Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit trofoblastik gestasional (PTG) adalah suatu spektrum dari


dua kondisi premaligna yaitu; partial mola hidatidosa dan complete mola
hidatidosa, hingga tiga kondisi tumor ganas yaitu; invasive mola,
koriokarsinoma gestasional, dan placental site hrophoblastic tumor
(PSTT) yang nantinya ketiga keadaan ini lebih dikenal dengan neoplasia
trofoblastik gestasional.1
Jaringan trofoblastik gestasional terbentuk dari sel perifer
blastokista beberapa hari setelah konsepsi. Jaringan tersebut dibagi
menjadi 2 lapisan yaitu; lapisan luar sinsitiotrofoblas yang
dibentuk oleh sel-sel besar multinucleated dan lapisan dalam dari sel
mononuclated yang membentuk sitotrofoblas. Sinsitiotrofoblas
menginvasi endometrium secara agresif membentuk suatu hubungan
antara fetus dan ibu yang dikenal sebagai plasenta.
Normalnya pertumbuhan trofoblas diatur secara ketat oleh
mekanisme yang belum bisa ditentukan untuk mencegah perkembangan
metastasis lebih lanjut. Penyakit trofoblastik gestasional ganas muncul
ketika mekanisme pengontrol ini gagal, menghasilkan invasi dari
jaringan trofoblas yang mencapai miometrium, yang mengizinkan
penyebaran secara hematogen dan pembentukan emboli tumor.1
Penyakit trofoblastik gestasional relatif jarang didiagnosis, insidensi
lebih tinggi (lebih dari 1 dalam 300 kehamilan) pada beberapa populasi
seperti; Brazil, Filipina, dan suku asli Indian Amerika. Dalam bab
selanjutnya akan dibahas lebih detail mengenai definisi, klasifikasi,
etiologi, patofisiologi, diagnosis, dan penanganan dari penyakit
trofoblastik gestasional.1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uterus
A. Anatomi Uterus
Uterus merupakan organ muskular tempat berkembangnya fetus dan
mendapatkan nutrisi sampai pada akhirnya lahir. Uterus berbentuk seperti
buah pir terbalik yang berkedudukan di pelvis, dengan ovarium dan tuba
3,10
uterina dikedua sisinya, meluas ke bawah kedalam vagina. Uterus

berfungsi sebagai jalur untuk sperma mencapai tuba uterina agar bertemu
dengan ovum. Apabila tidak terjadi implantasi, uterus akan mengalami proses
mentruasi.2

Gambar 1. Uterus dilihat dari posterior


3

Uterus terletak diantara vesica urinaria dan rectum, berbentuk


seperti buah pir terbalik. Uterus pada wanita yang belum pernah hamil
biasanya berukuran sekitar 7,5 cm (panjang), 5 cm (lebar), dan 2,5 cm
(tebal). Uterus terdiri dari fundus uteri, corpus uteri dan serviks uteri.
Biasanya uterus berada dalam posisi antefleksi.2

Gambar 2. Uterus potongan frontal dilihat dari anterior.

Uterus mendapatkan pendarahan dari arteri uterina yang merupakan


cabang dari arteri iliaka interna. Arteri uterina kemudian mempercabangkan
arteri arkuata di ligamentum latum yang akan melingkari miometrium.
Arteri ini kemudian akan membentuk arteri radialis yang akan menembus
kedalam miometrium. Tepat sebelum masuk ke endometrium, cabang
tersebut membagi diri menjadi 2 jenis arteri yaitu arteri lurus (arteri recta)
dan arteri spiralis. Arteri lurus akan mensuplai darah ke lapisan basal
endometrium, sedangkan arteri spiralis akan mensuplai darah ke stratum
fungsional endometrium dan akan luruh ketika siklus menstruasi karena
peka terhadap perubahan hormon. Darah akan meninggalkan uterus
melewati vena iliaka internal. Pasokan darah untuk uterus sangat penting
4

untuk pertumbuhan kembali stratum fungsional endometrium setelah


menstruasi, implatasi dan perkembangan plasenta.2

B. Histologi Uterus
Secara histologis, uterus terdiri dari 3 lapisan jaringan yaitu perimetrium,
11
miometrium dan endometrium.

Gambar 3. (a) Potongan transversal dinding uterus: minggu ke-


2 siklus menstruasi (kiri) dan minggu ke-3 siklus menstruasi
(kanan); dan (b) Endometrium.

1. Perimetrium
Perimetrium merupakan lapisan luar uterus atau serosa merupakan
bagian dari perimetrium visceral yang tersusun atas epitel skuamus
simpleks dan jaringan ikat areolar.2
5

2. Miometrium
Lapisan tengah uterus atau miometrium terdiri dari 3 lapisan serat
otot polos yang tebal didaerah fundus dan menipis didaerah serviks,
dipisahkan oleh untaian tipis jaringan ikat interstitial dengan banyak
pembuluh darah. Selama proses persalinan dan melahirkan, akan terjadi
sebuah koordinasi kontraksi otot miometrium dalam merespon hormon
oksitoksin yang berasal dari hipofisis posterior yang berfungsi membantu
mengeluarkan janin dari uterus.2
3. Endometrium
Lapisan dalam uterus atau endometrium merupakan lapisan yang
kaya akan pembuluh darah memiliki 3 komponen, yaitu epitel kolumner
simpleks bersilia dan bergoblet, kelenjar uterina yang merupakan
invaginasi dari epitel luminal yang kemudian meluas hampir ke
miometrium, dan stroma endometrium. Endometrium terbagi menjadi 2
lapisan yaitu, stratum fungsional dan stratum basal.11 Stratum fungsional
merupakan lapisan melapisi rongga uterus dan luruh ketika menstruasi.
Sedangkan stratum basalis merupakan lapisan permanen yang fungsinya
akan membentuk sebuah lapisan fungsional yang baru setelah mentruasi.2

2.2 Tumor Gestasional Trofoblast


A. Gambaran Umum
Penyakit trofoblas gestasional atau Gestational trophoblastic
disease (GTD) merupakan sebuah spektrum tumor-tumor plasenta
terkait kehamilan, termasuk mola hidatidosa, mola
invasif, placental-site trophoblastic tumor dan koriokarsinoma,
yang memiliki berbagai variasi lokal invasi dan metastasis.
Menurut FIGO, 2006 istilah Gestational trophoblastic
neoplasia (GTN) atau Penyakit tropoblas ganas (PTG)
menggantikan istilah istilah yang meliputi chorioadenoma
destruens, metastasizing mole, mola invasif dan koriokarsinoma.1
Molahidatidosa, berdasarkan morfologi, histopatologi dan
kariotyping dibedakan menjadi molahidatidosa komplet dan
molahidatidosa parsial. Sejumlah 15-28% molahidatidosa
6

mengalami degenerasi keganasan menjadi PTG. Diagnosis PTG


dapat ditegakkan berdasarkan diagnosis klinik dengan atau tanpa
histologi. Diagnosis PTG ditetapkan dengan pemeriksaan klinis
dan pemeriksaan kadar β HCG. Banyak kriteria diagnosis untuk
menegakkan PTG. Pemeriksaan histologi seringkali tidak
dimungkinkan karena penderita pada umumnya berusia muda yang
masih membutuhkan fungsi organ reproduksi.1
B. Patofilogi
Kehamilan molahidatidosa dan penyakit trofoblas ganas berasal
dari trofoblas plasenta. Molahidatidosa merupakan lesi prekursor pada
beberapa keganasan trofoblas. Kajii et al dan Lawler dkk, menunjukkan
bahwa pada kasus molahidatidosa lebih banyak ditemukan kelainan
keseimbangan translokasi dibandingkan dengan populasi normal (4,6%
dan 0,6%). Ada kemungkinan pada wanita dengan kelainan sitogenetik
seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan proses meiosis berupa
nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau
yang intinya tidak aktif. Banyak teori yang disebutkan tentang
patogenesis molahidatidosa komplit, yaitu:
1. Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran
darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed abortion),
sehinggga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim vili dan
terbentukah kista-kista yang makin lama makin besar, sampai akhirnya
terbentuklah gelembung mola, sedangkan proliferasi trofoblas
merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi.
2. Park, mengatakan bahwa yang etiologi primer adalah adanya jaringan
trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun
neoplasi. Bentuk yang abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang
abnormal. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya
menyebabkan kematian embrio.
3. Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik
umumnya kehamilan molahidatidosa komplit terjadi karena sebuah
ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak berfungsi,
7

dibuahi oleh sperma yang mengandung haploid 23 X, terjadilah hasil


konsepsi dengan kromosom 23 X, yang kemudian mengadakan
duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK bersifat homozigot,
wanita dan berasal dari bapak (androgenetik). Jadi tidak ada unsur ibu
sehingga disebut Diploid Androgenetik.
C. Klasifikasi
1. Mola Hidatidosa Invasif
Mola hidatidosa invasif disebut juga sebagai molahidatidosa
ganas. Jaringan patologis menginvasi lapisan otot uterus atas
menginvasi lapisan otot uterus atau metastasis ke organ dekat
ataupun jauh, menimbulkan destruksi jaringan organ tersebut
sehingga menimbulkan manifestasi yang sesuai. Mola invasif
lebih sering didiagnosis secara klinis daripada patologi
berdasarkan kenaikan hCG yang menetap setelah evakuasi mola
dan lebih sering diobati dengan kemoterapi tanpa diagnosis
histopatologi.3

Gambar 4. Mola Invasif

Mola invasive dengan ekstensi langsung jaringan mola,


termasuk hydropic vili, dan hiperplastik trofoblas yang
meliputi myometrium.
a. Patologi
8

Karakteristik mola invasif adalah jaringan mola


meninvasi lapisan otot uterus atau timbul metastasis ke
bagian lagian. Dasar diagnosis adalah harus menemukan
korion atau bayangan korion yang sudah regresi, sel
trofoblas dapat mengalami hiperplasia bervariasi, terdapat
invasi lapisan otot uterus atau metastasis ekstrauterina.3
b. Manifestasi Klinis
1. Perdarahan Pervaginam
Pasca pengeluaran mola sekitar 2 bulan timbul
perdarahan pervaginam ireguler, tapi ada kalanya tanpa
perdarahan pervaginam, sebabnya mungkin adalah
karena didalam uterus sendiri sudah tidak terdapat lesi,
lesi terletak dalam kedalam lapisan otot uterus, mukosa
cavum uteri intak, lesi sangat kecil.3
2. Hemoptisis
Sering karena metastasis paru. Fluoroskopi, rontgen
atau CT Scan Thoraks tampak bayangan metastasis paru
sering kali lesi berbentuk kapas tipis.
3. Nyeri abdomen
Ketika masa uterus membesar, timbul massa
abdomen, bila lesi menembus lapisan serosa dapat
timbul nyeri, nyeri tekan setempat, bahkan dapat timbul
perdarahan, syok. Kista lutein bila mengalami torsi
tangkainya juga dapat timbul abdomen akut.
4. Gejala lain
Lesi metastatik menimbulkan gejala akibat destruksi
pada organ, jaringan bersangkutan, jika metastasis ke
otak timbul nyeri kepala, mual, muntah, hemuparesi dan
gejala lain.3
c. Diagnosis
Terdapat riwayat hamil anggur, ketika diperiksa
ditemukan HCG meninggi
9

1. Pemeriksaan HCG
Mola jinak jika sudah dikeluarkan dan titer HCG
setelah menurun lalu kembali tinggi, atau bertahan 2-3
minggu atau bertahan 8-12 minggu tidak kembali ke
normal, harus difikirkan sudah berkembang menjadi
mola invasif.
2. USG
Dapat lokalisasi lesi, pada lesi stadium dini dapat
terlihat bintik cahaya atau bola cahaya pada uterus, pada
stadium lanjut pada dinding uterus tampak area eko
ireguler berukuran tak beraturan.
3. Histerografi Lipiodol
Tampak tepi dinding uterus tidak teratur, lipiodol
masuk ke lapisan otot, membantu diagnosis mola
invasif.
4. Arteriografi kavum pelvis
Dapat tampak arteri uterina elongasi berkelok-kelok,
lokasi lesi kaya akan sinus sanguineus, fase vena muncul
lebih awal, waktu retensi kontras memanjang. Didalam
sinus sanguineus terdapat defek pengisian berbentuk
bulat atau setengah bulat.3
2. Koriokarsinoma
Koriokarsinoma adalah suatu penyakit keganasan yang
ditandai dengan hiperplasia trofoblastik abnormal dan
anaplasia, ketidakadaan vili korion, perdarahan, dan nekrosis,
dengan invasi langsung ke miometrium dan invasi vaskular
yang mengakibatkan penyebaran ke tempat-tempat yang jauh,
paling sering ke paru, otak, hati, pelvis dan vagina, ginjal, usus,
dan limpa.3
a. Etiologi
Koriokarsinoma dapat terjadi sekunder terhadap mola hidatidosa
ataupun mola invasi atau juga dapat terjadi secara sekunder terhadap
10

partus normal atau aborsi. Faktor yang terkait dengan etiologi sama
dengan mola hidatidosa.3
b. Patologi
Uterus membesar tidak beraturan, lunak, tumor soliter ataupun
multipel, berupa tumor dengan perdarahan, menginvasi dengan
derajat bervariasi, ke dalam dinding uterus, dapat membentuk massa
hemoragic disubserosa, tampak sebagai nodul berwarna biru
tengguli, tumor sering mengalami nekrosis dan infeksi. Tumor ini
tidak memiliki interstisium maka konstitensinya lunak dan rapuh.
Gambaran mikroskopis yang khas pada tumor ini adalah masa
tumbuh cepat yang menginvasi miometrium dan pembuluh darah
disertai perdarahan masif dan nekrosis. Pada koriokarsinoma yang
berdiferensiasi baik sel trofoblast sinsitial relatif jelas morfologinya,
tapi berdiferensiasi buruk, kedua jenis sel tidak mudah dibedakan.
Sel trofoblas berdiferensiasi buruk lebih besar 2-3 kali dibandingkan
sel trofoblas korionik normal, kemudian memiliki nukleolus, tampak
makrofag, mitosis yeng jelas, tak ada struktur korion.
Secara mikroskopis, terlihat kolom- kolom dan lembaran
lembaran sel trofoblastik yang menembus otot dan pembuluh darah. 3

Gambar 5. Gambaran mikroskopis Koriokarsinoma

c. Manifestasi Klinis
1) Perdarahan abnormal pervaginam :gejala yang sering ditemukan,
setelah pembersihan mola, atau pasca aborsi, partus aterm, bisa
11

timbul perdarahan pervaginam kontinu atau intermiten tak


beraturan. Perdarahan ini dapat menyebabkan anemia dan syok
2) Pemeriksaan ginekologi di dalam vagina dapat tampak sekret
sanguineus yang kama berbau busuk, uterus membesa dan lunak.
Bentuk tak beraturan arteri uterina dapat berdenyut menonjol,
terkadang teraba kista lutein ovari. Bila lesi uterus menembus
tunika serosa uteri dapat timbul perdarahan akut peritoneal dan
menyebabkan gejala seperti abdomen akut. Gejala dan tanda fisik
akibat metastasis yaitu dapat metastasis ke lokasi lain, sesuai
lokasi.3

d. Diagnosis
1) Klinis :
 Bila selama follow up ditemukan distorsi dari kurva regresi
B-hCG sebelum minggu ke-12, atau kenaikan lagi setelah
pernah mencapai kadar normal, kemungkinan adanaya
keganasan sudah dapat dipikirkan, hanya saja tidak langsung
disebut sebagai Koriokarsinoma, melainkan Persistent
Trophoblastic Disease (PTD), karena tidak dilakukan
pemeriksaan PA.
2) Pemeriksaan laboratorium :
 Adanya peninggian kadar B-hCG
 Sebaiknya setiap kasus Koriokarsinoma, diperiksa juga T3,
T4, dan TSH sehunbungan dengan adanya penyulit
tirotoksikosis. (16)
3) USG :
 Biasanya akan tampak masa kompleks dengan disertai
adanya neovaskularisasi kadang dapat juga menunjukkan
adanya ancaman perforasi.3
3. Placental Sit e Trophoblastic Tum or (PSTT)
PSTT adalah suatu penyakit yang sangat jarang yang timbul
dari tempat implantasi plasenta dan terutama terdiri dari trofoblas
12

mononuklear intermediet tanpa infiltrasi vili korion di dalam


lembaran-lembaran atau tali-tali antara serat-serat myometrial.
PSTT berhubungan dengan invasi vaskular yang kurang, nekrosis,
dan perdarahan yang lebih dari koriokarsinoma, dan memiliki
kecenderungan untuk bermetastase ke sistem limfatik.4
a. Manifestasi Klinis
1. Pasca hamil mola, aborsi ataupun partus aterm timbul
amenore dan perdarahan ireguler pervaginam, masa amenore
bervariasi dalam 1 bulanhingga 1 tahun.
2. Uterus membesar dengan derajar bervariasi.
3. Ada kalanya pasien disertai sindrom nefrotik.
b. Gambaran Patologi
Uterus membesar, tumor tumbuh polipoid, berwarna kuning
keputihan, konsistensi lunak, menonjol kedalam rongga uteri,
dapat menginvasi lapisan otor uteri, atau menembus tunika
serosa, di area lesi terdapat fokus perdarahan kecil. Tumor
terutama terbentuk dari sel trofoblas intermediet, bentuk sel
bundar, poligonal atau spindel, sitoplasma banyak,
metakromatik. Inti sel umumnya tunggal, bervariasi ukuran dan
bentuknya, rata-rata 2 buah per 10 lapamg pandang besar. Invasi
tumor ke lapisan otot memiliki kekhasan, yaitu sel tumor tampak
berbentuk sebaran tunggal, korda dan volium kecil menginvasi
menelusuri interfasikuli otot uteri, serabut otot polos umumnya
intak, diantara sel tumor timbul zat fibrinogen homogen atau
terdapat invasi vaskular bervariasi, dapat ditemukan fokus kecil
perdarahan. Endometrium tampak bereaksi desidual, tak tampak
struktur vili.4
13

Gambar 8. Placental site trophoblastic tumor

Placental site trophoblastic tumor dengan lembaran


mononuclear intermediate trophoblast cells tanpa chorionic villi
yang menginfiltrasi diantara serat myometrial.
c. Tatalaksana
1.Tumor terbentuk dari sel trofoblas intermediat, relatif kurang sensitif
terhadap kemoterapi, tapi sebagian pasien menunjukan efektifitas
tertentu terhadap obat. Dapat dipertimbangkan memakai rejimen
EMA/CO ( Etoposid, MTX, Act-D / CTX dan VCR)
2.Karena tumor kurang peka terhadap kemoterapi, maka eksisi memiliki
makna penting. Untuk lesi terbatas pada uterus, dan tidak ada
kebutuhan akan reproduksi atau efek kemoterapi tidak baik, dapat
dilakukan histerektomi.3
4. Epithelioi d trophoblastic tumor (ET T)
Epithelioid trophoblastic tumor (ETT) adalah varian jarang dari
PSTT yang menstimulasi karsinoma. Berdasarkan sifat morfologi
dan histokimia, kelihatannya ini berkembang dari transformasi
neoplastik trofoblas intermediet tipe korionik. Sebagian besar ETT
timbul beberapa tahun setelah persalinan aterm.4 Secara
mikroskopis tumor ini mirip dengan tumor trofoblastik tempat
plasenta tetapi sel-selnya lebih kecil dan tidak banyak
mempertihatkan polimorfisme nukleus. Secara makroskopis, tumor
14

tumbuh lebih secara nodular dibandingkan dengan pola infiltrat


pada tumor trofoblastik tempat plasenta. Histerektomi adalah
metode primer pengobatan.4
D. Diagnosis
Staging klinik menurut Hammond menyatakan PTG terbagi 2
yaitu PTG tidak bermetastasis dan PTG bermetastasis. PTG
bermetastasis terbagi risiko rendah dan risiko tinggi. Faktor risiko
tinggi bila kadar HCG urin >100.000 u/ml atau kadar HCG serum
>40.000 u/ml, interval lebih dari 4 bulan, bermestastasis ke otak atau
hati, kegagalan kemoterapi sebelumnya, kehamilan sebelumnya
adalah kehamilan aterm.1
Sedangkan menurut The International Federation of Gynecology
and Oncology (FIGO) menetapkan beberapa kriteria yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis PTG yaitu:
1. Menetapnya kadar Beta HCG pada empat kali penilaian dalam 3
minggu atau lebih (misalnya hari 1,7, 14 dan 21)
2. Kadar Beta HGC meningkat >10% pada tiga pengukuran berturut-turut
setiap minggu atau lebih (misalnya hari 1,7 dan 14)
3. Tetap terdeteksinya kadar Beta HCG sampai 6 bulan atau lebih
4. Kriteria histologist untuk korioarsinoma.4
Stadium dan Skoring Prognosis
Pembagian staging FIGO 1982 bersifat sederhana, mengacu pada hasil
pemeriksaan klinis dan pencitraan, misalnya foto thorak.
Tabel 1. Staging klinis menurut FIGO
15

Tabel 2. Skoring faktor risiko menurut FIGO (WHO) dengan staging


FIGO

Ada beberapa sistem yang digunakan untuk mengkategorikan penyakit


trofoblas ganas. Semua sistem mengkorelasikan antar gejala klinik pasien dan
risiko kegagalan pada kemoterapi. Perhitungang faktor prognostic dengan
skor 0-6 dianggap sebagai pasien dengan resiko rendah, sedangkan dengan
skor >7 maka dianggap sebagai beresiko tinggi.4
16

E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksaan PTG risiko rendah
PTG risiko rendah, di mana skor WHO kurang atau sama
dengan 6 pada FIGO stadium I-III. Hampir seluruh pasien risiko
rendah diterapi dengan kemoterapi agen tunggal dengan MTX atau
Act-D. Kemoterapi agen tunggal menunjukkan 50-90% kasus
remisi. Terdapat variasi dalam dosis, frekuensi, dan rute pemberian
kemoterapi. Pasien yang gagal pada terapi lini pertama, biasanya
disebabkan resistensi, dapat dilanjutkandengan lini kedua bahkan
lini ketiga, dengan survival sampai 100%.
 Rejimen kemoterapi agen tunggal
Berikut ini berbagai macam rejimen pemberian kemoterapi
agen Tunggal. Kriteria PTG risiko rendah adalah Skor WHO ≤6.
Stadium FIGO I, II, dan III. Diberikan kemoterapi tunggal (single
agent).
a. Metotreksat 0,4 mg/kg intramuskular selama 5 hari, berulang
setiap 2 minggu. Ini adalah satu dari protokol konvensional
pada PTG dan masih digunakan di Universitas Yale. Rejimen
kemoterapi ini masih merupakan protokol standar di Chicago,
di mana obat ini digunakan secara intravena. Angka kegagalan
11-15% untuk penyakit non metastasis dan 27-33% untuk
penyakit dengan metastasis (Level of evidence C).
b. Metotreksat dengan selingan pemberian leukovorin.
Metotreksat 50 mg secara intramuskular atau 1mg/kgBB 4
dosis diselingi leukovorin 15 mg atau 0,1 mg/kgBB 24-30 jam
setelah setiap dosis metotreksat. Protokol ini paling banyak
dianut di Inggris dan Amerika dengan angka kegagalan 20-
25% (Level of evidence C).
c. Metotreksat 50mg/m2 intramuskular yang diberikan setiap
minggu. Regimen ini berhubungan dengan angka kegagalan
sebanyak 30%. Bila terjadi kegagalan, diberikan metotreksat
0,4 mg/kg intramuskular untuk 5 hari. Rejimen ini dapat
17

diganti dengan aktinomisin-D 12mikrogram/kg selama 5 hari


(Level of evidence C).
d. Aktinomisin-D 1,25 mg/m2 secara intravena selama 2 minggu.
Protokol ini memiliki angka kegagalan sebesar 20%. Protokol
ini dapat menjadi alternatif mingguan dengan protokol
metotreksat. Aktinosmisin D dapat menyebabkan kulit
terkelupas bila terinfiltrasi ke kulit dan harus diinjeksi via
infus intravena yang baru. Bila terdapat ekstravasasi, area ini
harus diinfiltrasi dengan hidrokortison 100 mg dan lidokain 2
mL.
e. Aktinomisin-D 12 mikrogram/kg yang diberikan secara
intravena atau 0,5 mg secara intravena setiap hari selama 5
hari, diulangi setiap 2 minggu. Protokol ini adalah alternatif
untuk protokol metotreksat selama 5 hari. Protokol ini dapat
digunakan pada pasien yang memiliki gangguan hepatik.
Angka kegagalan ditemukan sebesar 8%.
f. Metotreksat 250 mg drips selama 12 jam. Kemoterapi ini
adalah dengan leucovorin, aktimosiin D, yang diberikan pada
hari 1 dan 2 serta siklofosfamid dan vinkristin (Oncovin) yang
diberikan pada hari 8). Regimen ini memiliki angka kegagalan
sebesar 30% (Level of evidence C).bagaian metotreksat pada
protokol EMA-CO (etoposide, metotreksat)
Bila regimen diatas tidak berespon, hal ini dikarenakan
ketidakcukupan pajanan sel selama siklus pemberian obat
kemoterapi, tidak mencapai kadar efektif obat di sirkulasi.
Dapat digunakan metotreksat 0,4 mg/kg setiap hari selama 4
hari atau aktinomisin D 12 mikogram/kg selama 5 hari.
 Kemoterapi konsolidasi
Setelah nilai β-hCG mencapai normal, setidaknya dibutuhkan
tambahan 2 siklus kemoterapi lagi (3 siklus kemoterapi
konsolidasi), karena tidak terdeteksinya β-hCG di serum
18

menunjukkan bahwa jumlah sel ganas di dalam tubuh kurang dari


105, dan ini tidak berarti penyakit sudah benar-benar hilang.
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terkait dengan
respon terhadap pemberian MTX tunggal pada PTG risiko rendah
adalah usia pasien, nilai hCG pra kemoterapi dan skor FIGO.
Jumlah siklus kemoterapi MTX kelompok remisi komplit
adalah 5 siklus (range 3-17 siklus), sementara pada kelompok
resisten adalah 7 siklus (range 3-16 siklus). Efek buruk
kemoterapi berupa gangguan hematopoeiesis sumsum tulang,
yang lebih cepat timbul penurnan leukosit darah tepi, perubahan
eritrosit dan trombosit terjadi lebih lambat, nafsu makan
menurun, muntah, ulserasi rongga mulut.

Bagan I. Panduan penatalaksanaan PTG resiko rendah

2. PTG Risiko Tinggi


19

Kriteria PTG risiko tinggi adalah Stadium FIGO I, II, III dengan
Skor WHO ≥ 7 atau Stadium 4.
Pasien dengan risiko tinggi diterapi dengan kombinasi
kemoterapi yaitu EMA-CO sebagai terapi primer. EMA-CO adalah
Etoposide, Metotrexate dengan Leucovorin dan Actinomycin,
pemberian pada hari kesatu dan kedua, sedangkan Cyclophospamide
dan Vincristine (Oncovin) diberikan pada hari ke delapan. Sejauh ini,
terapi kombinasi macam ini lebih dapat diterima dan efek toksiknya
lebih rendah dibanding kemoterapi Metotrexate, Actinomycin, dan
Cytoxan (MAC)-C sebenarnya adalah Chlorambucil. EMA-CO juga
telah mendesak keberadaan regimen Bagshawe II. Namun, beberapa
senter kembali menggunakan MAC karena risiko EMA-CO berupa
leukemia yang terjadi setelah lebih dari enam kali pemberian.
Pasien harus dimonitor ketat dan pemberian EMA-CO diulangi
sampai terjadi remisi. Neupogen biasanya diberikan untuk
mempertahankan sel darah putih.
Kemoterapi tetap diberikan dua sampai tiga seri setelah bila hCG
tidak terdeteksi pertama kali. Kadar hCG yang negatif menandakan
bahwa jumlah keberadaan sel-sel ganas dalam tubuh kurang dari 100
juta sel.
Fokus metastatik tertentu membutuhkan terapi spesifik.
Contohnya pada lesi di otak diterapi dengan meningatkan dosis
Metotrexate sampai 1g/m2 di protokol EMA-CO. Tergantung dari
besar dan jumlah metastase pada otak, pasien dapat diterapi dengan
radiasi sebesar 25-30 grey atau dilakukan eksisi. Pasien dengan
metastase pada liver dapat dilakukan radiasi sebesar 20 grey atau infus
arteri hepar. Radiasi ini digunakan untuk mencegah perdarahan yang
hebat bukan sekedar untuk mengontrol penyakitnya.
Pasien yang resisten dengan EMA-CO atau multiagen
kemoterapi yang lain bisa diterapi dengan protokol EMA-EP. Protokol
ini adalah EMA ditambah dengan Etoposide dan Platinum, untuk kasus
yang resisten pada EMA-EP, Taxol dengan Cisplatin alternating
20

dengan Taxol-Etoposide atau Taxol-5-FU atau Iphosphospamide-


Cisplatinum-Etoposide (ICE) atau Vinblastine-Etoposide-Cisplastin
telah digunakan.
3. Terapi Bedah
Keganasan sel trofoblast dengan kemoterapi membawa hasil relatif
baik, maka sudah jarang dilakukan. Tapi dalam beberapa keadaan bisa
dilakukan salah satunya lesi primer uterus atau lesi metastasik
mengalami perdarahan masif, perlu operasi darurat untuk menolong
pasien, terhadap kasus resisten obat, kadang kala untuk diagnosis pasti
dan penentuan stadium klinis juga diperlukan eksplorasi bedah.

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit trofoblastik gestasional (PTG) adalah suatu spektrum dari


dua kondisi premaligna yaitu; partial mola hidatidosa dan complete
mola hidatidosa, hingga tiga kondisi tumor ganas yaitu; invasive mola,
koriokarsinoma gestasional, dan placental site hrophoblastic tumor
(PSTT) yang nantinya ketiga keadaan ini lebih dikenal dengan neoplasia
trofoblastik gestasional.
Jaringan trofoblastik gestasional terbentuk dari sel perifer blastokista
beberapa hari setelah konsepsi. Jaringan tersebut dibagi menjadi 2
lapisan yaitu; lapisan luar sinsitiotrofoblas yang dibentuk oleh sel-sel
besar multinucleated dan lapisan dalam dari sel mononuclated yang
membentuk sitotrofoblas. Sinsitiotrofoblas menginvasi endometrium
secara agresif membentuk suatu hubungan antara fetus dan ibu yang
dikenal sebagai plasenta.
Normalnya pertumbuhan trofoblas diatur secara ketat oleh
21

mekanisme yang belum bisa ditentukan untuk mencegah perkembangan


metastasis lebih lanjut. Penyakit trofoblastik gestasional ganas muncul
ketika mekanisme pengontrol ini gagal, menghasilkan invasi dari
jaringan trofoblas yang mencapai miometrium, yang mengizinkan
penyebaran secara hematogan dan pembentukan emboli tumor.
Pemeriksaan pada penyakit trofoblas gestasional meliputi
pemeriksaan USG, kadar hCG, dan diagnosis patologi.
Penatalaksanaan dari penyakit trofoblas gestasional meliputi terapi
pembedahan, kemoterapi, dan terkadang membutuhkan radioterapi
pada penyakit trofoblastik neoplasia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Berkowits RS, Goldstein DP. Gestational trophoblastic disease. Diunduh dari:


www.scribd.com, 1 Oktober 2013
2. Snell, Richard. Anatomi Klinik Berdasarkan Sistem. 2012. Jakarta ; Penerbit
Buku Kedokteran EGC
3. Wan Desen. Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi 2. 2013. Jakarta; Badan Penerbit
FKU
4. Cunnigham F.G, Gant N.F, Leveno K.J, Gilstrap III L.C, Hauth J.C, Wenstrom
KD. Williams Obstetrics 23rd ed. 2010. USA : The McGraw-Hill Companies.
5. Marta Adi Soebrata dkk. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Edisi 3.
2017. Jakarta; EGC

Anda mungkin juga menyukai