Anda di halaman 1dari 5

SEBUAH TATA BAHASA YANG HARUS DITATA

Selaras dengan tantangan zaman, peradaban manusia kian semakin merosot dalam
menjalankan nilai-nilai budaya. Menanggapi hal tersebut perlu adanya peninjauan yang
khusus terhadap merosotnya peradaban. Dan sebagai bentuk kehati-hatian tentu kita
belum bisa menganggap hal tersebut sebuah kewajaran atau bahkan sebuah prestasi yang
gemilang. Zaman terus berkembang tentu pribadi seseorang masing-masing memoles
pola pikir dengan jalan rutinitas pengalaman yang berbeda.

Seiring dengan menuanya usia tiap manusia dibebani tanggungan ekonomi untuk
bertahan hidup. Upaya pencarian pangan sekedar untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
atau naik level lagi untuk kebutuhan keluarganya merupakan keharusan setiap manusia.
Karena kita tahu Tuhan memang sudah menjatah rizki tiap pribadi manusia, hanya saja
kita belum tahu rizki lewat jalan mana dan rizki apa yang diberikan Tuhan terhadap kita,
oleh karena itu keinginan bekerja harus tertanam dibenak manusia untuk menemukan
rizki pemberian sang maha pemberi.

Keharusan untuk mengais rizki pada setiap pencari nafkah tentu akan melibatkan
banyak pengorbanan diantaranya harus siap menelan waktu, tempat atau ruang, Dimana
seorang pencari nafkah harus berusaha keras dan totalitas. Tidak jarang mereka para
pencari nafkah ke luar kota bahkan ke luar pulau untuk mendapatkan rizki, tentu tidak
jarang pula mereka yang menemukan rizki di kampung halamannya sendiri.

Para pencari nafkah diluar kampung inilah yang patut diacungi jempol sebab ia
bekerja dengan totalitas untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, meskipan mereka yang
memilih bekerja di kampung halaman jauh lebih rekoso dalam mengais rizki karena
mereka sebagian besar adalah bertani, hal itu jauh lebih mulia. Hemat kata pekerja yang
mulia ialah yang lebih rekoso dan tentu ikhlas dalam setiap prosesnya bukan dipandang
dari seberapa besar hasilnya.

Sebuah pekerjaan yang dilakukan diluar kampung merupakan akibat dari


terbukanya pola pikir seseorang untuk menjadikannya sebagai terobosan selangkah lebih
maju, sedangkan pemilihan pekerjaan di kampung halaman merupakan buah dari teguh
berfikirnya seseorang dan ketekunan dalam menjalankan proses penjeputan rizki. Hal itu
tentu sudah jauh lebih lama dipertimbangkannya pada tiap-tiap pola pikir seseorang. Dan
masing-masing sudah mempertimbangkan efek sampingnya.

Pada kesempatan kali ini, saya tidak membahas efek samping pada hasil yang
diperoleh. Akan tetapi efek samping dalam sebuah peradaban lingkungan pekerjaan.
Mereka yang bekerja diluar kampung akan menoreh beberapa peradaban, mulai dari
perilaku, sampai tata bahasa yang mereka gunakan. Sebab setiap daerah mempunyai adat
istiadat lelaku dan tata bahasa sendiri, sebuah hal yang tidak bisa di nafi’kan bahwa
mereka yang bekerja diluar kampung sedikit banyak meninggalkan beberapa adat di
kampung halaman. Sebut saja olah tata bahasa, walaupun tidak semuanya menerapkan
hal ini.

Pengaruh perubahan lebih besar didapatkan para pencari nafkah diluar kampung,
sebab mereka menemukan berbagai macam peradaban sekaligus berbagai macam
perilaku manusia yang berbeda-beda. Namun tidak menutup kemungkinan mereka yang
berada dikampung halaman tetap setia memegang teguh adat istiadat kampung, bisa jadi
mereka akan sedikit banyak terpengaruh. Hal ini yang perlu dititik beratkan adalah
kesetiaan pengajaran orang tua terhadap anak dan atau orang yang lebih tua terhadap
yang muda, tidak peduli baik itu keluarga atau bukan bagian dari sanak keturunannya.

*******

Tidak menjadi kebetulan kita dilahirkan di pulau Jawa, dan tak dapat dielakkan
kita harus melakoni dan meneladani tata bahasanya atau biasa disebut adat tata krama,
sebuah olah tata bahasa yang rinci telah ditorehkan oleh nenek moyang leluhur jawa
sebagai cara untuk menghormati setiap pribadi manusia. Dan sebagai upaya untuk
menjalankan sebuah kebaikan terhadap sesama manusia.

Pendidikan tata krama menjadi tanggung jawab utama bagi orang tua, sebab
informasi anak didapatkan pertamakalinya dari orang tua. Pengertian orang tua disini
bukan sekedar ayah atau ibu melainkan seluruh jajaran anggota keluarga dalam rumah
tangga, atau jika lebih luas sanak saudaranya.
Sejauh yang saya amati, orang tua sedikit bahkan jarang mengajarkan bahasa tata
krama kepada anaknya, paling-paling bertahan pada anak usia 2 atau 3 tahun sudah
melepeh terapan pendidikan bahasa krama-nya. Bahkan sebagian dari kita memilih
mendidik dengan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Hal itu tentu tidak salah, juga
amat penting terhadap anak terhadap kelancaran berbahasa Indonesia, akan tetapi jika
anak tidak dipondasi memakai bahasa krama sejak kecil tentu akan kesusahan dalam
mengaplikasikannya. Toh juga menginjak sekolah TK,SD,SMP,SMA akan selalu
dicekoki memakai bahasa Indonesia bahkan sejak PAUD. Siapa lagi yang bertanggung
jawab kalau tidak kita, mohon maaf ini hanya hasil pengamatan saya, pun saya tidak
mesti benar karena sedari lulus SD saya jarang di rumah. Besar kemungkinan kesalahan
ada pada diri saya.

Kenyataan yang ada dalam perkembangan rutinitas penggunaan bahasa krama


yang berada dikampung halaman, saya rasa ada yang kurang tepat. Dimana penggunaan
bahasa krama lebih sering diaplikasikan pada mereka yang mempunyai jenjang ekonomi
yang lebih tinggi (Sugeh). Pada mereka yang berstatus sosial lebih tinggi (Pegawai),
entah itu sebagai pegawai PNS, NPS, SNP atau tetek bengek lainnya. Kita lebih hormat
dan tunduk terhadap yang lebih kaya, yang lebih mumpuni harta kebendaannya, naluri
secara otomatis merasa Sungkan kalau tidak pakai bahasa krama, bahkan kita bisa fasih
dan lancar berbahasa krama tanpa tersendat dan terbata-bata sedikitpun.

Sebuah peradaban yang tidak seimbang, dimana mereka yang mohon maaf
kekurangan harta benda (miskin) tidak begitu dihormati, mereka sering
dikesampingkan sebagaimana jauhnya sebuah pernghormatan terhadap mereka
yang lebih kaya. Hal demikian menunjukkan ketergantungan kita terhadap sifat
keduniawian, kebendaan, yang mengantarkan kita pada rendahnya Adab, budi pekerti
atau akhlaqul karimah dalam bahasa religiusnya. Sayang sekali kita sering terjebak
dipemahaman ini.

Terus terang saya paling tidak setuju penggunaan bahasa krama hanya
ditunjukkan pada mereka yang kaya, pada mereka yang berpangkat, bahkan tidak sedikit
orang tua yang hanya mengajarkan berbahasa krama pada yang berstatus tinggi, kita
mengenyampingkan kaum bawah dan menganggap tidak ada. Tentu, hal ini sangat
bertentangan dengan tujuan di-adakanya tata bahasa jawa sekaligus nilai-nilai moral
agama. Bahkan lebih ironis lagi kita hanya berbahasa krama terhadap orang lain yang
(bukan keluarga kita) namun tidak pada orang tuanya sendiri. Memang ini tidak salah,
“Bener Ning Ora Pener”, seringkali kita mengatakan bahwa dengan berbahasa krama
pada orang tua kita sendiri, akan mengurangi rasa kedekatan kita dan kurangnya
keterbukaan kita terhadap orang tua. Nah itu namanya ALIBI,,,,, lebih tepatnya itu
sebuah alasan karena kita malas dan malu mengawali kebaikan berbahasa krama. Sekali
lagi mohon maaf, saya tidak ada maksud menyinggung orang lain. Ini sekedar tulisan
saya yang tujuannya adalah untuk mengoreksi terhadap saya sendiri, dan sudah barang
tentu yang saya contohkan diatas bukan lain adalah pribadi saya sendiri dan keluarga
saya.

*******

Penggunaan bahasa dalam tradisi jawa ada kelas-kelasnya. Yang kurang lebih jika
terhadap teman sebaya kita bisa menggunakan kata Koen/Awakmu, terhadap kakak kelas
kita Sampeyan, terhadap orang tua Njenengan, dan terhadap sang pencipta Panjenengan.
Sejalan dengan maqolah ulama’ yang dikemukakan oleh Abu Ali al-Warraq.

“Aafatunnasi qillatu ma’rifatihim bi qodri anfusihim”

(Penyakit umum manusia adalah tidak tahu diri)

Yakni: Bagaimana kita memposisikan diri dihadapan Tuhan, Orang tua, Guru,
Kerabat, Sahabat dan lainnya.

Sebanding dengan sebuah Hadits yang berbunyi

“Al Adabu Fauqol Ilmi” (adab lebih penting daripada ilmu).

Jelas disitu dipaparkan bahwa seseorang yang berilmu selangit tidak ada nilainya
jika ia tak mempunyai adab. Apalagi kita yang sedikit mempunyai ilmu atau bahkan tidak
mempunyai. Perilaku apalagi yang kita andalkan kalau tidak adab, yaitu rasa hormat
pada mereka yang lebih tua umurnya apapun status mereka.
Sedikit tambahan, memang kita bukan Kanjeng Nabi yang mempunyai sifat dan
perilaku yang sangat baik, disamping itu Kanjeng Nabi merupakan manusia pilihan
mempunyai adab dan sopan santun yang tinggi, tutur bahasanya yang lemah lembut.
Namun harus kita sadari setidaknya kita harus bisa berusaha lebih keras seperti beliau,
termaktub dalam (QS. Al-Ahzab:21) :

“ Laqod kana lakum Fii Rosulillahi Uswatun Hasanah Liman kaana


Yarjullaha Wal Yaumal Akhir”

Bahwa Kanjeng Nabi adalah sebuah contoh suri tauladan yang baik bagi kita,
maka kiblat tata krama kita, unggah-ungguh, sopan santun kita adalah bukan lain
berkiblat kepada beliau.

Maka kita sebagai manusia biasa sudah tidak seharusnya memuja dan memuji,
menghormati dengan pilah pilih status manusia.

Maret 9102

Anda mungkin juga menyukai