Anda di halaman 1dari 52

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Kimia Kertas Karya Diploma

2018

Penentuan Zat Pewarna Rhodamin B


pada Saus Cabai Secara Kromatografi
Kertas di Laboratorium Kesehatan
Daerah Medan

Siregar, Ervina Mustika Dewi


Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/12409
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
PENENTUAN ZAT PEWARNA RHODAMIN B PADA SAUS CABAI
SECARA KROMATOGRAFI KERTAS DI LABORATORIUM
KESEHATAN DAERAH
MEDAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

ERVINA MUSTIKA DEWI SIREGAR


152401112

PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENENTUAN ZAT PEWARNA RHODAMIN B PADA SAUS CABAI
SECARA KROMATOGRAFI KERTAS DI LABORATORIUM
KESEHATAN DAERAH
MEDAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh Ahli


Madya

ERVINA MUSTIKA DEWI SIREGAR


152401112

PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN ORISINALITAS

PENETUAN ZAT PEWARNA RHODAMIN B PADA SAUS


CABAI SECARA KROMATOGRAFI KERTAS DI
LABORATORIUM KESEHATAN DAERAH
MEDAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

Saya mengakui bahwa tugas akhir ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali
beberapa kutipan dan ringkasan yang masing–masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2018

ERVINA MUSTIKA DEWI SIREGAR


152401112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-
nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul
“Penentuan Zat Pewarna Rhodamin B Pada Saus Cabai Secara Kromatografi
Kertas”. Adapun tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk memenuhi
persyaratan akademik dalam menyelesaikan program studi D3 Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak
mengalami berbagai rintangan atau masalah, namun berkat bantuan, bimbingan,
nasehat dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga Tugas Akhir ini dapat
diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
atas apa yang telah diberikan selama proses awal hingga akhir penyelesaian tugas
akhir ini. Ucapan terimakasih ini penulis tujukan kepada:
1. Kedua orangtua tercinta yaitu Ayahanda Aswan Siregar dan Ibunda Erlina,
terimakasih atas cinta dan dukungan yang tak terhingga baik secara moral dan
materi yang tidak akan bisa tergantikan oleh apapun yang telah membesarkan,
menyayangi, dan mendoakan saya sehingga dapat menyelesaikan Tugas akhir
ini.
2. Bapak Dr. Firman Sebayang,M.S selaku Dosen pembimbing saya, yang telah
membimbing saya dan membantu saya dalam bentuk motivasi dan ilmu
pengetahuan sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
3. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sumatera Utara, Bapak Dr. Kerista Sebayang, MS.
4. Ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra, S.si, M.Si selaku ketua Departemen Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universtas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Minto Supeno, MS selaku ketua Program studi D - 3 Kimia Industri
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
6. Dekan dan pembantu Dekan FMIPA USU, seluruh staff dan Dosen Kimia
FMIPA USU.
7. Sahabat – sahabat saya tercinta Adinda mustika,Adinda gusti ningsih,Dita
ulfie,Adhitya luthfi,Rima amalia,Glory aruan,Fildza khairina,Dicky
nugraha,Lisaru yohana,Reski maulina

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8. Seluruh teman-teman seperjuangan D3 Kimia 2015 yang meberikan saran dan
motivasi kepada penulis.
9. Dan untuk semua saudara – saudara yang telah membantu dan mendukung
penulis selama ini,serta memberi semangat yang luar biasa.

Dalam hal ini, penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini masih
belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun sebagai masukkan bagi penulis. Semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, penulis mengucapkan terima
kasih.Tuhan Memberkati.

Medan, Juli 2018

Penulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENETUAN ZAT PEWARNA RHODAMIN B PADA SAUS
CABAI SECARA KROMATOGRAFI KERTAS DI
LABORATORIUM KESEHATAN DAERAH
MEDAN

ABSTRAK

Penentuan Zat Pewarna Sintetis Rhodamin B Pada Saus Cabai dengan Metode
Kromatografi Kertas, telah dilakukan identifikasi zat warna alam maupun sintesis
dapat memberikan warna pada bulu domba/benang wol tetapi zat warna alam
dapat hilang (larut) dengan pencucian bulu domba/benang wol sedangkan zat
warna sintesis tidak bisa hilang. Hasil yang diperoleh dari salah satu saus yang
dibeli di pasar pagi mengandung Rhodamin B yang apabila dikonsumsi dapat
menimbulkan efek samping seperti penyebab kanker, karena Rhodamin B bersifat
karsinogenik.

Kata Kunci : Kromatografi Kertas, Rhodamin B, Saus, Zat Pewarna.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DETERMINATION OF RHODAMIN B DYES IN CHILI SAUS ON
CHROMATOGRAPHY PAPER IN LABORATORY OF HEALTH MEDAN
AREA

ABSTRACT

Determination of Synthetic Dyes of Rhodamine B In Chili Sauce by Paper


Chromatography Method, identification of natural dyes and synthesis can give
color to wool / wool but natural dyes can be dissolved by washing wool / wool
yarn while synthetic dyes can not be lost. The results obtained from one of the
sauces bought in the morning market contain Rhodamin B which, when
consumed, can cause side effects such as cancer, because Rhodamin B is
carcinogenic.

Keywords: Dyes, Paper Chromatography, Rhodamin B, Sauce.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Halaman
Pengesahan i
Pernyataan ii
Penghargaan iii
Abstrak iv
Abstract v
Daftar Isi vi
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
Daftar Lampiran xi

Bab 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 3
1.3. Hipotesis 3
1.4. Tujuan 3
1.5. Manfaat 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka


2.1. Zat Warna 5
2.1.1. Syarat Zat Warna 5
2.1.2. Penggolongan Zat Warna 5
2.1.2.1. Pewarna Alami 5
2.1.2.2. Pewarna Identik Alami 6
2.1.2.3. Pewarna Sintetis 6
2.1.3. Analisa Zat Warna 6
2.2. Saus 8
2.2.1. Fungsi Saus 8
2.2.2. Karakteristik Saus 8
2.2.3. Pembuatan Saus Cabe 9
2.3. Bahan Tambah Pangan 9
2.3.1. Definisi Bahan Tambahan Pangan 9
2.3.2. Tujuan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan 10
2.3.3. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan 11
2.3.4. Penggolongan Bahan Tambahan Pangan 11
2.3.5. Bahan Tambahan Pangan Yang Diijinkan 12
2.3.6. Bahan Tambahan Pangan Yang Tidak Diijinkan 13
2.3.7. Peraturan Tentang Bahan Tambahan Pangan 13
2.4. Rhodamin B 14
2.4.1. Efek Samping 15
2.4.2. Ciri-ciri Pangan yang Mengandung Rhodamine B 15
2.5. Kromatografi 15
2.5.1. Sejarah Kromatografi 16
2.5.2. Pembagian Kromatografi 17
2.5.2.1. Kromatografi Kolom 17
2.5.2.2. Kromatografi Kertas 17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.5.2.3. Kromatografi Lapis Tipis 18
2.5.2.4. Kromatografi Gas 19
2.5.2.5. Kromatpgrafi Cair Kinerja Tinggi 20

Bab 3 Metode Percobaan


3.1. Waktu dan Tempat 25
3.2. Alat dan Bahan yang digunakan 25
3.2.1. Alat 25
3.2.2.Bahan 25
3.3. Prosedur Percobaan 26
3.3.1. Preparasi Kertas Saring Whatman no.1 26
3.3.2. Penjenuhan Chamber 26
3.3.3. Penentuan Harga Rf Rhodamine B 26

Bab 4 Hasil dan Pembahasan


4.1. Hasil Penelitian 28
4.2. Perhitungan 29
4.3. Pembahasan 29

Bab 5 Kesimpulan dan Saran


5.1. Kesimpulan 31
5.2. Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


Tabel

Tabel 4.1 Hasil Penelitian 28


Tabel 4.2 Harga Rf Rhodamin B Pada Kromatografi 29
Kertas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


Gambar
Gambar 2.4 Struktur Rhodamin B 14
Gambar 4.1 Hasil Penelitian 29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


Lampiran
1 Zat Pewarna bagi Makanan dan Minuman 35
yang Dilarang di Indonesia
2 Zat Pewarna bagi Makanan dan Minuman 36
yang Diizinkan di Indonesia
3 Saus Yang Tidak Menggunakan Rhodamin B 38
4 Saus Yang Menggunakan Rhodamin B 38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Peraturan Pemerintah RI No.28, Tahun 2004, Rhodamin B
merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produk-
produk pangan. Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum
digunakan sebagai pewarna tekstil. (Djalil, dkk., 2005). Rhodamin B dapat
menyebabkan iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada
saluran pencernaan, keracunan dan gangguan hati (Trestiati, 2003). Zat warna
rhodamin B walaupun telah dilarang penggunaannya tetapi masih ada produsen
yang sengaja menambahkan zat warna rhodamin B pada produknya karena harga
zat pewarna untuk pangan lebih mahal jika dibandingkan dengan zat pewarna
tekstil dan kulit biasanya warna dari zat pewarna tekstil dan kulit lebih menarik
dibanding dengan zat pewarna untuk makanan. Pemberian zat pewarna berbahaya
dalam bahan makanan dan minuman juga disebabkan karena ketidaktahuan
tentang zat pewarna apa saja yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan
untuk ditambahkan pada makanan. Masyarakat kurang mengetahui bahwa
pewarna tekstil yang digunakan dalam makanan dapat menimbulkan gangguan
kesehatan tubuh yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan penyakit seperti
kanker dan tumor pada organ tubuh manusia (Judarwanto, 2006).

Sejak zaman dahulu, zat pewarna dari sumber alami telah digunakan untuk
makanan, obat-obatan, dan kosmetika. Tetapi zat pewarna alami kini telah
digantikan dengan pewarna buatan yang memberikan lebih banyak kisaran warna
yang telah dibakukan (www. Departemen Kesehatan RI. Co. id , 2006).

Zat pewarna dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu zat pewarna
alami, zat pewarna identik alami, dan zat pewarna sintetis yang masing – masing
zat warna ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pewarna alami
dapat kita jumpai pada tumbuhan, hewan atau sumber-sumber mineral dan sudah
dianggap sebagai pewarna yang aman, hanya saja pewarna alami ini stabilitas
pigmen rendah, keseragaman warnanya kurang baik dan strukturnya kurang luas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pewarna identik alami dibuat secara sintetis yang struktur kimianya identik
dengan pewarna alami. Pada pewarna ini memiliki batas-batas maksimum
penggunaan, kecuali beta karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak
terbatas. Pewarna sintetis memiliki keuntungan yang nyata dibandingkan pewarna
alami, yaitu mempunyai kekuatan mewarnai yang lebih kuat, lebih seragam, lebih
stabil, dan biasanya lebih murah. Namun penggunaannya masih pada batas-batas
maksimum penggunaan. Sekarang ini, pewarna sintetis banyak sekali digunakan
pada makanan dan minuman, misalnya pada sirup, saus, minuman ringan,
pudding, keripik, sereal, kue, sup, es krim, permen, selai, jeli, yogurt, mie,
mustart, acar dan jus.

Saus merupakan zat makanan tambahan atau untuk penyedap rasa yang
biasanya ditambahkan pada saat makan bakso, mie, sop dan lain-lain. Saus ini
biasanya terbuat dari bahan tomat tetapi kadang dibuat dari bahan lain misalnya
pepaya, ketela lalu diberi zat pewarna, dari hal tersebut apakah pewarna yang ada
pada saus tersebut aman untuk dikonsumsi atau tidak, bila zat pewarna tersebut
berasal dari pewarna alami atau pewarna dari bahan baku untuk membuat saus
maka pewarna tersebut adalah aman untuk dikonsumsi, tetapi bila pewarna
tersebut berasal dari pewarna sintetis terlebih bila pewarna sintetis tersebut bukan
pewarna makanan / minuman maka pewarna ini akan berbahaya bagi konsumen
(Supriyadi, 2006). Hingga saat ini aturan penggunaan zat pewarna di Indonesia
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 722/
MENKES/PER/IX/88 yang menyebutkan bahwa makanan yang menggunakan
tambahan makanan yang tidak sesuai dengan ketentuan mempunyai pengaruh
langsung terhadap derajat kesehatan masyarakat; bahwa masyarakat perlu
dilindungi dari makanan yang menggunakan bahan tambahan makanan yang
tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Pada Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor : 239/ MENKES/ PER/ V/ 85 yang menyebutkan bahwa zat warna
tertentu yang digunakan untuk memberi dan atau memperbaiki warna bahan atau
barang banyak beredar dalam masyarakat yang apabila digunakan pada obat,
makanan, dan kosmetika dapat membahayakan masyarakat; bahwa untuk
melindungi masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan oleh zat warna tertentu
seperti ditetapkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang zat
warna tertentu yang dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya (Permenkes RI, 1988
& 1985).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Namun di Indonesia, banyak masyarakat yang kurang pengetahuannya
terhadap undang-undang di atas, sehingga masih terdapat kecendrungan
penyalahgunaan pemakaian zat pewarna sintetis untuk sembarang bahan pangan
misalnya zat pewarna tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan makanan.
Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat
pada zat pewarna tersebut .Timbulnya penyalah gunaan zat pawarna tersebut
disebabkan oleh ketidak tahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk
makanan, atau karena tidak adanya penjelasan tentang larangan penggunaan
senyawa tersebut untuk bahan pangan. Di samping itu, harga zat pewarna industri
relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan zat pewarna untuk makanan
(Winarno, 1997).

Dalam minuman, makanan atau saus dalam hal ini saus cabe, sebelum
disalurkan kepada konsumen harus dianalisa terlebih dahulu, apakah zat pewarna
yang digunakan sudah sesuai dengan zat pewarna bagi makanan dan minuman
yang diizinkan di Indonesia. Dalam penulisan karya ilmiah ini adalah identifikasi
zat pewarna sintetis pada saus cabe tersebut yang dilakukan dengan metode
kromatografi kertas.

Berdasarkan hal tersebut penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul


“PENENTUAN ZAT PEWARNA RHODAMIN B PADA SAUS CABAI
SECARA KROMATOGRAFI KERTAS DI LABORATORIUM
KESEHATAN DAERAH MEDAN”.

1.2 Permasalahan
1. Mengidentifikasi apakah saus cabai mengandung zat pewarna Rhodamin B.
2. Bagaimana cara mengidentifikasi zat pewarna Rhodamin B dengan metode
Kromatografi Kertas.
1.3 Hipotesis
Pada saus cabe yang dianalisa terdapat kandungan Rhodamin B atau pada saus
cabe yang dianalisa tidak terdapat kandungan Rhodamin B.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.4 Tujuan
1. Untuk mengetahui ada tidaknya zat pewarna Rhodamin B pada Saus cabe.
2. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi zat pewarna sintetis dengan metode
Kromatografi Kertas.

1.5 Manfaat
1. Dapat mengetahui ada tidaknya zat pewarna Rhodamin B pada Saus cabe.
2. Dapat mengetahui cara mengidentifikasi zat pewarna sintetis dengan metode
Kromatografi Kertas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Zat Pewarna

Zat pewarna merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki


penampilan makanan. Penambahan bahan pewarna makanan mempunyai
beberapa tujuan, di antaranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen,
menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna
akibat proses pengolahan dan penyimpanan. Zat pewarna makanan terbagi tiga
bagian yaitu pewarna alami, pewarna identik alami dan pewarna sintetis
(Mudjajanto, 2006).

2.1.1 Syarat Zat Warna


Syarat zat warna untuk makanan dan minuman: (Sinaga, 2012)
a. Toksisitasnya rendah
b. Murni
c. Stabil pada suhu 100-110°C
d. Stabil pada Ph 2-9
e. Larut baik dalam air atau minyak
f. Dapat bercampur dengan zat warna lain
g. Tahan terhadap oksidasi dan reduksi
h. Tidak menimbulkan efek karsinogenik
2.1.2 Penggolongan Zat Warna
2.1.2.1 Pewarna Alami
Pewarna alami adalah zat warna alami (pigmen) yang diperoleh dari
tumbuhan, hewan, atau dari sumber-sumber mineral. Zat warna ini telah
digunakan sejak dulu dan umumnya dianggap lebih aman dari pada zat warna
sintetis, seperti annato sebagai sumber warna kuning alamiah bagi berbagai
jenis makanan begitu juga tannin, antosianin, antoxantin, karoten dan klorofil,
Quonin, xanthon, heme, flavonoid. Dalam daftar FDA pewarna alami dan
pewarna identik alami tergolong dalam ”uncertified color additives” karena
tidak memerlukan sertifikat kemurnian kimiawi. Keterbatasan pewarna alami
adalah seringkali memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan,
konsentrasi pigmen rendah, stabilitas pigmen rendah, keseragaman warna
kurang baik dan spektrum warna tidak seluas pewarna sintetik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pewarna alami yang berasal dari tumbuhan dapat ditemukan pada akar, buah
atau batang tanaman termasuk itu pada annato ( warna kuning coklat yang
diambil dari biji tanaman Bixa orrelana), caramel (coklat), khlorofil ( hijau),
cochineal, saffron, dan turmeric (Sudarmadji, dkk, 1989).

2.1.2.2 Pewarna Identik Alami


Pewarna identik alami adalah pigmen-pigmen yang dibuat secara sintetis
yang struktur kimianya identik dengan pewarna-pewarna alami. Yang
termasuk golongan ini adalah karotenoid murni antara lain canthaxanthin
(merah), apo-karoten (merah-oranye), beta-karoten (oranye-kuning). Semua
pewarna-pewarna ini memiliki batas-batas konsentrasi maksimum
penggunaan, terkecuali beta-karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak
terbatas. Pewarna ini masih satu golongan dengan kelompok zat warna alami,
hanya zat warna ini dihasilkan dengan cara sintesis kimia, bukan dengan cara
ekstraksi atau isolasi (Srifatimah, 1999).
2.1.2.3 Pewarna Sintetis
Pewarna sintetis mempunyai keuntungan yang nyata dibandingkan pewarna
alami, yaitu mempunyai kekuatan mewarnai yang lebih kuat, lebih seragam,
lebih stabil, dan biasanya lebih murah. Berdasarkan rumus kimianya, zat
warna sintetis dalam makanan menurut “Joint FAO/WHO Expert Commitee on
Food Additives (JECFA)” dapat digolongkan dalam beberapa kelas yaitu : azo,
triaril metana, quinolin, xantin dan indigoid ( FAO Indonesia, 2007).
Di Amerika Serikat pada tahun 1906 dikeluarkan suatu peraturan yang disebut
Food and Drug act yang memuat tujuh macam zat pewarna yang diijinkan
untuk dipakai pada bahan makanan (orange no.1, erythrosine, ponceau 3 R,
amaranth ,indigotin, naphtol-yellow, dan light green). Pada masa itu telah ada
suatu system pemberian sertifikat terhadap zat pewarna yang dilakukan oleh
Departemen Pertanian Amerika Serikat, tetapi sertifikasi tersebut belum
merupakan suatu keharusan.

Setelah mengalami berbagai pengujian antara lain uji fisiologi, zat pewarna
baru bertambah banyak urutan penambahan zat pewarna yang diizinkan
berdasarkan tahun adalah :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tartrazine (1916), Yellow AB dan OB (1918), Guinea green (1922), Fast
Green (1927), Ponceau SX, Sunset Yellow, Briliant Blue (1929), Violet no.1
(1950), FD & C Lakes (1959), Orange B (1966), FD & C Red no. 40 (1971)
(Winarno, 1997).

2.1.5 Analisa Zat Warna

Warna suatu bahan dapat diukur dengan menggunakan alat kolorimeter,


spektrofotometer, atau alat-alat lain yang dirancang khusus untuk mengukur
warna. Tetapi alat-alat tersebut biasanya terbatas penggunaannya untuk bahan
cair yangtembus cahaya. Untuk bahan baku cairan atau padatan, warna bahan
dapat diukur dengan membandingkannya terhadap suatu warna standar yang
dinyatakan dalam angka-angka.

Cara pengukuran warna yang lebih teliti dilakukan dengan mengukur


komponen warna dalam besaran value, hue, dan chroma. Cara pengukuran
warna yang lebih teliti ada 3 cara yaitu:
1. Chroma: menunjukkan intensitas warna
2. Value : menunjukkan gelap terangnya warna
3. Hue : menunjukkan panjang gelombang warna
Ketiga komponen ini diukur dengan menggunakan alat khusus yang
mengukur kromatisitas permukaan suatu bahan. Angka yang diperoleh
berbeda-beda untuk setiap jenis warna, kemudian angka-angka tersebut
diplotkan ke dalam diagram kromatisitas (Sinaga, 2012).

Di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, melalui Direktorat Jenderal


Pengawasan Obat dan Makanan telah mengeluarkan daftar zat warna yang
boleh digunakan dan dilarang yaitu melalui peraturan Menteri Kesehatan RI
No.235/Menkes/Per/VI/79.

2.2 Saus
Saus merupakan bumbu penyedap makanan atau biasanya digunakan
untuk menambah kelezatan pada makanan. Saus berbentuk seperti bubur kental
(pasta) dan umumnya bewarna orange hingga merah. Pembuatannya saus
sering ditambahkan dengan zat pewarna makanan alami maupun buatan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Warna saus biasanya terbuat dari buah berwarna menarik seperti warna
merah atau ditambahkan zat pewarna, selain warna saus mempunyai aroma
dan rasa yang merangsang (dengan atau tanpa rasa pedas), mempunyai daya
simpan panjang karena mengandung asam, gula, garam dan seringkali
ditambahkan pengawet (Putra dkk, 2014 dan Margono, 2000).

2.2.1 Fungsi Saus


Kebutuhan akan saus dari tahun ke tahun terus meningkat. Di Indonesia,
saus merupakan produk olahan yang sangat populer, karena berfungsi sebagai
penambah cita rasa dan selera pada makanan. Saus juga banyak digunakan
pada industri pengalengan ikan. Selain sebagai campuran bumbu, saus dipakai
sebagai pelengkap hidangan (Margono, 2000).

2.2.2 Karakteristik Saus


Kata “saus” berasal dari bahasa Perancis (sauce) yang diambil dari
bahasa latin salsus yang berarti “digarami”. Sedangkan saus dalam istilah
masak-memasak berarti cairan kental yang digunakan sewaktu memasak atau
dihidangkan bersama-sama makanan sebagai penyedap atau agar makanan
kelihatan bagus. Saus juga dapat diartikan sebagai cairan kental (pasta) yang
terbuat dari bubur buah berwarna menarik (biasanya merah), mempunyai
aroma dan rasa yang merangsang/dengan atau tanpa rasa pedas.

Saus merupakan salah satu produk olahan pangan yang sangat populer.
Saus tidak saja hadir dalam sajian seperti mie bakso atau mie ayam, tetapi juga
dijadikan bahan pelengkap nasi goreng, mie goreng dan aneka makanan fast
food (Anonimus, 2008).

2.2.3 Pembuatan Saus Cabe


1. Bahan Dan Alat Yang Digunakan
Bahan yang digunakan adalah cabe merah, gula pasir, bawang merah,
bawang putih, larutan asam cuka, dan garam dapur, dan bahan tambahan
makanan seperti penyedap, pengawet dan pewarna. Sedangkan alat yang
diperlukan untuk pembuatan saus cabe adalah : panci stainless steel, sendok
pengaduk, pisau, blender, botol yang sudah disterilkan untuk tempat saus.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Cara Pembuatan
Proses pembuatan saus cabe meliputi :
a) Pencucian, pemotongan tangkai, dan pembuangan biji cabe. Cabe tanpa biji
selanjutnya dikukus pada suhu 100°C selama 1 menit, untuk mematikan
sejumlah besar mikroba pembusuk dan perusak.
b) Selanjutnya dilakukan proses penggilingan sampai halus atau hingga
menjadi bubur lalu ditambahkan bahan utama yaitu bawang merah, bawang
putih yang telah dihaluskan. setelah itu dididihkan, bubur cabe tetap dimasak
selam 30-60 menit. Kemudian tambahkan bahan tambahannya seperti zat
pewarna, garam, bahan pengawet, gula, asam cuka 25 persen, dan penyedap
rasa.
c) Proses selanjutnya adalah pengadukan bahan, pemasakan hingga mendidih
dan mengental. Dalam keadaan panas saus dimasukkan ke dalam botol steril,
kemudian dilakukan proses exhausting (pengeluaran sejumlah udara) dan
penutupan botol.
d) Setelah proses pendinginan, dilakukan penempelan label (etiket) pada
kemasannya. Selain botol kaca, kemasan yang sering digunakan adalah botol
plastik dan sachet.

2.3 Bahan Tambahan Pangan


2.3.1 Defenisi Bahan Tambahan Pangan
Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan
gizi pangan pada bab 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan tambahan
pangan adalah bahan yang ditambahkan kedalam makanan untuk mempengaruhi
sifat atau bentuk pangan atau produk makanan.
Menurut FAO di dalam Furia (1980), bahan tambahan pangan adalah
senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan
ukuran tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau
penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa
dan teksur, serta memperpanjang masa simpan, dan bukan merupakan bahan
ingredient utama. Codex mengatakan bahwa bahan tambahan pangan adalah
bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara
sengaja pada proses pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi
dan ada yang tidak (Saparinto, 2006).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988, BTP
adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya
bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai
nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud
teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan,
perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan,
untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak
langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut
(Budiyanto, 2004).
2.3.2 Tujuan Penggunaan bahan tambahan pangan
Adapun tujuan penggunaan bahan tambahan adalah sebagai berikut
(Sudarmadji, 1989).

1. Untuk mempertahankan atau memperbaikai nilai gizi makanan. Contohnya


: tambahan vitamin, iodin, besi, asam amino.
2. Mempertahankan kesegaran bahan, terutama untuk menghambat kerusakan
bahan oleh mikroorganisme (jamur, bakteri dan khamir). Bahan pengawet juga
bertujuan untuk mempertahankan kesegaran warna maupun aroma. Contohnya:
natrium nitrit (mematikan bakteri, mempertahankan warna daging), anti
oksidan (mencegah ketengikaan dengan vitamin C, Butylated Hydroxy Anisol/
BHA atau Butylated Hydroxy T oluen/BHT).
3. Membantu mempermudah pengolahan dan persiapan. Contohnya : bahan
pengemulsi (kuning telur, lecithin), penstabil, pengental, pengembang (ragi,
bubuk roti), pencegah lengket (anti caking untuk garam halus supaya tidak
lengket).
4. Membantu memperbaiki kenampakan atau aroma makanan. Contohnya
pewarna makanan (alamiah maupun buatan) dan aroma.
2.3.3 Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Dalam proses produksi pangan, sering kali pengusaha menggunakan
bahan tambahan pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk makanan.
Penggunaan bahan tambahan pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 tahun 2004 pasal 9, yakni setiap orang yang memproduksi makanan untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan
yang dinyatakan terlarang, dan wajib menggunakan bahan tambahan pangan yang
diizinkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum
diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib diperiksa keamanannya
terlebih dahulu, dan dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi
makanan untuk diedarkan, setelah memperoleh persetujuan dari BPOM
(Saparinto dan Hidayati, 2006).

2.3.3 Penggolongan Bahan Tambahan Pangan


Pada umumnya bahan tambahan dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu:

a. Aditif sengaja, yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan
tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa,
mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan lain
sebagainya.
b. Aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah
sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan.
Bila dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin,
asam sitrat, dan lain sebagainya; dapat juga disintesis dari bahan kimia yang
mempunyai sifat serupa benar dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan
kimia maupun sifat metabolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat,
dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan yaitu lebih
pekat, lebih stabil, dan lebih murah.
Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering terjadi
ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi
kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang
terjadinya kanker pada hewan dan manusia.

2.3.4 Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan


Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang diizinkan digunakan pada
makanan berdasarkan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/1988 adalah :

Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang terdiri dari golongan :


a. Antioksidan, adalah BTM yang dapat mencegah atau menghambat oksidasi
lemak sehingga mencegah terjadinya ketengikan. Contohnya: asam askorbat,
asam eritorbat, butil hidroksi toluen.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


b. Antikempal, yaitu BTM yang dapat mencegah mengempalnya
(menggumpalnya) makanan yang berupa serbuk seperti tepung atau bubuk.
Contohnya: aluminium silikat, magnesium karbonat, miristat.
c. Pengatur keasaman (pengasam, penetral, pendapar), yaitu BTM yang dapat
mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keasaman. Contohnya:
asam klorida, asam fumarat, asam fosfat.
d. Pemanis buatan, yaitu BTM yang dapat menyebabkan rasa manis pada
makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Contohnya: sakarin,
siklamat, sorbitol.
e. Pemutih dan pematang tepung, yaitu BTM yang dapat mempercepat proses
pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu
pemanggangan. Contohnya: natrium karbonat, natrium sitrat, natrium malat.
f. Pengemulsi, pemantap, pengental, yaitu BTM yang dapat membantu
terbentuknya dan memantapkan sistem diversi yang homogen pada makanan.
Contohnya: agar, ammonium alginat, gelatin.
1. Untuk makanan yang diizinkan mengandung lebih dari satu makanan
antioksidan, maka hasil bagi masing-masing bahan dengan batas maksimum
penggunaannya jika dijumlahkan tidak boleh lebih dari satu.
2. Batas penggunaan “secukupnya” adalah penggunaan yang sesuai dengan cara
produksi yang baik, yang maksudnya jumlah yang ditambahkan pada makanan
tidak melebihi jumlah wajar yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penggunaan
bahan makanan tersebut.

2.3.5 Bahan Tambahan Pangan yang tidak Diizinkan


Bahan Tambahan Makanan (BTM) tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam
makanan karena bersifat karsinogenik berdasarkan Permenkes RI No.
722/Menkes/Per/IX/1988 dan Permenkes No. 1168/Menkes/Per/1999 tentang
Bahan Tambahan Makanan adalah :

1. Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya


2. Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt)
3. Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate, DEPC)
4. Dulsin (Dulcin)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Kalium Klorat (Potassium Chlorate)
6. Kloramfenikol (Chloramphenicol)
7. Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)
8. Nitrofurazon (Nitrofurazone)
9. Formalin (Formaldehyde)
10.Kalium Bromat (Potassium Bromate)

2.3.6 Peraturan Tentang Bahan Tambahan Pangan


Aturan tambahan mengenai zat-zat tambahan makanan dari undang-undang
obat dan kemurnian makanan yang telah di sahkan pada tahun 1985 di Amerika
Serikat, menganjurkan agar industri atau pabrik melakukan test yang ektensif
sebelum bahan tambahana makanan yang baru dipasarkan dalam menanggapi
aturan tambahan bahan makanan ini, Food Additive Amandement membuat suatu
daftar dari zat-zat yang diperkirakan aman. Beberapa zat-zat tambahan tersebut
umum digunakan karena tidak ada keluhan tentang penyakit sebagai akibat dari
pemakaiannya setelah bertahun-tahun.

Bahan-bahan kimia tersebut dikenal dengan nama : Generally Recognized


as Safe (GRAS). Sekali suatu zat tercantum sebagai GRAS maka ia tidak terikat
pada peraturan-peraturan yang khusus. Indonesia saat ini belum memiliki undang-
undang yang jelas tentang bahan tambahan makanan terutama undang-undang
penggunaan zat pewarna yang hingga saat aturan penggunaan zat warna sintetik
diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI tanggal 22 Oktober 1973
No.11332/A/SK/73. Karena itu terdapat kecenderungan penyalahgunaan
pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan makanan. Timbulnya
penyalahgunaan zat pewarna tersebut di sebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat
mengenai zat pewarna untuk makanan atau disebabkan tidak adanya penjelasan
dalam label yang melarang penggunaan senyawa tersebut untuk bahan pangan.
Disamping itu, harga zat pewarna untuk industri relatif lebih murah dibandingkan
dengan harga zat pewarna untuk makanan (Rosari, 2004).

2.4 Rhodamin B
Rhodamin B merupakan bahan pewarna sintetis dalam industrit ekstil dan
kertas, yang secara ilegal digunakan untuk pewarna makanan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Makanan yang menggunakan bahan ini bisa dikenali dari warna merah
mencolok yang tidak wajar, banyak terdapat titik-titik warna karena tidak
homogen. Kasus-kasus keracunan pangan seharusnya tidak perlu terjadi apabila
produk pangan diolah dengan prosedur pengolahan yang benar.

Mutu dan keamanan pangan juga sangat penting dalam perdagangan.


Keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah,
konsumen dan industri pangan (Kristiana, 2010).

Gambar 2.4 Struktur Rhodamin B

Di dalam Rhodamin B sendiri terdapat ikatan dengan klorin ( Cl ) yang


dimana senyawa klorin ini merupakan senyawa anorganik yang reaktif dan juga
berbahaya. Rekasi untuk mengikat ion klorin disebut sebagai sintesis zat warna.
Disini dapat digunakan Reaksi Frield- Crafts untuk mensintesis zat warna seperti
triarilmetana dan xentana. Rekasi antara ftalat anhidrida dengan resorsinol dengan
keberadaan seng klorida menghasilkan fluoresein. Apabila resorsinol diganti
dengan N-N-dietilaminofenol, reaksi ini akan menghasilkan rhodamin B.

Selain terdapat ikatan Rhodamin B dengan Klorin terdapat juga ikatan


konjugasi. Ikatan konjugasi dari Rhodamin B inilah yang menyebabkan
Rhodamin B bewarna merah. Ditemukannya bahaya yang sama antara Rhodamin
B dan Klorin membuat adanya kesimpulan bahwa atom Klorin yang ada pada
Rhodamin B yang menyebabkan terjadinya efek toksik bila masuk ke dalam
tubuh manusia. Atom Cl yang ada sendiri adalah termasuk dalam halogen, dan
sifat halogen yang berada dalam senyawa organik akan menyebabkan toksik dan
karsinogen.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.4.1 Efek Samping
Efek Samping Rhodamin B bagi kesehatan
Menurut WHO, Rhodamin B berbahaya bagi kesehatan manusia karena
sifat kimia dan kandungan logam beratnya. Rhodamin B mengandung senyawa
klorin (Cl). Senyawa klorin merupakan senyawa halogen yang berbahaya dan
reaktif. Jika tertelan, maka senyawa ini akan berusaha mencapai kestabilan dalam
tubuh dengan cara mengikat senyawa lain dalam tubuh, hal inilah yang bersifat
racun bagi tubuh.

Selain itu, Rhodamin B juga memiliki senyawa pengalkilasi (CH3-CH3)


yang bersifat radikal sehingga dapat berikatan dengan protein, lemak, dan DNA
dalam tubuh. Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai 1984 karena
Rhodamin B termasuk bahan karsinogen (penyebab kanker) yang kuat.

Konsumsi Rhodamin B dalam jangka panjang dapat terakumulasi di


dalam tubuh dan dapat menyebabkan gejala pembesaran hati dan ginjal,
gangguan fungsi hati, kerusakan hati, gangguan fisiologis tubuh, atau bahkan bisa
menyebabkan timbulnya kanker hati (Badan Pengawas Obat & Makanan).
2.4.2 Ciri-ciri pangan yang mengandung Rhodamin B

Ciri-ciri pangan yang mengandung Rhodamin B antara lain:


a) warnanya cerah mengkilap dan lebih mencolok
b) terkadang warna terlihat tidak homogen (rata), ada gumpalan warna pada
produk
c) bila dikonsumsi rasanya sedikit lebih pahit
d) biasanya produk pangan yang mengandung Rhodamin B tidak
mencantumkan kode, label, merek, atau identitas lengkap lainnya (Badan
Pengawas Obat & Makanan).

2.5 Kromatografi
2.5.1 Sejarah Kromatografi
Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia
Michael Tsweet pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam
tanaman dengan cara perkolasi esktrak petroleum eter dalam kolom gelas yang
berisi kalsium karbonat (CaCO3).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Meskipun demikian pembatasan untuk senyawa-senyawa yang
berwarna tak lama dan hampir kebanyakan pemisahan-pemisahan secara
kromatografi sekarang diperuntukkan pada senyawa-senyawa tak berwarna,
termasuk gas (Sastrohamidjojo, 1985).

Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fasa yaitu


fasa tetap (stationary) dan yang lain fasa bergerak (mobile); pemisahan-
pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua fasa ini. Cara-cara
kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fasa tetap, yang
dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fasa tetap berupa zat padat maka cara
tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan (absorption chromatography);
jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi (partition cromatography).
Karena fasa bergerak dapat berupa zat cair atau gas maka semua ada empat
macam sistem kromatografi. Keempat macam sistem kromatografi tersebut
adalah:

a. fasa bergerak zat cair-fasa tetap padat


i. kromatografi lapis tipis
ii. kromatografi penukar ion
b. fasa bergerak gas-fasa tetap padat kromatografi gas padat
c. fasa bergerak zat cair-fasa tetap cair dikenal sebagai kromatografi partisi dan
kromatografi kertas
d. fasa bergerak gas-fasa tetap zat cair
i. kromatografi gas-cair
ii. kromatografi kolom-kapiler
Prinsip pemisahan dengan kromatografi adalah bahwa senyawa-senyawa
yang dipisahkan terdistribusi sendiri diantara fasa-fasa bergerak dan tetap
dalam perbandingan yang sangat berbeda-beda dari suatu senyawa terhadap
senyawa yang lain (Sastrohamidjojo, 1985).

Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan
paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat dimanfaatkan
untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif, atau preparative
dalam bidang farmasi, lingkungan, industri, dan sebagainya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kromatografi suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam
(stationary phase) dan fase gerak (mobile phase) (Rohman, 2007).
Jenis kromatografi yang bermanfaat dalam analisa kualitatif dan kuantitatif
yang digunakan dalam penetapan kadar dan pengujian Farmakope Indonesia
adalah kromatografi Kolom, Kromatografi Gas, Kromatografi Kertas,
Kromatografi Lapis Tipis dan KCKT.

2.5.2 Pembagian Kromatografi


2.5.2.1 Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom terbagi atas kromatografi kolom adsorpsi dan
kromatografi kolom partisi. Pada kromatografi kolom adsorpsi zat uji
dilarutkan dalam sejumlah kecil pelarut, dituangkan kedalam kolom dan
dibiarkan mengalir kedalam penjerap, sedangkan pada kromatografi kolom
partisi, zat yang harus dipisahkan terbagi antara dua cairan yang tidak saling
bercampur. Salah satu campuran. Salah satu cairan, yaitu fase diam, umumnya
diadsorpsikan pada penyangga padat.
2.5.2.2 Kromatografi Kertas
Pada kromatografi kertas sebagai penjerap digunakan sehelai kertas dengan
susunan serabut dan tebal yang sesuai. Sebagai alternatif dapat juga digunakan
sistem dua fase. Kertas diimpregnasi dengan salah satu fase yang kemudian
menjadi fase diam (umumnya fase yang lebih polar dalam hal kertas yang
dimodifikasi). Kromatogram dilakukan dengan merambatkan fase gerak,
melalui kertas. Dapat dilakukan kromatografi menaik, pelarut merambat naik
pada kertas ditarik oleh gaya kapiler ataupun kromatografi menurun,
pelarutnya mengalir oleh gaya gravitasi. Berbagai jenis pemisahan yang
sederhana dengan kromatografi kertas telah dikerjakan di mana proses dikenal
sebagai “analisa kapiler”.
Metode-metode seperti ini sangat bersesuaian dengan kromatografi serapan,
dan sekarang kromatografi kertas dipandang sebagai perkembangan dari
system partisi. Salah satu zat padat dapat digunakan untuk menyokong fasa
tetap yaitu bubuk selulosa. (Sastrohamidjojo, 1985).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1. Prinsip
Prinsip dasar kromatografi kertas adalah pemisahan komponen dari campuran
berdasarkan perbedaan kecepatan distribusi antara dua fase yaitu fase diam dan
fase gerak. Dimana fase diamnya adalah air yang disokong oleh selulosa pada
kertas saring dan fase geraknya adalah pelarut (asam asetat: aquadest) dengan
perbandingan (5:95). (Sastrohamidjojo, 1985)

2. Keuntungan Kromatografi
Dapat diperhatikan disini akan keuntungan-keuntungan kromatografi.
Pertama-tama merupakan metode pemisahan yang cepat dan mudah dan
menggunakan peralatan yang murah dan sederhana. Keuntungan lebih lanjut
ialah hanya membutuhkan campuran cuplikan yang sangat sedikit sekali,
bahkan justru tak mungkin menggunakan jumlah yang besar dalam
kromatografi dan disamping itu pekerjaannya dapat diulang (Sastrohamidjojo,
1985).
2.5.2.3 Kromatografi Lapis Tipis
Pada KLT, zat penjerap merupakan lapis tipis serbuk halus yang dilapiskan
pada lempeng kaca. Plastik atau logam secara merata, umumnya digunakan
lempeng kaca.
Pemisahan yang tercapai dapat didasarkan pada adsorpsi, partisi atau
kombinasi dari kedua efek, tergantung jenis penyangga, cara pembuatan, dan
jenis pelarut yang digunakan. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan
pengamatan bercak dengan harga Rf yang identik dan ukuran yang hamper
sama. Dengan menotolkan zat uji dan baku pembanding pada lempeng yang
sama. Bercak dapat dikerok dari lempeng, kemudian diekstraksi dengan
pelarut yang sesuai dan diukur secara spektrofotometri.

2.5.2.4 Kromatografi Gas


Sekarang ini sistem GC-MS sebagian digunakan sebagai peran utama
untuk analisa makanan dan aroma, petroleum, petrokimia dan zat-zat kimia di
laboratorium. Kromatografi gas merupakan kunci dari suatu teknik anlitik dalam
pemisahan komponen mudah menguap, yaitu dengan mengkombinasikan secara
cepat analisa sehingga pemecahan yang tinggi mengurangi pengoperasian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Keuntungan dari kromatografi gas adalah hasil kuantitatif yang bagus dan
harganya lebih murah. Sedangkan kerugiannya tidak dapat memberikan indentitas
atau struktur untuk setiap puncak yang dihasilkan dan pada saat proses
karakteristik yang didefenisikan sistem tidak bagus (Mcnair, 2009).

 Komponen – komponen alat kromatografi gas


Alat GLC atau GC terdiri atas 7 bagian yang pokok seperti pada gambar, yaitu:

1. Silinder tempat gas pembawa/pengangkut


2. Pengatur aliran dan pengatur tekanan
3. Tempat injeksi cuplikan
4. Kolom
5. Detector
6. Pencatat
7. Terminal untuk 3, 4 dan 5

2.5.2.5 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)


Secara teori, pemisahan kromatogarafi yang paling baik akan diperoleh
jika fase diam mempunyai luas permukaan sebesar-besarnya, jadi memastikan
kesetimbangan yang baik antara fase. Persyaratan kedua agar pemisahan baik
adalah fase gerak bergerak dengan cepat sehingga difusi sekecil-kecilnya.
Untuk mmemperoleh permukaan fase diam yang luas, pada sebagian besar
situasi kromatografi, maka penjerap atau penyangga berupa serbuk halus.
Untuk memaksa fase gerak bergerak cepat melalui fase diam yang terbagi pada
serbuk halus harus digunakan tekanan tinggi.
Persyaratan itu telah menghasilkan teknik kromatografi cair yang paling
baru dan paling kuat. Mula-mula cara ini disebut kromatografi cair takanan
tinggi, disingkat (KCTT = HPLC). Nama ini diubah menjadi kromatografi cair
kinerja tinggi, disingkat KCKT (tetap HPLC), dan kadang-kadang secara tidak
benar disebut kromatografi cair (KC) (Gritter, 1991).
Segi unik KCKT yang lain ialah pemakaian salah satu jenis detektor yang
sangat peka untuk menganalisis eluen dari kolom jika kita memisahkan pelarut
yang tidak berwarna atau yang konsentrasinya rendah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Detektor ini dapat berupa pemantauan penjerapan sinar ultraviolet secara
terus-menerus, indeks bias, atau tetapan fisika eluen yang lain yang berubah
cukup besar ketika linarut keluar dari kolom. Secara singkat, ketika beberapa
kemajuan yang dikembangkan untuk kromatografi gas diterapkan pada
kromatografi cair klasik maka lahirlah KCKT (Gritter, 1991).
KCKT dapat disamakan dengan KGC dalam hal kepekaan dan
kemampuannya menghasilkan data kualitatif dan kuantitatif dengan sekali
kerja saja. Perbedaannya ialah fase diam yang terikat pada polimer berpori
terdapat dalam kolom baja tahan karat yang bergaris tengah kecil, dan fase
gerak cair mengalir akibat tekanan yang besar. Alat KCKT lebih mahal dari
KGC, terutama karena diperlukan sistem pompa yang cocok serta semua
sambungan harus disekrup agar dapat menahan tekanan. Fase geraknya adalah
campuran pelarut yang dapat bercampur.

Campuran ini dapat tetap susunannya (pemisahan isokratik) atau dapat diubah
perbandingannnya secara sinambung dengan menambahkan ruang pencampur
kepada susunan alat (elusi landaian). Senyawa dipantau ketika keluar dari kolom
dengan menggunakan pendeteksi, biasanya dengan mengukur spektrum serapan
UV. Dapat ditambahkan pemandu (integrator) untuk mengolah data yang
dihasilkan dan seluruh pekerjaan dapat dikendalikan dengan mkroprosesor.
Sebagian besar pemisahan dngan KCKT modern menggunakan kolom siap pakai,
dan berbagai jenis kolom ini disediakan oleh pabrik. Tetapi, kebanyakan
pemisahan dapat dilakukan dengan menggunakan kolom partikel silika mikropori
(untuk senyawa nonpolar) atau kolom fase balik, yaitu fase ikat C18 (untuk
senyawa polar) (Harborne, 1984).

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok


yaitu : (1) wadah fase gerak, (2) sistem penghantaran fase gerak, (3) alat untuk
memasukkan sampel, (4) kolom, (5) detektor, (6) wadah penampung buangan
fase gerak, (7) tabung penghubung, dan (8) suatu computer atau integrator atau
perekam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


 Keuntungan KCKT
Menurut Putra (2004), KCKT dapat dipandang sebagai pelengkap
Kromatografi Gas (KG). Dalam banyak hal kedua teknik ini dapat digunakan
untuk memperoleh efek pemisahan yang sama membaiknya. Bila derivatisasi
diperlukan pada KG, namun pada KCKT zat-zat yang tidak diderivatisasi
dapat dianalisis. Untuk zat-zat yang labil pada pemanasan atau tidak menguap,
KCKT adalah pilihan utama. Namun demikian bukan berarti KCKT
menggantikan KG, tetapi akan memainkan peranan yang lebih besar bagi para
analis laboratorium. KCKT menawarkan beberapa keuntungan dibanding
dengan kromatografi cair klasik, antara lain:

a. cepat: Waktu analisis umumnya kurang dari 1 jam. Banyak analisis yang
dapat diselesaikari sekitar 15-30 menit. Untuk analisis yang tidak rumit
(uncomplicated), waktu analisis kurang dari 5 menit bisa dicapai
b. resolusi : Berbeda dengan KG, Kromatografi Cair mempunyai dua rasa
dimana interaksi selektif dapat terjadi. Pada KG, gas yang mengalir sedikit
berinteraksi dengan zat padat; pemisahan terutama dicapai hanya dengan
rasa diam.
Kemampuan zat padat berinteraksi secara selektif dengan rasa diam dan rasa
gerak pada KCKT memberikan parameter tambahan untuk mencapai
pemisahan yang diinginkan.
c. sensitivitas detektor : Detektor absorbsi UV yang biasa digunakan dalam
KCKT dapat mendeteksi kadar dalam jumlah nanogram (10-9 g) dari
bermacam- macam zat. Detektor-detektor Fluoresensi dan Elektrokimia
dapat mendeteksi jumlah sampai picogram (10-12 g). Detektor-detektor
seperti Spektrofotometer Massa, Indeks Refraksi, Radiometri, dll dapat juga
digunakan dalam KCKT
d. kolom yang dapat digunakan kembali : Berbeda dengan kolom kromatografi
klasik, kolom KCKT dapat digunakan kembali (reusable) . Banyak analisis
yang bisa dilakukan dengan kolom yang sma sebelum dari jenis sampel
yang diinjeksi, kebersihan dari solven dan jenis solven yang digunakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


e. ideal untuk zat bermolekul besar dan berionik : zat – zat yang tidak bisa
dianalisis dengan KG karena volatilitas rendah, biasanya diderivatisasi
untuk menganalisis psesies ionik. KCKT dengan tipe eksklusi dan penukar
ion ideal sekali untuk mengalissis zat-zat tersebut.
f. mudah rekoveri sampel : Umumnya setektor yang digunakan dalam KCKT
tidak menyebabkan destruktif (kerusakan) pada komponen sampel yang
diperiksa, oleh karena itu komponen sampel tersebut dapat dengan mudah
sikumpulkan setelah melewati detektor. Solvennya dapat dihilangkan
dengan menguapkan ksecuali untuk kromatografi penukar ion memerlukan
prosedur khusus.

 Pembagian Kromatografi Berdasarkan Mekanisme Pemisahannya


Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada
pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya,
kromatografi dapat dibedakan menjadi: (a) kromatografi adsorpsi; (b)
kromatografi partisi; (c) kromatografi pasangan ion; (d) kromatografi penukar
ion; (e) kromatografi eksklusi ukuran; (f) kromatografi afinitas.

a) Kromatografi Adsorpsi
Adsorpsi merupakan penyerapan pada permukaannya saja dan jangan
sekali-kali dikacaukan dengan proses absorpsi yang berarti penyerapan
keseluruhan.
Adsorpsi pada permukaan melibatkan interaksi-interaksi elektrostatik
seperti ikatan hidrogen, penarikan dipol-dipol, dan penarikan yang diinduksi
oleh dipole. Silika gel merupakan jenis absorben (fase diam) yang
penggunaannya paling luas. Permukaan silika gel terdiri atas gugus Si-O-Si
dan gugus silanol (Si-OH).

b) Kromatografi Partisi
Partisi merupakan analog dengan ekstraksi pelarut. Fase diam diikatkan pada
padatan lapis tipis yang lembam (inert). Karena fase diam cair diikatkan pada
padatan pendukung maka masih diperdebatkan apakah proses adsorpsinya
merupakan partisi murni atau partisi yang dimodifikasi karena absorpsi juga
mungkin terjadi (Rohman,2007).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Cara ini didasarkan pada partisi linarut antara dua pelarut yang tak bercampur,
salah satunya diam (fase diam) dan yang lainnya bergerak (fase gerak). Pada
tahap awal KC, fase diam dibuat dengan cara yang sama seperti membuat
penyangga kromatografi gas (Johnson, Stevenson,1991).

c) Pertukaran Ion
Cara ini didasarkan pada pertukaran (penjerapan) ion antara fase gerak dan
titik ion pada kemasan. Banyak dammar diperoleh dari kopolimer stirena
divinilbenzena yang telah ditambahi gugus fungsi. Dammar jenis asam
sulfonat dan jenis amin kuartener merupakan pilihan terbaik untuk sebagian
besar pemakaian. Baik fase terikat maupun dammar telah digunakan. Cara
tersebut banyak dipakai dalam ilmu hayat, contohnya pemisahan asam amino,
dan dapat pula dipakai untuk pemisahan kation dan anion (Jonhson,
Stevenson,1991)
d) Kromatografi Eksklusi
Eksklusi berbeda dari mekanisme sorpsi yang lain, yakni dalam eksklusi tidak
ada interaksi spesifik antara solute dengan fase diam. Teknik ini unik karena
dalam pemisahan didasarkan pada ukuran molekul dari zat padat pengepak (fase
diam).
Pengepak adalah suatu gel dengan permukaan berlubang-lubang sangat kecil
(porous) yang inert. Sebagai fase gerak digunakan cairan. Kromatografi jenis ini
sangat dipengaruhi oleh perbedaan bentuk struktur dan ukuran molekul
(Rohman,2007).
e) Kromatografi Afinitas

Sesuai dengan namanya, kromatografi afinitas menggunakan prinsip


afinitas untuk memurniikan atau ememisahkan berbagai macam komponen.
Afinitas merupakan gaya tarik antara dua komponen atau zat yang besarannya
sangat spesifik untuk tiap omponen. Gaya tarik inilah yang akan membuat dua
komponen berkombinasi satu sama lain.
Interaksi antara kedua komponen tersebut tidaklah terjadi karena sifat –
sifat umum seperti titik isoelektrik, hidrofobisitas, atau ukuran. Interaksi terjadi
karena adanya spesifitas biologis seperti ebntuk atau konformasi yang dapat
‘mengenali’ komponen lain lalu berikatan karena memiliki bentuk yang sesuai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Peristiwa ini terjadi pada interaksi enzim dengan substrat atau antibodi dan
antigen yang merupakan substansi biologis. Interaksi ini bersifat sangat
spesifik sehingga sangat bisa diandalkan untuk memurnikan produk dengan
kualitas tinggi.
f) Kromatografi Pasangan Ion
Kromatografi pasangan ion termasuk ke dalam keluarga besar
kromatografi liquid dengan sampel yang digunakan berfase cair. Teknik ini
sering digunakan pada KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) untuk
memisahkan senyawa ionic. Kromatografi pasangan ion merupakan salah satu
dari kromatografi partisi dengan menggabungkan kemampuan kromatografi
fase balik terikat dan kromatografi pertukaran ion. Kromatografi ini digunakan
untuk memberikan pereaksi terhadap senyawa tertentu yang bersifat ionik
diubah menjadi non ionik yang didasarkan pada pembentukan suatu pasangan
ion anatara sampel dan fase gerak maupun fase diamnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu


Pelaksanaan Analisa dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Daerah di
Medan. Yang dilakukan pada bulan Februari 2018.
3.2 Alat dan Bahan Yang Digunakan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada analisa ini yaitu:

1. Beaker glass 100ml pyrex

2. Pemanas listrik

3. Chamber

4. Kertas kromatografi No. 1

5. Pipet mikro

6. Erlenmeyer 250ml pyrex

7. Lampu Sinar UV

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan untuk analisa ini yaitu:

1. Asam asetat(l) 10%


2. NH4OH(l) 10%
3. Bulu Domba
4. NH4OH (p)
5. Tri-Natrium Citrat(s)
6. Aquadest(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Preparasi Kertas Saring Whatman No. 1
1. Diukur kertas saring whatman no. 1 dengan ukuran 20 cm x 20 cm
2. Digunting kertas saring
3. Dibuat batas atas 14 cm dan batas bawah 2 cm

3.3.2 Penjenuhan Chamber


1. Diukur NH4OH(P) : Aquadest (5:95) sebanyak 100 ml
2. Dimasukkan kedalam chamber secara bersamaan
3. Ditambahkan 2 g Tri-Natrium Citrat
4. Didiamkan

3.3.3 Penentuan Harga Rf Rhodamin B


1. 50 ml sampel dimasukkan kedalam erlenmeyer

2. ditambahkan 10 ml asam asetat 10% dan 3-4 benang wol putih bebas
lemak atau bulu domba bebas lemak

3. dididihkan selama 10 menit

4. bulu domda/benang wol diambil lalu dicuci dengan aquadest

5. bulu domba/benang wol dimasukkan kembali kedalam erlenmeyer


ditambahkan 5 ml NH4OH 10% dan dididihkan 10 menit

6. benang wol/bulu domba dibuang

7. filtrat diambil dan dilakukan penotolan pada kertas kromatografi

8. dilakukan kromatografi

9. dimasukkan kertas kromatografi kedalam chamber yang berisi eluen

10. didiamkan hingga garis batas

11. diambil kertas kromatografi dan dikeringkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

12. dilihat bercak noda yang terdapat pada kertas kromatografi dibawah

lampu sinar UV

13. dihitung harga RF

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Hasil pemeriksaan Rhodamin B pada saus cabai dengan metode
kromatografi kertas di Laboratorium Kesehatan Daerah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Analisa Rhodamin B pada saus cabai

Kode Sampel Hasil Keterangan

1 Postif Terdapat Rhodamin B

2 Negatif Tidak Terdapat Rhodamin B

3 Negatif Tidak Terdapat Rhodamin B


Larutan Rhodamin
B Positif Terdapat Rhodamin B

Gambar 4.1 Hasil Analisa Rhodamin B dengan Sinar UV

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

4.2 Perhitungan
Tabel 4.2 Harga Rf Rhodamin B pada Kromatografi Kertas

Kode Sampel Harga Rf

1 0,83

2 0,75

3 0,5

Larutan 0,41
Rhodamin B

Penentuan Harga Rf Rhodamin B pada Kromatografi Kertas:

Jarak Noda
Harga Rf :
Jarak Pelarut
10
1.Harga Rf :
12

: 0,83
9
2. Harga Rf :
12

: 0,75
6
3. Harga Rf :
12

: 0,5
5
Larutan Rhodamin B :
12

: 0,41
4.3 Pembahasan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat Rhodamin B pada
Sampel nomor 1 dengan harga Rf sebesar 0,83 dan pada Larutan
Pembanding (Larutan Rhodamin B) diperoleh harga Rf sebesar 0,41.
Pada kertas kromatografi menunjukkan bahwa harga Rf dari saus cabai
yang mengandung Rhodamin B tidak sama dengan harga Rf dari Larutan
Pembanding (Larutan Rhodamin B). Hal ini disebabkan karena perbedaan
kadarnya, pada saus cabai yang mengandung Rhodamin B memiliki kadar
yang lebih tinggi dari pada Larutan Pembanding (Larutan Rhodamin B),

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

tetapi warna dari keduanya adalah sama. Ini dapat dilihat pada saat
kertas kromatografi diletakkan dibawah lampu sinar UV. Penggunaan zat
pewarna ini dilarang karena Rhodamin B termasuk bahan karsinogen
(penyebab kanker) yang kuat. Mengkonsumsi Rhodamin B dalam jangka
panjang dapat terakumulasi di dalam tubuh dan dapat menyebabkan gejala
pembesaran hati dan ginjal, gangguan fungsi hati, kerusakan hati, gangguan
fisiologis tubuh, atau bahkan bisa menyebabkan timbulnya kanker hati.

Identifikasi zat pewarna Rhodamin B dengan kromatografi kertas


ialah dengan melakukan analisa kualitatif yaitu dengan metode kromatografi
kertas yang hasil analisa nya dilihat dengan lampu UV dan secara kuantitatif
dengan menghitung Faktor Retardasi (Harga Rf) yang dihasilkan dari analisa
kromatografi kertas.

Ciri-ciri pangan yang mengandung Rhodamin B antara lain:


a) warnanya cerah mengkilap dan lebih mencolok
b) terkadang warna terlihat tidak homogen (rata), ada gumpalan warna
pada produk
c) bila dikonsumsi rasanya sedikit lebih pahit
biasanya produk pangan yang mengandung Rhodamin B tidak
mencantumkan kode, label, merek, atau identitas lengkap lainnya.

Adapun syarat zat warna untuk makanan dan minuman sebagai berikut:

a) Toksisitasnya rendah
b) Murni
c) stabil pada suhu 100 − 1100C
d) Stabil pada Ph 2-9
e) Larut baik dalam air atau minyak
f) Dapat bercampur dengan zat warna lain
g) Tahan terhadap oksidasi dan reduksi
h) Tidak menimbulkan efek karsinogenik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasi penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat Rhodamin B pada
Sampel No 1 dengan harga RF sebesar 0,83 dan pada Larutan Pembanding
(Larutan Rhodamin B) diperoleh harga RF sebesar 0,41.
2. Cara mengidentifikasi zat pewarna sintetis Rhodamin B ialah dengan
melakukan analisa kualitatif yaitu dengan metode kromatografi kertas yang
hasil analisa nya dilihat dengan lampu UV dan secara kuantitatif dengan
menghitung Faktor Retardasi (Harga Rf) yang dihasilkan dari analisa
kromatografi kertas.

5.2 Saran
1. Diharapkan kepada seluruh pedagang agar lebih jujur dalam berdagang
sehingga dapat menjaga kepercayaan masyarakat.
2. Diharapkan Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Sumatera Utara lebih
rutin melakukan pemeriksaan pada setiap makanan dan minuman yang
beredar di lingkungan masyarakat demi kesehatan dan keselamatan
konsumen.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2008. Mengenal Sekilas Tentang Zat Aditif Pewarna Makanan.


Mengenal Sekilas Tentang Zat Aditif Pewarna Makanan.

Budiyanto, A.K.2004. Dasar-dasar Ilmu Gizi. Malang:UMM Press.

Cahyadi, S,. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Cetakan Pertama . PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Depkes RI. (1985). Zat Warna Berbahaya. Jakarta: Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 239/Menkes/Per/IX/88.
Depkes RI. (1988). Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88.

Djalil, dkk. 2005. Identifikasi Zat Warna Kuning Metanil (Methanyl Yellow)
Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Berbagai Komposisi Larutan
Pengembang. Purwokerto: Farmasi UMP

[FAO] Food And Agriculture Organization Of The United Nation 2007

Gritter, R.J., Bobbitt, J.M., dan Schwarting, A.E. (1991). Pengantar Kromatografi
edisi kedua. Bandung: ITB.
Harborne, J.B. (1984). Metode Fitokimia : Penentuan Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan edisi kedua. Bandung: ITB Bandung.

Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius

Johnson. E.L, dan Stevenson, R., (1991). Dasar Kromatografi Cair. Bandung.
ITB.

Judarwanto, 2006. Hubungan Pola Konsumsi Makanan Jajanan dengan Status


Gizi Dan Fungsi Kongnitif Anak Sekolah Dasar. Surakarta: Univ.
Muhammadiyah.

Kristiana, F. 2010. Post Market Vigilance. BuletinKeamananPangan, (Online),


17(9):34,12,(http://perpustakaan.pom.go.id/.../Buletin%20Keamanan%20Pangan/
0110.pdf (5 februari 2015)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Margono, T., D. Suryati, dan S. Hartina. 2000. Pengawetan Dan Bahan Kimia.
Menegristek Bidang Pendayagunaan Dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan Dan
Teknologi. Jakarta.

Mcnair, H.M. 2009. Basic Gas Chromatography. Second Edition. New Jersey: A
john Wiley & Sons. Inc. Publicaation.

Mudjajanto , E . S,. 2006. Pewarna Makanan . Departemen Gizi Masyarakat dan


Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian . IPB . Bogor.

Nova, R., 2004. Pemeriksaan Boraks, Formalin pada Bakso Ayam dan Rhodamin
B pada Saos Tomat Jajanan Anak – anak di lingkungan Sekolah Kelurahan Cinta
Damai Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2004. Skripsi. FKM. USU, Medan.
Rohman, Abdul. (2007). Kimia Farmasi Analis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Putra, I. R., dkk, 2012. Gambaran Zat Pewarna Merah Pada Saus Cabai Yang
Terdapat Pada Jajanan Yang Dijual Di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Padang
Utara. Jurnal Kesehatan Andalas Vol. 3. No. 3.
Saparinto. C, 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius

Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. Edisi I. Cetakan I. Yogyakarta: Liberty

Sinaga, E. 2012. Biokimia Dasar. Jakarta Barat: PT. ISFI Penerbitan

Sudarmadji, S., dkk, 1989. Analisa Bahan Makanan Dan Pertanian. Cetakan I.
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta Bekerja Sama Dengan Pusat Antar Universitas
Pangan Dan Gizi Universitas Gadjah Mada

Srifatimah, E,. 1999. Pemakaian Zat Warna pada Industri Pangan. Laboratorium
Rekayasa Genatika. ITB. Bandung .

Trestiati, M. 2003. Analisis Rhodamin B Pada Makanan Dan Minuman Jajanan


Anak SD. Bandung Department Of Environmental Enginering

Winarno, F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


WHO. (1992). Validation of Analytical Procedures Used in Examination of
Pharmaceutical materials. WHO Technical Report Series. No. 823.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 1. Zat Pewarna bagi Makanan dan Minuman yang Dilarang di
Indonesia (Winarno, F.G. 1992)

Warna Nama

Orange Auramin

Orange Alkanet

Kuning Butter yellow

Hitam Black 7984

Coklat Burn umber

Orange Chrysoindine

Orange Chrysoine

Merah Citrus red No. 2

Coklat Chocolate brown FB

Merah Fast red E

Kuning Fast yellow AB

Hijau Guinea green B

Biru Indanthrene blue RS

Violet Magenta

Kuning Metanil yellow

Orange Oil orange SS

Orange Oil orange XO

Kuning Oil yellow AB

Kuning Oil yellow OB

Orange Orange G

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Orange Orange GGN

Orange Orange RN

Orange Orchid and orcein

Merah Ponceau 3R

Merah Ponceau SX

Merah Ponceau 6R

Merah Rhodamin B

Merah Sudan I

Violet Scarlet GN

Violet Violet 6B

Lampiran 2. Zat Pewarna bagi Makanan dan Minuman yang Diizinkan di


Indonesia

Warna Nama

I Zat Warna Alam

Merah Alkanat

Merah Cocbineal red (karmin)

Kuning Annato

Kuning Karoten

Kuning Kurkumin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kuning Safron

Hijau Klorofil

II Zat Warna Sintetik

Merah Carmoisine

Merah Amaranth

Merah Erythrosim

Orange Sunsetyellow FCF

Kuning Tartrazine

Kuning Quineline yellow

Hijau Fast green FCF

Biru Brilliant blue FCF

Biru Indigocarmine

Ungu Violet GB

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai