PERTEMUAN 5 :
HUKUM ASURANSI
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan tentang Hukum Asuransi: Pengertian Asuransi,
Pengaturan Asuransi, Prinsip Dasar Asuransi, Jenis-Jenis Asuransi,
Perjanjian Asurans... Anda harus mampu:
1.1 Memahami dan menjelaskan Pengertian Asuransi.
1.2 Memahami dan menjelaskan Pengaturan Asuransi.
1.3 Memahami dan menjelaskan Prinsip Dasar Asuransi.
1.4 Memahami dan menjelaskan Jenis-Jenis Asuransi.
1.5 Memahami dan menjelaskan Perjanjian Asuransi.
B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:
Pengertian Asuransi.
1
Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Isla Kontemporer,
(Bandung: Angkasa, 2005), hlm. 13.
2
Ibid
3
Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Resiko, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm. 1
dan sebagainya”.4
“Menurut Pasal 246 Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang-
Undang Perniagaan) bahwa “yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu
persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang
dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian,
yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu
peristiwa yang belum jelas akan terjadi.5 Menurut Fuad Mohd. Fachruddin
yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu perjanjian-peruntungan.
Sebelumnya beliau menjelaskan definisi asuransi menurut Kitab Undang-
Undang Perniagaan Pasal 246.6”
Sedangkan “menurut Undang-undang nomor 2 tahun 1992, asuransi
atau pertanggungan didefinisikan sebagai perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
di harapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
di derita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang di dasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.6
“Menurut Mustafa Ahmad Zarqa, makna asuransi secara istilah
adalah “kejadian”. Adapun “metodologi dan gambarannya dapat berbeda-
beda, namun pada intinya, asuransi adalah cara atau metode untuk
memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang
beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan
hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya”.7
Pada definisi di atas, “dalam kaitannya dengan asuransi jiwa, nyata
adanya suatu pembayaran yang di dasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang. Ini tidak berarti yang di asuransikan itu adalah jiwa atau
nyawanya, seolah-olah ada pertaruhan untuk mencari keuntungan antara
hidup dan mati. Kematian tidak dapat di prediksi kapan datangnya dan di
mana ia datang. Jiwa atau nyawa tidak dapat di bayar dengan nominal uang,
berapa pun besarnya. Namun kematian adalah suatu kepastian yang akan
terjadi pada setiap orang dan pasti membawa kerugian financial bagi ahli
waris yang ditinggalkan. Kerugian itu dapat di perkirakan dengan nominal
uang, walaupun bersifat relatif. Dalam konteks inilah asuransi dapat menjadi
alternatif untuk meminimalkan kerugian tersebut”.8
Menurut “Abdulkadir Muhammad”,9 berdasarkan “definisi tersebut dapat di
uraikan unsur-unsur asuransi atau pertanggungan sebagai berikut:
1) Unsur pihak-pihak
4
Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Karya Abditama, 2001), Cet. Ke-1,
hlm. 65.
5
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm. 307.
6
Khoiril Anwar, Asuransi Syariah Halal & Manfaat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), hlm. 5- 6.
7
Ibid, hlm. 29.
8
Ibid, hlm. 6.
9
Abdulkadir Muhammad, Ibid, hlm. 8
10
Abdulkadir Muhammad, Ibid, hlm. 135
A. Pengaturan Asuransi
a. Pengaturan dalam KUHD
Tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis asuransi.
(Abdulkadir Muhammad, 2006 : 18) Di dalam “KUHD pengaturan
mengenai asuransi dimuat dalam Buku I Bab dan 10 serta Buku II Bab 9
dan 10. Adapun ketentuan KUHD yang memuat pengaturan mengenai
kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;
2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko
yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan.
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang
terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan
atau Perusahaan Asuransi Jiwa”.
11
AM, Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 77
12
Ibid, hlm, 78
13
Ibid, hlm 84
17
Husain Husain Syahatah, Asuransi dalam Perspektif Syariah, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. ke-
1, hlm. 23.
Kewenangan berbuat ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat
objektif. Kewenangan subjektif artinya “sudah dewasa yakni mencapai 21
tahun atau sudah kawin walaupun belum 21 tahun ( Pasal 1330 KUHPdt),
sehat ingatan, tidak berada di bawah perwalian, atau pemegang kuasa yang
sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang
sah dengan objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaannya
sendiri”.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian,
prestasi yang wajib dipenuhi. Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah
“objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan
yang melekat pada pada harta kekayaan (asuransi kerugian), dapat pula
berupa jiwa dan raga manusia (asuransi jiwa). Objek perjanjian harus
ditentukan dengan jelas dan pasti. Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau
objek perjanjian ialah untuk kemungkinan pelaksanaan hak dan kewajiban
pihak-pihak”.
4. Suatu sebab yang halal (kausa yang halal)
Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang
mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-
undang ialah “isi perjanjian” yang menggambarkan tujuan yang hendak
dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak,
apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak
(Pasal 1337 KUHPdt)”.
Syarat pertama dan kedua di atas merupakan syarat subjektif dan syarat
ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif. Syarat subjektif jika tidak
dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan sedangkan syarat objektif jika tidak
dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
Terjadinya Perjanjian Asuransi
Untuk menyatakan kapan terjadinya perjanjian asuransi yang dibuat
oleh tertanggung dan penanggung itu terjadi dan mengikat kedua pihak “terdapat
2 (dua) teori perjanjian yaitu”:20
1) Teori Tawar-Menawar (bargaining theory)
“Menurut teori ini setiap perjanjian hanya akan terjadi antara kedua
pihak apabila penawaran (offer) dari pihak yang satu dihadapkan dengan
penerimaan (acceptance) oleh pihak lainnya dan sebaliknya. Hasil yang
diharapkan adalah kecocokan/kesesuaian penawaran dan penerimaan secara
timbal balik antara kedua pihak. Titik temu antara penawaran dan penerimaan
secara timbal balik menciptakan kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian
antara kedua pihak”.
2) Teori Penerimaan (acceptance theory)
“Menurut teori penerimaan, saat terjadi perjanjian tergantung pada
kondisi kongkret yang dibuktikan oleh perbuatan nyata (menerima) atau
dokumen perbuatan hukum (bukti penerimaan). Melalui perbuatan nyata atau
20
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002), hlm. 54.
C. SOAL LATIHAN/TUGAS
D. DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum
Isla Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005).
Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Resiko, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2005).
Khoiril Anwar, Asuransi Syariah Halal & Manfaat, (Solo: Tiga Serangkai,
2007).
AM, Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana,
2003).