Anda di halaman 1dari 9

1. Diagnosa kerja dari skenario (pneumothoraks)?

Jawab:
Diagnosa kerja dari skenario adalah pneumothorax lebih tepatnya adalah
tension pneumothorax. Diagnosa tension pneumothorax merupakan diagnosa dari
klinis, bukan dari radiologi. Tanda-tanda klasik dari tension pneumotoraks adalah
adanya distress nafas, takikardi, hiporensi, adanya deviasi trakea, hilangnya suara
nafas unilateral, distensi vena leher, dan bisa menjadi sianosis pada manifestasi
lanjutnya. Gelaja klinis dari tension pneumothorax ini mungkin mirip dengan gejala
klinis dari cardiac tamponade, tetapi angka kejadian tension pneumotorax ini lebih
besar dari cardiac tamponade. Selain itu untuk membedakannya juga bisa dilakukan
dengan mengetahui bahwa dari perkusi didapatkan adanya hiperresonansi pada bagian
dada ipsilateral (Slobodan, 2015).
Pada pemeriksaan fisik thoraks didapatkan:
1. Inspeksi:
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding
dada);
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal;
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat (Slobodan, 2015).
2. Palpasi:
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar;
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat;
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit (Slobodan,
2015).
3. Perkusi:
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani ;
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi (Slobodan, 2015).
4. Auskultasi:
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang (Slobodan,
2015).

Sumber:
1. Slobodan, M., Marrko, S., and Bojan, M. 2015. Pneumothoraks-Diagnosis and
Treatment. SANAMED. Vol 10 (3). Viewed on 02 Oktober 2019. From
https://scindeks-clanci.ceon.rs/data/pdf/1452-662X/2015/1452-
662X1503221M.pdf

2. Anatomi, Fisiologi, histologi, dan patofisiologi berdasarkan skenario?


Jawab:
1) Anatomi
Batas Rongga Thoraks
Penampakan thorax dari luar adalah batas bawah leher dan batas atas
abdomen. Namun pada bagian dalam tidaklah demikian, batas ronga thorax
adalah:
a. Batas belakang thorax setinggi C7, lebih tinggi dari bagian depan karena
melalui bidang yang dibentuk oleh iga pertama agak miring kebawah;
b. Batas depan thorax setinggi vertebrae thorakal ke-2;
c. Batas bawah thorax adalah diafragma yang berbentuk seperti kubah ke atas.
Karena bentuk diafragma yang seperti kubah, dari permukaan tidak dapat
dipakai peregangan bahwa bawah thorax adalah batas bawah costae;
d. Batas atas thorax dapat diraba di incisura jugularis, yatu cekungan antara caput
klavikula kanan dan kiri. Incisura ini berseberangan dengan batas atas bawah
dari vertebrae thorakal ke-2 (Sideras, 2011).

Tulang dinding dada


Dinding dada dibentuk oleh 12 tulang vertebrae thorakalis, 12 pasang iga
dan sternum.
Vertebrae
Persendian vertebrae dengan tulang iga menyebabkan iga ini mempunyai
bentuk yang agak spesifik. Vertebrae thorakalis pertama memiliki persendian
yang lengkap dengan costae I dan setengah persendian dengan costae II.
Selanjutnya costae II-VIII mempunyai dua persendian, di atas dan di bawah
korpus vertebrae untuk costae II sampai dengan VIII, sedangkan costae IX-XII
hanya satu (Sideras, 2011).
Costae
Secara umum costae ada 12 pasang kanan dan kiri, Tujuh pasang iga pertama
dinamakan costae vera (iga sejati). Costae I-VII bertambah panjang secara
bertahap, yang kemudian memendek secara bertahap. Costae VIII-X berfungsi
membentuk tepi costal sebelum menyambung dengan tepi bawah sternum, maka
disebut costae spuriae (iga palsu). Costae XI-XII disebut costae fluctuantes (iga
melayang (Sideras, 2011).
Sternum
Sternum terdiri dari manubrium sterni, korpus sterni dan procesus xiphoideus.
Angulus sterni ludovici yang terbentuk antar manubrium dan korpus sterni dapat
teraba dan merupakan patokan dalam palpasi iga ke-2 di lateralnya (Sideras,
2011).

Otot-otot pada dinding thoraks


Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan musculus utama dinding
anterior thorax. Musculus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan musculus
gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus dinding posterior thorax. Tepi
bawah musculus pectoralis mayor membentuk lipatan/plica aksilaris anterior,
lengkungan dari musculus latisimus dorsi dan teres mayor membentuk lipatan
axial posterior (Sideras, 2011).

Vaskularisasi dan Persarafan


Vaskularisasi dinding thorax belakang kanan adalah vena cava superior,
vena azygos, dan vena intercostalis posterior kanan. Vaskularisasi dinding thorax
belakang kiri adalah vena anonima kanan, vena hemi azygos, dan vena
intercosalis posterior kiri (Sideras, 2011).

Pleura
Pleura adalah membrane aktif serosa dengan jaringan pembuluh darah dan
limfatik. Di sana selalu ada pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal
kebocoran udara dan kapiler. Pleura viseralis menutupi paru dan sifatnya tidak
sensitive. Pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama dengan
pleura parietalis, yang melapisi dinding thorax dan diafragma. Pleura parietalis
mendapatkan persarafan dari nerve ending, sehingga ketika terjadi penyakit atau
cedera maka timbul nyeri. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada tiap arah dan
sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru-paru normal (Sideras, 2011).
Pleura parietalis hampir semua merupakan lapisan dalam, diikuti tiga
lapisan muskulus yang mengangkat iga selama respirasi tenang. Vena arteri, dan
nervus dari tiap rongga intercostals berada di belakang tepi bawah iga. Karenanya
jarum torakosintesis atau klem yang digunakan untuk masuk kepleura harus
dipasang melewati bagian atas iga yang lebih bawah dari sela iga yang dipilih
(Sideras, 2011).

Diafragma
Bagian musculus perifer berasal dari bagian bawah iga ke-6 dan kartilago
costae, dari vertebrae lumbalis, dan dari lengkung lumbosakral, sedang bagian
muscular melengkung membentuk tendosentral. Serabut ototnya berhubungan
dengan M.transverse abdominis di batas costae. Diafragma menempel di bagian
belakang costae melalui serat-serat yang berasal dari ligamentum arcuata dan
crura. Nervus prenicus mempersarafi motorik dan intercostalis bawah
mempersarafi sensorik. Diafragma berperan besar pada ventilasi paru selama
respirasi tenang (Sideras, 2011).

Gambar 1. Anatomi Cavum Thorax (Putz, 2010).

2) Fisiologi
Sewaktu inspirasi terjadi pembesaran dinding dada kearah ventrodorsalis
dan lateralis. Pengembangan dada ini dimungkinkan karena mobilitas artikulatio
kostovertebralis, elatisitas tulang rawan iga, dan karena sedikit bertambahnya
kifosis kolumna vertebralis. Otot-otot yang berperan dalam inspirasi adalah
diafragma (otot primer inspirasi), M intercostalis externa (otot komplementer
inspirasi), dan otot-otot leher, yakni M. skalenus dan M. sternokleidomastoideus,
keduanya berperan pada inspirasi paksa dengan mengangkat bagian atas rongga
thorax (Sideras, 2011).
Ekspirasi terjadi akbat proses pasif dengan melemasnya otot-otot inspirasi
sehingga rongga dada dan paru kembali ke ukuran prainspirasi. Pada ekspirasi
paksa, otot-otot yang berperan adalah otot-otot abdomen dan mm.intercoastalis
interna (Sideras, 2011).
Gaya yang menggerakkan rangka dada secara umum adalah mm.
intercostalis dan mm. scalene. Otot-otot tersebut merupakan otot metametrik
primitive yang harus dimasukkan ke dalam golongan otot authochthonus dada.
Termasuk pula mm.transverses thoracis dan mm.subcostales. Otot-otot tersebut
dipersarafi oleh rami anterior N.spinalis dan N. Intercostalis (Sideras, 2011).

3) Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh dua lapisan yang terdiri dari satu membran yang
membentuk pleura viceralis dan pleura parietalis. Diantara pleura viceralis dan
parietalis terdapat cavum pleura. Dalam cavum pleura terdapat sekitar 1 cc cairan
pleura yang berguna sebagai pelumas paru saat mengembang. Tekanan
intrapleura selalu negatif dalam keadaan normal. Tekanan negatif pada
intrapleura membantu dalam proses respirasi. Secara garis besar, semua jenis
pneumothoraks mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama. Mekanisme
pada saat inspirasi oleh karena tekanan negatif pleura maka bila ada hubungan
antara dunia luar dengan cavum pleura maka udara akan masuk ke dalam pleura
dan paru tidak akan mengembang. Pada pneumothoraks, tekanan dalam cavum
pleura menjadi semakin positif oleh karena terdapatnya udara di dalam rongga
pleura. Pada keadaan tersebut paru akan mengganggu ekspansi paru oleh karena
tekanan dirongga pleura yang negatif diperlukan untuk menjaga supaya paru
mengikuti gerak dinding dada. Bila jumlah udara cukup banyak maka pada saat
inspirasi terjadi hiperekspansi cavum pleura yang dapat mengakibatkan
penekanan pada mediastinum yang kemudian menekan sisi dada yang sehat. Pada
saat ekspirasi, mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi ini
dikenal dengan mediastinal flutter. Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu
sisi, sehingga respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara
maksimal dan bekerja dengan sempurna. Bila karena luka yang bersifat ventil,
udara akan masuk ke rongga pleura setiap kali inspirasi dan terperangkap saat
ekspirasi, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke
sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura
terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi
jalan nafas. Akibatnya dapat timbulah gejala pe-shock atau shock oleh karena
penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumothoraks
(Slobodan, 2015).

Sumber:
1. Sideras, J. 2011. Tension Pneumothorax: Identification and Treatment. Harvard
University: EMS1.com.
2. Putz, R., Pabst, R., et al. 2010. SOBOTTA: Atlas Anatomi Manusia Jilid 2, Edisi
23. Jakarta: EGC.
3. Slobodan, M., Marrko, S., and Bojan, M. 2015. Pneumothoraks-Diagnosis and
Treatment. SANAMED. Vol 10 (3). Viewed on 02 Oktober 2019. From
https://scindeks-clanci.ceon.rs/data/pdf/1452-662X/2015/1452-
662X1503221M.pdf
3. Epidemiologi pneumothoraks?
Jawab:
a. Tension Pneumothoraks (Pneumothoraks Ventil)
Insidensi dari tension pneumotoraks di luar rumah sakit tidak mungkin
dapat ditentukan. Revisi oleh Department of Transportation (DOT) Emergency
Medical Treatment (EMT) Paramedic Curriculum menyarankan tindakan
dekompresi jarum segera pada dada pasien yang menunjukan tanda serta gejala
yang non-spesifik. Sekitar 10-30% pasien yang dirujuk ke pusat trauma tingkat 1
di Amerika Serikat menerima tindakan pra rumah sakit berupa dekompresi jarum
torakostomi, meskipun pada jumlah tersebut tidak semua pasien menderita kondisi
tension pneumotoraks (Daley, 2013).
Insidensi umum dari tension pneumotoraks pada Unit Gawat Darurat
(UGD) tidak diketahui. Literatur-literatur medis hanya menyediakan gambaran
singkat mengenai frekuensi pnemotoraks desak. Sejak tahun 2000, insidensi yang
dilaporkan kepada Australian Incident Monitoring Study (AIMS), 17 pasien yang
diduga menderita pneumotoraks, dan 4 diantaranya didiagnosis sebagai tension
pneumotoraks. Pada tinjauan yang lebih lanjut, angka kematian prajurit militer
dari trauma dada menunjukan hingga 5% dari korban pertempuran dengan adanya
trauma dada mempunyai tension pneumotoraks pada saat waktu kematiannya
(Daley, 2013).
b. Hematothoraks
Untuk menentukan frekuensi populasi dengan hemotoraks secara general
cukup sulit. Hemotoraks kecil dapat dihubungkan dengan fraktur kosta dan dapat
tidak teridentifikasi atau tidak membutuhkan penanganan. Karena penyebab
terbanyak adalah dari trauma, estimasi populasi dapat dilihat dari statistik
trauma. 150.000 kematian karena trauma terjadi setiap tahun. Pada suatu
periode, anak-anak yang mengalami trauma, 4,4% dari jumlah tersebut
mengalami trauma toraks. Mortalitas trauma toraks dengan hemopneumotoraks
adalah 26,7% dan hemotoraks adalah 57,1%. Hemotoraks non-traumatik
memiliki angka mortalitas yang lebih rendah (Daley, 2013).
c. Temponade Jantung
Di Amerika Serikat, insiden tamponade jantung adalah 2 kasus per 10.000
populasi di Amerika Serikat. Dilaporkan bahwa sekitar 2% dari luka tembus
menyebabkan tamponade jantung. Tamponade jantung merupakan keadaan gawat
di bidang medis. Diagnosis yang cepat dan terapi yang tepat sangat penting untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas. Bila tidak tertangani, hal ini bisa berakibat
fatal dengan cepat. Pada anak-anak, tamponade jantung lebih seing terjadi pada
anak laki-laki daripada perempuan, dengan rasio 7:3. Pada dewasa, tamponade
jantung sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
rasio 1,25:1. Tamponade jantung yang disebabkan oleh trauma atau HIV lebih
sering terjadi pada dewasa muda, sedangkan tamponade yang disebabkan
keganasan atau gagal ginjal lebih sering terjadi pada individu yang lebih tua
(Price, 2009).
d. Flail Chest
Asosiasi Amerika untuk Bedah Trauma memberikan statistik trauma untuk
AS. 1% dari populasi AS/tahun akan mengalami peristiwa traumatis yang
signifikan. Trauma dada terjadi pada 20% dari trauma utama dan bertanggung
jawab atas 25% kematian karena trauma. Flail chest terjadi pada sekitar 7% dari
trauma dada. Pasien flail chest biasanya memerlukan rawat inap. Flail chest terjadi
dalam isolasi di kurang dari 40% kasus. Lebih sering disertai dengan kontusio
paru, hemo/pneumotoraks, cedera kepala dan kadang-kadang cedera vaskular
mayor. Mortalitas flail chest berkisar antara 10% hingga 20% tetapi seringkali
disebabkan oleh cedera yang menyertai daripada flail chest saja. Morbiditasnya
tinggi karena perawatan dan pemulihan rumah sakit yang lama dan rumit (Parera,
2018).

Sumber:
1. Daley, Brian James, et al. 2013. Pneumothorax Tennesse. Department Of Surgery
Division Of Trauma And Critical Care University Of Tennesse Health Science
Center College Og Medicine: Emedicine.Mescape.Com.
2. Price, S.A. 2009. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
3. Parera, T.B., and Daley, B.J. 2018. Flail Chest. StatPearis. Vol 2(3). Viewed on
02 Oktober 2019. From https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534090/

4. Manajemen Pneumothoraks?
Jawab:
a. Primary survey:
- Airway dan breathing
Manajemen trauma thorax meliputi pemberian oksigen aliran tinggi.
Metode pemberian tergantung kondisi pasien. Pada pasien yang sadar tanpa
adanya gangguan pernafasan yang nyata dapat digunakan masker non-
rebreathing. Pada pasien yang tidak sadar dan tidak dapat mempetahankan
jalan nafas yang adekuat harus dilakukan teknik membuka jalan nafas (chin
lift atau jaw thrust) dan pastikan tidak ada sumbatan jalan nafas seperti
muntahan, patahan gigi, dan sebgainya. Jika perlu gunakan orofaringeal atau
nasofaringeal tube, atau lakukan intubasi (Rini, 2019).
- Circulation
Semua pasien harus dipasang infus dua jari dengan kanule besar dan
memberikan terapi cairan sesuai status sirkulasinya (Rini, 2019).
- Disability
Pasien yang hipoksia diawali dengan kebingungan dan gelisah. Cedera
kepala juga bisa menyebabkan penurunan kesadaran. sangat penting untuk
menjaga jalan nafas dan ventilasi (Rini, 2019).
- Exposure
Environmental control/buka baju penderita, cegah hipotermia (Rini,
2019).
b. Secondary survey
- Anamnesis
Mungkin dari penderita sendiri tidak mungkin, sering dari petugas
lapangan atau keluarga.
a) Riwayat AMPLE
A= Allergic/riwayat alergi;
M= Medication, riwayat obat yang sering digunakan;
P= post medical history, riwayat penyakit yang pernah diderita;
L= Last oral intake, masukan peroral terakhir kali;
E= Event proceeding, kejadian yang mengakibatkan kondisi ini (Rini,
2019).
b) Mekanisme trauma
M=Mechanism, mekanisme trauma yang terjadi;
I= Injuries suspected, dugaan trauma yang terjadi;
V= Vital signs on scene, tanda vital dilokasi kejadian;
T= Treatment received, terapi apa saja yang sudah diberikan (Rini, 2019).
- Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi:
Kaji frekuensi nafas, kedalaman, dan usaha pernafasan. Penafasan
yang cepat, dangkal dan penggunaan otot intercosta atau supraklavikular
merupakan indikator kondisi patologis paru. Kedua lapang paru harus
dikaji dan dibandingkan kesimetrisan gerakan, luka memar, luka babras,
atau luka tusuk. Gerakan paradorsal merupakan tanda flail chest. Secara
umum inspeksi meliputi:
- Adanya luka, memar, trauma;
- Kesimetrisan ekspansi dada;
- Frekuensi, irama, dan kedalaman nafas;
- Penggunaan obat bantu nafas;
- Pergerakan paradorsal;
- Tekanan vena jugular (Rini, 2019).
2) Palpasi:
Mulai dari dada bagian atas, bagian klavikula harus dipalpasi
dengan baik dan dinding dada harus di palpasi untuk mengetahui adanya
nyeri tekan, instabilitas tulang, dan krepitasi. Secara umum palpasi
meliputi:
- Deviasi trachea;
- Nyeri;
- Bengkak;
- Masa;
- Pulsasi;
- Krepitasi;
- Denyut apex;
- Empisema subkutan (Rini, 2019).
3) Auskultasi:
Auskultasi dengan menggunakan stetoskop pada bagian atas dan
bawah dada, kanan dan kiri dada, untuk mengetahui kesimetrisan. Perlu
dikaji suara nafas, baik frekuensi, kualitas dan tipe nafas. Perlu juga
memeriksa suara jantung (Rini, 2019).
4) Perkusi:
Jika terdapat perbedaan saat auskultasi, harus diperkusi untuk
membandingkan, hiperresonan menunjukkan pneumothorax dan dullness
menunjukkan adanya cairan atau memar. Normalnya menunjukkan suara
resonan (Rini, 2019).
- Pemeriksaan penunjang
a. Monitoring jantung;
b. X-ray dada dan servikal;
c. ECG;
d. Analisis gas darah;
e. Kimia darah;
f. Darah lengkap termasuk golongan darah;
g. Ultrasound/echocardiography;
h. Computed tomography/CT scan atau magnetic resonance;
i. Angiografi;
j. Thorascopy (Rini, 2019).
- Penatalaksanaan
Tujuan utamanya adalah mempertahankan oksigenasi. Oksigenasi
mempunyai 2 tindakan utama. Yang pertama, harus mempertahankan oksigen
yang masuk dengan memberikan oksigen aliran tinggi baik melalui masker
atau ventilasi mekanis jika perlu. Tindakan penting kedua adalah mengurangi
tekanan akibat pneumothorax. Bisa dilakukan dengan needle thoracentesis
yaitu dengan menusukkan jarum besar (16 G) ke rongga pleura. Jarum
ditusukkan ke ruang intercosta kedua garis midclavicula, tepat di atas costae
tiga dilanjutkan dengan pemasangan WSD untuk terapi definitif (Rini, 2019).

Sumber:
1. Rini, I.S., Suharsono, T., Ulya, I., Suryanto, Kartikawati, D., and Fathoni, M.
2019. Pertolongan Pertama Gawat Darurat: PPGD. Malang: UB Press.

5. Komplikasi penyakit dari skenario?


Jawab:
Pneumotoraks tension (terjadi pada 3-5% pasien pneumotoraks) dapat
mengakibatkan kegagalan respirasi akut, Pio-pneumotoraks, hidro-pneumotoraks/
hemo-pneumotoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi);
pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat komplikasi
pneumotoraks spontan yang biasanya terjadi karena pecahnya bronkus sehingga
kelainan tersebut harus ditegakkan (insidensinya sekitar 1%), pneumotoraks simultan
bilateral (insidensinya sekitar 2%) dan pneumotoraks kronik (insidensinya sekitar 5
%) akan terjadi bila tetap ada selama waktu lebih dari 3 bulan (Putz, 2010).
Misdiagnosis adalah komplikasi yang paling umum terjadi dari dekompresi
jarum. Dekompresi jarum akan mengubah pneumotoraks menjadi tension
pneumotoraks. Jika tidak terdapat pneumotoraks, pasien akan mengalami kondisi
pneumotoraks setelah dekompresi jarum dilakukan. Sebagai tambahan jarum akan
melukai jaringan paru, yang mungkin pada kasus langka dapat menyebabkan cedera
paru atau hemotoraks. Jika jarum yang ditempatkan terlalu dekat ke arah tulang
sternum, dekompresi jarum dapat menyebabkan hemotoraks karena laserasi dari
pembuluh darah intercosta (Rini, 2019).
Penempatan torakostomi tube dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
saraf intercostae dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan parenkim paru, terutama
jika menggunakan trokar untuk penempatannya. Tamponade jantung juga bisa terjadi
akibat komplikasi tension pneumothoraks yang tidak diterapi yang diakibatkan dari
pergeseran mediatinum dan menyebabkan kompresi jantung (Rini, 2019).

Sumber:
1. Putz, R., Pabst, R., et al. 2010. SOBOTTA: Atlas Anatomi Manusia Jilid 2, Edisi
23. Jakarta: EGC. Rini, I.S., Suharsono, T., Ulya, I., Suryanto, Kartikawati, D.,
and Fathoni, M. 2019. Pertolongan Pertama Gawat Darurat: PPGD. Malang: UB
Press.
2. Rini, I.S., Suharsono, T., Ulya, I., Suryanto, Kartikawati, D., and Fathoni, M.
2019. Pertolongan Pertama Gawat Darurat: PPGD. Malang: UB Press.
6. Keadaan darurat pneumothoraks?
Jawab:
Seluruh jenis pneumothorax merupakan kondisi gawat darurat yang dapat
mengancam nyawa bila tidak ditangani secara cepat, terutama bila terjadi tension
pneumothorax. Tension pneumothorax adalah suatu keadaan darurat sehingga harus
segera dilakukan dekompresi yaitu dengan menusukkan jarum yang cukup besar
dalam rongga torak dan dilanjutkan dengan pemasangan WSD sebagai terapi definitif.
Dalam keadaan genting dan tidak ada jarum, pasien bisa ditusuk dengan
menggunakan ujung bolpoin atau benda lain yang menyerupai jarum. Tension
pneumothorax merupakan pneumotorak dengan mekanisme satu katup dimana udara
dapat masuk pada waktu inspirasi dan tidak dapat keluar waktu ekspirasi sehingga
udara terperangkap dalam rongga pleura dan terjadi peningkatan tekanan udara.
Kecurigaan adanya tension pneumothorax harus dipikirkan bila terdapat nyeri dada
hebat, gelisah, dan sesak bertambah berat. Selain itu pada pemeriksaan fisik
didapatkan takikardi, hipotensi, deviasi trakea ke arah sisi sehat, hipersonor pada
perkusi, suara napas menurun, emfisema subkutis, distensi vena leher, dan sianosis
(Irawati, 2014).

Sumber:
1. Irawati, and Juniati, S.H. 2014. Pneumotorak dan Empiema Pasca Ekstraksi
Benda Asing Esofagus. Jurnal THT-KL. Vol 2(1). Viewed on 03 Oktober 2019.
From http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl16575e3215full.pdf

Anda mungkin juga menyukai