File PDF
File PDF
TESIS
TESIS
i
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas
segala rahmat, belas kasih dan karunia yang dilimpahkanNya kepada saya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas penelitian akhir ini.
Karena itu, dalam kesempatan ini, dalam halaman sederhana ini, saya ingin
mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
v
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
4. Istri saya drg.Lulu Mustokoweni yang aktif membantu, memberi
dukungan, serta bertukar pikiran dalam menyelesaikan penulisan tesis
saya.
5. Ayah saya Sjabaroeddin Loebis, ibu saya Juniar Siregar, ayah mertua
saya Rumly, ibu mertua saya Yani Tan, kakak-kakak saya dan anak
tersayang Alisha Savina Shasmeen Lubis dan juga keluarga lainnya yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang selalu memberikan dukungan
dan merelakan waktu bersama demi pelaksanaan pendidikan, penelitian
dan penulisan tesis ini;
6. Semua pasien yang telah bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini.
7. Teman-teman residen yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
namanya di sini, yang telah banyak membantu dalam memberikan
masukan, saran dan kritikan serta koreksi dalam penelitian dan penulisan
tesis. Semoga kita bertujuh dapat lulus bersama menjadi orthopaed yang
berkualitas.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
vi
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
ABSTRAK
Fraktur pelvis kompleks merupakan fraktur yang tidak stabil pada lingkar pelvis
yang disertai dengan cedera jaringan lunak sekitarnya dan dapat disertai dengan
gangguan hemodinamik. Fraktur ini terdapat pada 10% fraktur pelvis. Tingkat
mortalitas pada fraktur pelvis kompleks mencapai 33%. Menurut data di RSCM
pada tahun 2011, insidensi terjadinya fraktur pelvis sebesar tiga persen.
Manajemen utama pada pasien dengan fraktur pelvis kompleks ialah manajemen
perdarahan, restorasi hemodinamik, diagnosis, stabilisasi lingkar pelvis, serta
penanganan yang sesegera mungkin. Hasil terbaik dicapai dengan fiksasi interna
sesegera mungkin pada segmen anterior dan posterior pelvis. Morbiditas yang
ditemukan ialah nyeri kronis, disfungsi seksual, infeksi, dan nonunion fraktur.
Penting sekali dilakukan penelitian mengenai luaran fraktur pelvis kompleks di
RSCM untuk menilai keberhasilan terapi, sehingga dapat meyempurnakan
tatalaksana fraktur pelvis dan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas.
Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 26 pasien. Rerata umur pasien ialah
30,54 tahun, rerata Injury Severity Score (ISS) ialah 27,2, rerata lama follow up
ialah 25 bulan. Sembilan pasien merupakan pasien politrauma. Fraktur pelvis
terbuka ditemukan pada tujuh pasien, sedangkan 19 pasien merupakan fraktur
pelvis tertutup. Fraktur pelvis Tile tipe B ditemukan pada 15 pasien dan dengan
Tile tipe C sebanyak 11 pasien. Berdasarkan skor majeed pada Tile tipe B, skor
excellent ditemukan pada 73,3% kasus, skor good ditemukan pada 20 % kasus,
dan skor fair ditemukan pada 6,7% kasus. Pada Tile tipe C, skor excellent hanya
sebanyak 45,5%, skor good ditemukan juga sebanyak 45,5 %, dan skor fair
ditemukan sebanyak pada 9% kasus. Berdasarkan skor Hannover, pada Tile tipe B
skor very good ditemukan sebanyak 33.3% kasus, skor good ditemukan pada
53,3% kasus dan skor fair ditemukan pada sebanyak 6,67% kasus. Pada Tile tipe
C, skor very good ditemukan pada 18,2 % kasus, skor good ditemukan pada
72,7% kasus, dan skor fair ditemukan pada 9 % kasus. Infeksi lebih sering
ditemukan pada fraktur pelvis terbuka (42,9%) dari kasus fraktur pelvis terbuka.
Luaran fraktur pelvis kompleks di RSCM baik karena lebih dari 90% pasien
memiliki skor fungsional excellent dan good (Majeed) dan skor very good dan
good (Hannover). Rerata skor Majeed pada studi ini ialah 85.9. Infeksi lebih
banyak ditemukan pada fraktur pelvis terbuka. Tipe fraktur tidak memiliki
hubungan dengan terjadinya disfungsi seksual. Namun, tipe fraktur pelvis
memiliki hubungan dengan timbulnya nyeri kronis.
Kata kunci: fraktur pelvis kompleks, fraktur pelvis, luaran fraktur pelvis, fraktur
pelvis terbuka, fraktur pelvis tidak stabil.
ix Universitas Indonesia
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
ABSTRACT
Complex pelvic fracture is unstable pelvic fracture associated with soft tissue
injury in pelvic region and with haemodynamic instability. This fractures only
represent 10% of pelvic fracture. In 2011, the incidence of pelvic fracture in Cipto
Mangunkusumo hospital is 3 %. Main management of complex pelvic fracture is
bleeding management, haemodynamic restoration, pelvic ring stabilization, and
early treatment. Best outcome can be achieved by performing early internal
fixation of anterior dan posterior part of the pelvis. It is very important to evaluate
the outcome of this type of fracture to evaluate the effectiveness of the
management and to reduce the mortality and morbidity rates.
This is an analitical study with cross sectional design. The inclusion criteria are
patients with open pelvic fracture, unstable Tile type B or C pelvic fracture that
had already undergone ORIF between 2011-2014 and had been followed for
minimum 6 months. Then mobidities and functional score were evaluated. The
functional score was evaluated using Majeed and Hannover pelvic score. This
study was analyzed using Fischer test and logistic regression test.
There were 26 samples with mean age 30.54, mean ISS score was 27.2, mean
follow up was 25 months. Nine patients were polytrauma patients. There were
seven open pelvic fractures and 19 closed pelvic fractures. There were 15 Tile
Type B and 11 Tile type C pelvic fractures. According to majeed pelvic score, In
type B, there was 73.3% excellent score, 20% good score, and only 6.7% fair
score. In type C, there were lower patients with excellent. There was 45,5%
excellent score, 45.5% good score, and 9 % fair score. According to Hannover
pelvic score, in type B there was 33.3 % very good score, 53.3% good score, and
only 6.67% fair score. In Tile type C, there were 18.2 % very good score, 72.7%
good score, and 9% fair score. Infection occur higher in open pelvic fracture
(42.9%). There was association between chronic pain and fracture type (p=0.017).
There was no association between fracture type and sexual dysfunction (p>0.05),
but there was association between urogenital injury and sexual dysfunction
(p<0.005).
x Universitas Indonesia
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
Keywords: complex pelvic fracture, pelvic fracture, outcome of complex pelvic
fracture, open pelvic fracture, unstable pelvic fracture
xi Universitas Indonesia
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................ v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS ....................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
ABSTRACT..................................................................................................... x
DAFTAR ISI.................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvii
xv Universitas Indonesia
Luaran fraktur..., Mohammad Fachry Lubis, FK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur pelvis kompleks merupakan fraktur pada lingkar pelvis yang disertai
dengan cedera jaringan lunak pada regio pelvis dan dapat disertai dengan
gangguan hemodinamik. Fraktur ini terdapat pada 10% fraktur pelvis. Tingkat
mortalitas pada fraktur pelvis kompleks ini mencapai 33%. Fraktur pelvis
kompleks ditandai dengan adanya cedera pada pelvis yang berhubungan dengan
sistem urogenital, rektum, sigmoid, pleksus lumbosakral, struktur pembuluh darah
retroperitoneal.2 Fraktur ini merupakan suatu cedera kompleks dengan efek yang
signifikan terhadap status fungsional dan kualitas hidup.
Menurut Tile, fraktur pelvis yang tidak stabil ataupun fraktur pelvis terbuka
mempunyai tingkat mortalitas yang mencapai 10%-20%.3 Menurut Schmal et al
berdasarkan penelitian di Universitas Freiburg, cedera neurovaskular pada fraktur
pelvis ditemukan pada 4,3 % pasien dengan fraktur pelvis. Menurut Tile pada
1 Universitas Indonesia
Pada penelitian Sullivan et al, didapati 63% pasien dengan fraktur pelvis yang
secara rotasional tidak stabil (Klasifikasi AO tipe B) dan didapati 37 % pasien
dengan fraktur pelvis yang tidak stabil secara vertikal.4 Menurut penelitian ini,
angka mortalitas pada pasien dengan fraktur pelvis yang tidak stabil mencapai
20 %.5. Pasien berusia 65 tahun atau lebih memiliki risiko mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan pasien berusia muda. Tingkat mortalitasnya yaitu 56%
berbanding 22%.4
Perdarahan yang masif merupakan komplikasi pada fraktur pelvis kompleks. Hal
ini terjadi akibat adanya jarak pada regio ramus pubis dan pergeseran bagian
posterior pelvis. Angka morbiditas ditemukan cukup tinggi pada pasien-pasien
dengan fraktur pelvis. Salah satu morbiditas yang sering ditemukan ialah
disfungsi seksual yang ditemukan pada 61% pria dengan fraktur pelvis.6 Menurut
penelitian yang dilakukan Universitas Eulji Korea ditemukan 9% kasus non union
dari 32 pasien fraktur pelvis tidak stabil yang telah dilakukan operasi dan follow
up selama tiga tahun. Kasus Infeksi ditemukan sebanyak 3 %.
Dikenal beberapa sistem skor untuk menilai luaran fraktur pelvis. Namun tidak
semua sistem memiliki objektivitas yang baik. Skor fungsional Majeed
merupakan salah satu sistem skor fungsional yang sering digunakan pada fraktur
Universitas Indonesia
pelvis. Skor fungsional ini menilai lima faktor, yaitu: nyeri, berdiri, duduk,
aktivitas seksual, dan kemampuan bekerja. Sistem skor ini memungkinkan
penilaian hasil dari beberapa tindakan dalam penatalaksanaan pada fraktur pelvis.
Dengan studi ini kami berusaha menilai luaran dari fraktur pelvis terbuka dan
fraktur pelvis yang tidak stabil (klasifikasi Tile tipe B dan tipe C) yang sudah
ditangani secara operatif di RSCM. Evaluasi luaran fraktur pelvis kompleks ini
sangat penting untuk menilai keberhasilan terapi sehingga dapat meningkatkan
kualitas tatalaksana fraktur pelvis yang lebih baik dan dapat membantu
mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas.
Universitas Indonesia
10) Apakah terdapat perbedaan skor fungsional antara operasi internal fiksasi
yang dilakukan dibawah 10 hari dan operasi internal fiksasi yang
dilakukan di atas 10 hari?
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fraktur pelvis kompleks merupakan fraktur pada lingkar pelvis yang disertai
dengan cedera jaringan lunak pada regio pelvis dan dapat disertai dengan
gangguan hemodinamik. Fraktur ini terdapat pada 10% fraktur pelvis. Tingkat
mortalitas pada fraktur pelvis kompleks ini mencapai 33%.7
2.1.2 Diagnosis
Trauma pelvis merupakan salah satu trauma yang dapat menyebabkan kematian,
sehingga pemeriksaan fisik yang dilakukan harus sebaik mungkin. Pemeriksaan
fisik pada pasien dengan trauma pada pelvis yang biasanya dilakukan ialah
dengan melakukan palpasi pada SIAS, kemudian dilakukan kompresi pada iliaka.
6 Universitas Indonesia
Pemeriksaan ini hanya boleh dilakukan satu kali untuk mencegah terjadinya
perdarahan.8
Dilakukan pemeriksaan pada kulit sekitarnya untuk kemungkinan adanya luka dan
cedera jaringan lunak lainnya. Hematoma pada skrotum biasanya merupakan
pertanda adanya perdarahan pada pelvis. Seluruh pasien sebaiknya dilakukan
pemeriksaan rektal dan vagina karena fragmen tulang terkadang dapat masuk
menembus rektum dan vagina yang menyebabkan fraktur terbuka.8 Pada pria
perhatikan adanya tanda hematuria yang merupakan suatu tanda dari ruptur
uretra.9
Universitas Indonesia
Proyeksi outlet dilakukan dengan kemiringan 45 derajat kaudal. Proyeksi ini baik
untuk menilai disrupsi pada sendi sakroiliak.8,9 CT scan digunakan untuk menilai
anatomi fraktur pelvis dan dapat juga untuk menilai lokasi dan ukuran hematoma.
MRI dapat digunakan untuk menilai keutuhan ligamen pada disrupsi sendi
sakroiliak.8
2.1.4 Klasifikasi
Fraktur pelvis diklasifkasikan berdasarkan konsep stabilitas dan patoanatomi.
Seperti klasifikasi lainnya, klasifikasi ini sebaiknya hanya digunakan sebagai
acuan dalam penatalaksanaan fraktur pelvis. Klasifikasi berikut ini merupakan
klasifikasi Tile.5
Tipe A
Lesi tidak mengganggu lingkar pelvis, tetapi hanya menyebabkan avulsi dari
sebagian tulang pelvis atau hanya melibatkan ilium. Pada tipe ini, lingkar pelvis
masih tetap dalam keadaan stabil.
Tipe B
Pada tipe ini terjadi pergeseran oleh gaya eksternal rotasi maupun internal rotasi.
Universitas Indonesia
Gambar
148
2.2. open book A, eksternal rotasi dari hemipelvis kiri. B, bilateral open
Jour n al of th e Amer ican Academy of Or th opaedic Sur geon s
book
(Dikutip : Tile M. Acute Pelvic Fractures: I. Causation and Classification. J Am Acad Orthop
Surg. 1996 May;4(3):143-51)
Tipe C
Pada tipe ini terjadi disrupsi dari bagian posterior pelvis, memungkinkan terjadi
pergeseran posterior dan secara vertikal. Merupakan tipe fraktur pelvis tidak stabil
secara unilateral maupun bilateral.
Universitas Indonesia
A B C
Fig. 7 Type C injuries. A, Drawing illustrates disruption of the symphysis, the pelvic floor on the left, and a completely unstable left sacral frac-
ture. Avulsion fractures of both the ischial spine and the transverse process are telltale signs of complete instability of the hemipelvis. B, An-
teroposterior radiograph demonstrates slight vertical and posterior displacement of the right hemipelvis. The exact pathologic nature of the
lesion was difficult to determine on this radiograph taken at the time of the patient’s admission to the trauma unit. C, A CT scan better demon-
Gambar 2.3. A, disrupsi simfisis, fraktur sacrum tidak stabil, fraktur avulsi
strates the grossly unstable fracture through the right sacrum with bone fragments in the cauda equina and through the sacral foramina. (Parts
B and C are reproduced with permission from Tile M [ed]: Fractures of the Pelvis and Acetabulum, 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1995.)
ischium dan prosesus tranversus. B, pergeseran bagian posterior secara vertikal
dari tulang pelvis. C, gambaran CT scan yang lebih jelas
150 Jour n al of th e Am er ican Academy of Or th opaedic Sur geon s
(Dikutip dari: Tile M. Acute Pelvic Fractures: I. Causation and Classification. J Am Acad Orthop
Surg. 1996 May;4(3):143-51)
Universitas Indonesia
2.1.5 Penatalaksanaan
Pasien-pasien dengan fraktur pelvis kompleks biasanya datang ke rumah sakit
dengan cedera yang kompleks. Cedera ini dikarenakan high energy trauma yang
dapat menyebabkan pasien dalam keadaan kritis. Tujuan dari manajemen dengan
keadaan seperti ini ialah perencanaan yang akurat termasuk x ray dan CT-scan
Universitas Indonesia
dan juga stabilisasi dari pelvis dengan menggunakan eksternal fiksasi atau pelvic
clamp untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik.2,10,11
Perdarahan yang terjadi akibat fraktur pelvis atau akibat cedera organ dalam
merupakan hal yang harus segera diketahui dan ditangani. Alat bantu diagnosis
bisa dengan menggunakan USG dan CT. Jika tidak ada sumber perdarahan lain,
maka tatalaksana dimulai dengan membalut kompresi pelvis dengan
13
menggunakan pelvic binder.
Manajemen utama pada pasien dengan fraktur pelvis kompleks ialah manajemen
perdarahan, restorasi hemodinamik, stabilisasi lingkar pelvis dan diagnosis serta
penanganan yang segera.2,14 Sumber perdarahan utama dari cedera ini ialah
laserasi vena-vena retroperitoneal, dan laserasi dari cabang arteri iliaka interna.
Karena fraktur pelvis kompleks sering terjadi pada pasien-pasien dengan cedera
multipel, maka perdarahan dari organ lainnya juga dievaluasi.2 Perdarahan yang
masif pada fraktur pelvis kompleks terjadi akibat adanya jarak pada region ramus
pubis dan pergeseran bagian posterior pelvis. Manajemen pada fraktur lingkar
pelvis biasanya ialah dengan prosedur pembedahan. Hasil terbaik dicapai dengan
fiksasi sesegera mungkin pada segmen anterior dan posterior pelvis.15
Universitas Indonesia
Perdarahan harus segera dikontrol dengan angiografi dan embolisasi atau dengan
ligase langsung dari arteri iliaka interna. Pada keadaan terburuk hemipelvektomi
terpaksa dilakukan sebagai prosedur life-saving.16
Angiografi masih populer di Amerika Serikat jika perdarahan masi terus berlanjut.
Ekstravasasi kontras pada saat dilakukan CT dapat dijadikan indikasi untuk
melakukan angiografi. Jika memungkinkan embolisasi secara selektif dapat
dilakukan untuk mencegah iskemik pada gluteal.12
Universitas Indonesia
Internal fiksasi definitif dilakukan jika status vital pasien sudah mengalami
perbaikan, biasanya dalam 5-7 hari. Penelitian biomekanik membuktikan bahwa
fiksasi anterior mengembalikan stabilitas tulang pelvis setelah terjadi disrupsi.9
Fiksasi posterior dapat dicapai dengan operasi terbuka maupun tertutup. Pada
fraktur sakrum, fiksasi terbuka dapat dilakukan. Namun pada fraktur dislokasi
sakro-iliak, fiksasi dapat dicapai secara tertutup.9,17
Universitas Indonesia
Marvi n Ti le, MD
Universitas Indonesia
2.1.6 Luaran
Kematian pada fraktur pelvis sebagian besar berhubungan dengan cedera organ
intrapelvis dan perdarahan. Sekitar 10 persen pasien fraktur pelvis tidak stabil
dengan hemodinamik tidak stabil mengalami kematian.6 Menurut studi yang
dilakukan Sathy di universitas Texas Southwestern tingkat mortalitas pada fraktur
pelvis berkisar antara 8,4%-13,6%.18 Fraktur pelvis tetap memiliki tingkat
mortalitas yang tinggi walaupun ditangani dengan metode terbaru.4 Fraktur pelvis
pada orang tua bahkan memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih
tinggi lagi.19
Disfungsi seksual didapati pada 61 persen pasien yang mengalami fraktur pelvis.
Menurut Metze, Tiemann, dan Josten 19 persen pasien mengalami disfungsi
ereksi setelah mengalami fraktur pelvis.6
Universitas Indonesia
Dispareunia ditemukan pada 56% wanita yang telah mengalami fraktur pelvis.12
Disrupsi simfisis diketahui berkaitan dengan terjadinya dyspareunia.
Diastasis > 5mm dianggap berkaitan dengan terjadinya dispareunia. Pria rentan
mengalami disfungsi seksual akibat fraktur pelvis, 61 % mengalami keterbatasan
dalam fungsi seksual, dan 19 % mengeluhkan adanya disfungsi ereksi.12
Dikenal beberapa sistem skor untuk menilai luaran fraktur pelvis. Namun tidak
semua sistem memiliki objektivitas yang baik. Skor fungsional Majeed
merupakan salah satu sistem skor fungsional yang sering digunakan pada fraktur
pelvis. Skor fungsional ini menilai lima faktor, yaitu: nyeri, berdiri, duduk,
aktivitas seksual, dan kemampuan bekerja. Sistem skor ini memungkinkan
penilaian hasil dari beberapa tindakan dalam penatalaksanaan pada fraktur pelvis.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3 2,,16,28
MTB:3
Fraktur Pelvis stabil: Fraktur Pelvis Kompleks:
Stabil parsial
MTA Fraktur pelvis tidak stabil
Tidak terjadi disrupsi Instabilitas rotasional
Cedera jaringan lunak
pada bagian anterior dan Gangguan Hemodinamik B1:eksternal rotasi
posterior pelvis (open book)
A1:Avulsi dari pelvis B2:internal rotasi
A2:Avulsi ilium B3:Bilateral
A3:Fraktu Sakro-koksigial
transverse
10
Tatalaksana inisial:
Resusitasi cairan
Pelvic binder
Internal Fiksasi:3,10 traksi
Luaran Eksternal Fiksasi:darurat untuk penanganan
Bagian anterior
instabilitas hemodinamik
Bagian Posterior Packing:eksternal fiksasi gagal memperbaiki
Anterior dan posterior hemodinamik
Angiografi:jika pelvic packing gagal memperbaiki
hemodinamik
Skor Fungsional:
Majeed Mortalitas
Hannover Morbiditas:
3,10,19
Iowa Infeksi
SF 36 Disfungsi seksual:
Cole Nyeri kronis
Nonunion
Defisit neurologis
: Variabel yang diteliti Fusi simfisis
Implant failure
Trombo emboli
Leg discrepancy
Pelvic obliquity
Universitas Indonesia
Manajemen
Operatif
Universitas Indonesia
2.3 Hipotesis
1) Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan skor fungsional.
2) Terdapat perbedaan skor fungsional antara fraktur pelvis terbuka dan
tertutup.
3) Terdapat perbedaan skor fungsional pada fraktur pelvis Tile tipe B dan Tile
C.
4) Terdapat perbedaan status infeksi pada fraktur pelvis terbuka dan tertutup.
5) Terdapat perbedaan terjadinya disfungsi seksual pada fraktur pelvis Tile B
dan Tile C.
6) Terdapat perbedaan terjadinya nyeri kronis pada fraktur pelvis Tile B dan
Tile C.
7) Terdapat hubungan antara status hemodinamik dengan skor fungsional
Majeed dan Hannover.
8) Terdapat hubungan antara politrauma dengan skor fungsional.
9) Terdapat hubungan antara cedera urogenital dengan disfungsi seksual.
10) Tidak terdapat perbedaan skor fungsional pada pasien fraktur pelvis
kompleks yang menjalani operasi internal fiksasi dibawah 10 hari dengan
pasien yang menjalani operasi internal fiksasi di atas 10 hari.
Universitas Indonesia
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
Keterangan
n= jumlah subyek
P = proporsi total
P2= proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya (0.79)
P1: proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti (0.27)
Q1= 1-P1
Q= 1- P
Zα = deviat baku α (1,96)
Zβ = deviat baku β (0,84)
23 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Rekam Medik
Kriteria Inklusi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
28 Universitas Indonesia
Jika dilihat dari karakteristik pasien pelvis kompleks di atas, fraktur ini
didominasi oleh pasien laki-laki dan pasien berusia produktif. Sebanyak tujuh
pasien atau sekitar 27% merupakan fraktur pelvis terbuka yang telah ditangani
secara operatif.
Pada beberapa kasus fraktur pelvis juga diikuti cedera pada organ lainnya dan
cedera urogenital merupakan cedera penyerta yang paling sering. Cedera
urogenital ditemukan pada 14 kasus, diikuti cedera degloving ekstremitas bawah
pada empat kasus.
Cedera Jumlah
Degloving ekstremitas bawah 4
pneumotoraks 1
Fraktur iga 1
Ruptur perineum 4
Cedera urogenital 14
Fraktur lumbal 2
Fraktur ekstremitas bawah 4
Cedera kepala 3
Cedera abdomen 3
Fraktur ekstremitas atas 4
Universitas Indonesia
Gambar 4.2. Ronsen pelvic inlet pasien fraktur pelvis kompleks instabilitas tipe
rotasi, sesuai klasifikasi Tile tipe B.
Terdapat 15 pasien dengan instabilitas tipe rotasi
Universitas Indonesia
A B
Gambar 4.3. (A)Ronsen Pelvic outlet dan (B) CT scan pasien fraktur pelvis
dengan instabilitas tipe vertikal sesuai klasifikasi Tile tipe C.
Terdapat 11 pasien dengan instabilitas tipe vertikal
Dari data yang kami kumpulkan, terdapat tujuh pasien fraktur pelvis kompleks
yang meninggal selama tahun 2011-2014 atau sekitar 21 persen dari seluruh
pasien dengan fraktur pelvis kompleks.
Ditemukan adanya lima kasus infeksi pada pada pasien fraktur pelvis kompleks di
RSCM atau sekitar 19 persen, dimana tiga diantaranya atau 60 persen dari kasus
infeksi terdapat pada fraktur pelvis terbuka. Tidak ditemukan adanya nonunion.
Dari hasil evaluasi skor fungsional dengan menggunakan Majeed Pelvic Score,
pada tipe B didapati skor excellent pada 73 % kasus, good didapati pada 20 %
pasien, dan fair pada 6 % pasien. Pada tipe C, didapati skor excellent pada 45 %
pasien, good pada 45% pasien, dan fair pada 9 % pasien.
Dengan menggunakan sistem Hannover, pada tipe B didapati skor very good pada
33 persen pasien, good pada 60 % kasus, dan fair pada 7 % kasus. Pada tipe C,
Universitas Indonesia
skor excellent ditemukan pada terdapat pada 18 %, good pada 73 % pasien, fair
pada 9 % pasien.
a b
Gambar 4.4. (a) ORIF pada fraktur pelvis klasifikasi Tile Tipe B. (b) ORIF pada
fraktur pelvis Tile tipe C
Semua pasien fraktur pelvis kompleks pada penelitian ini telah menjalani operasi
pemasangan internal fiksasi
Universitas Indonesia
a b
Gambar 4.5. Operasi secara MIPO pada fraktur pelvis kompleks Tile tipe C (a)
approach anterior (b) approach posterior (c) x ray pasca operasi
Operasi secara minimally invasive plate osteosynthesis (MIPO) dilakukan pada
satu pasien. Pada pasien yang ditangani secara MIPO, skor fungsionalnya ialah excellent.
Disfungsi seksual ditemukan pada 10 pasien dengan fraktur pelvis kompleks atau
sekitar 38 persen. Dispareunia ditemukan pada 44 % wanita yang mengalami
fraktur pelvis kompleks.
Komplikasi yang timbul pada fraktur pelvis kompleks yang paling banyak ialah
disfungsi seksual pada 10 kasus, diikuti nyeri kronis sebanyak sembilan kasus.
Infeksi ditemukan pada lima orang pasien, sedangkan nonunion tidak ditemukan.
Universitas Indonesia
Komplikasi Jumlah
Infeksi 5
Disfungsi seksual 10
Nonunion 0
Nyeri kronis 9
Defisit neurologis 3
Tabel 4.4. Analisa hubungan jenis kelamin dengan skor fungsional Hannover
Universitas Indonesia
Tabel 4.5. Analisa hubungan jenis kelamin dengan skor fungsional Majeed
4.2.2. Analisa hubungan fraktur pelvis terbuka dan tertutup dengan skor
fungsional, tingkat infeksi, dan disfungsi seksual
Analisis untuk menilai hubungan fraktur pelvis terbuka maupun tertutup dan
morbiditas yang dihasilkannya, yaitu infeksi, disfungsi seksual serta penilaian
skor fungsional dilakukan dengan analisa Regresi logistik. Faktor confounding
ialah jenis kelamin, usia, dan lama waktu follow up. Dari analisa yang dilakukan
tidak terdapat perbedaan skor fungsional, status infeksi dan disfungsi seksual pada
fraktur pelvis terbuka dan tertutup (P>0,05). Hasil perhitungan dapat dilihat pada
masing-masing tabel di bawah ini.
Tabel 4.6 Analisa hubungan Fraktur Pelvis terbuka dan tertutup dengan
skor fungsional Majeed
Universitas Indonesia
Tabel 4.7 Analisa hubungan fraktur pelvis terbuka dan tertutup dengan
disfungsi seksual.
Tabel 4.8 Analisa hubungan fraktur pelvis terbuka dan tertutup dengan
status infeksi
4.2.3. Hubungan Fraktur Pelvis tidak Stabil dengan skor fungsional, disfungsi
seksual, nyeri kronis dan status infeksi
Analisa dengan menggunakan regresi logistik juga kami gunakan untuk menilai
hubungan tipe fraktur pelvis tidak stabil (Tile B atau Tile C) dengan skor
fungsional, disfungsi seksual, nyeri kronis dan status infeksi. Faktor confounding
pada analisis ini sama seperti sebelumnya, yaitu usia, jenis kelamin dan lama
follow up. Hasil yang kami dapatkan, tidak terdapat hubungan antara skor
fungsional, status infeksi dan disfungsi seksual pasien dengan fraktur pelvis tidak
stabil (P>0,05). Namun, ditemukan hubungan antara tipe fraktur pelvis tidak stabil
dengan nyeri kronis yang timbul (P=0,017). Hasil perhitungan statistik dapat
dilihat pada masing-masing tabel di bawah ini.
Universitas Indonesia
Tabel 4.9 Analisa hubungan antara tipe fraktur Pelvis tidak stabil dengan
disfungsi seksual
Tabel 4.10 Analisa hubungan antara tipe fraktur Pelvis tidak stabil dengan
status infeksi
Tabel 4.11 Analisa hubungan antara tipe fraktur pelvis tidak stabil dengan
terjadinya nyeri kronis
Universitas Indonesia
Tabel 4.12. Analisa hubungan tipe fraktur pelvis tidak stabil dengan skor
fungsional Hannover
Tabel 4.13. Analisa hubungan tipe fraktur Pelvis tidak stabil dengan skor
fungsional majeed
Tabel 4.14. Analisa hubungan tipe fraktur pelvis tidak stabil dengan
terjadinya dispareunia
Universitas Indonesia
Hannover Hemodinamik
OR 95%CI P
Score Tidak stabil Stabil
Good 5 (62.5%) 12 (75.0%) 0.079-
0.714 0.764
Very good 3 (37.5%) 4 (25.0%) 6.448
Universitas Indonesia
Tabel 4.19. Analisa hubungan jarak hari operasi dengan skor fungsional
Majeed
Universitas Indonesia
Tabel 4.20. Analisa hubungan jarak hari operasi dengan skor fungsional
Hannover
4.3. Pembahasan
4.3.1. Karakteristik Sampel
Fraktur pelvis kompleks merupakan suatu cedera yang memiliki tingkat mortalitas
hingga mencapai 30%.15,34 Tingkat mortalitas bahkan bisa meningkat pada pasien
dengan usia di atas 60 tahun.35 Oleh karena itu cedera ini memerlukan suatu
penanganan yang baik dan secepat mungkin. Semua fraktur pelvis kompleks yang
terdapat di RSCM merupakan hasil dari kecelakaan di jalan raya. Rerata umur
pasien pada penelitian ini ialah 30 tahun, usia dimana pasien sering beraktivitas di
jalan raya. Hal ini sesuai dengan literatur Mardanpour dkk dengan rerata usia 37
tahun. Menurut literatur tersebut lebih dari 90 % fraktur pelvis yang terjadi
merupakan akibat kecelakaan di jalan raya.24 Penderita dengan jenis kelamin laki-
laki lebih banyak ditemukan daripada penderita wanita, sesuai dengan literatur
oleh Dzupa dkk.36 Hal ini dapat menggambarkan aktivitas laki-laki yang lebih
tinggi di jalan raya dan perilaku pada saat berada di jalan raya.36, 37 Dari hal ini
dapat kita lihat bahwa fraktur pelvis ini biasanya terjadi akibat trauma dengan
energi tinggi. Hal ini sesuai dengan beberapa studi epidemiologi yang menyatakan
bahwa laki-laki dewasa muda lebih beresiko mengalami fraktur pelvis.35
Akibat dari cedera energi tinggi ini, bisa ditemukan cedera pada organ lain
sebagai penyerta pada fraktur pelvis. Cedera penyerta yang sering ditemukan ialah
cedera pada jaringan lunak sekitar pelvis, cedera gastrointestinal, cedera
Universitas Indonesia
urogenital, cedera kepala, cedera toraks. Menurut penelitian Siegmeth dkk skor
ISS pasien trauma pelvis berat ialah 27,6.31 Hampir sama dengan rerata di RSCM
(26,3). Akibat cedera penyerta ini, penderita fraktur pelvis kompleks memerlukan
penanganan multidisiplin.38,39 Hal ini juga merupakan alasan tingginya angka
mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan cedera fraktur pelvis kompleks.
4.3.3. Reduksi Terbuka dan Fiksasi Interna pada Fraktur Pelvis Kompleks
Fiksasi internal pada bagian anterior dan posterior pelvis merupakan tindakan
operatif yang dilakukan dalam menangani fraktur pelvis kompleks. Dari beberapa
literatur dipaparkan bahwa tindakan ini lebih baik luarannya daripada tindakan
konservatif.24,40,41,42 Van Den Bosch dkk memaparkan bahwa kombinasi fiksasi
anterior dan posterior pelvis menghasilkan skor Majeed yang lebih baik.42 Sama
halnya dengan di RSCM dimana penanganan operatif fraktur pelvis kompleks
ialah dengan fiksasi interna pada bagian anterior, posterior, atau keduanya
tergantung tipe fraktur yang terjadi. Seluruh pasien dalam studi ini telah menjalani
operasi Operasi pemasangan internal fiksasi untuk mengembalikan anatomi pelvis
Universitas Indonesia
4.3.4. Analisa Hubungan Fraktur Pelvis Terbuka dan Tertutup dengan Status
Infeksi
Fraktur pelvis kompleks juga memiliki tingkat morbiditas yang tinggi. 43
Komplikasi yang ditimbulkan akibat fraktur pelvis kompleks di RSCM
menyerupai komplikasi yang timbul di instansi orthopaedi lainnya. Namun di
RSCM tidak ditemui komplikasi nonunion dan emboli yang dilaporkan pada
beberapa literatur.24
Infeksi merupakan salah satu komplikasi yang didapati pada fraktur pelvis
kompleks. Cedera jaringan lunak sekitar pelvis merupakan salah satu penyebab
terjadinya infeksi pada fraktur pelvis kompleks. Menurut literatur Mardanpour
dkk ditemukan kasus infeksi sebanyak 10% pada pasien dengan fraktur pelvis.
Tingkat infeksi pada fraktur pelvis terbuka cukup tinggi di RSCM. Manajemen
fraktur pelvis terbuka di RSCM sebenarnya sudah sesuai dengan prosedur, dimana
tindakan debridement pada hari pertama pasien masuk ke unit gawat darurat
disertai pemasangan fiksasi eksternal jika diperlukan. Operasi reduksi terbuka dan
pemasangan fiksasi internal pelvis dilakukan jika keadaan pasien sudah stabil dan
melalui tindakan sterilitas yang sudah memenuhi standar. Perawatan luka operasi
pasien selama berada di ruang rawat RSCM juga sudah mengikuti standar yang
baik. Namun perawatan luka di rumah pasien dan asupan gizi terkadang masih
kurang dan menurut kami juga ikut berperan dalam meningkatnya angka infeksi
pada fraktur pelvis kompleks.
Universitas Indonesia
persen.12 Disfungsi seksual yang terjadi pada pasien fraktur pelvis kompleks di
RSCM lebih sedikit jika dibandingkan dengan literatur, yaitu sekitar 38 %. Sekitar
21% pasien yang mengalami disfungsi seksual masih memakai kateter sehingga
kesulitan dalam berhubungan seksual. Dispareunia merupakan penyebab disfungsi
seksual pada wanita. Jika dibandingkan dengan studi oleh Pohlemann dkk, hanya
ditemui 2,2% kasus dengan dispareunia setelah fraktur pelvis. Menurut studi
Vallier dkk dipaparkan bahwa pada 48 pasien dengan fraktur pelvis dengan
dispareunia, sebesar 78% merupakan Tile tipe B. Namun dalam penelitian ini
dispareunia lebih sering terjadi pada Tile tipe C.44 Persentase di RSCM lebih
tinggi disebabkan pada fraktur pelvis kompleks lebih tinggi kemungkinan
melibatkan cedera jaringan lunak sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri yang
lebih lama.
Disfungsi seksual pada pasien yang berjenis kelamin laki-laki seluruhnya diikuti
dengan cedera urogenital, Penggunaan kateter pada pasien pria merupakan salah
satu penyebab pasien tidak dapat melakukan hubungan seksual, namun secara
statistik tidak bermakna. Menurut studi Pavelka dkk cedera urogenital sering
terjadi pada fraktur pelvis Tile tipe C. Cedera uretra menyebabkan 50 persen
pasien mengalami disfungsi seksual, sedangkan cedera tunggal pada buli tidak
menyebabkan hal tersebut.45 Di RSCM terdapat delapan pasien fraktur pelvis
dengan cedera uretra, empat di antaranya (50%) mengalami disfungsi seksual.
Cedera urogenital ini merupakan salah satu penentu prognosis pada fraktur pelvis
kompleks.46
Nyeri kronis merupakan komplikasi yang sering timbul pada fraktur pelvis
kompleks dan merupakan salah satu morbiditas yang menurunkan kualitas hidup
pasien.47 Sesuai dengan studi ini, studi Langford dkk dan Pohlemann dkk juga
memaparkan bahwa nyeri kronis sering terjadi pada Tile C. 5,12 Lebih dari 90%
nyeri yang ditemui pada pasien merupakan nyeri derajat ringan, tidak ditemui
nyeri derajat berat pada pasien di RSCM.
Universitas Indonesia
Tingginya persentase skor excellent/very good dan good (majeed dan hannover)
melebihi persentase pada studi Pohlemann dkk dan Mardanpour dkk, skor yang
dihasilkan sekitar 65-70% kasus excellent dan good, sedangkan untuk tipe C skor
excellent dan good hanya mencapai 45%-50%.5,24 Penelitian tersebut juga
memaparkan bahwa persentase excellent dan good yang lebih baik untuk Tile Tipe
B, sesuai dengan studi ini.
Skor fair didapatkan pada dua orang pasien. Satu pasien dikarenakan masih
dengan nonunion pada tibia, sehingga pasien tidak dapat berjalan dan berdiri.
Namun nyeri yang dirasakan pasien ringan dan pasien dapat duduk dengan nyeri
ringan. Sedangkan pada satu pasien lainnya, merupakan pasien politrauma dengan
Universitas Indonesia
fraktur pelvis terbuka Tile tipe C, yang memang merupakan suatu cedera yang
cukup berat.
Studi oleh Suzuki dkk memaparkan bahwa tidak terdapat hubungan antara luaran
fungsional jangka panjang dengan skor ISS, tipe fraktur dan lokasi fraktur pelvis,
sama halnya dengan penelitian ini.49
Dari skor fungsional yang kami dapatkan, secara proporsi dapat dilihat bahwa
luaran fraktur pelvis kompleks di RSCM cukup memuaskan. Hal ini menandakan
bahwa manajemen fraktur pelvis kompleks yang dilakukan di RSCM telah sesuai
dengan standar yang ada.
Universitas Indonesia
b c
d e
Gambar 4.6. Pasien dengan fraktur pelvis MTB 2 pasca fiksasi interna 2 tahun
(a)klinis pre operasi (b) x ray pre operasi (c) x ray pasca operasi (d) pasien
memiliki ROM hip baik dan bebas dari rasa nyeri saat berjongkok (e) pasien dapat
berdiri dan berjalan dengan baik.
Universitas Indonesia
b c
d e
Gambar 4.7. Pasien dengan fraktur pelvis terbuka MTB 1 pasca fiksasi interna 26
bulan (a) keadaan klinis pasien pasca eksternal fiksasi (b) ronsen pre operasi (c)
ronsen pasca operasi (d) pasien berdiri (d) pasien berjongkok. Pasien ini memiliki
skor fungsional majeed 89 (excellent) dan skor hannover 3 (good). Pasien dapat
berjalan dengan baik dan bisa duduk dengan sedikit rasa nyeri. Pasien mengalami
cedera uretra dan didapati disfungsi seksual.
Universitas Indonesia
A b
Gambar 4.8. pasien dengan fraktur pelvis MTC pasca fiksasi interna 2 tahun (a)
ronsen pre operasi (b) ronsen pasca operasi (c) berjongkok. Pasien ini dapat
berjalan tanpa alat bantu, tidak pincang, tidak terdapat nyeri saat aktivitas berat,
dan majeed 97 (excellent), skor hannover 3 (good)
Fraktur pelvis kompleks merupakan fraktur akibat cedera energi tinggi sehingga
tidak heran sebagian pasien merupakan pasien politrauma. Dari beberapa literatur
Universitas Indonesia
ada yang menyatakan bahwa hal ini dapat meningkatkan angka mortalitas
pasien.52. Menurut Gustavo dkk, cedera penyerta pada fraktur pelvis lebih
berperan dalam menentukan skor fungsional daripada tipe fraktur pelvis itu
sendiri.53 Namun dalam studi-studi ini tidak semua pasien menjalani operasi
internal fiksasi, sehingga luaran yang dihasilkan bisa lebih buruk.
Melalui studi ini dapat dilihat bahwa pasien dengan politrauma maupun dengan
status hemodinamik yang tidak stabil tetap dapat memiliki skor fungsional yang
baik, jika ditangani dengan baik diantaranya dilakukan internal fiksasi.
Menurut Vallier dkk tindakan operasi definitif dibawah 24 jam pada fraktur pelvis
yang tidak stabil juga dapat memberikan luaran fungsional yang lebih baik jika
dibandingkan dengan yang dilakukan tindakan operasi di atas 24 jam (rerata 99,2
jam).55 Hal ini sejalan dengan studi oleh Enninghorst dkk yang memaparkan
bahwa internal fiksasi definitif dibawah 6 jam pada 18 pasien ternyata tidak
meningkatkan angka mortalitas dan lama rawat di rumah sakit.56
Universitas Indonesia
Di RSCM dengan rerata jarak hari operasi 12 hari tetap didapatkan luaran
fungsional yang memuaskan. Alasan diambilnya batas 10 hari pada studi ini
karena merupakan window of opportunity pada pasien dengan politrauma. Di
RSCM pasien bisa dioperasi lebih dari 2 minggu menunggu perbaikan dari
keadaan umum pasien. Namun tindakan inisial seperti pemasangan pelvic binder
dan pemasangan eksternal fiksasi tetap dilakukan di hari pertama pasien masuk ke
IGD. Walaupun terdapat perbedaan jarak hari operasi internal fiksasi definitif
dengan instansi di Negara lain, pasien fraktur pelvis kompleks di RSCM tetap
memiliki luaran fungsional yang memuaskan.
Disfungsi seksual merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi luaran
pasien dengan fraktur pelvis kompleks. Hubungan disfungsi seksual dengan
cedera urogenital sangat erat, maka tatalaksana pada organ urogenital juga perlu
mendapat perhatian dari para tenaga kesehatan.
Manajemen nyeri pada fraktur pelvis Tile tipe C harus lebih ditingkatkan karena
dari studi ini nyeri lebih tinggi kemungkinannya terjadi pada fraktur pelvis Tile
tipe C. Penanganan nyeri penting untuk memperbaiki luaran fungsional pasien.
Sumber penyebab nyeri lainnya pada fraktur tipe ini juga perlu dievaluasi, seperti
teknik operasi dan juga pemilihan implant, bahkan untuk hal ini bisa dilakukan
penelitian lanjutan.
Universitas Indonesia
Oleh sebab itu studi ini bisa digunakan untuk menentukan skor prediktif luaran
fraktur pelvis kompleks pada studi berikutnya. Dengan adanya skor prediktif ini
diharapkan manajemen fraktur pelvis kompleks dapat disempurnakan yang
bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan fraktur
pelvis kompleks.
Universitas Indonesia
memang tidak banyak. Jika jumlah sampel lebih banyak, maka luaran yang diteliti
bisa menjadi lebih akurat. Karena hal itu penelitian ini belum bisa merumuskan
suatu skor prediktif pada fraktur pelvis kompleks. Rerata usia pasien pada studi
ini masih kurang bervariasi jika dibandingkan dengan studi serupa. Sehingga
luaran fraktur ini pada pasien dengan usia tua belum bisa kita nilai.
Universitas Indonesia
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1) Jenis kelamin tidak berhubungan dengan skor fungsional.
2) Pasien dengan fraktur pelvis kompleks pasca-fiksasi interna di RSCM
memiliki skor fungsional yang memuaskan, lebih dari 90 % memiliki skor
baik dan sangat baik (sesuai Majeed dan Hannover). Rerata skor majeed
ialah 85,9.
3) Fraktur pelvis Tile tipe C maupun fraktur pelvis terbuka belum tentu
memiliki skor majeed dan hannover yang lebih buruk dari fraktur pelvis
tertutup maupun Tile tipe B. Selama ditangani dengan baik dapat
menghasilkan skor fungsional yang baik pula.
4) Tingkat infeksi lebih sering terjadi pada fraktur pelvis terbuka.
5) Tidak terdapat perbedaaan terjadinya disfungsi seksual antara Tile B dan Tile
C.
6) Nyeri kronis mempunyai kemungkinan terjadi lebih tinggi pada fraktur
pelvis Tile tipe C.
7) Status hemodinamik tidak berpengaruh terhadap skor fungsional pasien.
8) Pasien fraktur pelvis kompleks dengan politrauma dapat memiliki luaran
fungsional yang baik jika ditangani dengan baik diantaranya dengan internal
fiksasi.
9) Cedera urogenital pada fraktur pelvis kompleks dapat menyebabkan
terjadinya disfungsi seksual.
10) Tidak terdapat perbedaan skor fungsional pasien yang menjalani operasi
internal fiksasi di bawah 10 hari dibandingkan dengan pasien yang
menjalani operasi di atas 10 hari.
54 Universitas Indonesia
5.2. Saran
1) Tingginya angka infeksi pada fraktur pelvis terbuka harus dicermati. Waktu
operasi, teknik operasi, sterilitas, dan perawatan luka harus ditingkatkan.
2) Manajemen nyeri kronis pada fraktur pelvis Tile C harus lebih ditingkatkan
karena seringnya hal ini terjadi pada fraktur Tile C. Sehubungan dengan hal
ini dapat dilakukan studi untuk mencari kemungkinan sumber nyeri pada
fraktur tipe ini, dapat dilakukan studi mengenai jenis implant yang terbaik
maupun tehnik operasi.
3) Cedera urogenital yang berhubungan erat dengan disfungsi seksual pada
pasien dengan fraktur pelvis kompleks harus ditangani dengan sebaik
mungkin.
4) Diperlukan penelitian lanjutan untuk merumuskan suatu skor prediktif pada
luaran fraktur pelvis kompleks pasca-fiksasi interna di RSCM.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
56 Universitas Indonesia
11. van Vugt AB, van Kampen A. An unstable pelvic ring. The killing fracture. J
Bone Joint Surg Br. 2006 Apr;88(4):427-33.
12. Langford JR, Burgess AR, Liporace FA, Haidukewych GJ. Pelvic fractures:
part 1. Evaluation, classification, and resuscitation. J Am Acad Orthop Surg.
2013 Aug;21(8):448-57.
13. Geeraerts T, Chhor V, Cheisson G, Martin L, Bessoud B, Ozanne A, et al.
Clinical review: initial management of blunt pelvic trauma patients with
haemodynamic instability. Crit Care. 2007;11(1):204.
14. Hak DJ, Smith WR, Suzuki T. Management of hemorrhage in life-threatening
pelvic fracture. J Am Acad Orthop Surg. 2009 Jul;17(7):447-57.
15. Furukawa AP, Patton PE, Amato P, Li H, Leclair CM. Dyspareunia and
sexual dysfunction in women seeking fertility treatment. Fertil Steril. 2012
Dec;98(6):1544-8 e2.
16. Pavelka T, Dzupa V, Stulik J, Grill R, Baca V, Skala-Rosenbaum J. [Our
results of surgical management of unstable pelvic ring injuries]. Acta Chir
Orthop Traumatol Cech. 2007 Feb;74(1):19-28.
17. Lefaivre KA, Slobogean GP, Valeriote J, O'Brien PJ, Macadam SA.
Reporting and interpretation of the functional outcomes after the surgical
treatment of disruptions of the pelvic ring: a systematic review. J Bone Joint
Surg Br. 2012 Apr;94(4):549-55.
18. Sathy AK, Starr AJ, Smith WR, Elliott A, Agudelo J, Reinert CM, et al. The
effect of pelvic fracture on mortality after trauma: an analysis of 63,000
trauma patients. J Bone Joint Surg Am. 2009 Dec;91(12):2803-10.
19. Dong J, Hao W, Wang B, Wang L, Li L, Mu W, et al. Management and
outcome of pelvic fractures in elderly patients: a retrospective study of 40
cases. Chin Med J (Engl). 2014 Aug;127(15):2802-7.
20. Majeed SA. Grading the outcome of pelvic fractures. J Bone Joint Surg Br.
1989 Mar;71(2):304-6.
21. Collinge C, Tornetta P, 3rd. Soft tissue injuries associated with pelvic
fractures. Orthop Clin North Am. 2004 Oct;35(4):451-6, v.
Universitas Indonesia
22. Gabbe BJ, Hofstee DJ, Esser M, Bucknill A, Russ MK, Cameron PA, et al.
Functional and return to work outcomes following major trauma involving
severe pelvic ring fracture. ANZ J Surg. 2014 May 30.
23. Langford JR, Burgess AR, Liporace FA, Haidukewych GJ. Pelvic fractures:
part 2. Contemporary indications and techniques for definitive surgical
management. J Am Acad Orthop Surg. 2013 Aug;21(8):458-68.
24. Mardanpour K, Rahbar M. The outcome of surgically treated traumatic
unstable pelvic fractures by open reduction and internal fixation. J Inj
Violence Res. 2013 Jul;5(2):77-83.
25. Salter R. Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal System.
2 ed. Pennsylvania: Lippincott William & Wilkins; 1999.
26. Pohlemann T, Bosch U, Gansslen A, Tscherne H. The Hannover experience
in management of pelvic fractures. Clin Orthop Relat Res. 1994
Aug(305):69-80.
27. Owens CD, Stoessel K. Surgical site infections: epidemiology, microbiology
and prevention. J Hosp Infect. 2008 Nov;70 Suppl 2:3-10.
28. Grotz MR, Allami MK, Harwood P, Pape HC, Krettek C, Giannoudis PV.
Open pelvic fractures: epidemiology, current concepts of management and
outcome. Injury. 2005 Jan;36(1):1-13.
29. Nolen S. Abnormal Psychology 2. New York: McGraw-Hill.
30. Practice guidelines for chronic pain management: an updated report by the
American Society of Anesthesiologists Task Force on Chronic Pain
Management and the American Society of Regional Anesthesia and Pain
Medicine. Anesthesiology. 2010 Apr;112(4):810-33.
31. Siegmeth A, Mullner T, Kukla C, Vecsei V. [Associated injuries in severe
pelvic trauma]. Unfallchirurg. 2000 Jul;103(7):572-81.
32. Trentz O. Polytrauma: Pathophysiology, priorities, and management. In:
Ruedi T, Murphy W, editors. AO Principles of Fracture Management.
Stuttgart: Thieme; 2000. p. 661.
Universitas Indonesia
33. Holz U, Murphy W. Reduction and fixation techniques. In: Ruedi T, Murphy
W, editors. AO Principles of Fracture Management. Stuttgart: Thieme; 2000.
p. 157.
34. Heetveld MJ, Harris I, Schlaphoff G, Sugrue M. Guidelines for the
management of haemodynamically unstable pelvic fracture patients. ANZ J
Surg. 2004 Jul;74(7):520-9.
35. Tosounidis G, Culemann U, Stengel D, Garcia P, Kurowski R, Holstein JH,
et al. [Complex pelvic trauma in elderly patients]. Unfallchirurg. 2010
Apr;113(4):281-6.
36. Dzupa V, Chmelova J, Pavelka T, Obruba P, Wendsche P, Simko P.
[Multicentric study of patients with pelvic injury: basic analysis of the study
group]. Acta Chir Orthop Traumatol Cech. 2009 Oct;76(5):404-9.
37. Jezek M, Dzupa V. [The influence of patient age and mechanism of injury on
the type of pelvic fracture: epidemiological study]. Acta Chir Orthop
Traumatol Cech. 2012;79(1):65-8.
38. Stein DM, O'Toole R, Scalea TM. Multidisciplinary approach for patients
with pelvic fractures and hemodynamic instability. Scand J Surg.
2007;96(4):272-80.
39. Tosounidis TI, Giannoudis PV. Pelvic fractures presenting with
haemodynamic instability: treatment options and outcomes. Surgeon. 2013
Dec;11(6):344-51.
40. Taller S, Lukas R, Sram J, Krivohlavek M. [Urgent management of the
complex pelvic fractures]. Rozhl Chir. 2005 Feb;84(2):83-7.
41. Pohlemann T, Gansslen A, Schellwald O, Culemann U, Tscherne H.
[Outcome evaluation after unstable injuries of the pelvic ring]. Unfallchirurg.
1996 Apr;99(4):249-59.
42. Van den Bosch EW, Van der Kleyn R, Hogervorst M, Van Vugt AB.
Functional outcome of internal fixation for pelvic ring fractures. J Trauma.
1999 Aug;47(2):365-71.
43. Kabak S, Halici M, Tuncel M, Avsarogullari L, Baktir A, Basturk M.
Functional outcome of open reduction and internal fixation for completely
Universitas Indonesia
unstable pelvic ring fractures (type C): a report of 40 cases. J Orthop Trauma.
2003 Sep;17(8):555-62.
44. Vallier HA, Cureton BA, Schubeck D. Pelvic ring injury is associated with
sexual dysfunction in women. J Orthop Trauma. 2012 May;26(5):308-13.
45. Pavelka T, Houcek P, Hora M, Hlavacova J, Linhart M. [Urogenital trauma
associated with pelvic ring fractures]. Acta Chir Orthop Traumatol Cech.
2010 Feb;77(1):18-23.
46. Tauber M, Joos H, Karpik S, Lederer S, Resch H. [Urogenital injuries
accompanying pelvic ring fractures]. Unfallchirurg. 2007 Feb;110(2):116-23.
47. Gerbershagen HJ, Dagtekin O, Isenberg J, Martens N, Ozgur E, Krep H, et al.
Chronic pain and disability after pelvic and acetabular fractures--assessment
with the Mainz Pain Staging System. J Trauma. 2010 Jul;69(1):128-36.
48. Rieger H, Joosten U, Probst A, Joist A. [Significance of score systems in
open complex trauma of the pelvis]. Zentralbl Chir. 1999;124(11):1004-10.
49. Suzuki T, Shindo M, Soma K, Minehara H, Nakamura K, Uchino M, et al.
Long-term functional outcome after unstable pelvic ring fracture. J Trauma.
2007 Oct;63(4):884-8.
50. Balogh Z, Caldwell E, Heetveld M, D'Amours S, Schlaphoff G, Harris I, et al.
Institutional practice guidelines on management of pelvic fracture-related
hemodynamic instability: do they make a difference? J Trauma. 2005
Apr;58(4):778-82.
51. White CE, Hsu JR, Holcomb JB. Haemodynamically unstable pelvic
fractures. Injury. 2009 Oct;40(10):1023-30.
52. Holstein JH, Culemann U, Pohlemann T. What are predictors of mortality in
patients with pelvic fractures? Clin Orthop Relat Res. 2012
Aug;470(8):2090-7.
53. Gustavo Parreira J, Coimbra R, Rasslan S, Oliveira A, Fregoneze M,
Mercadante M. The role of associated injuries on outcome of blunt trauma
patients sustaining pelvic fractures. Injury. 2000 Nov;31(9):677-82.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
A b o
Gambar 1. (a) dan (b) Pasien dengan fraktur pelvis Tile tipe MTB 2 pasca-fiksasi
interna 1 tahun dengan nonunion tibia. Pasien belum bisa berdiri lama, karena
masih terdapat nonunion pada tibia. Masih terdapat nyeri pada regio pelvis.
A b
Gambar 2. pasien dengan fraktur pelvis MTB 3 pasca-fiksasi interna 2 tahun (a)
pasien dapat berdiri dan berjalan dengan baik (b) pasien dapat berjongkok dengan
ROM pinggul baik dengan nyeri minimal.
Universitas Indonesia
a b
a b
Gambar 4. Pasien dengan fraktur pelvis MTB 3 (a) pasien dapat berdiri (b) pasien
bisa berjongkok dan duduk tanpa ada rasa nyeri.
Universitas Indonesia
a b
Gambar 5. Pasien dengan fraktur pelvis MTB1 pasca-fiksasi interna 1 tahun. (a)
pasien dapat berdiri dan berjalan (b) pasien memiliki ROM pinggul dan dapat
duduk lama tanpa rasa nyeri.
A b
Gambar 6. Pasien dengan fraktur pelvis terbuka MTB1 (a) pasien dapat berdiri
dan berjalan (b) pasien dapat jongkok dan duduk dengan nyeri ringan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia