Anda di halaman 1dari 4

H2 O

Keterdapatan air dalam magma terjadi dalam dua bentuk yaitu bentuk molekular
(H2O) dan ion hidroksil (OH-) (Schminke, 2003) dimana proporsi relatif dari keduanya sangat
bergantung pada total konsentrasi air (Wallace & Anderson, 2000). Pada konsentrasi air
terlarut yang rendah, biasanya semua air akan terbentuk sebagai ion hidroksil OH-, sebaliknya
ketika konsentrasi air terlarut dalam magma meningkat maka proporsi relatif dari molekul
H2O juga akan mengalami peningkatan (Wallace & Anderson, 2000). Kehadiran air dalam
magma dicerminkan oleh kristalisasi mineral-mineral yang mengandung ion OH-seperti
amfibol dan mika (Schminke, 2003).
Solubilitas dari H2O pada magma sangat ditentukan oleh tekanan, temperatur dan
komposisi magma dimana solubilitas ini akan meningkat dengan naiknya tekanan,
menurunnya temperatur dan kenaikan kandungan SiO2 (Wallace & Anderson, 2000). Dengan
demikian, H2O akan mempunyai solubilitas yang lebih tinggi pada magma riolit daripada
magma basalt. Dengan menggunakan analisis komposisi kimia dari gelas vulkanik yang
masih segar, magma yang dihasilkan disepanjang zona subduksi sangatlah kaya dengan H2O
dan miskin CO2 (Schminke, 2003). Peran H2O sangat penting karena akan menentukan
kecepatan dan tingkat erupsi suatu gunung api (Schminke, 2003).

Gambar 1.3. Grafik yang menunjukkanperbandingan solubilitas H2O pada magma basaltik
dan riolitik pada temperatur yang sama, terlihat bahwa solubilitas air lebih besar pada magma
riolit daripada basaltik pada tekanan lebih dari 0,5 kb (Wallace & Anderson, 2000)

I.4.2 CO2
Keterdapatan CO2 pada magma ada dalam bentuk dua spesies yakni sebagai ion
karbonat (CO32-) dan molekul CO2 yang kelimpahannya bergantung kepada komposisi
lelehan (Wallace & Anderson, 2000) dan tekanan (Schimnke, 2003). Pada magma miskin
silika (i.e. basalt, basanit dan nefelinit) CO2 akan hadir sebagai ion karbonat (CO32-)
sementara pada magma kaya silika akan hadir sebagai molekul CO2. Pada magma dengan
komposisi intermediet (i.e. andesit), kedua spesies CO2 itu hadir (Wallace & Anderson,
2000). Sedangkan hubungannya dengan tekanan, CO2 akan terbentuk sebagai
molekul CO2pada tekanan tinggi dan ion karbonat (CO32-) pada tekanan rendah (Schminke,
2003).
Solubilitas CO2 pada magma terutama sangat dipengaruhi oleh tekanan dan komposisi
magma (Wallace & Anderson, 2000) dimana solubilitas ini akan berkurang seiring
menurunnya tekanan (Lockwood & Hazlett, 2010) dan berkurangnya kandungan SiO2 (pada
ion karbonat (CO32-) ) (Wallace & Anderson, 2000)
Berdasarkan data eksperimental, didapatkan bahwa solubilitas CO2 lebih kecil
daripada H2O (Wallace & Anderson, 2000). Karena hal ini, maka CO2 bisa membentuk fase
gas bebas pada tekanan yang tinggi (i.e. di mantel) untuk selanjutnya lepas ke atmosfer/laut
(Schminke, 2003). Karena pelepasan gas dimulai dari tempat yang sangat dalam,
CO2merupakan senyawa yang paling banyak ditemukan sebagai inklusi fluida pada mineral
yang terbentuk pada tekanan tinggi (Schminke, 2003).
Monitoring aktivitas pengeluaran CO2 dari suatu gunung api sangat penting karena
penambahan emisinya akan mengawali aktivitas erupsi (Lockwood & Hazlett, 2010).
Gas hasil ikatan unsur karbon dan oksigen lainnya yang dilepaskan oleh gunung api
adalah karbon monoksida (CO) dan methan dalam jumlah yang lebih kecil. CO terbentuk
ketika terjadi pemanasan (i.e. perubahan temperatur erupsi dari 800 ke 12000C) (Lockwood
& Hazlett, 2010). Karena pemanasan ini, ikatan oksigen pada CO2 akan lepas dan membentuk
CO (Lockwood & Hazlett, 2010).
I.4.3 SO2 dan H2S
Karena mempunyai beberapa valensi (sulfur bisa mempunyai muatan 0, -2 atau +6),
maka reaksi sulfur bisa membentuk berbagai macam gas vulkanik. Gas-gas vulkanik tersebut
antara lain S2, SO, SO2, SO3, H2S, COS dan CS2, dimana kesemuanya hadir pada uap
vulkanik tetapi spesies yang paling umum dijumpai adalah SO2 dan H2s. Kedua senyawa
tersebut sangat mudah dikenali berdasar baunya yang khas yaitu bau asam yang seperti bau
busuk (SO2) atau berbau seperti telur busuk (H2S) (Schminke, 2003). Pada gunung api
tatanan tektonik zona subduksi, umumnya SO2 akan lebih melimpah daripada H2S. Tetapi
kelimpahan tersebut sangat ditentukan oleh konsentrasi oksigen dan temperatur magma
(Schminke, 2003). Pada konsentrasi oksigen yang sama, sulfur membentuk SO2 pada
temperatur tinggi dan H2S pada temperatur rendah. Pada temperatur yang sama dengan
kandungan oksigen yang berkurang, SO2 berkurang terhadap H2S (Schminke, 2003).
Senyawa S yang berkembang pada suatu magma sangat ditentukan oelh fugasitas
relatif oksigen, dimana pada fugasitas oksigen yang rendah, S hadir sebagai bentuk sulfida
(S2-) sementara pada kondisi yang lebih teroksidasi hadir sebagai sulfat (S6+) (Wallace &
Anderson, 2000). Dengan menerusnya proses diferensiasi dan oksidasi dari magma, rasio dari
sulfat S6+ terhadap sulfida S2- akan bertambah (Schminke, 2003).
Solubilitas dari S pada magma cukup sulit ditentukan karena adanya pembentukan
senyawa non volatil diantara senyawa volatil seperti sulfida, sulfat dan metal klorida. Tetapi
solubilitas ini secara umum sangat bergantung kepada komposisi, derajat oksidasi dari
magma (Schminke, 2003) serta fugasitas oksigen (Wallace & Anderson, 2000). S mempunyai
solubilitas tinggi pada fugasitas oksigen yang lebih tinggi (dimana S akan hadir sebagai
sulfat) sementara solubilitas dari sulfida (S2-) akan bertambah seiring dengan kenaikan
konsentrasi Fe pada magma. Solubilitas sulfur baik dalam bentuk sulfida maupun sulfat akan
meningkat dengan kenaikan temperatur (Wallace & Anderson, 2000).
Gambar 1.4. Grafik yang menunjukkan hubungan berbanding lurus antara total S dengan FeO
pada magma basalt MOR (kotak hitam) dan hotspot (kotak putih) bersuhu 12000C (Wallace
& Anderson, 2000)

Monitoring aktivitas pengeluaran SO2 dari suatu gunung api sangat penting untuk
memonitor kesiapan suatu gunung api erupsi (Edmonds et.al 2003 dalam Lockwood &
Hazlett 2010). Volume SO2akan meningkat seiring dengan naiknya magma ke permukaan
yang dangkal (Lockwood & Hazlett, 2010).
Karena konsentrasi ketiga gas utama (H2O, CO2 dan SO2&H2S) pada magma adalah
paling tinggi, maka dalam perhitungannya biasa digunakan % berat.
I.4.3 Halogen
Hidrogen halogenida seperti HCl, HF dan Hbr merupakan pembawa halogen yang
paling penting selama pelepasan gas vulkanik (Schminke, 2003). Hidrogen halogenida
tersebut dihasilkan dari reaksi antara H2O dengan klorin (HCl) serta H2O dengan fluorin
(HF). Kandungan halogen dalam magma salah satunya dipengaruhi oleh komposisi lelehan
dimana magma basalt alkalin akan mempunyai lebih banyak kandungan halogen daripada
magma toleitik, sementara magma alkalin yang sudah terdiferensiasi akhir mempunyai
kandungan halogen yang paling tinggi (Schminke, 2003).
Halogen mempunyai sifat solubilitas yang tinggi sehingga selama erupsi, hanya 20-
50 % gas yang dilepaskan dimana Cl mempunyai solubilitas yang lebih rendah dari F
(Schminke, 2003). Sementara itu, Cl mempunyai solubilitas yang lebih rendah dari CO2 dan
CO2 lebih rendah dari sulfur. Hal ini berarti pelepasan gas pertama kali dari magma yang naik
akan menjadi kaya unsur klorin relatif terhadap sulfur dan CO2 (Lockwood & Hazlett, 2010).
Solubilitas klorin pada megma sangat bergantung kepada komposisi magma dan kenaikan
rasio (Na+K)/Al. Ketika suatu magma jenuh dengan lelehan garam, maka magma tersebut
mempunyai Cl larut maksimum. Konsentrasi kejenuhan dari Cl bervariasi dengan tekanan,
temperatur, konsentrasi air terlarut dan komposisi lelehan (Wallace & Anderson, 2000).
Fluorin, karena solubilitasnya yang tinggi pada magma, maka tidak akan memasuki
fase gas selama erupsi, melainkan tetap berada di magma. Senyawa lainnya seperti HF
mempunyai sifat mudah larut dalam air (Schminke, 2003). Solubilitas dari F sangat
bergantung pada komposisi lelehan, dimana pada magma dengan kandungan SiO2 tinggi
lebih besar (Wallace & Anderson, 2000).
Rasio antara sulfur (terutama SO2) terhadap klorin pada suatu pelepasan uap
vulkanik bisa digunakan sebagain indeks kesiapan suatu gunung api untuk erupsi, tetapi pada
beberapa kasus sulit dilakukan karena konsentrasi klorin yang terlalu kecil (Lockwood &
Hazlett, 2010) sehingga hanya digunakan rasio SO2 untuk menentukan kesiapan erupsi.
I.4.3 Hidrogen, Nitrogen, Helium & Gas Mulia
Hidrogen, nitrogen, helium dan gas-gas mulia adalah gas vulkanik dengan konsentrasi
terkecil yang dijumpai pada gunung api tatanan tektonik zona subduksi (Lockwood &
Hazlett, 2010). Meskipun konsentrasinya kecil, gas-gas tersebut mempunyai peranan yang
penting seperti helium bisa melacak kontribusi mantel dalam erupsi gunung api (Lockwood
& Hazlett, 2010), sementara gas mulia untuk mengetahui sejarah pelepasan gas di bumi
(Wallace & Anderson, 2000).
Terdapat 2 isotop utama dalam helium yaitu 3He dan 4He. 4He merupakan senyawa
radioaktif yang dihasilkan oleh peluruhan thorium dan uranium dari kerak bumi, sementara
itu 3He hanya terkonsentrasi pada mantel sebagai eleman sisa yang ditinggalkan oleh
pembentukan planet bumi (Lockwood & Hazlett, 2010) . Hanya sejumlah kecil 3He yang bisa
keluar dari interior bumi yang dalam dimana kemudian terkait dengan proses vulkanisme.
Sekarang ini rasio 3He terhadap 4He di atmosfer adalah 1:100.000.000. Adanya rasio yang
lebih tinggi menandakan kontribusi mantel dalam magma (Lockwood & Hazlett, 2010). Pada
fumarol dan mata air panas, kandungan 3He: 4He adalah 5 sampai 10 kali lebih besar daripada
di atmosfer, sementara pada hot spot 15 kali lebih besar, pada punggungan tengah samudera
mencapai 10 kali lebih besar. Adanya kerak benua yang tebal bukan merupakan penghalang
pengelouaran 3He dari mantel (Sorey et.al 1998; Christiansen et.al 2002 dalam Lockwood
dan Hazlett, 2010).
Berdasarkan penelitian terbaru oleh Spain’s Technological Institute yang diketuai
oleh Eleazar Padrón pada 8000 sampel air dan tanah yang mengandung helium selama erupsi
pulau gunung api El Hierro di Spanyol, diketahui bahwa konsentrasi gas helium bisa
digunakan sebagai deteksi pergerakan magma ke permukaan (Padrón, 2012). Menurut Padrón
(2012), helium merupakan kandidat yang baik untuk memprediksi erupsi karena gas ini tidak
bereaksi dengan batuan atau air tanah saat perjalanan magma keatas.Dengan melihat proporsi
antara 3He dan 4He pada sampel gas, peneliti dapat menentukan seberapa banyak helium yang
berasal dari mantel maupun kerak yang lebih dangkal (Padrón, 2012).

http://www.galuhpratiwi.my.id/2015/01/jenis-gas-vulkanik-dan-kelimpahannya.html
H2O, CO2 , SO2 dan H2S , Halogen , Hidrogen, Nitrogen, Helium & Gas Mulia

Anda mungkin juga menyukai