Anda di halaman 1dari 14

uberkulosis

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian


Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi
dalam artikel ini boleh digunakan hanya untuk penjelasan ilmiah, bukan untuk
diagnosis diri dan tidak dapat menggantikan diagnosis medis.
Perhatian: Informasi dalam artikel ini bukanlah resep atau nasihat
medis. Wikipedia bukan pengganti dokter.
Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat berkonsultasilah dengan tenaga
kesehatan profesional.

Tuberkulosis

Hasil Sinar-X dada seorang penderita Tuberkulosis tingkat lanjut.

Panah putih menunjukkan adanya infeksi pada kedua belah paru-paru.

Panah hitam menunjukkan adanya lubang yang sudah terbentuk.

Klasifikasi dan rujukan luar

Spesialisasi Penyakit infeksi

ICD-10 A15.–A19.

ICD-9-CM 010–018

OMIM 607948

DiseasesDB 8515
MedlinePlus 000077 000624

eMedicine med/2324 emerg/618radio/411

Patient UK Tuberkulosis

MeSH D014376

[sunting di Wikidata]

Tuberkulosis (Tuberculosis, disingkat Tbc), atau Tb (singkatan dari "Tubercle bacillus")


merupakan penyakit menular yang umum, dan dalam banyak kasus bersifat mematikan. Penyakit ini
disebabkan oleh berbagai strain mikobakteria, umumnya Mycobacterium tuberculosis (disingkat
"MTb" atau "MTbc").[1] Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru, tetapi juga bisa berdampak
pada bagian tubuh lainnya. Tuberkulosis menyebar melalui udara ketika seseorang dengan infeksi
TB aktif batuk, bersin, atau menyebarkan butiran ludah mereka melalui udara.[2] Infeksi TB umumnya
bersifat asimtomatikdan laten. Namun hanya satu dari sepuluh kasus infeksi laten yang berkembang
menjadi penyakit aktif. Bila Tuberkulosis tidak diobati maka lebih dari 50% orang yang terinfeksi bisa
meninggal.
Gejala klasik infeksi TB aktif yaitu batuk kronis dengan bercak darah sputum atau
dahak, demam, berkeringat di malam hari, danberat badan turun. (dahulu TB disebut penyakit
"konsumsi" karena orang-orang yang terinfeksi biasanya mengalami kemerosotan berat badan.)
Infeksi pada organ lain menimbulkan gejala yang bermacam-macam. Diagnosis TB aktif bergantung
pada hasilradiologi (biasanya melalui sinar-X dada) serta pemeriksaan mikroskopis dan
pembuatan kultur mikrobiologis cairan tubuh. Sementara itu, diagnosis TB laten bergantung
pada tes tuberkulin kulit/tuberculin skin test (TST) dan tes darah. Pengobatan sulit dilakukan dan
memerlukan pemberian banyak macam antibiotik dalam jangka waktu lama. Orang-orang yang
melakukan kontak juga harus menjalani tes penapisan dan diobati bila perlu. Resistensi
antibiotik merupakan masalah yang bertambah besar pada infeksituberkulosis resisten multi-
obat (TB MDR). Untuk mencegah TB, semua orang harus menjalani tes penapisan penyakit tersebut
dan mendapatkan vaksinasi basil Calmette–Guérin.
Para ahli percaya bahwa sepertiga populasi dunia telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,[3] dan infeksi
baru terjadi dengan kecepatan satu orang per satu detik.[3] Pada tahun 2007, diperkirakan ada 13,7
juta kasus kronis yang aktif di tingkat global.[4] Pada tahun 2010, diperkirakan terjadi pertambahan
kasus baru sebanyak 8.8 juta kasus, dan 1,5 juta kematian yang mayoritas terjadi di negara
berkembang.[5] Angka mutlak kasus Tuberkulosis mulai menurun semenjak tahun 2006, sementara
kasus baru mulai menurun sejak tahun 2002.[5] Tuberkulosis tidak tersebar secara merata di seluruh
dunia. Dari populasi di berbagai negara di Asia dan Afrika yang melakukan tes tuberkulin, 80%-nya
menunjukkan hasil positif, sementara di Amerika Serikat, hanya 5–10% saja yang menunjukkan
hasil positif.[1] Masyarakat di dunia berkembang semakin banyak yang menderita Tuberkulosis
karena kekebalan tubuh mereka yang lemah. Biasanya, mereka mengidap Tuberkulosis akibat
terinfeksi virus HIV dan berkembang menjadi AIDS.[6] Pada tahun 1990-an Indonesia berada pada
peringkat-3 dunia penderita TB, tetapi keadaan telah membaik dan pada tahun 2013 menjadi
peringkat-5 dunia.
Daftar isi

 1Tanda-tanda dan gejala


o 1.1TB paru
o 1.2TB ekstra paru
 2Penyebab
o 2.1Mikobakteria
o 2.2Faktor-faktor Risiko
 3Mekanisme
o 3.1Penularan
o 3.2Patogenesis
 4Diagnosis
o 4.1Tuberkulosis Aktif
o 4.2Tuberkulosis laten
 5Pencegahan
o 5.1Vaksin
o 5.2Kesehatan masyarakat
 6Penanganan
o 6.1Kasus baru
o 6.2Penyakit kambuh
o 6.3Resistensi obat
 7Prognosa
 8Epidemiologi
 9Sejarah
 10Masyarakat dan budaya
 11Riset
 12Penyakit pada hewan
 13Referensi

Tanda-tanda dan gejala[sunting | sunting sumber]

Gejala utama jenis dan stadium TB ditunjukkan dalam gambar. [7] Banyak gejala yang tumpang tindih dengan jenis
lain, tetapi ada pula gejala yang hanya spesifik (tapi tidak seluruhnya) pada jenis tertentu. Beragam jenis bisa muncul
secara bersamaan.

Dari kelompok yang bukan pengidap HIV namun kemudian terinfeksi Tuberkulosis, 5-10% di
antaranya menunjukkan perkembangan penyakit aktif selama masa hidup mereka.[8] Sebaliknya, dari
kelompok yang terinfeksi HIV dan juga terinfeksi Tuberkulosis, ada 30% yang menunjukkan
perkembangan penyakit aktif.[8] Tuberkulosis dapat menginfeksi bagian tubuh mana saja, tapi paling
sering menginfeksi paru-paru (dikenal sebagai Tuberkulosis paru).[9] Bila Tuberkulosis berkembang
di luar paru-paru, maka disebut TB ekstra paru. TB ekstra paru juga bisa timbul bersamaan dengan
TB paru.[9] Tanda dan gejala umumnya antara lain demam, menggigil, berkeringat di malam
hari,hilangnya nafsu makan, berat badan turun, dan lesu.[9] Dapat pula terjadijari tabuh yang
signifikan.[8]
TB paru[sunting | sunting sumber]
Bila infeksi Tuberkulosis yang timbul menjadi aktif, sekitar 90%-nya selalu melibatkan paru-
paru.[6][10] Gejala-gejalanya antara lain berupanyeri dada dan batuk berdahak yang berkepanjangan.
Sekitar 25% penderita tidak menunjukkan gejala apapun (yang demikian disebut
"asimptomatik").[6] Kadangkala, penderita mengalami sedikit batuk darah. Dalam kasus-kasus
tertentu yang jarang terjadi, infeksi bisa mengikis ke dalam arteri pulmonalis, dan menyebabkan
pendarahan parah yang disebut Aneurisma Rasmussen. Tuberkulosis juga bisa berkembang
menjadi penyakit kronis dan menyebabkan luka parut luas di bagian lobus atas paru-paru. Paru-paru
atas paling sering terinfeksi.[9] Alasannya belum begitu jelas.[1] Kemungkinan karena paru-paru atas
lebih banyak mendapatkan aliran udara[1] atau bisa juga karena drainase limfa yang kurang baik
pada paru bagian atas.[9]
TB ekstra paru[sunting | sunting sumber]
Dalam 15–20% kasus aktif, terjadi penyebaran infeksi hingga ke luar organ pernapasan dan
menyebabkan TB jenis lainnya.[11] TB yang terjadi di luar organ pernapasan disebut "tuberkulosis
ekstra paru".[12] TB ekstra paru umumnya terjadi pada orang dewasa dengan imunosupresi dan
anak-anak. TB ekstra paru muncul pada 50% lebih kelompok pengidap HIV.[12] Lokasi TB ekstra paru
yang bermakna termasuk: pleura (pada TB pleuritis), sistem saraf pusat (pada meningitisTB),
dan sistem kelenjar getah bening (padaskrofuloderma leher). TB ekstra paru juga dapat terjadi
di sistem urogenital (yaitu pada Tuberkulosis urogenital) dan pada tulang dan persendian (yaitu
pada penyakit Pott tulang belakang). Bila TB menyebar ke tulang maka dapat disebut "TB
tulang",[13] yang merupakan salah satu bentuk osteomielitis.[1] Ada lagi TB yang lebih serius yaitu TB
yang menyebar luas dan disebut sebagai TB diseminata, atau biasanya dikenal dengan
nama Tuberkulosis Milier.[9] Di antara kasus TB ekstra paru, 10%-nya biasanya merupakan TB
Milier.[14]

Penyebab[sunting | sunting sumber]


Mikobakteria[sunting | sunting sumber]

Hasil pindai mikrograf elektronMycobacterium tuberculosis


Penyebab utama penyakit TB adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu sejenis basil aerobik kecil
yang non-motil.[9] Berbagai karakter klinis unik patogen ini disebabkan oleh tingginya
kandungan lemak/lipid yang dimilikinya.[15] Sel-selnya membelah setiap 16 –20 jam. Kecepatan
pembelahan ini termasuk lambat bila dibandingkan dengan jenis bakteri lain yang umumnya
membelah setiap kurang dari satu jam.[16] Mikobakteria memiliki lapisan ganda membran
luar lipid.[17] Bila dilakukan uji pewarnaan Gram, maka MTB akan menunjukkan pewarnaan "Gram-
positif" yang lemah atau tidak menunjukkan warna sama sekali karena kandungan lemak dan asam
mikolat yang tinggi pada dinding selnya.[18] MTB bisa tahan terhadap berbagai disinfektan lemah dan
dapat bertahan hidup dalam kondisi kering selama berminggu-minggu. Di alam, bakteri hanya dapat
berkembang dalam sel inang organisme tertentu, tetapi M. tuberculosis bisa dikultur
dilaboratorium.[19]
Dengan menggunakan pewarnaan histologis pada sampel dahak yang diekspektorat, peneliti dapat
mengidentifikasi MTB melalui mikroskop (dengan pencahayaan) biasa. (Dahak juga disebut
"sputum"). MTB mempertahankan warna meskipun sudah diberi perlakukan larutan asam, sehingga
dapat digolongkan sebagai Basil Tahan Asam (BTA).[1][18] Dua jenis teknik pewarnaan asam yang
paling umum yaitu: teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen, yang akan memberi warna merah terang pada
bakteri BTA bila diletakkan pada latar biru,[20] dan teknik pewarnaan auramin-rhodamin lalu dilihat
dengan mikroskop fluoresen.[21]
Kompleks M. tuberculosis (KMTB) juga termasuk mikobakteria lain yang juga menjadi penyebab
TB: M. bovis, M. africanum, M. canetti, dan M. microti.[22] M. africanum tidak menyebar luas, tetapi
merupakan penyebab penting Tuberkulosis di sebagian wilayah Afrika.[23][24] M. bovis merupakan
penyebab umum Tuberkulosis, tetapi pengenalan susu pasteurisasi telah berhasil memusnahkan
jenis mikobakterium yang selama ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara-negara
berkembang ini.[1][25] M. canettimerupakan jenis langka dan sepertinya hanya ada di kawasan Tanduk
Afrika, meskipun beberapa kasus pernah ditemukan pada kelompok emigran Afrika.[26][27] M.
microti juga merupakan jenis langka dan seringkali ditemukan pada penderita yang mengalami
imunodefisiensi, meski demikian, patogen ini kemungkinan bisa bersifat lebih umum dari yang kita
bayangkan.[28]
Mikobakteria patogen lain yang juga sudah dikenal antara lain M. leprae, M. avium, dan M. kansasii.
Dua jenis terakhir masuk dalam klasifikasi "Mikobakteria non-tuberkulosis" (MNT). MNT tidak
menyebabkan TB atau lepra, tetapi menyebabkan penyakit paru-paru lain yang mirip TB.[29]
Faktor-faktor Risiko[sunting | sunting sumber]
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa orang lebih rentan terhadap infeksi TB. Di
tingkat global, faktor risiko paling penting adalah HIV; 13% dari seluruh kasus TB ternyata terinfeksi
juga oleh virus HIV.[5] Masalah ini umum ditemukan di kawasan sub-Sahara Afrika, yang angka HIV-
nya tinggi.[30][31] Tuberkulosis terkait erat dengan kepadatan penduduk yang berlebihan serta gizi
buruk. Keterkaitan ini menjadikan TB sebagai salah satu penyakit kemiskinan utama.[6] Orang-orang
yang memiliki risiko tinggi terinfeksi TB antara lain: orang yang menyuntik obat terlarang, penghuni
dan karyawan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang rentan (misalnya, penjara dan tempat
penampungan gelandangan), orang-orang miskin yang tidak memiliki akses perawatan kesehatan
yang memadai, minoritas suku yang berisiko tinggi, dan para pekerja kesehatan yang melayani
orang-orang tersebut.[32] Penyakit paru-paru kronis adalah faktor risiko penting
lainnya. Silikosis meningkatkan risiko hingga 30 kali lebih besar.[33] Orang-orang
yang merokok memiliki risiko dua kali lebih besar terkena TB dibandingkan yang tidak
merokok.[34] Adanya penyakit tertentu juga dapat meningkatkan risiko berkembangnya Tuberkulosis,
antara lain alkoholisme/kecanduan alkohol[6] dan diabetes mellitus (risikonya tiga kali lipat).[35] Obat-
obatan tertentu, seperti kortikosteroid dan infliximab (antibodi monoklonal anti-αTNF) juga
merupakan faktor risiko yang semakin penting, terutama di kawasan dunia
berkembang.[6] Meskipun kerentanan genetik[36] juga bisa berpengaruh, tetapi para peneliti belum
menjelaskan sampai sejauh mana peranannya.[6]
Mekanisme[sunting | sunting sumber]

Kampanye kesehatan masyarakat pada tahun 1920-an untuk menghentikan penyebaran TB.

Penularan[sunting | sunting sumber]


Ketika seseorang yang mengidap TB paru aktif batuk, bersin, bicara, menyanyi, atau meludah,
mereka sedang menyemprotkan titis-titisaerosol infeksius dengan diameter 0.5 hingga 5 µm. Bersin
dapat melepaskan partikel kecil-kecil hingga 40,000 titis.[37] Tiap titis bisa menularkan penyakit
Tuberkulosis karena dosis infeksius penyakit ini sangat rendah. (Seseorang yang menghirup kurang
dari 10 bakteri saja bisa langsung terinfeksi).[38]
Orang-orang yang melakukan kontak dalam waktu lama, dalam frekuensi sering, atau selalu
berdekatan dengan penderita TB, berisiko tinggi ikut terinfeksi, dengan perkiraan angka infeksi
sekitar 22%.[39] Seseorang dengan Tuberkulosis aktif dan tidak mendapatkan perawatan dapat
menginfeksi 10-15 (atau lebih) orang lain setiap tahun.[3] Biasanya, hanya mereka yang menderita
TB aktif yang dapat menularkan penyakit ini. Orang-orang dengan infeksi laten diyakini tidak
menularkan penyakitnya.[1] Kemungkinan penyakit ini menular dari satu orang ke orang lain
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain jumlah titis infeksius yang
disemprotkan oleh pembawa, efektivitas ventilasi lingkungan tempat tinggal, jangka waktu paparan,
tingkat virulensistrain M. tuberculosis, dan tingkat kekebalan tubuh orang yang tidak
terinfeksi.[40] Untuk mencegah penyebaran berlapis dari satu orang ke orang lainnya, pisahkan
orang-orang dengan TB aktif ("nyata") dan masukkan mereka dalam rejimen obat anti-TB. Setelah
kira-kira dua minggu perawatan efektif, orang-orang dengan infeksi aktif yang non-resisten biasanya
sudah tidak menularkan penyakitnya ke orang lain.[39] Bila ternyata kemudian ada yang terinfeksi,
biasanya perlu waktu tiga sampai empat minggu hingga orang yang baru terinfeksi itu menjadi
cukup infeksius untuk menularkan penyakit tersebut ke orang lain.[41]
Patogenesis[sunting | sunting sumber]
Sekitar 90% orang yang terinfeksi M. tuberculosis mengidap infeksi TB laten yang
bersifat asimtomatik, (kadang disebut LTBI/Latent TB Infections).[42] Seumur hidup, orang-orang ini
hanya memiliki 10% peluang infeksi latennya berkembang menjadi penyakit Tuberkulosis aktif yang
nyata.[43] Risiko TB pada pengidap HIV untuk berkembang menjadi penyakit aktif meningkat sekitar
10% setiap tahunnya.[43] Bila tidak diberi pengobatan yang efektif, maka angka kematian TB aktif
bisa mencapai lebih dari 66%.[3]
Infeksi TB bermula ketika mikobakteria masuk ke dalam alveoli paru, lalu menginvasi dan
bereplikasi di dalam endosom makrofag alveolus.[1][44] Lokasi primer infeksi di dalam paru-paru yang
dikenal dengan nama "fokus Ghon", terletak di bagian atas lobus bawah, atau di bagian
bawah lobus atas.[1] Tuberkulosis paru dapat juga terjadi melalui infeksi aliran darah yang dikenal
dengan nama fokus Simon. Infeksi fokus Simon biasanya ditemukan di bagian atas paru-
paru.[45] Penularan hematogen (melalui pembuluh darah) ini juga dapat menyebar ke lokasi-lokasi
lain seperti nodus limfa perifer, ginjal, otak dan tulang.[1][46] Tuberkulosis berdampak pada seluruh
bagian tubuh, meskipun belum diketahui kenapa penyakit ini jarang sekali menyerang jantung, otot
skeletal, pankreas, atau tiroid.[47]
Tuberkulosis digolongkan sebagai salah satu penyakit yang menyebabkan radang granulomatosa.
Sel-sel seperti Makrofag, limfosit T, limfosit B, dan fibroblast saling bergabung
membentuk granuloma. Limfosit mengepung makrofag-makrofag yang terinfeksi. Granuloma
mencegah penyebaran mikobakteria dan menyediakan lingkungan khusus bagi interaksi sel-sel
lokal di dalam sistem kekebalan tubuh. Bakteri yang berada di dalam granuloma menjadi dorman
lalu menjadi sumber infeksi laten. Ciri khas lain granuloma adalah membentuk kematian sel
abnormal (nekrosis) di pusat tuberkel. Dilihat dengan mata telanjang, nekrosis memiliki tekstur
halus, berwarna putih keju dan disebut nekrosis kaseosa.[48]
Bakteri TB bisa masuk ke dalam aliran darah dari area jaringan yang rusak itu. Bakteri-bakteri
tersebut kemudian menyebar ke seluruh tubuh dan membentuk banyak fokus-fokus infeksi, yang
tampak sebagai tuberkel kecil berwarna putih di dalam jaringan.[49] Penyakit TB yang sangat parah
ini disebut tuberkulosis milier. Jenis TB ini paling umum terjadi pada anak-anak dan penderita
HIV.[50] Angka fatalitas orang yang mengidap TB diseminata seperti ini cukup tinggi meskipun sudah
mendapatkan pengobatan (sekitar 30%).[14][51]
Pada banyak orang, infeksi ini sering hilang timbul. Perusakan jaringan dan nekrosis seringkali
seimbang dengan kecepatan penyembuhan dan fibrosis.[48] Jaringan yang terinfeksi berubah menjadi
parut dan lubang-lubangnya terisi dengan material nekrotik kaseosa tersebut. Selama masa aktif
penyakit, beberapa lubang ini ikut masuk ke dalam saluran udara bronkhi dan material nekrosis tadi
bisa terbatukkan. Material ini mengandung bakteri hidup dan dapat menyebarkan infeksi.
Pengobatan menggunakan antibiotikyang sesuai dapat membunuh bakteri-bekteri tersebut dan
memberi jalan bagi proses penyembuhan. Saat penyakit sudah sembuh, area yang terinfeksi
berubah menjadi jaringan parut.[48]

Diagnosis[sunting | sunting sumber]


Tuberkulosis Aktif[sunting | sunting sumber]
Sangat sulit mendiagnosis Tuberkulosis aktif hanya berdasarkan tanda-tanda dan gejala saja.[52] Sulit
juga mendiagnosis penyakit ini pada orang-orang dengan imunosupresi.[53]Meski demikian, orang-
orang yang menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka memiliki penyakit paru-paru atau gejala
konstitusional yang berlangsung lebih dari dua minggu maka bisa jadi orang tersebut tertular
TB.[53] Gambar sinar X dada dan pembuatan beberapa kultur sputum untuk basil tahan
asam biasanya menjadi salah satu bagian evaluasi awal.[53] Uji pelepasan interferon-γ (IGRAs) dan
tes kulit tuberkulin tidak optimal diterapkan di dunia berkembang.[54][55] IGRA memiliki kelemahan
yang serupa bila diterapkan pada penderita HIV.[55][56]
Diagnosis yang tepat untuk TB dilakukan ketika bakteri “M. tuberculosis” ditemukan dalam sampel
klinis (misalnya, dahak, nanah, atau biopsi jaringan). Namun, proses kultur organisme yang lambat
pertumbuhannya ini membutuhkan waktu dua hingga enam minggu untuk kultur darah dan dahak
saja.[57] Oleh karena itu, pengobatan seringkali dilakukan sebelum hasil kultur selesai.[58]
Tes amplifikasi asam nukleat dan uji adenosin deaminase dapat lebih cepat mendiagnosis
TB.[52] Meski demikian, tes ini tidak direkomendasikan secara rutin karena jarang sekali mengubah
cara pengobatan penderita.[58] Tes darah untuk mendeteksi antibodi tidak
begitu spesifik atau sensitif, sehingga tes ini juga tidak direkomendasikan.[59]
Tuberkulosis laten[sunting | sunting sumber]

Tes kulit tuberkulin Mantoux.

Tes kulit tuberkulin Mantoux sering digunakan sebagai penapisan bagi seseorang dengan risiko TB
tinggi.[53] Orang yang pernah diimunisasi sebelumnya dapat memberikan hasil tes positif yang
palsu.[60] Hasil tes dapat memberikan negatif palsu pada orang yang menderita sarkoidosis, Limfoma
Hodgkin, dan malagizi. Yang terpenting, hasil tes dapat negatif palsu pada orang yang menderita
tuberkulosis aktif.[1] Interferon gamma release assays (IGRAs) untuk sampel darah
direkomendasikan pada orang dengan hasil tes Mantoux positif.[58] IGRAs tidak dipengaruhi oleh
imunisasi ataupun sebagian besar mikobakteri dari lingkungan, sehingga mereka memunculkan
hasil tes positif palsu yang lebih sedikit.[61] Bagaimanapun mereka dipengaruhi oleh “M. szulgai,” “M.
marinum,” and “M. kansasii.”[62] IGRAs dapat meningkatkan sensitivitas bila digunakan sebagai tes
tambahan selain tes kulit. Tetapi IGRAs menjadi kurang sensitif dibandingkan tes kulit apabila
digunakan sendirian.[63]

Pencegahan[sunting | sunting sumber]


Usaha untuk mencegah dan mengontrol tuberkulosis bergantung pada vaksinasi bayi dan deteksi
serta perawatan untuk kasus aktif.[6] The World Health Organization (WHO) telah berhasil mencapai
sejumlah keberhasilan dengan regimen pengobatan yang dimprovisasi, dan sudah terdapat
penurunan kecil dalam jumlah kasus.[6]
Vaksin[sunting | sunting sumber]
Sejak tahun 2011, satu-satunya vaksin yang tersedia adalah bacillus Calmette–Guérin (BCG).
Walaupun BCG efektif melawan penyakit yang menyebar pada masa kanak-kanak, masih terdapat
perlindungan yang inkonsisten terhadap TB paru.[64] Namun, ini adalah vaksin yang paling umum
digunakan di dunia, dengan lebih dari 90% anak-anak yang mendapat vaksinasi.[6] Bagaimanapun,
imunitas yang ditimbulkan akan berkurang setelah kurang lebih sepuluh tahun.[6] Tuberkulosis tidak
umum di sebagian besar Kanada, Inggris Raya, dan Amerika Serikat, jadi BCG hanya diberikan
kepada orang dengan risiko tinggi.[65][66][67] Satu alasan vaksin ini tidak digunakan adalah karena
vaksin ini menyebabkan tes kulit tuberlulin memberikan positif palsu, sehingga tes ini tidak
membantu dalam penyaringan penyakit.[67] Jenis vaksin baru masih sedang dikembangkan.[6]
Kesehatan masyarakat[sunting | sunting sumber]
World Health Organization (WHO) mendeklarasikan TB sebagai "emergensi kesehatan global pada
tahun 1993.[6] Tahun 2006, Kemitraan Stop TB mengembangkan gerakanRencana Global Stop
Tuberkulosis yang ditujukan untuk menyelamatkan 14 juta orang pada tahun 2015.[68] Jumlah yang
telah ditargetkan ini sepertinya tidak akan tercapai pada tahun 2015, sebagian besar disebabkan
oleh kenaikan penderita HIV dengan tuberkulosis dan munculnya resistensi tuberkulosis multi-obat
(multiple drug-resistant tuberculosis, MDR-TB).[6] Klasifikasi tuberkulosis yang dikembangkan
oleh American Thoracic Society pada umumnya digunakan dalam program kesehatan
masyarakat.[69]
Karena kuman TB ada di mana-mana termasuk di Mal, Kantor dan tentunya juga di Rumah Sakit,
maka pencegahan yang paling efektif adalah Gaya Hidup untuk menunjang Ketahanan Tubuh kita:

 Cukup gizi, jangan telat makan


 Cukup istirahat, jika lelah istirahat dulu
 Jangan Stres Fisik, lelah berlebihan
 Jangan Stres Mental, berusahalah berpikir positif dan legowo (bisa menerima)

Penanganan[sunting | sunting sumber]


Pengobatan TB menggunakan antibiotik untuk membunuh bakterinya. Pengobatan TB yang efektif
ternyata sulit karena struktur dan komposisi kimia dinding sel mikobakteri yang tidak biasa. Dinding
sel menahan obat masuk sehingga menyebabkan antibiotik tidak efektif.[70] Dua jenis antibiotik yang
umum digunakan adalah isoniazid danrifampicin, dan pengbatan dapat berlangsung berbulan-
bulan.[40] Pengobatan TB laten biasanya menggunakan antibiotik tunggal.[71] Penyakit TB aktif
sebaiknya diobati dengan kombinasi beberapa antibiotik untuk menurunkan risiko berkembangnya
bakteri yang resisten terhadap antibiotik.[6] Pasien dengan infeksi laten juga diobati untuk mencegah
munculnya TB aktif di kehidupan selanjutnya.[71] WHO merekomendasikan directly observed
therapy atau terapi pengawasan langsung, dimana seorang pengawas kesehatan mengawasi
penderita meminum obatnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah penderita yang tidak
meminum obat antibiotiknya dengan benar.[72] Bukti yang mendukung terapi pengawasan langsung
secara independen kurang baik.[73] Namun, metode dengan cara mengingatkan penderita bahwa
pengobatan itu penting ternyata efektif.[74]
Kasus baru[sunting | sunting sumber]
Rekomendasi tahun 2010 untuk pengobatan kasus baru tuberkulosis paru adalah kombinasi
antibiotik selama enam bulan. Rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, dan ethambutoluntuk dua bulan
pertama, dan hanya rifampicin dan isoniazid untuk empat bulan selanjutnya.[6] Apabila resistensi
terhadap isoniazid tinggi, ethambutol dapat ditambahkan untuk empat bulan terakhir sebagai
alternatif.[6]
Penyakit kambuh[sunting | sunting sumber]
Bila tuberkulosis kambuh, lakukan tes untuk menentukan jenis antibiotik yang sensitif sebelum
menentukan pengobatan.[6] Jika multiple drug-resistant TB (MDR-TB) terdeteksi, direkomdendasikan
pengobatan dengan paling tidak empat jenis antibiotik efektif selama 8–24 bulan.[6]
Resistensi obat[sunting | sunting sumber]
Resistensi primer muncul saat seseorang terinfeksi jenis TB resisten. Seorang dengan TB yang
rentan dapat mengalami resistensi sekunder (didapat) pada saat terapi. Seseorang juga dapat
mengalami perkembangan resistensi karena pengobatan yang tidak adekuat, jika obat yang
diresepkan tidak dipakai dengan sesuai (karena tidak patuh), atau karena obat yang digunakan
berkualitas rendah.[75] TB dengan resistensi obat merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
serius di negara yang sedang berkembang. Pengobatan untuk TB yang resisten terhadap obat akan
berlangsung lebih lama dan memerlukan obat yang lebih mahal. MDR-TB (Mulitple Drugs
Resistance-TB) sering didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua obat yang paling efektif dalam
lini pertama pengobatan TB: rifampicin and isoniazid. Extensively drug-resistant TB juga resisten
terhadap tiga atau lebih dari enam kelas pengobatan lini kedua.[76] TB resisten obat total adalah
resistensi terhadap semua jenis obat yang selama ini digunakan. TB dengan resisten total terhadap
obat pertama kali ditemukan pada tahun 2003 di Italia, tetapi hal ini tidak pernah dilaporkan hingga
tahun 2012.[77] Sekarang ini ada kecenderungan untuk mengetahui terlebih dahulu apa betul yang
menginfeksi adalah bakteri TB atau bakteri lainnya dan obat apa saja yang masih mempan, oleh
karenanya perlu dilakukan kultur bakteri terlebih dulu sebelum dilakukan pengobatan. Pada tahun
2007, WHO merekomendasikan penggunaan media cair untuk kultur bakteri TB agar lebih akurat
dan membutuhkan waktu hingga 40 hari.[78]

Prognosa[sunting | sunting sumber]


Perkembangan dari infeksi TB menjadi penyakit TB yang nyata muncul saat basil mengalahkan
pertahanan sistem imun dan mulai memperbanyak diri. Pada penyakit TB primer (sejumlah 1–5%
dari kasus), perkembangan ini muncul segera setelah infeksi awal.[1] Namun, pada kebanyakan
kasus, suatu Infeksi laten muncul tanpa gejalan yang nyata.[1]Kuman yang dorman ini menghasilkan
tuberkulosis aktif pada 5–10% dari kasus laten ini, dan pada umumnya baru akan muncul bertahun-
tahun setelah infeksi.[8]
Risiko reaktivasi meningkat sebagai akibat imunosupresi, seperti misalnya disebabkan oleh infeksi
HIV. Pada orang yang juga terinfeksi oleh “M. tuberculosis” dan HIV, risiko adanya reaktivasi
meningkat hingga 10% per tahun.[1] Studi yang menggunakan sidik DNA dari galur “M.
tuberculosis”menunjukkan bahwa infeksi kembali menyebabkan kambuhnya TB lebih sering dari
yang diperkirakan.[79] Infeksi kembali dapat dihitung lebih dari 50% kasus dimana TB biasa
ditemukan.[80] Peluang terjadinya kematian karena tuberkulosis adalah kurang lebih 4% pada tahun
2008, turun dari 8% pada tahun 1995.[6]

Epidemiologi[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2007, prevalensi TB per 100.000 orang tertinggi di Afrika sub-Sahara, dan relatif tinggi di Asia.[81]

Kurang lebih sepertiga dari populasi dunia pernah terinfeksi “M. tuberculosis.” Satu infeksi baru
muncul setiap detik dalam skala global.[3]Bagaimanapun, kebanyakan infeksi oleh “M. tuberculosis”
tidak menyebabkan penyakit TB,[82] dan 90–95% dari infeksi tetap asimptomatik.[42] Pada tahun 2007,
diperkirakan ada 13,7 juta kasus kronis aktif.[83] Pada tahun 2010, terdapat 8,8 juta kasus baru TB
yang didiagnosis, dan 1,45 juta kematian, kebanyakan dari jumlah ini terjadi di negara-negara
berkembang.[5] Dari seluruh 1,45 juta kematian, sekitar 0.35 juta terjadi pada penderita yang juga
terinfeksi HIV.[84]
Tuberkulosis merupakan penyebab umum kematian yang kedua yang disebabkan oleh infeksi
(setelah kematian oleh HIV/AIDS).[9] Angka pasti dari kasus tuberkulosis ("prevalensi") sudah
menurun sejak tahun 2005. Kasus tuberkulosis baru ("kejadian") telah menurun sejak tahun
2002.[5] Cina khususnya telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Cina telah menurunkan laju
kematian akibat TB mendekati 80% antara tahun 1990 dan 2010.[84] Tuberkulosis lebih umum
muncul di negara berkembang. Kurang lebih 80% dari populasi di berbagai negara Asia dan Afrika
memberikan tes tuberkulin positif, tetapi hanya 5–10% dari populasi di AS memberikan hasil tes
positif.[1] Para ahli berharap bahwa TB dapat dikendalikan secara penuh. Bagaimanapun, sejumlah
faktor menyebabkan pengendalian TB menjadi tidak mungkin. Vaksin yang efektif sangat sulit
dikembangkan. Sangat mahal dan memakan waktu lama untuk mendiagnosis penyakitnya.
Pengobatan memerlukan waktu beberapa bulan. Lebih banyak orang yang terinfeksi HIV menderita
TB. TB yang resisten terhadap obat muncul pada tahun 1980an.[6]
Angka tahunan laporan kasus baru TB. Data dari WHO.[85]

Pada tahun 2007, negara dengan perkiraan tingkat insiden tertinggi adalah Swaziland, dengan
1.200 kasus per 100.000 orang. India memiliki total insiden terbesar, dengan estimasi 2,0 juta kasus
baru.[83] Di negara maju, tuberculosis tidak umum dan kebanyakan ditemukan di wilayah urban. Pada
tahun 2010, laju TB per 100.000 orang di berbagai tempat di dunia adalah: di dunia 178, Afrika 332,
Amerika 36, Mediterania Timur 173, Eropa 63, Asia Tenggara 278, dan Pacifik Barat 139.[84] Di
Kanada dan Australia, tuberkulosis seringkali lebih umum terdapat di antara penduduk aborigin,
terutama di wilayah yang terpencil.[86][87] Di Amerika Serikat, para Aborigin mengalami laju mortalitas
akibat TB lima kali lebih besar.[88]
Insiden TB bervariasi sesuai usia. Di Afrika, hal ini utamanya mempengaruhi penduduk berusia
antara 12dan 18 tahun dan dewasa muda.[89] Bagaimanapun, di negara yang laju insidennya sudah
menurun dengan tajam (seperti Amerika Serikat), TB umumnya merupakan penyakit pada orang
yang lebih tua dan mereka dengan sistem imun rentan.[1][90]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Mumi Mesir di British Museum – sisa pembusukan tuberkulosis ditemukan di spina mumi-mumi Mesir.

Tuberculosis sudah ada dalam kehidupan manusia sejak zaman kuno.[6] Deteksi paling awal “M.
tuberculosis” terdapat pada bukti adanya penyakit tersebut di dalam bangkai bison yang berasal dari
sekira 17.000 tahun lalu.[91] Namun, tidak ada kepastian apakah tuberkulosis berasal dari sapi
(bovin), yang kemudian ditularkan ke manusia, atau apakah tuberkulosis tersebut bercabang dari
nenek moyang yang sama.[92] Para ilmuwan yakin bahwa manusia terkena MTBC dari binatang
selama proses penjinakan. Namun, gen “Micobacterium tuberculosis” complex (MTbC) pada
manusia telah dibandingkan dengan MTbC pada binatang, dan teori tersebut telah terbukti salah.
Galur bakteri tuberkulosis memiliki nenek moyang yang sama, yang sebenarnya bisa menginfeksi
manusia sejak Revolusi Neolitik.[93] Sisa kerangka menunjukkan bahwa manusia prasejarah
(4000 Sebelum Masehi) mengidap TB. Para peneliti menemukan pembusukan tuberkulosis di dalam
tulang spina mumi-mumi Mesir dari tahun 3000–2400 SM.[94] "Phthisis" berasal dari bahasa Yunani
yang artinya “konsumsi,” yakni istilah kuno untuk tuberkulosis paru.[95] Sekira 460
SM, Hippocrates mengidentifikasi bahwa phthisis adalah penyakit yang paling mudah menular pada
saat itu. Orang dengan phthisis mengalami demam dan batuk darah. Phthisis hampir selalu
berakibat fatal.[96] Penelitian gen menunjukkan bahwa TB telah ada di Amerika dari sekira tahun 100
AD.[97]
Sebelum Revolusi Industri, cerita rakyat seringkali menghubungkan tuberkulosis dengan vampir.
Jika seorang anggota keluarga meninggal karena TB, kesehatan anggota keluarga lainnya dari
orang yang terinfeksi tersebut perlahan-lahan menurun. Masyarakat percaya bahwa orang pertama
yang terkena TB menguras jiwa anggota keluarga lainnya.[98]
Jenis TB paru yang dikaitkan dengan tuberkel ditetapkan sebagai patologi oleh Dr Richard
Morton pada 1689.[99][100] Namun, TB memiliki berbagai gejala, sehingga TB tidak diidentifikasi
sebagai satu jenis penyakit hingga akhir 1820-an. TB belum dinamakan tuberkulosis hingga 1839
oleh J. L. Schönlein.[101] Selama tahun 1838–1845, Dr. John Croghan, pemilik Gua Mammoth,
membawa mereka yang terkena TB ke dalam gua dengan harapan menyembuhkan penyakit
tersebut dengan suhu konstan dan kemurnian udara di dalam gua: mereka meninggal setelah satu
tahun di dalam gua.[102] Hermann Brehmer membuka sanatorium pertama pada 1859 di Sokołowsko,
Polandia.[103]

Dr. Robert Koch menemukan basil tuberkulosis.

Basilus yang menyebabkan tuberkulosis, “Mycobacterium tuberculosis,” diidentifikasi dan dijelaskan


pada 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Dia menerima Hadiah Nobel bidang fisiologi atau
kedokteran pada 1905 atas penemuan ini.[104] Koch tidak percaya bahwa penyakit tuberkulosis pada
sapi (ternak) dan manusia adalah penyakit yang serupa. Keyakinan ini menunda pengakuan bahwa
susu yang terinfeksi menjadi sumber infeksi. Kemudian, risiko penularan dari sumber ini sangat jauh
berkurang karena penemuan proses pasteurisasi. Koch mengumumkan ekstrak gliserindari basil
tuberkulosis sebagai "obat" untuk tuberkulosis pada 1890. Dia menamakannya “tuberkulin.”
Meskipun “tuberkulin” tidak efektif, tuberkulin diadaptasi sebagai tes penapisan untuk mengetahui
adanya tuberkulosis prasimtomatik.[105]
Albert Calmette dan Camille Guérin menerima kesuksesan pertama dalam imunisasi anti
tuberkulosis pada 1906. Mereka menggunakan tuberkulosis galur bovin di-atenuasi, dan vaksin
tersebut dinamakan BCG (basil Calmette dan Guérin). Vaksin BCG pertama kali digunakan pada
manusia pada 1921 di Prancis.[106] Namun, vaksin BCG baru diterima secara luas di AS, Inggris,
dan Jerman setelah Perang Dunia II.[107]
Tuberkulosis menimbulkan kekhawatiran masyarakat pada abad ke-19 dan pada awal abad ke-20
sebagai penyakit endemik masyarakat miskin di perkotaan. Pada 1815, satu di antara empat
kematian di Inggris disebabkan oleh "konsumsi." Pada 1918, satu di antara enam kematian di
Prancis disebabkan oleh TB. Setelah para ilmuwan menetapkan bahwa penyakit tersebut menular
pada 1880-an, TB dimasukkan ke penyakit wajib lapor di Inggris. Kampanye dimulai agar orang-
orang berhenti meludah di tempat umum dan orang miskin yang terinfeksi penyakit tersebut
‘didorong’ untuk masuk sanatorium yang menyerupai rumah tahanan. (Sanatorium untuk kelas
menengah ke atas menawarkan perawatan yang luar biasa dan pemeriksaan medis terus-
menerus.) [103] Sanatorium tersebut seharusnya memberi manfaat "udara bersih" dan pekerjaan.
Namun bahkan dalam kondisi terbaik, 50% pasien di dalamnya meninggal setelah lima tahun (“ca.”
1916).[103]
Di Eropa, angka tuberkulosis mulai meningkat pada awal 1600-an. Angka kasus TB mencapai
puncak tertingginya di Eropa pada 1800-an ketika penyakit ini menyebabkan hampir 25% dari
keseluruhan kasus kematian.[108] Angka kematian kemudian menurun hingga hampir mencapai 90%
pada 1950-an.[109] Peningkatan kesehatan masyarakat secara signifikan mengurangi angka
tuberkulosis bahkan sebelum streptomisin dan antibiotik lainnya digunakan. Namun, penyakit
tersebut masih merupakan ancaman yang serius bagi kesehatan masyarakat. Ketika Konsil
Penelitian Medis dibentuk di Inggris pada 1913, fokus awalnya adalah penelitian tuberkulosis.[110]
Pada 1946, pengembangan antibiotik streptomisin mewujudkan pengobatan dan penyembuhan
efektif untuk TB. Sebelum obat ini diperkenalkan, pengobatan satu-satunya (kecuali sanatorium)
adalah intervensi bedah. “Teknik pneumotoraks" membuat paru-paru yang terinfeksi kolaps dan
memberikan "jeda" sehingga lesi akibat tuberkulosis mulai sembuh.[111] Kemunculan MDR-TB
kembali menjadikan pembedahan sebagai opsi dalam standar tatalaksana untuk perawatan infeksi
TB. Intervensi bedah saat ini meliputi pengangkatan kavitas ("bula") patologis di dalam paru-paru
untuk mengurangi jumlah bakteri dan meningkatkan pajanan obat bagi bakteri yang masih ada di
dalam aliran darah. Intervensi ini secara bersamaan mengurangi jumlah bakteri total dan
meningkatkan efektivitas terapi antibiotik sistemik.[112] Meskipun para ahli mengharapkan agar TB
dapat diberantas sepenuhnya (bandingkan cacar), munculnya galur resistensi obat pada 1980-an
membuat pemberantasan TB menjadi sulit. Kemunculan kembali tuberkulosis mendorong deklarasi
emergensi kesehatan global yang dibuat oleh WHO pada 1993.[113]

Masyarakat dan budaya[sunting | sunting sumber]


World Health Organization dan Yayasan Bill and Melinda Gates memberi subsidi untuk tes diagnosis
cepat yang baru (fast-acting diagnostic test) untuk digunakan di negara berpendapatan rendah dan
menengah.[114][115] Sejak 2011, banyak tempat miskin yang hanya memiliki akses ke mikroskopi
sputum (pemeriksaan dahak menggunakan mikroskop).[116]
Pada 2010, India memiliki jumlah kasus TB tertinggi di dunia. Satu penyebabnya adalah karena
pengelolaan penyakit yang buruk oleh sektor pelayanan kesehatan swasta. Program-program
seperti Program kontrol TB nasional terevisi membantu untuk mengurangi jumlah TB di antara
orang-orang yang menerima layanan kesehatan masyarakat.[117][118]

Riset[sunting | sunting sumber]


Vaksin BCG memiliki keterbatasan, dan riset untuk mengembangkan vaksin TB baru masih
berjalan.[119] Sejumlah calon potensial saat ini dalam uji klinis fase I dan II.[119] Dua pendekatan utama
dalam uji klinis berusaha untuk memperbaiki kemanjuran efikasi vaksin yang ada. Satu pendekatan
melibatkan penambahan vaksin sub-unit ke BCG. Strategi lainnya mencoba untuk menciptakan
vaksin baru dan vaksin hidup yang lebih baik.[119]MVA85A adalah contoh dari vaksin sub-unit yang
sedang diuji-cobakan di Afrika Selatan. MVA85A didasarkan pada virus vaccinia yang dimodifikasi
secara genetik.[120] Harapannya vaksin akan berperan secara signifikan dalam perawatan penyakit
laten dan aktif.[121]
Untuk mendorong penemuan lebih lanjut, para peneliti dan pembuat kebijakan memperkenalkan
model baru yang lebih murah untuk pegembangan vaksin, termasuk hadiah, insentif pajak,
dan komitmen pasar lanjutan.[122][123] Beberapa kelompok dilibatkan dalam riset, termasuk Kemitraan
Stop TB,[124] the South African Tuberculosis Vaccine Initiative, and the Aeras Global TB Vaccine
Foundation.[125] Aeras Global TB Vaccine Foundation menerima hibah lebih dari $280 juta (AS)
dari Bill and Melinda Gates Foundation untuk mengembangkan dan melisensi vaksin yang lebih baik
untuk melawan tuberkulosis agar dapat digunakan di negara-negara dengan beban yang
tinggi.[126][127]

Penyakit pada hewan[sunting | sunting sumber]


Mikrobakteria menginfeksi banyak binatang yang berbeda-beda, termasuk unggas,[128] binatang
pengerat,[129] dan reptil.[130] Subspesies Mycobacterium tuberculosis jarang muncul pada binatang
liar.[131] Penyakit tuberkulosis pada hewan di antaranya yaitu tuberkulosis unggas yang
disebabkan Mycobacterium avium, tuberkulosis sapi yang disebabkan oleh Mycobacterium bovis,
serta penyakit Johne yang disebabkan oleh Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis.

Referensi[sunting | sunting sumber]


1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN (2007).Robbins Basic
Pathology (edisi ke-8th). Saunders Elsevier. hlm. 516–522. ISBN 978-1-4160-2973-1.
2. ^ Konstantinos A (2010). "Testing for tuberculosis". Australian Prescriber. 33 (1): 12–18.
3. ^ a b c d e "Tuberculosis Fact sheet N°104". World Health Organization. November 2010. Diakses
tanggal 26 July 2011.
4. ^ World Health Organization (2009). "Epidemiology" (PDF). Global tuberculosis control:
epidemiology, strategy, financing. hlm. 6–33. ISBN 978-92-4-156380-2. Diakses tanggal 12
November 2009.
5. ^ a b c d e World Health Organization (2011). "The sixteenth global report on tuberculosis" (PDF).
6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v Lawn, SD (2 July 2011). "Tuberculosis". Lancet. 378(9785): 57–
72. doi:10.1016/S0140-6736(10)62173-3. PMID 21420161.
7. ^ Schiffman G (15 January 2009). "Tuberculosis Symptoms". eMedicineHealth.
8. ^ a b c d al.], edited by Peter G. Gibson ; section editors, Michael Abramson ... [et
(2005). Evidence-based respiratory medicine (edisi ke-1. publ.). Oxford: Blackwell.
hlm. 321. ISBN 978-0-7279-1605-1.
9. ^ a b c d e f g h Dolin, [edited by] Gerald L. Mandell, John E. Bennett, Raphael (2010).Mandell,
Douglas, and Bennett's principles and practice of infectious diseases (edisi ke-7th). Philadelphia,
PA: Churchill Livingstone/Elsevier. hlm. Chapter 250. ISBN 978-0-443-06839-3.
10. ^ Behera, D. (2010). Textbook of pulmonary medicine (edisi ke-2nd ed.). New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Pub. hlm. 457. ISBN 978-81-8448-749-7.
11. ^ Jindal, editor-in-chief SK. Textbook of pulmonary and critical care medicine. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. hlm. 549. ISBN 978-93-5025-073-0.
12. ^ a b Golden MP, Vikram HR (2005). "Extrapulmonary tuberculosis: an overview".American family
physician. 72 (9): 1761–8. PMID 16300038.
13. ^ Kabra, [edited by] Vimlesh Seth, S.K. (2006). Essentials of tuberculosis in children

Anda mungkin juga menyukai