Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KEPANCASILAAN

PERSATUAN DALAM KEBHINEKAAN

DI SUSUN OLEH :
1. IDA AYU KOMANG PUTRI ( 2018130082 )
2. SEKAR AYU WULANDARI ( 2018130012 )
3. BOLIVIA ( 2018130034 )
4. IVANA SYALWA F. ( 2018130054 )

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
2019
PERSATUAN DALAM KEBHINEKAAN
Pancasila memiliki konsepsi dasar negara mengenai persatuan Indonesia, itu artinya
pancasila sebagai negara yang mendapatkan kemerdekaannya dengan kerja keras para
pejuangnya dengan menyatukan rakyatnya sehingga Indonesia bisa mendapatkan apa itu yang
namanya kemerdekaan atau bebas dari penjajahan. Meski menunjukkan keragaman dan
perubahan, sebagai dampak kehadiran aneka budaya dan peradaban besar dalam jangka waktu
panjang, baik yang hadir serentak maupun beruntun, yang kuat maupun yang lemah, Nusantara,
dalam pandangan Dennis Lombard, masih mampu mempertahankan “keasliannya” yang
mendalam.
Asal-usul yang menyangkut persatuan kebangsaan Indonesia tersebut telah digodok
oleh panitia kecil (tidak resmi) beranggotakan sembilan orang, yang bertugas merumuskan
rancangan Pembukaan UUD. Berdasarkan hasil rumusan Panitia Sembilan, yang disepakati pada
22 Juni 1945, kebangsaan Indonesia diakui sebagai salah satu Dasar Negara dalam ungkapan
“Persatuan Indonesia”. Posisinya ditempatkan pada urutan (sila) ketiga pada Pancasila,
mengalami pergeseran dari urutan pertama dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945.
Negosiasi Antargolongan dalam Pembentukan “Nasionalisme (Modern)”
Indonesia
Memasuki dekade 1920-an , intelegensia teklah menemukan cara cara untuk
berkomunikasi dengan rakyat. Seiring dengan merajaelanya radikalisme politik, “Politik Etis”
segera menjadi kredo yang usang. Pada awal 1920-an arus dalam opini Belanda beranggapan
bahwa para intelektual Hindia yang progresif adalah pengacau ketertiban publik di negri jajahan.
Pada awalnya, penemuan Ideologi memang dibutuhkan bukan saja untuk memberikan
landasan teoritis yang solid dalam rangka memberikan respons terhadap negara kolonial yang
represif, melainkan memberikan makna dan rasa identitas bersama terhadap tindakan-tindakan
kolektif. Dengan segera muncullah beragam tradisi politikyang berpusat diseputar gugus
inteligensia dan “ulama-intelek”. Di sepanjang garis perbedaan tradisi politik intelektual,
semuanya dipersatukan oleh kehendak bersama untuk memerdekakan diri dari cengkraman
kolonial. Pada 1920-1945 adalah memperkenalkan dan menegosiasikan periode ketika gagasan
mengenai nasionalisme politik dan negara Indonesia diantara berbagai kelompok intelegensia.
Dengan kedatangan mahasiswa berlatar bergerakan, himpunan aktivis semakin kritis dan mereka
memandaang perlu adanya konsepsi kebangsaan baru yang bisa mengatasi pelbagai perbedaan
agama, etnis, dan ideologis, serta semangat inilah, mereka menyadari istilah “East(Indies)
(India/Hindia-Timur) tidak lagi tepat.
Usaha untuk mendapatkan konsepsi menghasilkan insirasi dan penggunaan istilah
“Indonesia” (“indu-nesi-ans”) dalam studi etnologi dan antropologi untuk menemani suatu gugus
geobudaaya di sepanjang india “ Kepulauan “ sebagai indentitas tersendiri yang dibedakan dari
india daratan. Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Sarjana Inggris, George Windsor Earl
pada1850.
Istilah indonesia dijadikan Neologisme oleh aktivis mahasiswa dan intelegensia karna
dasar akan politik dan tanah air. Neologisme berarti mencoba menggunakan istilah lama untuk
konteks dan pemaknaan baru, dalam usaha menemukan kode bersama bagi kebangsaan baru.
Ditangan mereka istilah ini diformulasikan secara spesifik untuk merujuk pada konteks politiko-
spasial tertentu dari Hindia, dan memberikan sebuah arah politik baru bagi gerakan-gerakan
nasionalis. Dalam kata-kata Hatta (1928; 1998: 15) : “Bagi kamu, Indonesia menyatakan suatu
tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan
untuk mewujudkanya tiap warga indonesia akan selalu berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuanya”.
Persatuan dan Perumusan Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, dalam proses pembuatannya telah menjadi salah satu
sejarah terpenting di Indonesia. Sebab, dalam proses pembuatannya melewati banyak sekali
tahapan yang cukup menegangkan dan juga tidak boleh salah langkah dalam perumusannya.
Dikarenakan Pancasila merupakan dasar negara yang fleksibel, maka dapat diartikan pancasila
ini berlaku juga di masa mendatang atau juga tidak boleh bertentangan oleh kemajuan zaman
atau juga pada kehidupan dimasyarakat. Justru Pancasila merupakan suatu penghubung sekaligus
pengikat dalam kehidupan sehari-hari.

1. Persatuan dan Kesatuan

Sikap ini dimiliki oleh para tokoh pejuang kita pada saat merumuskan Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI para peserta sidang diberi kesempatan untuk
menyampaikan pidatonya tentang rumusan dasar negara, kemudian dibahas dan
didiskusiakan bersama untuk mendapatkan rumusan yang terbaik. Adapun contoh perilaku
yang menggambarkan semangat persatuan dan kesatuan adalah sebagai berikut : Gotong-
royong dalam membersihkan kelas dan lingkungan sekolah, Tidak membeda-bedakan teman
dalam pergaulan, Kerja bakti membersihkan lingkungan masyarakat

2. Memperjuangkan Hak Asasi Manusia

Pada saat perumusan dasar negara Pancasila, hak asai manusia selalu menjadi perhatian
utama. Pancasila dirumuskan sebagai sumber hak asasi manusia, yang artinya bahwa hak
asasi manusia mendapat jaminan kuat dari Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Dalam proses perumusan Pancasila para tokoh mencerminkan sikap saling menghargai hak
asasi manusia.Sikap para tokoh dalam memperjuangkan dan menghargai hak asasi manusia
itu perlu kita teladani dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya ialah dengan : Tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain, Memberi kesempatan orang lain untuk
menyampaikan pendapatnya, Menghargai hak-hak orang lain.

3. Cinta Tanah Air

Sikap para tokoh dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara menunjukkan kecintaanya
terhadap tanah air Indonesia. Adapun sikap cinta tanah air yang harus diteladani dalam
kehidupan sehari-hari antara lain sebagai berikut: Mempelajari kebudayaan daerah,
Mencintai produk dalam negeri, Berprestasi dalam kegiatan yang mengharumkan nama
bangsa.

4. Mendahulukan Kepentingan Umum

Para pejuang yang terlibat dalam perumusan dasar negara bekerja tanpa mengenal lelah.
Mereka mempersiapkan kemerdekaan beserta alat-alat perlengkapan negara dengan sungguh-
sungguh. Sebagai hasil jerih payah mereka, lahirlah UUD 1945 yang di dlam pembukaannya
termuat tujuan negara Indonesia. Semua itu dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara.
Adapun sikap mendahulukan kepentingan umum itu perlu kita teladani diantaranya
dengan: Ikut berpartisipasi dalam kerja bakti di lingkungan masyarakat, Menyiapkan sarana
belajar sebelum pelajaran di mulai untuk kepentingan kelas.

5. Jiwa Kepahlawanan

Jiwa kepahlawanan jelas tercermin dari sikap pejuang dalam proses perumusan Pancasila.
Mereka memiliki sikap rela berkorban tanpa pamrih dalam mewujudkan Indonesia merdeka.
Jiwa kepahlawanan para tokoh bangsa tersebut dapat kita teladani, diantaranya melalui:
Membantu orang lain yang sedang mengalami kesulitan, Berani menegur teman yang berbuat
tidak baik, Melerai teman yang berselisih.

Adapun pasal 36 tentang Bahasa Indonesia, pada mulanya ditempatkan pada pasal 35.
Rumusan pasal ini berbunyi: ‘Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia.‘ dalam penjelasan,
Soepomo menyatakan:

“Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia’ sama sekali tidak berarti bahwa misalnya
bahasa jawa atau bahasa sunda harus dihapuskan. Sama sekali tidak! Saya pernah mendengar
dalam sidang ini perkataan: ‘janganlah memakai nama Soekardjo sebab itu ialah nama Jawa.
Kita harus memakai nama Indonesia”. Pendapat ini salah! Bukan itu yang dimaksudkan. Nama
Jawa atau nama Sunda itu juga nama Indonesia

Perspektif Teoritis-Komparatif

Nama ‘Indonesia’ seperti yang kita kenal saat ini, pada akar tunjangnya tertancap suatu
cita-cita politik. Dalam kata-kata Bung Hatta (1928), hal ini diungkapkan demikian:’bagi kami
Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu
tanah air dimasa depan, dan untuk mewujudkannya, tiap orang Indonesia akan berusaha dengan
segala tenaga dan kemampuannya.’

Hakikat Indonesia adalah suatu cita-cita politik untuk mempersatukan unsur-unsur tradisi
dan inovasi serta keragaman etnis, agama, budaya, dan kelas social kedalam suatu ‘botol baru’
bernama ‘negara-bangsa.’ Hasrat persatuan itu memang terjadi secara negative, didorong oleh
kehendak menghadapi musuh bersama (Negara rasional), dan secara positif, tercipta oleh hasrat
untuk mencapai kebahagaiaan bersama.

Dalam kaitan ini, perlu dijelaskan konsepsi dasar tentang ‘negara-bangsa’. Bangsa
(nation) adalah suatu konsepsi structural tentang suatu komunitas politis yang secara keseluruhan
dibayangkan sebagai kerabat yang bersifat terbatas dan berdaulat (Anderson, 1991). Dalam
komunitas politik modern, batas bayangan komunitas itu secara politik menjelma dalam bentuk
Negara-bangsa. Adapun yang dimaksud negara (state) adalah suatu ‘konsepsi politik’ tentang
sebuah kesatuan politik yang berdaulat, yang tumbuh berdasarkan kesepakatan atau kontrak
social yang meletakkan individu dalam kerangka kewarganegaraan (citizen-ship). Dalam
kerangka ini individu dipertautkan kepada suatu unit politik (Negara) dalam kedudukan yang
sederajat dihadapan hokum. Dengan kata lain, bnagsa beroperasi atas prinsip hukum dan
keadilan. Konsep Negara-bangsa mengisyaratkan perlunya keserasian (congruency) antara ‘untit
kultural’ (bangsa) dengan ‘unit politik’ (Negara). Inti persoalannya adalah
bagaimanamenemukan bangun dan jiwa kenegaraan yang cocok dengan karakter kebangsaan.

Dalam konteks Indonesia, kesadaran nasional serta pembentukan kesatubangsaan


merupakan reaksi terhadap keberadaan Negara (colonial) yang asing. Perjuangan politik rakyat
terjajah pada mulanya diorientasikan untuk membentuk ‘negara dalam negara’ dengan tujuan
untuk menghilangkan kata ‘Belanda’ dari istilah Hindia-Belanda dengan Negara merdeka
‘Hindia’ (kemudian diberi nama Indonesia itulah yang mendorong timbulnya kesadaran nasional
Indonesia).

Dalam rangka mengganti Negara-kolonial dengan Negara impian itu, pada mulanya
dicoba untuk membentuk komunitas bayangan (nation) berdasarkan konsepsi ‘etho-nationalism’
atau ‘cultural-nationalism’. Cultural nationalism adalah suatu konsepsi kebangsaanyang
memandang bahwa kemanusiaan secara inheren diorganisasikan kedalam komunitas historis,
yng maisng-masing diwarnai oleh kekuatan uniknya sendiri, yang diekspresikan melalui
kekhasan budaya, berbasiskan pada persada ilmiah (natural homelands). Dengan tata
pemerintahan yang khas. Percobaan ini dilakukan oleh Budi Utomo yang membatasi bayangan
komunitas impiannya berlandaskan kesamaan etnis (jawa), dan oleh Serikat islam, yang
berlandaskan sentiment keagamaan. Tetapi, semua eksperimen pembentukan konsepsi yang
berlandaskan anasir etno-religius belum berhasil mewujudkan blok historis bersama dari suatu
masyarakat yang begitu majemuk seperti Indonesia. Timbulah kesadaran baru untuk
memperjuangkan suatu konsepsi nasionalisme sipik-politik (civic political nationalism), yakni
suatu konsepsi yang memandang bangsa sebagai komunitas politik dari kehendak bersama
(political community of will) yang dibangun atas keputusan rasional yang dibuat oleh warga
Negara yang sederajat dalam dasar kesamaan kehendak dan tumpah darah (Hutchininson,
2005:45-46). Dalam penilaian John Hutchison (2005: 10-11) interpretasi yang menekankan
empat aspek utama formasi kebangsaan, bahwa bangsa merupakan:

1. Unit politik sekuler, yang dijiwai oleh gagasan tentang kedaulatan rakyat (popular
sovereignty), yang mencari perwujudannya dalam kehadiran Negara independen,
dipersatukan oleh hak-hak kewarganegaraan yang universal.
2. Teritorial yang terkonsolidasikan, yang memperlihatkan skala baru organisasi yang
diusung oleh Negara birokratis dan ekonomi pasar yang telah memudarkan kesetiaan
local dan regional serta melahirkan jaringan komunikasi yang lebig intensif.
3. Secara etnis lebih homogeny dibandingkan denganmasyarakat polietnis sebelumnya,
berkat kebajikan polisi Negara.
4. Prinsip-prinsip etnik sendiri hingga taraf tertentu mendefinisikan watak dari kebangkitan
kembali seperti itu, dan oleh karena itu, memiliki efek yang berbeda dalm formasi Negara
modern.

Membumikan Persatuan Dalam Kebhinekaan

“Persatuan Indonesia” adalah sila ke-3 dari Pancasila, yang mempunyai nilai filosofis
yang sangat luar biasa yang diikrarkan oleh para pendiri bangsa indonesia (founding father)
untuk mempersatukan kemajemukan (plural society) yang dimiliki Indonesia. Bersatu adalah
berkumpulnya antara individu menjadi suatu kelompok yang merencanakan sesuatu untuk
kemajuan masyarakatnya. Persatuan adalah pokok penting dalam mewujudkan suatu cita-cita
masyarakat, bangsa dan Negara. Persatuan bangsa Indonesia karena ada beberapa faktor yang
ada kaitannya dalam bangsa Indonesia, diantaranya :

1. Dilahirkan dari satu nenek moyang, sehingga kita memiliki kesatuan darah.
2. Memiliki kesatuan sejarah, yaitu bangsa Indonesia dibesarkan melalui gemilangnya kerajaan
kerajaan di Indonesia, misalnya; Majapahit, Sriwijaya, Mataram dan sebagainya.
3. Memiliki kesamaan nasib, baik suka maupun dukanya, dijajah Belanda, Jepang dan
sebagainya.
Hakikat negara persatuan bahwa negara adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat pada
hakikatnya mewakili diri pada penyelenggara negara, menata dan mengatur dirinya dalam
mencapai tujuan hidupnya. Dalam hubungan ini negara tidak memandang masyarakat sebagai
suatu objek yang berada diluar negara, melainkan sebagai sumber genetik dari dirinya.
Masyarakat sebagai suatu unsur dalam negara tumbuh bersama dari berbagai golongan yang ada
dalam masyarakat untuk terselenggaranya kesatuan hidup dalam suatu interaksi saling memberi
dan menerima antar warganya. Sebagai suatu totalitas, masyarakat memiliki suatu kesatuan tidak
hanya dalam arti lahiriah, melainkan juga dalam arti batiniah, atau kesatuan idea yang menjadi
fondamen dalam kehidupan kebangsaan.(Besar,1995;83)
Keanekaragaman suku dan budaya bangsa, harus kita syukuri karena perbedaan dalam
persatuan ini adalah daya penarik ke arah suatu kerjasama persatuan dan kesatuan dalam suatu
sintesis dan sinergi yang positif, sehingga keanekaragaman itu justru terwujud dalam suatu
kerjasama yang luhur. Proses terbentuknya bangsa Indonesia bukanlah sebagai proses
kesepakatan individu karena adanya homo homini lupus karena adanya penindasan individu lain
dalam kebebasan alamiah melainkan suatu proses kesepakatan, konsensus antar elemen bangsa
membentuk suatu bangsa, ras, golongan, budaya, agama bahkan juga kalangan kerajaan-kerajaan
serta secara grafis terdiri atas beribu-ribu pulau dengan local wisdom-nya masing-masing, yang
unsur-unsur itu telah ada sebelum negara Indonesia terbentuk. Terbentuknya negara Indonesia
didahului dengan terbentuknya bangsa atas kesamaan cita-cita, kesamaan jiwa karakter, serta
tujuan dalam hidup bersama yang berkesejahteraan, berketuhanan, berkemanusiaan dan
berkeadaban. Jadi negara Indonesia adalah negara kebangsaan (Nation State), bukan negara yang
merupakan kumpulan dari individu-individu. (Kaelan Ms, 2015;14)

Lemahnya internalisasi nilai-nilai ideologi Pancasila, memberikan iklim yang kondusif


bagi berkembangnya paham yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa
(radikalisme, terorisme, dan intoleransi). Nampaknya tantangan globalisasi dewasa ini semakin
rumit. Lemahnya ideologi komunisme di dunia dewasa ini muncul suatu gerakan baru yang
bersumber pada paham keagamaan yang fundamental. Jelas dalam konteks Indonesia sebagai
negara kesatuan berkembangnya paham-paham radikal, intoleransi serta tindakan teror akan
sangat berbahaya bagi kedaulatan bangsa Indonesia karena paham dan ajaran yang dianut adalah
bukan ajaran dan cermin dari budaya bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi perbedaan
dalam persatuan dan kesatuan bangsa “Bhinneka tunggal ika”

Memiliki satu tekad, gagasan dan cita-cita guna mencapai hidup bersama terhadap suatu
Negara Republik Indonesia yang merdeka dari penjajahan. Dan bangsa Indonesia, dengan segala
kesuciannya ideologinya, akan mewujudkan faham di berikut ini : Menempatkan persatuan,
kesatuan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, Rela
berkorban terhadap kepentingan dan kemajuan berbangsa maupun berNegara, Cinta tanah air
dan bangsa. Semboyan Indonesia, yaitu “Merah darahku, Putih Tulangku bersatu dalam
Nasionalisme”, Bangga menjadi orang Indonesia dan bertanah air Indonesia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan kemajuan pergaulan yang diperuntukan
terhadap sikap persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Anda mungkin juga menyukai