BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uterus
A. Anatomi Uterus
Uterus merupakan organ muskular tempat berkembangnya fetus dan
mendapatkan nutrisi sampai pada akhirnya lahir. Uterus berbentuk seperti
buah pir terbalik yang berkedudukan di pelvis, dengan ovarium dan tuba
3,10
uterina dikedua sisinya, meluas ke bawah kedalam vagina. Uterus
berfungsi sebagai jalur untuk sperma mencapai tuba uterina agar bertemu
dengan ovum. Apabila tidak terjadi implantasi, uterus akan mengalami proses
mentruasi.2
B. Histologi Uterus
Secara histologis, uterus terdiri dari 3 lapisan jaringan yaitu perimetrium,
11
miometrium dan endometrium.
1. Perimetrium
Perimetrium merupakan lapisan luar uterus atau serosa merupakan
bagian dari perimetrium visceral yang tersusun atas epitel skuamus
simpleks dan jaringan ikat areolar.2
5
2. Miometrium
Lapisan tengah uterus atau miometrium terdiri dari 3 lapisan serat
otot polos yang tebal didaerah fundus dan menipis didaerah serviks,
dipisahkan oleh untaian tipis jaringan ikat interstitial dengan banyak
pembuluh darah. Selama proses persalinan dan melahirkan, akan terjadi
sebuah koordinasi kontraksi otot miometrium dalam merespon hormon
oksitoksin yang berasal dari hipofisis posterior yang berfungsi membantu
mengeluarkan janin dari uterus.2
3. Endometrium
Lapisan dalam uterus atau endometrium merupakan lapisan yang
kaya akan pembuluh darah memiliki 3 komponen, yaitu epitel kolumner
simpleks bersilia dan bergoblet, kelenjar uterina yang merupakan
invaginasi dari epitel luminal yang kemudian meluas hampir ke
miometrium, dan stroma endometrium. Endometrium terbagi menjadi 2
lapisan yaitu, stratum fungsional dan stratum basal.11 Stratum fungsional
merupakan lapisan melapisi rongga uterus dan luruh ketika menstruasi.
Sedangkan stratum basalis merupakan lapisan permanen yang fungsinya
akan membentuk sebuah lapisan fungsional yang baru setelah mentruasi.2
1. Pemeriksaan HCG
Mola jinak jika sudah dikeluarkan dan titer HCG
setelah menurun lalu kembali tinggi, atau bertahan 2-3
minggu atau bertahan 8-12 minggu tidak kembali ke
normal, harus difikirkan sudah berkembang menjadi
mola invasif.
2. USG
Dapat lokalisasi lesi, pada lesi stadium dini dapat
terlihat bintik cahaya atau bola cahaya pada uterus, pada
stadium lanjut pada dinding uterus tampak area eko
ireguler berukuran tak beraturan.
3. Histerografi Lipiodol
Tampak tepi dinding uterus tidak teratur, lipiodol
masuk ke lapisan otot, membantu diagnosis mola
invasif.
4. Arteriografi kavum pelvis
Dapat tampak arteri uterina elongasi berkelok-kelok,
lokasi lesi kaya akan sinus sanguineus, fase vena muncul
lebih awal, waktu retensi kontras memanjang. Didalam
sinus sanguineus terdapat defek pengisian berbentuk
bulat atau setengah bulat.3
2. Koriokarsinoma
Koriokarsinoma adalah suatu penyakit keganasan yang
ditandai dengan hiperplasia trofoblastik abnormal dan
anaplasia, ketidakadaan vili korion, perdarahan, dan nekrosis,
dengan invasi langsung ke miometrium dan invasi vaskular
yang mengakibatkan penyebaran ke tempat-tempat yang jauh,
paling sering ke paru, otak, hati, pelvis dan vagina, ginjal, usus,
dan limpa.3
a. Etiologi
Koriokarsinoma dapat terjadi sekunder terhadap mola hidatidosa
ataupun mola invasi atau juga dapat terjadi secara sekunder terhadap
10
partus normal atau aborsi. Faktor yang terkait dengan etiologi sama
dengan mola hidatidosa.3
b. Patologi
Uterus membesar tidak beraturan, lunak, tumor soliter ataupun
multipel, berupa tumor dengan perdarahan, menginvasi dengan
derajat bervariasi, ke dalam dinding uterus, dapat membentuk massa
hemoragic disubserosa, tampak sebagai nodul berwarna biru
tengguli, tumor sering mengalami nekrosis dan infeksi. Tumor ini
tidak memiliki interstisium maka konstitensinya lunak dan rapuh.
Gambaran mikroskopis yang khas pada tumor ini adalah masa
tumbuh cepat yang menginvasi miometrium dan pembuluh darah
disertai perdarahan masif dan nekrosis. Pada koriokarsinoma yang
berdiferensiasi baik sel trofoblast sinsitial relatif jelas morfologinya,
tapi berdiferensiasi buruk, kedua jenis sel tidak mudah dibedakan.
Sel trofoblas berdiferensiasi buruk lebih besar 2-3 kali dibandingkan
sel trofoblas korionik normal, kemudian memiliki nukleolus, tampak
makrofag, mitosis yeng jelas, tak ada struktur korion.
Secara mikroskopis, terlihat kolom- kolom dan lembaran
lembaran sel trofoblastik yang menembus otot dan pembuluh darah. 3
c. Manifestasi Klinis
1) Perdarahan abnormal pervaginam :gejala yang sering ditemukan,
setelah pembersihan mola, atau pasca aborsi, partus aterm, bisa
11
d. Diagnosis
1) Klinis :
Bila selama follow up ditemukan distorsi dari kurva regresi
B-hCG sebelum minggu ke-12, atau kenaikan lagi setelah
pernah mencapai kadar normal, kemungkinan adanaya
keganasan sudah dapat dipikirkan, hanya saja tidak langsung
disebut sebagai Koriokarsinoma, melainkan Persistent
Trophoblastic Disease (PTD), karena tidak dilakukan
pemeriksaan PA.
2) Pemeriksaan laboratorium :
Adanya peninggian kadar B-hCG
Sebaiknya setiap kasus Koriokarsinoma, diperiksa juga T3,
T4, dan TSH sehunbungan dengan adanya penyulit
tirotoksikosis. (16)
3) USG :
Biasanya akan tampak masa kompleks dengan disertai
adanya neovaskularisasi kadang dapat juga menunjukkan
adanya ancaman perforasi.3
3. Placental Sit e Trophoblastic Tum or (PSTT)
PSTT adalah suatu penyakit yang sangat jarang yang timbul
dari tempat implantasi plasenta dan terutama terdiri dari trofoblas
12
E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksaan PTG risiko rendah
PTG risiko rendah, di mana skor WHO kurang atau sama
dengan 6 pada FIGO stadium I-III. Hampir seluruh pasien risiko
rendah diterapi dengan kemoterapi agen tunggal dengan MTX atau
Act-D. Kemoterapi agen tunggal menunjukkan 50-90% kasus
remisi. Terdapat variasi dalam dosis, frekuensi, dan rute pemberian
kemoterapi. Pasien yang gagal pada terapi lini pertama, biasanya
disebabkan resistensi, dapat dilanjutkandengan lini kedua bahkan
lini ketiga, dengan survival sampai 100%.
Rejimen kemoterapi agen tunggal
Berikut ini berbagai macam rejimen pemberian kemoterapi
agen Tunggal. Kriteria PTG risiko rendah adalah Skor WHO ≤6.
Stadium FIGO I, II, dan III. Diberikan kemoterapi tunggal (single
agent).
a. Metotreksat 0,4 mg/kg intramuskular selama 5 hari, berulang
setiap 2 minggu. Ini adalah satu dari protokol konvensional
pada PTG dan masih digunakan di Universitas Yale. Rejimen
kemoterapi ini masih merupakan protokol standar di Chicago,
di mana obat ini digunakan secara intravena. Angka kegagalan
11-15% untuk penyakit non metastasis dan 27-33% untuk
penyakit dengan metastasis (Level of evidence C).
b. Metotreksat dengan selingan pemberian leukovorin.
Metotreksat 50 mg secara intramuskular atau 1mg/kgBB 4
dosis diselingi leukovorin 15 mg atau 0,1 mg/kgBB 24-30 jam
setelah setiap dosis metotreksat. Protokol ini paling banyak
dianut di Inggris dan Amerika dengan angka kegagalan 20-
25% (Level of evidence C).
c. Metotreksat 50mg/m2 intramuskular yang diberikan setiap
minggu. Regimen ini berhubungan dengan angka kegagalan
sebanyak 30%. Bila terjadi kegagalan, diberikan metotreksat
0,4 mg/kg intramuskular untuk 5 hari. Rejimen ini dapat
17
Kriteria PTG risiko tinggi adalah Stadium FIGO I, II, III dengan
Skor WHO ≥ 7 atau Stadium 4.
Pasien dengan risiko tinggi diterapi dengan kombinasi
kemoterapi yaitu EMA-CO sebagai terapi primer. EMA-CO adalah
Etoposide, Metotrexate dengan Leucovorin dan Actinomycin,
pemberian pada hari kesatu dan kedua, sedangkan Cyclophospamide
dan Vincristine (Oncovin) diberikan pada hari ke delapan. Sejauh ini,
terapi kombinasi macam ini lebih dapat diterima dan efek toksiknya
lebih rendah dibanding kemoterapi Metotrexate, Actinomycin, dan
Cytoxan (MAC)-C sebenarnya adalah Chlorambucil. EMA-CO juga
telah mendesak keberadaan regimen Bagshawe II. Namun, beberapa
senter kembali menggunakan MAC karena risiko EMA-CO berupa
leukemia yang terjadi setelah lebih dari enam kali pemberian.
Pasien harus dimonitor ketat dan pemberian EMA-CO diulangi
sampai terjadi remisi. Neupogen biasanya diberikan untuk
mempertahankan sel darah putih.
Kemoterapi tetap diberikan dua sampai tiga seri setelah bila hCG
tidak terdeteksi pertama kali. Kadar hCG yang negatif menandakan
bahwa jumlah keberadaan sel-sel ganas dalam tubuh kurang dari 100
juta sel.
Fokus metastatik tertentu membutuhkan terapi spesifik.
Contohnya pada lesi di otak diterapi dengan meningatkan dosis
Metotrexate sampai 1g/m2 di protokol EMA-CO. Tergantung dari
besar dan jumlah metastase pada otak, pasien dapat diterapi dengan
radiasi sebesar 25-30 grey atau dilakukan eksisi. Pasien dengan
metastase pada liver dapat dilakukan radiasi sebesar 20 grey atau infus
arteri hepar. Radiasi ini digunakan untuk mencegah perdarahan yang
hebat bukan sekedar untuk mengontrol penyakitnya.
Pasien yang resisten dengan EMA-CO atau multiagen
kemoterapi yang lain bisa diterapi dengan protokol EMA-EP. Protokol
ini adalah EMA ditambah dengan Etoposide dan Platinum, untuk kasus
yang resisten pada EMA-EP, Taxol dengan Cisplatin alternating
20
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA