Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
maksilaris dan tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel
2.2. Anatomi
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri (Corbridge,
1998).
Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium
pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya
septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan krista gali.
• Os vomer
Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis os maksila dan os palatina.
• Kolumela
Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain oleh
sekat tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela (Corbridge, 1998; Lund,
1997).
2.2.2. Perdarahan
merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari a,karotis eksterna). Septum nasi
bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari
a.maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang
membentuk fleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior
septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang merupakan sumber perdarahan
pada epistaksis.
Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri
ke fleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada
sekitar nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya
secara cepat hingga usia tiga tahun dan kemudian mulai lagi saat usia tujuh tahun
hingga 18 tahun dan saat itu juga air-cell ethmoid tumbuh dari tiga atau empat sel
menjadi 10-15 sel per sisi hingga mencapai usia 12 tahun (Jhosephson dan Roy,
1999).
Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam
janin manusia. Sinus ini mulai berkembang pada dinding lateral nasal sekitar hari
65 kehamilan. Sinus ini perlahan membesar tetapi tidak tampak pada foto polos
sampai bayi berusia 4-5 bulan. Pertumbuhan dari sinus ini bifasik dengan periode
pertama di mulai pada usia tiga tahun dan tahap kedua di mulai lagi pada usia tujuh
hingga 12 tahun. Selama tahap kedua ini, pneumatisasi meluas secara menyamping
hingga dinding lateral mata dan bagian inferior ke prosesus alveolaris bersamaan
dengan pertumbuhan gigi permanen. Perluasan lambat dari sinus maksilaris ini
berlanjut hingga umur 18 tahun dengan kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata
14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan sekret ke dalam meatus media (Jhosephson
janin. Sinus etmoidalis anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral nasal dan
pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan sel ini diisi oleh cairan sehingga
sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun sinus etmoidalis baru bisa
dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan cepat hingga usia
12 tahun. Sinus etmoidalis anterior dan posterior ini dibatasi oleh lamina basalis.
Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata
14-15 ml. Sinus etmoidalis anterior mengalirkan sekret ke dalam meatus media,
superior. Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus
dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan. Daerah pertama
adalah daerah arteri etmoid anterior yang merupakan cabang arteri oftalmika,
terdapat di atap sinus etmoidalis dan membentuk batas posterior resesus frontal.
Arteri ini berada pada dinding koronal yang sama dengan dinding anterior bula
etmoid. Daerah yang kedua adalah variasi anatomi yang disebut dengan sel onodi.
Sel onodi adalah sel udara etmoid posterior yang berpneumatisasi ke postero-lateral
nervus optikus dan dapat dikira sebagai sinus sfenoidalis (Jhosephson dan Roy,
merupakan satu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus
frontalis jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur lima atau enam
tahun setelah itu perlahan tumbuh, total volume 6-7 ml. Pneumatisasi sinus frontalis
yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior kavum nasi. Sinus
ini berupa suara takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur tiga tahun ketika
mulai pneumatisasi lebih lanjut, Pertumbuhan cepat untuk mencapai tingkat sella
tursika pada umur tujuh tahun dan menjadi ukuran orang dewasa setelah umur
18 tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam
meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Jhosephson dan Roy, 1999).
Mukosa sinus terdiri dari ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel
melindungi. Selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya
yang dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam
2.3. Epidemiologi
Tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal diperkirakan sebesar 1% dari
seluruh neoplasma ganas manusia dan 3% dari jumlah ini ditemukan pada kepala
dan leher. Secara tipikal ditemukan pada dekade ke lima dan ke tujuh kehidupan
dan rasio perbandingan antara pria dan wanita adalah sebesar 2:1 (Bailey, 2006;
Insiden tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal (tumor ganas sinonasal)
rendah pada kebanyakan populasi (<1,5/100.000 pada pria dan <0,1/100.000 pada
ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih
banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, 2007). Rifqi
mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota
besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari
keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring
(Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari
2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis
perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%. Insiden pada
tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus
maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Enam
paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul di dalam sinus maksilaris, 22%
2005).
2.4. Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga
beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu
kayu, kulit, formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini
mendapat kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap
rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi
keganasan (Roezin, 2007; Myers, 1989; D’Errico, Pasian, Baratti, Zanelli, Alfonzo,
Gilardi, 2009).
Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras
seperti beech dan oak, merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk
tumor ganas sinonasal. Peningkatan resiko (5-50 kali) ini terjadi pada
adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai
timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah
menjadi faktor resiko tambahan (Roezin, 2007; Myers, 1989; Dhingra, 2007).
Tumor nasal dan sinus paranasal dalam keadaan tertentu tidak memberikan
gejala yang tetap. Mungkin hanya berupa rasa penekanan atau nyeri, atau tidak
dijumpai rasa nyeri. Sumbatan nasal satu sisi dapat diduga suatu tumor sampai
paralisis saraf-saraf otak. Nyeri apabila dijumpai, lebih terasa di malam hari atau
bila pasien berbaring. Mungkin pula gejalanya menjalar ke gigi atas atau gigi palsu
bagian atas terasa menjadi tidak pas lagi. Dapat terjadi pembengkakan wajah
sebelah atas seperti sisi batang nasal dan daerah kantus medius, penonjolan daerah
pipi, pembengkakan palatum durum, palatum mole, tepi alveolar atau lipatan
mukosa mulut dan epistaksis. Pada 9% hingga 12% pasien sering asimtomatik
sehingga diagnosis sering terlambat dan penyakit telah memasuki stadium lanjut
Perubahan daerah orbita pada tumor sinus relatif sering ditemukan. Dapat pula
terdapat gangguan persarafan otot-otot eksterna bola mata. Isi rongga orbita dapat
1994).
Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah
berada dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal
bervariasi dari 1% hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak
adalah kurang dari 10%. Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal
berkembang menjadi metastasis setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini
2006).
2.6. Diagnosis
regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, juga harus dilakukan endoskopi
nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa (kebas) atau hypesthesia syaraf
infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) secara kuat merupakan sangkaan invasi
ekstraokular, dan adanya massa di pipi, gingival atau sulkus gingivobuccal juga
Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film
untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada plain film.
Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang
pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau magnetic
menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan
membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion,
sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI
image terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale
dan optic canal. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal
berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari
lemak di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak
dan leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan ditambah
luasnya tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai keganasan
kepala dan leher tetapi sangat sedikit kegunaannya untuk menilai keganasan pada
menjalani operasi dengan tumor yang telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon
atau trnascranial Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak
iskemik jika areteri karotid internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat memprediksi
iskemik pada area marginal (watershed) atau fenomena embolik (Bailey, 2006).
kistik adenoid. Penilaian metastasis penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk
dilakukan. Lumbar dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika
tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera
Tipe histologi utama yang sering ditemukan pada tumor ganas regio nasal
dan sinonasal terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau karsinoma epidermoid
kelenjar salivari minor atau disebut juga Schneiderian carcinoma dan melanoma
Gambar 2.1. Klasifikasi histologi WHO tumor rongga hidung dan sinus paranasal
dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing
maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus
sfenoidalis dan frontalis (sekitar 1%) (Barnes et al, 2005; Dhingra, 2007; Dhingra,
Simtom berupa rasa penuh atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri,
parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung
didapatkan perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang
fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi
mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa,
sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual.
Karsinoma ini dinilai berupa diferensiansi baik, sedang atau buruk (Barnes et al,
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang
menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini
dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal
bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid.
Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan
memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma
eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan
Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural
limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang
nasal dan sinus paranasal, dengan pemisahan yang luas dan destruksi mukosa
kelenjar sehingga memperlihatkan clear cell change. Nekrosis koagulatif luas dan
bervariasi mulai dari kecil, medium hingga berukuran besar. Sel-sel memiliki
sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada sitoplasmanya yang dapat dilihat
inflamatori yang mengandung limfosit kecil, histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil.
2005).
Gambar 2.3. Nasal NK/T cell lymphoma. A. Mukosa intak dan terlihat sebaran infiltrat
sel-sel limfoma. B. Infiltrat limfoid mukosa merusak kelenjar mukosa hingga tidak
tampak lagi struktur kelenjar (Barnes et al, 2005).
keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan
neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara
40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus
aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid.
Simtom primer berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan
jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis (Myers, 1989).
Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara
45% kasus. Di dalam kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna
ini adalah daerah posterior septum nasal diikuti dengan turbinate medial dan
inferior. Tumor menyebar melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul
servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal (Myers, 1989; Dhingra, 2007;
Hansom, 2002).
Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru
• Sinus maksilaris
T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid,
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
T1 Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang
(Gambar 2.9)
T2 Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial
Gambar 2.11. Dua pandangan dari T3 menunjukkan tumor menginvasi sinus maksilaris
dan palatum (kiri) dan meluas ke dasar orbita dan fossa kribriformis (kanan) ((Greene,
2006).
Gambar 2.13. Dua pandangan dari T4b. Pandangan koronal kiri menunjukkan invasi di
dalam apeks orbita dan otak. Kanan, tumor menginvasi klivus (Greene, 2006).
Gambar 2.14. Klasifikasi kelenjar getah bening regional (N) untuk seluruh keganasan
kepala dan leher kecuali karsinoma nasofaring dan tiroid (Greene, 2006).
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IVA T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
Semua T N3 M0
2.9.1. Pembedahan
2.9.1.1. Drainage/Debridement
dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi sebagai
2.9.1.2. Resection
cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi massif, atau untuk
tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup
untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus
open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam
rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen
section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor (Bailey, 2006; Zinreich,
2006; Nicolai et al, 2008; Lund et al, 2007; Poetker et al, 2005).
memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah
pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti
flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau
sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi
tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang
sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang
pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey,
2006).
2.9.4. Kemoterapi
penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau
tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan
karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien
yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk
mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal, cara tepat dan
sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan
banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan
hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini.
memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan
meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium
Paparan Genetik ?
Jenis kelamin
karsinogen lingkungan
Umur
Suku
Keluhan Utama
Suspek Tumor Ganas Sinonasal
Lama Menderita
Lokasi tumor
CT scan Tipe histologi