Anda di halaman 1dari 6

IV.

Patogenesis
Hingga saat ini diketahui patogenesis infeksi virus dalam terjadinya pneumonia dapat melalui
beberapa cara, meliputi:1
1) Inokulasi langsung
Setelah virus masuk melalui penyebaran droplet, virus akan mencapai saluran nafas
dan berinokulasi serta berinkubasi.
2) Persebaran lokal
Virus dapat juga menyebar dari jaringan sekitar saluran nafas, seperti contohnya pada
kasus cacar, dimana virus dapat menyebar ke saluran pencernaan dan saluran
pernafasan.
3) Persebaran secara hematogen dari infeksi jauh
4) Persebaran dari donor transplantasi maupun darah

Infeksi virus pathogen hanya dapat bertahan didalam sel. Pada saluran nafas terutama,
virus akan menginfeksi sel epitel alveolus atau pneumosit. Virus yang masuk dan
menyebabkan kerusakan alveolus akan menginisiasi reaksi inflamasi dan edema, serta
perdarahan mikro, dan reaksi imun seluler. Sel limfosit, sel PMN, CD4 dan CD8 akan
berkumpul dan menimmbulkan reaksi imunitas berupa timbulnya jaringan parut dan
meningkatnya permeabilitas vaskular. Hal ini akan berakibat pada munculnya cairan dengan
protein inflamasi hasil reaksi inflamasi yang dapat dilihat pada pemeriksaan radiologis. Pada
akhirnya dapat ditemukan gambaran klinis berupa pneumonia dan edema paru.1

Etiologi
1) Adenovirus
Adenovirus merupakan virus DNA tak berselubung berukuran 65 hingga 80 nm. Hingga
saat ini terdapat 7 tipe adnovirus yang berkaitan dengan infeksi pada manusia. Serotipe 1
dan 2 dikatakan sering menginfeksi bayi dan anak, menimbulkan infeksi virus asimtomtik.
Serotipe 3, 4, dan 7 dikatakan tipe yang paling sering dikaitkan dengan kejadian infeksi
saluran pernafasan.
Adenovirus dapat menyerang berbagai bagian tubuh, dan telah banyak diisolasi dari
saluran nafas atas, mata, urin, feses, dan terkadang juga darah. Waktu inkubasi hingga
adenovirus menyebabkan suatu penyakit pada saluran nafas beragam dari 4 hingga 14
hari. Perubahan sitopatologis dapat ditemukan pada pasien terinfeksi adenovirus,
meliputi perubahan pada sel epitel bronkiolus, dan susunan partikel virus pada alveolus.
Sejauh mana infeksi adenovirus dapat merusak sel dan patogenesisnya masih belum jelas,
namun diketahui adenovirus dapat menghambat proses sintetis protein, dan capsomere
dari virus memiliki efek sitotoksik.2
Secara klnis pneumonia akibat adenovirus serupa dengan pneumonia pada umumnya.
Bila didapati pada neonates, kondisi pneumonia dapat agresif hingga dapat menyebabkan
nekrosis dari bronkus dan alveolus.2
Adenovirus menyebar melalui udara dan kontak langsung. Berbeda strain dari
adenovirus menyebabkan gambaran klinis yang berbeda juga. Serotipe 3 dan 7
menyebabkan demam pharyngoconjunctival, sedangkan serotipe 4, dan 7 juga dapat
menyebabkan pneumonia.1,2

2) Influenza
Influenza merupakan virus RNA dari family Orthomyxoviridae dan memiliki selubung
glikoprotein yang penting untuk proses masuknya virus ke dalam sel. Virus influenza
diklasifikasikan kepada tipe A, B, C, dan D berdasarkan karakteristik dari antigen
nukleoporotein dan matriks proteinnya. Diantara tipe virus influenza, tipe A merupakan
tipe yang paling virulen dan dapat menyebabkan endemik, sedangkan tipe D tidak
menyebabkan infeksi pada manusia, dan dapat ditemukan pada hewan. 2
Pada virus influenza tipe A, terdapat klasifikasi lebih jauh berdasarkan karakteristik
glikoprotein pada selubungnya. Glikoprotein pada selubung virus adalah hemagglutinin
(HA) dan neuraminidase (NA). HA memediasi pengikatan virus dengan asam sialic pada
sel host sehingga virus dapat masuk kedalam sel, kemudian NA memecah asam sialic pada
sel host yang berakibat pada terlepasnya partikel virus baru setelah bereplikasi. Virus
influenza tipe A diketahui memiliki 16 subtipe HA, dan 9 subtipe NA. Hingga saat ini
subtype H1, H2, H3, N1, dan N2 sudah pernah menyebabkan endemik.2
Virus influenza disebarkan melalui sekresi respiratorik, dapat berupa aerosol dan
droplets, melalui batuk, bersin, atau kontak dengan benda yang sudah terkena aerosol.
Virus influenza menyerang sel epitel kolumnar bersilia pada saluran nafas, namun juga
dapat menyerang sel lain seperti makrofag, alveolar, maupun kelenjar mukus. Infeksi virus
influenza bersifat letal kepada sel dan merusak sel melalui proses apoptosis. Dalam waktu
singkat virus influenza dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan, dengan masa
inkubasi sekitar 18 hingga 72 jam tergantung dengan dosis inokulum.1,2
Secara klinis umumnya gejala muncul setelah 1 hingga 2 hasi masa inkubasi. Gejala
sistemik meliputi demam, meriang, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, dan anoreksia.
Gejala pada sistem pernafasan meliputi batuk kering, nyeri tenggorokan, hidung
tersumbat, dan adanya sekret. Virus nantinya akan berhenti bereplikasi 2 hingga 5 hari
setelah munculnya gejala awal dan akan membaik sejak saat itu.1,2

3) Parainfluenza
Virus parainfluenza merupakan virus RNA dari genus paramyxovirus, family
paramyxoviridae. Virus ini berukuran 150 hingga 200 nm, pleomorfik, dan berselubung.
Berbeda dengan virus influenza yang memiliki glikoproetin HA dan NA, pada parainfluenza
glikopretin memiliki 2 tipe: HN dan F. Glikoprotein HN memiliki fungsi dari dari
hemagglutinin dan neuraminidase, sedangkan glikoprotein F memfasilitasi masuknya
virus kedalam sel melalui aktivitas penyatuan membrane.1,2
Terdapat 4 tipe virus parainfluenza: tipe 1,2,3, dan 4. Tipe 3 dapat menyebabkan infeksi
pada bayi, sedangkan tipe 1,2, dan 4 dapat dicegah infeksinya oleh antibodi maternal.
Pada negara dengan 4 musim, virus parainfluenza tipe 1 dan 2 umumnya pandemik pada
musim gugur, tipe 3 pada musim semi, sedangkan data tipe 4 masih belum banyak
ditemukan.2
Secara klinis virus parainfluenza tipe 1 dan 2 menyebabkan laryngotracheobronchitis,
dengan karakter tipe 2 yang lebih ringan. Tipe 3 dapat mengakibatkan infeksi yang lebih
berat berupa pneumonia. tipe 4 menyebabkan infeksi sistemik yang ringan.2
Penyebaran virus parainfluenza umumnya melalui droplet, dengan masa inkubasi 3
hingga 6 hari. Virus parainfluenza akan terus bereplikasi hingga 8-10 hari. Karakteristik
unik dari infeksi virus parainfluenza adalah virus ini dapat menyerang epitel trakea
sehingga menyebabkan edema dan dihasilkannya eksudat saluran nafas. Akibatnya
adalah secara klinis dapat ditemukan batuk croup dan wheezing.1,2
4) Metapneumonia

human metapneumoviruses (hMPVs) merupakan virus pleomorfik seperti virus


paramyxovirus lainnya. Virus ini terkait erat dengan pneumovirus dengan sedikit
perbedaan pada nonstructural protein dan susunan dari genom RNAnya. Virologi dari
virus ini serupa dengan virus RSV. Glikoprotein pada amplop virus meliputi sulfhidril (SH),
protein F untuk fusi, dan protein G untuk perlekatan.1,2
Transmisi hMPV hingga saat ini masih belum diketahui, namun kemungkinan melalui
droplet seperti RSV. Pada anak, dapat ditemukan kondisi bronkioloitis yang lebih berat
akibat koinfeksi dari hMPV dan RSV pada saluran napas.1
Secara klinis infeksi hMPVs menimbulkan bronkiolitis umumnya pada anak-anak. Pada
pasien dewasa, dapat ditemukan tanda seperti common cold disertai kongesti nasal,
batuk croup, rinorrhea, dan suara serak.1

5) Respiratory Synctia Virus (RSV)


RSV merupakan virus RNA pleomorfik dari family paramyxoviridae berukuran 150
hingga 300 nm. Pada permukaannya terdapat protein F dan G, dimana protein F
memfasilitasi fusi membrane virus dengan host dan pembentukan syncytium, sedangkan
protein G berfungsi dalam sisipan virus terhadap sel host. Terdapat dua tipe virus RSV:
tipe A dan tipe B, yang dibedakan berdasarkan karakteristik dari protein G pada
permukaannya. Tipe A hingga saat ini diketahui menyebabkan infeksi yang lebih berat
dibandingkan tipe B.2
RSV merupakan penyebab infeksi virus terbanyak pada anak-anak dan dapat
mengganggu saluran nafas atau maupun bawah, sehingga dapat juga menyebabkan
pneumonia. Replikasi virus pada umumnya terjadi pada saluran nafas atas maupun
bawah. Pada anak dengan imunitas normal, viral shedding terjadi setelah 1 hingga 3
minggu masa replikasi. Secara klinis infeksi virus RSV menyebabkan hilangnya sel epitel
bersilia, nekrosis epitel bronkiolus, dan inflamasi peribronchial. Pathogenesis ini
menyebabkan menyempitnya saluran nafas dengan kolaps alveolus dan air trapping.2

Penelitian menunjukan bahwa kadar antibody serum RSV tidak secara signifikan
berhubungan dengan kekebalan tubuh pasien, namun kadar IgA pada mukosa hidung
berkorelasi dengan imunitas terhadap RSV pada orang dewasa. Untuk menghasilkan
kadar IgA yang tinggi pada mukosa dan serum diperlukan pajanan yang berulang.
Pertahanan cell mediated immunity sangat penting dalam mekanisme defensive virus ini,
sehingga gejala akan menjadi sangat berat pada pasien-pasien dengan imunokompromis2

6) Rhinovirus
Merupakan virus yang berasal dari genus Enterovirus, family picornaviridae.
Rhonovirus merupakan virus RNA berantai tunggal tanpa selubung dengan diameter 30
nm. Secara umum rhonovirus dikelompokkan kepada tiga genogrup: tipe A, B, dan C.
Sedangkan secara spesifik, tiga dari empat protein pada viral shell (VP1, VP2, VP3)
bereaksi berbeda-beda dengan antibody, menghasilkan lebih dari 100 tipe antigenic dari
Rhinovirus.1,2
Rhinovirus tersebar secara luas dan menyebabkan lebih banyak infeksi pada anak-
anak dibandingkan dewasa. Berdasarkan data penelitian US, infeksi Rhinovirus lebih
banyak ditemui pada awal musim gugur dan akhir musin semi. Sarana utama persebaran
rhinovirus adalah melalui udara dan kontak anak-anak di sekolah, yang kemudian dibawa
kembali ke rumah masing-masing. Penelitian menemukan bahwa penyebaran paling
efisien dari Rhinovirus adalah melalui implantasi virus ke hidung atau mata dari jari anak.
Rhinovirus mengalami masa inkubasi selama 2-7 hari, dengan gejala muncul 1 hari
setelahnya. Dosis kecil dari virus dikatakan dapat menyebabkan infeksi jika secara
langsung kontak ke hidung. Hal ini mengindikasikan bahwa mucocilliary clearance pada
hidung tidak efektif dalam melawan Rhinovirus, Walaupun virulensi tinggi dan
menyebabkan sekresi nasal, tidak ditemukan adanya kerusakan pada sel epitel hidung
yang signifikan, melainkan gejala klinis seperti selesma dan sekresi nasal adalah akibat
dari mediator inflamasi host.1,2
Secara klinis infeksi Rhinovirus menyebabkan selesma yang bervariasi keparahannya,
dari coryza dan gatal tenggorokan selama 1 hingga 2 hari, hingga rhinorrhea
berkepanjangan dan bronchitis. Pada umumnya infeksi Rhonovirus berlangsung selama 1
minggu, dan pada ¼ kasus dapat mencapai 2 minggu. Rhinovirus merupakan penyebab
nomor 2 pneumonia pada anak dan bayi, dan sering menyebabkan episode eksaserbasi
penyakit respirasi yang sudah ada. Gejala selesma umumnya lebih parah pada pasien
dengan riwayat atopi, dan sering menyebabkan eksaserbasi asma.2
Referensi

1. Lee FE, Treanor JJ. Viral infections. In: Broaddus VC, Mason RJ, Ernst JD, King TE,
Lazarus SC, Murray JF, et al (editors). Murray and Nadel's textbook of respiratory
medicine, 6th ed. Philadelphia: Saunders; 2016.
2. Loscalzo J, Harrison T. Harrison's Pulmonary and Critical Care Medicine, 2e. 17th
ed. New York: McGraw-Hill Publishing; 2010.

Anda mungkin juga menyukai