SKRIPSI
2017
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
Disusun Oleh:
Mengetahui,
Pembimbing
ii
PANITIA SIDANG SKRIPSI
Mengetahui,
Penguji I
Penguji II
Penguji III
iii
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan sebagai salah
satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S-1) Program Studi
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan tiruan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Desember 2017
RIZKI ZAHROTUL HAYATI, NIM: 1113101000059
Hubungan Konsentrasi PM10 dan Faktor Lingkungan Dalam Rumah Dengan
Keluhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Kecamatan Cakung Tahun 2017
(xix +120 halaman, 2 bagan, 27 Tabel, 8 Gambar, 3 Lampiran)
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan
bagi negara berkembang, terutama di Indonesia. Balita merupakan kelompok
dengan kejadian ISPA tertinggi di Indonesia. Provinsi DKI Jakarta merupakan
salah satu provinsi yang angka period prevalence nya lebih tinggi dari angka
period prevalence Nasional. Kelurahan Rawa Terate merupakan daerah dimana
terdapat area perindustrian tertua di Jakarta yang bernama Kawasan Industri
Pulogadung. Keluhan ISPA dapat terjadi akibat pencemaran udara baik di dalam
ataupun di luar rumah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi
PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita di
Puskesmas Rawa Terate. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional
dengan pendekatan kuantitatif dan dilakukan pada bulan Juli sampai September
2017. Besar sampel dalam penelitian ini yaitu 115 balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang mengalami
keluhan ISPA sebesar 79,1%. Konsentrasi PM10 berhubungan makna dengan
keluhan ISPA pada balita (p-value <0,05). PM10 merupakan partikel yang
respirable sehingga dapat memicu terjadinya ISPA. Sedangkan, beberapa variabel
lainnya tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan keluhan ISPA pada
balita (p-value >0,05). Beberapa variabel dalam penelitian ini tidak memenuhi
syarat seperti PM10, ventilasi, suhu, pencahayaan, kepadatan hunian, dan anggota
keluarga yang merokok.
Disarankan kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas udara dalam
rumah dengan cara sistem cross ventilation atau membuka jendela saat pagi hari
(jam 08.00 WIB) dan menutup jendela pada siang dan sore hari, memelihara
tanaman di teras dan area dapur sebagai barrier terhadap polutan, dan masyarakat
disarankan untuk tidak merokok. Untuk mengurangi paparan terhadap PM10,
masyarakat disarankan untuk menggunakan masker seperti masker biasa (face
mask/surgical mask) atau masker respirator N95 jika melakukan kegiatan di luar
rumah.
Kata Kunci: PM10, faktor lingkungan dalam rumah, keluhan ISPA, balita
Daftar Bacaan: 100 (1994-2017)
v
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Under Graduated Thesis, December 2017
RIZKI ZAHROTUL HAYATI, NIM: 1113101000059
Relationship between Particulate Matter (PM10) Concentration and House
Environmental Factor with Acute Respiratory Infection (ARI) complaints on
Children Under Five in Rawa Terate Health Centre, Cakung Sub-district in
2017
(xix +120 pages, 2 charts, 27 tables, 8 pictures, 3 attachments )
ABSTRACT
Acute Respiratory Infection (ARI) still become health problem for
developing countries, especially in Indonesia. Children under five are the group
with the highest incidence of ARI in Indonesia. DKI Jakarta Province is one of the
provinces that have higher period prevalence of ARI than the national period
prevalence. Rawa Terate village is an area where the oldest industrial area in
Jakarta called Pulogadung Industrial Estate is located. ARI complaints can occur
due to air pollution both inside and outside the home.
This study aims to determine the relationship between PM10 concentration
and house environmental factors with ARI complaints on children under five in
Rawa Terate Health Center. The design is cross sectional with quantitative
approach and conducted from July to September 2017. The number of sample in
this research is 115 children under five.
The results showed that the proportion of ARI symptoms in children under
five was 79,1%. PM10 concentration has significant relationship with ARI
complaints on children under five relatively (p <0,05). PM10 is a respirable
particle so it can trigger the occurrence of ARI. While other variables did not
show a significant relationship with ARI complaints on children under five (p
>0.05). Some of variables in this research did not meet the legal requirements
such as PM10, ventilation, temperature, lighting, occupancy density and smoking
family members.
It is suggested to the community to improve indoor air quality by cross
ventilation system or opening windows in the morning (at 08.00 WIB) and closing
the windows during the day and evening, keep the plants on terrace and kitchen
area as a barrier to against pollutants, and people are advised not to smoke. To
reduce exposure of PM10, people are encouraged to use masks such as face
mask/surgical mask or N95 respiratory mask, when doing outdoor activities.
Keywords: PM10, house environmental factor, ARI complaints, children under
five
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Riwayat Pendidikan
Pengalaman Organisasi
vii
Pengalaman Praktek Kerja
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Hubungan Konsentrasi PM10 dan Faktor Lingkungan
Dalam Rumah dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada
Balita di Puskesmas Rawa Terate Kecamatan Cakung Tahun 2017” dengan baik.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Kedua orang tua tercinta Bapak Zainuddin S.PdI dan Ibu Dra.
Sumiyati, adik Rizaldi Aziz Zain yang selalu ada dan siap membantu
serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril dan
materil, motivasi serta do’a yang tiada henti.
2. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing skripsi yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingannya dalam
penyusunan skripsi ini sehingga terselesaikan dengan baik.
3. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan persetujuan
dalam permohonan izin penelitian di tempat penelitian.
4. Ibu Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat sekaligus Pembimbing Akademik yang telah
memberikan saran, arahan selama penyusunan skripsi.
5. Pihak Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, Puskesmas Kecamatan
Cakung, Puskesmas Kelurahan Rawa Terate serta ibu-ibu kader yang
telah memberikan izin dan membantu dalam proses pengambilan data
penelitian.
6. Innes Alpionika, S.Si, Arin Erma Sari, Nadiah Mahmudah, Dzul
Faridah AH, S.KM, Mega Saraswati, Zidti Imaroh S.Kep yang selalu
ix
memberikan do’a, dukungan, serta semangat selama penyusunan
skripsi ini.
7. Annisa Ayu SL, S.KM, Rai Syifa Fauziah, Finni Rizki Putri,
Sofiyullah, S.KM, Darmawan Abiyanto, Muhammad Farhan, Aftah
Naufal RL, dan Sani Rizky F yang telah memberikan do’a, dukungan,
serta semangat kepada penulis.
8. Seluruh teman-teman Kesehatan Masyarakat UIN angkatan 2013 dan
peminatan Kesehatan Lingkungan 2013 yang telah banyak
memberikan bantuan, semangat dan do’a dalam penyusunan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
dapat dijadikan sebagai bahan masukan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Aamiin.
x
DAFTAR ISI
xi
2.2 Faktor Risiko ISPA ........................................................................................ 16
2.2.1 Faktor Agen ............................................................................................ 16
2.2.1.1 Agen Biologi ................................................................................. 16
2.2.1.2 Agen Fisik ..................................................................................... 16
2.2.1.2.1 Particulate Matter (PM10) ...................................................... 16
2.2.1.2.1.1 Definisi, Karakteristik, dan Sumber .................................. 16
2.2.1.2.1.2 Mekanisme Pajanan PM10 ke Tubuh Manusia .................. 17
2.2.1.2.1.3 Nilai Ambang Batas PM10 ................................................. 18
2.2.1.3 Agen Kimia................................................................................... 18
2.2.2 Faktor Pejamu ......................................................................................... 19
2.2.2.1 Usia ............................................................................................... 19
2.2.2.2 Jenis Kelamin................................................................................ 20
2.2.2.3 Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) ................................................ 20
2.2.2.4 Status Gizi..................................................................................... 21
2.2.2.5 Status Imunisasi ............................................................................ 22
2.2.3 Faktor Lingkungan ................................................................................. 23
2.2.3.1 Lingkungan Dalam Rumah ........................................................... 23
2.2.3.1.1 Kondisi Fisik Rumah ............................................................ 24
2.2.3.1.2 Kepadatan Hunian ................................................................. 30
2.2.3.1.3 Kegiatan Rumah .................................................................... 31
2.3 Kerangka Teori .............................................................................................. 35
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS .............................................................................................. 37
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 37
3.2 Definisi Operasional ...................................................................................... 39
3.3 Hipotesis ........................................................................................................ 43
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 44
4.1 Desain Penelitian ........................................................................................... 44
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................ 44
4.2.1 Tempat Penelitian ................................................................................... 44
4.2.2 Waktu Penelitian .................................................................................... 44
4.3 Populasi dan Sampel ...................................................................................... 44
4.3.1 Populasi .................................................................................................. 44
4.3.2 Sampel .................................................................................................... 45
4.3.3 Besar Sampel .......................................................................................... 45
xii
4.3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel ........................................................ 47
4.4 Pengumpulan Data ......................................................................................... 48
4.5 Instrumen Penelitian ...................................................................................... 49
4.6 Pengolahan Data ............................................................................................ 62
4.7 Validitas Data ................................................................................................. 63
4.8 Analisis Data .................................................................................................. 63
4.8.1 Analisis Univariat ................................................................................... 63
4.8.2 Analisis Bivariat ..................................................................................... 63
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 65
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian ........................................................... 65
5.1.1 Letak Geografis ...................................................................................... 65
5.1.2 Kependudukan ........................................................................................ 66
5.2 Analisis Univariat .......................................................................................... 66
5.2.1 Gambaran Keluhan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ............................... 66
5.2.2 Gambaran Karakteristik Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun
2017 ........................................................................................................ 67
5.2.2.1 Usia Balita .................................................................................... 67
5.2.2.2 Jenis Kelamin................................................................................ 67
5.2.2.3 Status Gizi..................................................................................... 68
5.2.2.4 Status Imunisasi ............................................................................ 68
5.2.2.5 Status BBLR ................................................................................. 68
5.2.3 Gambaran Konsentrasi PM10 dalam Rumah di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 .................................................................................. 69
5.2.4 Gambaran Faktor Lingkungan Dalam Rumah di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 .................................................................................. 70
5.2.4.1 Ventilasi ........................................................................................ 70
5.2.4.2 Suhu .............................................................................................. 70
5.2.4.2 Kelembaban .................................................................................. 71
5.2.4.3 Pencahayaan ................................................................................. 71
5.2.4.4 Letak Dapur .................................................................................. 72
5.2.4.5 Lubang Asap Dapur ...................................................................... 72
5.2.4.6 Kepadatan Hunian ........................................................................ 73
5.3.4.8 Anggota Keluarga yang Merokok ................................................. 73
5.3 Analisis Bivariat ............................................................................................. 74
5.3.1 Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .............................. 74
xiii
5.3.2 Hubungan Faktor Lingkungan Dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .............................. 75
5.3.2.1 Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita .............. 75
5.3.2.2 Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA ........................................ 76
5.3.2.3 Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA ............................ 77
5.3.2.4 Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA ........................... 78
5.3.2.5 Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA ............................ 79
5.3.2.6 Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA ............... 80
5.3.2.7 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA .................. 81
5.3.2.8 Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan
ISPA ............................................................................................. 82
BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................................... 84
6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 84
6.2 Keluhan ISPA pada Balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate .................... 84
6.3 Analisis Hubungan Konsentrasi PM10 Dalam Rumah dengan Keluhan
ISPA pada Balita ............................................................................................ 86
6.4 Analisis Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita ................. 91
6.5 Analisis Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA pada Balita ........................ 94
6.6 Analisis Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA pada Balita ............ 96
6.7 Analisis Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA pada Balita ........... 98
6.8 Analisis Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita .......... 100
6.9 Analisis Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita101
6.10 Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA pada Balita 103
6.11 Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan
ISPA pada Balita .......................................................................................... 105
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 108
7.1 Simpulan ...................................................................................................... 108
7.2 Saran ............................................................................................................ 110
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 112
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks ... 22
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian ........................................................... 39
Tabel 4.1 Besar Sampel dalam Penelitian Sebelumnya berdasarkan Faktor Risiko
Terjadinya Keluhan ISPA..................................................................... 46
Tabel 5.1 Distribusi Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ...................................... 66
Tabel 5.2 Distribusi Usia Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ............ 67
Tabel 5.3 Distribusi Jenis Kelamin di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ....... 67
Tabel 5.4 Distribusi Status Gizi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ............ 68
Tabel 5.5 Distribusi Status Imunisasi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 .... 68
Tabel 5.6 Distribusi Status BBLR di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ......... 69
Tabel 5.7 Distribusi Konsentrasi PM10 dalam Rumah Balita di Puskemas Rawa
Terate Tahun 2017 ................................................................................ 69
Tabel 5.8 Distribusi Ventilasi di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .............. 70
Tabel 5.9 Distribusi Suhu di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .................... 70
Tabel 5.10 Distribusi Kelembaban di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ...... 71
Tabel 5.11 Distribusi Pencahayaan di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ...... 71
Tabel 5.12 Distribusi Letak Dapur di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ...... 72
Tabel 5.13 Distribusi Keberadaan Lubang Asap Dapur di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 ............................................................................. 72
Tabel 5.14 Distribusi Kepadatan Hunian di Puskesmas Rawa Terate Tahun
2017 ................................................................................................... 73
Tabel 5.15 Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 ............................................................................. 73
Tabel 5.16 Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ......................... 74
Tabel 5.17 Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017................................................................... 75
Tabel 5.18 Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017................................................................... 76
xv
Tabel 5.19 Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 77
Tabel 5.20 Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 78
Tabel 5.21 Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 79
Tabel 5.22 Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 80
Tabel 5.23 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 81
Tabel 5.24 Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ......................... 82
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Penentuan titik pengukuran penerangan umum dengan luas kurang dari
10m2 ........................................................................................................ 58
Gambar 4.2 Penentuan titik pengukuran penerangan umum dengan luas antara 10 m2
sampai 100 m2 ........................................................................................ 59
Gambar 4.3 Penentuan titik pengukuran penerangan umum dengan luas lebih dari
100 m2 ..................................................................................................... 59
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kelurahan Rawa Terate Kecamatan Cakung ................... 65
Gambar 6.1 Masker biasa (face mask atau surgical mask) ........................................ 91
Gambar 6.2 Masker respirator N95 ............................................................................ 91
Gambar 6.3 Cross ventilation saat kondisi tidak memungkinkan untuk menempatkan
jendela pada dinding berhadapan ........................................................... 93
Gambar 6.4 Cross ventilation saat kondisi hanya memungkinkan penempatan jendela
pada satu dinding saja ............................................................................. 94
xvii
DAFTAR BAGAN
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
DAFTAR ISTILAH
AC : Air Conditioner
OR : Odds Ratio
PM : Particulate Matter
TBC : Tuberculosis
xx
1 BAB I
PENDAHULUAN
utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Berdasarkan data WHO
tahun 2011, ISPA menyumbang 15% penyebab kematian anak usia dibawah lima
tahun di seluruh dunia. Diperkirakan 40% dari total kematian tersebut berada di
negara berkembang yaitu Bangladesh, India, Indonesia, dan Nepal (Mathew dkk.,
2011). Di Asia Tenggara tahun 2013, ISPA menyumbang 17% penyebab kematian
anak usia dibawah lima (WHO, 2015). Sedangkan di Indonesia tahun 2013, ISPA
menyumbang 16% penyebab kematian balita akibat ISPA. Pada Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, period prevalence ISPA di Indonesia sebesar 25%
tidak jauh berbeda dengan data Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 25,5%. Selain itu,
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 kelompok umur 1-4 tahun merupakan
RI, 2013a).
atau lebih gejala yaitu pilek, batuk, demam, nyeri tenggorok, suara serak
(Kementerian Kesehatan RI, 2002; WHO, 2007). Keluhan ISPA yang sering muncul
yaitu batuk dan pilek. Episode batuk dan pilek pada balita di Indonesia diperkirakan
2 sampai 3 kali per tahun (Rudan dkk., 2008). Berdasarkan data Survei Kesehatan
Nasional (Susenas) tahun 2014, keluhan kesehatan yang sering dialami balita di
1
2
Indonesia adalah pilek (58,32%), batuk (57,62%), dan panas (53,90%) (KPPPA,
2015).
Kejadian ISPA bisa terjadi karena pencemaran kualitas udara baik di luar
yang kurang baik bagi kesehatan manusia. Pencemaran udara yang terjadi di luar
ruangan dapat pula terjadi di dalam ruangan, dikarenakan partikel polutan luar
ruangan dapat masuk ke lingkungan dalam rumah. Partikel polutan tersebut dapat
menjadi salah satu faktor risiko terhadap perkembangan penyakit pernapasan seperti
asma, bronkitis, pneumonia, dan penyakit paru obstruktif kronik (Jang dkk., 2016).
Studi United State Environmental Protection Agency (US EPA) tentang peluang
manusia terpapar polusi mengindikasikan bahwa derajat polusi udara dalam ruang
bisa dua sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan polusi luar ruangan
Balita merupakan salah satu kelompok umur yang rentan terhadap masalah
kesehatan terutama ISPA. Sebagian besar (80%-90%) waktu balita setiap harinya
berada di dalam rumah, dimana terdapat pajanan polusi udara dalam rumah
diantaranya adalah PM10. Maka risiko balita tersebut terkena ISPA juga cukup tinggi.
Hal ini sejalan dengan data dari World Health Statistic (2016) bahwa polusi udara
dalam rumah dapat meningkatkan risiko terkena ISPA pada balita. Hasil penelitian
Farieda (2009), disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara PM10
dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan p-value 0,000. Selain itu dari
hasil analisis diperoleh nilai OR 56,536, yang artinya PM10 diatas nilai ambang batas
(>70 µg/m3) mempunyai risiko 56,536 kali untuk terjadi ISPA pada balita
Faktor risiko lain yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yaitu
faktor lingkungan dalam rumah seperti kondisi fisik rumah (ventilasi, suhu,
kelembaban, pencahayaan, letak dapur, konstruksi dinding, jenis lantai, dan lubang
asap dapur), kepadatan hunian, dan kegiatan dalam rumah (jenis bahan bakar
memasak, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota keluarga yang terkena ISPA, dan
pada balita di Kabupaten Wonosobo, faktor lingkungan fisik rumah seperti ventilasi,
kelembaban, dinding rumah, cerobong asap, kepadatan hunian, jenis bahan bakar
masak, anggota keluarga yang merokok, anggota keluarga yang terkena ISPA, serta
Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2013 adalah 25,2% dan melewati prevalensi
ISPA menurut kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Timur pada
tahun 2013 angka period prevalence ISPA di Kota Jakarta Timur meningkat dari
26,6% menjadi 26,9% (Kementerian Kesehatan RI, 2013b). Data hasil rekapan
yang paling banyak terjadi adalah ISPA dan Asma (Putri, 2012). Berdasarkan data
penyakit bulan Januari hingga Mei tahun 2017 di Puskesmas Rawa Terate, jumlah
kasus ISPA pada balita mencapai 686 kasus, dengan angka prevalens sebesar 382 per
1000 penduduk balita. Kelurahan Rawa Terate merupakan daerah dimana terdapat
area perindustrian tertua di Jakarta yaitu Kawasan Industri Pulogadung. Selain itu,
jalan raya disekitar Kelurahan Rawa Terate merupakan jalan raya yang sering
4
Pulogadung.
(TSP). TSP merupakan indikator pertama yang digunakan untuk mewakili partikel
tersuspensi yang ada di udara ambien. TSP merupakan partikel yang berukuran
sampai sekitar 50 µm. Namun, di dalam TSP juga terkandung PM10 dan PM2,5 yang
dapat masuk ke paru-paru (Araújo dkk., 2014) dan diperkirakan di dalam konsentrasi
TSP terdapat 60% kandungan PM10 (Dockery dan Pope III, 1994). Berdasarkan data
pengukuran yang dilakukan oleh BPLHD Jakarta, konsentrasi TSP tertinggi pada
tahun 2015 mencapai 315 µg/m3. Sedangkan baku mutu untuk konsentrasi TSP yang
telah ditentukan oleh PP No. 41 Tahun 1999, yaitu sebesar 230 µg/m3 dan baku mutu
PM10 adalah sebesar 150 µg/m3. Jika dilihat dari konsentrasi TSP di Kelurahan Rawa
Terate pada tahun 2015 mencapai angka 315 µg/m3, dan 60% nya adalah konsentrasi
PM10 sebesar 189 µg/m3. Hal tersebut membuktikan bahwa konsentrasi TSP dan
PM10 di Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung telah melebihi baku mutu yang
(76,7%) mengalami keluhan ISPA pada balita, dengan keluhan terbanyak adalah
pilek (46,7%), batuk (40%), dan demam (33,3%). Sebagian besar responden
mengalami keluhan tersebut selama 3 hari. Sedangkan, hasil studi pendahuluan untuk
lingkungan dalam rumah seperti suhu dan kelembaban rumah tidak memenuhi syarat
yang telah ditetapkan. Selain itu, sebanyak 63,3% atau 19 responden memiliki
5
hunian yang padat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anthony (2008),
variabel suhu mempunyai hubungan yang signifikan dengan gangguan ISPA pada
balita dengan nilai OR 4,49 artinya, balita yang tinggal di dalam rumah dengan suhu
tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 4,49 kali untuk terkena gangguan ISPA
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu yang memenuhi
syarat. Selain itu, hasil penelitian Anthony (2008) juga menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara variabel kepadatan hunian dengan gangguan ISPA.
Hasil analisis tersebut didapatkan nilai OR sebesar 4,57 artinya risiko menderita
gangguan ISPA pada balita yang tinggal dalam rumah yang padat huni sebesar 4,57
kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan kepadatan hunian
antara konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di wilayah Puskesmas Kelurahan Rawa
gejala penyakit tersebut. Keluhan ISPA yang sering muncul adalah batuk, pilek, dan
demam. Salah satu provinsi yang masih cukup tinggi kejadian ISPA nya adalah
Provinsi DKI Jakarta, dilihat dari angka period prevalence ISPA nya yang masih
melewati period prevalence Nasional yaitu 25,2%. Kota Jakarta Timur merupakan
salah satu kota administratif di Provinsi DKI Jakarta yang mengalami peningkatan
angka period prevalence. Pada tahun 2007, period prevalence kota Jakarta Timur
6
sebesar 26,6% mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi 26,9%. Kelurahan
Rawa Terate merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan
Cakung, Jakarta Timur. Jumlah kasus ISPA pada balita di bulan Januari hingga Mei
tahun 2017 di Puskesmas Rawa Terate mencapai 686 kasus, dengan angka prevalens
sebesar 382 per 1000 penduduk balita. Kejadian ISPA di daerah Kelurahan Rawa
Terate dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu agen, host atau pejamu, dan
lingkungan. Faktor agen fisik berupa konsentrasi PM10 dapat menjadi faktor risiko
terjadinya ISPA pada balita, dikarenakan lokasi Kelurahan Rawa Terate berada dekat
dengan area perindustrian Pulogadung dan jalan raya yang dapat meningkatkan
pernapasan. Selain itu faktor lingkungan dalam rumah seperti ventilasi, suhu,
kelembaban, pencahayaan, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan
tahun 2017?
dan anggota keluarga yang merokok) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017?
7
dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada balita di
1.4 Tujuan
lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita di Puskesmas Rawa
tahun 2017.
dan anggota keluarga yang merokok) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada balita di
1.5 Manfaat
wawasan dan pengalaman bagi penulis mengenai PM10, faktor lingkungan dalam
keluarga balita melalui penyuluhan kesehatan tentang efek kesehatan akibat paparan
PM10, faktor lingkungan dalam rumah dan pengaruhnya terhadap kejadian ISPA pada
balita.
tentang paparan PM10 dalam rumah dan kondisi lingkungan dalam rumah sebagai
faktor risiko kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Rawa Terate, serta informasi
Berdasarkan judul penelitian ini, maka ruang lingkup penelitian hanya sebatas
pada hubungan antara konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah dengan
keluhan ISPA pada balita di Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung. Kejadian
ISPA pada anak balita dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam penelitian ini faktor
risiko kejadian ISPA pada balita yang diteliti adalah konsentrasi PM10 dalam rumah
dan variabel lain yang berhubungan dengan keluhan ISPA pada balita seperti
ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan
hunian, dan anggota keluarga yang merokok. Variabel lain seperti konstruksi
dinding, jenis lantai, jenis bahan bakar memasak, penggunaan obat nyamuk bakar,
dan keberadaan hewan peliharaan tidak diteliti, karena berdasarkan hasil studi
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai September tahun 2017 dengan
Kecamatan Cakung. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional untuk mengetahui hubungan konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam
rumah (suhu, kelembaban, pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur,
kepadatan hunian, dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada
rumah hanya dilakukan satu kali yaitu pada saat kunjungan dan dilakukan di ruangan
tempat balita sering tidur. Pengukuran PM10 dilakukan selama satu jam dengan
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan
keberadaan anggota keluarga yang merokok. Pengukuran ventilasi serta luas lantai
rumah ataupun kamar balita saat tidur menggunakan Roll meter. Variabel faktor
umur, jenis kelamin, berat bayi saat lahir untuk mengetahui apakah bayi tersebut
BBLR, status imunisasi balita yang bersangkutan dengan melihat Kartu Menuju
Sehat (KMS), serta penentuan status gizi balita dilakukan berdasarkan antropometri
yaitu indeks BB/U dengan melihat riwayat penimbangan yang ada dalam KMS balita
tersebut.
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum
penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit
lingkungan, dan faktor pejamu. Namun di dalam pedoman interim WHO tahun 2007,
ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh
2011, ISPA adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran
napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga
tengah, pleura) (Kementerian Kesehatan RI, 2011a). Pada umumnya penyakit ISPA
mengalami sakit batuk dan pilek 3 sampai 6 kali pertahun (Endah dan Daroham,
2009).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan yang bersifat akut, dan menyerang salah
satu bagian atau lebih dari saluran pernapasan mulai dari hidung (bagian atas) dan
alveoli (bagian bawah) termasuk jaringan adneksanya, biasanya menular dan dapat
11
12
pejamu.
Penyebab ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Korinebakterium. Virus penyebab
juga dapat terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus.
Semua jenis infeksi mengaktifkan respons imun dan inflamasi sehingga terjadi
peningkatan produksi mukus yang berperan menimbulkan ISPA, yaitu kongesti atau
hidung tersumbat, sputum berlebihan, dan pilek. Sakit kepala, demam ringan, dan
Untuk menegakan etiologi ISPA pada balita sulit dilakukan karena untuk
aspirat paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan
bakteri penyebab ISPA pada balita. Oleh karena itu penetapan etiologi ISPA balita di
Indonesia mengacu pada hasil penelitian di luar negeri (Depkes RI, 2002 dalam
Afandi, 2012). Menurut Lederberg dkk., bakteri adalah penyebab utama infeksi
merupakan penyebab paling umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit
13
yang disebabkan oleh bakteri. Namun demikian, patogen yang paling sering
menyebabkan ISPA adalah virus, atau infeksi gabungan virus-bakteri (WHO, 2007).
RI, 2002)
napas cepat sebanyak 50 kali per menit atau lebih untuk usia 2 bulan
sampai < 1 tahun, 40 kali per menit atau lebih untuk usia 1 sampai < 5
tahun.
atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian
spesimen <2 bulan adalah infeksi bakteri yang serius dan infeksi bakteri lokal
disebabkan adanya interaksi antara agen atau faktor penyebab penyakit, manusia
sebagai pejamu atau host, dan faktor lingkungan yang mendukung. Proses interaksi
ini disebabkan adanya agen penyebab penyakit kontak dengan manusia sebagai
pejamu yang rentan dan didukung oleh keadaan lingkungan (Budiarto dan
Anggraeni, 2002).
Sumber agen penyebab sakit pada ISPA adalah bakteri, virus, dan polutan
udara. Bakteri dan virus dapat berasal dari lingkungan rumah yang kurang sehat
seperti kelembaban dan ventilasi yang buruk ataupun adanya penderita ISPA
serumah. Sedangkan untuk polutan udara berasal dari polusi udara di dalam ataupun
perpindahan fisik mikroorganisme antara orang yang terinfeksi atau terkolonisasi dan
15
pejamu yang rentan, maupun kontak tak langsung yang melibatkan kontak antara
pejamu rentan dengan benda perantara yang terkontaminasi (misalnya, tangan yang
2007).
selama terjadinya batuk, bersin, dan berbicara. Penularan terjadi bila droplet yang
mengandung mikroorganisme ini tersembur dalam jarak dekat (biasanya < 1m)
melalui udara dan terdeposit di mukosa mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau
Setelah agen penyakit terdeposit maka sudah masuk ke dalam tubuh. Agen
tersebut akan menimbulkan infeksi yang mengaktifkan respons imun dan inflamasi.
menimbulkan batuk, pilek, dan hidung tersumbat. Apabila agen telah memasuki
saluran pernapasan bawah, maka agen dapat menimbulkan infeksi pada saluran
Tanda dan gejala yang biasanya muncul pada penderita ISPA bukan
pneumonia diawali dengan batuk, dan sering juga nyeri tenggorokan, pilek, demam
tidak lebih dari 7 hari, tanpa disertai gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak
Kesehatan RI, 2002, 2015; WHO, 2007). Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu
Terjadinya ISPA dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari faktor agen,
ISPA disebabkan oleh berbagai agen infeksius yang terdiri dari 300 lebih
jenis virus, bakteri dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA meliputi genus
Selain agen biologis diatas, agen fisik seperti pencemar udara juga dapat
udara yang memberikan dampak yang besar terhadap kesehatan manusia karena
Particulate Matter (PM10) adalah polutan partikel padat yang ada di udara.
Fokus penting untuk kesehatan masyarakat adalah partikel cukup kecil yang dapat
17
terhirup sampai bagian terdalam paru-paru. Partikel ini berukuran kurang dari 10
mikron dengan tebal sekitar se per tujuh ketebalan rambut manusia dan dikenal
sebagai PM10. PM10 adalah komponen utama pencemaran udara yang mengancam
inhalable dust. PM10 merupakan kelompok partikulat yang mudah terhirup, karena
ukurannya maka PM10 lebih spesifik dijadikan partikulat yang respirable dan
Sumber utama PM10 baik di kota maupun di desa antara lain kendaraan
bermotor, debu dari konstruksi, industri, dan debu dari tanah terbuka. PM10 adalah
campuran dari unsur-unsur yang mencakup asap, jelaga, debu, dan logam
antara lain dapat berasal dari perilaku merokok, penggunaan energi masak dari bahan
bakar biomassa, dan penggunaan obat nyamuk bakar (Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
partikel ini menembus pertahanan dari sistem pernapasan dan masuk ke dalam tubuh
partikulat yang berukuran lebih kecil akan dicegah masuk oleh membran mukosa
18
penyakit saluran pernapasan. Tidak ada debu yang benar-benar inert (tidak merusak
paru-paru), dan pada konsentrasi tinggi semua debu bersifat merangsang dan
menimbulkan reaksi produksi lendir yang berlebihan (Gestrudis, 2010). PM10 dapat
kesehatan untuk semua orang, orang-orang tertentu sangat rentan terhadap efek
merugikan dari PM10 ini. Pejamu rentan tersebut termasuk balita, anak-anak, orang
tua, dan orang yang menderita asma atau bronkitis. Studi terbaru menyebutkan
bahwa hubungan paparan PM10 dengan kematian dini pada orang yang telah
memiliki penyakit hati dan penyakit paru-paru, terutama orang tua (Californian
Udara Dalam Ruang Rumah adalah sebesar ≤70 µg/m3 (Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
Agen kimia merupakan unsur dalam bentuk senyawa kimia yang dapat
umumnya berasal dari luar tubuh. Bentuk agen kimia dapat berupa padat, cair, dan
gas (Noor, 2008). Beberapa contoh agen kimia yang dapat masuk ke dalam tubuh
dengan cara inhalasi antara lain zat kimia dalam bentuk gas (COX, SOX), uap (uap
bensin), debu mineral (asbestos), dan partikel di udara (zat-zat alergen) (Nuning
dkk., 2006).
Agen kimia seperti gas COX jika terhirup akan dapat terikat dengan
kardiovaskuler), sistem syaraf pusat, juga janin, dan semua organ tubuh yang peka
nyata teramati walaupun dalam kadar rendah. Penderita penyakit jantung dan
(Tugaswati, 2008).
2.2.2.1 Usia
Balita mempunyai risiko lebih besar untuk terkena ISPA. Faktor risiko
balita terkena ISPA terutama pneumonia, jika dilihat berdasarkan usia yaitu usia
balita <2 bulan memiliki risiko lebih tinggi terkena ISPA dibandingkan dengan balita
dengan usia 2 bulan sampai dengan 5 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2002).
Hasil analisis faktor risiko membuktikan bahwa usia merupakan salah satu faktor
risiko penyebab terjadinya kematian pada balita yang sedang menderita pneumonia.
Semakin tua usia balita yang menderita pneumonia, semakin kecil risiko meninggal
20
akibat pneumonia dibanding balita dengan usia muda (Djaja, 1999 dalam Afandi,
2012).
berfungsi sebagai sumber perlindungan terhadap beberapa virus, salah satunya virus
terhadap infeksi, termasuk ISPA. Angka insidens ISPA tertinggi juga ditemukan
pada anak usia 2-3 tahun, dan kemungkinan karena paparan dari faktor lingkungan
(Kementerian Kesehatan RI, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian Ramani dkk
memungkinkan mereka lebih rentan terhadap tertularnya partikel yang ada di udara
(Ramani dkk., 2016). Selain itu, diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih
kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dari daya tahan
masa balita. Bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko
kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama
pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang
21
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama sakit saluran
badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita dengan p-value sebesar 0,024.
Status gizi anak usia bawah lima tahun merupakan indikator kesehatan publik
yang secara internasional dikenal untuk memonitor kesehatan dan status gizi
penduduk. Ada tiga indikator status gizi anak balita antara lain berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badat badan menurut
tinggi badan (BB/TB). Berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB dan baku antropometri
WHO tahun 2006, ditetapkan sebagai status gizi anak (LPEM FEUI, 2009).
yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi anak berdasarkan indeks,
gizi buruk, maka dia akan lebih rentan terkena penyakit. Hal ini dikarenakan
menurunnya daya tahan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal,
sampai pada kematian yang akan menurunkan kualitas generasi muda mendatang
bahwa Case Fatality Rate (CFR) ISPA pada anak dengan gizi buruk 27 kali lebih
tinggi (14,5%) dibandingkan dengan anak normal (0,6%) (Ramani dkk., 2016).
Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah
menurunkan angka kematian anak usia bawah lima tahun. Imunisasi dasar lengkap
23
meliputi BCG, tiga kali polio, tiga kali DPT, tiga kali hepatitis B, dan campak
sering terjadi pada anak yang mengalami penyakit campak. Selain imunisasi campak,
imunisasi DPT mencegah terjadi penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Menurut
diderita oleh semua orang tetapi penyakit ini lebih serius bila terjadi pada bayi
yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Pada
melakukan kegiatan di dalam rumah sehingga rumah menjadi sangat penting sebagai
lingkungan mikro yang berkaitan dengan risiko dari pencemaran udara. Pencemaran
udara akan mengakibatkan kualitas udara menjadi buruk dalam ruang rumah dan
RI, 2011b). Lingkungan dalam rumah dapat menjadi faktor risiko terjadinya suatu
penyakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Penyakit Menular
berpengaruh antara lain jumlah orang yang merokok, jumlah rokok yang dihisap,
masuknya asap dapur ke dalam ruangan keluarga, ventilasi rumah yang tidak baik,
jarak antara rumah dengan bengkel las/tempat sampah. Keadaan lingkungan dapat
mempengaruhi episode kejadian ISPA pada anak (Endah dan Daroham, 2009).
a. Ventilasi
yang lain adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri patogen,
(Notoatmodjo, 2007).
pertukaran udara agar udara dalam rumah tetap segar, maka ventilasi harus
adanya hubungan lemah antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada
balita dengan nilai p<0,05 (0,000) dan nilai Cc=0,359. Penelitian tersebut
terjadi pada rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
b. Suhu
Kesehatan RI, 2011b). Kondisi suhu yang terlalu rendah atau terlampau
tinggi akan bisa mempengaruhi kondisi udara dalam ruangan akibat dari
pergerakan atau pertukaran udara yang tidak berjalan dengan baik (Afandi,
2012). Suhu yang rendah pada musim dingin dapat meningkatkan viskositas
lapisan mukosa pada saluran napas dan mengurangi gerakan silia, sehingga
(2009) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara suhu dalam ruang
dengan kejadian ISPA pada balita. Dengan nilai OR < 1, sehingga dapat
c. Kelembaban
Kelembaban adalah persentase jumlah air di udara atau uap air dalam
tahun 2011 dalam Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang adalah 40% -
2015).
ISPA pada balita. Namun, hasil nilai OR > 1 (2,45) menunjukkan bahwa
d. Pencahayaan
27
2011b).
matahari melalui jendela, lubang angin dan pintu dari arah timur di pagi hari
dan barat di sore hari. Pencahayaan alami sangat penting dalam menerangi
jalan masuk cahaya matahari dari arah barat dan timur sekurang-kurangnya
15%-20% dari luas lantai yang terdapat di dalam rumah (Wattimena, 2004
253,7 nm bisa membunuh kuman, bakteri, virus, serta jamur yang dapat
jamur) sehingga DNA mikroba menjadi steril. Jika mikroba terkena sinar
e. Letak Dapur
58,25% rumah tangga memiliki status rumah yang tidak memadai. Tidak
adanya pemisah dapur atau sekat di rumah, dan kurang memadainya dapur
dan kamar mandi sehingga asap menumpuk di dalam ruangan. Hal ini
terhadap ISPA.
dapur sehingga tidak menyebabkan asap dari dapur masuk ke ruangan lain
f. Konstruksi Dinding
yang terbuat dari anyaman bambu, papan kayu, dan bersifat permanen
(plester). Untuk dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu atau
papan kayu masih dapat ditembus oleh udara, secara penghawaan akan
dari segi kebersihan. Debu yang terbawa menjadi media yang baik untuk
2008; Sinaga, 2012). Konstruksi dinding yang baik adalah dinding rumah
yang kedap air serta mudah dibersihkan, konstruksi kuat, serta tidak
g. Jenis Lantai
kesehatan serta tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh
yang memiliki jenis lantai keramik atau ubin cenderung lebih baik karena
mudah dibersihkan dan tidak lembab. Sebaliknya lantai yang hanya di cor,
cenderung lembab, tidak kedap air, dan bisa menjadi tempat berkembang
Lantai yang berdebu dan basah dapat menjadi sarang penyakit serta
yang sehat harus memiliki lubang asap dapur. Di perkotaan, dapur sudah
manusia terutama penghuni di dalam rumah. Lubang asap rumah yang tidak
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Notoatmodjo, (2003) dalam
Kesehatan Rumah, yaitu satu orang minimal menempati luas rumah 8 m2.
dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna
pada bayi tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan
memberikan korelasi yang tinggi pada faktor ini (Gestrudis, 2010). Banyak rumah
penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat jika kepadatan semakin
kondisi rumah tidak memenuhi syarat fisik, seperti ventilasi yang kurang
Obat nyamuk terdiri dari berbagai macam jenis, yaitu bakar, semprot,
elektrik, dan oles. Adapun obat nyamuk yang dapat menimbulkan risiko
terbesar terhadap saluran pernapasan adalah obat nyamuk bakar. Untuk obat
Sedangkan, obat nyamuk elektrik lebih kecil lagi menimbulkan asap, karena
bekerja dengan cara mengeluarkan asap tapi dengan daya elektrik. Sehingga
32
makin kecil dosis bahan zat aktif, makin kecil pula bau yang ditimbulkan
(Sinaga, 2012).
organic filler, bahan pengikat, zat pewarna dan material tambahan yang
terlapis oleh berbagai senyawa organik, beberapa diantara senyawa itu pun
biomassa (material dari kumparan obat nyamuk bakar) (Liu dkk., 2003).
bernama nikotin, yaitu zat yang berasal dari daun tembakau. Nikotin
dalam tubuh nikotin dengan dosis rendah berdampak pada gangguan saluran
seperti tar dan karbon monoksida. Tar dapat mengiritasi saluran pernapasan.
Tjuatja, 2014). Akibat merokok yang parah adalah flek hitam di paru-paru
(Sukmana, 2009). Selain itu, merokok memiliki efek samping besar pada
adalah sebutan bagi orang yang menghirup asap rokok atau tembakau dari
orang lain. Perokok aktif maupun pasif yang terpapar asap rokok akan
rokok yang dihirup oleh perokok pasif, sama bahayanya dengan rokok dan
asap yang dihirup oleh perokok aktif. Karenanya, penyakit perokok pasif
hampir sama dengan penyakit yang diderita oleh perokok aktif. Di rumah,
risiko perokok pasif seperti anak-anak dan wanita hamil juga besar.
Penyakit perokok pasif yang mungkin dapat terjadi pada mereka adalah
pada anak), gangguan kehamilan dan janin (lahir prematur, cacat fisik, serta
pejamu yang rentan, maupun kontak tak langsung yang melibatkan kontak
Apabila agen telah memasuki saluran pernapasan bawah, maka agen dapat
(WHO, 2007).
hubungan antara anggota keluarga yang sakit ISPA dengan kejadian ISPA
secara statistik bermakna dengan nilai p 0,0019 (95% CI: 1,179-1,708) dan
memiliki nilai OR 1,42 yang berarti adanya anggota keluarga lain yang
menderita ISPA berisiko menyebabkan kejadian ISPA pada Balita 1,42 kali
bulu hewan dan kotoran hewan tersebut mencemari udara dalam rumah
Hubungan ini terkait dengan reaksi alergi dari sistem pernapasan terhadap
Kerangka teori dibuat berdasarkan hasil kajian teori, studi kepustakaan dan
Kesehatan RI (2011), dan Nuning dkk., (2006) menjelaskan bahwa faktor risiko
ISPA dari faktor agen terdiri dari agen biologis, fisik, dan kimia serta sumber
dari agen tersebut dapat menimbulkan risiko keluhan ISPA. Untuk faktor pejamu
antara lain usia (Afandi, 2012; Ramani dkk., 2016), jenis kelamin (Ramani dkk.,
2016), status gizi (Krisnansari, 2010), status imunisasi (Hidayat, 2008; LPEM
FEUI, 2009), dan BBLR (Farieda, 2009) dapat memengaruhi terjadinya keluhan
balita adalah lingkungan dalam rumah yang terdiri dari kondisi fisik rumah
lantai, dan lubang asap dapur), kepadatan hunian, dan kegiatan dalam rumah
(jenis bahan bakar memasak, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota keluarga
yang merokok, anggota keluarga yang mengalami ISPA, dan keberadaan hewan
peliharaan). Maka dapat dirumuskan suatu kerangka teori dari penelitian ini.
Sumber: (Californian Environmental Protection Agency, 2009), (Tosepu, 2016), (Pujiastuti dkk., 2013), (Kementerian Kesehatan RI,
2011b), (Nuning dkk., 2006), (Afandi, 2012), (Ramani dkk., 2016), (Krisnansari, 2010), (LPEM FEUI, 2009), dan (Farieda,
2009)
36
3 BAB III
sebelumnya dimana terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan keluhan ISPA
pada balita, yaitu faktor agen, pejamu, dan lingkungan dalam rumah. Faktor agen
berupa agen biologi, agen fisik, dan agen kimia. Faktor pejamu terdiri dari usia, jenis
kelamin, status gizi, status imunisasi, dan BBLR; kemudian faktor lingkungan dalam
rumah yang terdiri dari jenis lantai, kontruksi dinding, kepadatan hunian rumah,
ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, lubang asap dapur, jenis bahan bakar
masak, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota keluarga yang merokok, anggota
Namun, peneliti tidak mengambil seluruh faktor untuk diteliti. Peneliti hanya
ingin mengetahui bagaimana hubungan konsentrasi PM10 dalam rumah dan faktor
lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita. Faktor agen biologi tidak
diteliti dikarenakan peneliti hanya fokus pada kategori ISPA bukan pneumonia,
selain itu dengan melakukan pemeriksaan biologi terkait angka kuman yang
terkandung dalam rumah akan merujuk kepada ISPA pneumonia. Sehingga untuk
faktor lingkungan dalam rumah yaitu anggota keluarga yang mengalami ISPA tidak
diteliti karena berkaitan dengan keberadaan agen biologi. Untuk agen kimia tidak
Faktor pejamu tidak dilakukan analisis lebih lanjut hanya berupa gambaran
saja. Hal ini dikarenakan peneliti ingin lebih fokus pada tujuan penelitian yaitu
37
38
mengetahui hubungan antara konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah
dengan keluhan ISPA pada balita. Serta berdasarkan hasil studi pendahuluan variabel
status gizi, status imunisasi, dan BBLR datanya bersifat homogen. Selain itu, ada
beberapa faktor lingkungan dalam rumah yang tidak diambil oleh peneliti
dikarenakan data yang didapat saat studi pendahuluan menunjukkan data yang
homogen. Data tersebut adalah konstruksi dinding, jenis lantai, jenis bahan bakar
Peneliti hanya mengambil variabel PM10, dan faktor lingkungan dalam rumah seperti
ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan
hunian, dan anggota keluarga yang merokok sebagai variabel independen penelitian
Agen Fisik
Ventilasi
Suhu
Kelembaban
Pencahayaan
Letak dapur
Lubang asap dapur
Kepadatan Hunian
Anggota keluarga yang
merokok
Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
1. Keluhan ISPA Anak balita umur 1-59 bulan yang Wawancara Kuesioner 0. Ya Ordinal
pada Balita menderita gangguan saluran pernapasan 1. Tidak
yang berhubungan dengan keluhan
ISPA dalam kurun waktu 2 minggu
terakhir meliputi batuk, pilek,
demam/panas tidak lebih dari 7 hari,
nyeri tenggorokan, tanpa tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam
atau peningkatan frekuensi bernapas
(WHO, 2007; Ditjen PP & PL, 2013;
Kementerian Kesehatan RI, 2015)
2. PM10 dalam Konsentrasi partikulat berukuran Pengukuran Haz-Dust 0. Tidak memenuhi syarat Ordinal
rumah maksimum 10 mikron dalam satuan EPAM 5000 (TMS)
µg/m3 di ruangan tidur balita sewaktu (PM10 > 70 µg/m3).
pengukuran. 1. Memenuhi syarat (MS)
Hasil pengukuran dibandingkan dengan (PM10 ≤70 µg/m3)
konsentrasi maksimal PM10 sebesar ≤70
µg/m3.
(Kementerian Kesehatan RI,
2011b)
40
Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
3. Ventilasi Perbandingan luas jendela atau lubang Wawancara Roll meter, 0. Tidak memenuhi syarat Ordinal
angin sebagai sarana pertukaran udara dan Kuesioner (TMS) (Ventilasi <10%
dengan luas lantai kamar balita sering Pengukuran luas lantai dan ventilasi
tidur. tidak dibuka minimal saat
pagi hari).
1. Memenuhi syarat (MS)
(Ventilasi ≥10% luas lantai
dan ventilasi dibuka
minimal saat pagi hari)
Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
dengan kelembaban berkisar antara 40- Rh atau >60% Rh).
60% Rh 1. Memenuhi syarat (MS)
(Kelembaban 40%-60% Rh)
Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
ada atau tidaknya lubang pengeluaran Observasi Observasi (tidak ada lubang asap
asap dapur sehingga tidak terjadi seperti ventilasi (jendela)
pengumpulan asap di dapur (Anthony, yang mengeluarkan asap
dapur).
2008)
1. Memenuhi syarat (MS)
(ada lubang asap seperti
ventilasi (jendela) yang
mengeluarkan asap dapur).
3.3 Hipotesis
hunian, dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada
METODOLOGI PENELITIAN
faktor lingkungan dalam rumah dan keluhan ISPA pada Balita. Alasan
dalam rumah dan faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada
Cakung, Jakarta Timur. Kelurahan Rawa Terate terdiri dari 6 RW dan 60 RT.
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai September tahun 2017.
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang memiliki balita
yang berumur 1 sampai 59 bulan, yang ada di wilayah Puskesmas Rawa Terate,
44
45
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari rumah tangga yang
memiliki balita berumur 1 sampai 59 bulan, yang ada di wilayah Puskesmas Rawa
Terate, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Rumah tangga yang terpilih menjadi
1. Kriteria Inklusi
2. Kriteria Eksklusi
pula melihat dari buku KIA terkait diagnosis penyakit yang pernah
diderita balita.
dua proporsi populasi untuk melihat perbedaan risiko antara dua kelompok
Keterangan:
risiko.
Besar proporsi yang akan dipakai pada penelitian ini, diperoleh dari
Tabel 4.1 Besar Sampel dalam Penelitian Sebelumnya berdasarkan Faktor Risiko
Terjadinya Keluhan ISPA
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui besar sampel yang akan diambil terdapat
beda dua proporsi maka jumlah sampel dikali 2. Sehingga besar sampel menjadi
dilakukan penambahan sampel sebanyak 10% (Tayie, 2005) yaitu sekitar 10,4
sampling. Kriteria wilayah yang dipilih oleh peneliti adalah 3 RW dengan jumlah
kasus ISPA pada balita tertinggi bulan Januari-Mei tahun 2017. Wilayah kerja
Puskesmas Kelurahan Rawa Terate terdiri dari 6 RW. Dari 6 RW yang ada di
Kelurahan Rawa Terate diambil 3 RW dengan kasus ISPA pada balita tertinggi.
Jumlah populasi balita yang ada di 3 RW tersebut sampai bulan Mei tahun
2017 adalah 1055 balita. Jumlah balita pada masing-masing RW terpilih yaitu RW
48
4 sebesar 453 balita, RW 5 sebesar 328 balita, dan RW 6 sebesar 274 balita.
Jumlah sampel yang akan diambil dalam penelitian ini sebanyak 115 sampel.
Sehingga dari 3 RW yang dipilih, jumlah sampel yang diambil pada masing-
a. RW 4 : = 50 responden
b. RW 5 : = 35 responden
c. RW 6 : = 30 responden
random sampling. Kerangka sampel yang digunakan mengacu pada data balita
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer yang
rumah, ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, luas lantai rumah dan luas
lantai tempat balita sering tidur. Pengukuran langsung dilakukan oleh peneliti.
Alat yang digunakan untuk pengukuran langsung telah valid, karena digunakan
untuk memperoleh informasi terkait faktor pejamu seperti status imunisasi dan
berat badan dengan melihat dari Kartu Menuju Sehat (KMS) atau buku KIA, dan
untuk menentukan status gizi dengan membandingkan berat badan terhadap umur
lingkungan seperti letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan anggota
pada beberapa variabel diantaranya letak dapur, lubang asap dapur, serta ventilasi.
asap dapur mengacu pada Kepmenkes Nomor 1077 tahun 2011 tentang
tingkat kadar PM10 dalam tiap rumah anak balita. Cara ini adalah cara
alat Haz-Dust EPAM 5000 dilakukan selama satu kali dalam sebulan
dalam batas normal penggunaan (dua kali dalam seminggu), atau jika
dalam penelitian ini dilakukan setiap hari selama tiga minggu dalam
baterai dan flow rate. Setelah itu, kalibrasi dilakukan melalui menu
pengaturan alarm.
atau tes laju alir udara, dengan cara memasang alat laju alir
52
Lpm maka laju alir udara alat masih sesuai, namun jika
5) Pilih 10 µm – M
EPAM 5000
manual zero:
selesai.
selama 15 bulan.
data
11) Sampel yang ada akan diambil setiap detik dan akan
telah ditentukan.
b. Pilih Statistics
menekan enter.
panah atas
3. Thermohygrometer
sebagai berikut:
lokasi pengukuran
4. Lux meter
Digital Lux Meter yang hasilnya dapat langsung dibaca. Alat ini
energi listrik, kemudian energi listrik diubah menjadi angka yang dapat
dibaca pada layar monitor. Kalibrasi dari alat ini dilakukan tiap saat
dimana jika pada layar monitor tertera angka 0.00 dalam keadaan
titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan pada setiap
karena pada ruangan balita sering tidur bukan termasuk objek kerja.
gambar 4.1
3) Luas ruangan lebih dari 100 m2: titik potong horizontal panjang
tombol Lux/Fc.
7. Jika muncul tanda “OL” pada layar hal itu berarti cahaya di
yang sama.
5. Roll meter
Pengukuran luas lantai rumah, luas lantai kamar balita sering tidur,
serta luas jendela kamar balita menggunakan alat roll meter. Adapun
meteran di titik yang dituju dan baca angka pada roll meter
data karena data yang terkumpul merupakan data mentah yang berguna sebagai
a. Data Coding
b. Data Editing
berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku register (Budiarto, 2001). Data
c. Data Entry
d. Data Cleaning
kembali ada kesalahan atau tidak. Setelah diperiksa kembali, data yang
instrumen dalam mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2012). Uji
Terate. Uji validitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji validitas
konsep dan uji validitas muka. Uji validitas konsep adalah uji validitas yang
dilakukan dengan menilai kuesioner berdasarkan konsep atau teori dari variabel
yang diteliti (Suryani dan Hendryadi, 2016). Uji validitas konsep dilakukan untuk
variabel keluhan ISPA pada balita karena keluhan ISPA yang ditanyakan kepada
Uji validitas muka atau face validity didasarkan kajian secara subjektif.
Apabila pertanyaan dalam kuesioner dianggap relevan; masuk akal; tidak ambigu;
dan jelas maka kuesioner tersebut dikatakan telah valid (Suwarjana, 2016).
pada penelitian ini menggunakan data kategorik maka hasil analisis tersebut
Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji chi-
keluhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Rawa Terate tahun
tersebut dilakukan dengan melihat nilai Odds Ratio (OR) (Noor, 2008).
Apabila diperoleh nilai p-value < α (0,05) berarti ada hubungan dan
bila nilai p-value > α (0,05) berarti tidak ada hubungan. Untuk melihat
kekuatan hubungan maka yang dilihat adalah nilai OR. Apabila nilai OR = 1
berarti tidak ada hubungan antara faktor risiko dengan penyakit, OR > 1
berarti ada hubungan positif antara faktor risiko dengan penyakit (variabel
menjadi faktor risiko), dan apabila OR < 1 berarti ada hubungan negatif antara
dkk., 2015).
5 BAB V
HASIL PENELITIAN
Kelurahan Rawa Terate merupakan salah satu dari 7 kelurahan yang ada di
luas 3,30 km2 dan terdapat salah satu area perindustrian tertua di Jakarta yaitu
65
66
5.1.2 Kependudukan
penduduk sebanyak 30.506 jiwa yang terdiri dari 16.974 penduduk laki-laki dan
Umum, dan 35 Praktek Dokter Gigi (BPS Kota Administrasi Jakarta Timur,
2016).
Keluhan ISPA pada balita yang ada di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017
masih cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 91 dari 115 balita
Tabel 5.1 Distribusi Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA yang sering dialami balita adalah pilek (61,7%), batuk
(53%), demam (34,8%), dan nyeri tenggorokan (12,2%). Lama keluhan ISPA
yang dialami oleh balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate yaitu 2-3 hari.
67
2017
berikut:
berikut:
Tabel 5.2 Distribusi Usia Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa rata-rata usia balita yaitu 27,97
bulan dengan usia balita terendah yaitu 1 bulan dan tertinggi yaitu 56 bulan.
Tabel 5.3 Distribusi Jenis Kelamin di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Tabel 5.4 Distribusi Status Gizi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Berdasarkan tabel 5.4, diketahui bahwa sebagian besar balita berstatus gizi
Tabel 5.5 Distribusi Status Imunisasi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Status Imunisasi Frekuensi (n) Persentase (%)
Lengkap 99 86,1
Tidak Lengkap 16 13,9
Jumlah 115 100
Tabel 5.6 Distribusi Status BBLR di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Konsentrasi PM10 dalam rumah balita diukur pada tempat dimana balita
sering tidur. Berdasarkan hasil analisis univariat, konsentrasi PM10 dalam rumah
balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate sekitar 89 rumah balita (77,4%) masih
Tabel 5.7 Distribusi Konsentrasi PM10 dalam Rumah Balita di Puskemas Rawa
Terate Tahun 2017
Konsentrasi PM10 Frekuensi (n) Persentase (%)
Memenuhi Syarat 26 22,6
Tidak Memenuhi Syarat 89 77,4
Jumlah 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ≤70 µg/m 3
Rata-rata konsentrasi PM10 di ruang balita sering tidur yaitu 106,65 µg/m3.
Selain itu, konsentrasi terendah PM10 diruang balita sering yaitu 59 µg/m3 dan
5.2.4.1 Ventilasi
Berdasarkan tabel 5.8, menunjukkan bahwa dari 115 rumah balita yang
diteliti, hanya 25 rumah balita (21,7%) yang memenuhi syarat yaitu luas ventilasi
5.2.4.2 Suhu
Sebaran data suhu ruangan balita sering tidur di wilayah Puskesmas Rawa
tempat balita sering tidur tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan yaitu
sebanyak 94,8% atau 109 rumah balita. Selain itu, suhu rata-rata ruangan tempat
71
balita sering tidur adalah 32,84oC, dengan suhu terendah 27,6oC dan suhu
tertinggi 35,3oC.
5.2.4.2 Kelembaban
kelembaban ruangan yang memenuhi syarat dalam rentang 40-60% Rh. Selain itu,
kelembaban rata-rata ruangan tempat balita sering tidur adalah 56,71% Rh,
5.2.4.3 Pencahayaan
dalam ruangan tempat balita sering tidur masih belum memenuhi syarat dengan
persentase sebesar 84,3%. Selain itu, rata-rata pencahayaan dalam ruangan tempat
Sebaran data letak dapur dalam rumah balita di wilayah Puskesmas Rawa
Terate sebagai berikut:
Tabel 5.12 Distribusi Letak Dapur di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Letak Dapur Frekuensi (n) Persentase (%)
Ada dinding pemisah 96 83,5
Tidak ada dinding pemisah 19 16,5
Jumlah 115 100
sudah memiliki dapur yang terpisah dengan ruangan lain. Hal tersebut
Sebaran data keberadaan lubang asap dapur dalam rumah balita di wilayah
sebagai berikut:
Tabel 5.14 Distribusi Kepadatan Hunian di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Kepadatan Hunian Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak padat 49 42,6
Padat 66 57,4
Jumlah 115 100
Keterangan: Tidak padat = rasio ≥8 m /orang dari luas lantai rumah
2
Pada tabel 5.15, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki
keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat
Tabel 5.16 Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA
Variabel Total
OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
PM10 N % N % N %
Tidak
Memenuhi 75 84,3 14 15,7 89 100
Syarat 3,348 (1,263-8,873) 0,025
Memenuhi
16 61,5 10 38,5 26 100
Syarat
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ≤70 µg/m3
Tidak memenuhi syarat = >70 µg/m3
dengan konsentrasi PM10 dalam ruangan balita tidak memenuhi syarat lebih
dengan konsentrasi PM10 dalam ruangan balita yang memenuhi syarat yaitu
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,025 (p-value
<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi PM10
dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa
Terate tahun 2017. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 3,348 (95%
75
CI: 1,263-8,873) yang berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan
konsentrasi PM10 tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3,348 kali untuk
mengalami keluhan ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah
Tabel 5.17 Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA
Variabel Total
OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
Ventilasi N % N % N %
Tidak
Memenuhi 71 78,9 19 21,1 90 100
Syarat
0,934 (0,310-2,815) 1,000
Memenuhi
20 80 5 20 25 100
Syarat
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ≥10% luas lantai dan dibuka tiap pagi hari
Tidak memenuhi syarat = <10% luas lantai dan tidak dibuka tiap pagi hari
tidak memenuhi syarat dan memiliki balita dengan keluhan ISPA yaitu sebesar 71
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 1,000 (p-value >0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ventilasi dengan
76
keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari
hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 0,934 (95% CI: 0,310-2,815) yang
berarti bahwa ventilasi merupakan faktor protektif yaitu faktor yang dapat
Hasil analisis hubungan suhu dengan keluhan ISPA pada balita di wilayah
Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 5.18.
Tabel 5.18 Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA
Variabel Total
OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
Suhu N % N % N %
Tidak
Memenuhi 87 79,8 22 20,2 109 100
Syarat
1,977 (0,340-11,500) 0,603
Memenuhi
4 66,7 2 33,3 6 100
Syarat
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = Suhu 18 C-30oC
o
dengan suhu tidak memenuhi syarat lebih banyak mengalami keluhan ISPA yaitu
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,603 (p-value>0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara suhu dengan keluhan
ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari hasil
analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 1,977 (95% CI: 0,340-11,500) yang
77
berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu tidak memenuhi
syarat mempunyai risiko 1,977 kali untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan
dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu memenuhi syarat.
Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 5.19.
Keluhan ISPA
Variabel Total
OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
Kelembaban N % N % N %
Tidak
Memenuhi 40 83,3 8 23,9 48 100
Syarat
1,569 (0,610-4,033) 0,480
Memenuhi
51 76,1 16 16,7 67 100
Syarat
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = Kelembaban 40-60% Rh
Tidak memenuhi syarat = Kelembaban <40% Rh atau >60% Rh
keluhan ISPA sebanyak 51 balita (76,1%). Selain itu, berdasarkan hasil uji chi
bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan keluhan ISPA pada balita
di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari hasil analisis diperoleh pula
nilai OR sebesar 1,569 (95% CI: 0,610-4,033) yang berarti bahwa balita yang
78
risiko 1,569 kali untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan dengan balita
wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 5.20.
Keluhan ISPA
Variabel Total
OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
Pencahayaan N % N % N %
Tidak
Memenuhi 78 80,4 19 19,6 97 100
Syarat
1,579 (0,502-4,971) 0,527
Memenuhi
13 72,2 5 27,8 18 100
Syarat
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = Nilai pencahayaan ≥60 lux
Tidak memenuhi syarat = Nilai pencahayaan <60 lux
Pada tabel 5.20 diketahui bahwa responden yang memiliki ruangan dengan
pencahayaan yang tidak memenuhi syarat lebih banyak balita yang mengalami
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,527 (p-value >0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan
keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari
hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 1,579 (95% CI: 0,502-4,971) yang
berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan pencahayaan tidak
79
memenuhi syarat mempunyai risiko 1,579 kali untuk mengalami keluhan ISPA
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan pencahayaan yang
memenuhi syarat.
Hasil analisis hubungan letak dapur dengan keluhan ISPA pada balita di
wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 5.21.
Tabel 5.21 Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA
Variabel Total
Tidak Iya OR (95% CI) P-value
Letak
N % N % N %
Dapur
Tidak ada
dinding 18 94,7 1 5,3 19 100
pemisah
5,671 (0,717-44,831) 0,118
Ada dinding
73 76 23 24 96 100
pemisah
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Pada tabel 5.21 menunjukkan bahwa responden dengan rumah yang letak
dapur tidak terpisah dengan ruangan lain dan balita mengalami keluhan ISPA
yaitu sebesar 18 balita (94,7%). Sedangkan, rumah dengan letak dapur terpisah
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,118 (p-value >0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara letak dapur dengan
keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari
hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 5,671 (95% CI: 0,717-44,831) yang
berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan letak dapur tidak terpisah
80
dengan ruangan lain mempunyai risiko 5,671 kali untuk mengalami keluhan ISPA
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan letak dapur terpisah
Hasil analisis hubungan lubang asap dapur dengan keluhan ISPA pada
balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel
5.22.
Tabel 5.22 Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA
Variabel Total
Ya Tidak OR (95% CI) P-value
Lubang
Asap N % N % N %
Dapur
Tidak
Memenuhi 41 75,9 13 24,1 54 100
Syarat
0,694 (0,281-1,712) 0,572
Memenuhi
50 82 11 18 61 100
Syarat
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ada lubang asap seperti jendela yang mengeluarkan asap
dapur
Tidak memenuhi syarat = tidak ada lubang asap seperti jendela yang
mengeluarkan asap dapur
Pada tabel 5.22 menunjukkan hasil hubungan antara lubang asap dapur
dengan keluhan ISPA pada balita yaitu sebanyak 41 balita (75,9%) dengan lubang
asap dapur tidak memenuhi syarat mengalami keluhan ISPA. Sedangkan diantara
balita dengan lubang asap dapur memenuhi syarat terdapat 50 balita (82%) yang
mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar
0,572 (p-value>0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
81
lubang asap dapur dengan keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa
Terate tahun 2017. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 0,694 (95%
CI: 0,281-1,712) yang berarti bahwa lubang asap dapur merupakan faktor
protektif yaitu faktor yang dapat mengurangi resiko terjadinya keluhan ISPA pada
balita.
balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel
5.23.
Tabel 5.23 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA
Variabel Total
Ya Tidak OR (95% CI) P-value
Kepadatan
N % N % N %
Hunian
Padat 55 83,3 11 16,7 66 100
Tidak Padat 36 73,5 13 26,5 49 100 1,806 (0,730-4,469) 0,291
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Tidak padat = rasio ≥8 m /orang dari luas lantai rumah
2
dengan keluhan ISPA pada balita yaitu sebanyak 55 balita (83,3%) dengan hunian
yang padat mengalami keluhan ISPA. Sedangkan diantara balita dengan hunian
yang tidak padat terdapat 36 balita (73,5%) yang mengalami ISPA. Berdasarkan
hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,291 (p-value >0,05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan keluhan
ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari hasil
82
analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 1,806 (95% CI: 0,730-4,469) yang berarti
bahwa balita yang tinggal dalam hunian yang padat mempunyai risiko 1,806 kali
untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam
ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat
Tabel 5.24 Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA
Variabel Total
Ya Tidak
OR (95% CI) P-value
Anggota
Keluarga
N % N % N %
yang
Merokok
Ada 72 80,9 17 19,1 89 100
Tidak Ada 19 73,1 7 26,9 26 100 1,560 (0,565-4,306) 0,556
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
yang merokok dengan keluhan ISPA pada balita yaitu sebanyak 72 balita (80,9%)
Sedangkan diantara balita yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok
terdapat 19 balita (73,1%) yang mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi
bahwa tidak ada hubungan antara perokok dalam rumah dengan keluhan ISPA
pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari hasil analisis
83
diperoleh pula nilai OR sebesar 1,560 (95% CI: 0,565-4,306) yang berarti bahwa
balita yang tinggal dengan anggota keluarga yang merokok dalam rumah
dengan balita yang tidak mempunyai anggota keluarga yang merokok dalam
rumah.
6 BAB VI
PEMBAHASAN
yaitu:
rumah, tidak ada pengukuran pada udara ambien sehingga tidak dapat
ISPA adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari
saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga
84
85
telinga tengah, pleura) (Kementerian Kesehatan RI, 2011a). Klasifikasi ISPA pada
(Kementerian Kesehatan RI, 2002). Pada penelitian ini, ISPA pada balita yang
keluhan ISPA berupa batuk, nyeri tenggorokan, pilek, demam tidak lebih dari 7
hari, tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau
tanpa disertai gejala peningkatan frekuensi napas dalam kurun waktu 2 minggu
mengalami keluhan ISPA dan 20,9% balita yang tidak mengalami keluhan ISPA.
Dilihat dari proporsi tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian besar balita
mengalami keluhan ISPA. Selain itu, diketahui pula keluhan ISPA yang paling
banyak dialami oleh balita di daerah Kelurahan Rawa Terate yaitu pilek (61,7%),
batuk (53%), demam (34,8%), dan nyeri tenggorokan (12,2%). Sama halnya
dengan data Survei Kesehatan Nasional (Susenas) tahun 2014, bahwa keluhan
kesehatan yang sering dialami balita di Indonesia adalah pilek (58,32%), batuk
lain di sekitarnya. Selain itu, akses jalan raya yang menghubungkan antara Bekasi
yang melintas dan menimbulkan kemacetan pada jam-jam tertentu. Emisi dari
gejala ISPA. Salah satu bahan pencemar yang mengganggu saluran pernapasan
dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan anggota keluarga yang merokok
gangguan pernapasan seperti ISPA. Studi yang dilakukan oleh Halim (2012) di
sekitar industri tersebut berisiko tinggi terkena ISPA. Hal tersebut dikarenakan
kondisi iklim yang kering di sekitar lokasi menyebabkan debu atau partikel
bergabung dengan udara kemudian terbawa oleh pergerakan angin dan terhirup
oleh masyarakat. Studi lain yang dilakukan oleh Anthony (2008) menunjukkan
sewaktu dimulai pukul 08.00-16.00 WIB. Pengukuran PM10 sewaktu atau disebut
juga metode spot sampling dipakai untuk memeriksa secara acak keadaan sewaktu
PM10 dalam tiap rumah anak balita. Cara ini adalah cara tidak langsung untuk
menggunakan EPAM 5000 selama 1 jam di ruangan tempat balita sering tidur.
Peletakan diruangan balita sering tidur dikarenakan balita lebih sering melakukan
aktivitas di dalam rumah dan sebagian besar waktunya (12-14 jam) dilakukan
konsentrasi PM10 yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat sesuai dengan
Permenkes No. 1077 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
Ruang Rumah. Konsentrasi PM10 dalam ruang yang memenuhi syarat adalah ≤70
µg/m3 sedangkan yang tidak memenuhi syarat adalah >70 µg/m3 (Kementerian
penelitian, kualitas udara dari tiap ruangan balita tergambar dengan ditemukannya
sebagian besar konsentrasi PM10 dalam rumah yang tidak memenuhi syarat (PM10
dikatakan bahwa kualitas udara di tiap ruangan tempat balita tidur di wilayah
value 0,025, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara konsentrasi
PM10 dalam ruangan balita dengan keluhan ISPA pada balita di wilayah
Puskesmas Rawa Terate. Dari analisis diperoleh pula nilai OR 3,348, artinya
balita yang tinggal dalam ruangan dengan konsentrasi PM10 tidak memenuhi
syarat (PM10 > 70 µg/m3) mempunyai risiko 3,348 kali untuk mengalami keluhan
88
ISPA dibanding balita yang tinggal dalam ruangan dengan kadar PM10 memenuhi
syarat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farieda
(2009) di Kota Cilegon yang menyatakan bahwa balita yang tinggal dalam rumah
dengan kadar PM10 tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 56,538 kali untuk
mengalami ISPA dibanding balita yang tinggal dalam rumah dengan kadar PM10
memenuhi syarat. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa PM10
2013). PM10 dapat meningkatkan jumlah dan tingkat keparahan serangan asma,
menyebabkan atau memperburuk bronkitis dan penyakit paru paru lainnya, dan
tersebut masuk ke dalam tubuh maka masalah kesehatan pun dimulai. Partikel-
terjadinya penyakit saluran pernapasan. Tidak ada debu yang benar-benar inert
(tidak merusak paru-paru), sehingga pada konsentrasi tinggi semua debu akan
(Gestrudis, 2010).
Secara umum PM10 dapat bersumber dari pengaruh udara luar yaitu
kegiatan manusia (akibat pembakaran bahan bakar, debu dari proses kontruksi,
dan aktivitas industri) dan pengaruh udara dalam rumah seperti perilaku merokok,
penggunaan energi masak dari bahan bakar biomassa, dan penggunaan obat
berbagai jenis industri mulai dari industri zat kimia, industri peleburan besi,
hingga industri manufaktur. Selain itu, akses jalan raya padat lalu lintas yang
terjadinya keluhan ISPA pada pemukiman sekitar industri lebih tinggi dibanding
secara keseluruhan hasil pengukuran konsentrasi partikel debu PM10 dan PM2,5 di
rumah-rumah sekitar pabrik semen, di dalam pabrik semen, dan di pinggir jalan
melebihi baku mutu udara ambien nasional yang ditetapkan oleh PP No. 41/1999
(2010) di daerah pabrik Indocement pada tahun 2010, menunjukkan bahwa balita
yang tinggal di dalam rumah dengan kadar PM10 tidak memenuhi syarat berisiko
3,1 kali mengalami ISPA dibanding dengan kadar PM10 memenuhi syarat.
sehingga peneliti tidak dapat mengetahui apakah konsentrasi PM10 dalam rumah
tinggi akibat pencemaran yang berada dalam rumah atau akibat keadaan
dapat masuk ke dalam rumah melalui ventilasi/jendela dan pintu yang terbuka.
Selain itu, tingginya konsentrasi PM10 dalam rumah yang tinggi dapat terjadi oleh
karena ventilasi yang kurang memadai, kepadatan hunian, suhu dan kelembaban
yang tidak memenuhi syarat serta anggota keluarga yang merokok (Gestrudis,
90
2010). Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk dapat mengendalikan
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengontrol pertukaran udara di
dalam rumah seperti membuka jendela tiap pagi hari pada pukul 08.00 dan
menutup jendela pada siang dan sore hari, serta menanam tanaman Bromelia dan
penjelasan terkait dampak PM10 terhadap kesehatan, jadwal aktivitas industri yang
mengeluarkan emisi ke lingkungan serta jam saat lalu lintas menjadi padat.
benzena, senyawa beracun yang berasal dari asap kendaraan dan asap rokok
(Satrio, 2017). Selain tanaman tersebut, tanaman Sanseveira (Lidah Mertua) yang
digunakan sebagai tanaman hias juga dapat menyerap udara yang kotor akibat
mengurangi paparan PM10 masuk ke dalam tubuh. Jenis masker yang dapat
udara yang tercemar yaitu masker biasa (face mask atau surgical mask), dan
masker respirator N95 (Mardani, 2015). Berikut ini contoh gambar masing-
sebaliknya. Ventilasi rumah berfungsi menjaga agar aliran udara di dalam tetap
memenuhi syarat (< 10% luas lantai dan dibuka tiap pagi hari) yaitu 78,3%. Hal
92
ini dikarenakan lokasi rumah penduduk yang berada di sekitar kawasan industri
Pulo Gadung dan industri peleburan besi Kelurahan Rawa Terate menyebabkan
buruknya kualitas udara disekitar daerah tersebut akibat emisi yang dikeluarkan
oleh industri. Salah satu industri peleburan besi dan baja yang ada di Desa
penyakit batuk, pusing, flu, dan sesak napas (Paramitha, 2013). Hal tersebut
Kelurahan Rawa Terate hanya berupa kaca yang berfungsi untuk pencahayaan,
rumah, sehingga hanya beberapa rumah saja yang mempunyai ventilasi yang baik
ventilasi dengan keluhan ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Afandi (2012) pada penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Perbedaan
hasil dapat terjadi karena lokasi penelitian yang berbeda serta kondisi rumah dari
bahwa ventilasi merupakan faktor protektif yaitu faktor yang dapat mengurangi
risiko terjadinya keluhan ISPA pada balita. Hal tersebut sesuai dengan pedoman
penyehatan udara dalam rumah yang ada dalam Permenkes No. 1077 tahun 2011
yaitu rumah harus dilengkapi dengan ventilasi (minimal 10% luas lantai) dan
93
membuka jendela minimal pada pagi hari. Kurangnya ventilasi akan menimbulkan
udara dan kualitas udara dalam rumah menjadi baik sehingga tidak menimbulkan
gangguan kesehatan.
maka dapat dilakukan dengan memberikan atau mengadakan ventilasi silang atau
cross ventilation. Sistem ventilasi yang dimaksud adalah peletakkan bukaan yang
(outlet) (Wicaksono, 2009). Berikut beberapa siasat cross ventilation pada dinding
rumah:
memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat sesuai dengan Permenkes No. 1077
Tahun 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Suhu
memenuhi syarat berada dalam rentang 18oC -30oC sedangkan suhu yang tidak
pada balita banyak terjadi pada ruangan balita dengan suhu yang tidak memenuhi
hubungan antara suhu udara dalam ruang dengan keluhan ISPA pada balita
dengan p-value sebesar 0,603. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rudianto (2013) pada balita di Desa Tamansari Karawang. Tidak
adanya hubungan antara suhu dalam ruang dengan kejadian ISPA dalam
95
nilai OR sebesar 1,977 menunjukkan bahwa suhu yang tidak memenuhi syarat
dengan suhu memenuhi syarat. Hal itu berarti suhu dalam ruang dapat
dipengaruhi oleh suhu udara luar dan kepadatan hunian (Chandra, 2005;
Wicaksono, 2009). Suhu udara luar yang tinggi akan meningkatkan suhu dalam
ruang, sehingga akan terasa panas di dalam ruangan. Meningkatnya suhu dalam
ruang juga dapat terjadi akibat pengeluaran panas tubuh jika jumlah penghuni
dalam rumah terlalu padat (Ningrum, 2015). Suhu ruangan yang tinggi akan
Suhu udara dalam ruangan juga dapat dipengaruhi oleh sirkulasi udara dan
kelembaban. Sirkulasi udara yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan
mengatur suhu dalam ruangan tetap stabil sebaiknya penghuni rumah menjaga
keseimbangan sirkulasi udara dengan cara membuka serta menutup jendela dan
pintu.
96
tidur. Hasil analisis tabel silang menunjukkan bahwa responden yang memiliki
keluhan ISPA sebesar 83,3% (40 rumah). Hasil analisis bivariat menunjukkan
tidak ada hubungan antara kelembaban udara dalam ruang dengan keluhan ISPA
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farieda
kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita. Berbeda dengan penelitian yang
Kelembaban udara merupakan persentase jumlah air di udara atau uap air
dalam udara. Mengacu pada Permenkes No. 1077 tahun 2011, kelembaban udara
yang baik adalah 40% - 60% Rh. Kelembaban udara yang rendah dapat membuat
2004). Kelembaban udara yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
membuat virus influenza dapat bertahan hidup lebih lama (Higienis, 2016). Jika
kelembaban udara di dalam ruangan tinggi, maka virus, jamur, tungau, lumut, dan
97
bakteri yang menjadi pemicu alergi akan bertumbuh pesat (Fahimah dkk., 2014;
Higienis, 2016).
berkaitan dengan kelembaban rumah, yang mendukung daya hidup virus maupun
kelembaban yang baik hendaknya mengatur agar pertukaran udara selalu lancar
saling berhimpitan membuat sinar matahari susah untuk masuk melalui jendela
rumah, selain itu sebagian besar responden hanya mempunyai jendela kaca
tertutup tanpa bisa dibuka sehingga pertukaran udara hanya terjadi melalui pintu.
pabrik atau debu jalanan ke dalam rumah sehingga tidak mengotori rumah. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan kelembaban yang baik di daerah Rawa Terate
dapat diusahakan membuka jendela atau pintu minimal tiap pagi hari atau disaat
aktivitas pabrik dan jalan raya belum terlalu padat agar dapat meminimalisir debu
jalanan atau debu pabrik yang masuk sehingga pertukaran udara dapat terjadi di
dalam rumah serta memasang genting kaca atau fiber glass agar sinar matahari
memenuhi syarat bila intensitas < 60 lux. Pencahayaan yang diukur dalam
rumah secara alami oleh sinar matahari melalui jendela, lubang angin dan pintu
dari arah timur di pagi hari dan barat di sore hari (Wattimena, 2004 dalam Suryani
dkk., 2015). Cahaya matahari yang masuk ke dalam ruang dapat membunuh
Hasil analisis tabel silang antara pencahayaan dan keluhan ISPA pada balita
memenuhi syarat mengalami keluhan ISPA pada balita sebesar 80,4% (78 rumah).
kondisi rumah penduduk yang terlalu rapat, dan tidak adanya genting kaca atau
fiber glass, sehingga berdampak pada sedikitnya cahaya matahari yang masuk ke
0,527, secara statistik berarti tidak ada hubungan antara pencahayaan dalam ruang
dengan keluhan ISPA pada balita. Namun, nilai OR = 1,579 menunjukkan bahwa
pencahayaan dalam ruang merupakan faktor risiko terjadinya keluhan ISPA pada
balita.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fahimah dkk (2014) dan
Sinaga (2012) bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita. Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Dewi (2012) dan Pangemanan dkk (2016) bahwa terdapat hubungan antara
99
penelitian dapat dipengaruhi oleh kondisi atau letak rumah di lokasi penelitian
penelitian.
alami berupa cahaya matahari. Cahaya matahari mempunyai sinar ultraviolet pada
panjang gelombang 253,7 nm yang bisa membunuh kuman, bakteri, virus, serta
jamur yang dapat menyebabkan infeksi, alergi, asma maupun penyakit lainnya.
Sinar ultraviolet akan merusak DNA mikroba (kuman, bakteri, virus maupun
jamur) sehingga DNA mikroba menjadi steril. Jika mikroba terkena sinar
ultraviolet, maka mikroba tidak mampu bereproduksi dan akhirnya mati (Sari
dkk., 2014) Menurut Robert Koch, semua jenis cahaya dapat mematikan kuman,
hanya berbeda satu sama lain dari segi lamanya proses mematikan kuman. Cahaya
yang sama apabila melalui kaca yang tidak berwarna dapat membunuh kuman
dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwarna (Soesanto
dkk., 2000).
Kondisi rumah di sekitar lokasi penelitian yang lebih sering tertutup dan
minimal < 60 lux). Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pencahayaan dengan
kondisi rumah tersebut responden dapat membuka jendela atau pintu pada pagi
hingga sore hari atau saat aktivitas industri dan lalu lintas belum padat. Selain itu,
penggunaan genting kaca atau fiber glass juga disarankan untuk kondisi rumah
6.8 Analisis Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita
Hasil analisis bivariat menunjukkan p-value = 0,118, secara statistik berarti tidak
ada hubungan antara letak dapur dengan keluhan ISPA pada balita di daerah
Kelurahan Rawa Terate. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Azhar
antara letak dapur dengan gejala ISPA pada balita. Sedangkan, dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Anthony (2008) dan Farieda (2009) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara letak dapur dengan kejadian ISPA pada balita.
Hal tersebut dikarenakan pada penelitian Anthony (2008) dan Farieda (2009)
masyarakat masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak.
dapur hendaknya terdapat ventilasi yang baik agar asap atau udara dari dapur
dapat teralirkan ke udara bebas (Afandi, 2012). Berdasarkan hasil tabel silang
ditemukan bahwa keluhan ISPA lebih banyak dialami pada keberadaan letak
dapur yang terpisah dengan ruangan lain. Selain itu, sebagian besar responden
yang mempunyai letak dapur terpisah dengan ruangan lain telah mempunyai
lubang asap dapur di rumahnya. Lubang asap dapur yang dapat membantu
mengeluarkan asap ke udara luar juga berfungsi sebagai ventilasi di area dapur.
atau polutan yang ada di udara luar masuk ke dalam area dapur melalui lubang
asap dapur. Oleh karena itu, walaupun letak dapur telah terpisah namun karena
kondisi kualitas udara luar rumah buruk dapat berpengaruh terhadap keadaan di
dalam rumah terutama area dapur. Particulate matter atau debu partikulat adalah
mikro partikel yang terbentuk dari cair maupun padat dan tersuspensi di udara.
dapat menyerap senyawa polutan dari kendaraan dan asap rokok serta udara kotor
akibat polusi yang berada di dalam rumah. Selain itu, sebaiknya responden selalu
yang ada di dalam rumah serta menutup lubang asap dapur saat tidak melakukan
aktivitas di dapur agar debu atau mikropartikel tidak masuk ke area dapur atau
dalam rumah.
6.9 Analisis Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada
Balita
Lubang asap dapur menjadi sangat penting artinya karena asap dapat
rumah. Lubang asap yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan gangguan
rumah menjadi kotor dan gangguan terhadap penglihatan atau mata menjadi pedih
(Farieda, 2009).
102
statistik berarti tidak ada hubungan antara lubang asap dapur dengan keluhan
ISPA pada balita di wilayah Kelurahan Rawa Terate. Hal ini disebabkan bahan
bakar memasak yang digunakan oleh sebagian besar responden adalah gas/LPG,
jadi ada atau tidaknya lubang asap dapur tidak begitu berpengaruh karena polusi
asap yang disebabkan oleh gas/LPG lebih sedikit dibandingkan polusi asap yang
dikeluarkan oleh bahan bakar padat seperti kayu bakar (Yabei dkk., 2013).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) di
lubang asap dapur dengan kejadian ISPA pada balita. Namun, pada penelitian
yang dilakukan oleh Afandi (2012) dan Farieda (2009) menunjukkan hasil yang
berbeda, yaitu terdapat hubungan antara keberadaan lubang asap dapur dengan
merupakan faktor protektif yaitu faktor yang dapat mengurangi risiko terjadinya
keluhan ISPA pada balita. Hal tersebut sesuai dengan persyaratan kesehatan
perumahan yang ada dalam Kepmenkes No. 829 tahun 1999 yaitu dapur yang
sehat harus memiliki lubang asap dapur. Dapur yang tidak memiliki lubang asap
dapur akan menimbulkan banyak polusi asap ke dalam rumah dan kondisi ini akan
berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita karena asap akan dapat
103
balita terdapat 50 balita yang rumahnya memiliki lubang asap dapur tetapi balita
tersebut mengalami keluhan ISPA. Hal ini terjadi karena lubang asap dapur bukan
satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya gejala ISPA pada balita.
Kondisi sekitar lokasi penelitian yang dikelilingi oleh industri membuat kualitas
udara disekitarnya menjadi kurang baik. Polusi udara yang dihasilkan oleh
aktivitas industri dan lalu lintas yang padat dapat menghasilkan berbagai macam
polutan dan debu yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Jang dkk.,
sekitar industri perlu diperhatikan bentuknya karena lubang asap dapur dapat
berfungsi seperti hal nya ventilasi, yaitu sebagai sirkulasi udara yang ada di dapur.
Oleh karena itu, keberadaan lubang asap dapur seperti jendela dapat berpengaruh
terhadap masuknya polutan dan debu ke dalam rumah karena terjadi pertukaran
udara. Lubang asap dapur yang berbentuk jendela dapat mengontrol masuknya
polutan udara tersebut ke dalam rumah, dengan menutup jendela di dapur saat
aktivitas sekitar industri dan lalu lintas sedang padat dan membukanya kembali
Balita
Pengukuran kepadatan hunian dalam penelitian ini yaitu rasio antara luas
rumah dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
tidak memenuhi syarat bila < 8 m2/orang sesuai dengan Kepmenkes No. 829
tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah. Hasil analisis tabel silang
hunian yang padat mengalami keluhan ISPA. Namun, hasil analisis bivariat
menunjukkan p-value = 0,291, secara statistik berarti tidak ada hubungan antara
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningrum
(2015) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan
hunian dengan kejadian ISPA non pneumonia pada balita. Sedangkan, pada
penelitian yang dilakukan oleh Noviya (2012) di Kota Makassar dan Fillacano
Kelurahan Rawa Terate tidak mempunyai hubungan dengan keluhan ISPA, nilai
terjadinya keluhan ISPA pada balita yang berarti balita yang tinggal di dalam
hunian yang padat memiliki risiko 1,806 kali untuk mengalami keluhan ISPA
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam hunian yang tidak padat.
langsung maupun tidak langsung. Selain dari itu, jumlah penghuni rumah yang
antar penghuni lebih sering dan lebih lama. Akibatnya bila ada penderita ISPA di
dalam rumah maka akan lebih muda terjadi penularan ke penghuni lainnya. Hal
105
2012).
yang disebabkan oleh pengeluaran panas tubuh. Jumlah penghuni rumah yang
padat juga dapat menurunkan kadar O2 dalam ruangan dan meningkatkan kadar
CO2 dalam ruangan. Dampak dari peningkatan CO2 dalam ruangan adalah
berkembangbiak lebih cepat, sehingga ukuran rumah yang kecil dengan jumlah
droplet dan kontak langsung (Sari dkk., 2014). Maka semakin banyak jumlah
penghuni rumah maka akan semakin cepat udara dalam ruangan mengalami
balita (80,9%) yang mempunyai anggota keluarga perokok dan balita tersebut
0,556, secara statistik tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang merokok
dengan keluhan ISPA pada balita. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sinaga (2012) dan Farieda (2009) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
merokok dengan kejadian ISPA pada balita. berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Afandi (2012) dan Noviya (2012) menunjukkan adanya hubungan
risiko terjadinya keluhan ISPA pada balita di wilayah Kelurahan Rawa Terate.
Hasil tersebut didukung oleh teori yang menyatakan bahwa orang tua yang
Asap rokok bukan menjadi penyebab langsung kejadian pneumonia pada balita,
penyakit paru-paru yang akan melemahkan daya tahan tubuh balita (Yuwono,
monoksida (CO2), timbal (Pb), tar dan nikotin yang berwarna coklat kekuningan-
berasal dari pembakaran rokok, pipa atau cerutu dan asap yang diisap dari
menyebabkan kanker pada manusia dan hewan dan sebagian besarnya adalah
bahan iritan yang kuat. Manusia yang menghisap ETS disebut perokok pasif.
Semakin banyaknya anggota keluarga yang merokok dan jumlah batang yang
dihisap anggota keluarga maka akan semakin meningkatkan jumlah paparan asap
rokok yang dihasilkan ke lingkungan. Paparan asap rokok yang dihirup perokok
aktif hanya 15 persen. Sementara 85 persen lain dilepaskan dan dihirup oleh
perokok pasif (Kusumawati, 2010). Balita yang tinggal dalam rumah dengan
anggota keluarga yang merokok akan menjadi perokok pasif. Dampak yang
ditimbulkan pada balita adalah gangguan pernapasan dengan gejala sesak napas,
Oleh karena itu, upaya untuk menghindari pajanan asap rokok perlu
dilakukan. Solusi terbaik yang harus dilakukan adalah setiap anggota keluarga
tidak boleh ada yang merokok. Namun, jika ada anggota keluarga yang merokok,
maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan cara tidak merokok di dalam
rumah dan setelah selesai merokok sebaiknya mencuci tangan dan mengganti
pakaian yang digunakan. Hal tersebut untuk menghindari residu dari rokok
terhirup oleh balita saat orang tuanya menggendong atau bermain bersama balita.
7 BAB VII
7.1 Simpulan
sebagai berikut:
a. Rata-rata usia balita yaitu 27,97 bulan dengan usia balita terendah
80,9%.
sebesar 93,9%.
108
109
7.2 Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka saran yang
udara dengan cara selalu membuka jendela atau pintu saat pagi hari
(pukul 08.00 WIB) dan menutup jendela atau pintu saat aktivitas
industri dan lalu lintas padat (siang hingga sore hari) agar
ventilation.
udara.
3. Peneliti Selanjutnya
8 DAFTAR PUSTAKA
Udara-Dalam-Ruang-Pada-Kesehatan.html#.WgzXE2i0PIU (Accessed: 16
November 2017).
Yuwono, T. A. (2008) Faktor - Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang
Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. Universitas Diponegoro.
Available at: http://eprints.undip.ac.id/18058/1/Tulus_Aji_Yuwono.pdf
(Accessed: 10 May 2017).
121
Data Responden
Cakung, 2017
Responden
( _____________________ )
Kuesioner Penelitian
A. Identitas Responden
B. Karakteristik Balita
jenis kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
status imunisasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
status_BBLR
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 108 93.9 93.9 93.9
Ya 7 6.1 6.1 100.0
Total 115 100.0 100.0
keluhan ISPA batuk
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
keluhan_ISPA
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
konsentrasi_pm10
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
N Valid 115
Missing 0
Mean 109.9739
Median 79.0000
Mode 70.00
Std. Deviation 103.28478
Range 749.00
Minimum 59.00
Maximum 808.00
ventilasi_fix
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Suhu
N Valid 115
Missing 0
Mean 32.8365
Std. Error of Mean .12058
Median 33.0000
Std. Deviation 1.29305
Skewness -1.220
Std. Error of Skewness .226
Minimum 27.60
Maximum 35.30
lembab_fix
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Statistics
N Valid 115
Missing 0
Mean 56.7104
Std. Error of Mean .75270
Median 56.8000
Std. Deviation 8.07177
Skewness -.213
Std. Error of Skewness .226
Minimum 37.40
Maximum 71.90
cahaya_fix
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Statistics
lux
N Valid 115
Missing 0
Mean 45.1487
Std. Error of Mean 8.76241
Median 20.6000
Std. Deviation 93.96639
Skewness 5.080
Std. Error of Skewness .226
Minimum 1.20
Maximum 723.80
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 61 53.0 53.0 53.0
padat_fix
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
keluhan_ISPA
Tidak Ya Total
kadar_pm10 MS Count 10 16 26
TMS Count 14 75 89
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.43.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
keluhan_ISPA
Tidak Ya Total
ventilasi_fix MS Count 5 20 25
TMS Count 19 71 90
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.22.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
keluhan_ISPA
Tidak Ya Total
suhu_fix MS Count 2 4 6
Chi-Square Tests
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.25.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
keluhan_ISPA
Tidak Ya Total
lembab_fix MS Count 16 51 67
TMS Count 8 40 48
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.02.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
keluhan_ISPA
Tidak Ya Total
cahaya_fix MS Count 5 13 18
TMS Count 19 78 97
Chi-Square Tests
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.76.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
keluhan_ISPA
Tidak Ya Total
Tidak Count 1 18 19
Chi-Square Tests
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.97.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
keluhan_ISPA
Tidak Ya Total
Tidak Count 13 41 54
% within ada/tidaknya
24.1% 75.9% 100.0%
lubang asap dapur
Total Count 24 91 115
% within ada/tidaknya
20.9% 79.1% 100.0%
lubang asap dapur
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.27.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
keluhan_ISPA
Tidak Ya Total
Padat Count 11 55 66
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.23.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
keluhan_ISPA
Tidak Ya Total
Ya Count 17 72 89
% within ada/tidaknya
anggota keluarga yang 19.1% 80.9% 100.0%
merokok
Total Count 24 91 115
% within ada/tidaknya
anggota keluarga yang 20.9% 79.1% 100.0%
merokok
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.43.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate