Anda di halaman 1dari 26

PENGANTAR

NANOSAINS

DR. Mikrajuddin Abdullah, M.Si.


Associate Professor
dan
Ketua Laboratorium Sintesis dan
Fungsionalisasi Nanomaterial

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


Institut Teknologi Bandung
2008
BAB 1
MENGAPA KE DIMENSI
NANOMETER?

Mengapa Nano?

Nanoteknologi telah membangkitkan perhatian yang sangat besar dari para

ilmuwan di seluruh dunia, dan saat ini merupakan bidang riset yang paling bergairah.

Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam penciptaan material, struktur

fungsional, maupun piranti dalam skala nanometer. Dalam terminologi ilmiah, nano

berarti 10-9 (0,000000001). Satu nanometer adalah seper seribu mikrometer,

atau seper satu juta millimeter, atau seper satu miliar meter. Jika panjang pulau

Jawa dianggap satu meter maka panjang satu nanometer kira-kira sama dengan

diameter sebuah kelereng. Gambar 1.1 adalah ilustrasi seberapa kecil dimensi

nanometer.

Gambar 1.1 Ilustrasi ukuran nanometer

Riset bidang material skala nanometer sangat pesat dilakukan di seluruh

dunia saat ini. Jika diamati, hasil akhir dari riset tersebut adalah mengubah

teknologi yang ada sekarang yang umumnya berbasis pada material skala

mikrometer menjadi teknologi yang berbasis pada material skala nanometer.

Ketika mencanangkan program NNI (National Nanotechnologi Initiative) pada

tahun 2000, Presiden Clinton menargetkan bahwa paling lambat tahun 2020 semua

teknologi akan berbasis pada material skala nanometer. Orang berkeyakinan

1
bahwa material berukuran nanometer memiliki sejumlah sifat kimia dan fisika yang

lebih unggul dari material ukuran besar (bulk). Juga material dalam ukuran

nanometer memiliki sifat-sifat yang lebih kaya karena menghasilkan beberapa

sifat yang tidak dimiliki oleh material ukuran besar. Dan yang sangat menarik

adalah sejumlah sifat tersebut dapat diubah-ubah dengan melalui pengontrolah

ukuran material, pengaturan komposisi kimiawi, modifikasi permukaan, dan

pengontrolan interaksi antar partikel.

Sejak tahun 2000, riset material skala nanometer memasuki babak yang

paling progresif. Penemuan baru dalam bidang ini muncul hampir dalam tiap minggu

dan aplikasi-aplikasi baru mulai tampak dalam berbagai bidang, seperti bidang

elektronik (pengembangan divais ukuran nanometer), energi (pembuatan sel surya

yang lebih efisien), kimia (pengembangan katalis yang lebih efisien, baterei yang

kualitasnya lebih baik), kedokteran (pengembangan peralatan baru pendeksi

sel-sel kanker berdasarkan pada interaksi antar sel kanker dengan partikel

berukuran nanometer), kesehatan (pengembangan obat-obat dengan ukuran butir

beberapa nanometer sehingga dapat melarut dalam cepat dalam tubuh sehingga

bereaksi lebih cepat dan pengembangan obat “smart” yang bisa mencari sel-sel

tumor dalam tubuh langsung mematikan sel tersebut tanpa mengganggu sel-sel

normal), lingkungan (penggunaan partikel skala nanometer untuk menghancurkan

polutan organic di air sungai dan udara), dan sebagainya.

Di alam sebenarnya sudah ada sejumlah entitas yang berdimensi

nanometer. Kita mengenal double helix DNA yang memiliki diameter sekitar 2 nm

dan ribosom yang memiliki diameter sekitar 25 nm. Atom-atom memiliki diameter

sekitar 0,1 sampai 0,4 nm sehingga material yang berukuran nanometer hanya

mengandung puluhan hingga ribuan atom. Sebagai perbandingan, rambut manusia

2
memiliki diameter 50.000 hingga 100.000 nm sehingga satu nanometer kira-kira

sama dengan sehelai rambut yang dibelah seratus ribu.

Gambar 1.2 Spektrum warna luminisens cadmium selenide (CdSe) yang dilapisi seng

sulfida (ZnS) berbeda-beda bergantung pada ukuran partikel. Jika ukuran partikel

makin kecil maka spektrum warna yang dipancarkan bergeser ke warna biru

(panjang gelombang pendek)

Mengapa reduksi ukuran material dalam skala nanometer menjadi begitu

penting? Sifat-sifat material yang meliputi sifat fisis, kimiawi, maupun biologi

berubah begitu dramatis ketika dimensi material masuk ke dalam skala nanometer.

Yang lebih menarik lagi adalah sifat-sifat tersebut ternyata bergantung ukuran,

bentuk, kemurnian permukaan, maupun topologi material. Para ilmuwan percaya

bahwa setiap sifat memiliki “skala panjang kritis”. Ketika dimensi material lebih

kecil dasi panjang kritis tersebut maka sifat-sifat fisis fundamental mulai

berubah. Sebagai gambaran, partikel tembaga yang memiliki diameter 6 nm

memperlihatkan kekerasan lima kali lebih besar daripada tembaga ukuran besar

(bulk). Keramik yang umumnya kita kenal mudah pecah dapat dibuat menjadi

fleksibel jika ukuran bulir (grain) direduksi ke dalam orde nanometer. Cadmium

selenide (CdSe) dapat menghasilkan warna yang berbeda-benda dengan hanya

mengontrol ukuran partikel. Gambar 1.2 adalah warna yang berbeda-beda yang

dihasilkan nanopartikel CdSe karena perbedaan ukuran.

Tabel 1.1 Efek ukuran nanopartikel pada panjang gelombang absorpsi maksimum

koloid emas

3
Ukuran partikel (nm) Panjang gelombang untuk

absorpsi maksimum (nm)

9 519

20 523

30 525

40 526

52 528

59 535

79 550

100 567

Gambar 1.3 Material obat yang ditancapkan nanopartikel magnetik di dalamnya

dapat diaarahkan ke lokasi tertentu dengan menggunakan medan magnetik dari

luar tubuh.

Partikel emas dan perak memperlihatkan kebergantungan sifat optik pada

ukuran. Warna instrinsik nanopartikel berubah terhadap ukuran karena frekuensi

resonansi plasmon dalam praktikel ditentukan oleh ukuran partikel.

Partikel-partikel tersebut berguna untuk molecular sensing, diagnostik, dan

pencitraan. Perubahan warna partikel emas terhadap ukuran tampak pada Tabel

1.1.

Gambar 1.4 Nanopartikel magnetik yang telah berada dalam sel tumor (setelah

diarahkan dengan medan magnetik dari luar tubuh) dapat dipanaskan secara lokal

4
dengan menerapkan medan magnetik luar yang berubah-ubah. Pemanasan tersebut

hanya membunuh sel-sel di sekitarnya (sel tumor)

Nanopartikel yang berukuran sangat kecil juga memperlihatkan sifat

magnetik dan optik yang unik. Sebagai contoh, material feromagnetik menjadi

superparamagnetik ketika ukurannya lebih kecil dari 20 nm karena partikel

tersebut tidak dapat mempertahankan magnetisasi akibat ketiadaan domain

magnetik. Ukuran domain magnetik umumnya beberapa micrometer. Di dalam

partikel yang berukuran kurang dari 100 nm tidak ada domain magnetik yang bisa

muncul. Tetapi partikel tersebut tetap mengalami gaya magnetik jika berada

dalam medan magnet. Partikel semacam ini berguna untuk drug delivery karena

dapat digunakan untuk meningkatkan ketelitian pengarahanan obat ke sel tumor

tertentu dengan menggerakkan partikel tersebut menggunakan pulsa

elektromagnetik. Partikel nanomagnetik ditancapkan pada material obat. Medan

magnetik dari luar dikenakan pada material obat tersebut sehingga mengalami

gaya magnetik, seperti diilustrasikan pada Gbr. 1.3. Dengan mengatur arah medan

magnetik yang diterapkan maka arah gerak material obat dapat dikontrol sehingga

menuju ke lokasi tertentu dalam tubuh, misalnya ke arah sel-sel tumor. Untuk

menghindari efek samping yang tidak dinginkan, sebelum ditancapkan ke material

obat, nanopartikel magnetik dibungkus (coating) dengan material yang aman bagi

tubuh. Ketika material obat habis terurai maka nanopartikel magnetik yang tersisa

tidak berbahaya ketika bersentuhan langsung dengan sel-sel tubuh.

Nanopartikel magnetik juga dapat ditempelkan ke antibodi yang kemudian

diarahkan dengan medan magnetik ke arah sel tumor. Di samping itu, dengan medan

magnetik, partikel tersebut dapat dipanaskan secara lokal (pemanasan di lokasi

5
yang sangat kecil), seperti diilustrasikan pada Gbr. 1.4, sehingga dapat membunuh

sel tumor yang berada di sekitar partikel itu saja tanpa merusak sel-sel lainnya.

Gambar 1.5 Kebergantungan celah Kubo dan persentase jumlah atom yang

menempati permukaan partikel terhadap diameter partikel

Struktur elektronik nanopartikel sangat bergantung pada ukuran. Untuk

partikel-partikel kecil, tingkat-tingkat energi kuantum yang dimilikinya tidak

kontinu tetapi disktrit disebabkan oleh confinement fungsi gelombang elektron

dalam ruang yang sangat terbatas. Dalam material berukuran besar elektron dan

hole dapat bergerak ke mana pun dalam ruang yang hampir tak terbatas. Tetapi,

jika ukuran partikel sangat kecil, elektron dan hole hanya dapat bergerak

bolak-balik dalam ruang yang sangat kecil. Dinding partikel tidak dapat ditembus

dengan mudah oleh elektron dan hole kecuali pada suhu yang sangat tinggi. Skala

panjang yang biasa digunakan sebagai pembatas daerah confimenent dan daerah

bulk adalah jari-jari eksiton Bohr dalam material tersebut.

Jarak rata-rata tingkat energi kuantum berdekatan dalam partikel, δ, yang

dikenal dengan celah Kubo memenuhi

4 EF
δ= (1.1)
3n

di mana E F adalah energi Fermi dan n adalah jumlah elektron valensi di dalam

partikel. Untuk partikel perak dengan diameter 3 nm yang mengandung sekitar

1000 atom, nilai δ sekitar 5 – 10 meV. Nilai ini lebih kecil dari energi termal

6
elektron pada suhu kamar kT ≅ 25 meV sehingga partikel perak dengan diameter

3 nm tersebut bersifat logam. Untuk partikel dengan ukuran lebih kecil lagi, bisa

terjadi δ > kT dan partikel tersebut bersifat non-logam. Gambar 1.5 adalah

kebergantungan celah Kubo dan persentase jumlah atom di permukaan terhadap

diameter partikel.

Dari sejumlah kajian yang dilakukan pada sejumlah partikel logam, terjadi

transisi logam ke non-logam pada ukuran diameter partikel dari 1 sampai 2 nm, atau

jumlah atom 300 ± 100. Pada ukuran yang lebih kecil dari itu partikel bersifat

non-logam dan di atas ukuran tersebut partikel bersifat logam. Karena kehadiran

celah Kubo di dalam nanopartikel maka sifat-sifat lain seperti konduktivitas dan

magnetisasi juga bergantung pada ukuran partikel. Sifat disktrit dari energi juga

berimplikasi pada perubahan mendasar sifat optik dari partikel khususnya yang

berkaitan dengan pita valensi.

Karena ukurannya yang sangat kecil, nanopartikel dapat sangat stabil

dalam koloid. Partikel yang berukuran besar mengendap dengan cepat karena gaya

gravitasi yang dominan. Sebaliknya, pada nanopartikel, gaya gravitasi yang bekerja

sangat kecil sehingga kalah pengaruh dari gerakan acak (gerak Brown). Parameter

yang menentukan cepat atau lambatnya partikel mengendap adalah kecepatan

“settling” yang diberikan oleh hukum Stokes

d 2 g (ρ s − ρ l )
v= (1.2)
18μ l

dengan g percepatan gravitasi, d diamater partikel, ρ l massa jenis zat cair, ρ s

massa jenis partikel, dan μl viskositas zat cair. Sedangkan salah satu parameter

7
yang menentukan kestabilan koloid adalah fluktusi termal (gerak Brown).

Perpindahan rata-rata gerak Brown diberikan oleh persamaan Einstein

2k B Tt
x= (1.3)
πμ l d

dengan x perpindahan rata-rata patikel, T suhu, t waktu, k B konstanta Boltzmann.

Jika perpindahan “settling” partikel selama satu satuan waktu jauh lebih kecil

daripada perpindahan akibat gerak Brown maka sulit bagi partikel untuk

mengendap sehingga koloid akan stabil. Sebagai ilustrasi, kita tinjau partikel

koloid dengan massa jenis sekitar 1700 kg/m3 di dalam medium air. Pada suhu 25 oC

massa jenis air adalah 997 kg/m3 dan viskositasnya sekitar 0,00089 Pa/sec. Untuk

partikel dengan diameter 1000 nm, jarak yang ditempuh selama satu detik akibat

“settling” sekitar 430 nm, sedangkan akibat gerak Brown sekitar 1716 nm. Untuk

partikel yang lebih kecil, jarak akibat gerak Brown lebih besar lagi dibandingkan

dengan akibat settling.

Pertikel ukuran micrometer mudah sekali mengendap karena gaya gravitasi

yang besar. Kolloid dari partikel-partikel besar perlu dikocok sebelum digunakan.

Partikel-partikel ini pun tidak terlalu efektif digunakan pada obat suntik. Untuk

partikel ukuran nanometer, gaya gravitasi tidak terlalu kuat. Gerakan partikel

didominasi oleh gerak random termal. Akibatnya partikel ini sulit mengendap

sehingga dapat menjadi koloid homogen dalam waktu yang lama.

Nanopartikel memperlihatkan adhesi yang sangat kuat karena

meningkatnya area kontak bagi gaya van der Walls. Peningkatan adhesi partikel

polistiren pada koloni mucosa sebesar 5,2%, 9,1%, dan 14,5% telah diamati

8
masing-masing pada partilel berukuran 10 mm, 1 mm, dan 100 nm.

Luas permukaaan nanopartikel meningkat tajam dengan mengecilnya ukuran.

Partikel logam dengan ukuran sekitar 1 nm memiliki atom yang hampir 100% berada

di permukaan. Partikel dengan ukuran 10 nm hanya memiliki 15% atom yang

menempati permukaan. Meningkatknya persentase atom di permukaan diharapkan

meningktaknan reaktivitas partikel tersebut, lebih khusus lagi jika partikel

tersebut berperan sebagai katalis. Lebih lanjut, perubahan tingkat-tingkat energi

kuantum akibat efek confinement juga menghasilkan sifat katalitik yang

menyimpang dari sifat-sifat partikel berukuran besar. Sebagai contoh, CO yang

menempel pada permukaan Cu ukuran besar dapat dihilangkan (desorp) pada suhu

di atas 250 K. Namun, pada permukaan nanopaertilel Cu, CO baru lepas pada suhu

yang lebih tinggi.

Dalam ukuran besar emas adalah logam mulia yang sulit sekali bereaksi.

Tetapi nanopartikel emas yang ditempatkan di atas titania memperlihatkan sifat

reaktivitas yang bergantung pada ukuran. Partikel tersebut bisa berperan sebagai

katalis dalam reaksi oksidasi CO. Partikel dengan ukuran sekitar 3,5 nm

memperlihatkan sifat reaktivitas paling tinggi. Partikel emas dengan ukuran

kurang dari 5 nm yang ditempatkan di atas permukaan zinc oksida dapat menyerap

CO, sedangkan partikel dengan ukuran di atas 10 nm tidak memperlihatkan

kecenderungan menyerap CO.

Para ilmuwan menyadari bahwa alam dalam membangun sistem-sistem

biologi secara ekstensif menggunakan skala nanometer. Jika kita ingin berhadapan

langsung dengan alam dalam usaha mengobati sejumlah penyakit, kita harus

menggunakan skala yang sama. Apakah itu untuk memperbaiki kesalahan genetika,

membunuh bakteri yang berada di dalam sel tubuh, mencegah perkembangbiakan

9
viral genome, membunuh sel kanker, menekan munculnya tanda ketuaan, dan

sebagainya. Satuan dasar proses biologi adalah sel dan reaksi biokimia yang

berlangsung di dalamnya. Dengan memanfaatkan proses yang terjadi pada

nanopartikel maka terbuka peluang untuk secara selektif mempengaruhi proses

cellular dalam skala alamiahnya.

Material Nanostruktur

Gambar ilustrasi

Saat ini para ilmuwan sepakat bahwa yang dapat dikelompokkan dalam skala

nanometer adalah ukuran yang lebih kecil dari 100 nm. Orang menyebut

nanopartikel jika diameter partikel tersebut kurang dari 100 nanometer. Dimensi

ini digunakan untuk membedakan dengan ukuran micrometer (ribuan nanometer)

dan submicrometer (ratusan nanometer) yang telah lebih dulu digunakan. Namun

riset nanoteknologi tidak hanya terbatas pada nanopartikel, tetapi lebih luas ke

material nanostruktur. Material nanostruktur adalah material yang tersusun atas

bagian-bagian kecil, di mana tiap-tiap bagian berukuran kurang dari 100 nanometer,

walupun ukuran material secara keseluruhan cukup besar dan sifat bagian-bagian

kecil tersebut tetap dipertahankan. Contoh material nanostruktur adalah:

Nanopartikel, yaitu partikel dengan diameter kurang dari 100 nm. Nanopartikel

disebut juga nanodot (titik nano) atau quantum dot (titik kuantum).

Nanorod, yaitu semacam kawat atau silinder yang memiliki diameter kurang dari

100 nm, berapa pun panjangnya. Nanorod kadang disebut juga nanowire. Orang

10
telah berhasil membuat nanowire dengan panjang beberapa ratus micrometer.

Contohnya, pembuatan carbide nanorods (TiC, NbC, Fe3C, SiC, dan BCx) dengan

diameter antara 2 sampai 30 nm dan panjang hingga 20 μm telah dilaporkan oleh

Dai dkk.

Nanoribbon, adalah material berbentuk pita dengan ketebalan kurang dari 100 nm.

Nanosheet, adalah material berbentuk lembaran dengan ketebalan kurang dari

100 nm. Perbedaan nanosheet dan nanoribbon terletak pada dimensi lebarnya. Pada

nanoribbon, lebar material tidak terlalu besar (beberapa ratus nanometer) dan

panjangnya jauh lebih besar daripada lebar. Sedangkan nanosheet memiliki

panjang yang hampir sama dengan lebar dan ukurannya ratusan nm hingga

beberapa micrometer.

Nanotube, adalah material berbentuk silinder dengan ketebalan kulit silinder

kurang dari 100 nm. Contoh yang terkenal adalah carbon nanotube di mana kulit

silinder berupa satu atau beberapa lapis atom karbon. Nanotube lain yang berhasil

dibuat adalah boron nitride (BN) nanotube yang kulitnya terdiri dari beberapa

atom boron dan nitrogen.

Nanoporous, adalah material yang mengandung sejumlah poros dan ukuran tiap

poros kurang dari 100 nm. Contoh material ini adalah zeolite dan MCM-41 (silikon

dioksida yang mengandung poros yang tersusun secara heksagonal). Contoh

sejumlah material nanostruktur tampak pada Gbr. 1.6.

Gambar 1.6 Contoh material nanostruktur: (a) nanopartikel, (b) nanorod, (c)

nanoporos, (d) nanotube, dan (e) elongated nanoparticles.

Walaupun semua material tersusun atas bagian-bagian kecil, seperti atom,

11
molekul atau kluster-kluster yang berukuran beberapa nanometer, namun material

tersebut tidak langsung dapat dikatagorikan sebagai material nanostruktur.

Ketika tersusun menjadi material yang berukuran besar, bisa terjadi sifat

individual partikel-partikel kecil penyusun material hilang. Jika demikian yang

terjadi maka material yang terbentuk tidak dikatakan material nanostruktur.

Namun, jika sifat individual partikel-partikel penyusun masih terbawa pada

material besar, maka material tersebut dikatakan sebagai material nanostruktur.

Jelaslah di sini bahwa untuk menghasilkan material nanostruktur maka

partikel-partikel penyusunnya harus diproteksi sehingga apabila partikel-partikel

tersebut digabung menjadi material yang berukuran besar maka sifat

individualnya dipertahankan.

Sifat material nanostruktur sangat bergantung pada: (a) ukuran maupun

distribusi ukuran, (b) komponen kimiawi unsur-unsur penyusun material tersebut,

(c) keberadaan interface (grain boundary), dan (d) interaksi antar grain penyusun

material nanostruktur. Kebergantungan sifat pada parameter-parameter di atas

memungkingkan “tuning” sifat material dengan kebebasan yang sangat tinggi.

Bandgap Engineering

Salah satu topik yang hangat dalam riset nanomaterial karena memiliki

potensi aplikasi yang sangat luas adalah band gap engineering. Banda gap

engineering adalah rekayasa pita energi material untuk menghasilkan sifat optik,

elektronik, maupun optoelektronik sesuai dengan yang diinginkan. Rekayasa ini

umumnya meliputi pengontrolan lebar celah pita energi (energy band gap) sehingga

energi yang diperlukan untuk mengeksitasi elektron atau hole dalam material atau

energi yang dipancarkan elektron atau hole ketika kembali ke keadaan dasar dapat

12
diubah-ubah sesuai dengan yang diinginkan. Pengaturan lebah celah pita energi ini

juga berdampak pada konduktivitas listrik material tersebut, karena makin kecil

lebar celah pita energi maka konduktivitas umumnya makin besar.

Logam adalah material yang tidak memiliki celah pita energi sehingga

konduktivitasnya sangat besar. Untuk material dengan lebar celah pita energi ΔE ,

persamaan konduktivitas listrik umumnya umumnya memenuhi

exp(−ΔE / kT ) (1.4)

dengan T adalah suhu (Kelvin) dan k adalah konstanta Boltzmann. Perhitungan

dengan metode tight binding menunjukkan bahwa karbon yang semula bersifat

konduktif (semilogam) berubah menjadi semikonduktor ketika ukuran partikel

masuk ke orde nanometer akibat terbentuknya celah pita energi. Ramalan teoretik

ini diperlihatkan secara eksperimen oleh Lopinski et al dengan menggunakan

metode elektron energy loss spectroscopy (EELS).

Rekayasa pita energi yang dilakukan selama ini lebih banyak melalui

pendekatan sumur kuantum (quantum well). Replika periodisitas atom-atom dalam

skala lebih besar (micrometer atau sub micrometer) dibuat untuk menghasilkan

band gap buatan (artificial band gap) dengan lebar celah pita energi yang dapat

dikontrol. Pendekatan ini telah diterapkan secara luas dalam teknologi elektronik

maupun optoelektronik saat ini. Penemuan sifat baru material ketika dimensinya

direduksi ke dalam ukuran nanometer melahirkan arah baru dalam rekayasa pita

energi yang sama sekali berbeda dengan pendekatan sebelumnya. Studi teoretik

maupun eksperimen menunjukkan bahwa ketika dimensi nanopertikel

semikonduktor di bawah 10 nm, lebar celah pita energi bergantung sangat sensitif

13
pada dimensi partikel. Karena lebar celah pita energi berpengaruh pada spektrum

absorpsi atau emisi material tersebut, maka spektrum absorpsi maupun emisi

material dapat dikontrol melalui pengontrolah dimensi. Pendekatan ini jauh lebih

praktis daripada pendekatan sumur kuantum yang bisaanya membutuhkan fasilitas

pendukung yang mahal.

Salah satu aplikasi menarik yang dilahirkan oleh rekayasa pita energi

nanopartikel adalah pengembagan displai baru yang jauh lebih mudah dan murah

daripada displai yang ada saat ini. Setiap displai memiliki tiga jenis material

luminisens yang masing-masing menghasilkan cahaya luminisens biru, hijau, dan

merah (BGR). Warna-warna yang dihasilkan displai merupakan kombinasi ke tiga

warna tersebut dalam perbandingan intensitas yang sesuai. Hingga saat ini,

material penghasil cahaya biru, hijau, dan merah yang digunakan dalam displai

tersebut berbeda. Perbedaan sifat fisika dan kimiawi material tersebut

menimbulkan sejumlah persoalah ketika diintegrasikan saat pembuatan displai

(tidak sepenuhnya kompatibel). Hal ini sering menyulitkan perancangan, atau

menuntut tahapan yang banyak dan rumit sebelum integrasi akhir. Perancangan

displai akan menjadi sederhana jika digunakan satu jenis material saja karena

hanya memiliki satu sifat kimiawi maupun fisika. Gambar 1.7 adalah warna yang

berbeda-beda yang dihasilkan oleh nanopartikel ZnO akibat perbedaan ukuran.

Nanopartikel tersebut didespersi dalam polimer.

Gambar 1.7 Nanopartikel ZnO memancarkan warna yang berbeda jika ukurannya

berbeda.

Sifat luminisens nanopartikel yang bergantung pada ukuran, memberikan

14
harapan baru dalam perancangan displai dengan metode yang lebih praktis.

Sumber cahaya biru, hijau, dan merah dapat disediakan oleh satu jenis material

saja yang hanya berbeda dalam ukuran.

Kebergantungan lebar celah pita energi carbon nanotube terhadap

diameter memungkinkan penggunakan CNT sebagai pixel pada siplai yang

memancarkan tiga warna dasar (biru, hikau, merah) dengan menggunakan CNT yang

memiliki diameter yang berbeda. Peneliti di Samsung telah berhasil membuat

displai menggunakan CNT tersebut yang memapu menghasilkan tiga warna dasar

yang cukup terak sehingga menjadi kandidat displai masa depan, seperti

ditunjukkan pada Gbr. 1.8.

Gambar 1.8 Displai CNT yang diproduksi Samsung. Warna emisi yang berbeda

dihasilkan oleh nanotube yang memiliki diameter berbeda

Rekayasa Permukaan

Jika ukuran partikel diprkecil maka fraksi atom yang berada di permukaan

akan makin besar. Hal ini dapat dihitung dengan metode yang sangat sederhana.

Lihat Gambar 1.9 sebagai ilustrasi

Gambar 1.9. Menentukan fraksi atom di permukaan partikel

Misalkan sebuah partikel memiliki jari-jari R. Misalkan juga ketebalan satu lapisan

atom adalah a. Volum ruang yang ditempati atom-atom di permukaan partikel

adalah Vs ≅ 4π (R-a)2a. Volum partikel itu sendiri adalah V=(4/3)πR3. Dengan

demikian, fraksi volum yang ditempati atom-atom di permukaan partikel adalah f =

15
Vs/V=3(a/R)(1-a/R)2. Tampak dari hubungan ini bahwa makin kecil ukuran partikel

maka makin besar fraksi atom-atom yang menempati permukaan partikel. Sebagai

contoh, untuk partikel yang memiliki jari-jari 1 nm dan ketebalan lapisan satu atom

sekitar 0,2 nm, maka fraksi atom yang berada di permukaan sekitar 40%.

Bandingkan dengan partikel yang berjari-jari 1 μm, di mana fraksi atom di

permukaan sekitar 0,06%. Perhitungan lebih teliti dengan mempertimbangkan cara

penyusunan atom-atom (simple cubic, hexagonal, triclinic, dan sebagainya) didapat

bahwa untuk partikel yang beukuran 10 nm, fraksi atom di permukaan adalah

15-30% dan untuk partikel yang berukuran 5 nm, fraksi atom di permukaan adalah

30-60%.

Karena besarnya fraksi atom yang berada di permukaan ketika dimensi

partikel hanya beberapa nanometer maka sifat partikel tersebut sangat

bergantung pada perubahan sifat permukaan. Apabila suatu material disusun oleh

partikel-partikel yang berukuran nanometer, maka sifat keseluruhan material

tersebut dapat dikontrol dengan mudah melalui memanupulasi sifat permukaan

nanopartikel penyusunannya. Ini membuka peluang rekayasa sifat material dengan

mudah. Sebagai contoh, jika nanopartikel ditempatkan dalam material yang

memiliki sifat kimiawi yang berbeda, maka sifat optik partikel tersebut akan

berubah secara dramatis sehingga membuka peluang aplikasi nanopartikel sebagai

detector keadaan lingkungan.

Gambar 1.10. Material berdimensi nanometer dapat digunakan untuk mendeteksi

kerusakan sel dalam tubuh.

Telah diamati bahwa spectrum luminisens CdS bergantung pada tingkat

16
keasaman lingkungan. Dalam larutan methanol netral atau asam, CdS memancarkan

cahaya biru hijau yang tajam, sedangkan dalam larutan methanol basa, CdS

memancarkan cahaya kuning terang. Sifat ini memungkinkan aplikasi nanopartikel

material tersebut sebagai fluorescent biological label untuk menggantikan metode

labeling yang ada saat ini seperti sistem delapan-warna maupun sistem tiga-laser

yang digunakan untuk mengukur sepuluh parameter pada antigen sellular maupun

kombinorial labeling pada cytogenetik yang digunakan untuk menghasilkan

pendeteksi 24 warna untuk keperluan kripto spektrum.

Dalam kedokteran modern, sifat ini akan dipakai secara luas untuk

mendeksi sel-sel tumor dalam tubuh, seperti diilustrasikan pada Gbr. 1.10. Karena

ukuran nanopartikel yang sangat kecil dibandingkan dengan sel tubuh maha

nanopartikel dapat keluar dan masuk dengan mudah ke dalam sel tubuh tanpa

menggangu kerja sel. Sel kanker dan sel normal memiliki sifat kimiawi yang

berbeda. Ketika memasuki sel normal dan sel kanker, partikel tersebut

mengeluarkan cahaya luminisens yang berbeda. Dengan mendeteksi cahaya

luminisens yang dipancarkan nanopartikel tersebut maka dokter bisa segera

mendeteksi keberadaan sel kanker dalam tubuh, di mana lokasinya, dan berapa

besarnya. Dengan demikian, tindakan medis yang dilakukan dapat lebih akurat.

Tablet Nanopartikel

Kebanyakan obat-obatan yang ada sekarang berbentuk partikel dalam

dosis yang tertentu. Isu-isu penting dalam dunia farmasi seperti stabilitas kimia,

fisika, terapi, dan klinik sering dikaitkan dengan sifat-sifat partikel penyusuan

obat tersebut. Di antara sifat tersebut adalah ukuran dan sifat permukaan

partikel. Pada kebanyakan obat yang ada sekarang, ukuran partikel adalah

17
beberapa micrometer. Ukuran yang besar menimbulkan reaksi yang lambat pada

obat tersetut masuk ke dalam tubuh. Dengan ukuran yang besar, maka diperlukan

waktu yang lama untuk melarutkan partikel obat menjadi senyawa-senyawa aktif.

Gambar 1.11 Dua pendekatan pembuatan tablet: menggunakan mikropartikel dan

menggunakan nanopartikel

Untuk mempercepat rekasi obat, maka reduksi partikel obat ke dalam orde

beberapa nanometer merupakan pendekatan yang sangat menjanjikan. Ukuran

partikel yang kecil serta luas permukaan yang besar memungkinkan

partikel-partikel obat dapat segera melarut begitu memasuki tubuh. Reaksi obat

menjadi sangat cepat. Nanopartikel tersebut kemudian dicampur dengan polimer

yang sesuai sebagai bahan perekat kemudian dipress untuk membentuk tablet.

Gambar 1.11 adalah ilustrasi dua pendekatan pembuatan obat bentuk tablet.

Pengkapsulan nanoparticles

Pengkapsulan partikel dengan polimer dapat meningkatkan kompatibilitas

obat dengan bahan organik dalam tubuh serta dapat melindungi permukaan

partikel dari oksidasi. Akibatnya, pengkapsulan dapat meningkatkan dispersibilitas

maupun stabilitas kimiawi dan mereduksi toksitas (efek keracunan). Gambar 1.12

adalahilustrasi proses pengkapsulan bubuk obat.

Gambar 1.12 Bubuk obat dimasukkan ke dalam kapsul

Pengkapsulan adalah pengepakan material tertentu (bisa padatan atau

18
cairan) dengan material lain (umumnya material yang tidak reaktif) dalam bentuk

kapsul. Berdasarkan ukuran hasilnya, kita dapat menggolongkan tiga skala

pengkapsulan, yaitu nanoencapsulation jika ukuran hasil antara 1 nm - 1 μm,

microencapsulation jika ukuran hasil antara 1 μm – 1 mm, dan macroencapsulation

jika ukuran hasil lebih besar dari 1 mm. Diantara tujuan pengkapsulan adalah untuk

memungkinkan pelepasan material obat pada posisi tertentu dalam tubuh,

memungkinkan penanganan (handling) material aktif lebih mudah dan aman,

memungkinkan penampungan sistem yang terdiri dari bermacam-macam komponen

dalam satu kontainer, melindungi material sensitif dari pengaruh lingkungan, dan

mengubah cairan ke bentuk bubuk atau padatan. Saat ini kita menjumpai beberapa

aplikasi komersial dari pengkapsulan pada fertilizer, pestisida, pasta gigi, shampoo,

kertas yang tidak mengandung karbon, detergen, penampung debu vacuum cleaner,

zat anti api, dan tisu wajah.

Dalam dunia farmasi, ada kecenderungan mengkasulkan partikel obat yang

berukuran nanometer. Kapsul akan terbuka ketika sampai di lokasi tertentu dalam

tubuh dan melepaskan nanopartikel di lokasi tersebut. Ini memungkinkan obat

dilepaskan pada tempat yang tepat dalam tubuh sehingga hanya bereaksi dengan

sel-sel tubuh yang memang membutuhkan zat aktif pada obat tersebut. Sel-sel

tubuh yang lain yang tidak membutuhkan zat aktif dari obat tidak diganggu.

Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan material pembukus yang bisa

mengenal penyakit dalam sel, sehingga pembukus hanya terbuka saat berada di

lingkungan sel yang dikenai penyakit tertentu.

Inhaler

Pressurized metered dose inhaler (pMDI) telah diperkenalkan tahun 1956

19
untuk memasukkan furmula obat ke dalam tubuh melalui penghirupan. Formula

tersebut berwujud suspensi dengan ukuran partikel beberapa micrometer. Namun,

cara ini kurang efisien karena hanya sekitar 10%-15% yang dapat mencapai

paru-paru dan sebagian besar tertahan di oropharynx. Pendekatan tradisonal

dalam perancangan formula untuk pMDI adalah menggunakan partikel berukuran

micrometer dengan kerapatan 1,0 – 1,5 g/cm3. Akan tetapi, partikel yang

berukuran micrometer bisaanya memiliki sebaran ukuran yang lebar dan kurang

bebas dalam pengontrolan kerapatan maupun energi permukaan.

Saat ini dikaji secara intensif pengembangan metode baru untuk

memasukkan protein ke dalam tubuh yang sulit dimasukkan lewat mulut. Pemasukan

obat melalui saluran pernapasan merupakan alternatif yang sangat potensial untuk

menggantikan teknik jarum suntik, seperti diilustrasikan pada Gbr. 1.13. Penelitian

tentang penggunaan partikel berukuran nanometer sebagai obat yang dimasukkan

lewat pernapasan mulai intensif dilakukan. Partikel dengan diameter kurang dari

beberapa ratus nanometer dapat bertahan lebih lama dalam paru-paru. Ketika

terdeposisi dalam paru-paru, partikel tersebut dapat bertahan dalam waktu yang

cukup lama dalam kelenjar paru-paru sampai seluruhnya terlarut. Lebih lanjut

beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel-sel kanker dan epitelum dapat

menyerap nanopartikel. Studi in vivo juga mengamati pengumpulan nanopartikel di

sekitar tumor. Sifat ini menjadikan nanopartikel sebagai kandidat obat penyembyt

kanker.

Gambar 1.13 Memasukkan obat yang dihirup lewat hidung. LPP sebagai pembawa

obat-obatan dalam tubuh yang dimasukkan melalui sistem pernapasan.

20
Namun, masalah serius yang masih dihadapi adalah penggunaan

nanopartikel sebagai obat yang dimasukkan lewat sistem pernapasan terkendala

oleh inersianya yang kecil. Diameter aerodinamik massa (mass median aerodynamic

diameter, MMAD) nanopartikel tidak terlalu cocok untuk dimasukkan ke tubuh

lewat sistem pernapasan. Nanopartikel tersebut dengan segera dikeluarkan

kembali saat pernapasan (melepaskan pernapasan). Akibatnya, hanya sedikit

partikel yang benar-benar dapat mencapai paru-paru. Lebih lanjut, ukurannya yang

kecil memudahkan partikel bergumpal (agglomerasi) sehingga penanganan

(handling) partikel tersebut sedikit lebih sulit.

Deposisi maksimum partikel ke dalam tracheo-bronchial dan daerah alveoli

dalam untuk pernapasan normal dapat dicapai jika ukuran partikel sekitar

beberapa micrometer. Penetrasi jauh ke dalam dapat dicapai jika ukuran partikel

1-5 μm . Untuk mencapai kondisi ini Finlay dkk menggabungkan nanopartikel

tersebut ke dalam partikel yang berukuran besar. Ukuran partikel hasil gabungan

diatur sehingga mencapai sifat aerodinamik yang memungkinkan partikel tersebut

mencapai bagian dalam paru-paru. Pendekatan lain adalah pembuatan partikel

dengan poros besar (large porous particles, LPP). Partikel ini memiliki ukuran lebih

besar dari 5 μm dan rapat massa kurang dari 0,1 g/cm3. Partikel ini akan dideposisi

pada paru-paru dengan efisiensi yang tinggi. Di samping pengeluaran kembali udara

pernapasan hanya sedikit berpengaruh pada LPP sehingga akan banyak partikel

yang dapat mencapai paru-paru.

Kosmetik

Bedak kosmetik tersusun atas partikel-partikel yang sangat halus.

Kosemetik memanfaatkan prinsip hamburan cahaya. Jika ukuran partikel lebih

21
besar daripada panjang gelombang cahaya maka partikel kosmetik akan

menghmaburkan cahaya yang jatuh padanya sehingga menghasilkan efek warna

putih (whitening), seperti diilustrasikan pada Gbr. 1.14. Kosemetik dengan ukuran

partikel yang besar digunakan pada krim penghasil warna putih pada kulit.

Sebaliknya, jika ukuran partikel jauh lebih kecil daripada panjang gelombang

cahaya, maka tidak terjadi hamburan cahaya. Cahaya dapat lolos melewati

partikel-partikel kosmetik hingga mengenai kulit. Tetapi jika partikel tersebut

memiliki celah pita energi yang bersesuaian dengan panjang gelombang ultraviolet,

maka meskipun partikel kosmetik tersebut dapat dilewati oleh cahaya tampak,

namun partikel tersebut menyerap sinar ultraviolet. Kombinasi dua sifat ini

menjadikan partikel-partikel tersebut digunakan pada lotion sunscreen (menyerap

sinar ultraviolet dan meloloskan cahaya tampak).

Kosmetik yang berbasis nanopartikel mulai dikaji secara intensif karena

memanfaatkan beberapa sifat khas nanopartikel. Persoalan yang sering timbul

adalah handling nanopartikel sering kali lebih sulit daripada handling partikel

berukuran besar. Untuk memecahkan masalah ini, maka salah satu metode yang

dapat dipakai adalah membentuk agregat nanopartikel dalam ukuran yang lebih

besar. Pembentukan agregat ini tetap mempertahankan sifat nanopartikel, namun

ukuran partikel secara keseluruhan cukup besar sehingga memudahkan handling.

Gambar 1.15 adalah ilustrasi pembuatan kosmetik berbasis nanopartikel.

Nano-titanium dioksida dan zinc oksida dapat menyerap dan merefleksikan

sinar UV, dan juga transparan terhadap cahaya tampak. Hal ini sudah digunakan

dalam berbagai krim tabir surya. Industri kosmetik telah berinvestasi pada

nanoteknologi. Produk baru mengklaim dapat melakukan penetrasi lebih dalam pada

kulit dan juga keuntungan lainnya. Sebagai contoh, kosmetik yang memberi asupan

22
vitamin pada tubuh sedang dikembangkan

Perusahan-perusahaan kosmetik besar mecoba mengembangan kosmetik

berbasis pada nanopartikel luminisens. Hal ini memungkinkan pengembagna

kosmetik dengan warna yang sangat kaya, sekaya warna yang dimiliki diplai yang

ada sekarang. Bubuk kosmetik tersebut terdiri dari nanopartikel yang

memancarkan luminisens biru, hijau, dan merah. Kosmetik dengan warna tertentu

dibuat dengan mencampur material tersebut dengan perbandingan volum yang

sesuai.

Gambar 1.14. Sifat hamburan cahaya oleh partikel yang berbeda ukuran (kiri)

ukuran lebih kecil dari panjang gelombang, (kanan) lebih besar dari panjang

gelombang

Gambar 1.15 Salah satu teknik pembuatan bubuk kosmetik dari nanopartikel

Aplikasi Militer

Berbagai jenis nanopolimer baru sedang dikembangkan. Nanopolimer ini

disemprotkan ke badan prajurit untuk membuat sebuah pakaian tanpa adanya

teknik jahit-menjahit. Material ini direncanakan mengandung enzim yang dapat

mendeteksi dan mengurai agen-agen biologis dan kimiawi yang bertentangan,

memiliki berbagai macam biosensor untuk memonitor kesehatan dan silikon

karbida sebagai proteksi fisik. 'Baju perang' ini sedang dikembangkan di

Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai soldier nanotechnologies.

23
Aplikasi Lingkungan

Terdapat begitu banyak kekhawatiran akan pengaruh nanopartikel

terhadap lingkungan, namun nanopartikel juga dapat berguna dalam melindungi

lingkungan. Jenis aplikasi yang digunakan ialah kolom-kolom yang mengandung

nanopartikel yang dapat mengikat partikel kontaminan tertentu. Ketika air

melewati rongga ini, partikel kontaminan tertentu akan diserap oleh nanopartikel

yang ada di dalam rongga. Nanopartikel ini kemudian dapat dikeluarkan dari rongga

(misalnya dengan magnetisasi) lalu partikel kontaminan tadi dapat terbuang dengan

sendirinya.

Emisi Elektron

Salah satu elemen penting dalam displai adalah katoda pemancar elektron.

Elektron yang dipancarkan menumbuk material fosfor pada layar displai sehingga

memancarkan cahaya luminisens dengan intensitas yang sesuai. Salah satu

kecenderungan pengembangan displai adalah membuat pemancar elektron yang

dapat bekerja pada medan listrik rendah. Pemancar elektron jenis ini sangat

potensial bagi pengembangan field emission display (FED) dan divais

mikroelektronika vakum lainnya. Umumnya pemancar elektron yang digunakan pada

displai yang ada sekarang berbentuk jarum yang sangat runcing (tip), seperti

diilustrasikan pada Gbr. 1.16. Penggunaan pemancar elektron medan rendah dapat

menghindari kompleksitas dan mahalnya biaya proses pembuatan tip yang sangat

tajam untuk memudahkan pelepasan elektron yang dilakukan selama ini.

Gambar 1.16 Salah satu komponen utama dalam displai adalah elemen pemencar

elektron

24
Intan dikenal memiliki afinitas elektron permukaan yang negatif sehingga

menjadi kandidat material pemancar elektron pada medan listik rendah. Lebih

lanjut, intan juga memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan stabilitas kimiawi

yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pemancar elektron yang berumur

panjang meskipun berada dalam kondisi yang sangat ekstrim.

Namun, masalahnya adalah intan merupakan insulator. Meskipun elektron

dapat dipancarkan dengan mudah dari permukaan intan, tetapi tidak ada

mekanisme yang dapat membawa elektron ke permukaan intan. Elektron hanya

dapat dibawa sampai ke permukaan intan jika permukaan intan atau keseluruhan

bagian intan itu sendiri bersifat konduktif. Kondisi ini tidak dapat dicapai pada

intan yang dikenal saat ini. Zhu dkk menemukan bahwa dengan mereduksi ukuran

intan hingga beberapa nanometer, elektron dapat ditransport melalui intan,

sekaligus dipancarkan dari permukaan intan dengan batuan mendal listrik rendah.

Ini adalah terobosan yang menarik bagi pengembangan field emission displai

generasi baru. Tampak di sini bahwa, betapa reduksi ukuran partikel ke dalam

beberapa nanometer menghasilkan sifat-sifat baru yang sama sekali tidak diamati

pada material ukuran besar.

Belum ada penjelasan teroretik yang mapan untuk menjelaskan mengapa

fenomena ini dapat terjadi. Fenomena ini berlawanan dengan feno,ena yang

umumnya dijumpai bahwa jika ukuran parikel direduksi maka partikel tersebut

makin tidak konduktif. Namun untuk intan justru terjadi sebaliknya. Intan yang

semula insulator, berubah menjadi konduktif ketika ukurannya direduksi menjadi

beberapa nanometer.

25

Anda mungkin juga menyukai