Anda di halaman 1dari 54

KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA

DI TAMAN NASIONAL KOMODO DAN SEKITARNYA

UMAR FHADLI KENNEDI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman


Herpetofauna di Taman Nasional Komodo dan Sekitarnya adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2018

Umar Fhadli Kennedi


NIM E34140055
ABSTRAK
UMAR FHADLI KENNEDI. Keanekaragaman Herpetofauna di Taman
Nasional Komodo dan Sekitarnya. Dibimbing Oleh MIRZA DIKARI KUSRINI
dan ANI MARDIASTUTI.

Taman Nasional Komodo merupakan kawasan konservasi yang berada di


wilayah Wallacea yang merupakan salah satu habitat Komodo (Varanus
Komodoensis). Pulau di kawasan Wallacea memiliki kekayaan endemik yang
tinggi walaupun tingkat keanekaragamnya lebih rendah dibanding pulau besar
lainnya di Indonesia. Keberadaan spesies invasif tentunya akan mengacam
keseimbangan ekologis, ekonomi dan sosial. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi keanekaragaman herpetofauna dan mendeteksi keberadaan
Duttaphrynus melanostictus di Taman Nasional Komodo dan sekitarnya.
Pengamatan dilakukan pada Februari-April 2018 menggunakan Visual Encounter
Survey yang dipadukan dengan Transek 400 m. Pengambilan data dilakukan di
Taman Nasional Komodo (Pulau Rinca: Kampung Rinca, Loh Buaya, dan Loh Baru
dan Pulau Komodo: Kampung Komodo, Loh Liang dan Loh Wau), Pulau Flores
(Labuan Bajo dan Cumbi Village), dan Pulau Sumbawa (Sape). Herpetofauna yang
ditemukan di Taman Nasional Komodo terdiri dari 2 jenis amfibi dan 18 jenis reptil
sedangkan secara keseluruhan total jenis herpetofauna yang ditemukan adalah 7
jenis amfibi dan 22 jenis reptil. Keanekaragaman tertinggi (H'= 2.146) terdapat di
Loh Buaya (Pulau Rinca) dan kemerataan tertinggi (E=0.587) terdapat di Loh Baru
(Pulau Rinca). Kesamaan komunitas herpetofauna tertinggi adalah Pulau Komodo
dengan Pulau Rinca (IS=0.8). Tidak ditemukan D. melanostictus di Pulau Flores
(termasuk Taman Nasional Komodo), keberadaan D. melanostictus hanya
ditemukan di Sape (Pulau Sumbawa).

Kata kunci : Duttaphrynus melanostictus, Keaneakaragaman herpetofauna, Kodok


invasif, Nusa Tenggara, Taman Nasional Komodo.
ABSTRACT
UMAR FHADLI KENNEDI. The Diversity Of Amphibian and Reptiles in
Komodo National Parks and its Surrounding Areas. Supervised by MIRZA
DIKARI KUSRINI and ANI MARDIASTUTI.

The islands of Komodo National Park in the Wallacea region is one of the
habitats of Komodo dragon (Varanus komodoensis). Although the Wallacea islands
have lower species richness compared to the other big islands in Indonesia but rich
in endemics. Thus, the occurrence of invasive species will threatened the ecological,
economic and social balance of the regions. The purpose of this study is to identify
herpetofauna diversity and to detect the presence of invansive toad Duttaphrynus
melanostictus in Komodo National Park and its surroundings. Survey was
conducted in Februari-April 2018 using Visual Encounter Survey method at 400m
transect. Location surveyed consist of Komodo National Park (Rinca Island:
Kampung Rinca, Loh Buaya and Loh Baru and Komodo Island: Komodo Village,
Loh Liang and Loh Wau), Flores Island (Labuan Bajo and Cumbi Village) and
Sumbawa Island (Sape). Two species of amphibians and 18 species of reptiles were
found in Komodo National Park, while 7 species of amphibians and 22 species of
reptiles were found in all four locations. The highest diversity (H'= 2.146) is in Loh
Buaya (Rinca Island) and the highest evenness (E=0.587) is in Loh Baru (Rinca
Island). The highest similarity occurs between Komodo Island and Rinca Island (IS
= 0.8). No toad (D. melanostictus) is found in Flores (including Komodo National
Park), however the toad is abundant in Sape (Sumbawa Island).

Keywords: Duttaphrynus melanostictus, Herpetofauna diversity, Invansive toad,


Komodo National Park, Nusa Tenggara.
KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA
DI TAMAN NASIONAL KOMODO DAN SEKITARNYA

UMAR FHADLI KENNEDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
Judul Keanakeragaman Hepertofauna di Taman Nasional Komodo dan
Sekitamya
Nama Umar Fhadli Kennedi
NlM E34140055

Disetujui oleh :

Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc


Pembimbing I Pembimbing II

Tanggal Lulus : 0 6 SEP 2018


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak awal tahun 2018 adalah
keanekaragaman herpetofauna di Taman Nasional Komodo dan sekitarnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Mirza Dikari Kusrini dan Ibu Ani
Mardiastuti selaku pembimbing, serta Bapak Achmad Arifiandy yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Komodo
Survival Program (KSP) yang telah memberikan bantuan dana penelitian, Balai
Taman Nasional Komodo, BKSDA NTT, Bapak Sidiq, Bang Bobby, Kak Maria,
Bang Danan, dan Guru guru di SMK Kelautan serta teman selama pengambilan
data (rani, mufti, dan adam) yang telah membantu kegiatan di lapang. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu dan seluruh keluarga atas segala
doa dan kasih sayangnya. Terima kasih pula kepada seluruh dosen dan staff DKSH
dan Fahutan, Fahutan 51, KSHE 51 (Ornitophtera croesus) yang telah memberikan
pengalaman berharga masa studi.
Penelitian ini terdaftar dengan nomor izin penelitian SI. 24/T.17/TU/2/2018
yang diterbitkan oleh Balai Taman Nasional Komodo.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2018

Umar Fhadli Kennedi


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
METODE 2
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4
Bahan dan Alat 7
Analisis Data 7
HASIL 8
Komposisi Jenis Herpetofauna 8
Kelimpahan Jenis Relatif 13
Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Herpetofauna 15
Kesamaan Komunitas Jenis Herpetofauna 16
Keberadaan Kodok Buduk (Duttaprhynus melanostictus) 16
PEMBAHASAN 17
Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Herpetofauna 17
Kesamaan Komunitas dan Kelimpahan Jenis Herpetofauna 19
Keberadaan Kodok Buduk (Duttaprhynus melanostictus) 20
Implikasi Terhadap Konservasi 22
SIMPULAN DAN SARAN 23
DAFTAR PUSTAKA 24
LAMPIRAN 27
RIWAYAT HIDUP 42
DAFTAR TABEL

1. Usaha pencarian herpetofauna berdasarkan jumlah orang dan jam yang


dilakukan pada setiap lokasi pengamatan 4
2. Lokasi pengambilan data beserta koordinat dan karakteristiknya 5
3. Komposisi jenis amfibi dan reptil di Taman Nasional Komodo dan daerah
sekitarnya 10
4. Kelimpahan (individu/jam-orang) jenis relatif herpetofauna di Taman
Nasional Komodo dan sekitarnya berdasarkan pulau 13
5. Ukuran dan jumlah individu dari herpetofauna yang melimpah tiap pulau 15
6. Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan herpetofauna 15
7. Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan herpetofauna per pulau 16
8. Ukuran panjang dan berat tubuh Duttaphrynus melanostictus di Sape pada
tanggal 15-18 April 2018 (N = 35) 17

DAFTAR GAMBAR
1. Lokasi survei herpetofauna di Taman Nasional Komodo dan sekitarnya
pada bulan Februari – April 2018 3
2. Permukiman di Kampung Komodo (kiri), Sungai di Loh Wau (tengah) dan
Hutan di Loh Liang (kanan) 6
3. Permukiman di Kampung Rinca (kiri), Hutan di Loh Buaya (tengah), dan
Sungai di Loh Baru (kanan) 6
4. Sungai di Labuan Bajo (kiri), Permukiman di Labuan Bajo (tengah), dan
Hutan di Desa Cumbi (kanan) 6
5. Permukiman (kiri), Hutan (tengah), dan Sungai (kanan) di Sape 7
6. Perbedaan warna pada Trimeresurus insularis; kiri: warna hijau kebiruan
dari ular T. insularis di Pulau Komodo dan kanan: warna hijau ular T.
insularis yang umum dijumpai. 9
7. Kurva akumulasi jenis herpetofauna berdasarkan pulau 12
8. Jenis herpetofauna yang melimpah di Taman Nasional Komodo dan
sekitarnya. Fejervarya cancrivora (atas kiri), Hemidactylus frenatus (atas
kanan), Duttaphrynus melanostictus yang hanya di temukan di Sape
(bawah kiri), dan Hemidactylus platyurus. 14
9. Dendogram pengelompokan komunitas herpetofauna 16
10. Lokasi ditemukan Kodok Buduk di Nusa Tenggara. Data bersumber dari
Septian (2016), Syazali et al. (2006), Himakova (2015), Himakova (2009),
dan O’Shea et al. (2012) 21

DAFTAR LAMPIRAN
1. T-test untuk panjang (SVL) dan berat (W) F. cancrivora antar lokasi 27
2. Deskripsi jenis reptil dan amfibi di Taman Nasional Komodo dan
Sekitarnya 27
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wilayah Wallacea adalah kawasan biogeografi yang meliputi Pulau Sulawesi,


Nusa Tenggara dan Maluku serta pulau kecil lainnya. Kawasan ini berada di antara
garis Wallacea di sebelah barat dan garis Weber di sebelah timur. Pulau pulau di
wilayah Wallacea dikenal memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi (Monk et al.
1997). Berdasarkan sejarahnya, tingginya tingkat biodiversitas ini disebabkan dari
pulau di wilayah Wallacea yang diketahui tidak pernah bersatu dengan pulau pulau
lainnya. Kondisi terisolasi dalam kurun waktu lama memungkinkan terjadinya
evolusi pada berbagai jenis (Hall et al. 2011). Tingginya tekanan akan degradasi
habitat secara langsung mengancam biodiversitas yang ada di wilayah Wallacea,
oleh karena itu salah satu cara efektif untuk melestarikan biodiversitas adalah
melindungi habitatnya (Syekelle dan Suroso 2004).
Taman Nasional Komodo adalah salah satu kawasan konservasi di wilayah
Wallacea yang ditetapkan menjadi Taman Nasional sejak tahun 1980 dengan tujuan
melestarikan satwa komodo (Varanus komodoensis) dan habitatnya. Taman
Nasional Komodo meliputi tiga pulau besar yaitu Pulau Padar, Pulau Rinca dan
Pulau Komodo di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia yang ditetapkan
berdasarkan SK Menhut No. 306/kpts-II/1995. Luas keseluruhan daratan mencapai
603 m2 dimana 70% diantaranya merupakan hutan padang rumput savana
sedangkan sisanya adalah hutan tropis musim dan hutan kuasi awan diatas 500 m
dpl (TNK 2000). Selain komodo, di kawasan Taman Nasional Komodo diketahui
terdapat 16 jenis reptil dari 7 famili (Wahyuni 2012), sedangkan pada pada
penelitian lain yang dilakukan di Pulau Komodo diketahui terdapat 2 jenis amfibi
dan 28 jenis reptil (Auffenberg 1980).
Salah satu ancaman bagi keberadaan jenis endemik adalah keberadaan jenis
invasif yang menimbulkan dampak negatif bagi ekologi, ekonomi, dan sosial.
Keberadaan jenis invasif telah menjadi permasalahan global karena dampaknya
bagi ekosistem dan biaya penanganannya yang tinggi (Pimentel et al. 2000, Lodge
et al. 2006 dan Lockwood et al. 2007). Kodok buduk (Duttaphrynus melanostictus)
adalah kodok yang menyebar di daratan jawa dan kalimantan dan sejak 50 tahun
terakhir diketahui telah menginvasi wilayah Wallacea akibat kegiatan manusia
(Reilly et al. 2017).
Kodok buduk berasal dari famili Bufonidae yang kebanyakan dari famili ini
memiliki kelenjar paratoid yang dapat menjadi racun bagi predatornya seperti
burung, kadal, buaya, ular dan mamalia (Storer 1925). Sampai saat ini, dampak
keberadaan kodok buduk terhadap satwaliar lokal di Indonesia belum diketahui,
namun demikian diketahui bahwa jenis kodok dari famili bufonidae memiliki
kelenjar paratoid yang menghasilkan 4 kategori senyawa yaitu amino biogenik,
bufodinelid, alkaloid-steroid dan peptida-protein (Clarke 1997). Salah satu jenis
dari famili Bufonidae yaitu kodok tebu (Rhinella marina) di Australia merupakan
jenis invasif yang menyebabkan kematian bagi predatornya yaitu buaya air tawar
(Crocodylus johnstoni) dan menyebabkan terjadinya penurunan populasi yang
signifikan pada Varanus mertensi (Griffiths dan McKay 2007 dan Letnic 2008).
Dampak bagi satwa yang memakan kodok buduk belum diketahui, namun senyawa
2

yang terkandung pada kelenjar paratoid Duttaphrynus melanostictus dikhawatirkan


bersifat racun bagi predator asli di Taman Nasional Komodo khususnya bagi satwa
endemik yaitu Komodo (Varanus komodoensis) (Reilly et al. 2017).
Keberadaan herpetofauna di Taman Nasional Komodo perlu diidentifikasi
lebih lanjut sebagai dasar pengelolaan kawasan konservasi. Hasil penelitian ini
selain untuk melengkapi daftar jenis herpetofauna di Taman Nasional Komodo juga
diharapkan dapat mengetahui sebaran jenis invasif (Duttaphrynus melanostictus) di
dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan sekitarnya sebagai dasar pengelolaan
untuk meminimalisir dampak yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi keanekaragaman herpetofauna di Taman Nasional Komodo


dan sekitarnya (Sape, Pulau Sumbawa dan Labuan Bajo & Desa Cumbi, Pulau
Flores).
2. Mendeteksi keberadaan Kodok Buduk (Duttaphrynus melanostictus) di Taman
Nasional Komodo dan sekitarnya.

METODE

Lokasi pengambilan data dilakukan di sembilan lokasi kajian di kawasan


Taman Nasional Komodo dan sekitarnya di NTT. Secara umum, kegiatan
pengambilan data terbagi di empat pulau yakni Pulau Sumbawa, Pulau Komodo,
Pulau Rinca dan Pulau Flores. Lokasi-lokasi kajian di dalam Kawasan Taman
Nasional Komodo yaitu; 1) Kampung komodo, 2) Loh Liang, 3) Loh Wau di Pulau
Komodo, 4) Kampung Rinca, 5) Loh Buaya, 6) Loh Baru di Pulau Rinca. Lokasi di
luar Kawasan Taman Nasional Komodo yaitu; 7) Labuan Bajo, 8)Desa Cumbi di
Pulau Flores dan 9) Sape di Pulau Sumbawa (Gambar 1). Kegiatan pengambilan
data dilaksanakan pada penghujung musim hujan di bulan Februari-April 2018.
3

Labuan Bajo

Sape Loh Liang


Desa Cumbi
Kp. Komodo
Kp. Rinca
Loh Buaya
Loh Wau

Loh Baru

Gambar 1 Lokasi survei herpetofauna di Taman Nasional Komodo dan sekitarnya


pada bulan Februari – April 2018
Lokasi penelitian merupakan daerah yang sangat kering, sedangkan
keberadaan amfibi sangat tergantung dengan keberadaan air. Pamfibi dan reptil
dikonsentrasikan pada areal yang dekat dengan sumber air tawar, yaitu maksimal
100 m dari sumber air. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah
metode Visual Encounter Survey (VES) untuk pengamatan aktif dan metode glue
trap untuk pengamatan pasif. Metode Visual Encounter Survey adalah
pengumpulan jenis yang didasarkan dari perjumpaan langsung pada jalur yang
merupakan habitat satwa baik terestrial maupun akuatik (Heyer et al. 1994).
Pencarian aktif dengan metode Visual Encounter Survey dilakukan dengan transek
sepanjang 400 m.
Kegiatan pengamatan aktif di malam hari dilakukan pada pukul 19.00-21.00
WITA dan pada pagi hari dilakukan pada jam 08.00-10.00 WITA. Kegiatan
pengamatan di malam hari ditujukan untuk herpetofauna nokturnal sedangkan
pengamatan pada pagi hari lebih difokuskan pada jenis jenis reptil. Jumlah
pengamatan yang berbeda-beda di setiap lokasi membuat usaha pengamatan
berbeda antar lokasi. Secara keseluruhan pengamatan dilakukan selama 654 jam-
orang pengamat (Tabel 2).
Pengamatan pasif untuk jenis kadal dan cicak dilakukan menggunakan
metode glue trap, yaitu jebakan lem yang diletakkan pada papan berukuran 25x25
cm. Jebakan diletakkan di pagi hari pada pukul 08.00 WITA dan dilakukan
pemeriksaan pada jam 10.00 WITA.
4

Tabel 1 Usaha pencarian herpetofauna berdasarkan jumlah orang dan jam yang
dilakukan pada setiap lokasi pengamatan
Jumlah Total Usaha
Pengamatan Pengamatan Jumlah
Lokasi hari (individu/jam
Pagi (jam) malam (jam) Pengamat
orang)
Sumbawa 10 9 18 2 54
Flores 9 19.5 18 2 75
Rinca 16 22.5 27 5 247.5
Komodo 14 25.5 30 5 277.5
Total 654

Data yang dicatat selama pengamatan adalah nama jenis, jumlah individu
setiap jenis yang ditemukan, aktivitas saat ditemukan, substrat, waktu perjumpaan,
berat, SVL (Snout Vent Length), TL (Total Length), koordinat ditemukan dan
keterangan lain. Jenis herpetofauna yang ditangkap diidentifikasi menggunakan
daftar jenis yang dikumpulkan dari publikasi ilmiah herpetofauna di Nusa Tenggara.
Herpetofauna yang ditemukan diukur dan dicatat, lalu dilepaskan kembali ke
tempat semula kecuali jenis herpetofauna yang belum teridentifikasi secara
langsung di lapang yang dipreservasi dengan menggunakan alkohol 96% untuk
identifikasi lebih lanjut. Spesimen penelitian ini disimpan di Laboratorium
Herpetologi Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi-LIPI Cibinong dengan nomor
spesimen MZB AMPH 0000. Penamaan jenis akan mengikuti penamaan
berdasarkan database reptil (Uetz dan Etzold 1996) dan database amfibi dari
American Museum Natural History (AMNH) (Frost 2017).

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kondisi topografi di sembilan titik lokasi pengambilan data adalah datar


hingga berbukit dengan ketinggian 2-270 mdpl (Tabel 1). Keadaan iklim di
keempat pulau tersebut berdasarkan Schmidt dan Ferguson termasuk kedalam iklim
tipe F, jumlah bulan kering antara April sampai dengan Oktober dan jumlah bulan
basah antara November sampai dengan Maret. Musim hujan terjadi pada bulan
Januari sampai dengan Maret dan selebihnya merupakan musim kemarau yang
menyebabkan kawasan menjadi kering dan gersang (Setiyati 2008).
Pulau Komodo dan Pulau Rinca merupakan bagian dari kawasan Taman
Nasional Komodo yang memiliki luasan masing masing sebesar 336 km2 dan 211
km2 (TNK 2000). Terdapat tiga titik pengambilan data di Pulau Komodo yaitu
Kampung Komodo, Loh Liang dan Loh Wau (Gambar 2). Terdapat sumber air di
Kampung Komodo dan Loh Wau yang mengalir sepanjang tahun sedangkan di Loh
Liang tidak terdapat sumber air dan sungai hanya mengalir ketika musim penghujan.
Titik pengambilan data di Pulau Rinca yaitu Kampung Rinca, Loh Buaya dan Loh
Baru. Terdapat sumber air pada tiga titik pengambilan data di Pulau Rinca (Gambar
3).
5

Tabel 2 Lokasi pengambilan data beserta koordinat dan karakteristiknya


No Nama Lokasi
Habitat yang
dan koordinat Karakteristik
diamati
Koordinat
Pulau Komodo
1 Kampung Kawasan permukiman masyarakat di Taman Nasional Hutan, sungai dan
Komodo Komodo. pada ketinggian ketinggian 14-21 mdpl. Kawasan permukiman
S8°35.021' hutan memiliki topografi datar sampai berbukit. Terdapat mata
E119° 28.913' air yang mengaliri sungai sepanjang tahun.

2 Loh Liang Merupakan kawasan hutan yang tergolong zona pemanfaatan Hutan dan sungai
S8°33.098' wisata. Tidak ditemukan sumber air dan sungai hanya mengalir
E119° 29.857' ketika musim penghujan. Hutan tergolong datar dan luas serta
banyak ditumbuhi dengan pohon asam.
3 Loh Wau Merupakan kawasan hutan yang tergolong zona rimba. Hutan dan sungai
S8°41.767' Memiliki sumber air yang mengaliri sungai sepanjang tahun.
E119° 26.582' Kondisi hutan yang datar. Tumbuhan bawah sedikit dan
didominasi oleh kemangi. Pohon yang mendominasi adalah
pohon asam, pohon bidara, pohon lontar dan pohon beringin.
Kondisi tanah yang kering dan banyak serasah serta ditemukan
banyak pohon tumbang.
Pulau Rinca
4 Kampung Kawasan permukiman masyarakat di Taman Nasional Hutan, sungai dan
Rinca Komodo. Terdapat beberapa sumber air namun tidak mengaliri permukiman
S8°37.331' sungai sehingga sungai hanya mengalir ketika musim hujan.
E119° 47.402' Kondisi hutan yang sempit terhalangi tebing dan ditumbuhi
semak yang rapat.
5 Loh Buaya Merupakan kawasan yang tergolong kawasan pemanfaatan Hutan dan sungai
S8°39.060' wisata. Terdapat sumber air dan mengaliri sungai sepanjang
E119° 43.220' tahun, juga ditemukan banyak kubangan. Air memiliki kadar
kapur yang tinggi sehingga tidak dapat dikonsumsi. Kondisi
topografi hutan yang datar hingga berbukit.
6 Loh Baru Merupakan kawasan hutan yang tergolong zona rimba. Hutan dan sungai
S8°43.928' Memiliki banyak sumber air yang mengaliri sungai sepanjang
E119° 41.750' tahun. Dulunya merupakan tempat masyarakat berkebun
sehingga banyak ditemukan tanaman pagar seperti Pohon
Lamtoro dan Pohon Kedondong. Kondisi hutan yang sempit
karena terhalang tebing. Hutan memiliki topografi datar hingga
berbukit.
Pulau Flores
7 Labuan Bajo Merupakan kawasan di Pulau Flores yang bukan merupakan Hutan, sungai dan
S8°31.825' kawasan konservasi. Terdapat banyak sungai berbatu. Kawasan permukiman
E119° 54.028' permukiman berdekatan dengan sawah. Hutan memiliki
topografi yang datar hingga berbukit dengan tumbuhan yang
cukup rapat.
8 Desa Cumbi Pemukiman yang terletak dekat dengan Cagar Alam Waewuul. Hutan, sungai dan
S8°35.914' Kondisi topografi hutan datar hingga berbukit dan banyak permukiman
E119° 50.048' ditumbuhi bambu liar. Kondisi sungai mengalir dari mata air
dan berbatu. Pemukiman berbatasan dengan sawah lalu hutan.
Pulau Sumbawa
9 Sape Bukan merupakan kawasan konservasi. Permukiman Hutan, sungai dan
S8°34.294' berbatasan dengan sawah. Hutan sekunder memiliki topografi permukiman
E118° 59.536' datar hingga berbukit. Sungai mengalir dari bendungan.
6

Gambar 2 Permukiman di Kampung Komodo (kiri), Sungai di Loh Wau (tengah)


dan Hutan di Loh Liang (kanan)

Gambar 3 Permukiman di Kampung Rinca (kiri), Hutan di Loh Buaya (tengah),


dan Sungai di Loh Baru (kanan)
Titik pengamatan yang berada di sebelah barat Pulau Flores yaitu Labuan
Bajo dan Desa Cumbi (Gambar 4). Walaupun tergolong iklim kering, kedua lokasi
ini relatif lebih basah dibandingkan dengan titik pengamatan yang berada di
kawasan Taman Nasional Komodo. Terdapat sumber air dan sungai yang mengalir
sepanjang tahun di Labuan Bajo dan Desa Cumbi. Penelitian lain juga menyebutkan
ditemukan pula komodo (Varanus komodoensis) di Cagar Alam Waewuul yang
terletak dekat dengan Desa Cumbi (Ariefiandy et al. 2015).

Gambar 4 Sungai di Labuan Bajo (kiri), Permukiman di Labuan Bajo (tengah),


dan Hutan di Desa Cumbi (kanan)
Titik pengamatan yang berada di sebelah timur Pulau Sumbawa yaitu Sape.
Pengamatan dilakukan di permukiman, hutan dan akuatik (sungai) (Gambar 5).
Terdapat sumber air dan sungai yang mengalir sepanjang tahun. Hutan yang dipilih
7

sebagai lokasi pengamatan merupakan hutan sekunder yang berdekatan dengan


kebun masyarakat.

Gambar 5 Permukiman (kiri), Hutan (tengah), dan Sungai (kanan) di Sape

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian keanekaragaman herpetofauna di


Taman Nasional Komodo dan sekitarnya yaitu kamera digital, jam tangan, kantong
ular, termometer dry wet, Global Positioning system (GPS), panduan lapang amfibi
dan reptil yang dihimpun dari penelitan dan jurnal herpetofauna di NTT, headlamp,
kaliper, neraca pegas, dan alat suntik. Bahan yang digunakan yaitu baterai, plastik
bening, lem tikus, sampul bening, alkohol 90%, kapas, dan tally sheet.

Analisis Data

Daftar jenis herpetofauna yang diperoleh pada setiap habitat pengamatan


dideskripsikan status perlindungannya berdasarkan PP No. 7 tahun 1999 tentang
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, status perdagangan berdasarkan Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES),
dan status keterancaman berdasarkan International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) Red List.
Data yang diperoleh selama pengambilan data dianalisis secara kuantitatif
untuk membandingkan komunitas antar pulau dengan menggunakan indeks
keanekaragaman jenis, indeks kemerataan dan indeks kesamaan komunitas yang
dianalisis dengan dendrogram dengan pendekatan Ward’s Linkage Clustering.
Pendugaan kekayaan jenis Jackknife digunakan untuk menduga besarnya harapan
kekayaan jenis total pada keseluruhan lokasi penelitian (Heltse & Forester 1983).
Persamaan pendugaan Jackknife yaitu :
𝑛−1
S=s+( )(𝑘)
𝑛
Keterangan :
S = Pendugaan kekayaan jenis Jackknife
s = total jenis yang teramati
n = banyaknya unit contoh
k = jumlah jenis yang unik (hanya ditemukan pada satu unit contoh)
8

Pengukuran keanekaragaman jenis dilakukan dengan menggunakan indeks


keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (Brower dan Zar 1997) dengan rumus:
H´ = -∑ 𝑃𝑖 𝑙𝑛 𝑃𝑖
Keterangan :
H´ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi = proporsi jenis ke-i
Indeks keanekaragaman jenis ini memiliki kriteria, yaitu apabila H´<1
menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah, 1< H´<3 menunjukan
tingkat keanekaragaman jenis yang sedang, dan H´>3 menunjukan tingkat
keanekaragaman jenis yang tinggi.
Nilai kemerataan jenis di suatu habitat dapat dihitung dengan menggunakan
indeks kemerataan jenis (Brower dan Zar 1997), sebagai berikut:
𝐻´
𝐸=
𝐿𝑛(𝑆)
Keterangan :
E = indeks kemerataan jenis
H´ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S = jumlah jenis yang ditemukan
Indeks kesamaan komunitas herpetofauna di tiap habitat menggunakan indeks
kesamaan komunitas Bray-Curtis (Bray & Curtis 1957), sebagai berikut :
2 x Ʃ Xij x Xik
IS = Ʃ 𝑋𝑖𝑗2 + Ʃ 𝑋𝑖𝑘2
Keterangan :
IS = indeks kesamaan komunitas Morisita
Xij = jumlah individu jenis ke-i pada komunitas ke-j
Xik = jumlah individu jenis ke-i pada komunitas ke-k

Keberadaan kodok buduk (D. melanostictus) dipetakan menggunakan


ArcGIS 10.5 berdasarkan hasil penelitian dan studi literatur. Pengecekan spesimen
di Laboratorium Herpetologi Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi-LIPI Cibinong
dilakukan untuk memastikan penyebaran kodok buduk di Nusa Tenggara. Kodok
buduk yang ditemukan selama pengamatan diukur dan ditimbang serta
dikelompokkan berdasarkan kategori remaja, jantan dan betina (Ngo dan Ngo 2013).

HASIL

Komposisi Jenis Herpetofauna

Keseluruhan herpetofauna yang ditemukan berjumlah 29 jenis dengan total


671 individu yang terdiri dari 7 jenis amfibi dari 4 famili dan 22 jenis reptil dari 10
famili. Secara khusus, di Taman Nasional Komodo hanya dijumpai 20 jenis (Tabel
3). Jumlah jenis herpetofauna terbanyak (17 jenis) ditemukan di lokasi Loh Buaya,
Pulau Rinca, sedangkan jumlah jenis herpetofauna paling sedikit (10 jenis)
ditemukan di lokasi Loh Wau, Pulau Komodo. Jenis Fejervarya cancrivora dari
famili Dicroglossidae merupakan jenis yang paling banyak dijumpai selama
pengamatan yakni sebanyak 124 individu. Jenis yang paling sedikit ditemukan yaitu
Cerberus rynchops, Coelognathus subradiatus, Draco timoriensis, Malayopython
9

timoriensis dan Malayopython reticulatus yang masing masing hanya ditemukan 1


individu.
Penemuan jumlah jenis terbanyak ditemukan di Loh Buaya, Pulau Rinca,
yang merupakan lokasi wisata, sedangkan lokasi wisata yang terdapat di Pulau
Komodo yakni Loh Liang hanya ditemukan 10 jenis. Sebagian besar jalur
pengamatan pada kedua lokasi merupakan jalur pengamatan wisata. Ketika
kunjungan kapal pesiar dengan jumlah wisatawan mencapai 500 orang, dilakukan
perlakuan khusus terhadap Komodo, yakni pemberian pakan berupa kambing di
jalur pengamatan pada pagi hari sebelum pengunjung tiba.
Beberapa herpetofauna endemik Nusa Tenggara ditemukan pada penelitian
yakni, Draco timoriensis, Limnonectes kadarsani, Oreophryne jeffersoniana,
Dendrelaphis inornatus, Coelognathus subradiatus, Malayopython timoriensis dan
Varanus komodoensis. Pada pengamatan yang dilakukan di Loh Liang, Pulau
Komodo ditemukan jenis Trimeresurus insularis dengan varian warna hijau
kebiruan (Gambar 6). Umumnya, Trimeresurus insularis berwarna hijau
kekuningan. Trimeresurus insularis yang berwarna hijau termasuk minoritas
karena hanya ditemukan 1 individu dari total 29 individu pada penelitian.
Berdasarkan Red list IUCN terdapat 15 jenis yang termasuk dalam kategori
beresiko rendah (LC=Least Concern), 10 jenis termasuk dalam kategori belum
dievaluasi (NE=Not Evaluated), satu jenis yang termasuk dalam kategori hampir
terancam (NT=Near Threatened) yaitu Oreophryne jeffersoniana, dan dua jenis
yang termasuk dalam kategori rentan (VU=Vulnerable) yaitu Varanus komodoensis
dan Malayopython timoriensis. Berdasarkan status perdagangan menurut CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) terdapat tiga jenis yang termasuk dalam Appendix II CITES yaitu
Malayopython reticulatus, Malayopython timoriensis dan Varanus salvator. Selain
itu tercatat ditemukan satu jenis termasuk dalam Appendix I CITES yaitu Varanus
komodoensis.

Gambar 6 Perbedaan warna pada Trimeresurus insularis; kiri: warna hijau


kebiruan dari ular T. insularis di Pulau Komodo dan kanan: warna hijau
ular T. insularis yang umum dijumpai.
Tabel 3 Komposisi jenis amfibi dan reptil di Taman Nasional Komodo dan daerah sekitarnya
Lokasi
Jumlah
No. Jenis Komodo Rinca Flores Sumbawa
Individu
KPK LLG LWU LBY KPR LBR CMB LBJ SAP
Reptil
Gekkonidae
1 Gekko gecko 4 1 3 5 9 22
2 Hemidactylus frenatus 22 19 4 2 15 2 4 13 81
3 Hemidactylus platyurus 19 17 3 2 12 7 1 1 8 70
4 Gehyra mutilata 1 2 1 4
5 Cyrtodactylus darmandvillei 10 3 9 10 1 3 9 4 49
Scincidae
6 Sphenomorphus florensis 1 8 11 6 3 6 1 36
7 Sphenomorphus striolatus 2 6 14 9 9 5 11 2 1 64
8 Cryptoblepharus boutonii 7 2 2 11
9 Emoia kitcheneri 6 3 9
10 Lamprolepis smaragdina 2 2
Agamidae
11 Draco timoriensis 1 1
Colubridae
12 Lycodon capucinus 1 6 3 7 1 1 1 4 24
13 Dendrelaphis inornatus 2 1 1 1 1 6
14 Coelognathus subradiatus 1 1
Typhlopidae
15 Ramphotyphlops braminus 2 2
Viperidae
16 Trimeresurus insularis 2 1 1 2 2 2 19 29
Pythonidae
17 Malayopython timoriensis 1 1
18 Malayopython reticulatus 1 1
11

Tabel 4 Komposisi jenis amfibi dan reptil di Taman Nasional Komodo dan daerah sekitarnya (lanjutan)
Lokasi
Jumlah
No. Jenis Komodo Rinca Flores Sumbawa
Individu
KPK LLG LWU LBY KPR LBR CMB LBJ SAP
Homalopsidae
19 Cerberus rynchops 1 1
Elapidae
20 Laticauda colubrina 1 1 2
Varanidae
21 Varanus komodoensis 1 4 1 3 1 10
22 Varanus salvator 1 1 6 8
Amfibi
Dicroglossidae
23 Fejervarya cancrivora 16 14 44 27 23 124
24 Fejervarya limnocharis 3 5 8
25 Limnonectes kadarsani 14 2 16
Microhylidae
26 Kaloula baleata 1 1 2 14 2 20
27 Oreophryne jeffersoniana 4 4
Bufonidae
28 Duttaphrynus melanostictus 62 62
Ranidae
29 Polypedates leucomystax 3 3 6
Total Reptil 13 18 12 11
Total Amfibi 1 2 6 5 674
Total Jenis 14 20 18 16
Keterangan : KPK=Kampung Komodo, LLG=Loh Liang, LBR=Loh Baru, LBY=Loh Buaya, KPR(Kampung Rinca, LWU=Loh Wau, CMB=Desa Cumbi,
LBJ=Labuan Bajo, dan SAP=Sape.
Berdasarkan perilakunya, kebanyakan jenis ditemukan dalam keadaan diam
atau lari. Beberapa jenis ditemukan sedang bersuara, yakni G. gecko, D.
melanostictus, F. cancrivora, K. baleata dan P. leucomystax. Dua jenis katak
ditemukan sedang amplexus ketika malam hari yakni D. melanostictus dan K.
baleata. Dendrelaphis inornatus ditemukan sedang memakan F. cancrivora pada
siang hari di atas batang pohon. Pada pengamatan yang dilakukan di Desa Cumbi
ditemukan dua individu T. insularis yang mati. Hampir semua individu pada jenis
L. capucinus mengeluarkan bau menyerupai kotoran ketika ditangkap.
Kurva akumulasi penambahan jenis dibedakan menjadi empat berdasarkan
pulau lokasi pengambilan data (Gambar 7). Kurva akumulasi pada Pulau Komodo
selama 14 hari menunjukkan adanya kecenderungan garis mendatar pada hari ke-
11. Pendugaan kekayaan jenis Jackknife pada Pulau Komodo menunjukkan
harapan total jenis adalah sebanyak 18 jenis, sedangkan jenis yang ditemukan
sebanyak 14 jenis atau mencapai 76.9%. Kurva akumulasi pada Pulau Rinca selama
16 hari menunjukkan terdapat kecenderungan peningkatan garis, walaupun pada
pengamatan hari ke-5 sampai hari ke-13 garis cenderung mendatar. Pendugaan
kekayaan jenis Jackknife pada Pulau Rinca adalah sebanyak 23 jenis, sedangkan di
jenis yang ditemukan sebanyak 20 jenis atau mencapai 85.7%. Kurva akumulasi
selama 9 hari pengamatan pada Pulau Flores menunjukkan adanya peningkatan
garis tiap harinya. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan dapat ditemukan
jenis herpetofauna lain apabila dilakukan penambahan waktu pengamatan.
Pendugaan kekayaan jenis Jackknife pada Pulau Flores sebesar 23 jenis,
sedangkan jenis yang ditemukan adalah 18 atau sebanyak 76.9%. Kurva akumulasi
selama 10 hari pada Pulau Sumbawa menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan garis. Pendugaan kekayaan jenis Jackknife pada Pulau Sumbawa
sebanyak 20 jenis, sedangkan jenis yang ditemukan adalah 16 jenis atau 78%.

Pulau Komodo Pulau Rinca


20
Jumlah Jenis

10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Hari ke- Hari ke-

Pulau Flores Pulau Sumbawa


20
Jumlah Jenis

10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Hari ke- Hari ke-

Herpetofauna Amfibi Herpetofauna Amfibi


Reptil Reptil

Gambar 7 Kurva akumulasi jenis herpetofauna berdasarkan pulau


13

Kelimpahan Jenis Relatif

Kelimpahan jenis relatif tertinggi adalah D. melanostictus di Pulau Sumbawa


dengan nilai 114.81 (ind/jam-orang pengamat), sedangkan kelimpahan jenis
terendah dengan nilai 0.36 (ind/jam-orang pengamat) adalah K. baleata dan G.
mutilata di Pulau Komodo. Kelimpahan jenis relatif berdasarkan pulau lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 5 Kelimpahan (individu/jam-orang) jenis relatif herpetofauna di Taman


Nasional Komodo dan sekitarnya berdasarkan pulau
Pulau Pulau Pulau Pulau
No Nama Ilmiah
Komodo Rinca Flores Sumbawa
Reptil
1 Gekko gecko 1.44 1.62 6.67 16.67
2 Hemidactylus frenatus 16.22 7.68 7.68 24.07
3 Hemidactylus platyurus 14.05 8.48 2.67 14.81
4 Gehyra mutilata 0.36 0.81 - 1.85
5 Cyrtodactylus darmandvillei 7.93 5.66 12.00 7.41
6 Sphenomorphus florensis 7.21 6.06 6.06 -
7 Sphenomorphus striolatus 9.73 9.29 9.29 1.85
8 Cryptoblepharus boutonii 2.52 1.62 1.62 -
9 Emoia kitcheneri - 3.64 - -
10 Lamprolepis smaragdina - - 2.67 -
11 Draco timoriensis - - - 1.85
12 Lycodon capucinus 3.60 3.64 1.33 7.41
13 Dendrelaphis inornatus 1.08 0.81 1.33 -
14 Coelognathus subradiatus - - - 1.85
15 Ramphotyphlops braminus - 0.81 - -
16 Trimeresurus insularis 0.72 1.62 28.00 3.70
17 Malayopython timoriensis - 0.40 - -
18 Malayopython reticulatus - - 1.33 -
19 Cerberus rynchops - - - -
20 Laticauda colubrina - - - -
21 Varanus komodoensis 2.16 1.62 - -
22 Varanus salvator - - 1.33 11.11
Amfibi
23 Fejervarya cancrivora - 12.12 66.67 81.48
24 Fejervarya limnocharis - - 4.00 9.26
25 Limnonectes kadarsani - - 21.33 -
26 Kaloula baleata 0.36 1.21 18.67 3.70
27 Oreophryne jeffersoniana - - 5.33 -
28 Duttaphrynus melanostictus - - - 114.81
29 Polypedates leucomystax - - 4.00 5.56

Jenis herpetofauna yang melimpah adalah jenis yang berjumlah lebih dari 21
individu yang ditemukan selama pengambilan data. Fejervarya cancrivora
14

merupakan jenis herpetofauna yang paling melimpah pada pengamatan di Pulau


Rinca dan Pulau Flores. Dari ukuran panjang, terdapat perbedaan nyata antara
populasi F. cancrivora di Flores dengan Pulau Rinca (npflores=50 nprinca=29, t-test=
0.835, P=0.004) namun tidak ada perbedaan nyata ukuran SVL F. cancrivora antara
Pulau Rinca dengan Pulau Sumbawa (nprinca=29 npsumbawa=19, t-test=0.052,
P=0.974) dan antara Pulau Sumbawa dengan Pulau Flores (npsumbawa=19 npflores=50,
t-test=0.785, P=0.889). Berdasarkan beratnya, terdapat perbedaan nyata antara
populasi F. cancrivora di Pulau Sumbawa dengan di Pulau Rinca (npsumbawa=19
nprinca=29, t-test=0.846 P=0.016), namun tidak ada perbedaan nyata ukuran berat F.
cancrivora antara di Pulau Rinca dengan Pulau Flores (nprinca=29 npflores=50, t-
test=0.035, P=0.686) dan antara Pulau Sumbawa dan Pulau Flores (npsumbawa=19
npflores=50, t-test=0.104, P=0.069).
Kelimpahan jenis tertinggi di Pulau Komodo adalah H. frenatus disusul H.
platyurus, S. striolatus dan S. florensis. Keempat jenis ini ditemukan di semua
lokasi pengamatan di Pulau Komodo. Gambar 8 menunjukkan empat jenis
herpetofauna yang melimpah di P. Komodo dan sekitarnya. Tabel 5 menunjukkan
ukuran TL (Total Length), SVL (Snout Vent Length) dan berat jenis yang melimpah
selama penelitian.

Gambar 8 Jenis herpetofauna yang melimpah di Taman Nasional Komodo dan


sekitarnya. Fejervarya cancrivora (atas kiri), Hemidactylus frenatus
(atas kanan), Duttaphrynus melanostictus yang hanya di temukan di
Sape (bawah kiri), dan Hemidactylus platyurus.
15

Tabel 6 Ukuran dan jumlah individu dari herpetofauna yang melimpah tiap pulau
TL SVL W
Jenis Jumlah Min Max Rata- Min Max Rata- Min Max Rata-
rata rata rata
Pulau Komodo
8.40
5.00 ± 3.37 ±
H. frenatus 45 6.0 12.0 ± 4.0 7.0 1.0 6.0
0.94 1.37
1.91
8.86
4.59 ± 3.52 ±
H. platyurus 39 6.0 13.0 ± 3.5 6.0 1.0 6.0
1.13 1.78
2.32
Pulau Rinca
3.70 ± 5.20 ±
F. cancrivora 30 - - - 2.1 7.0 1.5 16.5
1.13 3.49
8.99
3.65 ± 1.90 ±
S. striolatus 23 5.6 15.5 ± 2.6 5.4 0.25 6.5
0.82 1.59
2.61
Pulau Flores
4.45 ± 7.03 ±
F. cancrivora 50 - - - 3.0 8.0 3.5 22.0
1.06 3.73
55.34 49.72
44.41
T. insularis 21 40.0 70.0 ± 32.0 62.0 24.5 98.5 ±
± 6.89
7.19 22.01
Pulau Sumbawa
25.41
D. 6.73 ±
62 - - - 3.0 10.5 4.0 80.0 ±
melanostictus 1.62
21.24
4.37 ± 5.37 ±
F. cancrivora 44 - - - 1.5 6.1 0.5 8.0
1.16 1.85

Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Herpetofauna

Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener tertinggi ditemukan di lokasi Loh


Buaya dengan indeks sebesar 2.42, sedangkan terendah ditemukan di lokasi
Kampung Komodo dengan indeks sebesar 1.74. Indeks kemerataan jenis tertinggi
ditemukan di lokasi Sape (E=0.59), sedangkan indeks kemerataan jenis terendah
ditemukan di lokasi Kampung Rinca (E=0.38) (Tabel 6).

Tabel 7 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan herpetofauna


Lokasi H' E
Pulau Komodo
Kp. Komodo 1.735 0.403
Loh Liang 1.991 0.469
Loh Wau 1.858 0.470
Pulau Rinca
Loh Buaya 2.416 0.555
Kp. Rinca 1.790 0.435
Loh Baru 2.307 0.587
Pulau Flores
Desa Cumbi 1.874 0.420
Labuan Bajo 1.941 0.462
Pulau Sumbawa
Sape 1.948 0.381
Keterangan : H’= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, E= Indeks
Kemerataan Jenis
16

Bila dilihat per pulau, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener tertinggi


terdapat di Pulau Rinca dengan indeks sebesar 2.52, sedangkan indeks terendah
terdapat di Pulau Sumbawa dengan indeks sebesar 1.95. Indeks kemerataan pada
keempat pulau relatif sama dengan indeks tertinggi pada Pulau Rinca (E=0.48) dan
indeks terendah pada Pulau Sumbawa (E=0.38) (Tabel 7).

Tabel 8 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan herpetofauna per pulau


Indeks Lokasi (Pulau)
Komodo Rinca Flores Sumbawa
Keanekaragaman (H’) 2.115 2.522 2.235 1.948
Kemerataan (E) 0.399 0.475 0.444 0.382

Kesamaan Komunitas Jenis Herpetofauna

Berdasarkan persebaran jenis herpetofauna dan penggunaan habitat maka


komunitas herpetofauna dapat dikelompokkan ke dalam dua kluster (Gambar 9).
Kluster pertama adalah jenis herpetofauna yang terdapat di Pulau Komodo dengan
Pulau Rinca yang merupakan kawasan Taman Nasional Komodo. Kluster kedua
adalah jenis herpetofauna yang terdapat di Pulau Flores dan Pulau Sumbawa.
Indeks kesamaan komunitas

Pulau
Gambar 9 Dendogram pengelompokan komunitas herpetofauna
Kesamaan komunitas jenis herpetofauna tertinggi terdapat pada lokasi Pulau
Komodo dengan Pulau Rinca, yakni sebesar 0.8, sedangkan terendah adalah antara
Pulau Flores dengan Pulau Rinca yakni 0.57.

Keberadaan Kodok Buduk (Duttaprhynus melanostictus)

Selama pengamatan, kodok buduk hanya ditemukan di Sape, Pulau Sumbawa.


Jumlah total kodok buduk yang ditemukan adalah 62 individu selama 10 hari
17

pengamatan. 35 individu yang dilakukan pengukuran dilakukan selama 4 hari pada


periode 15-18 April 2018. Tabel 8 menunjukkan berat dan ukuran rata-rata kodok
buduk yang diukur.

Tabel 9 Ukuran panjang dan berat tubuh Duttaphrynus melanostictus di Sape


pada tanggal 15-18 April 2018 (N = 35)
Jenis SVL(cm) W(gr)
Jumlah
Kelamin Min Max Rata-rata Min Max Rata-rata
Jantan 11 6.2 9.0 7.21 ± 0.94 11.0 76.0 26.20 ± 18.32
Betina 16 6.0 10.5 7.49 ± 1.38 8.0 80.0 34.70 ± 22.76
Remaja 8 3.0 5.5 4.69 ± 0.88 4.0 18.0 6.99 ± 4.52

PEMBAHASAN

Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Herpetofauna

Keberadaan jenis-jenis berstatus penting (kategori terancam dalam daftar


merah IUCN maupun masuk kategori dilindungi) menunjukkan pentingnya
keberadaan Taman Nasional Komodo untuk memastikan keberadaan herpetofauna,
misalnya M. timoriensis dan V. komodoensis serta T. insularis berwarna hijau
kebiruan hanya ditemukan di kawasan Nusa Tenggara (De Lang 2011) (Gambar 6).
Beberapa jenis herpetofauna yang terdapat di Taman Nasional Komodo maupun di
Pulau Sumbawa dan Pulau Flores perlu mendapat perhatian khusus. Berbagai jenis
ular kerap kali dibunuh oleh masyarakat karena dianggap berbahaya. Jenis T.
insularis merupakan jenis yang sering ditemukan dalam keadaan mati, sedangkan
T. insularis dengan varian warna hijau kebiruan merupakan ular yang sering diburu
dan diperjual-belikan di Pulau Sumbawa. Berdasarkan pengamatan, terdapat dua
jenis yang ditemukan sedang amplexus yakni D. melanostictus di Sape dan Kaloula
baleata di Labuan Bajo. Musim kawin pada katak dipengaruhi oleh curah hujan dan
suhu. Pada tempat yang mempunya curah hujan dan suhu yang stabil musim kawin
kodok buduk dapat terjadi sepanjang tahun (Jørgensen et al. 1986). Kaloula baleata
yang sedang amplexus ditemukan di Labuan Bajo pada bulan Februari 2018 yang
merupakan musim hujan dengan curah hujan 280 mm per hari. Jenis ini diketahui
berkembang biak sepanjang musim hujan (AmphibiaWeb 2008).
Jumlah jenis herpetofauna yang ditemukan pada penelitian ini lebih banyak
dibandingkan dengan penelitian lain di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo oleh
Wahyuni (2012) yang menemukan 16 jenis reptil. Penelitian ini mendapatkan hasil
yang lebih tinggi yaitu 18 jenis reptil dan 2 jenis amfibi yang terdapat pada kawasan
Taman Nasional Komodo. Namun demikian, bila dilihat dari daftar jenis reptil yang
ditemukan dibandingkan dengan penelitian Wahyuni (2012) di Pulau Padar terdapat
perbedaan. Jenis B. hoeseli, C. subradiatus yang keduanya merupakan endemik
Nusa Tenggara, N. sputatrix dan C. yulensis tidak ditemukan pada penelitian ini.
Bila dibandingkan dengan daftar herpetofauna yang dipublikasikan oleh
Auffenberg (1980) di Pulau Komodo maka jumlah jenis saat ini lebih sedikit.
Selama kurun waktu 1969-1970, 1971 dan 1973 Auffenberg menemukan 30 jenis
herpetofauna. Terdapat 17 jenis yang ditemukan Auffenberg (1980) namun tidak
18

ditemukan dalam penelitian ini yaitu O. jeffersoniana, C. porosus, P.


pulverulentus, B. cynodon, C. subradiatus, A. granulatus, T. schmutri, D. siamensis,
N. sputatrix, D. noveaguineae, D. volans, E. mulitfasciata, S. capitolythops, S.
schlegeli, C. burdeni, E. similis, dan C. laevigatus. Terdapat beberapa jenis yang
ditemukan pada penelitian ini namun tidak ditemukan pada penelitian di Pulau
Padar oleh Wahyuni (2012) dan di Pulau Komodo oleh Auffenberg (1980)
diantaranya F. cancrivora, M. timoriensis dan Emoia kitcheneri. Walaupun
demikian, ketiga jenis tersebut bukan merupakan endemik Pulau Komodo ataupun
Pulau Rinca melainkan yang umum ditemukan di kawasan Nusa Tenggara.
Misalnya F. cancrivora yang tersebar luas di Indonesia, China, India, Thailand,
Filipina, Malaysia dan Singapura. Malayopython timoriensis adalah jenis endemik
Nusa Tenggara (Flores, Timor dan Lomblen) dan dilindungi dalam PP No. 7 Tahun
1999. Berdasarkan sebarannya E. kitcheneri adalah jenis yang dapat ditemukan di
Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Tidak ditemukannya beberapa jenis yang ada dalam catatan Auffenberg
(1980) dipengaruhi oleh total usaha pencarian dan musim. Auffenberg melakukan
pencatatan selama hampir 3 tahun yang meliputi musim hujan dan musim kering
sehingga memiliki kesempatan untuk mendapatkan jenis lebih banyak. Selain itu,
terdapat beberapa jenis reptil laut yang tidak ditemukan karena penelitian ini
difokuskan pada habitat herpetofauna terestrial. Hal ini bisa dilihat dari perhitungan
Jackknife yang menunjukkan kemungkinan masih ditemukan lebih banyak
herpetofauna di Pulau Komodo. Jumlah jenis yang ada di Pulau Flores maupun
Sumbawa belum maksimal, mengingat titik pengamatan hanya sebagian kecil dari
keseluruhan pulau. Selain itu usaha pencarian di Pulau Flores dan Pulau Sumbawa
lebih sedikit daripada di Taman Nasional Komodo, sehingga mempengaruhi jumlah
jenis yang ditemukan.
Seluruh lokasi pengamatan memiliki nilai keanekaragaman yang tergolong
sedang dengan nilai yang tertinggi yakni 2.416 (Loh Buaya) dan nilai terendah
yakni 1.735 (Kampung Komodo). Indeks kemerataan terendah ditemukan di lokasi
pengamatan Sape, Pulau Sumbawa yakni bernilai 0.38. Rendahnya nilai
kemerataan terlihat dari adanya dominasi pada jenis Duttaphrynus melanostictus
dan Fejervarya cancrivora. Kampung Rinca (P. Rinca) dan Kampung Komodo (P.
Komodo) adalah lokasi dengan keanekaragaman herpetofauna paling rendah, yakni
hanya ditemukan 10 jenis reptil dan tidak ditemukan jenis amfibi di jalur
pengamatan (Kampung Rinca) dan di Kampung Komodo hanya ditemukan satu
jenis katak (K. baleata) dan 9 jenis reptil. Kondisi tumbuhan bawah di Kampung
Rinca yang rapat dan tidak adanya sumber air yang mengalir menyebabkan sulitnya
menemukan jenis herpetofauna. Sedangkan di Kampung Komodo, cuaca yang
kering dan tidak adanya hujan selama pengamatan mungkin menyebabkan
sedikitnya jumlah jenis yang ditemukan. Berdasarkan hasil selama pengamatan,
terdapat bias pada hasil di Pulau Sumbawa dan Pulau Flores dikarenakan adanya
perbedaan jumlah pengamat dan jumlah waktu pengambilan data. Bias dapat
ditangani apabila usaha yang dilakukan sesuai dengan luasan pulau. Beberapa
faktor yang menyebabkan jumlah jenis suatu lokasi berbeda dengan lokasi lainnya
yakni ukuran daerah pengamatan, tingkat isolasi, ketinggian, keragaman vegetasi,
cuaca, dan bencana alam (Kusrini 2008). Selain dari faktor internal (lama
pengamatan, metode pengamatan dan kemampuan pengamat), terdapat pula faktor
eksternal yang mempengaruhi efektivitas inventarisasi yakni fluktuasi harian, pola
19

pergerakan satwa, pola distribusi satwa, pola cuaca, dan sejarah hidup satwa
(Kusrini 2008).
Jumlah jenis yang ditemukan memiliki kemungkinan akan adanya
penambahan jenis. Khususnya pada Pulau Flores dan Pulau Sumbawa kurva
penambahan jenis belum mencapai garis mendatar. Sedangkan pada Pulau Komodo
dan Pulau Rinca kurva penambahan jenis memiliki kecenderungan mendatar dan
nilai pendugaan kekayaan Jackknife hanya menujukkan selisih 2 jenis sehingga
jumlah jenis yang ditemukan relatif tidak bertambah walaupun usaha pencarian
ditambah. Kurva penambahan jenis dapat digunakan untuk mentaksir waktu
pengamatan sudah mencukupi seluruh jumlah jenis yang ada di lokasi tersebut
(Kusrini 2008).

Kesamaan Komunitas dan Kelimpahan Jenis Herpetofauna

Berdasarkan kesamaan komunitasnya, terbentuk 2 kluster yakni, Pulau


Komodo dengan Pulau Rinca dan Pulau Flores dengan Pulau Sumbawa (Gambar
8). Pulau Flores dengan Pulau Sumbawa tergolong dalam satu kluster karena
merupakan habitat dengan pengaruh aktivitas manusia yang tinggi. Pulau Rinca
memiliki nilai kesamaan komunitas yang tinggi dengan Pulau Komodo karena
memiliki habitat yang sama. Selain dari jarak antara kedua pulau ini yang
berdekatan, dan penyusun vegetasi memiliki kemiripan sehingga beberapa jenis
herpetofauna dapat dijumpai di kedua pulau dan membentuk satu komunitas. Pulau
Komodo dan Pulau Rinca merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo yang
bertujuan sebagai perlindungan Komodo dan habitatnya. Varanus komodoensis
sebenarnya bukan hanya ditemukan di Taman Nasional Komodo, namun juga di
Pulau Flores. Keberadaan Komodo diketahui berada di Pulau Longos, Cagar Alam
Waewuul, Tanjung Karita, dan Flores Utara (Ariefiandy et al. 2017).
Berdasarkan teori biogeografi oleh MacArthur & Wilson (1967), jumlah jenis
pada suatu pulau dipengaruhi oleh ukuran pulau dan jarak dengan pulau utama yang
keduanya mempengaruhi laju kepunahan dan imigrasi. Mengacu pada teori
biogeografi, Pulau Flores dan Pulau Sumbawa yang merupakan pulau besar (utama)
seharusnya memiliki keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Pulau Rinca dan Pulau Komodo yang merupakan pulau kecil. Adanya kemungkinan
jenis yang ditemukan di Pulau Rinca dan Pulau Komodo dapat ditemukan di Pulau
Flores dan Pulau Sumbawa. Terdapat satu jenis amfibi (K. baleata) dan delapan
jenis reptil yang ditemukan di keempat pulau yakni, C. darmandvillei, H. frenatus,
H. platyurus, G. gecko, G. mulilata, S. striolatus, T. insularis dan L. capucinus.
Terdapat sebelas jenis yang hanya ditemukan di satu pulau yakni D.
melanostictus, C. subradiatus dan D. timoriensis yang hanya ditemukan di Pulau
Sumbawa, C. rynchops, E. kitcheneri, M. timoriensis dan R braminus yang hanya
ditemukan di Pulau Rinca, dan L. kadarsani, M. reticulatus, L. smaragdina, dan O.
jeffersoniana. Walaupun demikian, jenis jenis tersebut bukan merupakan jenis
endemik pulau tesebut dan adanya kemungkinan ditemukan di pulau lain. Misalnya
L. kadarsani, O. jeffersoniana, M. timoriesis, C. subradiatus dan D. timoriensis
merupakan jenis endemik yang tersebar di Nusa Tenggara. Malayopython
reticulatus dan C. rynchops adalah jenis ular yang tersebar luas di Asia.
Empat jenis cicak (H. frenatus, H. platyurus, G. gecko, G. mulilata)
merupakan jenis yang mudah dijumpai di permukiman dan tersebar luas (Janiawati
20

et al. 2016). H. frenatus dan H. platyurus merupakan herpetofauna yang paling


melimpah di Pulau Komodo. Menurut Mattison (2005), kadal dan cicak merupakan
reptil yang memakan berbagai macam invertebrata, hal ini menunjukkan jenis
mampu beradaptasi pada kondisi habitat yang beragam yakni hutan, akuatik dan
permukiman. L. capucinus atau biasa disebut ular cicak merupakan ular yang biasa
memangsa genus Hemidactylus, sebarannya luas mencakup kawasan Asia
Tenggara dan Asia Selatan (Abercromby 1910).
Kaloula baleata, F. cancrivora dan D. melanostictus adalah tiga jenis katak
yang relatif melimpah dan menyebar luas. Kaloula baleata adalah jenis katak yang
biasa menempati habitat hutan primer, hutan sekunder serta lahan bekas tebangan
(Kusrini 2013) dan ditemukan di semua lokasi penelitian. Sedangkan F. cancrivora
ditemukan di tiga lokasi dan melimpah di Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau
Rinca. Fejervarya cancrivora menyebar luas di Benua Asia, dengan populasi yang
membentang dari Guangxi sampai timur laut Pulau Hainan (China), Vietnam,
Andaman dan Pulau Nicobar (India), Thailand, Malaysia, Singapora, Jawa, Nusa
Tenggara, Flores (Frost 2007) dan Bangladesh (Islam et al. 2008). Fejervarya
cancrivora dapat dengan mudah dijumpai di kubangan dan sawah. Jenis ini dikenal
mampu beradaptasi dengan air payau (Kusrini 2013). Berdasarkan uji t-test yang
dilakukan, ditemukan adanya perbedaan panjang dan berat tubuh yang signifikan,
perbedaan panjang tubuh (SVL) antara F. cancrivora yang ditemukan di Pulau
Flores dengan Pulau Rinca, sedangkan perbedaan berat tubuh ditemukan antara F.
cancrivora di Pulau Sumbawa dengan Pulau Rinca. Hal ini menunjukkan F.
cancrivora di pulau utama (Pulau Sumbawa dan Pulau Flores) berukuran lebih
besar dibandingkan dengan F. cancrivora yang terdapat di Pulau Rinca.
Di Pulau Sumbawa jenis paling melimpah adalah D. melanostictus. Jenis ini
tersebar luas di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara serta telah terintroduksi
di berbagai wilayah seperti Pulau Sulawesi, Pulau Bali, Pulau Lombok, Pulau
Sumbawa, Pulau Sumba, Pulau Timor dan Pulau Seram (Reilley et al. 2017), serta
madagascar (Andreone et al. 2005). D. melanostictus merupakan kodok yang
umum ditemukan di permukiman, lahan olahan, tempat terbuka, kebun dan parit
(Kusrini 2013). Kemungkinan tiga jenis katak ini menyebar akibat pengaruh
manusia dan kemudian dapat hidup dengan baik di lokasi penelitian.

Keberadaan Kodok Buduk (Duttaprhynus melanostictus)

Selama pengamatan di sembilan lokasi, D. melanostictus hanya ditemukan di


Sape, Pulau Sumbawa. Dari 62 individu yang ditemukan, D. melanostictus paling
banyak ditemukan pada habitat permukiman yakni 33 individu. Keberadaan D.
melanostictus di Bali telah lama diindentifikasi oleh Church (1960), dimana saat itu
keberadaan kodok buduk di bagian barat Bali dikhawatirkan akan menyebar ke
seluruh daerah di Pulau Bali. Lebih dari 50 tahun kemudian, D. melanostictus
diidentifikasi sebagai jenis terintroduksi di Pulau Sulawesi, Pulau Bali, Pulau
Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Sumba, Pulau Timor dan Pulau Seram (Reilley et
al. 2017). Keberadaan D. melanostictus juga tercatat di Papua Barat sejak 1995 dan
1999 (Menzies dan Tapilatu 2000). Keberadaan D. melanostictus di Nusa Tenggara
tercatat di Taman Nasional Gunung Rinjani, Lombok (Septian 2016) (Syazali et al.
2006), Taman Nasional Gunung Tambora, Bima (Himakova 2015), Taman
21

Nasional Manupeu Tanadaru, Sumba (Himakova 2009), dan Timor Leste (O’Shea
et al. 2012).

TN Gunung Tambora
Sape
TN Gunung Rinjani Timor Leste

TN Manupeu Tanadaru

Gambar 10 Lokasi ditemukan Kodok Buduk di Nusa Tenggara. Data bersumber


dari Septian (2016), Syazali et al. (2006), Himakova (2015),
Himakova (2009), dan O’Shea et al. (2012)
Keberadaan jenis introduksi umumnya terjadi karena aktivitas manusia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2006), jenis
invasif merupakan spesies baik asli maupun bukan yang menempati suatu habitat
dan memberikan dampak negatif bagi ekologi, ekonomi dan sosial. Tidak semua
jenis asing yang masuk kemudian menjadi invasif. Menurut the ten rules
Williamson dan Fitter (1996), satu dari sepuluh jenis yang hidup liar di alam dapat
terintroduksi, satu dari sepuluh jenis yang terintroduksi mampu bertahan dan
meneruskan jenisnya, dan hanya satu dari sepuluh jenis yang mampu bertahan
disebut sebagai jenis invasif. Berdasarkan hukum ini, kemungkinan jenis
terintroduksi menjadi jenis invasif sangat kecil atau dengan kata lain sulit untuk
mendeteksi dampak negatif dari jenis yang terintroduksi. Terdapat beberapa hal
yang perlu diketahui untuk menduga dampak jangka panjang suatu jenis invasif
yaitu, kesesuaian habitat terhadap suatu jenis, reaksi jenis lokal terhadap jenis
terintroduksi, dan kemana dan bagaimana suatu jenis akan terintroduksi (Crowl et
al. 2008).
Berbagai faktor menyebabkan jenis ini dapat bertahan di habitat barunya
antara lain yaitu iklim yang sesuai, tidak adanya predator, habitat yang kaya sumber
pakan dan kemampuan adaptasi yang baik (Church 1960). Berudu D. melanostictus
diketahui mampu beradaptasi baik bahkan di air payau (Strahan 1957). Luasnya
sebaran kodok buduk di Indonesia khususnya di kawasan Nusa Tenggara (Gambar
1), menunjukkan adanya kemungkinan di masa mendatang D. melanostictus dapat
22

ditemukan di Pulau Flores bahkan di kawasan Taman Nasional Komodo, apalagi


tidak ada perbedaan habitat dan iklim yang ekstrem antara Pulau Flores dengan
pulau lain yang sudah terintroduksi D. melanostictus seperti Pulau Sumbawa dan
Pulau Sumba. Sebenarnya, mengherankan bahwa sampai saat ini tidak ada laporan
keberadaan D. melanostictus di Pulau Flores. Rendahnya penelitian di daerah
Flores bisa jadi merupakan salah satu faktor tidak adanya laporan keberadaan kodok
ini di Flores, walaupun masih harus dibuktikan. Ketidakhadiran D. melanostictus
di Pulau Flores dan Taman Nasional Komodo mungkin karena adanya faktor yang
menghambat jenis ini untuk bertahan, walaupun belum dapat dipastikan.
Duttaphrynus melanostictus adalah kodok dari famili Bufonidae yang
memiliki kelenjar paratoid yang berfungsi sebagai perlindungan diri dari
predatornya, seperti burung, mamalia, ular dan buaya (Awasthi 2006). Empat
kategori senyawa yang terkandung pada kelenjar paratoid bersifat racun bagi
predator yakni, amino biogenik, bufodinelid, alkaloid-steroid dan peptida-protein
(Clarke 1997). Selain itu, kodok ini merupakan predator yang memakan berbagai
jenis invertebrata (Döring et al. 2017) dan satu-satunya jenis ular yakni
Ramphotyphlops braminus (O’Shea et al. 2013). Hal ini memungkinkan terjadinya
persaingan dan bahkan hilangnya jenis asli bila kodok ini berkembang biak di suatu
tempat. Penelitian yang dilakukan oleh Ujvari et al. (2014) pada darah Komodo
menunjukkan sekuens 12 asam amino dengan kode domain H1-H dari lima
Komodo identik dengan varanid dari Australia yang rentan terhadap keracunan
akibat kodok.
Terintroduksinya suatu jenis ke suatu tempat dapat terjadi melalui berbagai
cara, terutama melalui mobilitas manusia (Crowl et al. 2008). Taman Nasional
Komodo sebagai warisan dunia merupakan salah satu destinasi wisata bagi
wisatawan lokal maupun mancanegara. Tingginya mobilitas dari luar ke kawasan
Taman Nasional Komodo semakin meningkat, hal ini dapat menjadi salah satu
penyebab terintroduksinya D. melanostictus ke kawasan Taman Nasional Komodo.
Perlunya penyadaran kepada seluruh elemen yang ada di Taman Nasional Komodo
tentang bahaya dan dampak dari D. melanostistus bagi ekosistem.

Implikasi Terhadap Konservasi

Keanekaragaman herpetofauna di Taman Nasional Komodo tergolong unik,


karena dari 29 jenis herpetofauna beberapa diantaranya merupakan jenis endemik
Nusa Tenggara. Selain itu, hasil penelitian mencatat dua jenis yang dilindungi
dalam PP No. 7 Tahun 1999 dan dikategorikan rentan (VU=Vulnerable) dalam
IUCN yakni M. timoriensis dan V. komodoensis. Tercatat tiga jenis yang tergolong
Appendix II dalam CITES yakni M. timoriensis, M. reticulatus dan V. salvator serta
V. komodoensis yang tergolong Appendix I CITES. Hasil penelitian
mengindikasikan jenis-jenis tertentu bergantung pada kondisi mikro habitatnya.
Beberapa langkah pengelolaan yang dapat dilakukan diantaranya pengelolaan
habitat, monitoring berkala terhadap jenis herpetofauna, mengedukasi masyarakat
sekitar kawasan dan langkah-langkah pencegahan penyebaran D. melanostictus di
Taman Nasional Komodo. Pengelolaan habitat dapat dilakukan dengan upaya
pencegahan pembalakan liar dan kebakaran hutan. Kurangnya informasi mengenai
jenis herpetofauna di Pulau Flores dan adanya beberapa jenis yang belum
ditemukan dalam penelitian ini namun tercatat dalam penelitian lain (Auffenberg
23

1980) menunjukkan pentingnya dilakukan monitoring secara berkala. Selain itu,


data ini dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan Taman
Nasional Komodo. Pendidikan konservasi kepada masyarakat sekitar penting
dilakukan karena di beberapa lokasi penelitian masih ditemukan masyarakat yang
membunuh ular. Langkah-langkah pencegahan penyebaran D. melanostictus dapat
dilakukan dengan memasang papan peringatan, apabila pembaca menemukan jenis
tersebut dapat melaporkan kepada petugas Taman Nasional Komodo. Selain itu,
perlunya dilakukan pemeriksaan pada kapal yang merapat di kawasan Taman
Nasional Komodo untuk memastikan jenis ini tidak terbawa dari luar kawasan.

SIMPULAN DAN SARAN

Herpetofauna di Taman Nasional Komodo dan sekitarnya tercatat 29 jenis


yang terdiri dari 7 jenis amfibi dari 4 famili dan 22 jenis reptil dari 11 famili. Khusus
pada Taman Nasional Komodo ditemukan 20 jenis herpetofauna yang terdiri dari
18 jenis reptil dan 2 jenis amfibi. Keberadaan Taman Nasional Komodo merupakan
kawasan konservasi yang memiliki peranan penting dalam perlindungan
herpetofauna, karena di kawasan Taman Nasional Komodo ditemukan jenis
herpetofauna yang dilindungi dan endemik Nusa Tenggara. Nilai keanekaragaman
tertinggi ditemukan di Loh Buaya, Pulau Rinca, yang merupakan lokasi wisata.
Keberadaan kodok buduk (D. melanostictus) tidak ditemukan di Taman Nasional
Komodo maupun Pulau Flores. Saran terhadap pengelolaan yakni pengelolaan
habitat, monitoring secara berkala, mengedukasi masyarakat sekitar kawasan dan
melakukan upaya pencegahan D. melanostictus.
Waktu pengambilan data pada kawasan Taman Nasional Komodo sebaiknya
dilakukan pada bulan Desember-januari yang mana merupakan awal musim hujan
dengan tingkat curah hujan tinggi. Data ini dapat digunakan sebagai acuan atas
manajemen pengelolaan pada kawasan Taman Nasional Komodo. Perlu dilakukan
inventarisasi secara berkala agar keberadaan jenis dapat terpantau. Penelitian di
Pulau Sumbawa dan Pulau Flores dilakukan dalam waktu yang relatif pendek dan
jumlah titik yang terbatas. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah hari
yang lebih banyak dan kisaran area yang lebih luas untuk melihat kaitan teori
biogeografi pulau dengan keanekaragaman herpetofauna.
24

DAFTAR PUSTAKA

Abercromby AF. 1910. The Snake of Ceylon. London (UK): Murray and Co.
AmphibiaWeb. 2018. http:/amphibiaweb.org. Berkeley (US): University of
California.
Andreone F, Cadle JE, Cox N, Glaw F, Nussbaum RA, Raxworhty CJ, Stuart SN,
Vallan D, Vences M. 2005. Species review of amphibian extinction risks
in madagascar: conclusion from the global assessment. Conserv. Biol. 19:
1790-1802.
Ariefiandy A, Purwandana D, Natali C, Imansyah MJ. 2015. Coservation of
komodo dragons Varanus komodoensis in the Wae Wuul nature reserve,
Flores, Indonesia: a multidisciplinary approach: western Flores,
Indonesia: komodo dragon conservation. International Zoo Yearbook 49:
1-14.
Ariefiandy A, Purwandana D, Nasu SA, Benu YJ, Chrismiawati M, Kamil PI,
Imansyah MJ, Ciofi C, Jessop T. 2017. Panduan Lapangan Biawak
Komodo. Denpasar (ID): Yayasan Komodo Survival Program.
Auffenberg W. 1980. The herpetofauna of komodo, with notes on adjacent areas.
Bulletin of the Florida States Museum Biological Sciences 25(2): 40-150.
Awasthi K. 2006. Down to earth. Biocontrol Backfires 14(22): 46-48.
Bray RJ, Curtis JT. 1957. An ordinary of the unpland forest communities of
southern wisconsin. Ecol Monogr 27: 326-349.
Brower JE, Zar JH. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology.
Iowa (US): Brown.
Clark BT. 1997. The natural history of amphibian skin secretions, their normal
functioning and potential medical applications. Biol Rev Camb Philos
Soc. 72(3): 365-379.
Church G. 1960. The invasion of Bali by Bufo melanostictus. Herpetologica 16(1):
15-21.
Crowl TA, Crist TO, Parmenter RR, Belovsky G, Lugo AE. 2008. The spread of
invasive species and infectious disease as drivers of ecosystem change.
Front Ecol Environ 6(5) : 238-246.
De Lang R. 2011. The snake of the lesser sunda island (Nusa Tenggara) indonesia.
Asian Herpetological Research 2(1): 46-54.
Döring B, Mecke S, Kieckbusch M, O’Shea M, Kaiser H. 2017. Food spectrum
analysis of the asian toad, Duttaphrynus melanostictus (Schneider, 1799)
(Anura: Bufonidae), from Timor Island, Wallacea. Journal of Natural
History 51:1-17.
Frost DR. 2017. Amphibian Species of the world Ver 6.0. [Internet]. [diunduh 2018
juni 26]. Tersedia pada: https://amphibiaweb.org
Griffiths AD, McKay JL. 2007. Cane toads reduce the abundance and site
occupancy of Merten’s water monitor (Varanus mertensi). Wildlife
Research 34: 609-615.
Hall R, Cottam AM, Wilson MEJ. 2011. The SE Asian gateway: history and
tectonics of the Australia-Asia collision. Geological Society 355(1): 1-6.
Heltse JF, Forester NE. 1983. Estimating species richness using the jackknife
procedure. Biometrics 39: 1-11.
25

Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994.
Measuring and Monitoring Biodiversity: Standard Methods for
Amphibians. Washington: Smithsonian Institution Press.
[HIMAKOVA IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Institut Pertanian Bogor. 2009. Laporan Studi Konservasi
Lingkungan (SURILI) 2009: Warna-warni Khasanah Budaya dan
Hidupan Liar Langit Sumba di Taman Nasional Manupeu Tanadaru,
Nusa Tenggara Timur. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[HIMAKOVA IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Institut Pertanian Bogor. 2015. Panduan Lapang Fauna
Taman Nasional Gunung Tambora. Mataram (ID): BKSDA NTB.
Islam MM, Kurose N, Khan MMR, Nishizawa T, Kuramoto M, Alam MS, Hasan
M, Kurniawan N, Nishioka M, dan Sumida M. 2008. Genetic divergence
and reproductive isolation in the genus Fejervarya (Amphibia:Anura)
from Bangladesh inferred from morphological observations, crossing
experiments, and molecular analyses. Zool Sci 25: 1084-1105.
Janiawati IAA, Kusrini MD, Mardiastuti A. 2016. Structure and composition of
reptile communities in human modified landscape in gianyar regency,
bali. Hayati Journal of Biosciences (2016): 1-6.
Jørgensen CB, Shakuntala K, Vijayakumar S. 1986. Body size, reproduction and
growth in tropical toad, Bufo melanostictus, with a comparison of ovarian
cyclels in tropical and temperate zone anurans. Oikos (46):379-389.
Kusrini MD. 2008. Pedoman Penelitian dan Survey Amfibi di Alam. Bogor (ID):
Puslitbang LIPI.
Kusrini MD. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Bogor
(ID) : Fakultas Kehutanan IPB.
Lockwood JL, Hoopes MF, Marchetti MP. 2007. Invasion Ecology. Massachusetts
(US): Blackwell Malden.
Lodge DM, Williams S, MacIsaac HJ, Hayes KR, Leung B, Reichard S, Mack NR,
Moyle PB, Smith M, Andow DA, Carlton JT. 2006. Biological invasions:
recommendations for U.S. policy and management. Ecological
Applications 16(6): 2035–2054.
MacArthur RH, Wilson EO. 1967. The Theory of Island Biogeography. Princeton
(US): Princeton University Press.
Mattison C. 2005. Encyclopedia of Reptils and Amphibians. London (GB) : The
Brown Reference Group plc.
Menzies JL, Tapilatu RF. 2000. The introduction of a second species of toad
(Amphibia: Bufonidae) into New Guinea. Science in New Guinea 25: 70-
73.
Monk KA, De Freter, G Reksodihardjo, Lilley. 1997. The Ecology of Nusa
Tenggara and Maluku (The Ecology of Indonesia Series Volume V).
Singapore (SG): Periplus edition.
Ngo BV, Ngo CD. 2013. Reproductive activity and advertisement calls of the Asian
common toad Duttaphrynus melanostictus (Amphibia, Anura,
Bufonidae) from Bach Ma National Park, Vietnam. Zoologi Studies
52(12) : 1-13.
[PERMEN-LHK] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
26

P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 tentang Jenis Invasif. Jakarta


(ID): KEPMEN-LHK.
O’Shea M, Kathriner A, Mecke S, Sanchez C, Kaiser H. 2013. Fantastic voyage: a
live blind snake (Rhamphotyophlops braminus) journeys trough the
gastrointestinal system of a toad (Duttaphrynus melanostictus).
Herpetology Notes 6: 467-470.
Pimentel D, Lach L, Zuniga R, Morrison D. 2000. Environmental and economic
costs of nonindigenous species in the United States. BioScience 50(1):
53–65.
Reilly SB, Wogan G, Arida E, Iskandar DT, McGuire J. 2017. Toxic toad invasion
of Wallacea: a biodiversity hotspot characterized by extraordinary
endemism. Global Chage Biology 23(12): 1-3.
Septian IGN. 2016. Keanekaragaman amphibia (ordo anura) dan preferensi
makanan dua spesies Limnonectes (L. kardasani dan L. dammermani) di
taman nasional gunung rinjani lombok [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Setiyati T. 2008. Parameter demografi dan pola penyebaran spasial rusa timor di
pulau rinca taman nasional komodo [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Stebbins RC, Cohen NW. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey
(US): Princeton Univ. Press.
Strahan R. 1957. The effect of salinity on the survival of larvae of Bufo
melanostictus. Copeia 2.
Syekelle M, Suroso ML. 2004. Strategi konservasi di pulau sulawesi dengan
menggunakan Tarsius sebagai Flagship spesies. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Hayati 9(1): 1-10.
Syazali M, Al Idrus A, Hadiprayitno G. 2016. Kekayaan Spesies Amfibi di Pulau
Lombok Indonesia. Proceeding Biology Education Conceference; 2016
okt 1; Surakarta, Indonesia. Surakarta (ID): FKIP UNS. 13(1): 730-735.
[TNK] Taman Nasional Komodo. 2000. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman
Nasional Komodo Buku 1: Rencana Pengelolaan. Labuan Bajo (ID): The
Nature Conservancy.
Uetz P, Etzold T. 1996. The EMBL/EBI reptile database. Herpetological Review
27(4): 174-175.
Ujvari B, Mun HC, Conigrave AD, Ciofio C, Madsen T. 2014. Invasive toxic prey
may imperil the survival of an iconic giant lizard, the komodo dragon.
Pacific Conservation Biology 20(4): 363-365.
Wahyuni SR. 2012. Keanekaragaman jenis dan sebaran spasial reptil di pulau padar
taman nasional komodo [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Williamson M, Fitter A. 1996. The varying success of invaders. Ecology 77(6)-
1661-1666.
27

LAMPIRAN

Lampiran 1 T-test untuk panjang (SVL) dan berat (W) F. cancrivora antar lokasi
F. cancrivora
Lokasi SVL W
t statistik P t statistik P
Pulau Sumbawa - Pulau Flores 0.785 0.889 0.104 0.069
Pulau Flores - Pulau Rinca 0.835 0.004 0.035 0.686
Pulau Rinca - Pulau Sumbawa 0.052 0.974 0.846 0.016

Lampiran 2 Deskripsi jenis reptil dan amfibi di Taman Nasional Komodo dan
Sekitarnya
Famili Gekkonidae

Gekko gecko (LINNAEUS, 1758)


Deskripsi: Cicak berukuran besar dengan
warna bintik kuning kemerahan yang
tersebar di seluruh tubuh dengan warna
dasar abu abu kebiru biruan. Jenis ini
merupakan reptil nokturnal. Cicak yang
biasa hidup di hutan namun tidak jarang
dijumpai di dekat pemukiman penduduk.
Ukuran yang besar dan suara yang khas
membuat jenis ini mudah dikenali.
Sebanyak 22 induvidu ditemukan selama
pengambilan data dengan panjang total
20-22 cm dengan berat 21-45.5 gr.
Penyebaran: Tesebar luas di Indonesia.
Pada saat penelitian jenis ini ditemukan di keempat pulau yang dilakukan
pengamatan ditemukan di habitat pemukiman, hutan dan sungai.
28

Hemidactylus frenatus (DUMÉRIL & BIBRON, 1836)


Deskripsi: Cicak yang banyak dijumpai di
pemukiman penduduk. Ciri utama yang
mudah dikenali yaitu warna tubuh yang
gelap dengan bintik hitam dan jari yang
melebar, serta pangkal ekor yang
membulat dan terdapat ‘duri’ pada sisinya.
Tergolong reptil nokturnal dan arboreal.
Sebanyak 81 individu ditemukan selama
pengambilan data dengan panjang total
berkisar antara 5.5-12.4 cm dan berat
berkisar antara 0.5-5.5 gr.
Penyebaran: Tersebar luas di Indonesia.
Pada saat penelitian jenis ini ditemukan di
keempat pulau yang dilakukan pengamatan ditemukan di habitat pemukiman, hutan
dan sungai.

Hemidactylus platyurus (SCHNEIDER, 1797)

Deskripsi: Cicak yang banyak dijumpai di


pemukiman penduduk. Mudah dikenali
dengan ekor yang pipih dan kulit perut
yang melebar. Warna bervariasi, mulai
dari abu-abu polos sampai pola garis-garis
cokelat gelap sepanjang badan bagian atas.
Aktif pada siang dan malam hari.
Merupakan jenis yang mudah beradaptasi
di hutan maupun di pemukiman.
Ditemukan sebanyak 70 individu selama
pengambilan data dengan panjang total
berkisar 5.1-12.5 cm dan berat berkisar
antara 0.5-6 gr.
Penyebaran: Tersebar luas di Indonesia. Pada saat penelitian jenis ini ditemukan di
keempat pulau yang dilakukan pengamatan ditemukan di habitat pemukiman, hutan
dan sungai.
29

Gehyra mutilata (WIEGMANN, 1834)


Deskripsi: Cicak yang memiliki bentuk
tubuh yang gempal dengan kepala tumpul.
Bintik hitam tersebar ditubuhnya.
Memiliki 5 jari berselaput namun hanya 4
jari yang memiliki cakar. Sebanyak 4
individu yang ditemukan selama
pengambilan data dengan panjang total
berkisar antara 4.5-9.5 cm dan berat 1-5
gr.
Penyebaran: Tersebar luas di Indonesia.
Pada saat penelitian jenis ini ditemukan di
habitat hutan dan sungai yang terdapat di
Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau
Sumbawa.

Cyrtodactylus darmandvillei (WEBER, 1890)

Deskripsi: Cicak dengan benjolan glanular


besar dan kasar yang tersebar diseluruh
tubuh. Corak tubuh garis cokelat
melengkung pada kepala sampai ekor.
Kepala berukuran besar dengan lubang
telinga yang besar. Sisik perut kecil dan
halus. 49 individu ditemukan selama
pengambilan data dengan panjang total
berkisar antara 8.2-18.7 cm dan berat 2-
20.25 gr.
Penyebaran: Flores, Sumbawa, Taman
Nasional Komodo, Pulau Kalao, Sikka,
dan Lombok. Pada saat penelitian jenis ini ditemukan di habitat sungai dan hutan
yang terdapat di keempat pulau yang dilakukan sebagai lokasi pengambilan data.
30

Famili Scincidae
Sphenomorphus striolatus (WEBER, 1890)
Deskripsi: Kadal ini memiliki warna
dorsal perunggu sampai kemerahan di
sekitar bahu. Garis garis gelap samar
memanjang di sisi tubuh. Kaki dan ekor
berwarna hitam. Moncong relatif pendek
dan tumbul. Terdapat garis hitam
memanjang dari moncong sampai ke
mata. Sebanyak 64 individu ditemukan
selama pengambilan data dengan panjang
total berkisar antara 3.5-18.1 cm dan berat
0.5-8 gr.
Penyebaran: Flores dan Taman Nasional
Komodo. Pada saat penelitian jenis ini ditemukan di habitat sungai dan hutan pada
keempat pulau yang dilakukan sebagai lokasi pengamatan.

Sphenomorphus florensis (GRISMER 2006)


Deskripsi: Kadal berwarna cokelat terang
berkilau. Bagian atas terdapat bintik
berwarna kecokelatan. Kadal ini tergolong
reptil terestrial. Ditemukan 36 individu
selama pengambilan data dengan panjang
total berkisar antara 5.2-20.3 cm dan berat
berkisar antara 1-12 gr.
Penyebaran: Flores, Timor, dan Taman
Nasional Komodo. Pada saat penelitian
jenis ini ditemukan di habitat sungai dan
hutan pada Pulau Komodo, Pulau Rinca
dan Pulau Flores.
31

Cryptoblepharus boutonii (DES JARDIN, 1831)


Deskripsi: Kadal yang relatif berukuran
kecil. Moncong yang runcing. Punggung
dan sisi tubuh bergaris teratur berwarna
hitam putih dari ekor sampai moncong.
Jenis ini aktif di siang hari dan biasa
memangsa serangga kecil. Ditemukan 11
individu selama pengambilan data dengan
panjang total berkisar antara 6.8-9.2 cm
dan berat berkisar antara 0.5-1 gr
Penyebaran: Taman Nasional Komodo,
Sumba, dan Pulau Longo. Pada saat
pengamatan jenis ini ditemukan di habitat
sungai dan hutan pada Pulau Komodo dan Pulau Rinca.

Emoia kitcheneri (HOW, DURRANT, SMITH & SALEH, 1998)


Deskripsi: Kadal berukuran kecil dengan
tubuh berwarna cokelat mengkilat dan
terdapat garis berwarna abu-abu mengkilat
sampai belakang. Memiliki ekor berwarna
biru mengkilat. Ditemukan 9 individu
selama pengambilan data dengan panjang
total berkisar antara 5.4-7.6 cm dan berat
berkisar antara 0.5-2 gr.
Penyebaran: Sumba. Pada saat
pengambilan data jenis ini ditemukan di
habitat hutan savana yang terdapat di Pulau
Rinca.
32

Lamprolepis smaragdina (LESSON, 1829)


Deskripsi: Kadal ini memiliki warna yang bervariasi. Mulai dari berwarna hijau
mengkilat diseluruh tubuh sampai hijau pada bagian depan dan cokelat pada bagian
belakang dengan bintik punggung gelap. Merupakan reptil arboreal. Hanya 1
individu yang ditemukan pada saat
pengambila data
Penyebaran: Lombok, Flores, Alor,
Sumba, Savu, Timor, Wetar, Selayar,
Sulawesi, Obi, Bacan, Ternate,
Halmahera, Morotai, Buru, Ambon,
Sapurua, Haruku, Seram, Nusa Laut,
Banda, Babar, Damar, Tanimbar, Pulau
Kai, Misool, Waigeo, Salawati, Irian Jaya,
Timor-Leste. Pada saat pengambilan data
jenis ini ditemukan di dekat pemukiman
yang terdapat di Desa Cumbi, Pulau
Flores.
Gambar oleh : M Ali R

Famili Agamidae
Draco timoriensis (KUHL, 1820)
Deskripsi: Kadal terbang yang jantannya
memiliki selaput untuk terbang berwarna
kuning cerah sedangkan pada betina
memiliki warna yang bervariasi. Hanya 1
individu yang ditemukan saat pengambilan
data.
Penyebaran: Timor, Roti, Alos, Semau,
Wetar, Timor-Leste. Pada saat
pengambilan data jenis ini ditemukan di
habitat hutan yang terdapat di Pulau
Sumbawa.
Gambar oleh : Paul Freed
33

Famili Colubridae
Lycodon capucinus (BOIE, 1827)
Deskripsi: Ular kecil dengan panjang
berkisar 30 cm. berbadan silinder dengan
kepala agak datar dan bibir berwarna
keputihan. Bagian dorsal berwarna cokelat
bata dengan garis putih kekuningan
memisahkan kepala dengan leher.
Memiliki bau yang khas. Sebanyak 24
individu ditemukan selama pengambilan
data dengan panjang total berkisar antara
19-52.5 cm dan berat berkisar antara 5-
20.5 gr.
Penyebaran: Sumatera, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara dan Sulawesi. Pada saat
pengambilan data jenis ini ditemukan pada habitat sungai, hutan dan sungai pada
keempat pulau yang digunakan sebagai lokasi pengamatan.

Dendrelaphis inornatus (BOULENGER, 1897)


Deskripsi: Ular yang tergolong reptil
diurnal. Bagian punggung berwarna
cokelat zaitun seperti logam perunggu.
Sisik garis berwarna kuning keputihan
memisahkan bagian punggung dan perut.
Ditemukan 6 individu selama
pengambilan data dengan panjang total
berkisar antara 72-83 cm dan berat
berkisar antara 20.5-24 gr.
Penyebaran: Sumbawa, Taman Nasional
Komodo, dan Flores. Pada saat
pengambilan data jenis ini ditemukan pada habitat sungai dan hutan pada Pulau
Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Flores.
34

Coelognathus subradiatus (SCHLEGEL, 1837)


Deskripsi: Ular berwarna cokelat.
Bergerak cepat ketika merasa terancam.
Habitat terestrial memakan tikus, burung
dan kadal. Hanya ditemukan 1 individu
selama pengambilan data.
Penyebaran: Endemik Nusa Tenggara
(Enggano, Lombok, Sumbawa, Sumba,
Taman Nasional Komodo, Flores, Alor,
Roti, Semau, Timor dan Wetar). Pada saat
pengambilan data jenis ini ditemukan di
habitat hutan di Sape, Pulau Sumbawa.

Famili Typhlopidae
Ramphotyphlops braminus (SANGUILA et al. 2016)
Deskripsi: Ular dengan ukuran kecil
sekilas mirip cacing dengan bentuk kepala
dan ekor yang tidak jauh berbeda.
Moncong yang sempit dengan mata yang
tidak terlalu terlihat, warna cokelat tua
sampai hitam. Ditemukan 2 individu
selama pengambilan data dengan panjang
berkisar antara 12-14 cm dan berat
berkisar antara 0.5-1.75 gr.
Penyebaran: Sulawesi, Taman Nasional
Komodo, dan Sumatera. Pada saat
pengambilan data jenis ini ditemukan di
habitat hutan yang terdapat di Loh Buaya,
Pulau Rinca.
35

Famili Viperidae

Trimeresurus insularis (KRAMER, 1977)


Deskripsi: Ular viper berwarna hijau cerah
dengan bentuk kepala segitiga jelas.
Terdapat variasi warna lain yakni hijau
kebiruan. Memiliki mata yang berwarna
kemerahan. Ular ini bertubuh pendek
dengan ekor agak kemerahan. Berperilaku
tenang dan menunggu mangsa pada
ranting-ranting tumbuhan bawah. Ular ini
memiliki bisa tipe hemotoksin yang
berbahaya bagi manusia. Ditemukan 29
individu selama pengambilan data dengan
panjang total berkisar antara 32-70 cm dan
berat berkisar antara 20-98.5 gr.
Penyebaran: Adonara, Alor, Bali, Flores, Komodo, Lombok, Padar, Rinca,
Romang, Roti, Sumba, Sumbawa, Timor, Wetar Jawa, dan Timor-Leste. Pada saat
pengamatan jenis ini ditemukan di habitat hutan dan sungai pada keempat pulau
yang digunakan sebagai lokasi pengamatan. Jenis ini ditemukan melimpah di Desa
Cumbi, Pulau Flores.

Famili Pythonidae

Malayopython timoriensis (PETERS, 1876)


Deskripsi: Lebih dikenal dengan nama
Sanca Timor. Memiliki warna yang
berwarna silver. Ukuran dapat mencapai
2.5m. Termasuk ular arboreal dan aktif
baik pada malam maupun siang hari.
Memiliki motif acak bercorak kuning.
Sanca Timor yang terdapat di Taman
Nasional Komodo tidak memiliki motif
pada tubuhnya, berbeda dengan Sanca
Timor di lokasi lainnya yang biasnya
memiliki motif dari kepala sampai bagian
tengah tubuhnya. Hanya ditemukan 1
individu selama pengambilan data dengan
panjang 67 cm dan berat 76.5 gr.
Penyebaran: Flores, Taman Nasional Komodo, Timor. Jenis ini hanya ditemukan
sekali pada habitat hutan di Loh Buaya, Pulau Rinca.
36

Malayopython reticulatus (SCHNEIDER, 1801)

Deskripsi: Tercatat sebagai ular terpanjang


di dunia dengan panjang mencapai 10m.
Panjang ekor jenis ular ini sekitar 12-15%
dari panjang total. Kepala pipih dan mata
berwarna kekuningan dengan pupil
vertikal. Terdapat garis berwarna gelap di
antara mata dan memanjang ke belakang,
pada bagian samping kepala tepatnya
dibelakang mata sampai leher terdapat
sebuah garis diagonal berwarna gelap.
Badan berwarna cokelat dan terdapat pola
berbentuk rantai dengan pinggir berwarna
kuning terang. Hanya ditemukan 1
individu selama pengambilan date dengan
panjang kurang lebuh 3 m.
Penyebaran: Indonesia, Timor-Leste, Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja,
India, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam. Pada saat
pengambilan data jenis ini ditemukan di Labuan Bajo, Pulau Flores.

Famili Homalopsidae

Cerberus rynchops (SCHNEIDER, 1799)


Deskripsi: Ular semi akuatik yang
ukurannya mencapai 120cm. matanya
kecil dengan pupil yang vertikal.
Berwarna abu-abu kehitaman dengan garis
tipis dan bercak hitam yang teratur dari
kepala sampai ekor. Kepala lebih besar
dari lehernya, lubang hidung berkaput
(vulvular). Perut berwarna kuning krem.
Hanya ditemukan 1 individu selama
pengambilan data dengan panjang total
63.9 cm dan berat 24.5 gr.
Penyebaran: Tersebar luas di Indonesia,
India, Bangladesh, Myanmar, Thailand,
Malaysia, Philipina dan Timor-Leste. Jenis ini ditemukan di habitat hutan
mangrove yang terdapat di dekat pemukiman Kampung Rinca, Pulau Rinca.
37

Famili Elapidae

Laticauda colubrina (SCHNEIDER, 1799)


Deskripsi: Merupakan ular laut dengan
ciri utama ekor yang memipih dan berbisa
tinggi. Kepala yang agak besar dengan
pupil melingkar dan lubang hidung
dibagian samping moncong. Tubuh
silinder dengan sisik halus berwarna abu-
abu dan hitam melingkar sampai ekor.
Ditemukan 2 individu selama
pengambilan data.
Penyebaran: Tersebar Luas di Perairan
Indonesia. Jenis ini ditemukan di Pesisir
pantai yang terdapat di Kampung
Komodo, Pulau Komodo dan Kampung
Rinca, Pulau Rinca.

Famili Varanidae

Varanus salvator (LAURENTI, 1768)


Deskripsi: Kadal berukuran besar yang
banyak ditemukan di hutan dataran rendah
dan mangrove. Warna yang mudah
dikenali yaitu warnanya yang kusam pada
dewasa sendangkan pada anakan warna
hitam dengan bintik kuning tersebar
ditubuhnya. Ditemukan 8 individu selama
pengambilan data.
Penyebaran: Tersebar luas di Indonesia.
Pada saat pengambilan data jenis ini
ditemukan pada habitat sungai, hutan dan
pemukiman di Pulau Rinca, Pulau
Sumbawa dan Pulau Flores.
38

Varanus komodoensis (OUWENS, 1912)

Deskripsi: Merupakan jenis kadal terbesar


di dunia. Ukuran jantan lebih besar
daripada betina. Memiliki sisik granular
yang tebal. Komodo dewasa berwarna
cokelat gelap, pada anakan berwarna lebih
cerah dengan corak merah kekuningan.
Komodo memiliki empat kaki masing
masing memiliki lima jari dengan cakar
yang meruncing tajam. Anakan lebih
banyak menghabiskan waktunya diatas
pohon. Sebanyak 10 individu ditemukan
selama pengambilan data.
Penyebaran: Taman Nasional Komodo,
Pulau Longos, Flores Utara, Cagar Alam Wae Wuul, dan Tanjung Karita Mese.
Pada saat pengambilan data jenis ini ditemukan di Pulau Rinca dan Pulau Komodo
pada habitat hutan.

Famili Dicroglossidae

Fejervarya cancrivora (Gravenhorst, 1829)


Deskripsi: Memiliki lipatan atau bintil-
bintil memanjang dan paralel dengan
sumbu tubuh. Hanya terdapat satu bintil
metatarsal dalam, selaput selalu
melampaui bintil subartikuler terakhir
pada jari kaki ke-3 dan ke-5. Tekstur kulit
kasar, tertutup oleh bintil-bintil
memanjang dan menipis dengan selaput
jari penuh. Sebanyak 124 individu
ditemukan selama pengambilan data
dengan panjang berkisar antara 1.5-8 cm
dan berat berkisar antara 0.5-16.5 gr.
Penyebaran: Indo-China, Sumatera,
Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara dan Papua. Pada saat pengambilan data jenis ini
ditemukan melimpah, jenis ini ditemukan di habitat sungai, hutan dan pemukiman
yang terdapat di Pulau Rinca, Pulau Sumbawa dan Pulau Flores.
39

Fejervarya limnocharis (Gravenhorst, 1829)

Deskripsi: Katak berukuran kecil, kepala


runcung dengan jari kaki setengah
berselaput sampai pada ruas terakhir.
Tekstur kulit berkerut, tertutup bintil
panjang tipis paralel sumbu tubuh.
Umumnya berwarna cokelat dengan
bercak hitam kurang jelas tetapi simetris.
Sebanyak 8 individu ditemukan selama
pengambilan data dengan panjang berkisar
antar 2.7-5.2 cm dan berat berkisar antara
1.5-6 cm.
Penyebaran: Indo-China, Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Jenis ini
ditemukan di habitat pemukiman yang terdapat di Pulau Sumbawa dan Pulau
Flores.

Limnonectes kadarsani (Iskandar, Boeadi and Sancoyo, 1996)

Deskripsi: Katak dengan ukuran yang


relatif besar. Jantan lebih besar dibanding
betuna. Memiliki geligi menyerupai taring
pada bagian mulutnya. Berwarna hitam
hingga keabu-abuan dengan permukaan
dorsal yang halus sedangkan bagian
ventral berwarna putih tanpa adanya corak
warna lain. Ujung jari kaki mengalami
pelebaran dengan selaput penuh pada jari
kakinya. Sebanyak 16 individu ditemukan
selama pengambilan data dengan panjang
total berkisar antara 7.4-11 cm dan berat
berkisar antara 36.6-78 gr.
Penyebaran: Nusa Tenggara. Pada saat pengambilan data jenis ini hanya ditemukan
habitat hutan dan sungai di Pulau Flores.
40

Famili Microhylidae

Kaloula baleata (Müller, 1836)


Deskripsi: Katak dengan tubuh yang
menggembung, kaki belakang yang
pendek, ujung jari kaki seperti sendok.
Tekstur berbintil-bintil yang tersebar di
seluruh punggung. Warna biasanya
berwarna cokelat sampai mendekati hitam.
Lipatan paha biasanya berwarna merah
bata sampai kekuningan. Ditemukan 20
individu selama pengambilan data dengan
panjang berkisar antara 4-11.5 cm dan
berat berkisar antara 4.5-11 gr.
Penyebaran: Malaysia, Nias, Sumatera,
Kalimantan, Jawa, Madura, Bali, Lombok,
Sumbawa, Flores, Timor, Sulawesi, Kabaeana, Muna, Butung, Wowoni, Filipina
dan Thailand. Pada saat pengambilan data jenis ini ditemukan di Pulau Flores,
Pulau Sumbawa, Pulau Komodo, dan Pulau Sumbawa.

Oreophryne jeffersoniana (Dunn, 1928)

Deskripsi: katak yang berukuran kecil.


Berwarna kecokelatan. Kaki depan dan
belakang tidak berselaput. Ditemukan 4
individu selama pengambilan data dengan
panjang berkisar antara 1.5-1.86 cm dan
berat berkisar antara 0.5 gr.
Penyebaran: Nusa Tenggara. Pada saat
pengambilan data jenis ini hanya
ditemukan pada habitat hutan di Desa
Cumbi, Pulau Flores.
41

Famili Bufonidae

Duttaphrynus melanostictus (Schneider, 1799)


Deskripsi: Kodok dengan ukuran sedang
hingga besar, memiliki benjolan-benjolan
hitam di atas tubuhnya. Terdapat garis
hitam menonjol di atas mata sampai
mocong. Setengah jari kaki memiliki
selaput. Sebanyak 62 individu ditemukan
selama pengambilan data dengan panjang
total berkisar antara 3-10.5 cm dan berat
berkisar antara 4-80 gr.
Penyebaran: China, India, Laos, Malaysia,
Sumatera, Jawa, Kalimantan sampai Bali,
Ambon, Papua (hasil introduksi). Pada
saat pengambilan data jenis ini ditemukan
melimpah di habitat hutan, sungai dan pemukiman yang terdapat di Pulau
Sumbawa.

Famili Ranidae

Polypedates leucomystax (Gravenhorst, 1829)


Deskripsi: Katak Pohon berukuran sedang
berwarna cokelat kekuningan, satu warna
dengan bintik atau garis yang memanjang
dari kepala hingga ujung tubuh. Kulit
kepala menyatu dengan tengkorak. Jari
tangan dan kaki melebar dengan ujung
rata. Jari tangnan setengah berselaput dan
jari kaki beselaput penuh. Sebanyak 6
individu ditemukan selama pengambilan
data dengan panjang total berkisar antara
4-4.8 cm dan berat berkisar antara 3.5-7 gr.
Penyebaran: Sumatera, Kalimantan, Jawa,
Bali, Lombok, Flores, Sulawesi, Nusa
Tenggara, dan Papua. Pada saat pengambilan data jenis ini ditemukan di Pulau
Flores dan Pulau Sumbawa.
42

RIWAYAT HIDUP

Umar Fhadli Kennedi terlahir di Bagan Batu, 26 November 1996 dari Bapak
Isnin Kennedi dan Ibu Siti Soleha. Memulai pendidikan di TK Panca Budi Medan.
Sempat berpindah-pindah Sekolah Dasar lalu melanjutkan jenjang menengah
pertama di SMP Cinta Ilahi Boarding School Cisarua Bogor dan tingkat SMA di
SMA PU Albayan Sukabumi. Saat ini, penulis sedang menyelesaikan tingkat akhir
di IPB, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif di Himpunan Mahasiswa
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota
Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH Python) pada tahun 2015-2017 dan
anggota Biro Kewirausahaan pada tahun 2015-2017 serta menjadi wakil ketua pada
kegiatan Studi Konservasi Lingkungan 2017 (SURILI). Penulis pernah mengikuti
kegiatan Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia 2017 (RAFFLESIA) di
Cagar Alam Leuweung Sancang, Kegiatan Studi Konservasi Lingkungan 2016
(SURILI) di Suaka Margasatwa Rimbang Baling, dan Kegiatan Studi Konservasi
Lingkungan 2017 (SURILI) di Taman Nasional Kutai.
Penulis melaksanakan Praktik Umum Kehutanan (PUK) di jalur Taman
Wisata Alam Gunung Papandayan – Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun
2016 dan diamanahkan menjadi ketua dalam pelaksanaan Praktik Kerja Lapang
(PKL) di Taman Nasional Alas Purwo pada tahun 2017. Untuk menyelesaikan studi
S1, penulis melakukan penelitian dengan judul Keanekaragaman Herpetofauna di
Taman Nasional Komodo dan Sekitarnya dibawah bimbingan Dr Ir Mirza Dikari
Kusrini Msi dan Prof Dr Ir Ani Mardiastuti MSc serta bantuan pihak Komodo
Survival Program (KSP).

Anda mungkin juga menyukai