Askep Stroke Hemoragik PDF
Askep Stroke Hemoragik PDF
Kelompok SGD 4
2011
Learning Task
• Agnosia
• Aneurysm
• Aphasia
• Apraxsia
• Ataxsia
• Dysarthria
• Expressive aphasia
• Hemianopsia
• Hemiplegia/hemiparesis
• Infraction
• Korsaff’s syndrome
• Penumbra region
• Perseveration
• Receptive apahasia
Kelompok 1-4
CVA Hemoragik
6. Apa saja pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada
stroke hemoragik?
Pembahasan:
Ketidak mampuan untuk mengenali benda karena stimulus sensoriknya tidak bisa
diinterpretasi kendati terdapat alat indera yang normal (Weller, 2005; 20).
Adalah keadaan ketika kemampuan terganggu untuk mengenali bentuk atau sifat
berbagai benda. Biasanya agnosia hanya meliputi satu indera – pendengaran,
penglihatan, atau sentuhan (Kowalak, 2011; 271).
Aneurisma adalah kantong yang terbentuk oleh dilatasi local pembuluh darah,
biasanya pada arteri, karena kesalahan lokan di dinding pembuluh darah akibat
defek, penyakit atau cedera, yang menghasilkan pembengkakan, sering kali
berdenyut, dengan suara bising dapat didengar di atas pembuluh darah tersebut
(Brooker, 2009; 500).
3. Aphasia, Afasia adalah kehilangan daya pengutaraan melalui bicara, menulis atau
penggunaan tanda- tanda , dan kehilangan pengertian bahasa yang didengar atau
dibaca.Afasia terbagi dua yaitu : Afasia motorik dan afasia sensorik. Afasia motorik
adalah kesulitan berkata- kata tetapi dapat mengerti pembicaraan, sedangkan afasia
sensorik dimana pasien sukar mengerti komprehensi pembicaraan orang , tetapi
mudah mengucapkan kata, tanpa adanya gangguan pendengaran.
Gangguan komunikasi akibat kerusakan otak yang ditandai oleh gangguan total atau
parsial dalam pemahaman, perumusan, atau pengungkapan bahasa (Weller, 2005;
45).
Ketidakmampuan melaksanakan gerakan yang benar karena adanya lesi otak dan
bukan karena gangguan sensorik atau kehilangan kekuatan otot pada extremitas
(Weller, 2005; 51).
5. Kegagalan koordinasi otot yang mengakibatkan gerakan yang ireguler dan tersentak-
sentak (Weller, 2005; 61).
Gerakan yang tidak tepat waktu dan tidak terkoordinasi (Brooker, 2009; 399).
Istilah Ataxia berasal dari bahasa Yunani, artinya kegagalan mengerjakan segala
sesuatu sesuai urutan. Gerakan dari tubuh dan anggota gerak tidak stabil, canggung
karena hilangnya koordinasi semua otot-otot tubuh merupakan gejala-gejala penyakit
tersebut. Ataxia berarti ketidakmampuan koordinasi tubuh yang tidak disebabkan
kelemahan otot. Kata ataxia digunakan untuk mengartikan koordinasi yang buruk
atau secara spesifik untuk menunjukkan sebuah penyakit yang menyerang system
saraf. Ataxia menyerang (memberi efek pada) jari tangan serta tangan, kaki, tubuh,
vocal berbicara, dan juga pergerakan mata. Sistem koordinasi yang buruk ini
disebabkan oleh sejumlah perbedaan kesehatan atau kondisi saraf.
6. Dysarthria adalah gangguan berbicara yang terjadi karena gangguan control otot
mekanisme bicara akibat kerusakan susunan saraf pusat dan/ perifer (Brooker, 2009;
44).
Afasia ekspresif (non-fasih afasia), juga dikenal sebagai Broca afasia secara klinis
neuropsikologi dan afasia agrammatic di kognitif neuropsikologi , disebabkan oleh
kerusakan atau masalah perkembangan di daerah anterior dari otak , termasuk
(namun tidak terbatas pada) posterior kiri lebih rendah gyrus frontal dikenal sebagai
area Broca ( daerah Brodmann 44 dan daerah Brodmann 45 ). Hal ini ditandai
dengan hilangnya kemampuan untuk menghasilkan bahasa (lisan atau tertulis).
afasia ekspresif berbeda dari dysarthria , yang dicirikan oleh ketidakmampuan pasien
untuk menggerakkan otot-otot lidah dan mulut dengan benar untuk menghasilkan
suara. Afasia ekspresif kontras dengan afasia reseptif , yang dicirikan oleh
ketidakmampuan pasien untuk memahami bahasa atau berbicara dengan kata-kata
tepat dengan makna yang tepat.
8. Kebutaan setengan lapang pandang pada satu atau kedua mata (Brunner, 2002;
2144).
Hemianopsia adalah defek penglihatan atau kebutaan pada separuh lapang pandang
pada satu atau kedua mata; secara bebas, skotoma pada kurang dari separuh
lapang pandang pada satu atau kedua mata. Hemianopsia homonim (monocular
hemianopsia) adalah hemianopsia pada sisi temporal lapang pandang salah satu
mata akibat lesi pada jalur visual dibelakang kiasma. Hemianopia, atau
hemianopsie, adalah jenis anopsia mana visi menurun atau kebutaan terjadi di
setengah bidang visual dari salah satu atau kedua mata. Dalam kebanyakan kasus,
kerugian bidang visual menghormati garis tengah vertikal. Penyebab paling umum
dari kerusakan ini termasuk stroke, tumor otak dan trauma.
9. Paralis atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang biasanya disebabkan oleh cidera
atau penyakit pada otak (Weller, 2005; 311).
Hemiplegia atau hemiparesis adalah paralisis atau kelemahan di salah satu sisi
tubuh, biasanya terjadi akibat cerebrovascular accident yang mengenai sisi otak
yang bersebrangan (Brooker, 2009; 446).
10. Infarction adalah kematian sebagian jaringan karena suplai darahnya terputus.
Pembentukan infark (daerah nekrosis berbentuk baji pada suatu organ akibat
penyumbatan pembuluh darah yang biasanya disebabkan oleh embolus) (Weller,
2005; 351)
11. Suatu keadaan kronis dengan terjadinya gangguan daya ingat khususnya terhadap
kejadian yang baru saja terjadi; pasien sindrom ini juga mengalami disorientasi waktu
dan tempat (Weller, 2005; 382).
12. Penumbra region adalah daerah disekitar core yang mengalami infark.
13. Timbulnya kembali secara terus menerus sebuah gagasan atau kecenderungan
untuk mengulangi kata-kata atau perbuatan yang sama (Weller, 2005; 517).
Perseveration adalah pengulangan secara terus menerus suatu kata atau kalimat
yang tidak bermakna.
14. Ketidakmampuan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain; sering dihubungkan
denga kerusakan daerah lobus temporal (Brunner, 2002; 2144).
Receptive aphasia adalah mempunyai kesulitan yang parah dalam mengerti kata-
kata dan mengerti percakapan. Anak dengan Executive Aphasia dapat mengerti
dengan cukup baik tetapi mempunyai kesulitan membuat kata-kata untuk dirinya
sendiri.
1. Definisi dari stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler (Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi,1999).
Stroke juga dapat diartikan sebagai defisit neurologist akut yang disebabkan oleh
gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai
dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989).
Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. Stroke
dapat terjadi akibat pembentukkan thrombus di suatu arteri cerebrum, akibat emboli
yang mengalir ke otak dari tempat lain ke tubuh, atau akibat perdarahan otak.pada
stroke. Terjadi hipoksia cerebrum yang menyebabkan cedera dan kematian sel-sel
neuron.
Adapun gejala-gejala yang timbul :
• Secara tiba-tiba dalam waktu sejenak, beberapa menit, jam, atau setengah hari.
• Serentak dengan hilang kesadaran ( pingsan = koma )
• Secara berangsur–angsur dan disertai kesdaran yang menurun
• Serentak tanpa gangguan kesadaran
• Langsung setelah mendapatkan kejang fokal pada lengan atau tungkai ataupun
sebelah / seluruh tubuh, dengan hilangnya kesadaran sewaktu kejang umum.
• Beberapa waktu setelah mendapatkan serangan vertigo atau sakit kepala.
• Beberapa waktu setelah mengidap buta mutlak menetap pada sisi yang
berlawanan dengan sisi tubuh tumpuh
• Beberapa waktu setelah mengidap buta sementara, sekali atau beberapa kali (buta
puganya )
• Serentak atau tidak lama setelah mengidap infark jantung atau berada dalam
keadaan hipotensi.
Gejala-gejala trersebut di atas merupakan manifestasi infark regional dari otak, daerah
subkortikal atupun dengan bantuan otak. Sehingga stroke dapat didefinisikan sebagai
suatu sindroma akibat lesi vaskuler regional dibatang otak,
daerah subkortikal atau kortikal.
Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi:
• stroke hemoragik
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak.
Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi
perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena
hipoksia jaringan otak.
2. Epidemiologi dari stroke hemoragik, yakni insiden stroke bervariasi di berbagai negara
di Eropa, diperkirakan terdapat 100-200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per
tahun (Hacke dkk, 2003). Di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden
stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan
4.8 juta penderita stroke yang bertahan hidup. (Goldstein dkk, 2006). Rasio insiden pria
dan wanita adalah 1.25 pada kelompok usia 55-64 tahun, 1.50 pada kelompok usia 65-
74 tahun, 1.07 pada kelompok usia 75-84 tahun dan 0.76 pada kelompok usia diatas 85
tahun (Lloyd dkk, 2009).
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada stroke
hemoragik dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
Pemeriksaan Fisik:
a. Keadaan umum
• Kesadaran: umumnya mengalami penurunan kesadaran
• Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak
bisa bicara.
• Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi.
b. Pemeriksaan integument
• Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan
maka turgor kulit akan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus
terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke harus bed rest 2-3
minggu
• Kuku: perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
• Rambut: umumnya tidak ada kelainan.
c. Pemeriksaan kepala dan leher
• Kepala: bentuk normocephalik
• Muka: umumnya tidak simetris yaitu miring ke salah satu sisi
• Leher: kaku kuduk jarang terjadi.
d. Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing
ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk
dan menelan.
e. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang
terdapat kembung.
f. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine.
g. Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
h. Pemeriksaan neurologi:
• Pemeriksaan nervus cranialis
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
• Pemeriksaan motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
• Pemeriksaan sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi.
• Pemeriksaan reflex
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks
patologis.
Pemeriksaan Penunjang:
a. Pemeriksaan laboratorium
• Peningkatan Hb & Ht terkait dengan stroke berat
• Peningkatan WBC indikasi adanya infeksi à endokarditis bakterialis.
• Analisa CSF (merah) à perdarahan sub arachnoid
• Pungsi Lumbal
Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukan hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra
kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan
adanya proses inflamasi.
b. Pemeriksaan Radiologi
• CT Scan
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark
• Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau
obstruksi arteri
• MRI
Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik ( masalah sistem arteri
karotis ( aliran darah / muncul plak ) arteriosklerotik ).
• EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
• Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
• Sinar X Tengkorak: Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
yang berlawanan dari massa yang meluas; klasifikasi karotis interna terdapat
pada trombosis serebral; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhnoid. (Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)
7. Penatalaksanaan Medis
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh
dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan
oksigen sesuai kebutuhan.
4. Bed rest
8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan
glukosa murni atau cairan hipotonik.
9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat
meningkatkan Tekanan Intrakranial (TIK).
10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun
atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT.
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan
mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat
maupunkelompok risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa
pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
• Mengatur pola makan yang sehat, misalnya pembatasan makan garam dimulai dari
masa muda, membiasakan memakan makanan tanpa garam atau makanan bayi
rendah garam.
• Melakukan olah raga yang teratur, misalnya jalan setiap hari sebagai bagian dari
program kebugaran.
• Menghentikan rokok
• Khususnya pada orang tua, perawatan yang intensif untuk mempertahankan tekanan
darah selama tindakan pembedahan. Cegah jangan sampai penderita diberi obat
penenang berlebihan dan istirahat ditempat tidur yang terlalu lama.
• Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat.
• Pemakaian antiplatelet.
1. Depresi
Dampak yang menyulitkan penderita dan orang di sekitarnya. Oleh karena itu
keterbatasan akibat kelumpuhan, sulit berkomunikasi sehingga penderita stroke
dapat mengalami depresi.
2. Darah beku
4. Dekubitus
Saat mengalami stroke usahakan untuk selalu berpindah dan bergerak secara
teratur. Bagian yang biasa mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan
tumit. Bila memar ini tidak dirawat bisa menjadi infeksi, keadaan ini dapat menjadi
parah bila berbaring di tempat tidur yang basah.
Komplikasi lain yang terjadi antara lain disuse atrofi pada otot, misuse (nyeri sendi
bahu dan genu), luka pada kulit yang tertekan (decubitus), hipotensi orthastatic,
gangguan psychologic, pneumonia (infeksi saluran pernafasan) dan Infeksi saluran
kemih (UTI).
Komplikasi yang sering terjadi setelah serangan stroke adalah: (1) kejang pada
pasien pasca stroke sekitar 4-8 %, (2) Trombosis Vena Dalam (TVD) sekitar 11-75 %
dan Embboli Pulmonum sekitar 3-10 %, (3) perdarahan saluran cerna sekitar 1-3 %,
(4) dekubitus, (5) pneumonia, (6) stress, (7) bekuan darah, (8) nyeri pundak dan
subluxation (Junaidei, 2006).
Pathway:
PerfusiHipertens
Otak Menurun
1 Metabolisme
↑Asam 2
Laktat ↓ STRO
perfusi
Edema i Otak Otak
jaringan
Aneurisma otak
Pembuluh DarahNekrosis
Anaerob Tidak Jaringan
Mampu
Iskemia Lagi Menahan Pompa Na dan
Aktivitas
Tekanan K gagal
Elektrolit
Pembuluh darah pecah
1 2
↓ Fungsi Saraf
Vasodilatasi
Jaringan
pembuluh darah
mengalami reaksi Hambatan Mobilitas Konfusi
Tekanan
dan Intrakranial
pergeseran
Nyeri Akut Fisik Kronik
meningkat
Nyeri
sensasiKepala
nyeri Saraf Motorik
Imobilisasi Saraf Motorik
10. Asuhan Keperawatan pada stroke hemoragik:
Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sengaja dilakukan secara sistematik
untuk menentukan keadaan kesehatan klien sekarang dan masa lalu serta untuk
mengevaluasi pola koping klien sekarang dan masa lalu. Data dapat diperoleh dengan 5
(lima) cara yaitu wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, menelaah catatan dan
laporan diagnostik serta berkolaborasi dengan tim kesehatan lain. Untuk mewujudkan
pengkajian yang akurat, perawat harus dapat berkomunikasi secara efektif,
mengobservasi secara sistematik dan menginterprestasikan data yang akurat
(Carpenito, 2000).
Data dasar yang ada pada saat pengkajian pasien stroke menurut Doenges,
Moorhouse, Geissler (1999) adalah :
1. Aktifitas/istirahat
Adanya kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis, terdapat gangguan tonus otot
dan gangguan tingkat kesadaran.
2. Sirkulasi
Adanya hipertensi arterial, disritmia, desiran pada karotis, femoralis dan aorta yang
abnormal.
3. Integritas Ego
Ditemukan adanya emosi yang labil dan kesulitan untuk mengekspresikan diri,
perasaan tidak berdaya dan putus asa.
4. Eliminasi
Ditemukan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine maupun anuria,
distensi abdomen (pada perabaan kandung kemih berlebihan).
5. Status Nutrisi
Didapatkan anoreksia, mual dan muntah selama fase peningkatan TIK, kehilangan
sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan dan disfagia (kesulitan menelan).
6. Neurosensori
Adanya sakit kepala (yang bertambah berat dengan adanya perdarahan intraserebral),
kelemahan, kesemutan, penglihatan menurun (total), kehilangan daya lihat sebagian
(kebutaan monokuler), penglihatan ganda (diplopia) serta hilangnya rangsang sensorik
kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada ekstremitas. Dapat juga
ditemukan adanya gangguan tingkat kesadaran seperti koma, kelemahan atau paralisis,
pada ekstermitas (kontralateral pada semua jenis stroke), parase pada wajah, afasia,
miosis/midriasis pada pupil disertai dengan ukuran yang tidak sama.
7. Nyeri/kenyamanan
Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-bada, adanya tingkah laku yang tidak
stabil dan gelisah
8. Pernafasan
Ditandai dengan ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan nafas.
9. Keamanan
Ditemukan perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh, kesulitan untuk melihat
objek dari sisi kiri atau kanan, gangguan berespon terhadap panas atau dingin.
10. Interaksi sosial
Masalah dalam berbicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
11. Penyuluhan atau pembelajaran
Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke dan pecandu alcohol.
12. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan memperlihatkan edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
b. Sinar X menggambarkan klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhnoid.
c. EEG mengidentifikasi masalah berdasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
d. Angiografi serebral memperlihatkan adanya perdarahan arteri atau adanya oklusi
atau ruptur.
e. MRI menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena
(AVM).
f. Pungsi lumbal memperlihatkan adanya peningkatan dan cairan yang mengandung
darah menunjukan adanya perdarahan intrakranial.
Rencana Keperawatan:
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Nyeri akut - Pain Level - Pain Management - Pain
berhubungan dengan Management
Setelah diberikan a. Lakukan
agen cidera fisik
asuhan pengkajian nyeri a. untuk
(meningkatnya
keperawatan secara mengetahui
tekanan intrakranial)
selama ….x 24 jam komprehensif kondisi klien
yang ditandai dengan
diharapkan nyeri meliputi lokasi, dan untuk
perubahan tekanan
klien berkurang kareteristik, menetapkan
darah, masker wajah
dengan kriteri hasil: onset/durasi, intervensi yang
(meringis), laporan
frekuensi, akan diberikan.
isyarat a. Ekspresi wajah
kualitas, kuantitas
klien tampak b. untuk
atau tingkat
tenang mengetahui
keparahan nyeri,
tingkat nyeri
b. Tanda-tanda vital dan factor
yang dirasakan
dalam batas pencetusnya.
klien.
normal
b. Observasi isyarat
c. mengeliminir
- Tekanan ketidaknyamanan
faktor
darah dewasa nonverbal,
presipitasi
Sistolik: 95- khususnya pada
dapat
140, diastolic: klien yang tidak
menghilangkan
60-90 mampu
nyeri yang
mengkomunikasik
- Nadi dewasa dirasakan klien.
annya secara
60-100x/menit
efektif. d. mengetahui ada
- Temperatur tidaknya
c. Kurangi atau obati
tubuh dewasa perubahan
factor pencetus
36-37,5oC kondisi klien
nyeri
untuk
- Pernafasan
d. Memeriksa tingkat mengetahui ada
dewasa 12-
ketidaknyamanan tidaknya nyeri.
20x/menit
dengan klien,
- Analgesic
perhatikan
administration
perubahan dalam
catatan medis, a. untuk
memberi tahu mengurangi
profesional nyeri yang
kesehatan lain dirasakan.
yang bekerja
b. mencegah
dengan klien.
terjadinya
- Analgesic kesalahan
administration dalam
pemberian
a. Kolaborasi
obat. Berfungsi
pemberian
sebagai
analgesic jika
legalitas dalam
perlu dan awasi
pemberian
penggunaannya
obat.
serta efek
sampingnya - Vital Signs
Monitoring
b. Perhatikan prinsip
6B dalam a. mengetaui
pemberian obat tekanan darah,
nadi, suhu, dan
- Vital Signs
status
Monitoring
pernafasan
a. Monitor tekanan klien.
darah, nadi, suhu,
b. mengetahui ada
dan status
tidaknya
pernafasan,
fluktuasi yang
sebagaimana
luas di tekanan
mestinya.
darah.
b. Perhatikan
c. mengetahui ada
kecenderungan
tidaknya
dan fluktuasi yang
perubahan
luas di tekanan
tekanan darah
darah
setelah klien
c. Memonitor melakukan
tekanan darah pengobatan.
setelah klien telah
melakukan d. mencari
pengobatan, jika penyebab
mungkin perubahan
tanda vital.
d. Mengidentifikasi
kemungkinan e. mencegah agar
penyebab tidak terjadi
perubahan tanda kesalahan
vital dalam
pengukuran
e. Memeriksa secara
tanda-tanda
berkala akurasi
vital.
instrumen yang
digunakan untuk
akuisisi data
pasien
terhadap stimulus, selama ….x 24 jam baik yang baru informasi klien.
j. Diskusikan isu-isu
keamanan rumah
dan intervensi.
4. Gangguan perfusi - Tissue - Tissue - Tissue
jaringan cerebral Perfusion: Perfusion: Perfusion:
berhubungan dengan Cerebral Cerebral Cerebral
gangguan aliran darah
- Intracranial a. Kaji MABP klien a. mengetahui
ditandai dengan
Pressure (ICP) MABP klien
ketidaknormalan - Intracranial
Monitoring
dalam berbicara, Pressure (ICP)
- Intracranial
kelumpuhan, edema. Monitoring
Setelah diberikan Pressure (ICP)
asuhan Monitoring
a. Bantu dengan
keperawatan
penyisipan
selama ….x 24 jam a. memabantu
perangkat
diharapkan perfusi pemantauan
pemantauan ICP
jaringan cerebaral ICP
klien sudah mulai b. Berikan
b. mengurangi
adekuat dengan informasi kepada
kecemasan
kriteria hasil: keluarga / orang
keluarga
penting lainnya
a. MABP (mean
c. mengetahui
arterial blood c. Catat
tekanan ICP
pressure) dalam pembacaan
rentang normal tekanan ICP dan d. memantau
(120-140 mmHg) menganalisis tekanan perfusi
bentuk serebral
b. Klien tidak
gelombang
mengalami
e. posisi yang
pusing d. Monitor tekanan membantu
muntah peningkatan
e. posisikan klien
perfusi serebral
dengan kepala
ditinggikan 30 f. mempertahank
sampai 45 an tekanan
derajat dan intracranial
dengan leher
g. agar segera
pada posisi
dilakukan
netral
tindakan yang
f. Jaga tekanan tepat dan
arteri sistemik menghindari
dalam kisaran hal-hal yang
tertentu tidak diinginkan
g. Beritahu dokter
ICP tinggi yang
tidak merespon
terhadap
protokol
pengobatan
DAFTAR PUSTAKA