbandingan jenis kelamin antara laki-

laki dan perempuan yang mengalami hiperurisemia adalah 4:1 pada usia

kurang dari 60 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa pada usia dewasa ke

atas laki-laki memiliki kadar asam urat lebih tinggi dari pada perempuan.

Setelah menopause, kadar asam urat perempuan akan meningkat, seimbang

dengan laki-laki pada usia yang sama (Luk, 2005).

Dalam keadaan normal kadar urat serum pada pria mulai meningkat saat

pubertas. Pada wanita, kadar asam urat dalam serum tidak meningkat

sampai setelah menopause karena estrogen membantu meningkatkan

ekskresi asam urat melalui ginjal. Setelah menopause, kadar asam urat

serum meningkat seperti pada pria (Sylvia dkk, 2006). Hiperurisemia

cenderung dialami laki-laki, sebab pada perempuan memiliki hormon

estrogen yang ikut membantu pembuangan asam urat lewat urin (Price,

2006). Berdasarkan penelitian Poletto dkk (2011) juga diketahui bahwa laki-
26

laki lebih berisiko 2 kali lipat mengalami hiperurisemia dibandingkan

dengan perempuan.

Menurut hasil penelitian Lina (2014), tidak ada hubungan antara jenis

kelamin dengan kejadian hiperurisemia pada dosen dan tenaga pendidikan

Universitas Siliwangi. Laporan dalam penelitian ini menyampaikan bahwa

laki-laki lebih banyak yang mengalami hiperurisemia (sebesar 19,7 %)

dibanding dengan perempuan (sebesar 7,9%) dengan rata-rata usia yaitu

46,32 tahun. Penelitian sebaliknya yang dilakukan oleh Setyoningsih

(2009), yakni terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian

hiperurisemia. Hiperurisemia lebih banyak terjadi pada laki-laki yaitu

sebesar 80% dan hanya sebesar 20% pada perempuan.

2.3.3 Aktivitas fisik

Aktivitas fisik yang dilakukan oleh usia yang mulai kanjut dapat

bermanfaat untuk kesehatan jantung dan kebugaran tubuh. Sel-sel otot pada

pralansia melai menurun seiring dengan usia yang lanjut. Kontraksi dan

relaksasi otot menjadi berkurang, sehingga sering menyababkan kekakuan

otot pada usia lanjut. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk melakukan

aktivitas fisik yang ringan seperti berjalan, bersepeda, berkebun, yoga, dan

senam secara teratur yang dapat membantu kelenturan otot dan relaksasi

otot (Kemenkes, 2014).

Salah satu metode pengukuran aktivitas fisik dapat menggunakan

metode GPPAQ 2009 (General Practice Physical Activity Questionnaire)

yang dikembangkan oleh NHS (National Health Service). GPPAQ


27

digunakan sebagai kuesioner untuk mengukur tingkat aktivitas fisik

pralansia (usia 45-59 tahun) dengan jenis aktivitas fisik bejalan, bersepeda,

berkebun, senam, dan lain-lain. Terdapat 4 tingkat indeks aktivitas fisik atau

PAI (Physical Activity Index) yang dikategorikan sebagai aktif, cukup aktif,

kurang aktif, dan tidak aktif. Metode ini dapat digunakan sebagai program

pemeriksaan kesehatan bagi orang-orang yang berisiko penyakit jantung,

stroke, penyakit ginjal, dan diabetes (NHS, 2009).

Dari penelitian Nahariani (2012) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang

teratur dapat memelihara kesehatan tubuh, tetapi aktivitas fisik dalam

intensitas yang berlebihan dapat memberikan beban berlebih pada sendi.

Aktivitas fisik yang berlebihan akan menyebabkan peningkatan asam laktat.

Asam laktat tersebut akan menghambat dan menurunkan pengeluaran asam

urat. Asam laktat diproduksi dari hasil glikolisis yang akan membuat

penumpukan asam urat di sambungan-sambungan tulang (Xiong dkk, 2013).

Selain itu, pada perempuan yang mulai masuk usia lanjut terjadi

penurunan hormon estrogen yang mengakibatkan tulang mudah rapuh dan

berkurangnya pengeluaran asam urat darah. Semakin berkurang hormon

estrogen, maka semakin berkurang massa otot dan terganggunya

pengeluaran asam urat sehingga terjadi penumpukan asam urat dalam darah

yang dapat mengakibatkan hiperurisemia (Nahariani, 2012).

Terdapat penelitian Xiong dkk (2013) menyatakan adanya hubungan

antara aktivitas fisik dengan kadar asam urat darah. Aktivitas fisik termasuk

pekerjaan di rumah maupun luar rumah, rekreasi, dan bepergian dapat


28

mempercepat penurunan purin (penurunan adenin nukleotida) di otot,

meningkatkan produksi hipoksantin, sehingga menurunkan produksi purin.

Hipoksantin ditransportasikan ke hati dan usus halus melalui darah dan

kemudian diubah menjadi asam urat oleh xanthine dehydrogenase.

Selanjutnya, olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan akan

menyebabkan peningkatan asam laktat. Asam laktat tersebut akan

menghambat dan menurunkan pengeluaran asam urat. Asam laktat

diproduksi dari hasil glikolisis yang akan membuat penumpukan asam urat

di sambungan-sambungan tulang (Xiong dkk, 2013).

Namun, ketika kenaikan asam laktat tersebut hanya berlangsung

sebentar saja, maka kadar asam urat akan kembali normal dalam beberapa

jam kemudian (Yenrina, 2014). Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa

tidak ada hubungan antara aktivitas dengan kadar asam urat pada pekerja

kantor di Desa Karang Turi Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes (Andry,

2009) dan juga penelitian Villegas dkk (2010) yang menyatakan tidak ada

hubungan antara aktivitas fisik dengan hiperurisemia, namun diketahui

adanya hubungan dosis-respon antara aktivitas fisik dengan hiperurisemia.

Menurut pendapat Mayers (2003) dalam Andry (2009) mengatakan

bahwa asam laktat terbentuk dari proses glikolis yang terjadi di otot. Jika

otot berkontraksi secara anaerob, yakni media yang tidak memiliki oksigen

maka glikogen yang menjadi produk akhir glikolisis akan menghilang dan

muncul laktat sebagai produk akhir utama. Sehingga dapat terjadi

peningkatan asam laktat dalam darah yang akan menyebabkan penurunan

pengeluaran asam urat oleh ginjal.


29

2.3.4 Kegemukan (Overweight)

Kegemukan (overweight) adalah akumulasi lemak yang abnormal dan

dapat berisiko terhadap kesehatan (WHO, 2016). Definisi overweight

(kegemukan) atau kelebihan berat badan adalah keadaan ketika berat badan

seseorang melebihi normal. Kegemukan terjadi akibat ketidakseimbangan

antara energi yang masuk dan keluar. Masalah gizi berlebih atau kegemukan

pada usia lanjut dapat memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif

seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, batu empedu,

gout (hiperurisemia), ginjal, sirosis hati, dan kanker (Maryam, 2008).

Pengukuran antropometri untuk kegemukan yang paling sering

digunakan adalah indeks massa tubuh/IMT, yaitu berat badan seseorang

(dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badannya (dalam meter).

Nilai IMT tidak tergantung pada jenis kelamin dan umur. Keterbatasan IMT

adalah tidak dapat digunakan bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan,

wanita hamil, dan orang yang sangat berotot/atlit (Harahap, 2005).

Dapat dilihat klasifikasi dari batas IMT yang digunakan untuk menilai

status gizi penduduk dewasa menurut Petunjuk Teknis Posbindu PTM

Kemenkes (2012) adalah sebagai berikut:

Tabel ‎2.1 Batasan IMT (Indeks Massa Tubuh) Penduduk Dewasa (>18
Tahun)
Keadaan Gizi IMT (kg/m2)
Kurus < 18,5
Normal ≥ 18,5 - < 24,9
Kegemukan/BB lebih ≥ 25,0 - < 27,0
Obesitas ≥ 27,0
30

Masalah kegemukan dapat disebabkan oleh pola konsumsi yang

berlebihan terutama makan yang banyak mengandung lemak, protein,dan

karbohidrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Perubahan fisik dan

penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan

penyerapan zat gizi. Proses metabolisme yang menurun pada usia lanjut jika

tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik atau penurunan jumlah

makanan, maka kalori yang berlebih akan diubah menjadi lemak yang

mengakibatkan kegemukan (Maryam, 2008).

Ada beberapa kondisi yang memungkinkan seseorang lebih mudah

memiliki kadar asam urat darah yang tinggi, seperti seseorang yang

mengalami kegemukan (Wijayakusuma, 2006). Kadar asam urat yang tinggi

dapat berhubungan dengan kejadian kegemukan. Diketahui tingginya

prevalensi hiperurisemia dengan kejadian kegemukan (Modino dkk, 2012).

Penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara kegemukan dengan

kejadian hiperurisemia (Setyoningsih, 2009). Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Poletto dkk (2011) menyatakan bahwa seseorang yang

gemuk mempunyai risiko 2,5 kali untuk mengalami hiperurisemia

dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami gemuk.

Sebagaimana penelitian Poletto dkk (2011), penelitian Sun (2010) juga

menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kegemukan (IMT ≥ 25

kg/m2) berisiko 2,5 kali lipat terjadi hiperurisemia dari pada seseorang yang

memiliki IMT kurang dari 25 kg/m2. Berat badan berhubungan dengan

kadar asam urat darah. Adanya penurunan berat badan dapat membantu
31

untuk menurunkan kadar asam urat darah. Pada seseorang dengan

hiperurisemia dapat memiliki kadar asam urat normal setelah mengalami

penurunan berat badan (Grassi, 2013).

Kegemukan terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara asupan

energi dan keluaran energi sehingga terjadi penimbunan lemak dalam sel

lemak membentuk jaringan lemak (adiposa). Pada umumnya, orang yang

gemuk (IMT ≥ 25 kg/m2) mengalami peningkatan massa jaringan adiposa

yang akan mensekresi kadar leptin lebih banyak. Leptin adalah asam amino

yang disekresikan oleh jaringan adiposa yang berfungsi sebagai suatu sensor

massa lemak tubuh pada sistem saraf pusat, sehingga otak dapat melakukan

penyesuaian yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan energi yang masuk

dan energi yang keluar. Selain itu, leptin berperan dalam perangsangan saraf

simpatis, meningkatkan sensitivitas insulin, natriuresis, diuresis, dan

angiogenesis. Namun, keadaan tingginya kadar leptin pada orang gemuk

dapat mengakibatkan resistensi leptin.

Resistensi leptin terjadi karena adanya penurunan sensitivitas leptin

eksogenus maupun endogenus. Hal ini dikarenakan peningkatan protein

pengikat leptin yang menyebabkan penurunan transportasi leptin ke kelenjar

hipotalamus di otak atau gangguan reseptor leptin. Jika resistensi leptin

terjadi di ginjal maka akan menyebabkan gangguan diuresis dan natriuresis.

Selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan pengeluaran urin berupa retensi

urin atau penurunan ekskresi urin (Choi, 2005).


32

Urin yang memliki pH sangat asam dapat mengakibatkan pengendapan

dalam konsentrasi yang tinggi membentuk sodium urate. Tingginya

konsentrasi tersebut dapat meningkatkan kadar asam urat dalam tubuh

seseorang. Tingkat asam urat dalam serum yang tinggi atau hiperurisemia

dapat mengakibatkan penyakit gout (Lim, 2007). Sehingga peningkatan

kadar leptin seiring dengan meningkatnya kadar asam urat dalam darah. Hal

tersebut dikarenakan adanya gangguan proses reabsorpsi asam urat pada

ginjal.

Namun, hasil penelitian diatas tidak sesuai dengan hasil penelitian

lainnya. Terdapat penelitian yang mengemukakan bahwa tidak ada

hubungan antara kegemukan dengan kejadian hiperurisemia pada dosen dan

tenaga pendidikan Universitas Siliwangi (Lina, 2014). Selanjutnya,

penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2014) juga menyatakan bahwa tidak

ada hubungan antara obesitas dengan kadar asam urat pada lelaki dewasa di

RT 04 RW 03 Simomulyo Baru Surabaya.

2.3.5 Asupan makanan

Kelainan metabolisme protein menyebabkan kadar asam urat dalam

darah meningkat. Penumpukan asam urat di persendian dapat menyebabkan

rasa nyeri dan bengkak sendi. Dalam kasus ini, penderita perlu untuk

membatasi konsumsi fruktosa dan purin untuk menurunkan kadar asam urat.

Faktor makanan berkontribusi terhadap hiperurisemia termasuk konsumsi

tinggi alkohol, konsumsi makanan tinggi purin seperti daging merah dan

seafood, fruktosa (Luk, 2005). Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa


33

terdapat hubungan antara pola makan dengan kadar asam urat darah pada

wanita menopause di posyandu lansia Puskesmas Dr. Soetomo Surabaya

pada bulan Juni 2010. Hasil ini menjelaskan bahwa pengontrolan kadar

asam urat dalam batas normal dapat memiliki pengaruh terhadap kadar asam

urat darah pada wanita postmenopause, apabila pola makan dan asupan

makanan diatur dengan baik (Festy, 2010).

A. Jenis Asupan Makanan

Adapun asupan makanan yang dapat mempengaruhi kadar asam urat

dalam darah adalah sebagai berikut:

1) Asupan Fruktosa

Fruktosa adalah jenis gula paling manis yang dinamakan juga

levulosa atau gula buah. Fruktosa banyak terdapat dalam madu, buah,

nektar bunga, sayur dan juga di dalam minuman ringan (Almatsier,

2001). Asupan fruktosa seharusnya dibawah 25 gram atau 100 kalori

per hari (Jaminet, 2012). Fruktosa termasuk jenis karbohidrat

sederhana atau monosakarida yang mudah dicerna dan cepat

menghasilkan energi dan mudah meningkatkan gula darah. Asupan

karbohidrat relatif menurun pada lanjut usia karena kebutuhan energi

juga menurun. Lanjut usia disarankan mengonsumsi karbohidrat

kompleks daripada karbohidrat sederhana (Kemenkes, 2014).

Konsumsi makanan yang mengandung tinggi fruktosa memiliki

peran dalam peningkatan kadar asam urat dalam darah (Zimmerman,

2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyoningsih

bahwa terdapat hubungan asupan karbohidrat dengan kejadian


34

hiperurisemia. Asupan karbohidrat yang tinggi, yaitu lebih dari 60%

dari kebutuhan energi, terutama berasal dari fruktosa mempunyai efek

langsung terhadap metabolisme asam urat (Setyoningsih, 2009).

Fruktosa secara cepat dapat meningkatkan asam urat. Luk (2005)

menyatakan bahwa fruktosa dapat menyebabkan hiperurisemia karena

dapat meningkatkan katabolisme nukleotida adenin. Cirillo dkk (2006)

menjelaskan bahwa fruktosa difosforilasi oleh enzim fruktokinase atau

biasa disebut ketoheksokinase (KHK) menjadi fructose-1-phosphate,

yang menggunakan ATP (adenosine triphosphate) sebagai phosphate

donor dan ATP berubah menjadi AMP. Tingkat fosfat intraseluler

yang menurun, menstimulasi aktivitas AMP (adenosine

monophosphate) deaminase 2 untuk mengonversi AMP menjadi

inosine monophpsphate (IMP). IMP kemudian dimetabolisme menjadi

inosin, yang selanjutnya diubah menjadi hipoksantin dan xantin

dengan enzim xantin oksidase menjadi asam urat (Johnson dkk, 2013).

Adapun komponen utama fruktosa yaitu gula seperti di dalam teh

manis, softdrink, kopi susu, dan bahan makanan lainnya.

Mengonsumsi karbohidrat sederhana dalam bentuk fruktosa juga

dapat meningkatkan kadar asam urat dalam serum (Nakagawa dkk,

2005). Sebaliknya, konsumsi karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti,

singkong, ubi jalar, dan talas dapat memacu pembuangan kelebihan

asam urat di dalam darah (Yenrina, 2014).


35

2) Asupan Purin

Diet tinggi purin dapat memicu terjadinya hiperurisemia. Biasanya

terjadi pada orang yang memiliki kelainanan bawaan dalam

metabolisme purin sehingga terjadi peningkatan produksi asam urat

(Price dan Wilson, 2005). Asupan purin dalam makanan normal

selama sehari direkomendasikan kurang dari 500 mg. Makanan yang

mengandung kadar purin tinggi adalah organ-organ dalam dari hewan,

termasuk hati dan ginjal, kulit unggas, sarden, dan lain sebagainya

(Talati, 2012). Adapun kadar purin dalam berbagai makanan adalah:

Tabel ‎2.2 Kadar Purin dalam Berbagai Makanan


No Makanan Kandungan Purin (mg/100 g)
1 Sarden 480
2 Daging sapi 385
3 Daun melinjo 366
4 Kangkung 290
5 Bayam 290
6 Hati ayam 243
7 Ikan teri 239
8 Udang 234
9 Biji melinjo 222
10 Kacang panjang 190
11 Daging ayam 169
12 Ikan basah 160
13 Tempe 141
14 Daging bebek 138
15 Kerang 136
16 Tahu 108

Sumber: Cahanar dan Suhanda (2006) dan Herliana (2013)

Penelitian tentang tidak adanya hubungan antara variabel asupan

makanan sumber purin telah didapatkan (Adieni, 2008). Selain itu,

penelitian lain juga menyatakan tidak ada hubungan antara intake

purin dengan kadar asam urat pada pekerja kantor di Desa Karang
36

Turi Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes (Andry, 2009). Hal ini

diduga karena bioavailabilitas kandungan purin pada makanan tertentu

untuk berubah menjadi asam urat tergantung pada selularitas relatif

dan aktifitas transkripsi serta metabolik selular makanan tersebut

(Choi, 2005a).

Namun, terdapat juga penelitian yang mengatakan sebaliknya,

bahwa asupan purin berpengaruh terhadap kadar asam urat (Diantari,

2012). Penelitian lain yang sesuai yaitu ada hubungan antara konsumsi

makanan sumber purin dengan kadar asam urat pada wanita usia 45-

59 tahun di Desa Sanggrahan Kecamatan Kranggan Kabupaten

Temanggung (Lestari, 2014). Asupan purin yang tinggi seperti

konsumsi daging dan seafood juga terbukti sebagai faktor risiko yang

berhubungan dengan tingginya prevalensi hiperurisemia sesuai dengan

hasil penelitian Villegas dkk (2012). Peningkatan produksi asam urat

dapat disebabkan oleh tingginya konsumsi bahan pangan yang

mengandung purin. Bahan pangan dengan kandungan purin tinggi

dapat meningkatkan kadar asam urat dalam urin sekitar 0,5-0,75 gr/ml

purin yang dikonsumsi (Yenrina, 2014). Semakin tinggi pemasukan

zat purin maka produksi asam urat juga semakin meningkat.

Molekul purin yang dibentuk menjadi asam urat sebagian besar

dari metabolisme nukleotida purin endogen, yaitu guanosine

monophosphate (GMP), inosine monophosphate (IMP), dan adenosine

monophosphate (AMP). Selanjutnya enzim xanthine oxidase


37

mengkatalis hypoxanthine dan guanine menjadi xanthine, kemudian

xanthine dikatalis oleh enzim xanthine oxidase dengan produk akhir

asam urat. Asam urat yang terbentuk diekskresikan melalui urin. Urin

yang memliki pH sangat asam dapat mengakibatkan pengendapan

dalam konsentrasi yang tinggi membentuk sodium urate. Tingkat

asam urat dalam serum yang tinggi atau hiperurisemia dapat

mengakibatkan penyakit gout (Lim, 2007).

Banyak teori dan penelitian untuk mengetahui asupan makanan

sumber purin terhadap kejadaian hiperurisemia. Didapatkan hubungan

antara konsumsi makan tinggi purin dengan kejadian hiperurisemia

pada dosen dan tenaga pendidikan Universitas Siliwangi (Lina, 2014).

Di samping itu, terdapat penelitian juga yang menyatakan ada

hubungan antara diet tinggi purin dengan kadar asam urat pada lelaki

dewasa di RT 04 RW 03 Simomulyo Baru Surabaya (Astuti, 2014).

3) Asupan Cairan

Total jumlah cairan yang terdapat dalam tubuh cukup besar

dibandingkan dengan zat padat pembentuk tubuh lainnya. Secara

umum, konsentrasi cairan dalam tubuh sekitar 60%. Proporsi ini dapat

berbeda-beda bergantung pada kondisi individu masing-masing

(Tamsuri, 2008). Dalam keseharian, tubuh manusia mendapatkan

banyak suplai cairan berasal dari air putih yang dikonsumsi.

Dalam proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh air

mempunyai dua fungsi utama (Irawan, 2007) yaitu sebagai pembawa


38

zat-zat nutrisi seperti karbohidrat, vitamin, dan mineral serta juga akan

berfungsi sebagai pembawa oksigen (O2) ke dalam sel-sel tubuh.

Selain itu, air juga akan berfungsi untuk mengeluarkan produk

samping hasil metabolisme seperti karbondioksida (CO2) dan juga

senyawa nitrat.

Konsumsi cairan yang tinggi, terutama dari minuman, dapat

membantu mengeluarkan asam urat sehingga dapat menurunkan kadar

asam urat dalam darah. Selain dari minuman, kandungan cairan yang

banyak juga dapat diperoleh dari sayuran dan buah yang banyak

mengandung air seperti semangka, melon, blewah, bengkuang,

belimbing, jambu air, maupun buah lainnya (Yenrina, 2014). Menurut

Kemenkes RI (2012), konsumsi cairan pada lanjut usia antara 1,5-2

liter per hari (6-8 gelas). Selain itu, pada lanjut usia terdapat

mekanisme rasa haus dan menurunnya cairan tubuh total (penurunan

massa lemak).

Berbeda dengan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa asupan

cairan tidak berpengaruh terhadap kadar asam urat (Diantari, 2012).

Penelitian tersebut bertentangan dengan teori bahwa cairan merupakan

salah satu media pembuangan hasil metabolit tubuh, termasuk asam

urat. Jika seseorang mengonsumsi cairan dalam jumlah tinggi,

reabsorpi air di ginjal menurun dan ekskresi zat terlarut air meningkat

(Chernoff, 2014). Selanjutnya, konsumsi cairan merupakan salah satu

pemicu kadar asam urat berdasarkan hasil penelitian Fajarina (2011).

Semakin banyak jumlah konsumsi air minum seseorang maka kadar


39

asam urat dalam darah semakin kecil. Luk (2005) menyatakan bahwa

konsumsi cairan beralkohol dapat meningkatkan kadar asam urat

karena dapat meningkatkan produksi purin dan menurunkan ekskresi

asam urat. Dijelaskan dalam sebuah penelitian tentang konsumsi

alkohol yang didapatkan hasil adanya hubungan alkohol dengan kadar

asam urat pada lelaki dewasa di RT 04 RW 03 Sidomulyo Baru

Surabaya (Astuti, 2014). Minum alkohol dapat meningkatkan

produksi asam urat karena kadar laktat meningkat sebagai akibat

produk sampingan dari metabolisme normal alkohol. Sifat asam laktat

menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga terjadi

peningkatan kadar asam urat dalam serum (Price dan Wilson, 2005).

B. Metode Penilaian Konsumsi Makanan

Menurut Supariasa (2002), survei makanan atau penilaian konsumsi

makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan

status gizi perorangan atau kelompok. Di Indonesia, penilaian konsumsi

makanan digunakan sebagai salah satu penelitian di bidang gizi, namun

survei makanan tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau

masyarakat secara langsung. Hasil penilaian konsumsi makanan ini

hanya dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya

kekurangan atau kelebihan gizi pada seseorang.

Secara umum, tujuan penilaian konsumsi makanan adalah untuk

mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan

makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan
40

perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi

makanan tersebut. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, metode untuk

mengukur konsumsi makanan untuk perorangan dibagi menjadi dua yaitu

kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif untuk mengetahui jumlah

makanan yang dikonsumsi, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk

mengetahui frekuensi makan (Supariasa, 2002).

a) Metode Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ)

SQ-FFQ merupakan bentuk FFQ yang telah dimodifikasi dengan

memperkirakan atau estimasi URT dalam gram. Pada SQ-FFQ, skor

zat gizi yang terdapat di setiap subyek dihitung dengan cara

mengkalian frekuensi setiap jenis makanan yang dikonsumsi yang

diperoleh dari data komposisi makanan. Metode SQ-FFQ dapat

memberikan informasi mengenai data asupan gizi secara umum

dengan cara memodifikasi berdasarkan metode FFQ.

Metode FFQ tidak terdapat standar ukuran porsi, namun yang

digunakan hanya frekuensi berapa sering responden mengonsumsi

makanan tersebut dan juga tidak dilakukan penimbangan makanan

untuk setiap ukuran porsinya. Sedangkan SQ-FFQ digunakan untuk

menerangkan ukuran porsi yang dikonsumsi seseorang dan frekuensi

makan dalam waktu tahun, bulan, minggu, dan hari makanan yang

dikonsumsi oleh responden dalam bentuk porsi besar, sedang dan

kecil. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut


41

adalah bahan makanan yang dikonsumsi dalam frekuensi cukup sering

oleh responden (Gibson, 2005).

Adapun prosedur penggunaan SQ-FFQ adalah sebagai berikut

(Fahmida, 2007):

1. Subyek diwawancarai mengenai frekuensi mengkonsumsi jenis

makana sumber zat gizi yang ingin diketahui, apakah harian,

mingguan, atau bulanan.

2. Subyek diwawancarai mengenai ukuran rumah tangga dan

porsinya.

3. Mengestimasi ukuran porsi yang dikonsumsi subyek ke dalam

ukuran berat (gram).

4. Mengkonversi semua frekuensi daftar bahan makanan untuk

perhari.

Misalnya: Nasi putih dikonsumsi 3x perhari, ekuivalen dengan 3

Tahu dikonsumsi 4x perminggu, ekuivalen dengan 4/7

perhari = 0,57

Es krim dikonsumsi 5x perbulan, ekuivalen dengan 5/30

perhari = 0,17

5. Mengalikan frekuensi perhari dengan ukuran porsi (gram) untuk

mendapatkn berat yang dikonsumsi dalam gram/hari.

6. Hitung semua daftar bahan makanan yang dikonsumsi subyek

penelitain sesuai dengan yang terisi di dalam form.


42

7. Setelah semua bahan makanan diketahui berat yang dikonsumsi

dalam gram/hari, maka semua berat item dijumlahkan sehingga

diperoleh total asupan zat gizi dari subyek.

8. Cek dan teliti kembali untuk memastikan semua item bahan

makanan telah dihitung dan hasil penjumlahan berat (gram) bahan

makanan tidak terjadi kesalahan.

2.4 Kerangka Teori

Asam urat merupakan hasil metabolisme purin yang mengalami proses

biokimia menjadi oksida purin dan menghasilkan produk asam urat dengan

bantuan suatu enzim (Utami, 2005). Menurut Lee (2009) menyatakan bahwa

hiperurisemia dihubungkan dengan faktor eksogen yaitu diet makanan

purin, obat-obatan tertentu dan faktor endogen yaitu adanya penyakit dan

abnormalitas genetik. Terdapat faktor usia, penambahan berat badan,

riwayat keluarga dan jenis kelamin menjadi faktor risiko dari hiperurisemia

(Mahan, 2008). Ditambahkan dari Krisnatuti (2006) bahwa aktivitas fisik

yang berat berperan dapat meningkatkan kadar asam urat darah.

Asupan purin serta asupan fruktosa yang tinggi menjadi faktor risiko

hiperurisemia (Prakash, 2012). Selanjutnya, diet tinggi purin, minum

alkohol, dan sejumlah obat-obatan juga dianggap dapat memicu terjadinya

hiperurisemia (Price dan Wilson, 2005). Sedangkan konsumsi cairan tidak

beralkohol yang tinggi dapat menurunkan kadar asam urat darah (Hall,

2006). Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lee (2009), Mahan

(2008), Krisnatuti (2006), Prakash (2012), Price dan Wilson (2005), dan

Hall (2006) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan


43

hiperurisemia, maka peneliti menyusun kerangka teori seperti dapat dilihat

pada Gambar 2.3 Kerangka Teori berikut ini.

Faktor Endogen:
Riwayat Keluarga
Usia
Jenis Kelamin
Aktivitas Fisik
Kegemukan
HIPERURISEMIA

Faktor Eksogen:
Asupan Fruktosa
Asupan Purin
Asupan Cairan
Obat-obatan tertentu

Gambar ‎2.3 Kerangka Teori

Sumber: Adopsi Teori Lee (2009), Mahan (2008), Krisnatuti (2006),


Prakash (2012), Price dan Wilson (2005), dan Hall (2006)
44

3 BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan pustaka yang terdapat pada bab II maka peneliti

dapat menyimpulkan faktor-faktor yang dapat berhubungan langsung

dengan kadar asam urat dalam darah pada pralansia, yaitu riwayat keluarga,

usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, asupan

purin dan asupan cairan. Adapun dalam penyusunan kerangka konsep

penelitian, peneliti mengadaptasi dari kerangka teori yang terdiri dari teori

Lee (2009), Mahan (2008), Krisnatuti (2006), Prakash (2012), Price dan

Wilson (2005), dan Hall (2006) untuk mengetahui hubungan riwayat

keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, asupan

purin dan asupan cairan dengan kejadian terduga hiperurisemia pada

pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.

Pada penelitian ini, semua faktor-faktor langsung yang berhubungan

dengan hiperurisemia diteliti, kecuali faktor usia dan obat-obatan. Faktor

usia tidak diteliti karena adanya sifat homogenitas. Subjek dalam penelitian

ini berada di dalam kelompok umur yang sama, yaitu pra lanjut usia yang

berusia antara 45-59 tahun. Obat-obatan tidak diteliti dan merupakan salah

satu kriteria eksklusi dalam pengambilan sampel.


45

Riwayat Keluarga

Jenis Kelamin

Aktivitas Fisik

Kegemukan KEJADIAN
HIPERURISEMIA

Asupan Fruktosa

Asupan Purin

Asupan Cairan

Gambar ‎3.1 Kerangka Konsep


46

3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Dependen
1. Kejadian Peningkatan kadar asam urat Metode stik Easy Touch 0. Hiperurisemia, jika kadar asam Ordinal

terduga dalam tubuh yang melebihi Blood Uric urat > 5,7 mg/dl pada wanita; >

hiperurisemia ambang batas normal dalam Acid Test 7 mg/dl pada pria.

darah adalah 7,0 mg/dl pada Meter.


1. Normourisemia, jika kadar asam
laki-laki dan pada perempuan
urat 2,6-5,7 mg/dl pada wanita;
adalah 5,7 mg/dl
3,4-7 mg/dl pada pria.

(Kemenkes, 2012)

Variabel Independen
2. Riwayat Keluarga dekat (ayah, ibu, Wawancara Kuesioner 0. Ya, jika ada riwayat keluarga Nominal

Keluarga saudara kandung, kakek, nenek, dengan hiperurisemia

46
47

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
saudara kandung ayah atau ibu) 1. Tidak, jika tidak ada riwayat

yang mengalami hiperurisemia keluarga dengan hiperurisemia

berdasarkan diagnosis tenaga

kesehatan yang dapat diturunkan

kepada keturunannya

3. Jenis Perbedaan tanda seks yang Wawancara Kuesioner 0. Laki-laki Nominal

Kelamin terlihat dari individu yang 1. Perempuan

dibedakan antara laki-laki dan

perempuan

4. Aktivitas Kegiatan fisik yang dilakukan Wawancara Kuesioner 0. Aktivitas fisik berat Ordinal

Fisik meliputi olahraga, transportasi, 1. Aktivitas fisik sedang-ringan

pekerjaan, rekreasi dalam

keluarga, maupun masyarakat.


48

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
5. Kegemukan Akumulasi lemak berlebih Antropometri Timbangan 0. Ya, jika IMT ≥ 25,0 Ordinal

dengan Indeks Massa Tubuh berat badan 1. Tidak, jika IMT < 25

(IMT) sama dengan atau lebih dan

dari 25,0 microtoise

6. Asupan Jumlah asupan fruktosa dari Wawancara Semi 0. Berisiko, jika asupan fruktosa ≥ Ordinal

fruktosa makananan yang dikonsumsi Quantitative 25 gram per hari

dalam satu hari FFQ 1. Tidak berisiko, jika asupan

fruktosa < 25 gram per hari

(Jaminet, 2012)

7. Asupan Purin Jumlah asupan purin dari Wawancara Semi 0. Berisiko, jika asupan purin ≥ Ordinal

makanan yang dikonsumsi Quantitative 500 mg per hari

dalam satu hari FFQ 1. Tidak berisiko, jika asupan

purin < 500 mg per hari

(Talati, 2012)
49

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
8. Asupan Jumlah asupan cairan dari Wawancara Semi 0. Berisiko, jika asupan cairan < Ordinal

Cairan minuman atau makanan yang Quantitative 2300 ml pada wanita; < 2600 ml

dikonsumsi dalam satu hari FFQ pada laki-laki

1. Tidak berisiko, jika asupan ≥

2300 ml pada wanita; ≥ 2600 ml

pada laki-laki

(AKG, 2012)
50

3.3 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016.

2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016.

3. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016.

4. Ada hubungan antara kegemukan dengan kejadian terduga hiperurisemia

pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun

2016.

5. Ada hubungan antara asupan makan (fruktosa, purin dan cairan) dengan

kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja

Puskesmas Pamulang tahun 2016.

50
4 BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi observasional

analitik dengan desain studi cross sectional yang dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara variabel dependen dan variabel independen.

Adapun variabel dependen penelitian ini yaitu kejadian terduga

hiperurisemia. Sedangkan variabel independen dalam penelitian ini yaitu

riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan makan

(fruktosa, purin dan cairan. Pengumpulan data dan informasi antara variabel

dependen dan variabel independen dilakukan dalam waktu yang sama.

4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu)

wilayah kerja Puskesmas Pamulang pada bulan Mei sampai Oktober tahun

2016.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pralansia (45-59 tahun) yang

tidak mengkonsumsi obat-obatan diuretik di Posbindu wilayah kerja

Puskesmas Pamulang. Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi.

Perhitungan besar sampel dengan menggunakan rumus estimasi proporsi

adalah sebagai berikut.

51
52

⁄ (

Ket :
n = jumlah sampel minimal yang dibutuhkan
Z1-α/2 = derajat kepercayaan = 1,64
P = Proporsi dari penelitian sebelumnya
d = Presisi mutlak = 10%

Tabel ‎4.1 Nilai P (Proporsi) Variabel Dependen dan Variabel Independen


No Variabel P n Sumber
1. Hiperurisemia 64,3% 63 Posbindu PTM, 2016
2. Riwayat Keluarga 71,4% 56 Sukarmin, 2015
2. Jenis Kelamin 61,7% 64 Setyoningsih, 2009
3. Aktivitas Fisik 22,15% 47 Xiong dkk, 2013
4. Kegemukan 55% 67
5. Asupan Fruktosa 66,7% 61 Setyoningsih, 2009
6. Asupan Purin 38,8% 65
7. Asupan Cairan 50% 68 Fajarina, 2011

Adapun rumus penghitungan jumlah sampel dengan menggunakan rumus

uji hipotesis estimasi beda 2 proporsi sebagai berikut:

{ ⁄ √ ̅( ̅ √ ( ( }
(

Ket :
n = jumlah sampel minimal yang dibutuhkan
Z1-α/2 = derajat kepercayaan = 1,64
Z1-β = kekuatan uji
P1 = Proporsi kasus berisiko
P2 = Proporsi kasus tidak berisiko
Ᵽ = rata-rata proporsi; (P1 + P2)/2
53

Penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

hiperurisemia diperoleh nilai P1 dan P2 sebagai berikut:

Tabel ‎4.2 Nilai P1 dan P2 dari Faktor-faktor yang Berhubungan dengan


Hiperurisemia
No Variabel P1 P2 n nx2 Sumber
Independen
1. Riwayat Keluarga 88% 40% 12 24 Sukarmin, 2015
2. Jenis Kelamin 80% 43,3% 21 42 Setyoningsih, 2009
3. Aktivitas Fisik 21,9% 78,0 9 18 Villegas dkk, 2010
4. Kegemukan 70% 40% 33 66
5. Asupan Fruktosa 83,3% 50% 24 48 Setyoningsih, 2009
6. Asupan Purin 70 % 6,7 % 7 14
7. Asupan Cairan 64,3% 37,5% 42 84 Fajarina, 2011

Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel, didapatkan besar sampel

minimum yang paling besar yaitu dari rumus uji hipotesis 2 proporsi

dengan CI 90% serta kekuatan uji (1-β) 80% sebesar 42 orang. Karena uji

yang digunakan adalah uji hipotesis dua proporsi, maka jumlah sampel

dikalikan 2 (dua), sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 84

pralansia. Untuk menghindari sampel yang tidak bersedia menjadi

responden penelitian, maka sampel ditambahkan 10% dari jumlah sampel

minimal sehingga menjadi 93 sampel.

Penggunaan rumus ini dimaksudkan untuk perbandingan dua proporsi

antara masing-masing variabel dependen dengan variabel independen,

seperti contoh, perbandingan proporsi antara kejadian terduga hiperurisemia

dengan asupan fruktosa berisiko (≥ 25 gram per hari) dan kejadian terduga
54

hiperurisemia dengan asupan fruktosa yang tidak berisiko, begitupun

variabel-variabel penelitian yang lainnya.

Pada penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan secara acak

(probability sampling) dengan proportionate random sampling. Cara ini

dilakukan dengan mengambil sampel berdasarkan alokasi dari tiap posbindu

yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016. Adapun rumus

yang digunakan dalam menentukan proporsi setiap posbindu adalah:

Keterangan:

jumlah anggota sampel tiap posbindu

jumlah anggota populasi tiap posbindu

jumlah anggota populasi seluruh posbindu

jumlah anggota sampel seluruh posbindu

Wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016 mempunyai 17 Pos

Pembinaan Terpadu (Posbindu) yang tersebar pada 4 (empat) kelurahan.

Berikut adalah tabel yang menunjukkan jumlah sampel yang diambil sesuai

proporsi yang ditetapkan dari setiap Posbindu di wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016.

Tabel ‎4.3 Jumlah Pralansia pada Tiap Posbindu di Wilayah Kerja


Puskesmas Pamulang dalam Populasi dan sampel
No Kelurahan Nama Posbindu Populasi Sampel
1 Cemara 20 6
2 Pamulang Barat Edelweis 23 7
3 Anggrek 26 8
55

No Kelurahan Nama Posbindu Populasi Sampel


4 Chlaudiol 36 11
5 Setiabudi 6 2
6 Melati 21 7
7 Pamulang Timur Lele Dumbo 17 5
8 Gurame 10 3
9 Akasia 11 3
10 Pondok Cabe Ilir Lamtoro 7 2
11 Beringin 16 5
12 Kurma 20 6
13 Sawo 23 7
14 Anggur 14 4
Pondok Cabe Udik
15 Merah Delima 21 7
16 Kiwi 11 3
17 Cherry 16 5
TOTAL 298 93

Berdasarkan jumlah sampel dari setiap posbindu tersebut didapatkan

bahwa total sampel berjumlah 93 orang. Dari masing-masing posbindu telah

diambil sampel penelitian sesuai dengan proporsi yang ditetapkan.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data

sekunder. Dalam pengumpulan data primer, peneliti dibantu oleh 3 orang

enumerator (seorang bidan atau perawat atau dokter dan dua mahasiswi

kesehatan masyarakat). Metode yang digunakan untuk memperoleh data

primer dalam penelitian ini adalah metode stik, metode wawancara

sederhana, metode GPPAQ (General Practice Physical Activity

Questionnaire), metode pengukuran antropometri dan metode semi


56

quantitative FFQ. Metode stik digunakan untuk mengukur kadar asam urat

darah. Kemudian, metode wawancara dengan kuesioner untuk mendapatkan

data riwayat keluarga dan jenis kelamin. Metode GPPAQ untuk

pengambilan data aktivitas fisik, dan pengukuran antropometri untuk

mendapatkan data kegemukan. Kemudian metode FFQ semi kuantitaif

dilakukan untuk mengukur asupan makan (fruktosa, purin, dan cairan).

1) Metode stik

Metode stik adalah pemeriksaan kadar asam urat yang menggunakan

bahan pemeriksaan darah kapiler sehingga pemeriksaan ini lebih praktis

karena dapat dikerjakan sendiri di rumah dan lebih ekonomis. Metode ini

merupakan salah satu metode yang hanya menggunakan 1-2 tetes whole

blood. Metode ini juga dapat digunakan sebagai diagnosis awal dan cepat

karena tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan hasil pengukuran.

Sebelum digunakan, masukkan chip warna kuning ke dalam alat

untuk cek alat. Strip tes diletakkan di alat (Blood Uric Acid Meter) yang

mempunyai layar untuk menampilkan hasil pemeriksaan. Kemudian

darah diteteskan pada zona reaksi strip tes (Blood Uric Acid Strip).

Pengambilan sampel darah dengan menggunakan jarum (Lancing Device

atau Lancet). Selanjutnya, hasil tes akan terlihat di layar alat. Pengukuran

kadar asam urat dalam penelitian ini, dilakukan langsung oleh tenaga

kesehatan Puskesmas Pamulang, yaitu bidan, perawat dan dokter.

2) Metode Wawancara

Metode yang digunakan untuk memperoleh data primer dalam

penelitian ini adalah metode angket/kuesioner, yaitu daftar-daftar


57

pertanyaan/pernyataan mengenai variabel riwayat keluarga dan jenis

kelamin yang terdapat dalam penelitian ini. Kuesioner digunakan untuk

memberikan atau menyebarkan daftar pertanyaan/pernyataan kepada

responden dengan harapan responden akan memberikan respon atas

daftar tersebut. Dalam penelitian ini, seluruh responden memberikan

respon dengan menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan oleh peneliti

dan enumerator.

3) Metode GPPAQ

Metode ini digunakan untuk memperoleh data aktivitas fisik

responden dengan cara memberikan daftar-daftar pertanyaan/pernyataan

mengenai variabel aktivitas fisik yang dilakukan selama satu minggu

terakhir dengan menggunakan indeks aktivitas fisik.

4) Pengukuran Antropometri

Pengukuran antropometri digunakan untuk mengukur status

kegemukan responden dengan melihat Indeks Massa Tubuh (IMT)

responden. Adapun pengukuran yang dilakukan yaitu berat badan (BB)

dan tinggi badan (TB). Angka IMT didapatkan dari pembagian antara

berat badan (kg) dengan tinggi badan (m) yang dikuadratkan. Kemudian

hasil pengukuran dibandingkan dengan z-score IMT berdasarkan

Petunjuk Teknis Posbindu PTM Kemenkes tahun 2012.

5) Metode SQ-FFQ

Data asupan makanan fruktosa, purin, dan cairan diperoleh dengan

wawancara menggunakan metode SQ-FFQ. Untuk menganalisis nilai gizi

fruktosa dan cairan menggunakan software Nutrisurvey. Analisis jumlah


58

makanan sumber purin meggunakan tabel grup bahan makanan (BM)

purin. Rata-rata konsumsi per hari dimasukkan sesuai dengan grup. Rata-

rata konsumsi per hari makanan sumber purin dibagi seratus kemudian

dikalikan dengan kandungan purin sesuai dengan jenis bahan makanan

yang ada dalam Tabel 2.2 Kadar Purin dalam Berbagai Makanan. Jumlah

asupan makanan sumber purin didapat dengan menjumlahkan nilai pada

setiap kelompok dan dalam bentuk gram.

Data yang didapatkan melalui data sekunder antara lain gambaran umum

Posbindu di wilayah kerja Puskesmas Pamulang dan data jumlah pra lanjut

usia yang mengunjungi Posbindu di wilayah kerja Puskesmas Pamulang

sebagai kerangka sampel untuk menentukan sampel dalam penelitian ini.

4.5 Instrumen Penelitian

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1) Kuesioner penelitian yang berisi lembar persetujuan, kolom identitas diri,

dan kolom hasil pengukuran antropometri (lampiran 2).

2) Kuesioner GPPAQ untuk menilai tingkat aktivitas fisik yang dilakukan

selama satu minggu terakhir dengan menggunakan indeks aktivitas fisik.

Dalam penelitian ini, kuesioner aktivitas fisik GPPAQ yang digunakan

merupakan kuesioner GPPAQ yang telah diuji validitas dan

reliabilitasnya oleh Ahmad dkk (2015) dan diadaptasi ke dalam bahasa

Indonesia oleh Rizky (2011) (lampiran 3).


59

3) Formulir FFQ semi kuantitatif untuk mengumpulkan data asupan makan

(lampiran 4). Responden akan diminta untuk memilih semua makanan

dan minuman yang sering dikonsumsi. Wawancara asupan makanan yang

dikonsumsi oleh responden dilakukan oleh pengumpul data. Formulir

SQ-FFQ yang digunakan dalam penelitian ini merupakan formulir SQ-

FFQ yang telah dimodifikasi dari penelitian Erniati (2013) dan telah

disesuaikan dengan bahan makanan yang sering dikonsumsi oleh

masyarakat di lokasi penelitian.

4) Formulir kadar asam urat darah (lampiran 5).

5) Blood Uric Acid Test Strip merek Easy Touch GCU dengan tingkat eror

± 17% dan presisi ≤ 7,6% (Dai dkk, 2005) yang telah dikalibrasi terlebih

dahulu sebelum digunakan.

6) Timbangan injak berat badan dengan kapasitas 0-120 kg dengan

ketelitian 0,5 kg dan timbangan digital berat badan kapasitas 0-120 kg

dengan ketelitian 0,1 kg yang telah dikalibrasi terlebih dahulu sebelum

digunakan.

7) Alat pengukur tinggi badan atau microtoise dengan kapasitas ukur 2

meter dan ketelitian 0,1 cm.

4.6 Manajemen Data

Semua data dari kuesioner yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah

melalui tahap-tahap sebagai berikut sehingga siap untuk dianalisis:

1. Penyuntingan data (Data editing)

Penyuntingan data dilakukan setelah data telah terkumpul di lapangan

dan sebelum peneliti atau pengumpul data meninggalkan lapangan.


60

Penyuntingan data dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti yang

bertujuan untuk memeriksa kelengkapan data dan kesalahan dalam

pengisian kuesioner, serta memastikan data yang telah diperoleh dapat

dibaca dengan baik oleh peneliti. Apabila terdapat data yang kurang

lengkap, maka peneliti bersama enumerator mengambil data kembali

secara lengkap.

2. Data skoring

Sebelum pengkodean atau memberikan kode atas jawaban-jawaban

yang telah dijawab oleh responden, peneliti melakukan penghitungan

skor terhadap jawaban yang menyangkut variabel aktivitas fisik,

kegemukan, dan asupan makan (asupan fruktosa, purin, dan cairan).

1) Variabel aktivitas fisik

Pertanyaan A (pertanyaan jenis pekerjaan) terdiri dari satu

pertanyaan dan lima pilihan jawaban dengan memilih satu jawaban.

Masing-masing jawaban memiliki skor berturut-turut 1-5 (lampiran 3).

Kelompok pertanyaan B (pertanyaan latihan fisik dan/atau bersepeda)

mempunyai lima pertanyaan dan masing-masing pertanyaan terdiri

dari empat pilihan jawaban dengan memilih satu jawaban. Masing-

masing jawaban memiliki skor berturut-turut 1-4.

Pemberian skor untuk aktivitas fisik dibagi ke dalam dua tahap.

Tahap pertama, menghitung pertanyaan A dan pertanyaan B. Karena

pertanyaan B memiliki lima pertanyaan, maka diberikan nilai skor dari

hasil rata-rata. Berikut adalah penjelasan dalam pemberian skor

pertanyaan B:
61

1) Jika hasil rata-rata bernilai ≤ 0,5 maka skor adalah 1, artinya

latihan fisik dan/atau bersepeda tidak dilakukan;

2) Jika hasil rata-rata bernilai 0,6 – 1,5 maka skor adalah 2, artinya

latihan fisik dan/atau bersepeda dilakukan selama < 1 jam

3) Jika hasil rata-rata bernilai 1,6 – 2,5 maka skor adalah 3, artinya

latihan fisik dan/atau bersepeda dilakukan selama 1 - < 3 jam;

4) Jika hasil rata-rata bernilai 2,6 – 4 maka skor adalah 4, artinya

latihan fisik dan/atau bersepeda dilakukan selama ≥ 3 jam.

Tahap kedua, dari skor pertanyaan A dan skor pertanyaan B

selanjutnya akan dilakukan penghitungan skor aktivitas fisik dalam

software komputer. Adapun cara untuk menghitung skor aktivitas fisik

(Physical Activity Index/PAI) dari pertanyaan A (pertanyaan

pekerjaan) dan pertanyaan B (pertanyaan latihan fisik dan/atau

bersepeda) adalah sebagai berikut:

a) Tingkat active jika pekerjaan yang duduk terus menerus dan latihan

fisik dan/atau bersepeda ≥ 3 jam per minggu; ATAU pekerjaan

yang berdiri dan latihan fisik dan/atau bersepeda 1-2,9 jam per

minggu; ATAU pekerjaan dengan fisik dan latihan fisik dan/atau

bersepeda < 1 jam per minggu; ATAU pekerjaan yang memerlukan

tenaga berat.

b) Tingkat moderately active jika pekerjaan yang duduk terus menerus

dan latihan fisik dan/atau bersepeda 1-2,9 jam per minggu; ATAU

pekerjaan berdiri dan < 1 jam latihan fisik dan/atau bersepeda per
62

minggu; ATAU pekerjaan dengan fisik dan tidak ada latihan fisik

atau bersepeda.

c) Tingkat moderately inactive jika pekerjaan yang duduk terus

menerus dan latihan fisik dan/atau bersepeda < 1 jam per minggu;

ATAU pekerjaan yang berdiri dan tidak ada latihan fisik atau

bersepeda.

d) Tingkat inactive jika pekerjaan yang duduk terus menerus, tidak

ada latihan fisik atau bersepeda.

Dalam penelitian ini, dari total skor didapatkan tingkat aktivitas fisik

responden dalam tingkat aktif, cukup aktif, dan kurang aktif. Dari tiga

tingkatan tersebut, peneliti mengatagorikan tingkat aktivitas responden

menjadi dua tingkatan, yaitu aktivitas berat meliputi aktivitas fisik

responden tingkat aktif; dan aktivitas ringan meliputi aktivitas fisik

responden tingkat cukup aktif dan aktivitas fisik responden kurang aktif.

2) Variabel kegemukan

Pemberian skor data kegemukan didapatkan dari penghitungan

IMT (Indeks Massa Tubuh) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan

tinggi badan (m) yang dikuadratkan.

3) Variabel asupan makan

Pemberian skor asupan makan melalui beberapa tahap yaitu

sebagai berikut:

a) Mengestimasi ukuran porsi yang dikonsumsi subyek ke dalam

ukuran berat (gram).

b) Mengkonversi frekuensi daftar bahan makanan untuk perhari.


63

Misalnya: Nasi putih dikonsumsi 3x perhari, ekuivalen dengan 3

Tahu dikonsumsi 4x perminggu, ekuivalen dengan 4/7

perhari = 0,57

Es krim dikonsumsi 5x perbulan, ekuivalen dengan 5/30

perhari = 0,17

c) Mengalikan frekuensi perhari dengan ukuran porsi (gram) untuk

mendapatkan berat yang dikonsumsi dalam gram/hari.

d) Untuk asupan fruktosa dan asupan cairan, setelah semua bahan

makanan diketahui berat yang dikonsumsi dalam gram/hari, maka

semua berat item bahan makanan diolah dengan menggunakan

nutrisurvey sehingga diperoleh total asupan fruktosa dan cairan dari

subyek.

e) Berbeda dengan penghitungan asupan fruktosa dan asupan cairan,

untuk asupan purin perlu dilakukan penghitungan lanjutan. Rata-

rata konsumsi per hari makanan sumber purin dibagi seratus

kemudian dikalikan dengan kandungan purin sesuai dengan jenis

bahan makanan yang ada dalam Tabel 2.2 Kadar Purin dalam

Berbagai Makanan. Jumlah asupan makanan sumber purin didapat

dengan menjumlahkan nilai pada setiap kelompok dan dalam

bentuk gram.

3. Pengodean data (Coding)

Mengkode yaitu membuat klasifikasi data dan memberi kode pada

jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuesioner.


64

1) Variabel dependen, kejadian terduga hiperurisemia diberikan kode

dengan dua kategori yaitu dengan kode “0” untuk “Hiperurisemia”,

yaitu apabila kadar asam urat > 5,7 mg/dl pada wanita; > 7 mg/dl

pada pria; dan kode “1” untuk “Normourisemia”, apabila kadar asam

urat 2,6-5,7 mg/dl pada wanita; 3,4-7 mg/dl pada pria.

2) Variabel independen, riwayat keluarga diberikan kode dengan dua

kategori dengan kode “0” jika “Ya”, yaitu ada riwayat keluarga

dengan hiperurisemia dan kode “1” jika “Tidak”, yaitu tidak ada

riwayat keluarga dengan hiperurisemia.

3) Variabel independen jenis kelamin dikategorikan menjadi 2 yaitu

dengan kode “0” untuk “Laki-laki” dan kode “1” untuk”Perempuan”.

4) Variabel aktivitas fisik dikategorikan 2 yaitu kode “0” untuk

“Aktivitas Fisik Berisiko” yang berarti aktivitas fisik berat dan kode

“1” untuk “Aktivitas Fisik Tidak Berisiko” yang berarti aktivitas fisik

sedang sampai ringan.

5) Variabel kegemukan diberi kode “0” jika “Ya” yang berarti IMT ≥

25,0 dan kode “1” jika “Tidak” yang berarti IMT < 25,0 kg/m2.

6) Variabel asupan fruktosa dikategorikan menjadi 2 dengan kode “0”

jika “Asupan Berisiko” yaitu asupan fruktosa ≥ 25 gram per hari dan

kode “1” jika “Asupan Tidak Berisiko” yaitu asupan fruktosa < 25

gram per hari.

7) Variabel asupan purin dikategorikan menjadi 2 dengan kode “0” jika

“Asupan Berisiko”, yaitu asupan purin ≥ 500 mg per hari dan kode
65

“1” jika “Asupan Tidak Berisiko”, yaitu asupan purin < 500 mg per

hari.

8) Variabel asupan cairan dikategorikan menjadi 2 dengan kode “0” jika

“Asupan Berisiko”, yaitu asupan cairan < 2300 ml pada wanita; <

2600 ml pada laki-laki dan kode “1” jika “Asupan Tidak Berisiko”,

yaitu asupan ≥ 2300 ml pada wanita; ≥ 2600 ml pada laki-laki.

4. Pemasukan data (Data Entry)

Setelah data kasar terkumpul dari lapangan, kemudian data disunting,

dihitung skor dan diberikan kode, maka semua data yang telah lengkap

diberikan kode, selanjutnya dimasukkan ke dalam aplikasi atau perangkat

software komputer.

5. Pembersihan data (Data cleaning)

Tahap ini dilakukan untuk mengecek kembali data yang telah

dimasukkan ke dalam perangkat software komputer. Data yang telah di

entry, kemudian dicek kembali dengan untuk memastikan bahwa tidak

ada kesalahan data, baik kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam

membaca kode. Misalnya untuk variabel kejadian terduga hiperurisemia

hanya ada 2 (dua) kategori yaitu 0 = Hiperurisemia dan 1 =

Normourisemia. Pembersihan data juga dilakukan dengan mengetahui

ada tidaknya missing data dengan memeriksa distribusi frekuensi dari

setiap variabel. Dengan demikian, selanjutnya dilakukan analisis data

dari setiap variabel penelitian.


66

4.7 Analisis Data

4.7.1 Analisis Univariat

Analisis ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi atau

distribusi frekuensi masing-masing variabel penelitian. Analisis univariat

digunakan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan variabel dependen,

yaitu kejadian terduga hiperurisemia, dan variabel independen, yaitu riwayat

keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, asupan

purin, dan asupan cairan.

4.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis dalam

penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen

(hiperurisemia) dengan masing-masing variabel independen (riwayat

keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, asupan

purin, asupan cairan). Adapun uji statistik yang digunakan yaitu chi-square

karena variabel dependen dan variabel independen berbentuk data kategorik.

Berikut rumus chi-square:

(
X2 = Ʃ df = (b-1) (k-1)

Keterangan:

X2 = nilai chi-square

E = nilai harapan

O = nilai observasi

df = degree of freedom

b = jumlah baris

k = jumlah kolom
67

Untuk menguji kemaknaan digunakan nilai p-value dengan

menggunakan tingkat kemaknaan 10% dan derajat kepercayaan 90%.

Sehingga jika p-value ≤ 0,05 maka menunjukkan ada hubungan antara

variabel dependen dan variabel independen sedangkan jika p-value > 0,05

maka menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel dependen dan

variabel independen.
5 BAB V

HASIL

5.1 Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016

Posbindu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016

berjumlah 17 Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) yang tersebar pada 4

kelurahan. Kegiatan pelayanan kesehatan di posbindu dilakukan sekali

dalam satu bulan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama

dengan petugas kesehatan di Puskesmas Pamulang. Adapun posbindu yang

berada di 4 kelurahan tersebut dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel ‎5.1 Nama-nama Posbindu di Setiap Kelurahan Wilayah Kerja


Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kelurahan Pamulang Pamulang Pondok Cabe Pondok Cabe
Barat Timur Ilir Udik
Cemara Melati Akasia Kurma
Edelweis Lele Dumbo Lamtoro Sawo

Nama Anggrek Gurame Beringin Anggur


Posbindu Chlaudiol Merah Delima
Setiabudi Kiwi
Cherry
Total 5 3 3 6

Dari tabel diatas diketahui bahwa total keseluruhan posbindu yang

berada di wilayah kerja Puskesmas Pamulang adalah 17 posbindu. Adapun

dalam penelitian ini dilakukan di 17 posbindu tersebut dengan responden

yang berpartisipasi sebanyak 93 orang.

68
69

5.2 Analisis Univariat

Analisis univariat menggambarkan distribusi frekuensi dari masing-

masing variabel yang diteliti, baik variabel dependen (kejadian terduga

hiperurisemia) maupun variabel independen (riwayat keluarga, jenis

kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan makan (fruktosa, purin dan

cairan.

5.2.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia Pralansia di


Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Seseorang dikategorikan mengalami kejadian terduga hiperurisemia

dapat diketahui dari kadar asam urat darah. Kadar asam urat darah

responden diukur sebanyak satu kali pengukuran menggunakan strip tes

yang diletakkan di alat blood uric acid meter untuk menampilkan hasil

pemeriksaan. Pengambilan sampel darah dengan jarum di salah satu ujung

jari tangan responden. Gambaran distribusi frekuensi kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016, disajikan dalam tabel berikut.

Tabel ‎5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia pada


Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun
2016
Kejadian Terduga Frekuensi (n) Persen (%)
Hiperurisemia
Hiperurisemia 61 65,6
Normourisemia 32 34,4
TOTAL 93 100

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia di


70

posbindu mengalami hiperurisemia atau kadar asam urat darah tinggi yaitu

sebesar 65,6%.

5.2.2 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga Pralansia di Posbindu Wilayah


Kerja Puskesmas Pamulang
Adapun distribusi frekuensi riwayat keluarga atau riwayat keluarga pada

pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016,

disajikan dalam bentuk tabel 5.3 berikut ini:

Tabel ‎5.3 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga pada Pralansia di


Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Riwayat Keluarga Frekuensi (n) Persen (%)
Ya 51 54,8
Tidak 42 45,2
TOTAL 90 100

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia

memiliki riwayat keluarga dengan hiperurisemia yaitu sebesar 54,8%.

5.2.3 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pralansia di Posbindu Wilayah


Kerja Puskesmas Pamulang
Data jenis kelamian diperoleh dari hasil wawancara dengan kuesioner

kepada setiap responden. Gambaran distribusi frekuensi jenis kelamin pada

pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016,

disajikan dalam bentuk tabel 5.4 berikut ini:

Tabel ‎5.4 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin pada Pralansia di


Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persen (%)
Laki-laki 12 12,9
Perempuan 81 87,1
TOTAL 93 100
71

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia

memiliki jenis kelamin perempuan sebesar 87,1%.

5.2.4 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik pada Pralansia di Posbindu


Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Aktivitas fisik responden dalam seminggu diukur dengan menggunakan

kuesioner GPPAQ tahun 2009. Kemudian hasil yang diperoleh

dikategorikan ke dalam aktivitas fisik berisiko (aktivitas berat) dan aktivitas

fisik tidak berisiko (aktivitas sedang-ringan). Berikut gambaran aktivitas

fisik responden:

Tabel ‎5.5 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik pada Pralansia di


Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Aktivitas Fisik Frekuensi (n) Persen (%)
Berat 14 15,1
Sedang-Ringan 79 84,9
TOTAL 93 100

Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia

(84,9 %) memiliki aktivitas fisik sedang-ringan.

5.2.5 Distribusi Frekuensi Kegemukan pada Pralansia di Posbindu Wilayah


Kerja Puskesmas Pamulang

Data kegemukan diperoleh dari pengukuran berat badan dan tinggi

badan dengan perhitungan IMT (Indeks Massa Tubuh). Gambaran distribusi

frekuensi kegemukan pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016 disajikan dalam tabel berikut.


72

Tabel ‎5.6 Distribusi Frekuensi Kegemukan pada Pralansia di Posbindu


Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kegemukan Frekuensi (n) Persen (%)
Ya 49 52,7
Tidak 44 47,3
TOTAL 93 100

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia

(52,7 %) mengalami kegemukan (IMT ≥ 25,0).

5.2.6 Dstribusi Frekuensi Asupan Makan (Fruktosa, Purin, Cairan) pada


Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Gambaran distribusi frekuensi asupan makan (fruktosa, purin, cairan)

pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016,

disajikan dalam tabel berikut.

Tabel ‎5.7 Distribusi Frekuensi Asupan Makan (Fruktosa, Purin,


Cairan) pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016
Asupan Fruktosa Frekuensi (n) Persen (%)
≥ 25 gram per hari 22 23,7
< 25 gram per hari 71 76,3
Asupan Purin
≥ 500 mg per hari 44 47,3
< 500 mg per hari 49 52,7
Asupan Cairan
< 2300 ml pada wanita;
71 76,3
< 2600 ml pada laki-laki
≥ 2300 ml pada wanita;
22 23,7
≥ 2600 ml pada laki-laki
TOTAL 93 100

Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia

(76,3 %) memiliki asupan fruktosa tidak berisiko yaitu asupan fruktosa <

25 gram per hari; sebagian besar pralansia (47,3%) memiliki asupan purin
73

tidak berisiko yaitu asupan purin < 500 mg per hari; dan sebagian besar

pralansia (76,3%) memiliki asupan cairan berisiko yaitu asupan cairan <

2300 ml pada wanita; < 2600 ml pada laki-laki.

Data asupan makan (fruktosa, purin dan cairan) diperoleh dari hasil

wawancara FFQ semi kuantitatif yang dilakukan dalam satu kali

wawancara. Untuk data asupan fruktosa dan asupan cairan langsung

dianalisis dengan software nutrisurvey. Sedangkan asupan purin tidak

dianalisis dalam nutrisurvey, namun dianalisis dengan menghitung kadar

purin dalam setiap bahan makanan yang mengandung purin dari FFQ semi

kuantitatif (lihat Tabel 2.2 Kadar Purin dalam Berbagai Makanan).

5.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunkaan untuk mengetahui hubungan antara variabel

dependen dengan variabel independen yang dilakukan dengan menggunakan

uji chi square. Dikatakan berhubungan secara signifikan jika didapatkan

nilai p ≤ 0,05 dan dikatakan tidak berhubungan secara signifikan jika

diperoleh nilai p > 0,05. Adapun hasil bivariat dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

5.3.1 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia


pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Hasil analisis bivariat antara riwayat keluarga dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel 5.10 berikut ini.
74

Tabel ‎5.8 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan


Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kejadian Terduga Hiperurisemia
Riwayat Total
Hiperurisemia Normourisemia p-value
Keluarga
n (%) n (%) n (%)
Ya 40 (78,4) 11 (21,6) 51 (100) 0,008
Tidak 21 (50,0) 21 (50,0) 42 (100)
Total 61 (65,4) 32 (34,4) 93 (100)

Berdasarkan tabel 5.10, diketahui bahwa responden yang memiliki

riwayat keluarga dan mengalami hiperurisemia ada 40 dari 51 orang

(78,4%). Sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat keluarga dan

mengalami hiperurisemia ada 21 dari 42 orang (50,0%). Dari hasil uji

statistik diperoleh nilai probabilitasnya sebesar 0,008 (p-value ≤ 0,05),

artinya pada alpha 10% terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan

kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja

Puskesmas Pamulang tahun 2016.

5.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia


pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel 5.11 berikut ini:

Tabel ‎5.9 Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian


Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kejadian Terduga Hiperurisemia
Jenis Total
Hiperurisemia Normourisemia p-value
Kelamin
n (%) n (%) n (%)
Laki-laki 8 (66,7) 4 (33,3) 12 (100) 1,000
Perempuan 53 (65,4) 28 (34,6) 81 (100)
Total 61 (65,6) 32 (34,4) 93 (100)
75

Berdasarkan tabel 5.11, diketahui bahwa jenis kelamin responden laki-

laki yang mengalami kejadian terduga hiperurisemia ada 8 dari 12 orang

(66,7%). Sedangkan jenis kelamin responden perempuan yang mengalami

hiperurisemia ada 53 dari 81 orang (65,4%). Dari hasil uji statistik diperoleh

nilai probabilitasnya sebesar 1,000 (p-value > 0,05), artinya pada alpha 10%

tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016.

5.3.3 Hubungan Aktifitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia


pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Hasil analisis bivariat antara aktivitas fisik dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut.

Tabel ‎5.10 Analisis Hubungan antara Aktifitas Fisik dengan Kejadian


Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kejadian Terduga Hiperurisemia
Total
Aktifitas Fisik Hiperurisemia Normourisemia p-value
n (%) n (%) n (%)
Berat 8 (57,1) 6 (42,9) 14 (100) 0,677
Sedang-Ringan 53 (67,1) 28 (32,9) 79 (100)
Total 61 (65,6) 32 (34,4) 93 (100)

Berdasarkan tabel 5.12, diketahui bahwa responden yang memiliki

aktifitas fisik berat dan mengalami kejadian terduga hiperurisemia ada 8 dari

14 orang (57,1%). Sedangkan responden yang memiliki aktifitas fisik

sedang-ringan dan mengalami hiperurisemia ada 53 dari 79 orang (67,1%).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitasnya sebesar 0,677 (p-value

<0,05), artinya pada alpha 10% tidak terdapat hubungan antara aktifitas fisik
76

dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah

kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.

5.3.4 Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia pada


Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Hasil analisis bivariat antara kegemukan dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel ‎5.11 Analisis Hubungan antara Kegemukan dengan Kejadian


Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kejadian Terduga Hiperurisemia
Total
Kegemukan Hiperurisemia Normourisemia p-value
n (%) n (%) n (%)
Ya 38 (77,6) 11 (22,4) 49 (100) 0,019
Tidak 23 (52,3) 21 (47,7) 44 (100)
Total 61 (65,6) 32 (34,4) 93 (100)

Berdasarkan tabel 5.13, diketahui bahwa responden yang gemuk (IMT ≥

25,0) dan mengalami hiperurisemia ada 38 dari 49 orang (77,6%).

Sedangkan responden yang tidak gemuk dan mengalami hiperurisemia ada

23 dari 44 orang (52,3%). Dari uji statistik diperoleh nilai probabilitasnya

sebesar 0,019 (p-value ≤ 0,05), artinya pada alpha 10% terdapat hubungan

antara kegemukan dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia.

5.3.5 Hubungan Asupan Makan (Fruktosa, Purin dan Cairan) dengan


Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang

Hasil analisis bivariat antara asupan makan (fruktosa, purin dan cairan)

dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah

kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
77

Tabel ‎5.12 Analisis Hubungan antara Asupan Makan (Fruktosa, Purin


dan Cairan) dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia
di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kejadian Terduga Hiperurisemia
Total
Asupan Makan Hiperurisemia Normourisemia p-value
n (%) n (%) n (%)
Asupan Fruktosa
≥ 25 gram/hari 19 (86,4) 3 (13,6) 22 (100)
0,037
< 25 gram/hari 42 (59,2) 29 (40,8) 71 (100)
Asupan Purin
≥ 500 mg/hari 35 (79,5) 9 (20,5) 44 (100)
0,014
< 500 mg/hari 26 (53,1) 23 (46,9) 49 (100)
Asupan Cairan
Wanita :<2300 ml
51 (71,8) 20 (28,2) 71 (100)
Laki-laki:<2600 ml
0,044
Wanita: ≥2300 ml
10 (45,5) 12 (54,5) 22 (100)
Laki-laki:≥2600 ml

Berdasarkan tabel 5.14, diketahui bahwa asupan fruktosa responden

yang berisiko (≥ 25 gram per hari) dan mengalami hiperurisemia ada 19 dari

22 orang (86,4%). Sedangkan asupan fruktosa responden yang tidak

berisiko dan mengalami hiperurisemia ada 42 dari 71 orang (59,2%).

Selanjutnya diketahui bahwa asupan purin responden yang berisiko (≥ 500

mg per hari) dan mengalami hiperurisemia ada 35 dari 44 orang (79,5%).

Sedangkan asupan purin responden yang tidak berisiko dan mengalami

hiperurisemia ada 26 dari 49 orang (53,1%). Kemudian diketahui bahwa

asupan cairan responden yang berisiko (< 2300 ml pada wanita; < 2600 ml

pada laki-laki) dan mengalami hiperurisemia ada 51 dari 71 orang (71,8%).

Sedangkan asupan cairan responden yang tidak berisiko dan mengalami

hiperurisemia ada 10 dari 22 orang (45,5%).


78

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas untuk asupan fruktosa,

purin dan cairan berturut-turut sebesar 0,037; 0,014; 0,044 (p-value < 0,05),

artinya pada alpha 10% terdapat hubungan antara asupan makan (fruktosa,

purin dan cairan) dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di

Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.


6 BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang menjadi

keterbatasan penelitian. Instrumen untuk pengambilan darah yang dengan

blood uric acid meter memiliki kelemahan antara lain presisi kurang baik,

kurang akurat, dan memiliki tingkat eror yang cukup tinggi.

Instrumen penelitian yang berupa kuesioner mengenai ada tidaknya

riwayat keturunan yang mengalami hiperurisemia tergantung dari

sepengetahuan pralansia. Sehingga pralansia hanya menjawab sesuai

perkiraan dan kemungkinan yang mereka ketahui. Hal tersebut menjadi

keterbatasan dikarenakan adanya bias infromasi yang terjadi.

Selain itu, adanya kemungkinana bias the flat slope syndrome, yakni

kecenderungan bagi responden yang kurus melaporkan konsumsi makanan

dengan berlebih sedangkan responden yang gemuk cenderung melaporkan

konsumsi makanan dengan lebih sedikit. Sehingga diperlukan kejujuran dan

motivasi yang tinggi dari setiap responden.

79
80

6.2 Gambaran Kejadian Terduga Hiperurisemia

Hiperurisemia merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan

peningkatan kadar asam urat dalam tubuh. Untuk laki-laki, ambang batas

normal dalam darah adalah 7,0 mg/dl. Adapun pada perempuan, batas kadar

asam urat darah normal adalah 5,7 mg/dl (Soeroso, 2011). Hiperurisemia

terjadi ketika asam urat serum melebihi batas tinggi (upper limit) dari jarak

yang direkomendasikan. Hiperurisemia dapat berasal dari peningkatan

produksi purin dan/atau penurunan eksresi asam urat di ginjal (Lee, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian pada pralansia (45-59 tahun) di Posbindu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016 diperoleh bahwa sebagian

besar pralansia mengalami hiperurisemia, yaitu sebesar 65,6% (Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di

Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016). Persentase

kejadian terduga hiperurisemia tersebut hampir sama besar dengan data di

Posbindu PTM (Penyakit Tidak Menular) Puskesmas Pamulang bulan

Februari tahun 2016 yang diketahui bahwa sebesar 64,3% pralansia

hiperurisemia.

Dari data di atas dapat diketahui bahwa pada pralansia kejadian terduga

hiperurisemia lebih tinggi. Hiperurisemia disebabkan oleh produksi asam

urat berlebih, penurunan eksresi asam urat, atau kombinasi peningkatan

produksi asam urat dan penurunan ekskresi asam urat (Utami dkk, 2009).

Proses terjadinya hiperurisemia berawal dari adanya metabolisme purin dan

asam urat. Ketika kadar asam urat serum melebihi batas normal akibat

pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan dan/atau akibat penurunan


81

ekskresi asam urat yang menyebabkan penumpukan kristal monosodium

urat di dalam sendi, maka akan timbul rasa nyeri pada sendi (Price, 2005).

Kenaikan konsentrasi urat serum yang melebihi upper limit of reference

range, dapat menimbulkan perkembangan tanda-tanda dan gejala klinis dari

penyakit artritis gout, batu ginjal dan nefropati asam urat. Pada umumnya,

penderita hiperurisemia tidak merasakan gejala (asimptomatik). Meskipun

demikian, dalam jangka yang lama, kadar asam urat darah yang sangat

tinggi (≥ 13mg/dL bagi pria dan ≥ 10 mg/dL bagi perempuan) dapat menjadi

faktor predisposisi terjadinya disfungsional ginjal (Lee, 2009).

Mengetahui cukup tingginya prevalensi hiperurisemia di Posbindu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang dan bahaya dari penyakit hiperurisemia,

maka perlu segera diadakan upaya pencegahan dan penanggulangan dalam

mengatasi masalah tersebut.

Upaya pencegahan dan penanggulangan dapat dilakukan dengan cara

mengajak masyarakat yang sudah mengalami hiperurisemia untuk selalu

mengontrol kadar asam urat (pemeriksaan teratur) ke posbindu setempat

atau ke Puskesmas. Selain itu, perlu dibiasakan juga melakukan pola makan

sehat dan berolahraga secara teratur. Dari pemeriksaan tersebut, pralansia

dapat mengetahui kadar asam uratnya sehingga dapat lebih berhati-hati

dalam menjaga pola makannya dan dapat meminimalisir risiko komplikasi

hiperurisemia.
82

6.3 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

Riwayat keluarga memiliki peran penting dalam metabolisme tubuh

seseorang. Riwayat Keluarga adalah penurunan sifat genetik dari orang tua

ke anak atau riwayat keturunan. Produksi asam urat berlebihan karena

kelainan herediter atau pembawa sifat atau gen/keturunan yaitu terjadi

karena penurunan kadar HGPRT (hypoxanthine guanine phosphoribosyl

transferase) mencapai 2-5% dari kadar normal; aktivitas berlebih dari enzim

phosphoribosyl pyrophosphate (PRPP) synthetase dalam pengaturan

biosintesis purin yang menyebabkan peningkatan sintesis de novo purin;

tidak sensitifnya PRPP aminotranferase, suatu enzim yang mengontrol

kecepataan sintesis purin sehingga menyebabkan over produksi purin.

Kelebihan produksi purin dalam kondisi tertentu dipecah menjadi asam urat,

yang menyebabkan hiperurisemia (Lim, 2007).

Pada penelitian ini, yang dianggap sebagai pembawa sifat herediter

hanyalah keluarga dekat seperti ayah, ibu, saudara laki-laki dan saudara

perempuan, kakek, nenek, saudara kandung ayah/ibu. Jika salah satu

anggota keluarga tersebut memiliki riwayat hiperurisemia atau asam urat,

maka terdapat risiko seseorang tersebut mengalami hiperurisemia.

Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

riwayat keluarga dan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di

Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang dengan jumlah pralansia yang

mengalami hiperurisemia dan memiliki riwayat keluarga lebih banyak

(78,4%) daripada pralansia yang mengalami hiperurisemia dan tidak

memiliki riwayat keluarga (50,0%).


83

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Sukarmin (2015) yang

rata-rata umur respondennya 56,24 tahun dengan sebagian besar responden

adalah perempuan (68,6%), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara

riwayat keluarga dengan kejadian terduga hiperurisemia. Sehingga

dinyatakan bahwa responden yang memiliki riwayat keluarga dengan

hiperurisemia mempunyai risiko mengalami hiperurisemia dibandingkan

dengan yang tidak memiliki riwayat.

Hal ini dikarenakan hiperurisemia bersifat herediter, yakni adanya

kelainan metabolik sehingga terjadi peningkatan biosintesis asam urat

tersebut terjadi karena adanya perubahan genetik sehingga mekanisme

kontrol sintesis purin menjadi terganggu (Dalimartha, 2008). Dalam proses

biokimiawi penurunan sifat genetik, nukleotida purin dan asam amino

dijadikan sebagai unit dasar dalam proses biokimiawi tersebut. Nukleotida

berperan menjadi penyandi asam nukleat yang bersifat esensial dalam

pemeliharaan dan pemindahan informasi genetik. Sedangkan asam amino

merupakan unit pembangun protein yang dibutuhkan untuk ekspresi

informasi genetik (Leninger, 1991 dalam Krisnatuti, 2006).

Berdasarkan hal tersebut, perlu diperhatikan adanya riwayat penyakit

dalam keluarga agar lebih berhati-hati dan menjaga pola makan sehat

sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan dini agar

terhindar dari risiko hiperurisemi, terutama bagi pralansia yang sudah

memiliki riwayat keluarga hiperurisemia karena mereka merupakan

kelompok yang memiliki risiko lebih besar untuk terkena hiperurisemia


84

dibandingkan dengan pralansia lainnya yang tidak memiliki riwayat

keluarga hiperurisemia.

6.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

Jenis kelamin dianggap sebagai salah satu faktor risiko hiperurisemia.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pralansia dengan jenis

kelamin perempuan (87,1%) lebih banyak daripada pralansia dengan jenis

kelamin laki-laki (12,9%). Hal ini dikarenakan responden jenis kelamin

laki-laki lebih jarang mengikuti kegiatan di posbindu karena banyak peserta

posbindu laki-laki yang sedang bekerja sehingga sampel jenis kelamin laki-

laki juga lebih sedikit daripada jenis kelamin perempuan. Untuk pralansia

perempuan, sebagian besar melaksanakan pekerjaan rumah tangga sehingga

persentase pralansia perempuan di posbindu lebih banyak.

Dari hasil uji chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

antara jenis kelamin dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia

di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016. Hasil

penelitian ini selaras dengan penelitian Lina (2014) yang menyatakan bahwa

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kejadian

terduga hiperurisemia. Dalam keadaan normal kadar urat serum pada pria

mulai meningkat saat pubertas. Sedangkan pada wanita, kadar asam urat

dalam serum tidak meningkat sampai setelah menopause karena estrogen

membantu meningkatkan ekskresi asam urat melalui ginjal. Setelah

menopause, kadar asam urat serum meningkat seperti pada pria (Sylvia dkk,

2006). Karena responden dalam penelitian ini adalah pralansia (45-59


85

tahun), sehingga masih banyak diantara responden perempuan yang belum

mengalami menopause.

Selain itu, tidak ditemukannya hubungan antara jenis kelamin dan

kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja

Puskesmas Pamulang tahun 2016 dikarenakan pada responden perempuan

lebih banyak yang memiliki faktor-faktor risiko lain seperti kegemukan,

asupan fruktosa dan purin yang tinggi, serta asupan cairan yang kurang,

sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kejadian terduga hiperurisemia.

6.5 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

Aktivitas fisik dapat membantu seseorang untuk mencapai derajat

kesehatan yang tinggi dan mendapatkan hidup yang lebih sejahtera, tidak

tergantung dengan usia. Aktivitas fisik yang tinggi berkaitan dengan

beberapa upaya pencegahan penyakit kronik dan dapat memperbaiki

kualitas hidup seseorang. Manfaat kesehatan yang didapatkan dari aktivitas

fisik secara teratur seperti berjalan, dapat menghasilkan manfaat pada

kesehatan termasuk penurunan penyakit jantung koroner dan obesitas,

hipertensi, depresi dan rasa gelisah (NHS, 2009).

Aktivitas fisik pralansia dianggap turut berperan dengan terjadinya

hiperurisemia pada pralansia. Dalam penelitian ini menggambarkan bahwa

pralansia yang memiliki aktivitas fisik berisiko (aktivitas fisik berat) yaitu

sebesar 15,1%. Angka ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian

Andry (2009) yang menunjukkan persentase aktivitas fisik berisiko sebesar

46,0%. Hal ini dikarenakan responden yang sudah berusia lanjut tidak
86

melakukan pekerjaan berat lagi dan sebagian besar hanya melakukan

pekerjaan rumah dan menjaga toko.

Lebih banyaknya pralansia yang memiliki aktivitas fisik tidak berisiko

(aktivitas fisik sedang-ringan) disebabkan karena di Posbindu wilayah kerja

Puskesmas Pamulang dilaksanakan senam ringan atau senam lansia sebelum

kegiatan posbindu berlangsung. Selain itu, senam rutin setiap minggu juga

dilaksanakan. Sehingga didapatkan hasil penelitian bahwa sebagian besar

pralansia melakukan aktivitas fisik sedang-ringan.

Berdasarkan analisis bivariat antara aktivitas fisik dengan kejadian

terduga hiperurisemia didapatkan hasil bahwa jumlah pralansia yang

mengalami hiperurisemia lebih banyak terjadi pada pralansia yang aktivitas

fisiknya berisiko (57,1%) daripada pralansia yang aktivitas fisiknya tidak

berisiko (67,1%). Namun, dari hasil uji statistik dinyatakan bahwa tidak

terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian

Andry (2009) dan Villegas dkk (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada

hubungan aktivitas fisik dengan kejadian terduga hiperurisemia.

Beberapa pendapat menyampaikan bahwa olahraga atau aktivitas fisik

yang berlebihan akan menyebabkan peningkatan asam laktat. Asam laktat

tersebut akan menghambat dan menurunkan pengeluaran asam urat. Namun,

ketika kenaikan asam laktat tersebut hanya berlangsung sebentar saja, maka

kadar asam urat akan kembali normal dalam beberapa jam kemudian
87

(Yenrina, 2014). Dalam penelitian ini, hal ini bisa terjadi karena pengukuran

asam urat dilakukan waktu pagi hari dan sebelum melakukan aktivitas berat,

sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kadar asam urat normal

meskipun dalam aktivitas yang dilakukan dalam satu minggu terakhir

tercatat dalam kategori aktivitas berat.

6.6 Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

Kegemukan (overweight) adalah akumulasi lemak yang abnormal dan

dapat berisiko terhadap kesehatan (WHO, 2016). Definisi overweight

(kegemukan) atau kelebihan berat badan adalah keadaan ketika berat badan

seseorang melebihi normal. Kegemukan terjadi akibat ketidakseimbangan

antara energi yang masuk dan keluar. Masalah gizi berlebih atau kegemukan

pada usia lanjut dapat memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif

seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, batu empedu,

gout (hiperurisemia), ginjal, sirosis hati, dan kanker (Maryam, 2008). Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pralansia mengalami

kegemukan (IMT ≥ 25) yaitu 52,7%.

Masalah kegemukan dapat disebabkan oleh pola konsumsi yang

berlebihan terutama makan yang banyak mengandung lemak, protein,dan

karbohidrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Perubahan fisik dan

penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan

penyerapan zat gizi. Proses metabolisme yang menurun pada usia lanjut jika

tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik atau penurunan jumlah

makanan, maka kalori yang berlebih akan diubah menjadi lemak yang

mengakibatkan kegemukan (Maryam, 2008).


88

Berdasarkan analisis bivariat antara kegemukan dengan kejadian terduga

hiperurisemia didapatkan hasil bahwa pralansia yang mengalami

hiperurisemia lebih banyak terjadi pada pralansia yang gemuk (77,6%)

daripada pralansia yang tidak gemuk (52,3%). Dari hasil uji statistik

diketahui bahwa terdapat hubungan antara kegemukan dengan kejadian

terduga hiperurisemia. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian

(Wijayakusuma, 2006), Modino dkk (2012), Setyoningsih (2009), Poletto

dkk (2011), Sun dkk (2010), dan Grassi dkk (2013).

Kegemukan terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara asupan

energi dan keluaran energi sehingga terjadi penimbunan lemak dalam sel

lemak membentuk jaringan lemak (adiposa). Pada umumnya, orang yang

gemuk (IMT ≥ 25 kg/m2) mengalami peningkatan massa jaringan adiposa

yang akan mensekresi kadar leptin lebih banyak. Leptin adalah asam amino

yang disekresikan oleh jaringan adiposa yang berfungsi sebagai suatu sensor

massa lemak tubuh pada sistem saraf pusat, sehingga otak dapat melakukan

penyesuaian yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan energi yang masuk

dan energi yang keluar. Selain itu, leptin berperan dalam perangsangan saraf

simpatis, meningkatkan sensitivitas insulin, natriuresis, diuresis, dan

angiogenesis. Namun, keadaan tingginya kadar leptin pada orang gemuk

dapat mengakibatkan resistensi leptin.

Resistensi leptin terjadi karena adanya penurunan sensitivitas leptin

eksogenus maupun endogenus. Hal ini dikarenakan peningkatan protein

pengikat leptin yang menyebabkan penurunan transportasi leptin ke kelenjar

hipotalamus di otak atau gangguan reseptor leptin. Jika resistensi leptin


89

terjadi di ginjal maka akan menyebabkan gangguan diuresis dan natriuresis.

Selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan pengeluaran urin berupa retensi

urin atau penurunan ekskresi urin (Choi, 2005).

Urin yang memliki pH sangat asam dapat mengakibatkan pengendapan

dalam konsentrasi yang tinggi membentuk sodium urate. Tingginya

konsentrasi tersebut dapat meningkatkan kadar asam urat dalam tubuh

seseorang. Tingkat asam urat dalam serum yang tinggi atau hiperurisemia

dapat mengakibatkan penyakit gout (Lim, 2007). Sehingga peningkatan

kadar leptin seiring dengan meningkatnya kadar asam urat dalam darah. Hal

tersebut dikarenakan adanya gangguan proses reabsorpsi asam urat pada

ginjal.

Kegemukan sebagai akibat gangguan keseimbangan zat gizi dapat dilihat

dari indikator berat badan normal, yaitu berat badan yang sesuai untuk

tinggi badannya. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memantau berat

badan normal setiap melakukan kunjungan ke posbindu, sehingga dapat

mencegah penyimpangan berat badan dan melakukan penanganannya.

Selain itu, dianjurkan juga untuk melakukan aktivitas fisik yang ringan

seperti berjalan, bersepeda, berkebun, dan melakukan olahraga ringan

seperti yoga dan senam yang dapat membantu menyeimbangkan zat gizi

yang keluar dan yang masuk ke dalam tubuh.


90

6.7 Hubungan Asupan Makan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

6.7.1 Hubungan Asupan Fruktosa dengan Kejadian Terduga


Hiperurisemia

Fruktosa adalah jenis gula paling manis yang dinamakan juga levulosa

atau gula buah. Fruktosa banyak terdapat dalam madu, buah, nektar bunga,

sayur dan juga di dalam minuman ringan (Almatsier, 2001). Asupan

fruktosa seharusnya dibawah 25 gram atau 100 kalori per hari (Jaminet,

2012). Fruktosa termasuk jenis karbohidrat sederhana atau monosakarida

yang mudah dicerna dan cepat menghasilkan energi dan mudah

meningkatkan gula darah. Asupan karbohidrat relatif menurun pada lanjut

usia karena kebutuhan energi juga menurun (Kemenkes, 2014).

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa hanya sebagian kecil yaitu

sebesar 23,7% pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang

tahun 2016 yang memiliki asupan fruktosa berisiko. Asupan fruktosa

berisiko yaitu apabila konsumsi fruktosa lebih dari sama dengan 25 gram

per hari (Jaminet, 2012). Berdasarkan analisis bivariat antara variabel

asupan fruktosa dengan kejadian terduga hiperurisemia menunjukkan bahwa

jumlah pralansia yang mengalami hiperurisemia dan asupan fruktosa yang

berisiko lebih banyak yaitu sebesar (86,4%) dari pada kelompok pralansia

yang mengalami hiperurisemia dan asupan fruktosanya tidak berisiko

(59,2%).

Hasil uji statistik antara asupan fruktosa dengan kejadian terduga

hiperurisemia diperoleh nilai p-value 0,037. Dengan demikian p-value <

0,05 yang berarti terdapat hubungan antara asupan fruktosa dengan kejadian
91

terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian

Zimmermans (2009), Setyoningsih (2009), Luk (2005), dan Nakagawa dkk

(2005) yang menyatakan adanya hubungan asupan fruktosa dengan kejadian

terduga hiperurisemia. Di samping itu, disebutkan bahwa semakin banyak

asupan fruktosa maka kejadian terduga hiperurisemia semakin meningkat.

Karbohidrat sederhana bila dikonsumsi akan segera meningkatkan kadar

glukosa darah dan dapat menyebabkan peningkatan kadar asam urat. Luk

(2005) menyatakan bahwa fruktosa dapat menyebabkan hiperurisemia

karena dapat meningkatkan katabolisme nukleotida adenine. Cirillo dkk

(2006) menjelaskan bahwa fruktosa difosforilasi oleh enzim fruktokinase

atau biasa disebut ketoheksokinase (KHK) menjadi fructose-1-phosphate,

yang menggunakan ATP (adenosine triphosphate) sebagai phosphate donor

dan ATP berubah menjadi AMP. Tingkat fosfat intraseluler yang menurun,

menstimulasi aktivitas AMP (adenosine monophosphate) deaminase 2 untuk

mengonversi AMP menjadi inosine monophpsphate (IMP). IMP kemudian

dimetabolisme menjadi inosin, yang selanjutnya diubah menjadi hipoksantin

dan xantin dengan enzim xantin oksidase menjadi asam urat (Johnson dkk,

2013).

Adapun komponen utama fruktosa yaitu gula seperti di dalam buah, teh

manis, softdrink, kopi susu, pemanis sirup dan bahan makanan manis

lainnya. Mengonsumsi karbohidrat sederhana fruktosa seperti gula, permen,

harum manis, dan gulali juga dapat meningkatkan kadar asam urat dalam

serum (Yenrina, 2014). Pada penelitian ini, ditemukan hasil bahwa asupan
92

fruktosa yang tinggi tersebut (>25 gram per hari) lebih banyak dihasilkan

dari sumber fruktosa yang berasal dari buah-buahan.

Berdasarkan penelitian Rizkalla (2010), asupan kalori yang tinggi dapat

dihasilkan dari asupan fruktosa yang tinggi. Jadi, ketika seseorang memiliki

asupan fruktosa yang tinggi, maka jumlah kalori yang dihasilkan akan

semakin meningkat sehingga dapat mengakibatkan penambahan berat

badan. Oleh karena itu, perlu untuk mengurangi konsumsi sumber makanan

yang mengandung tinggi kalori, misalnya makanan dengan kandungan

lemak tinggi, seperti daging, makanan yang berminyak seperti nasi goreng,

kentang goreng dan makanan bersantan.

6.7.2 Hubungan Asupan Purin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia


Purin banyak diperoleh dari makanan yang kemudian akan dipecah

menjadi asam urat. Diet tinggi purin dapat memicu terjadinya hiperurisemia.

Biasanya terjadi pada orang yang memiliki kelainanan bawaan dalam

metabolisme purin sehingga terjadi peningkatan produksi asam urat (Price

dan Wilson, 2005). Asupan purin dalam makanan normal selama sehari

direkomendasikan kurang dari 500 mg. Makanan yang mengandung kadar

purin tinggi adalah organ-organ dalam dari hewan, termasuk hati dan ginjal,

kulit unggas, sarden, dan lain sebagainya (Talati dkk, 2012).

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa jumlah pralansia yang

memiliki asupan purin berisiko atau kurang dari 500 mg (47,2%) hampir

sama dengan jumlah pralansia yang asupan purinnya tidak berisiko (52,7%).

Berdasarkan analisis bivariat antara variabel asupan purin dengan kejadian


93

terduga hiperurisemia menunjukkan bahwa jumlah pralansia yang

mengalami hiperurisemia dan asupan purin yang berisiko (kurang dari 500

mg) lebih banyak yaitu sebesar (79,5%) dari pada kelompok pralansia yang

mengalami hiperurisemia dan asupan purinnya tidak berisiko (53,1%).

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang

signifikan antara asupan purin dengan kejadian terduga hiperurisemia. Hasil

penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Diantari (2012), Lestari (2014),

Villegas dkk (2012), Lina (2014), dan Astuti (2014) yang menemukan

bahwa asupan purin atau diet purin tinggi berperan dalam peningkatan kadar

asam urat darah atau kejadian hiperurisemia. Semakin tinggi pemasukan zat

purin maka produksi asam urat juga semakin meningkat.

Di dalam bahan makanan, purin terdapat dalam asam nukleat berupa

nukleoprotein. Ketika masuk ke pencernaan usus, nukleat dilepaskan dari

nukleoprotein oleh enzim pencernaan. Kemudian, asam nukleat ini akan

dipecah lagi menjadi mononukleotida oleh enzim ribonuklease,

deoksiribonuklease, dan polinukleotidase. Dari mononukleotida yang

dihidolisis menjadi nukleosida oleh enzim nukleotidase dan fosfatase, tubuh

dapat menyerapnya secara langsung. Sebagian lagi, mononukleotida dipecah

menjadi purin dan pirimidin. Molekul purin kemudian teroksidasi menjadi

asam urat (Murray, 2009).

Molekul purin yang dibentuk menjadi asam urat sebagian besar dari

metabolisme nukleotida purin endogen, yaitu guanosine monophosphate

(GMP), inosine monophosphate (IMP), dan adenosine monophosphate


94

(AMP). Selanjutnya enzim xanthine oxidase mengkatalis hypoxanthine dan

guanine menjadi xanthine, kemudian xanthine dikatalis oleh enzim xanthine

oxidase dengan produk akhir asam urat. Asam urat yang terbentuk

diekskresikan melalui urin. Urin yang memliki pH sangat asam dapat

mengakibatkan pengendapan dalam konsentrasi yang tinggi membentuk

sodium urate. Tingkat asam urat dalam serum yang tinggi atau

hiperurisemia dapat mengakibatkan penyakit gout (Lim, 2007).

Oleh karena itu, perlu menghindari dan membatasi makanan tinggi purin

seperti konsumsi daging, jeroan dan seafood bagi seseorang yang telah

mengalami hiperurisemia atau kadar asam urat yang tinggi untuk membantu

menurunkan kadar asam.

6.7.3 Hubungan Asupan Cairan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia


Total jumlah cairan yang terdapat dalam tubuh cukup besar

dibandingkan dengan zat padat pembentuk tubuh lainnya. Secara umum,

konsentrasi cairan dalam tubuh sekitar 60%. Proporsi ini dapat berbeda-beda

bergantung pada kondisi individu masing-masing (Tamsuri, 2008). Dalam

keseharian, tubuh manusia mendapatkan banyak suplai cairan berasal dari

air putih yang dikonsumsi.

Sistem hidrasi pada pra lanjut usia sudah mulai menurun sehingga

kurang sensitif terhadap kekurangan maupun kelebihan cairan. Akibat

dehidrasi pada pralansia adalah demensia, mudah lupa, kandungan natrium

darah menjadi naik sehingga berisiko terjadi hipertensi. Oleh karena itu

kelompok pralansia perlu asupan cairan yang cukup. Menurut Angka


95

Kecukupan Gizi (AKG) 2012, asupan cairan yang dianjurkan untuk

kelompok pralansia (45-59 tahun) adalah 2600 mL pada laki-laki dan 2300

mL pada perempuan (Kemenkes, 2014).

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa jumlah pralansia yang

memilki asupan cairan berisiko (76,3%) lebih banyak daripada jumlah

pralansia yang asupan cairannya tidak berisiko (23,7%). Berdasarkan

analisis bivariat antara variabel asupan cairan dengan kejadian terduga

hiperurisemia menunjukkan bahwa jumlah pralansia yang mengalami

hiperurisemia dan asupan cairan yang berisiko atau kurang dari 2600 mL

pada laki-laki dan kurang dari 2300 mL pada perempuan lebih banyak yaitu

sebesar (71,8%) daripada kelompok pralansia yang mengalami

hiperurisemia dan asupan cairannya tidak berisiko (45,5%).

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang

signifikan antara asupan cairan dengan kejadian terduga hiperurisemia.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Fajarina (2012) yang

menemukan bahwa asupan cairan berperan dalam penurunan kadar asam

urat darah atau kejadian terduga hiperurisemia. Semakin tinggi pemasukan

cairan maka ekskresi kadar asam urat juga semakin tinggi.

Cairan merupakan media semua reaksi kimia di dalam sel (Almatsier,

2001). Dalam proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh air

mempunyai dua fungsi utama (Irawan, 2007) yaitu sebagai pembawa zat-zat

nutrisi seperti karbohidrat, vitamin, dan mineral serta juga akan berfungsi

sebagai pembawa oksigen (O2) ke dalam sel-sel tubuh. Selain itu, air juga
96

akan berfungsi untuk mengeluarkan produk samping hasil metabolisme

seperti karbondioksida (CO2) dan juga senyawa nitrat.

Konsumsi cairan yang tinggi, terutama dari minuman, dapat membantu

mengeluarkan asam urat sehingga dapat menurunkan kadar asam urat dalam

darah. Selain dari minuman, kandungan cairan yang banyak juga dapat

diperoleh dari sayuran dan buah yang banyak mengandung air seperti

semangka, melon, blewah, bengkuang, belimbing, jambu air, maupun buah

lainnya (Yenrina, 2014).

Cairan merupakan salah satu media pembuangan hasil metabolit tubuh,

termasuk asam urat. Jika seseorang mengonsumsi cairan dalam jumlah

tinggi, reabsorpsi air di ginjal menurun dan ekskresi zat terlarut air

meningkat (Chernoff, 2014). Selanjutnya, konsumsi cairan merupakan salah

satu pemicu kadar asam urat berdasarkan hasil penelitian Fajarina (2011).

Semakin banyak jumlah konsumsi air minum seseorang maka kadar asam

urat dalam darah semakin kecil.

Oleh karena itu, dianjurkan untuk mengkonsumsi air putih minimal 8

gelas sehari untuk membantu ekskresi asam urat lewat urin. Konsumsi

cairan terutama dari air putih harus sesuai kebutuhan, tidak boleh

kekurangan dan tidak boleh kelebihan cairan. Hal ini berhubungan dengan

sistem hidrasi pada usia lanjut yang mulai menurun sehingga kurang sensitif

terhadap kekurangan maupun kelebihan cairan.


7 BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Sebagian besar pralansia (65,6%) di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016 mengalami hiperurisemia.

2. Berdasarkan riwayat keluarga, sebagian besar pralansia (54,8%)

memiliki riwayat keluarga yang mengalami hiperurisemia.

3. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar pralansia (87,1%) memiliki

jenis kelamin perempuan.

4. Berdasarkan aktivitas fisik, sebagian besar pralansia (84,9%) memiliki

aktivitas fisik sedang-rendah.

5. Berdasarkan kegemukan, sebagian besar pralansia (52,7%) mengalami

kegemukan.

6. Berdasarkan asupan fruktosa, sebagian besar pralansia (76,3 %)

memiliki asupan fruktosa tidak berisiko yaitu asupan fruktosa < 25

gram per hari.

7. Berdasarkan asupan purin, sebagian besar pralansia (47,3%) memiliki

asupan purin tidak berisiko yaitu asupan purin < 500 mg per hari.

97
98

8. Berdasarkan asupan cairan, sebagian besar pralansia (76,3%) memiliki

asupan cairan berisiko yaitu asupan cairan < 2300 ml pada wanita; <

2600 ml pada laki-laki.

9. Terdapat hubungan antara faktor riwayat keluarga, kegemukan, asupan

makan (fruktosa, purin dan cairan) dengan kejadian terduga

hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2016.

10. Tidak terdapat hubungan antara faktor jenis kelamin dan aktivitas fisik

dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.


99

7.2 Saran

Saran yang dapat diberikan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian

yang diperoleh adalah sebagai berikut:

A. Bagi Puskesmas Pamulang

Memfasilitasi pelaksanaan pemeriksaan kadar asam urat di setiap

posbindu untuk dapat mendeteksi lebih awal kejadian hiperurisemia

atau gout.

B. Bagi Pralansia di Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

1) Perlu diperhatikan adanya riwayat penyakit dalam keluarga agar

lebih berhati-hati dan menjaga pola makan sehat sehingga dapat

melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan dini agar terhindar

dari risiko hiperurisemia.

2) Bagi pralansia yang memiliki asupan fruktosa dan asupan purin

lebih, perlu untuk mengurangi konsumsi sumber makanan yang

mengandung tinggi kalori, misalnya makanan dengan kandungan

lemak tinggi, seperti daging, makanan yang berminyak seperti nasi

goreng, kentang goreng dan makanan bersantan; dan mengurangi

konsumsi daging, jeroan dan seafood untuk menurunkan kadar asam

urat. Kemudian dianjurkan untuk mengkonsumsi air putih minimal

8 gelas sehari untuk membantu ekskresi asam urat lewat urin.

3) Memantau berat badan normal dan menurunkan berat badan pada

pralansia yang mengalami kegemukan karena penurunan berat

badan secara signifikan juga akan menurunkan kadar asam urat

darah.
100

C. Bagi Peneliti Lain

1) Penggunaan metode FFQ semi kuantitatif mampu menggabungkan

kelebihan dari metode food recall dan FFQ kualitatif sehingga

menjadi salah satu pilihan yang baik bagi penelitian lebih lanjut

untuk menjawab hubungan asupan makan terhadap kejadian

hiperurisemia.

2) Pengukuran variabel obat-obatan tertentu yang dapat berhubungan

dengan kejadian hiperurisemia dapat memperkaya hasil dan

pembahasan penelitian, sehingga penelitian lebih lanjut terhadap

variabel obat-obatan tertentu sangat dianjurkan.

3) Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengetahui hubungan

variabel riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan,

dan asupan makan terhadap penyakit yang disebabkan oleh

hiperurisemia, yaitu gout. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut

tentang gout sangat dianjurkan.


DAFTAR PUSTAKA

Adieni, H. 2008. Asupan Karbohidrat, Lemak, Protein, Makanan Sumber Purin


dan Kadar Asam Urat pada Vegetarian. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang

Ahmad, A. 2016. Sudahkan Anda Mengukur Kadar Asam Urat Anda? (Online).
Tersedia :
http://www.mengobatiasamurat.com/?m=6&id=10&i=Sudahkah%20Anda%
20mengukur%20kadar%20asam%20urat%20Anda%20 (5 Februari 2016)

Ahmad, S., dkk. 2015. Evaluation of Reliability and Validity of the General
Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ) in 60-74 Years Old
Primary Care Patients. Journal BMC Family Practice, 16(113) : 1-9

Almatsier, S. 2001. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Jakarta: EGC

Andry, S. dan A. S. Upoyo. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Kadar Asam Urat Pada Pekerja Kantor di Desa Karang Turi, Kecamatan
Bumiayu, Kabupaten Brebes. Jurnal Keperawatan Soedirman, 4(1): 26-31

Astuti, S. & Tjahjono, H. 2014. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kadar Asam


Urat (Gout) Pada Laki-Laki Dewasa Di Rt 04 Rw 03 Simomulyo Baru
Surabaya. Program Sarjana Keperawatan.

Cirillo, P., dkk. 2006. Uric Acid, The Metabolic Syndrome, and Renal Disease.
Journal of American Society Nephrology, 17(12) : 165-168

Chernoff, R. 2014. Geriatric Nutrition the Health Professional’s Handbook


Fourth Edition. Boston: Jones and Bartlett Publishers

Choi, H.K, Mount DB, dan Reginanto AM. 2005. Pathogenesis of Gout: Annals
of Internal Medicine, 143(7) : 499-516

Choi, H.K, Simin L., dan Gary C. 2005. Intake of Purine-Rich Foods, Protein, and
Dairy Products and Relationship to Serum Levels of Uric Acid. Arthritis
and Rheumatism, 52(1) : 283-289

Dai K.S., dkk. 2004. An Evaluation of Clinical Accuracy of The EasyTouch


Blood Uric Acid Self-Monitoring System. Journal of Clinical Biochemistry,
38(2005) : 278-281

Dalimartha, S. 2008. Resep Tumbuhan Obat Untuk Asam Urat. Jakarta: Penebar
Swadaya

101
102

Diantari, E. 2012. Pengaruh Asupan Purin dan Cairan Terhadap Kadar Asam Urat
Pada Wanita Usia 50-60 Tahun di Kecamatan Gajah Mungkur, Semarang.
Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Semarang

Ekundayo, O.J. 2010. Association between Hyperuricemia and Incident Heart


Failure Among Older Adults: A Propensity-Matched Study. International
Journal Cardiol, 142(3) : 279-287

Erniati. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Diabetes Melitus Tipe 2


pada Lanjut Usia di Pos Pembinaan Terpadu Kelurahan Cempaka Putih
Tahun 2012. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta

Fahmida, U. dan Drupadi HS Dillon. 2007. Handbook Nutritional Assessment.


Jakarta: SEAMEO-TROPMED RCCN UI

Fajarina, E. 2011. Analisis Pola Konsumsi dan Pola Aktivitas dengan Kadar Asam
Urat Pada Lansia Wanita Peserta Pemberdayaan Lansia di Bogor.
Departemen Gizi Mayarakat, Institut Pertanian Bogor

Festy, P., Anis R.H., Afnan A. 2012. Hubungan Antara Pola Makan dengan Kadar
Asam Urat Darah Pada Wanita Post Menopause di Posyandu Lansia
Wilayah Kerja Puskesmas Dr. Soetomo Surabaya. Skripsi. Keperawatan
UM Surabaya Fakultas Ilmu Kesehatan UM Surabaya

Gibson, RS. 2005. Principle of Nutritional Assesment. New York: Oxford


University Press

Ginsberg, B.H. 2009. Factors Affecting Blood Glucose Monitoring: Sources of


Errors in Measurement. Journal of Diabetes Scienceand Technology, 3(4) :
903-913

Grassi, D., dkk. 2013. Chronic Hyperuricemia, Uric Acid Deposit and
Cardiovascular Risk. Current Pharmaceutical Design, 19(13) : 2432-2438

Harahap, H., Yekti W., dan Sri M. 2005. Penggunaan Berbagai Cut-off Indeks
Massa Tubuh Sebagai Indikator Obesitas Terkait Penyakit Degeneratif di
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes

Hsu, C.H. 2006. Calcium and Phosphate Metabolism Management in Chronical


Renal Disease. Michigan: Medical Center The University of Michigan

Hutajulu, H. Mey Sartika. 2012. Hubungan Asupan Makanan dan Faktor Lain
dengan Obesitas pada Pegawai Unit Pelayanan Gizi Pelayanan Kesehatan
St. Carolus Jakarta Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Program Studi Sarjana Gizi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Depok
103

Irawan, M. Anwari. 2007. Cairan Tubuh, Elektrolit & Mineral. Polton Sport
Science and Performance Lab. Journal, 01(01) : 1-6

Jaminet, P. dan Shou-Ching Jaminet. 2012. Perfect Health Diet: Regain Health
and Lose Weight by Eating the Way You Were Meant to Eat.

Johnson, R.J., dkk. 2013. Sugar, Uric Acid, and the Etiology of Diabetes and
Obesity. Journal of Diabetes 62(-) : 3307-3315

Kemenkes RI. 2012. Laporan Riskesdas Tahun 2007 Bidang Biomedis. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI

___________. 2012. Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut Usia. Jakarta: Direktorat


Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak

___________. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan

___________. 2013. Pokok-pokok Hasil Riskesdas Provinsi Banten 2013. Jakarta:


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

___________. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina


Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak

Kertia. 2009. Asam Urat. Yogyakarta: Bintang Pustaka

Kim, S.Y., dkk. 2009. Hyperurisemia and Risk of Stroke: A Systematic Review
and Meta-Analysis. Arthritis Rheum, 61(7) : 885-8892

Krisnatuti, Rina Yenrina. 2006. Perencanaan Menu untuk Penderita Gangguan


Asam Urat. Jakarta: Penebar Swadaya

Lande’eo, L.R., Nita Momonga, dan A. J. M. Rattu. 2014. Hubungan Antara


Asupan Protein dan Riwayat Keluarga Dengan Kadar Asam Urat Pada Staf
Dosen dan Pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam
Ratulangi Manado. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sam Ratulangi. Manado

Lang, Florian. 2009. Encyclopedia of Molecular Mechanism of Disease.


Teubingen: Springer

Lee, Mary. 2009. Basic Skills in Interpreting Laboratory Data. Bethesda:


American Society of Helth-System Pharmacists

Lestari, E., Sugeng M. dan Meilita Dwi Paundrianagari. 2014. Hubungan


Konsumsi Makanan Sumber Purin Dengan Kadar Asam Urat Pada Wanita
Usia 45-59 Tahun di Desa Sanggrahan Kecamatan Kranggan Kabupaten
Temanggung. Skripsi. Program Studi Gizi STIKes Ngudi Waluyo
104

Lim, M.Y. 2007. Crash Course Third Edition: Metabolism and Nutrition. UK:
Elsevier

Lina, N. dan Andik Setiyono. 2014. Analisis Kebiasaan Makan yang


Menyebabkan Peningkatan Kadar Asam Urat. Jurnal Kesehatan Komunitas
Indonesia, 10(2) : 1004-1016

Lingga, L. 2012. Bebas Penyakit Asam Urat Tanpa Obat. Jakarta: AgroMedia
Pustaka

Luk, A.J. dan Peter A.S. 2005. Epidemiology of Hyperuricemia and Gout. The
American Journal of Managed Care. 11(15) : 435-442

Mahan, L.K dan Sylvia Escott-Stump. 2008. Krause’s Food & Nutrition Therapy,
International Edition, 12th ed. USA: Saunders Elsevier

Maidelwita, Y. 2012. Pengaruh Faktor Genetik, Pola Konsumsi dan Aktivitas


Fisik dengan Kejadian Obesitas pada Anak Kelas 4-6 SD SBI Percobaan
Ujung Gurun Padang. Skripsi. Program Studi DIII Kebidanan STIKes
MERCUBAKTIJAYA Padang

Marks, Dawn B. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta:


EGC

Maryam, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika

Modino, Soralla C., dkk. 2015. Hyperuricemia and Metabolic Syndrome in


Children with Overweight and Obesity. Endrocinology Nutrition, 59(9) :
533-538

Murray, Robert K., Daryl K.G., dan Victor W.R. 2009. Biokimia Harper Edisi 27.
Jakarta: EGC

Nahariani, Pepin, Puput Lismawati, Heri Wibowo. 2012. Hubungan antara


Aktivitas Fisik dengan Intensitas Nyeri Sendi pada Lansia di Panti Werdha
Mojopahit Kabupaten Mojokerto. Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang

Nakagawa, Takahiko, dkk. 2005. Fructose-Induced Hyperuricemia as A Casual


Mechanism for The Epidemic of The Metabolic Syndrome. Nature Clinical
Practice Nephrology, 1(2) : 80-86

Nengsi, S.W., Burhanuddin Bahar dan Abdul Salam. 2014. Gambaran Asupan
Purin, Penyakit Atritis Gout, Kualitas Hidup Lanjut Usia di Kecamatan
Tamalanrea. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar

Novia, Yayu, dkk. 2014. Laporan Praktikum Kimia Klinik Pemeriksaan Kadar
Asam Urat. Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Islam. Bandung
105

Offermanns, Stefan dan Walter Rosenthal. 2008. Encyclopedia of Molecular


Pharmacology Second Edition. New York: Springer

Poletto, J., dkk. 2011. Hyperuricemia and Associated Factors: A Cross-Sectional


Study of Japanese-Brazilians. Cad. Saude Publica, 27(2) : 369-378

Prakash, Jai. 2012. Hyperuricemia: A Renal Perspective. India: Elsevier

Price, S. A. dan Wilson L. M. 2006. Patofisiologi – Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC

Purwaningsih, Tinah. 2009. Faktor-Faktor Risiko Hiperurisemia (Studi Umum di


Rumah Sakit Umum Kardinah Kota Tegal). Tesis. Program Mstudi Magister
Epidemiologi Universitas Diponegoro. Semarang

Rizkalla, S.W. 2010. Health Implication of Fructose Consumption: A Review of


Recent Data. Journal of Nutrition & Metabolism, 7(82) : 1-17

Rizky, M.S. 2011. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktivitas Fisk dengan
Fungsi Kognitif pada Lansia di Kelurahan Darat. Tesis. Program Magister
Kedokteran Klinik-Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan

Setyoningsih, Rini. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian


Hiperurisemia Pada Pasien Rawat Jalan RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Skripsi. Program Sarjana Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Semarang

Soeroso, Juwono. 2011. Asam Urat. Jakarta: Penebar Plus

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas


Siwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: EGC

Sukarmin. 2015. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Asam Urat


dalam Darah Pasien Gout di Desa Kedungwinong Sukolilo Pati. The 2nd
University Research Coloquium 2015 STIKES Muhammadiyah. Kudus

Sylvia, Anderson, dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Sun, Sam Z, dkk. 2010. Lack of Association Between Dietary Fructose and
Hyperuricemia Risk in Adults. Nutrition and Metabolism, 7(16) : 1-12

Supariasa, I Dewa Nyoman, Bachyar Bakri, Ibnu Fajar. 2001. Penilaian Status
Gizi. Jakarta: EGC

Talati, J.J, dkk. 2012. Urolithiasis: Basic Science and Clinical Practice.London:
Springer
106

Tamsuri, Anas. 2008. Klien Gangguan Keseimbangan Cairan & Elektrolit.


Jakarta EGC

Utami, Prapti dan Tetty Yulia. 2005. Tanaman Obat Untuk Mengatasi Rematik
dan Asam Urat. Jakarta: AgroMedia Pustaka

Utami, Prapti, dkk. 2009. Solusi Sehat Asam Urat dan Rematik. Jakarta:
Agromedia Pustaka

Villegas, Raquel, dkk. 2012. Prevalence and Determinants of Hyperuricemia in


Middle-Aged, Urban Chinese Men. Metabolic Syndrome and Related
Disorders, 8(3) : 263-270

Villegas, Raquel, dkk. 2012. Purine-rich Foods, Protein Intake, and The
Prevalence of Hyperuricemia: The Sanghai Men’s Health Study. Nutrition
Metabolism Cardiovascular Disease, 22(5) : 409-416

Wijayakusuma, Hembing. 2006. Atasi Rematik dan Asam Urat ala Hembing.
Jakrta: Puspa Swara

WHO. 2016. Obesity. (Online). Tersedia : http://www.who.int/topics/obesity/en/


(26 Februari 2016)

Wong, Ferry. 2011. Panduan Lengkap Pijat. Jakarta: Penebar Plus

Xiong, Z, dkk. 2013. Serum Uric Acid is Associated with Dietary and Lifestyle
Factors in Elderly Women in Sub-Urban Guangzhou in Guangdong
Province of South China. The Journal of Nutrition, Health and Aging,
17(1): 30-34

Yenrina, Rina, Diah Krisnatuti, dan Dini Rasjmida. 2014. Diet Sehat Untuk
Penderita Asam Urat. Jakarta: Penebar Swadaya

You, Lili, dkk. 2014. Prevalence of Hyperuricemia and The Relationship between
Serum Acid Uric and Metabolic Syndrome in The Asian Mongolian Area.
Journal of Atherosclerosis and Thrombosis 21(4) : 355-365

Zimmermans. 2009. Hyperuricemia and Gout. Medicine Health Rhode Island,


92(11) : 350-390
LAMPIRAN

107
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN


TERDUGA HIPERURISEMIA PADA PRALANSIA DI POS PEMBINAAN
TERPADU (POSBINDU) WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAMULANG

TAHUN 2016

Assalamu’alaikum,

Perkenalkan saya Arina Khoirina Mahasiswi Program Studi Kesehatan


Masyarakat Peminatan Gizi 2012, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bermaksud melakukan penelitian mengenai
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016.

Kami berharap Bapak/Ibu bersedia untuk menjadi responden dalam


penelitian ini. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan terjamin kerahasiaannya.
Setelah Bapak/Ibu membaca maksud penelitian di atas, maka saya mohon untuk
mengisi nama dan tanda tangan di bawah ini sebagai persetujuan.

Dengan ini saya bersedia mengikuti penelitian ini dan bersedia mengisi
lembar kuesioner yang telah disediakan di bawah ini.
Tertanda,

Setelah menandatangani pernyataan di atas, saya mohon kesediaan


(............................................)
Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jujur dan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Wassalamu’alaikum.
No. Responden (diisi oleh peneliti) :

IDENTITAS RESPONDEN Diisi


peneliti

IR1 Nama Lengkap

IR2 Jenis Kelamin 0. Laki-laki


1. Perempuan
(lingkari salah satu)

IR3 Usia

IR4 Pekerjaan

IR5 Alamat Rumah

IR6 Pengukuran BB = (kg) IMT =


Antropometri
TB = (cm)

IR7 Apakah Bapak/Ibu mempunyai Ayah Ibu/saudara kandung


yang terdiagnosis memiliki penyakit asam urat oleh
dokter/tenaga kesehatan?

0. Ya

1. Tidak
Lampiran 3
General Practice Physical Activity Questionnaire

A. Sebutkan jenis dan jumlah aktivitas fisik yang melibatkan pekerjaan


Bapak/Ibu (Tandai satu kotak saja)

A1 Pernyataan

Saya tidak bekerja (misalnya pensiun karena alasan kesehatan,


1
menganggur, dll)

Saya habiskan seluruh waktu bekerja saya dengan duduk (seperti


2
dalam sebuah kantor)

Saya habiskan seluruh waktu bekerja saya dengan berdiri atau


berjalan. Namun pekerjaan saya tidak memerlukan kerja fisik yang
3
menegangkan (misalnya penjaga toko, tukang pangkas, satpam,
pengasuh anak, dll)

Pekerjaan saya melibatkan pekerjaan fisik, termasuk menangani


benda-benda yang berat dan menggunakan alat-alat (misalnya
4
tukang pipa, tukang listrik, tukang kayu, perawat rumah sakit,
tukang kebun, pengantar paket pos, dll)

Pekerjaan saya melibatkan aktivitas fisik yang berat, termasuk


5 menangani alat-alat berat (misalnya pekerja bangunan, pengumpul
sampah, dll)
B. Pada minggu lalu, berapa jam Bapak/Ibu menghabiskan waktu di setiap
aktivitas berikut? (Tandai hanya satu kotak pada setiap baris)

<1 1-<3 ≥‎3‎


B Pernyataan Tidak
jam jam jam

B1 Gerak badan seperti berenang,


jogging, aerobic, bola kaki, tenis, 1 2 3 4
berlatih senam

B2 Bersepeda, termasuk bersepeda ke


1 2 3 4
tempat kerja dan di waktu senggang

B3 Jalan kaki, termasuk berjalan ke


1 2 3 4
tempat kerja, jalan-jalan, dll

B4 Bekerja di rumah/menjaga anak 1 2 3 4

B5 Berkebun 1 2 3 4
Lampiran 4

Formulir Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire

Berat
Rata-
rata
Berat (g) Frekuensi Porsi

Porsi S

Tidak Pernah
Bahan Makanan

x/M
x/H

x/H

g/H
x/B
K S B

Sumber Zat Gizi Makro dan Mikro


Makanan Pokok
Nasi putih 200 1 prg sdg
Bubur 400 1 prg sdg
Kentang 200 2 bh sdg
Jagung 50 ½ bh sdg
Roti putih 80 4 iris
Mie basah 80 1 gls
Mie kering 50 1 gls
Bihun 50 ½ gls
Ubi 120 1 prg sdg
Singkong 120 1 prg sdg
Lain-lain:
…………
Lauk Pauk
Daging sapi 35 1 ptg sdg
Daging ayam 45 1 ptg sdg
Telur ayam 55 1 butir
Ikan asin 25 1 ptg sdg
Ikan basah 45 1/3 ekor
Cumi-cumi 45 ½ ekor
Udang segar 35 4 ekor
Kerang 34 4 ekor
Sarden 50 1 ptg sdg
Ati ampela usus 60 1 ptg sdg
Tempe 50 2 ptg sdg
Tahu 110 1 ptg bsr
Lain-lain:
Berat
Rata-
rata
Frekuensi Porsi

Berat (g)

Porsi S

Tidak Pernah
Bahan Makanan

x/M
x/H

x/H

g/H
x/B
K S B

Sayuran
Buncis 50 7 bh
Kacang panjang 50 3 bh
Bayam 50 1 prg
Kangkung 50 1 prg
Sawi putih 50 1 prg
Daun singkong 50 1 prg
Daun melinjo 20 ½ prg
Biji melindo 50 1 prg
Ketimun 50 3 iris
Wortel 50 ½ bh
Terong 50 ½ bh
Labu siam 50 1 ptg sdg
Nangka mentah 50 8 ptg kcl
Kembang kol 100 1 gelas
Kol 50 ⁄ ptg sdg
Lain-lain:
…………
Buah
Alpukat 50 ½ bh bsr
Apel 75 ½ bh bsr
Jeruk manis 107 1 bh sdg
Mangga 90 ½ bh sdg
Melon 75 1 ptg sdg
Nanas 95 ¼ bh sdg
Pepaya 110 1 ptg sdg
Semangka 180 2 ptg
Anggur 125 11 bh
Pir 85 ½ bh
Pisang 60 1 bh
Salak 80 1 bh
Durian 50 3 biji
Lain-lain:
…………
Berat
Rata-
rata
Frekuensi Porsi

Berat (g)

Porsi S

Tidak Pernah
Bahan Makanan

x/M
x/H

x/H

g/H
x/B
K S B

Minyak 5 ½ sdm
Garam 2 ½ sdt
Gula 40 2 sdm
Santan 50 ¼ gls
Minuman
Air putih 200 1 gls sdg
Susu 200 1 gls sdg
Teh 200 1 gls sdg
Kopi 150 1 cgkr
Soft drink 250 1 klg
Lain-lain:
…………
Lampiran 5
Formulir Kadar Asam Urat Darah

NO Nama L/P Usia Kadar Asam Urat Ket


Lampiran 6
(Output Analisis Data Software Komputer)

1. Gambaran Kejadian Terduga Hiperurisemia

Statistics
Kejadian_Hiperurisemia
N Valid 93
Missing 0
Kejadian_Hiperurisemia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Hiperurisemia 61 65.6 65.6 65.6
Normourisemia 32 34.4 34.4 100.0
Total 93 100.0 100.0
2. Gambaran Riwayat Keluarga Responden

Statistics
RiwayatKeluarga
N Valid 93
Missing 0
RiwayatKeluarga
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 51 54.8 54.8 54.8
Tidak 42 45.2 45.2 100.0
Total 93 100.0 100.0
3. Gambaran Jenis Kelamin Responden

Statistics
JK
N Valid 93
Missing 0

JK
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 12 12.9 12.9 12.9
Perempuan 81 87.1 87.1 100.0
Total 93 100.0 100.0
4. Gambaran Aktivitas Fisik
Statistics
Aktivitas_Fisik_
N Valid 93
Missing 0
Aktivitas_Fisik_
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Berisiko 14 15.1 15.1 15.1
Tidak Berisiko 79 84.9 84.9 100.0
Total 93 100.0 100.0

5. Gambaran Kegemukan
Statistics
Kegemukan
N Valid 93
Missing 0
Kegemukan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 49 52.7 52.7 52.7
Tidak 44 47.3 47.3 100.0
Total 93 100.0 100.0

6. Gambaran Asupan Fruktosa


Statistics
Asupan_fruktosa
N Valid 93
Missing 0
Asupan_fruktosa
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Berisiko 22 23.7 23.7 23.7
Tidak Berisiko 71 76.3 76.3 100.0
Total 93 100.0 100.0

7. Gambaran Asupan Purin


Statistics
Asupan_purin
N Valid 93
Missing 0
Asupan_purin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Berisiko 44 47.3 47.3 47.3
Tidak Berisiko 49 52.7 52.7 100.0
Total 93 100.0 100.0
8. Gambaran Asupan Cairan
Statistics
Asupan_cairan
N Valid 93
Missing 0
Asupan_cairan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Berisiko 71 76.3 76.3 76.3
Tidak Berisiko 22 23.7 23.7 100.0
Total 93 100.0 100.0

9. Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia


RiwayatKeluarga * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation
Kejadian_Hiperurisemia
Hiperurisemia Normourisemia Total
RiwayatKeluarga Ya Count 40 11 51
% within RiwayatKeluarga 78.4% 21.6% 100.0%
Tidak Count 21 21 42
% within RiwayatKeluarga 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within RiwayatKeluarga 65.6% 34.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 8.249 1 .004
b
Continuity Correction 7.038 1 .008
Likelihood Ratio 8.323 1 .004
Fisher's Exact Test .005 .004
Linear-by-Linear Association 8.161 1 .004
b
N of Valid Cases 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.45.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
3.636 1.478 8.950
RiwayatKeluarga
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = 1.569 1.122 2.193
Hiperurisemia
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = .431 .236 .790
Normourisemia
N of Valid Cases 93
10. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

JK * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation
Kejadian_Hiperurisemia
Hiperurisemia Normourisemia Total
JK Laki-laki Count 8 4 12
% within JK 66.7% 33.3% 100.0%
Perempuan Count 53 28 81
% within JK 65.4% 34.6% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within JK 65.6% 34.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .007 1 .933
b
Continuity Correction .000 1 1.000
Likelihood Ratio .007 1 .933
Fisher's Exact Test 1.000 .604
Linear-by-Linear Association .007 1 .933
b
N of Valid Cases 93
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.13.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for JK (Laki-laki /
1.057 .292 3.818
Perempuan)
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = 1.019 .663 1.567
Hiperurisemia
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = .964 .410 2.266
Normourisemia
N of Valid Cases 93

11. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

Aktivitas_Fisik_ * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation

Kejadian_Hiperurisemia

Hiperurisemia Normourisemia Total


Aktivitas_Fisik_ Berisiko Count 8 6 14
% within Aktivitas_Fisik_ 57.1% 42.9% 100.0%
Tidak Berisiko Count 53 26 79
% within Aktivitas_Fisik_ 67.1% 32.9% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Aktivitas_Fisik_ 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a
.521 1 .470
b
Continuity Correction .174 1 .677
Likelihood Ratio .508 1 .476
Fisher's Exact Test .546 .332
Linear-by-Linear Association .516 1 .473
b
N of Valid Cases 93
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.82.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for
Aktivitas_Fisik_ (Berisiko / .654 .205 2.082
Tidak Berisiko)
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = .852 .527 1.375
Hiperurisemia
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = 1.302 .658 2.575
Normourisemia
N of Valid Cases 93

12. Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

Kegemukan * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation


Kejadian_Hiperurisemia
Hiperurisemia Normourisemia Total
Kegemukan Ya Count 38 11 49
% within Kegemukan 77.6% 22.4% 100.0%
Tidak Count 23 21 44
% within Kegemukan 52.3% 47.7% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Kegemukan 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 6.564 1 .010
b
Continuity Correction 5.491 1 .019
Likelihood Ratio 6.636 1 .010
Fisher's Exact Test .016 .009
Linear-by-Linear Association 6.493 1 .011
b
N of Valid Cases 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.14.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kegemukan
3.154 1.289 7.716
(Ya / Tidak)
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = 1.484 1.077 2.043
Hiperurisemia
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = .470 .257 .862
Normourisemia
N of Valid Cases 93

13. Hubungan Asupan Fruktosa dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

Asupan_fruktosa * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation


Kejadian_Hiperurisemia
Hiperurisemia Normourisemia Total
Asupan_fruktosa Berisiko Count 19 3 22
% within Asupan_fruktosa 86.4% 13.6% 100.0%
Tidak Berisiko Count 42 29 71
% within Asupan_fruktosa 59.2% 40.8% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Asupan_fruktosa 65.6% 34.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 5.509 1 .019
b
Continuity Correction 4.370 1 .037
Likelihood Ratio 6.171 1 .013
Fisher's Exact Test .021 .015
Linear-by-Linear Association 5.450 1 .020
b
N of Valid Cases 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.57.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Asupan_fruktosa (Berisiko / 4.373 1.184 16.148
Tidak Berisiko)
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = 1.460 1.132 1.884
Hiperurisemia
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = .334 .112 .991
Normourisemia
N of Valid Cases 93
14. Hubungan Asupan Purin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

Asupan_purin * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation


Kejadian_Hiperurisemia
Hiperurisemia Normourisemia Total
Asupan_purin Berisiko Count 35 9 44
% within Asupan_purin 79.5% 20.5% 100.0%
Tidak Berisiko Count 26 23 49
% within Asupan_purin 53.1% 46.9% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Asupan_purin 65.6% 34.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 7.205 1 .007
b
Continuity Correction 6.079 1 .014
Likelihood Ratio 7.401 1 .007
Fisher's Exact Test .009 .006
Linear-by-Linear Association 7.127 1 .008
b
N of Valid Cases 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.14.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Asupan_purin
3.440 1.367 8.656
(Berisiko / Tidak Berisiko)
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = 1.499 1.107 2.030
Hiperurisemia
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = .436 .227 .838
Normourisemia
N of Valid Cases 93

15. Hubungan Asupan Cairan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia

Asupan_cairan * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation


Kejadian_Hiperurisemia
Hiperurisemia Normourisemia Total
Asupan_cairan Berisiko Count 51 20 71
% within Asupan_cairan 71.8% 28.2% 100.0%
Tidak Berisiko Count 10 12 22
% within Asupan_cairan 45.5% 54.5% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Asupan_cairan 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 5.177 1 .023
b
Continuity Correction 4.075 1 .044
Likelihood Ratio 4.988 1 .026
Fisher's Exact Test .038 .023
Linear-by-Linear Association 5.122 1 .024
b
N of Valid Cases 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.57.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Asupan_cairan (Berisiko / 3.060 1.142 8.200
Tidak Berisiko)
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = 1.580 .977 2.555
Hiperurisemia
For cohort
Kejadian_Hiperurisemia = .516 .303 .880
Normourisemia
N of Valid Cases 93
Kadar
IMT Kegemukan Riwayat Aktivitas Fruktosa Asupan Purin Asupan Cairan Asupan Asam Kejadian
No Nama JK A B
Keluarga Fisik Fruktosa Purin Cairan Urat Hiperurisemia
1 Ponirah 1 30.8 0 0 3 2 1 30.2 0 640.7 0 2202.9 0 7.3 0
2 ati s 1 26.9 0 1 3 2 1 20.5 1 500.0 0 2642.3 1 4.7 1
3 sapni 0 19.2 1 1 1 2 1 22.5 1 638.7 0 2105.1 0 5.9 1
4 ina agus 1 24.0 1 1 3 3 0 16.3 1 442.1 1 2528.5 1 3.1 1
5 djoko M 0 22.9 1 1 4 3 0 16.5 1 438.1 1 2268.6 0 3.4 1
6 lurina 1 22.1 1 0 1 2 1 37.3 0 632.5 0 2289.6 0 12.2 0
7 nani mul 1 21.8 1 0 3 3 0 26.8 0 636.2 0 2587.3 1 5.9 0
8 masitoh 1 21.0 1 1 3 3 0 26.4 0 403.6 1 2388.7 1 4.8 1
9 titi tab 1 24.0 1 0 3 3 0 28.6 0 491.6 1 2533.1 1 7.6 0
10 mariah 1 26.6 0 1 1 2 1 19.8 1 537.8 0 2327.3 1 5.7 1
11 saribano 1 16.0 1 1 1 2 1 23.1 1 805.2 0 2806.9 1 4.9 1
12 sri budi 1 20.7 1 1 3 2 1 25.3 0 541.9 0 2880.4 1 3.2 1
13 mulyani 1 22.5 1 0 3 2 1 9.8 1 612.6 0 1805.8 0 8.1 0
14 simpen 0 26.2 0 0 1 2 1 22.1 1 348.4 1 2622.3 1 10.3 0
15 ati 1 25.3 0 0 1 2 1 17.2 1 394.6 1 2695.3 1 8.7 0

125
Kadar
IMT Kegemukan Riwayat Aktivitas Fruktosa Asupan Purin Asupan Cairan Asupan Asam Kejadian
No Nama JK A B
Keluarga Fisik Fruktosa Purin Cairan Urat Hiperurisemia
16 suprihat 1 26.6 0 0 1 2 1 10.1 1 522.9 0 1632.5 0 7.3 0
17 sumiati 1 25.6 0 0 3 2 1 20.7 1 694.1 0 1879.5 0 7.7 0
18 rubiyem 1 23.1 1 1 3 3 0 22.0 1 577.2 0 1843.5 0 5.8 0
19 muminatu 1 21.1 1 0 3 2 1 30.6 0 498.1 1 1978.1 0 7.9 0
20 wati 1 26.0 0 0 3 3 0 15.7 1 368.3 1 2480.2 1 8.8 0
21 yeyet su 1 21.8 1 1 1 2 1 24.3 1 409.1 1 2305.6 1 4.9 1
22 nuning 1 20.8 1 1 3 2 1 18.0 1 630.4 0 1940.1 0 9.1 0
23 umar 0 25.6 0 0 3 2 1 25.5 0 542.8 0 1932.0 0 8.2 0
24 sukatmi 1 21.9 1 0 1 2 1 20.4 1 474.5 1 1919.4 0 13.8 0
25 asiah 1 23.7 1 1 1 2 1 15.5 1 398.9 1 2071.9 0 5.6 1
26 hirni 0 24.0 1 0 1 2 1 17.3 1 579.7 0 1917.4 0 8.2 0
27 nani 1 27.8 0 0 3 2 1 16.0 1 389.1 1 2230.4 0 8.8 0
28 samiyah 1 27.1 0 0 3 2 1 18.1 1 448.7 1 1872.0 0 7.5 0
29 poniati 1 31.2 0 0 3 2 1 16.4 1 675.3 0 1992.3 0 7.0 0
30 heriyant 1 25.7 0 0 1 3 1 15.3 1 465.5 1 1866.4 0 9.2 0
Kadar
IMT Kegemukan Riwayat Aktivitas Fruktosa Asupan Purin Asupan Cairan Asupan Asam Kejadian
No Nama JK A B
Keluarga Fisik Fruktosa Purin Cairan Urat Hiperurisemia
31 erpi 1 24.9 1 0 1 2 1 15.3 1 353.7 1 1766.3 0 7.3 0
32 nafsiah 1 29.1 0 1 1 2 1 16.4 1 487.8 1 1917.5 0 7.9 0
33 karnilaw 1 23.1 1 1 3 2 1 12.8 1 369.1 1 2176.8 0 4.6 1
34 sudarman 0 25.0 0 1 3 3 0 12.4 1 490.8 1 2727.0 1 6.5 1
35 harti 1 35.6 0 1 1 2 1 20.4 1 487.0 1 1969.2 0 11.3 0
36 aminah 1 21.9 1 1 3 2 1 14.6 1 556.5 0 1672.5 0 8.4 0
37 purwanit 1 22.2 1 1 1 2 1 15.8 1 424.7 1 1738.7 0 5.6 1
38 gunawan 0 24.0 1 1 3 2 1 15.0 1 2051.0 0 2130.9 0 9.9 0
39 asnih 1 22.1 1 1 1 2 1 14.9 1 425.0 1 2649.5 1 5.3 1
40 mahdi 0 30.5 0 0 3 2 1 19.2 1 378.5 1 2085.5 0 10.9 0
41 salbiah 1 26.2 0 1 1 2 1 22.6 1 328.5 1 1899.9 0 7.9 0
42 sopiah 1 21.1 1 0 3 2 1 19.2 1 431.3 1 1704.3 0 6.3 0
43 maman z 0 25.7 0 0 4 2 0 17.1 1 481.4 1 1849.9 0 12.1 0
44 Fahyati 1 27.8 0 1 3 2 1 18.0 1 409.7 1 1685.7 0 5.2 1
45 Marsinah 1 27.9 0 0 3 2 1 15.1 1 550.8 0 1730.2 0 9.7 0
Kadar
IMT Kegemukan Riwayat Aktivitas Fruktosa Asupan Purin Asupan Cairan Asupan Asam Kejadian
No Nama JK A B
Keluarga Fisik Fruktosa Purin Cairan Urat Hiperurisemia
46 sakem 1 21.1 1 1 3 2 1 18.2 1 512.5 0 1800.8 0 4.3 1
47 asep 0 26.4 0 0 4 1 1 17.3 1 410.9 1 1793.4 0 9.7 0
48 namio 0 29.4 0 0 3 2 1 14.9 1 337.7 1 2113.3 0 8.2 0
49 maya 1 19.5 1 0 1 2 1 19.1 1 484.4 1 1867.5 0 7.9 0
50 eka yuni 1 26.4 0 0 1 2 1 21.6 1 463.9 1 2197.1 0 9.4 0
51 halimah 1 20.8 1 1 2 2 1 14.2 1 395.1 1 1861.3 0 3.2 1
52 nurhayat 1 26.2 0 1 1 2 1 20.0 1 599.1 0 1868.8 0 9.6 0
53 jelita 1 23.9 1 1 1 2 1 26.0 0 539.1 0 2098.0 0 3.1 1
54 sulastri 1 27.4 0 0 3 2 1 18.1 1 482.1 1 2318.5 1 3.4 1
55 ivon 1 34.4 0 1 1 2 1 26.9 0 516.4 0 2086.6 0 12.7 0
56 nani 1 26.2 0 0 3 3 0 22.0 1 425.8 1 2034.5 0 5.4 1
57 nurhayat 1 21.8 1 0 1 2 1 19.0 1 465.1 1 2378.9 1 4.9 1
58 syarif 0 18.9 1 0 3 2 1 21.7 1 547.6 0 2523.5 0 5.7 1
59 zailis 1 21.8 1 1 3 2 1 25.0 0 553.5 0 2125.6 0 7.6 0
60 sukartin 1 26.3 0 0 2 2 1 19.7 1 427.7 1 2401.2 1 4.9 1
Kadar
IMT Kegemukan Riwayat Aktivitas Fruktosa Asupan Purin Asupan Cairan Asupan Asam Kejadian
No Nama JK A B
Keluarga Fisik Fruktosa Purin Cairan Urat Hiperurisemia
61 rahani 1 21.0 1 1 1 2 1 26.1 0 518.6 0 2111.9 0 7.3 0
62 sumiyati 1 24.7 1 0 3 2 1 20.4 1 381.5 1 2007.9 0 4.7 1
63 surip 1 16.6 1 1 1 2 1 25.9 0 578.8 0 2078.8 0 8.2 0
64 nurul 1 20.8 1 1 3 3 0 25.1 0 558.2 0 2153.0 0 11.3 0
65 wice 1 27.8 0 0 3 2 1 25.8 0 529.3 0 2204.1 0 9.4 0
66 kasidh 1 27.1 0 1 3 2 1 11.1 1 564.2 0 1763.7 0 5.9 0
67 surani 1 23.1 1 0 1 2 1 16.6 1 602.0 0 2218.0 0 6.5 0
68 yanti 1 29.2 0 0 3 2 1 17.1 1 511.5 0 2222.6 0 7.4 0
69 isah 1 27.6 0 1 3 3 0 28.7 0 571.8 0 2687.5 1 8.0 0
70 asmi 1 31.2 0 0 3 3 0 21.9 1 468.2 1 2036.4 0 4.1 1
71 rustiah 1 30.4 0 0 1 2 1 27.5 0 586.8 0 2133.3 0 8.2 0
72 bonita 1 24.9 1 1 3 2 1 26.1 0 521.0 0 2482.3 1 12.1 0
73 saimah 1 28.9 0 0 3 2 1 21.4 1 474.0 1 2047.0 0 4.8 1
74 nunung 1 25.8 0 1 3 3 0 25.7 0 542.8 0 2636.0 1 9.7 0
75 juju 1 24.4 1 0 3 2 1 16.4 1 438.7 1 2287.6 0 5.2 1
Kadar
IMT Kegemukan Riwayat Aktivitas Fruktosa Asupan Purin Asupan Cairan Asupan Asam Kejadian
No Nama JK A B
Keluarga Fisik Fruktosa Purin Cairan Urat Hiperurisemia
76 sartini 1 23.7 1 0 3 2 1 11.7 1 394.5 1 2151.4 0 5.7 1
77 Ita 1 24.4 0 1 1 2 1 25.3 0 600.4 0 2109.9 0 11.2 0
78 sadiyah 1 30.1 0 0 1 2 1 25.0 0 518.5 0 2156.8 0 10.7 0
79 tahyati 1 28.4 0 0 3 2 1 22.6 1 619.3 0 2412.4 1 11.5 0
80 marsinem 1 27.8 0 0 1 2 1 23.7 1 623.7 0 1888.7 0 12.2 0
81 atik 1 22.5 1 1 3 2 1 21.7 1 436.8 1 1803.6 0 3.2 1
82 halimah 1 26.8 0 0 3 2 1 15.5 1 416.2 1 1640.5 0 6.7 0
83 sopiah 1 25.9 0 0 3 2 1 14.0 1 416.6 1 1622.4 0 6.4 0
84 mariah 1 26.9 0 1 3 2 1 23.8 1 350.7 1 1898.2 0 12.1 0
85 purwanit 1 21.9 1 1 3 2 1 21.9 1 431.5 1 1932.6 0 4.0 1
86 zahara 1 26.8 0 1 3 2 1 9.7 1 473.7 1 1542.0 0 8.8 0
87 maryam 1 23.1 1 0 3 2 1 15.9 1 602.0 0 1619.7 0 10.7 0
88 suprihat 1 27.9 0 1 3 2 1 17.1 1 428.7 1 2222.6 0 7.7 0
89 salbiah 1 21.2 1 0 3 2 1 28.7 0 571.8 0 2287.5 0 8.2 0
90 rubiyah 1 25.3 0 1 1 2 1 10.3 1 643.0 0 1775.6 0 4.6 1
Kadar
IMT Kegemukan Riwayat Aktivitas Fruktosa Asupan Purin Asupan Cairan Asupan Asam Kejadian
No Nama JK A B
Keluarga Fisik Fruktosa Purin Cairan Urat Hiperurisemia
91 mariah 1 28.3 0 0 3 2 1 14.8 1 465.6 1 2050.2 0 5.7 1
92 karni 1 27.0 0 0 1 2 1 15.0 1 408.6 1 2257.9 0 7.1 0
93 jahara 1 20.0 1 0 3 2 1 17.8 1 584.2 0 2369.9 1 7.8 0

Anda mungkin juga menyukai