Anda di halaman 1dari 5

1. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi dari ACS?

Jawab:
a. Fase Akut di UGD
1) Bed rest total
2) Oksigen 2-4 liter/menit
3) Pemasangan IVFD
4) Obat-obatan:
- Aspilet 160mg kunyah
- Clopidogrel (untuk usia <75 tahun dan tidak rutin mengkonsumsi
clopidogrel) berikan 300 mg jika pasien mendapatkan terapi fibrinolitik
atau
- Clopidogrel 600 mg atau ticagrelor1 80 mg jika pasien mendapatkan
primary PCI
- Atorvastatin 40 mg
- Nitrat sublingual 5 mg, dapat diulang sampai 3 (tiga) kali jika masih ada
keluhan, dan dilanjutkan dengan nitrat iv bila keluhan persisten
- Morfin 2-4 mg iv jika masih nyeri dada
5) Monitoring jantung
6) Jika onset <12 jam:
- Fibrinolitik (di IGD) atau
- Primary PCI (di Cathlab) bila fasilitas dan SDM di cathlab siap melakukan
dalam 2 jam
b. Fase Perawatan Intensif di CVC (2x24 jam)
1) Obat-obatan:
- Simvastatin 1x20 atau Atorvastatin 1x20 mg atau 1x40 mg jika kadar LDL
di atas target
- Aspilet 1 x 80mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg atau Ticagrelor 2 x 90mg
- Bisoprolol 1x1.25 mg jika fungsi ginjal bagus, Carvedilol 2x3,125 mg jika
fungsi ginjal menurun, dosis dapat di uptitrasi; diberikan jika tidak ada
kontra indikasi
- Ramipril 1 x 2,5 mg jika terdapat infark anterior ataun LV fungsi menurun
EF <50%; diberikan jika tidak ada kontaindikasi
- Jika intoleran dengan golongan ACE-I dapat diberikan obat golongan
ARB: Candesartan 1x16 mg, Valsartan 2x80 mg
- Obat pencahar 2x1 sendok makan
- Diazepam 2x5 mg
- Jika tidak dilakukan primary PCI diberikan heparinisasi dengan:
a) UF heparin bolus 60 Unit/kgBB, maksimal 4000 Unit, dilanjutkan
dengan dosis rumatan 12 Unit/kgBB maksimal 1000 Unit/jam atau
b) Enoxaparin 2x60 mg (sebelumnya dibolus 30 mg iv) atau
c) Fondaparinux 1x2,5 mg
2) Monitoring kardiak
3) Puasa 6 jam
4) Diet Jantung I1800 kkal/24 jam
5) Total cairan 1800 cc/24 jam
6) Laboratorium: profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserid) dan asam
urat
c. Fase perawatan biasa
1) Sama dengan langkah 2 a-f(diatas)
2) Stratifikasi Risiko untuk prognostik sesuai skala prioritas pasien (pilih salah
satu): 6 minutes walk test, Treadmill test, Echocardiografi Stress test, Stress
test perfusion scanning atau MRI
3) Rehabilitasi dan Prevensi sekunder
(Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI)

2. Patogenesis dari ACS?


Jawab:
ACS
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi
plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan
diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah
trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang
pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli
yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran
darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat
dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena
proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling
ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak
mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena
obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina
Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan
(IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi,
takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah
mempunyai plak aterosklerosis.
(Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI)

STEMI
Proses aterosklerotik dimulai ketika adaya luka pada sel endotel yang
bersentuhan langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel endotel yang
semula licin menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah menempel dan masuk
kelapisan dinding arteri. Penumpukan plaque yang semakin banyak akan membuat
lapisan pelindung arteri perlahan-lahan mulai menebal dan jumlah sel otot bertambah.
Setelah beberapa lama jaringan penghubung yang menutupi daerah itu berubah
menjadi jaringan sikatrik, yang mengurangi elastisitas arteri. Semakin lama semakin
banyak plaque yang terbentuk dan membuat lumen arteri mengecil.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plaque aterosklerosis mengalami
fisura, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis sehingga mengakibatkan oklusi arteri koroner. Pada STEMI gambaran
patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan
pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Pada lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin dan
serotonin) memicu aktivasi trombosit, selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktifitas trombosit juga akan
memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktifasi faktor VII dan X sehingga
menkonversi protombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin.
Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi akan menyebabkan oklusi oleh
trombus sehinga menyebabkan aliran darah berhenti secara mendadak dan
mengakibatkan STEMI.
(Sumber: Darlina, D. 2015. Manajemen Pasien ST Elevasi Miokardial Infark
(STEMI). Idea Nursing Journal. Vol 1(1). Viewed on 25 September 2019. From:
www.jurnal.unsyiah.ac.id)

3. Prognosis dari ACS?


Jawab:
Ad vitam (hidup): dubia ad bonam
Ad sanationam (sembuh): dubia ad bonam
Ad fungsionam (sembuh): dubia ad bonam
(Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI)

4. Hubungan Angina Pectoris dengan Angina Duduk?


Jawab:
Angin duduk (Angina Pektoris) merupakan suatu serangan sakit dada di
daerah dada atau dada sebelah kiri yaitu seperti ditekan, atau terasa berat di dada yang
sering kali menjalar ke lengan kiri dan kadang- kadang dapat menjalar ke punggung,
rahang, leher, atau lengan kanan, yang terjadi jika otot jantung mengalami kekurangan
oksigen. Kebutuhan jantung akan oksigen ditentukan oleh beratnya kerja jantung
(kecepatan dan kekuatan denyut jantung). Aktivitas fisik dan emosi menyebabkan
jantung bekerja lebih berat dan karena itu menyebabkan meningkatnya kebutuhan
jantung akan oksigen. Jika arteri menyempit atau tersumbat sehingga aliran darah ke
otot tidak dapat memenuhi kebutuhan jangtung akan oksigen, maka bisa terjadi
ketidak cukupan suplai darah ke jaringan atau organ tubuh (iskemia) dan
menyebabkan nyeri. Angina pektoris dibagi menjadi 3 jenis yaitu Angina stabil,
Angina tidak stabil, dan Angina printzmental.
(Siahaan, I. 2017. Perbandingan Metode Certainty Factor dan Bayes dalam
Mendiagnosa Penyakit Angina Pektoris Menggunakan Metode Perbandingan
Eksponensial. Jurnal Pelita Informatika. Vol 16(4). Viewed on 25 September 2019.
From https://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/pelita/article/view/580/552)

5. Pemeriksaan penunjang ACS?


Jawab:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase
(CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara
serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB.
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai
enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung.
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2) cTn: ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK),
Lactic dehydrogenase (LDH).
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan
menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.

Waktu
Waktu Awal Waktu
Puncak Nilai
Marker Peningkatan Kembali
Peningkatan Rujukan
(jam) Normal
(jam)
CK 4-8 12-24 72-96 jam
CK-MB 4-8 12-24 48-72 jam 10-13 units/L
Mioglobin 2-4 4-9 <24 jam <110 ng/mL
LDH 10-12 48-72 7-10 hari
Troponin I 4-6 12-24 3-10 hari <1,5 ng/mL
Troponin T 4-6 12-48 7-10 hari <0,1 ng/mL
Tabel Cardiac marker pada Miokard Infark

(Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI)

b. Pemeriksaan foto polos dada


Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat
darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang
gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat
diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
Gambar 1. Rontgen torak pasien dengan CTR 50%, seg Ao normal, Po
normal, pinggang jantung mendatar, apex downward, infiltrat lapangan
paru kiri dengan kranialisasi

Gambar 2. Rontgen torak follow up pada hari ke 8 dengan CTR 60%,


seg Ao normal, Po normal, pinggang jantung mendatar, apex
downward, infiltrat (-), kongesti (-)

(Sumber: Elfi, E.F. 2015. Sindrom Koroner Akut dengan Komplikasi Udem Paru Akut
dan Henti Jantung. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol 4(2). Viewed on 26 September
2019. From http://fk.unand.co.id)

Anda mungkin juga menyukai