Anda di halaman 1dari 6

NAMA: KIRAN SALSABILAH

NIM: A031171321
RMK METODELOGI PENELITIAN “FENOMENOLOGI”
A. Definisi Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti ‘menampak’
dan phainomenon merujuk pada ‘yang menampak’. Istilah fenomenologi diperkenalkan
oleh Johann Heirinckh. Meskipun demikian pelopor aliran fenomenologi adalah Edmund
Husserl. Fenomenologi berasal dari kata phenomenon yang berarti realitas yang tampak.
Dan logos yang berarti ilmu. Sehingga, fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi
untuk mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak dan mencari pemahaman
bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka
intersubjektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan
orang lain).
B. Sejarah Fenomenologi
Perkembangan fenomenologi dimulai sekitar dekade pertama abad ke-20 .
Gerakan filosofis ini terdiri dari tiga fase : (1 ) preparatory ; ( 2 ) German; dan ( 3 )
French. Berikut penejelasan tema umum dari fenomenologi dalam konteks ketiga fase
tersebut (Streubert & Carpenter, 2011).

1) Preparatory Phase
Preparatory phase (tahap persiapan) didominasi oleh Franz Brentano (1838-
1917) dan Carl Stumpf (1848-1936). Stumpf adalah mahasiswa terkemuka pertama
Brentano, dan melalui karyanya, menunjukkan kekuatan ilmiah fenomenologi .
Klarifikasi konsep intensionalitas adalah fokus utama pada tahap ini (Spiegelberg, 1965,
dalam Streubert & Carpenter, 2011). Intensionalitas berarti selalu memiliki kesadaran
akan sesuatu. Merleau –Ponty (1956, dalam Streubert & Carpenter, 2003) menjelaskan
" interior persepsi adalah hal yang mustahil tanpa persepsi eksterior, bahwa dunia
sebagai koneksi fenomena yang diantisipasi dalam kesadaran saya dan cara bagi saya
untuk menyadari diri dalam kesadaran".
2) German Phase
Edmund Husserl (1857-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976) adalah yang
mendominasi selama fase Jerman, yang merupakan fase kedua perkembangan
fenomenologi. Husserl (1931, 1965) meyakini filosofi harus menjadi ilmu yang kuat
yang akan mengembalikan hubungan dengan memperhatikan manusia secara lebih
dalam dan fenomenologi harus menjadi dasar/fondasi bagi semua filosofi dan ilmu
pengetahuan.
Menurut Spiegelberg (1965, dalam Streubert & Carpenter, 2011). Heidegger
memiliki kesamaan dengan langkah-langkah Husserl yang karyanya mungkin
merupakan hasil langsung dari Husserl. Konsep esensi, intuisi, dan pengurangan
fenomenologi dikembangkan selama fase Jerman.
3) French Phase
Gabriel Marcel (1889-1973), Jean – Paul Sartre (1905-1980), dan Maurice
Merleu – Ponty (1905 – 1980) adalah yang mendominasi pada fase Perancis yang
merupakan fase ketiga perkembangan fenomenologis. Konsep utama yang
dikembangkan selama fase ini adalah perwujudan dan being-in-the-world. Konsep-
konsep ini mengacu pada keyakinan bahwa semua tindakan dibangun di atas pondasi
persepsi atau kesadaran akan beberapa fenomena. Pengalaman hidup, diberikan di dunia
yang dirasakan, harus dijelaskan ( Merleau -Ponty , 1956, dalam Streubert & Carpenter,
2011) .
C. Jenis - Jenis Fenomenologi
a. Descriptive Phenomenology
Fenomenologi deskriptif melibatkan "eksplorasi langsung, analisis, dan deskripsi
fenomena tertentu, sebebas mungkin dari pengujian pengandaian, bertujuan
mempresentasikan intuitif maksimum”. Fenomenologi deskriptif merangsang persepsi
kita dari akan pengalaman hidup serta menekankan kekayaan, luasnya, dan dalamnya
pengalaman-pengalaman (Spiegelberg, 1975). Spiegelberg (1965, 1975)
mengidentifikasi tiga langkah untuk fenomenologi deskriptif yaitu : (1) intuiting ; (2)
analyzing ; dan (3) describing.
Intuiting merupakan langkah awal peneliti untuk memulai berinteraksi dan
memahami fenomena yang diteliti (Streubert & Carpenter, 2011). Peneliti menggali
fenomena yang ingin diketahui dari partisipan mengenai pengalaman partisipan. Pada
tahap ini peneliti menghindari kritik, evaluasi atau opini tentang hal-hal yang
disampaikan oleh partisipan dan menekankan pada fenomena yang diteliti, sehingga
mendapat gambaran yang sebenarnya dari partisipan. Pada langkah ini, peneliti
berperan sebagai instrumen dalam proses pengumpulan data.
Analyzing adalah tahap kedua, pada tahap ini peneliti mengidentifikasi arti dari
fenomena yang telah digali dan mengesplorasi hubungan serta keterkaitan antara data
dengan fenomena yang ada (Streubert & Carpenter, 2011). Data yang penting
dianalisis secara seksama dengan mengutip pernyataan yang signifikan,
mengkategorikan dan menggali intisari data. Dengan demikian peneliti mendapatkan
data yang diperlukan untuk memastikan kemurnian dan gambaran yang akurat serta
memperoleh pemahaman terhadap fenomena yang diteliti.
Langkah ketiga adalah phenomenological describing. Peneliti
mengkomunikasikan dan memberikan gambaran tertulis dari elemen kritikal yang
didasarkan pada pengklasifikasian dan pengelompokan fenomena (Streubert &
Carpenter, 2011).
b. Phenomenology of Essences
Phenomenology of essences melibatkan probing melalui data untuk mencari
tema umum atau esensi dan membangun pola hubungan bersama oleh fenomena
tertentu. Free imaginative variation, digunakan untuk menangkap hubungan penting
antara esensi-esensi, melibatkan studi yang cermat dari contoh konkret yang diberikan
oleh pengalaman-pengalaman peserta dan variasi sistematis dari contoh-contoh dalam
imajinasi. Dalam hal ini, menjadi mungkin untuk mendapatkan wawasan ke dalam
struktur penting dan hubungan antara fenomena. Probing untuk memberikan esensi
rasa untuk apa yang penting dan apa yang tanpa sengaja ada dalam deskripsi
fenomenologis (Spiegelberg, 1975). Peneliti mengikuti langkah-langkah dari intuiting,
analyzing, dan describing. Menurut Spiegelberg (1975), "Fenomenologi dalam tahap
deskriptif dapat merangsang persepsi kita untuk kekayaan pengalaman kita secara
lebih luas dan mendalam" (Streubert & Carpenter, 2011).
c. Phenomenology of Apperances
Phenomenology of apperances melibatkan pemberian perhatian pada cara
fenomena muncul. Melihat cara fenomena muncul, peneliti memberikan perhatian
khusus pada cara yang berbeda dari sebuah objek itu sendiri. Phenomenology of
apperances memfokuskan perhatian pada fenomena yang diungkapkan melalui
keberadaan data (Streubert & Carpenter, 2011).
d. Constitutive Phenomenology
Constitutive phenomenology mempelajari fenomena seperti mereka menjadi
terbangun atau "constituted" dalam kesadaran kita. Constitutive phenomenology
"berarti proses di mana fenomena 'terbentuk' dalam kesadaran kita, seperti yang kita
maju dari kesan pertama untuk gambaran penuh struktur mereka" (Spiegelberg, 1975).
Menurut Spiegelberg (1975), fenomenologi konstitutif " dapat mengembangkan rasa
untuk petualangan dinamis dalam hubungan kita dengan dunia " (Streubert &
Carpenter, 2011).
e. Reductive Phenomenology
Fenomenologi reduktif, meskipun ditujukan sebagai proses yang terpisah, terjadi
bersamaan pada seluruh penyelidikan fenomenologis. Peneliti terus membahas bias
pribadi, asumsi, dan prasangka atau menyisihkan keyakinan ini untuk memperoleh
gambaran paling murni dari fenomena yang sedang dalam investigasi (Streubert &
Carpenter, 2011).
Langkah ini sangat penting untuk mempertahankan objektivitas dalam metode
fenomenologi. Misalnya, dalam sebuah penelitian menyelidiki arti kualitas hidup bagi
individu dengan (insulin-dependent) diabetes mellitus tipe 1, peneliti memulai
penelitian dengan proses reduktif. Peneliti mengidentifikasi semua prasangka, bias,
atau asumsinya tentang kualitas hidup dan rasanya memiliki penyakit diabetes. Proses
ini melibatkan sebuah pemeriksaan diri yang kritis dari keyakinan pribadi dan
pengakuan atas pemahaman peneliti telah diperoleh dari pengalaman. Peneliti
mengambil semua hal yang dia tahu tentang fenomena dan menyimpannya atau
mengesampingkannya dalam upaya untuk menjaga apa yang sudah diketahui terpisah
dari pengalaman hidup yang dijelaskan oleh peserta (Streubert & Carpenter, 2011).
Fenomenologi reduktif sangat penting jika peneliti ingin mencapai deskripsi
yang murni. Proses reduktif juga merupakan dasar untuk menunda setiap tinjauan
pustaka sampai peneliti telah menganalisis data. Peneliti harus selalu menjaga secara
terpisah dari deskripsi peserta dengan apa yang peneliti tahu atau percayai tentang
fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, menunda tinjauan literatur sampai analisis
data selesai memfasilitasi reduksi (pengurangan) fenomenologi (Streubert &
Carpenter, 2011).
f. Hermeneutic phenomenology
Kerangka interpretatif dalam fenomenologi digunakan untuk mencari tahu
hubungan dan makna bahwa pengetahuan dan konteks terkait satu sama lain (Lincoln
& Guba, 1985). Terdapat peningkatan penelitian yang dipublikasikan keperawatan
yang didasarkan pada teori filosofis hermeneutika. Pendekatan fenomenologis
hermeneutik adalah tentang pentingnya filosofi dari alam dalam memahami fenomena
tertentu dan interpretasi ilmiah fenomena yang muncul dalam teks atau kata-kata
tertulis. Hermeneutika sebagai sebuah pendekatan interpretatif didasarkan pada
pekerjaan dari Ricoeur (1976), Heidegger (1962), dan Gadamer (1976). Metodologi ini
memungkinkan untuk meningkatkan kepekaan terhadapa kesadaran manusia dan cara
mereka being-in-the-world (Dreyfus, 1991 dalam Streubert & Carpenter, 2003).
D. Contoh Penerapan Metode Fenomenologi Pada Penelitian Akuntansi
Fenomenologi merupakan salah satu metode penelitian dalam studi kualitatif. Kata
Fenomenologi (Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos.
Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos
berarti kata, ucapan, rasio, dan pertimbangan. Dengan demikian fenomenologi secara
umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak
(Ponty, 1947).
Pekembangan fenomenologi dimulai oleh Husserl (1859 – 1938), yang mematok
suatu dasar yang tidak terbantahkan dengan menggunakan metode fenomenologis.
Fenomenologi sebenarnya telah diperkenalkan untuk pertama kaliya oleh Lambert
(1764), dengan memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala
(fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebabsebab subjektif dan objektif
ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).

Fenomenologi dapat digolongkan dalam penelitian kualitatif murni dimana dalam


pelaksanaannya berlandaskan pada usaha mempelajari dan melukiskan ciriciri intrinsik
fenomena-fenomena sebagaimana fenomena-fenomena itu terjadi (Cresswell, 1996).
Peneliti harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk
kembali kepada “kesadaran murni” dengan membebaskan diri dari pengalaman serta
gambaran kehidupan sehari-hari dalam pelaksanaan penelitian. Hal tersebut harus
dilakukan agar penelitian yang dilakukan tetap pada sisi objektif peneliti dan tidak
berdasar dari sisi subjektif peneliti.
Dalam suatu penelitian akuntansi misalnya akuntansi dianggap bukan hanya
sekedar praktik yang berkaitan dengan teknikal dan angka, tetapi juga merupakan
dimensi social yang melibatkan perilaku dari pelaku akuntasi. Aspek mitologi dalam
menilai kinerja internal organisasi mengindikasikan bahwa usaha untuk menganalisis
bagaimana akuntansi membentuk mitos dalam prilaku akuntan yang banyak orang
tertarik untuk teliti karena pembentukan mitos ini berdasarkan angka akuntansi menjadi
lebih mudah dipahami jika settingannya adalah alamiah.
Pendekatan fenomenologi terkait langsung dengan gejala-gejala yang muncul
disekitar manusia yang terorganisasi dalam lingkup interaksi antara profesi akuntan,
klien, dan stakeholder. Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi berusaha
memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang dalam situasi tertentu.
Pendekatan fenomenologi berusaha masuk ke dalam dunia konseptual subyek agar dapat
memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subjek tersebut dalam kehidupan
sehari-harinya. Singkatnya, peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang
subjek itu sendiri dengan tidak mengabaikan penafsiran, dengan membuat skema
konseptual.
Peneliti menekankan pada pemikiran subjektif karena pandangan dunia dikuasai
oleh angan-angan yang mengandung hal-hal yang bersifat simbolik daripada konkrit.
Paradigma definisi sosial akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian
melakukan interpretasi sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok
masalah penelitian. Peneliti kualitatif harus bersifat “perspektif emic” artinya
memperoleh data bukan “sebagaimana mestinya”, bukan berdasarkan apa yang dipikirkan
oleh peneliti, tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi di lapangan, yang
dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh partisipan atau sumber data

Anda mungkin juga menyukai